74
Gambar 4.5. Denah SD Negeri Keningar 2 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Tahun 2013
Komite Sekolah SD Negeri Keningar 1 dipimpin oleh
Eko Kalisno,
Sekretaris Supratik,
Bendahara Riyanto, Anggota Komite Ari Wiyanto, Maret, Marjum
dan Suyono. Komite Sekolah pada saat ini mendukung pada pelaksanaan program sekolah. Terutama selama
waktu penyelenggaraan
sekolah darurat
di pengungsian. Komunikasi antara sekolah dan komite
sekolah berjalan sesuai fungsi dan peran masing- masing. Tipikal sekolah yang diselenggarakan di desa
menjadikan peran Komite Sekolah efektif mendorong komunikasi sekolah dengan pihak luar dan wali murid.
4.1.5.2. Pengalaman Sekolah Dasar Negeri Keningar 1 dan 2 dalam Manajemen Bencana
Pada saat erupsi Merapi terjadi tahun 2010, anak-anak sekolah sedang menjalani pembelajaran
tengah semester di semester pertama tahun pelajaran 2010-2011. Bagi beberapa anak-anak SDN Keningar 1
dan 2
dan penduduk
desa di
kawasan Merapi,
75
bergolaknya Merapi
yang besar
barangkali baru
pertama kali mereka temui. Tetapi bagi orang-orang tua telah mengalami berbagai letusan Merapi dari tahun ke
tahun. Meskipun demikian, murid dan warga desa tetap saja cemas dan takut jika harus menghadapi
letusan Merapi melanda desa Mereka. Merujuk Focus Group Discussion tanggal 23 Juli
2013 dengan kepala sekolah, guru, kepala desa dan sesepuh desa Keningar yang terlibat langsung dalam
penanganan bencana
erupsi Merapi
2010. Digambarkan situasi sekolah SD Negeri Keningar 1 dan
2 pada saat pada saat erupsi Merapi tahun 2010 sama dengan
kejadian erupsi
Merapi tahun
2006. Digambarkan oleh Slamet Kepala Sekolah SD Negeri
Keningar 1 tahun 2010 dan Sutarto Kepala Sekolah SD Negeri Keningar 2 tahun 2010 bahwa erupsi Merapi
pada tahun 2006 terjadi siang hari persis pada waktu jam sekolah anak-anak. Semua orang di sekolah panik.
Langsung naik kendaraan truk atau pick up yang disediakan untuk pergi mengungsi. Sehingga banyak
anak anak terpisah dari orang tuanya, asal ikut mengungsi begitu saja. Kejadian letusan Merapi tahun
2010 juga hampir mirip. Tidak ada perintah untuk meliburkan
anak oleh
Kemendiknas Kabupaten
Magelang, meskipun telah ada pengumuman status awas
Merapi. Itu
yang membuat
panik dan
kebingungan sekolah karena memang tidak berani meliburkan jika tidak ada perintah dari kemendiknas.
Situasi yang sama dialami oleh sekolah di desa lain,
seperti digambarkan
oleh Titik
Sulistiyowati, Kepala Sekolah SD Keningar 1 Tahun 2013. Pada
76
waktu erupsi tahun 2010 Titik Sulistyowati masih sebagai guru SDN Ngargomulyo 1, tetangga Desa
Keningar yang juga merupakan wilayah KRB III.
Pada saat itu, Merapi telah pada tingkat awas Merapi sejak 21 Oktober 2010 tetapi sampai hari Selasa pagi
tanggal 26 Oktober belum ada seruan untuk libur dari Dinas Pendidikan Kabupaten sehingga anak-anak
masih masuk seperti biasa. Tetapi pagi itu saya tahu bahwa situasi Merapi makin berbahaya karena saya
dapat
SMS dari
anak saya
yang kebetulan
mendapatkan SMS dari temannya di BMG Badan Meteorologi dan Geofisika bahwa kemungkinan tiga
jam lagi Merapi akan meletus. Apalagi sudah ada seruan semua orang yang bekerja di ladang untuk
segera pulang dan mengungsi, saya waktu itu juga bingung bagaimana seharusnya. Apalagi kemudian
suasana menjadi gelap gulita karena debu, semua anak-anak
dan guru
panik sehingga
akhirnya diputuskan untuk memulangkan anak-anak ke orang
tua mereka.
Dari hasil interview dengan Bapak Giya, guru SDN Keningar 2 pada Rabu 5 Juni 2013:
Pada waktu tanggal 21 Oktober 2010, pemerintah meningkatkan status Merapi menjadi Siaga Merapi.
Tetapi aktivitas penduduk masih seperti biasa. Saya masih mengajar seperti biasa, waktu letusan tahun
2010 saya masih mengajar di salah satu sekolah dasar di Dieng Wonosobo. Begitu dapat berita saya
langsung pulang dan evakuasi. Baru pada saat 26 Oktober 2010 masyarakat desa mulai mengungsi
keseluruhan ke Lapangan Garonan, Taman Kanak- Kanak TK Banyubiru dan Balai Desa Banyudono
selama delapan hari. Setelah letusan meluas dan ada perintah evakuasi sampai 20 kilometer. Pengungsi
tersebar ke enam tempat, yaitu Selepan Padi Desa Bojong, Lapangan Tembak Salaman, Kantor KPU
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Magelang, Balai Pertemuan
Desa Borobudur,
SMP Margoningsih
Muntilan dan SMA Fanlite Muntilan.
Penjelasan serupa juga didapatkan dari Kepala Desa Keningar Tarmuji pada Rabu 5 Juni 2013:
77 Seperti
biasanya, masyarakat
mengungsi dengan
memilih tempat
pengungsiannya sendiri-sendiri,
dengan pertimbangan dekat dengan keluarga atau saudara.
Tetapi secara
umum masyarakat
desa Keningar pindah ke Garonan, Taman Kanak-Kanak
TK Banyubiru dan Balai Desa Banyudono selama delapan hari. Semua mengungsi dengan berbekal
seadanya, yang punya ternak ditinggalkan begitu saja. Lah mau gimana lagi. Biasanya kalau mengungsi juga
begitu.
Pada saat hari ketiga di pengungsian di tempat pertama di Lapangan Garonan, Taman Kanak- Kanak
TK Banyubiru dan Balai Desa Banyudono. Kepala sekolah SDN Keningar 1 dan 2 meminta kepada guru
untuk mengidentifikasi
sebaran siswa
mereka di
pengungsian. Mengidentifikasi
sebaran siswa-siswa
yang berasal
dari Desa
Keningar dan
sekitarnya bukanlah perkara mudah karena lokasi pengungsian
tersebar. Pilihan
arah pengungsian
merupakan keputusan pribadi masing-masing keluarga maupun
warga. Koordinasi dan perintah dilakukan melalui Short Message
Services SMS
dan telepon.
Inisiatif pengidentifikasi sebaran pengungsian siswa merupakan
inisiatif sendiri
meskipun tanpa
perintah dari
Kecamatan maupun
Dinas Pendidikan
wawancara dengan Giya, Slamet dan Sutarto.
Kondisi ini digambarkan oleh Budi Lestari, guru SD Negeri Keningar 1 sebagai berikut Wibowo, 2012.
Siswa-siswa kami dari SD Negeri Keningar 1 ternyata berada di beberapa tempat pengungsian. Ada yang
dibalai desa Dukun, di Kantor KPRI Dukun, di Balai Desa Banyudono, Di SD Banyubiru 1 dan juga yang
dilapangan Garonan. Sungguh mengenaskan Kami tidak
mampu melaksanakan
kegiatan belajar
mengajar dalam keadaan siswa tercecer di beberapa tempat.
78
Begitu mendapatkan
perintah dari
Kepala Sekolah, maka semua guru mulai mendata sebaran
anak-anak siswa
di pengungsian.
Pendataan juga
dilakukan dengan cara sederhana, mencari informasi dari tetangga di desanya tentang dimana orang tua
murid mereka mengungsi. Kebiasaan, kedekatan dan kekerabatan masyarakat desa menjadi kekuatan di
dalam mendapatkan informasi yang akurat tentang kondisi anak-anak siswa SDN Keningar 1 dan 2.
Pendataan juga dilakukan melalui SMS dan telepon. Barulah
kemudian di
datangi satu
persatu. Giya
menuturkan:
Dan tiga hari kemudian langsung sudah memulai kegiatan belajar mengajar KBM seadanya dimulai
dari jam 08.00 – 10.30 atau kadang sampai jam 11.00. Materi belajar adalah CALISTUNG Baca Tulis
dan Berhitung. Semua anak di kelas digabung menjadi satu di tempat darurat. Praktis kami tetap
menyelenggarakan sekolah selama di pengungsian, kecuali libur empat hari di awal kejadian bencana
sesuai edaran dari Dinas Pendidikan Nasional.
Pengajaran CALISTUNG dipakai oleh para guru untuk
anak-anak di
bawah kelas
5 dan
6. Pertimbangannya adalah untuk anak- anak di usia
tersebut fokus
utamanya adalah
baca tulis
dan berhitung, menyanyi, menggambar dan bermain Budi
Wijayatno, Guru SD Keningar 2. Pertimbangan lainya adalah beberapa pelajaran selain CALISTUNG pada
usia tersebut akan memberatkan siswa yang sedang dalam
kondisi trauma
di pengungsian.
Selain CALISTUNG, metode pembelajaran cenderung student
centered atau terfokus pada kebutuhan siswa melalui proses
belajar sambil
bermain dan
bersosialisasi
79
dengan teman sebaya. Situasi belajar sambil bermain membuat siswa tidak terlalu memikirkan masalah di
pengungsian wawancara M Fatkhurrahman, Guru SDN Keningar 2. Pembagian tugas mengajar guru juga
dilakukan sesuai perintah dari Kepala Sekolah SDN Keningar 2 secara bergantian. Di SD Negeri Keningar 1
dan 2, semua tenaga guru dan penjaga sekolah didistribusikan
bergantian di
tempat-tempat pengungsian wawancara Titik Sulistiyowati, Giya, M
Fatkhurrahman. Kesadaran
pengelolaan kelas
di situasi
darurat dengan
belajar CALISTUNG
dan bermain berangkat dari pengalaman merespon bencana
sebelumnya. Dalam
catatan Nurkhayati,
Guru SD
Negeri Keningar 2 Wibowo, 2012, sebagai guru dia harus
mendatangi siswa-siswa
yang berada
di berbagai
tempat di
pengungsian untuk
memberi materi
pembelajaran.
Disamping itu, bimbingan dan permainan juga aku sampaikan untuk mengantisipasi agar siswa-siswaku
terhindar dari trauma. Pembelajaran dibuat sistem kelompok dengan metode bervariasi. Tema keimanan,
ketagwaan dan kemanusiaan selalu kusisipkan pada setiap materi pelajaran. Semua itu untuk membuat
siswa tidak jenuh.
Di kelas
darurat tidak
tersedia modul
pembelajaran khusus yang disiapkan atau diedarkan untuk panduan mengajar. Tantangan nyata justru
muncul pada waktu perintah mengungsi menjauhi puncak Merapi sejauh 20 kilometer. Pengungsi dari
desa Keningar
kemudian berpindah
tempat dan
tersebar di empat wilayah dengan radius jarak yang berjauhan.
Pendekatan pendataan
juga dilakukan
80
dengan cara yang sama seperti di pengungsian yang pertama. Distribusi guru dan tenaga pengajar menjadi
tantangan terberat, karena selain harus mengurus keluarga yang mengungsi, mereka juga harus tetap
mengajar ke siswa mereka meskipun jaraknya cukup jauh karena beberapa tempat pengungsian berjarak
lebih dari 25 kilometer dari tempat tinggal pengungsian para guru. Oleh sebab itu beberapa guru dan juga
anak-anak merasa tertolong dengan adanya relawan yang mengajar mereka di kelas untuk bermain maupun
untuk healing. Mengenai
ketersediaan alat
belajar dan
infrastruktur sekolah,
anak-anak justru
menyukai fasilitas belajar di barak-barak pengungsian. Karena
selalu mendapatkan semua kebutuhan sekolah separti seragam, buku, sepatu, topi, dasi, pencil dan pulpen,
dan buku bacaan baru. Bantuan tersebut di dapat dari Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, pemerintah dan
para relawan. Sementara menurut Giya dan didukung oleh M Fathkurrahman dan Budi Wijayatno, bantuan
untuk guru justru tidak ada. Pada akhir pengungsian, karena semua mendapatkan bantuan baru, ditemukan
beberapa siswa tidak mau kembali sekolah ke tempat asalnya dengan berbagai alasan. Mereka lebih kerasan
tinggal di tempat pengungsian. Pemahaman
tentang bantuan
yang terpilah
antara siswa laki-laki dan perempuan, menurut dari hasil Focus Group Discussion FGD guru SDN Keningar
2 pada Kamis, 20 Juni 2013, mereka menyatakan bahwa
secara umum
apapun bentuk
bantuannya diterima. Bantuan juga tidak secara spesifik dipilah
81
untuk laki-laki dan perempun maupun berdasarkan kebutuhan usia. Apapun bantuan diterima, meskipun
di dalam kenyataannya, banyak bantuan dari non pemerintah justru yang telah terpilah berdasarkan jenis
kelamin, kelompok umur, ketimbang bantuan dari pemerintah.
Melihat sumber daya yang dimiliki guru, mereka menyatakan
tidak ada
pembekalan khusus
dari sekolah, dinas pendidikan atau pemerintah terkait
pengelolaan sekolah darurat bencana. Bagi guru senior, apa yang mereka lakukan dalam penyelenggaraan
sekolah darurat adalah murni berdasarkan pengalaman penanganan
bencana pada
tahun sebelumnya.
Sementara pembelajaran kelas rangkap -kelas bersama dimana semua tingkatan kelas belajar dalam satu satu
ruang- didapatkan Giya dan guru- guru lainnya dari kurikulum Pendidikan Guru Sekolah Dasar PGSD.
Meski pada waktu itu mereka juga mengaku tidak tahu mengapa harus belajar tentang kelas paralel. Sekarang
para guru-guru yang lulusan PGSD baru merasakan manfaatnya.
Dalam kegiatan Manajemen Berbasis Sekolah MBS, pembagian peran antara guru dan kepala
sekolah lebih melekat pada fungsional, Kepala Sekolah mengelola dan memastikan pelaksanaan KBM berjalan
serta berkomunikasi dengan kepala sekolah yang lain maupun dengan dinas. Meskipun demikian tidak ada
pembahasan khusus
tentang standar
pelaksanaan sekolah darurat, peran guru, peran kepala sekolah
maupun peran
dinas pendidikan.
Semua berjalan
dalam situasi emergency, yang penting kegiatan KBM
82
berjalan untuk anak-anak. Hal yang sama juga terjadi pada monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan sekolah
darurat di pengungsian. Keseluruhan guru mengaku tidak ada monitoring dan evaluasi terkait pengeloalan
sekolah darurat
dari dinas
pendidikan maupun
pemerintah sampai sekarang. Dokumen monitoring standar minimal pelaksanaan sekolah darurat juga
belum ada.
Sampai pelaksanaan
sekolah darurat
selesai dan para pengungsi kembali beraktifitas di desa asal. Sekolah kembali berjalan seperti sediakala dan
seperti kebiasaan pembelajaran sehari-hari layaknya sekolah normal kebanyakan. Proses pembelajaran atas
pengalaman berhenti dan menguap begitu saja.
4.1.5.3. Kelemahan Pelaksanaan Sekolah Darurat