57
Mata pencaharian masyarakat usia produktif Desa Keningar, Kec. Dukun, Magelang tertinggi adalah
35 Buruh Tani, 31 Petani sawah dan ladang, 22 Peternak dan jenis pekerjaan lainnya 12. Total dari
497 jiwa 304 merupakan pekerja laki-laki dan 197 jiwa merupakan
pekerja perempuan.
Peran perempuan
dalam strukturs sosial desa ada sebagai ibu rumah tangga mengurus anak dan suami, mereka juga terlibat
mengurus sawah atau ladang yang mereka miliki. Meskipun tetap warga desa meyakini peran perempuan
desa dalam
bekerja adalah
untuk menambah
penghasilan suami mereka.
Tabel 4.2. Jenis Pekerjaan Laki-laki dan Perempuan Desa Keningar Tahun 2013
.
No Jenis Pekerjaan
L P
Total Persentase
1 Petani
87 68
155 31
2 Buruh Tani
98 74
172 35
3 Peternak
87 23
110 22
4 Lain-lain
32 28
60 12
TOTAL 304
193 497
100
4.1.2. Dampak Erupsi Merapi Tahun 2010 bagi
Desa Keningar Erupsi
gunung Merapi
tahun 2010
mengakibatkan fasilitas-fasilitas
umum di
Desa Keningar tidak bisa di gunakan selama satu setengah
bulan lebih. Genting dan talang air rumah penduduk, Balai Desa Keningar dan SD Negeri Keningar 1 dan 2
rusak karena penuh debu dan pasir setebal 15 cm. Tiga
rumah warga
roboh dan
17 kandang
milik masyarakat rusak dan roboh. Kompilasi data RPJMDes
Keningar 2012, laporan Program Emergency Respon LPTP tahun 2010, Laporan Program YLSKAR 2010 dan
wawancara dan FGD menunjukan sebagai berikut.
58
Tabel.4.3. Perbandingan Kondisi Desa Keningar Sebelum dan Sesudah Erupsi Merapi Tahun 2010
Jenis Sebelum Erupsi
Sesudah Erupsi
Jalan desa
Jalan utama
untuk jalur
evakuasi rusak sepanjang 1 km. Jalan semakin rusak parah, aspal jalan sudah
tidak terlihat, ketebalan abu lebih dari 15 cm Pertani
an Luas lahan pertanian 60 ha.
Tanaman sayuran cabe, tomat, bunga kol, buncis dan kacang
panjang 60 . 40 padi. 100 lahan pertanian rusak dan gagal panen.
Kerugian ditaksir mencapai Rp 2.293.500.000 untuk tanaman sayuran dan Rp. 35.712.000
untuk tanaman padi.
Petern akan
Populasi ternak sapi 78 ekor dikelola secara individu dan
kelompok dalamm
kandang komunal di desa.
Ternak dijual 34 ekor, mati 1 ekor. Asumsi perekor dihargai Rp. 2.500.000 dari harga
normal. Sementara ternak mati seharga Rp 15.000.000.
Total kerugian mencapai Rp 85.000.000 + 15.000.000 = 100.000.000
Air bersih
Ada 3
kelompok di
dusun banaran
yang mengatur
distribusi air dari sumber air sungai cacaban untuk 140 kk
atau sekitar 568 jiwa. Instalasi saluran air bersih rusak:
Kelompok I Bpk. Sarmidi penerima manfaat 16 KK kerusakan 26 lonjor ukuran
1,5 dim 104 meter. Kelompok II Bpk. Parno penerima manfaat
28 KK kerusakan 36 lonjor pipa ukuran 1,5 dim atau 144 m.
Kelompok Balai desa 96 KK kerusakan pipa ukuran 2.5 dim sebanyak 55 lonjor 220 m
Rumah Tembok batu, lantai keramik
plester kasar. 1 WC rata-rata untuk 2-3 KK. 1 WC umum
3 rumah ambruk tertimpa bambu, 4 rusak berat, 4 rusak ringan.
Kandang Lantai
tanah, dinding
gedegpapan, atap
gentingseng. Ukuran rata-rata 3x2 m2, 1 kandang kelompok
ukuran 5x6 m2 Kandang
kelompok dan
17 kandang
perorangan rusak karena atap terkena hujan abu dan pasir serta tertimpa pohonbambu.
Sekolah Dinding
tembok beratap
genting dan asbes. Talang air dari seng galvanil. Penyangga
atap dari kayu keras. Berlantai keramiktegel, memiliki jendel
kaca dan kisi-kisi sirkulasi udara. SD Keningar 1: atap asbes, talang air, meja,
kursi dan buku-buku sekolah rusak berat. Kerugian lebih dari 9 juta rupiah.
SD Keningar 2: atap asbes, talang air hancur, bangku,
kursi, buku-buku
perpustakaan sekolah hancur. Kerugian sekitar 8 juta
Menurut Tarmuji
Kepala Desa
Keningar, dibutuhkan
sekitar satu
bulan lebih
untuk membersihkan semua debu dan pasir dari rumah
59
maupun fasilitas umum, untuk dapat ditinggali lagi seperti semula.
Pada tabel 4.3. di bawah tampak perbandingan kondisi umum desa sebelum erupsi Merapi tahun 2010
dan sesudah erupsi. Kerusakan utama disebabkan oleh hujan
debu dan
pasir yang
mengakibatkan infrastruktur desa, perumahan, pertanian, peternakan,
ketersediaan air bersih dan juga sekolah rusak dengan intesitas yang bervariatif. Dalam perhitungan kasar
dengan menggunakan harga minimal, setidaknya Desa Keningar mengalami kerugian dibidang pertanian Rp.
2.329212.000, bidang peternakan Rp. 100.000.000; kerusakan infrastruktur air konsumsi rumah tangga
Rp. 50.000.000 dan kerusakan rumah penduduk dan kandang ternak mereka. Total lebih dari 4 milyar
rupiah yang
diperlukan untuk
mengembalikan infrastuktur desa kembali normal.
Kerusakan di infrastruktur sekolah SD Keningar 1 adalah atap asbes dan talang air hancur terkena
hujan abu dan kerikil. Meja, bangku dan kursi kelas untuk belajar siswa dan buku-buku perpustakaan
sekolah rusak berat. Beberapa tidak dapat dipakai kembali. Sementara lingkungan sekolah penuh dengan
debu dan
pasir dengan
ketebalan lebih
dari 15
centimeter. Menurut
Ribut Augustinus,
guru dan
bendahara SD Keningar 1, pembersihan di kelas dan dan kantor dikerjakan guru bersama siswa. Sementara
pembersihan lapangan lingkungan sekolah dikerjakan dan dibiayai secara gotong royong oleh seluruh warga
desa Keningar selama lebih dari tiga hari.
60
Nilai kerugian fisik di SD Negeri Keningar 1 lebih dari 9 juta rupiah. Jumlah tersebut belum dihitung
tenaga dan
biaya gotong
royong warga
untuk membantu penataan dan pembersihan sekitar sekolah.
Biaya perbaikan sekolah diambil dari kas cadangan sekolah dan bantuan dari wali murid karena menurut
Slamet, Kepala Sekolah SD Keningar 1 tahun 2010 dan Ribut
Augustinus Bendahara
Sekolah SD
Negeri Keningar 1, sampai saat inipun tidak ada bantuan dari
pemerintah untuk perbaikan sarana-prasarana sekolah paska
erupsi. Telah
sering dilakukan
pendataan kerasakan sekolah dari dinas-dinas tetapi belum ada
realisasi. Memang ada bantuan rehabilitasi bangunan sekolah
setelah beberapa
tahun kemudian,
tetapi bantuan pembangunan tersebut merupakan proposal
pengajuan proyek ke pemerintah, bukan untuk respon perbaikan terhadap infrastruktur sekolah yang rusak
karena bencana erupsi Merapi tahun 2010. Informasi senada juga disampaikan oleh Giya
guru dari SD Keningar 2. Perbaikan atap asbes dan talang air hancur pada bangunan WC siswa dan guru
yang runtuh serta bangku dan kursi kelas siswa dan guru memerlukan lebih dari 8 juta rupiah. Dana
perbaikan tersebut di ambil dari kas sekolah dan bantuan dari masyarakat. Bantuan dari pemerintah
untuk perbaikan khusus infrastruktur sekolah korban bencana tidak ada.
Data diatas belum menyajikan kerugian secara immaterial
seperti sakit,
trauma maupun
cacat. Meskipun tidak ada korban jiwa yang meninggal dari
Desa Keningar, tetapi menurut Tarmuji kepala desa
61
Keningar, dampak psikis dari warga korban erupsi Merapi tahun 2010 adalah stress. Tarmuji mengatakan
bahwa pada saat tinggal di pengungsian dan beberapa bulan sejak kembali ke pemukiman, emosi warga
tampak tidak terkendali. Menjadi mudah marah pada hal-hal kecil dan sering kuatir atau merasa cemas.
Tekanan dan tuntutan kepastian hidup mereka setelah kembali ke desa memang menjadi sedikit gamang
melihat lahan pertanian, peternakan dan perikanan sebagai mata pencarian utama mereka rusak total.
Kendala modal usaha untuk membangun kembali usaha mereka yang hancur juga diduga oleh Tarmuji
sebagai salah satu beban pikiran para pengungsi. Hal senada
dibenarkan oleh
Suroto, Kepala
Dusun Gondangrejo. Bahwa warga kemudian tampak aslinya
jika menghadapi masalah yang berat. Problem
modal kembali
mengolah lahan
pertanian yang rusak menjadi kebutuhan mendesak warga. Oleh sebab itu banyak warga yang kemudian
menjual simpanan yang mereka miliki seperti sapi, kambing atau tanah dengan harga lebih murah dari
harga standar.
Bahkan kebanyakan
warga telah
menjual ternaknya ketika beberapa minggu berada di pengungsian.
Uang tersebut
setidaknya untuk
kepastian hidup
korban selama
di pengungsian.
Beberapa lainnya untuk tambahan modal kerja. Pada kontek dampak psikologi siswa di sekolah,
beberapa siswa tampak ketakutan untuk kembali ke Desa dan memilih untuk tinggal di barak pengungsian.
Menurut Giya, beberapa siswa yang tidak mau kembali ke Desa juga karena faktor semua kebutuhan sekolah,
62
mainan, baju dan lain-lain terpenuhi. Sehingga merasa betah memilih tinggal di pengungsian. Namun secara
umum siswa juga merasa tertekan, takut dan cemas seperti orang tua mereka. Belum ada observasi secara
klinis dilakukan oleh sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 untuk mengetahui kondisi psikis siswa. Risiko lain
yang di terima para siswa pada saat erupsi dan ancaman lahar dingin Merapi, pertama mereka harus
kehilangan semua
peralatan sekolah
dan catatan
sekolah mereka. Tidak terpikir oleh orang tua mereka untuk
membawa kebutuhan
sekolah anak-anak
meskipun tersedia cukup waktu sejak peringatan dini disampaikan oleh pemerintah sampai keputusan untuk
mengungsi. Termasuk
baju, mainan
dan berbagai
kebutuhan bermain sehari hari mereka. Secara psikis ini tentu mempengaruhi fikiran anak-anak meskipun
dengan intensitas yang berbeda-beda. Kedua
beberapa anak-anak
harus berhenti
bersekolah selama beberapa waktu karena situasi tidak memungkinkan. Terutama karena hidup berpindah-
pindah dipengungsian yang kondisi dan prasarananya tidak
memadai. Pengalaman
penanganan bencana
tahun 2010 menunjukan bahwa setidaknya anak-anak harus berpindah-pindah mengungsi mengikuti orang
tua mereka selama 48 hari. Sehingga penyelenggaraan sekolah dilakukan secara emergencydarurat di wilayah
pengungsian dengan susah payah oleh para guru dan kepala sekolah dibantu oleh pemerintah desa. Situasi
pengungsi yang
berpindah-pindah kemudian
juga menjadi kendala utama bagi penyelenggaraan sekolah
darurat di pengungsian seperti yang dialami oleh SD
63
Negeri Keningar 1 dan 2. Padahal, situasi tersebut dihadapi oleh seluruh penduduk desa dan sekolah-
sekolah yang tinggal di wilayah rentan erupsi Merapi. Ketiga, tantangan faktor adaptasi tempat baru,
suasana baru dan teman baru di dalam situasi sekolah darurat.
Khususnya untuk
anak perempuan,
kebutuhan mereka menjadi lebih kompleks ketimbang anak laki-laki yang cenderung bebas bersosialisasi.
Budaya patriarki membatasi perempuan untuk tidak memperbolehkan beraktifitas seperti laki-laki. Tetapi
Sutarto AM, Slamet, Tarmuji, Ribut Agustinus, dan Giya memastikan bahwa anak-anak pengungsi lebih
nyaman belajar dalam sekolah darurat di tenda-tenda atau tempat yang ditentukan bersama para pengungsi
lainnya ketimbang
dititipkan ke
sekolah-sekolah sederajat di desa tempat mereka mengungsi. Faktor
minder dominan pada kontek ini. Siswa pengungsi minder karena harus beradaptasi lagi dengan teman,
guru dan suasana baru. Minder karena pakaian dan peralatan sekolah yang mereka miliki seadanya karena
tertinggal di sekolah. Dan beberapa siswa juga minder karena merasa kemampuan belajar di kelas yang baru
kuatir berbeda. Perbedaan kultur sekolah desa dan di kota mungkin juga menjadi faktor yang mempengaruhi
siswa para pengungsi untuk lebih memilih bersekolah di tenda-tenda darurat daripada bergabung dengan
siswa setempat yang bukan pengungsi.
4.1.3. Kepercayaan Masyarakat Tentang Merapi