82
berjalan untuk anak-anak. Hal yang sama juga terjadi pada monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan sekolah
darurat di pengungsian. Keseluruhan guru mengaku tidak ada monitoring dan evaluasi terkait pengeloalan
sekolah darurat
dari dinas
pendidikan maupun
pemerintah sampai sekarang. Dokumen monitoring standar minimal pelaksanaan sekolah darurat juga
belum ada.
Sampai pelaksanaan
sekolah darurat
selesai dan para pengungsi kembali beraktifitas di desa asal. Sekolah kembali berjalan seperti sediakala dan
seperti kebiasaan pembelajaran sehari-hari layaknya sekolah normal kebanyakan. Proses pembelajaran atas
pengalaman berhenti dan menguap begitu saja.
4.1.5.3. Kelemahan Pelaksanaan Sekolah Darurat
Pengalaman pelaksanaan sekolah darurat selama 48
hari diakui
oleh para
guru ada
kelemahan mendasar. Pemakluman karena situasi darurat menjadi
pembenar atas
kelemahan tersebut.
Pertama, konsentrasi siswa dan guru terpecah karena situasi
bencana yang mereka hadapi. Bagi Guru faktor harus mengurus keluarga di pengungsian, mengurus barang-
barang dan hewan yang ditinggal di rumah asli mereka yang
ditinggalkan atau
bahkan faktor
jarak dan
gangguan kesehatan karena debu vulkanik. Kedua, tidak
tersedianya bahan-bahan
pegangan yang
dijadikan bahan pengajaran bagi siswa di sekolah darurat. Semua proses KBM berjalan karena guru telah
hapal materi
dan improvisasi
sendiri. Ketiga,
pembekalan khusus
tentang pengelolaan
sekolah darurat tidak pernah mereka dapatkan. Juga termasuk
perspektif gender dalam respon bencana, baik di
83
pengungsian maupun
pada saat
penyelenggaraan sekolah darurat. Padahal mereka adalah para guru
yang tinggal dan bertugas di wilayah risiko tinggi bencana erupsi Merapi. Keempat, kurangnya dukungan
bantuan bagi guru dan tenaga pengajar dalam bentuk insentif transportasi, seragam guru, ataupun jaminan
kesehatan mereka. Semua proses pelaksanaan sekolah darurat dilakukan secara suka rela. Kelima, belum
tersedianya infrastruktur yang memadai sebagai tempat penyelenggaran sekolah darurat. Kebutuhan papan
tulis, kapur, alat tulis guru, buku pegangan guru relatif tidak tersedia dalam daftar bantuan bagi korban
bencana. Semua fokus bantuan ke anak-anak korban, tidak untuk guru dan tenaga pengajarnya. Semua
temuan tersebut di atas diakui oleh para guru sebagai salah
satu kelemahan
di dalam
penyelenggaraan sekolah darurat.
Hasil Focus Group Discussion FGD dengan para guru tanggal 20 Juni 2013 dapat disimpulkan bahwa
penyebab utamanya adalah sejak awal, pemerintah tidak menyiapkan standar penyelenggaraan pendidikan
disertai dengan standar pengelolaan situsi darurat yang terintegrasi dengan Manajemen Berbasis Sekolah MBS
bagi sekolah-sekolah wilayah risiko tinggi bencana. Padahal cukup banyak sekolah-sekolah di daerah aman
yang bisa dipakai sebagai tempat belajar mengajar anak-anak
pengungsi dengan
konsep menitipkan
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar sementara di sekolah tersebut. Konsep integrasi penyelenggaraan
sekolah darurat akan berjalan dengan baik jika sejak awal
disiapkan infrastruktur
pengungsian yang
84
terintegrasi dengan pusat shelter, layanan kesehatan, dapur umum dan pusat informasi bencana maupun
fasilitas lain yang relevan. Sesuai dengan konsep mitigasi dalam Pasal 44 huruf c dalam UU Nomor 24
Tahun2007 tentang Penanggulangan Bencana Nasional.
4.1.5.4. Harapan Tinggi Guru dan Kepala Sekolah SD Keningar 1 dan 2