110
Pada sisi kebutuhan teknis, dibutuhkan waktu perbaikan
dan pembersihan
yang lama
terhadap infrastruktur sekolah yang rusak, penuh debu dan
pasir. Kadang kegiatan belajar mengajar siswa baru berjalan normal setelah satu bulan sejak di bersihkan.
Meskipun sekolah memiliki inisiatif yang kuat dan ada dukungan
dari pemerintah,
lembaga swadaya
masyarakat dan universitas, tetapi belum menyentuh pada
kelemahan yang
paling mendasar.
Yaitu pengalaman
penanganan bencana
belum menjadi
materi ajar di sekolah. Kegiatan program mitigasi dan kesiapsiagaan bencana di sekolah juga belum menjadi
prioritas di kondisi paska bencana. Faktor kelemahan dukungan
kebijakan untuk
menginternalisasi pengalaman pengelolaan, mitigasi dan kesiapsiagaan
bencana di
sekolah dari
kementerian pendidikan
nasional dirasakan juga masih kurang.
4.1.7. SD
Negeri Keningar
1 dan
2: Sekolah
dengan Risiko
Tinggi Bencana
Erupsi Merapi.
Berdasarkan deskripsi ancaman bahayahazards, Kerentanan dan Kapasitas Sekolah SD Negeri Keningar
1 dan 2 tersebut diatas dapat rumuskan bahwa pertama,
SD Negeri Keningar 1 dan 2 berada dalam situasi hazard bahaya erupsi karena berada dalam
lokasi cakupan lintasan guguran lavalahar, paparan gas beracun, hujan abukerikil dan limpahan banjir
lahan dingin. Intensitas bahaya meningkat jika erupsi Merapi terjadi di saat jam sekolah sedang berlangsung
karena belum ada sistem koordinasi yang dibangun antara sekolah dan masyarakat terkait respon darurat.
111
Kedua, vulnerability kerentanan masyarakat dan sekolah SD Negeri di kawasan Merapi cukup tinggi
karena faktor lokasi dan infrastruktur sekolah yang berada di cakupan ancaman bahaya. Sekolah sebagai
aktivitas anak-anak usia rentan juga menjadi faktor pendukung
kerentanan sekolah.
Bagaimanapun sekolah mayoritas berisi kelompok rentan; anak-anak
dan perempuan yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri
terhadap situasi
darurat yang
terjadi. Sementara pengetahuan dasar tentang erupsi Merapi
dan standar penyelematan dasar bagi siswa belum cukup dimiliki oleh civitas sekolah. Prinsipnya adalah
ancaman bahaya belum menjadi kesadaran kolektif untuk membangun budaya aman. Meskipun tidak ada
konflik yang berarti di sekolah dan masyarakat terkait dengan pengurangan risiko bencana, tetapi keyakinan
masyarakat lokal tentang bahaya yang bersandar pada mitologi bisa menjadi kekuatan untuk mengurangi
paparan kerentanan
mereka. Kerentanan
sekolah meningkat jika ancaman bahaya erupsi terjadi pada
saat kegiatan belajar di sekolah sedang berlangsung. Ketiga,
Pemahaman capacity
kapasitas SD
Negeri Keningar 1 dan 2 dan ketersediaan alat-alat tools
mitigasi dan
kesiapsiagaan bencana
erupsi Merapi masih rendah. Meskipun komunitas sekolah
memahami tanda tanda dan dampak bahaya dan hidup bertahun-tahun
bersama bahaya
dan kesadaran
kerentanan yang mereka hadapi, tetapi kemampuan tersebut belum di gunakan oleh masyarakat dan
terutama sekolah untuk membangun konsep mitigasi dan kesiapsiagaan yang baik. Sekolah belum menyusun
112
standar keselamatan dasar bagi civitas sekolah dan terintegrasi
dengan kebijakan
desa. Manajemen
penyelenggaran SD Negeri Keningar 1 dan 2 di wilayah rentan
ini juga
masih sama
seperti manajemen
penyelenggaraan sekolah normal lainnya yang berada diwilayah risiko bencana rendah.
4.1.8. Analisis Dampak Risiko Bencana Erupsi