Kajian kesesuaian terumbu karang kawasan Pulau Putih untuk pengembangan Ekowisata di Kabupaten Tapanuli Tengah
KAJIAN KESESUAIAN TERUMBU KARANG KAWASAN
PULAU PUTIH UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA
DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH
LIDA’ARO NDRURU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Putih untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Tapanuli Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2009
: Lida’aro Ndruru
(3)
RINGKASAN
LIDA’ARO NDRURU : Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Putih untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Tapanuli Tengah. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan ZAIRION
Kawasan Pulau Putih memiliki ekosistem terumbu karang yang masih baik dan berpotensi untuk pengembangan ekowisata bahari, baik selam maupun
snorkelling. Daerah tersebut merupakan bagian dari rencana pemerintah
Kabupaten Tapanuli Tengah dalam mengembangkan Pulau Mansalar sebagai kawasan ekowisata.
Tujuan penelitian ini adalah (a) Mengidentifikasi potensi ekosistem terumbu karang di kawasan Pulau Putih, (b) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang bagi pengembangan ekowisata, (c) Mengestimasi nilai ekonomi wisata dan (d) Merumuskan strategi pengembangan ekowisata berdasarkan potensi terumbu karang di kawasan Pulau Putih, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Hasil survey terhadap kondisi terumbu Karang menggunakan metode line
intercept transect (LIT) menunjukkan bahwa kawasan Pulau Putih memiliki
kondisi terumbu karang dalam kategori "sedang". Dari 11 titik stasiun pengamatan terdapat 2 stasiun dalam kategori "baik" dan 9 stasiun lainnya dalam kategori ’’cukup”. Tutupan karang hidup yang terdiri dari Acropora dan Non-Acropora
berkisar antara 29.90% - 59.73% dengan rerata tutupan sebesar 41,71%.
Hasil analisis kesesuaian wisata menunjukan bahwa secara umum, kawasan Pulau Putih ’’sesuai” untuk pengembangan wisata, baik selam maupun
snorkelling. Namun terdapat beberapa stasiun yang tidak sesuai untuk jenis wisata tertentu karena dibatasi oleh faktor kedalaman. Berdasarkan nilai IKW, Stasiun P01 dan J02 merupakan lokasi penyelaman yang baik, dimana di lokasi tersebut memiliki nilai IKW yang tinggi dibandingkan dengan yang lain yaitu masing-masing 74.07%.
Kawasan Pulau Putih memiliki nilai Daya Dukung yang sangat tinggi. Untuk masing- masing jenis wisata diperoleh 157 orang/hari untuk wisata
snorkelling dan 156 orang/hari untuk wisata selam. Dengan demikian, Jumlah maksimum rata-rata perhari dapat ditampung di daerah tersebut sebanyak 313 orang.
Meskipun memiliki daya dukung yang sangat tinggi, akan tetapi dari sisi ekonomi, kawasan Pulau Putih memiliki nilai ekonomi sangat rendah, yaitu Rp.583.896.892,- per tahun atau dengan kata lain, nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang untuk wisata kawasan Pulau Putih sebesar Rp. 3 719 799,-. Nilai ekonomi tersebut diperoleh dari analisis travel cost method (TCM) yaitu suatu metode yang memperkirakan rata-rata permintaan kunjungan terhadap lokasi wisata kawasan terhadap suatu objek wisata.
Hasil penelitian menunjukan, indeks kesesuaian wisata sangat rendah dan hal ini merupakan representasi dari kondisi sumberdaya yang ada, maka langkah-langkah konservasi perlu ditingkatkan, karena kualitas sumberdaya terumbu karang merupakan modal utama wisata bahari. Promosi secara luas dan gencar dilakukan apabila kondisi sumberdaya sudah cukup menjanjikan kepuasan yang tinggi untuk berwisata.
(4)
Berdasarkan analisis SWOT, dihasilkan beberapa rencana strategi sebagai prioritas dalam pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Putih sebagai berikut : (a) Penetapan pemanfaatan kawasan secara tegas oleh pemerintah daerah terhadap pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang kawasan Pulau Putih, (b) Kebijakan pengelolaan wisata secara terpadu, (c) Mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan ekowisata sebagai upaya konservasi terumbu karang, (d) Meningkatkan upaya pemulihan ekosistem terumbu karang melalui pemberdayaan masyarakat, (e) Meningkatkan kerjasama antar pemerintah dengan pihak swasta dalam mengelola objek wisata kawasan Pulau Putih.
Kata kunci : Terumbu karang, ekowisata, selam, snorkeling, daya dukung, nilai
(5)
ABSTRACT
LIDA’ARO NDRURU: Suitability Study of Coral Reef of Pulau Putih Area for Ecotourism Development in Central Tapanuli Regency. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and ZAIRION.
The coral reef in Pulau Putih area used for marine tourism, both diving and snorkelling. This area is part of the government's plan of Central Tapanuli in developing the Pulau Mansalar areas as an ecotourism. The objective of this research are (a) Identify the potential for coral reef ecosystems in the Pulau Putih area, (b) Analyze the suitability and carrying capacity of coral reefs for tourism development, (c) Estimate the economic value of the tourism, (d) Create ecotourism development strategies. The survey using line intercept transect method, showed that Pulau Putih area have the condition of coral reef in the category of ’’medium" with the average coral coverage is 41.71%. The result of suitability tourism analysis showed that generally, Pulau Putih area is ‘’suitable” for marine tourism development, both diving and snorkelling, but several stations are not suitable because limited by waters depth. The Pulau Putih area has the carrying capacity for tourism is high. However, the economic value is very low trough the travel cost method analysis. The resulting strategy priorities based on SWOT analysis are : 1) Determination of the utilization of the area expressly by local governments on resource use of coral reefs ecosystem Pulau Putih area; 2) Policy of integrated tourism object management; 3) Optimize the ecotourism management and development as conservation effort of coral reef; 4) Increasing the restoration effort for coral reef trough community empowerment. 5) Increasing the cooperation between government and private to development of tourism object in Pulau Putih area.
Key words: Coral reef, ecotourism, snorkelling, diving, carrying capacity, economic value, management strategy
(6)
KAJIAN KESESUAIAN TERUMBU KARANG KAWASAN PULAU PUTIH UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA
DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH
LIDA’ARO NDRURU
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
(7)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(8)
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena oleh anugerahNya tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Segala informasi yang diperoleh melalui tesis ini diharapkan dapat bermanfaat dalam proses pembangunan terutama pengembangan pariwisata di Kabupaten Tapanuli Tengah. Ekowisata telah menjadi tren pariwisata bahari dan berkembang pesat saat ini seiring semakin banyaknya manusia yang ingin kembali ke alam (back to nature).
Penelitian ini berjudul Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Putih untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Tapanuli Tengah, dilaksanakan selama 2 bulan dibawah bimbingan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Ir. Zairion, M.Sc. Terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing yang telah memberikan arahan selama penelitian berlangsung hingga pada penulisan tesis ini.
Akhirnya, saya menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Bogor, November 2009
(9)
Penulis dilahirkan di Nias pada tanggal 21 September 1978. Pendidikan SMU diselesaikan pada tahun 1996 di sekolah SMU St. Xaverius Gunungsitoli Kabupaten Nias. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, program studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Universitas Riau Pekanbaru dan selesai pada tahun 2000.
Sejak tahun 2001, penulis bekerja sebagai staf pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias. Tahun 2006-2007, penulis aktif pada Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II). Tahun 2007 penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen Kela utan dan Perikanan, IPB Bogor dan Xiamen University Republik Rakyat China, melalui program COREMAP II ADB.
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……….. xii
DAFTAR GAMBAR ……….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ……… xv
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……… 1
1.2. Perumusan Masalah ……… 2
1.3. Tujuan Penelitian ……….. 3
1.4. Manfaat Penelitian ……….. 4
1.5. Kerangka Pemikiran ……… 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Terumbu Karang ……… 6
2.2. Ekowisata ………. 9
2.3. Ekowisata Bahari ……….. 12
2.4. Sistim Informasi Geografis (SIG) ……….. 14
2.5. Daya Dukung dan Kesesuaian Wisata ………. 15
2.6. Metode Biaya Perjalanan ……… 17
2.7. Analisis SWOT ……….. 18
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ……….. 19
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ………. 20
3.3. Pengumpulan Data ………. 20
3.4. Analisis Data ………. 25
3.4.1. Analisis data ekologis ………. 26
3.4.2. Analisis matriks kesesuaian wisata snorkeling dan selam ………. 28
3.4.3. Pemetaan kesesuaian wisata ………. 32
3.4.4. Analisis nilai daya dukung kawasan ……….. . 32
3.4.5. Analisis nilai ekonomi wisata ……… 34
3.4.6. Analisis rencana strategi untuk pengembangan ………. 35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ……….. 42
4.1.1. Kondisi umum wilayah kabupaten tapanuli tengah …. 42 4.1.2. Kondisi kawasan pulau putih ………. 46
4.2. Kondisi Lingkungan Perairan ……… 51
4.3. Kondisi Biofisik Sumberdaya ……… 53
4.3.1. Terumbu karang ……….. 53
4.3.2. Ikan karang ………. 62
(11)
4.5. Daya Dukung Kawasan ……… 78
4.6. Nilai Ekonomi Wisata ……… 81
4.7. Strategi Pengelolaan Kawasan Pulau Putih untuk Pengembangan Ekowisata ……….. 85
4.7.1. Sosial dan ekonomi masyarakat ………. 85
4.7.1.1. Persepsi masyarakat terhadap terumbu karang .. 90
4.7.1.2. Persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata ………. 91
4.7.2. Identifikasi faktor- faktor strategi internal ……… 93
4.7.3. Identifikasi faktor- faktor strategi eksternal ………….. 98
4.7.4. Perangkingan strategi ………. 102
4.7.5. Rencana strategi pengembangan ekowisata ………….. 103
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……… 108
5.2. Saran ……… 108
DAFTAR PUSTAKA ………. 108
(12)
xii
Halaman
1. Posisi geografis lokasi pengambilan contoh ……….. 19
2. Parameter kualitas lingkungan perairan yang diukur, metode dan alat yang digunakan ……….. 22
3. Daftar penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya ………... 23
4. Data yang dikumpulkan dalam analisisi biaya perjalanan …………. 25
5. Klasifikasi Indeks Shanon-Zar ………. 27
6. Klasifikasi Indeks Keseragaman –Daget ……….. 27
7. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling ……… 29
8. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam 31 9. Potensi ekologi pengunjung (k) dan luas area kegaiatan (lt) ………. 33
10. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap jenis wisata ………… 34
11. Penilaian bobot faktror strategis internal ……….. 36
12. Penilaian bobot faktor strategi eksternal ……… 37
13. Matrik internal faktor evaluatioan (IFE) ……… 38
14. Matrik external factor evaluation (EFE) ……… 39
15. Matrik SWOT ……… 39
16. Penyusunan rengking strategi – strategi analisis SWOT ……… 40
17. Rangking alternatif rencana strategi ……….. 41
18. Jumlah dan jenis kapal dan alat tangkap yang digunakan …………. 46
19. Fasilitas wisata bahari di Pulau Putih ……… 49
20. Kondisi parameter fisika dan kimia perairan di lokasi penelitian…… 51
21. Lebar hamparan karang di lokasi penelitian ………. 54
22. Persentase tutupan biota dan substrat di lokasi penelitian …………. 56
23. Komposisi karang keras (Acropora dan non Acropora) di kawasan penelitian ……….. 59
24. Indeks keragaman, keseragaman dan dominansi ikan karang ………. 66
25. Nilai parameter kesesuaian wisata snorkrling dan selam ………….. 71
26. Nilai indeks kesesuaian wisata untuk snorkeling ……….. 73
(13)
xiv
Halaman
1. Kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian ……… 5
2. Peta lokasi pengambilan contoh ………. 20
3. Diagram tahapan pelaksanaan penelitian ……… 21
4. Sebaran karang di lokasi penelitian ………. 55
5. Persentase tutupan karang hidup di lokasi penelitian ……….. 58
6. Persentase tutupan karang mati dan DCA ……… 59
7. Persentase tutupan alga di Lokasi Penelitian ……….. 60
8. Persentase tutupan biota lain di lokasi penelitian ……… 61
9. Persentase tututpan abiotik di lokasi Penelitian ……… 62
10. Jumlah kelimpahan individu ikan berdasarkan suku ………. 65
11. Jumlah family, genus dan kelimpahan ikan karang di masing- masing Stasiun penelitian ……… 65
12. Peta kesesuaian wisata snorkeling di kawasan Pulau Putih …………. 75
13. Peta kesesuaian wisata selam di kawasan Pulau Putih ………. 76
14. Kurva fungsi permintaan untuk wisata Pulau Putih ... 83
15. Karakteristik usia masyarakat sekitar ………. 85
16. Karakteristik pendidikan masyarakat sekitar ……….. 86
17. Karakteristik matapencaharian masyarakat sekitar ………. 88
18. Karakteristik pendapatan masyarakat sekitar ……….. 89
(14)
xiii
28. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Putih Tahun 2007
sampai 2008 ……….. 80
29. Koefisien regresi tingkat kunjungan wisatawan ke Pulau Putih ……. 81 30. Matriks formula arahan strategi pengembangan ekowisata di
kawasan Pulau Putih ………. 100 31. Ranking prioritas strategi pengembangan ekowisata di kawasan
(15)
xv
Halaman 1. Peta lokasi penelitian ……… 114 2. Kuisioner untuk analisis sosial ekonomi ………. 115 3. Persentase tutupan biota dan substrat ………. 121 4. Jenis-jenis ikan karang yang ditemukan di kawasan Pulau Putih ….. 122 5. Urutan kelimpahan jenis ikan karang yang ditemukan ……… 124 6. Regresi data tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan Pulau Putih … 125 7. Kurva fungsi permintaan untuk kawasan Pulau Putih ………. 127 8. Dokumentasi photo penelitian dan kondisi pariwisata di kawasan
(16)
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Tengah adalah Pulau Putih atau dikenal juga sebagai Pulau Putri. Pulau ini merupakan bagian dari 23 pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Mansalar dan berjarak ± 12 mil laut dari daratan sumatera menghadap Samudera Hindia. Secara administrasi, pulau tersebut termasuk dala m wilayah Desa Tapian Nauli I, Kecamatan Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kawasan Pulau Putih telah cukup lama dikenal sebagai salah satu alternatif tujuan wisata di Kabupaten Tapanuli Tengah dan sekitarnya. Selain potensi perikanan, wilayah tersebut memiliki daya tarik karena memiliki pesona bawah laut serta bentangan alam yang cukup indah, maka pengembangan daerah tersebut terutama ditujukan pada sektor pariwisata. Selain wisata pancing, terumbu karang merupakan daya tarik bagi pengunjung untuk melakukan kegiatan selam maupun
snorkelling yang merupakan bagian dari wisata bahari yang saat ini berkembang dan sangat digemari. Berdasarkan basemap terumbu karang LIPI, jumlah rataan terumbu karang di kawasan Pulau Putih yang mencakup Pulau Janggi dan Pulau Mansalar bagian timur memiliki luas total ± 156.34 ha.
Meskipun sudah dikenal sebagai objek wisata bahari dan dikelola oleh pihak swasta, jumlah pengunjung di kawasan Pulau Putih sangat minim dan cenderung menurun setiap tahun. Fasilitas pendukung wisata yang belum memadai serta akibat pengelolaan potensi sumberdaya yang belum optimal sangat mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke daerah tersebut, karena kualitas sumberdaya menjadi modal utama dalam pengembangan suatu ekowisata.
Dalam pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Pemerintah Daerah berencana mengembangkan kawasan Pulau Mansalar (Pulau Mursala) sebagai kawasan ekowisata, yaitu suatu bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Manifestasi dari kebijakannya adalah telah disusun suatu zonasi peruntukan lahan (darat dan laut) yang tertuang dalam master plan Pulau Mursala. Kawasan Pulau Putih merupakan bagian dari zonasi tersebut dan diperuntukan sebagai zona ekowisata bahari.
(17)
Pengelolaan kawasan Pulau Putih sebagai objek wisata belum memperhatikan prinsip konservatif, hal ini terlihat dari kondisi sumberdaya terumbu karang yang semakin memprihatinkan. Degradasi terumbu karang sebagai akibat dari kegiatan perikanan bersifat dekstruktif menjadi ancaman serius bagi pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut secara berkelanjutan. Maka pada tahun 2007 kebijakan pemerintah setempat telah menetapkan seluruh kawasan Pulau Mansalar sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) melalui Keputusan Bupati Tapanuli Tengah No.1421/DKP/2007 tentang kawasan konservasi laut daerah Tapanuli Tengah. Dalam pengelolaan KKLD tersebut, kawasan Pulau Putih ditetapkan sebagai zona inti yang dimaksudkan untuk menghindari pemanfaatan sumberdaya yang bersifat ekstraktif seperti kegiatan perikanan yang menjadi sumber utama penyebab kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut. Akan tetapi, wisata bahari tetap diperkenankan pada zona tersebut meskipun hal ini sangat kontradiktif dengan konsep zona inti yang bersifat ’’tertutup”.
Untuk mengembangkan kawasan Pulau Putih sebagai kawasan ekowisata, terutama dalam kaitannya dengan upaya Pemerintah Daerah saat ini dalam mengembangkan ekowisata di kawasan Pulau Mansalar, maka kebutuhan akan data dan informasi tentang kondisi (potensi) serta keberadaan sumberdaya alam saat ini sangat penting.
Selama ini belum ada kajian yang komprehensif mengenai kesesuaian wisata, daya dukung kawasan dan informasi ekonomi wisata terhadap potensi sumberdaya terumbu karang di kawasan tersebut. Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat menstimulasi stakeholders untuk mengoptimalkan dan mengelola sumberdaya terumbu karang bagi pembangunan khususnya sektor kepariwisataan di Kabupaten Tapanuli Tengah, yang pada akhirnya diharapkan mampu memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
1.2. Perumusan Masalah
Pengembangan kawasan Pulau Putih sebagai tujuan wisata, diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian masyarakat di sekitarnya tanpa
(18)
menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang merugikan kelangsungan dan kepentingan generasi yang akan datang.
Pengelolaan kawasan tersebut sebagai objek wisata akan memberikan manfaat besar jika dikelola dengan baik. Besar kecilnya manfaat yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya yang terkandung didalamnya. Ekosistem terumbu karang sebagai daya wisata mempunyai peranan penting dalam menentukan nilai ekonomi bagi peruntukan suatu kawasan sebagai objek wisata. Dengan demikian, potensi yang berhubungan dengan sumberdaya tersebut bagi peruntukan ekowisata perlu diketahui seperti potensi ekologi, daya dukung, dan kesesuaian sumberdaya terumbu karang bagi wisata bahari serta nilai ekonomi wisata. Informasi- informasi tersebut menjadi dasar pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata yang dapat mencapai tujuan sustainability dalam aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.
Dalam perkembangannya, kawasan Pulau Putih tidak hanya dimanfaatkan sebagai tujuan wisata, melainkan juga sebagai kawasan konservasi dalam pengelolaan KKLD yakni sebagai zona inti. Kondisi ini menimbulkan kontradiksi pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dalam dua kebijakan yang berbeda. Hal ini perlu dijadikan sebagai salah satu komponen dalam analisis SWOT untuk mendapatkan rumusan strategi dalam pengembangan kawasan Pulau Putih.
Kegiatan pariwisata memiliki arti penting bagi daerah Tapanuli Tengah sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah tersebut. Pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Putih akan lebih baik jika didukung dengan informasi tentang potensi yang ada.
Dari uraian tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam pelaksanaan penelitian ini yaitu:
(a) Belum diketahui dengan baik potensi sumberdaya terumbu karang kawasan Pulau Putih, tertutama untuk pemanfaatan ekowisata.
(b) Belum adanya kajian kesesuaian dan daya dukung terumbu karang untuk kegiatan ekowisata di kawasan Pulau Putih
(c) Belum diketahui seberapa besar nilai ekonomi wisata di kawasan Pulau Putih sebagai salah satu dasar pengembangan pariwisata
(19)
(d) Belum optimalnya pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk kegiatan ekowisata
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :
(a) Mengidentifikasi potensi ekosistem terumbu karang di kawasan Pulau Putih (b) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang bagi
pengembangan ekowisata
(c) Mengestimasi nilai ekonomi wisata
(d) Merumuskan strategi pengembangan ekowisata berdasarkan potensi terumbu karang di kawasan Pulau Putih.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : (a) Memberikan informasi bagi berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdaya
terumbu karang sebagai objek ekowisata .
(b) Sebagai arahan bagi pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan Pulau Putih sebagai kawasan pengembangan ekowisata di Kabupaten Tapanuli Tengah.
1.5. Kerangka Pemikiran
Salah satu potensi sumberdaya alam yang terdapat di kawasan Pulau Putih adalah ekosistem terumbu karang. Sumberdaya ini sanga t berpeluang untuk pengembangan kegiatan ekowisata bahari. Untuk mendukung rencana pengembangan kawasan ini sebagai bagian yang penting dari kawasan Pulau Mansalar yang direncanakan sebagai kawasan ekowisata, maka perlu tersedianya informasi ekologis, sosial dan ekonomi yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengelola kawasan tersebut sebagai kawasan yang bisa memberikan manfaat.
Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, maka ada dua pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan ekologi dan pendekatan sosial ekonomi. Pada pendekatan ekologi ini akan menganalisis kesesuaian wisata dan daya dukung terhadap potensi yang ada. berdasarkan informasi kondisi potensi kawasan, akan ditentukan areal kesesuaian wisata melalui pendekatan sistem informasi geografis
(20)
(SIG). Penzonasian ini dimaksudkan untuk mempermudah pengendalian, pemanfaatan serta pemeliharaan secara berkelanjutan sumberdaya yang ada di kawasan Pulau Putih dalam jangka panjang. Selain itu, untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan mengingat kawasan Pulau Putih tidak semua sesuai untuk kegiatan wisata.
Pendekatan sosial ekonomi akan menganalisis nilai ekonomi wisata melalui metode biaya perjalanan (TCM) dan analisis SWOT. Dari hasil analisis tersebut akan dirumuskan rencana strategi untuk pengembangan ekowisata berdasarkan potensi terumbu karang.
Secara skematis kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Kawasan
Pulau Putih
Analisis daya dukung kawasan
Potensi Terumbu Karang
-Travel cost method (TCM) -Analisis SWOT
• Potensi terumbu karang untuk ekowisata belum diketahui dengan baik
• Kajian kesesuian dan daya dukung terumbu karang utk pengemb.ekowisata ?
• Nilai ekonomi wisata ?
• Rencana Pengembangan ?
Pengembangan kawasan Pulau Putih
Aspek ekologi Aspek sosekbud
Pemanfaatan terumbu karang Analisis
SIG
- Analisis kesesuaian wisata - Penentuan areal kesesuaian
(21)
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Terumbu Karang
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Karang adalah hewan tak bertulang belakang termasuk dalam filum Coelenterata (hewan berrongga) atau Cnidaria, yang sangat sederhana berbentuk tabung, memiliki mulut yang di kelilingi oleh tentakel. Karang (coral) mencakup karang dari Ordo
scleractinia dan Sub kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa
(Veron 2000). Konstruksi terumbu karang yang dibentuk satu individu karang atau disebut polip karang memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm hingga yang sangat besar yaitu lebih dari 50 cm. Namun yang pada umumnya polip karang berukuran kecil. Polip dengan ukuran besar dijumpai pada karang yang soliter.
Berdasarkan pertumbuhannya (lifeform), Wood (1977) dan English et al.
(1994) mengelompokan karang batu menjadi beberapa bentuk/tipe, antara lain : 1. Bercabang (branching) yaitu bentuk atau type karang yang memiliki cabang
dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya (Wood 1997) dan (English et al. 1994). Karang bercabang banyak terdapat disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama pada bagian yang terlindung atau setengah terbuka, bentuk karang yang demikian biasanya dijadikan tempat berlindung bagi ikan- ikan karang. 2. Padat (massive) yaitu bentuk/type yang berbentuk seperti bola, ukurannya
bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah (English et al. 1994). Karang ini biasanya ditemukan disepanjang karang tepi terumbu dan bagian atas lereng terumbu yang dewasa serta belum terganggu atau rusak, karang ini dapat berperan sebagai perlindungan serta sebagai daerah pencarian makanan bagi ikan- ikan karang dan hewan lainnya (Wood 1977). 3. Kerak (encrusting) yaitu bentuk atau tipe karang yang tumbuh menutupi
permukaan dasar permukaan terumbu atau sering ditemukan merambat diatas permukaan biota karang massive yang sudah mati (English et al. 1994). Pertumbuhan karang ini menyerupai kerak dengan permukaannya yang kasar
(22)
dan keras serta berlubang- lubang kecil, karang ini banyak terdapat pada daerah yang terbuka atau berbatu terutama disepanjang tepi lereng terumbu, karang ini juga bersifat melindungi hewan-hewan kecil dan ikan karang (Wood 1977).
4. Meja (tabulate) yaitu bentuk atau tipe karang yang menyerupai meja dan dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang meja ini ditopang oleh sebuah batang yang terpusat dan bertumpu pada satu sisi membentuk sudut. 5. Daun (foliose) yaitu bentuk atau tipe karang yang tumbuh dalam bentuk
lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu. Dapat berukuran besar dan kecil serta membentuk lipatan yang melingkar (English et al. 1997).
Karang ini biasa ditemukan pada daerah lereng terumbu dan pada daerah yang terlindung. Sehingga dapat menjadi tempat berlindung bagi ikan karang dan biota lainnya.
6. Jamur (mushroom) yaitu bentuk atau tipe karang yang berbentuk oval, pipih dan liat dengan sekat-sekat yang beralur serentak dari sisinya dan bertemu pada bagian tengahnya sehingga menyerupai jamur (Wood 1977).
Karang lunak (soft coral), lebih dikenal dengan Alcyonaria merupakan salah satu jenis Coelenterata yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan fisik terumbu karang, dengan tubuh yang lunak dan kokoh, tubuh Alcyonaria
lentur dan tidak mudah putus. Tubuh Alcyonaria lembek tetapi disokong oleh sejumlah besar duri-duri yang kokoh, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga tubuh Alcyonaria lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri ini mengandung kalsium karbonat yang disebut spikula (Manuputy 1986).
Karang lunak ini dikenal dengan tekstur tubuhnya yang lunak dan tertanam dalam masa gelatin, biasanya hidup didaerah pasang surut terendah yang aman terhadap kekeringan dan selalu berada pada perairan yang jernih dan mengandung sedikit sekali endapan. Koloni bercabang biasanya melekat pada substrat yang keras. Kerangka tubuh karang lunak bersifat endoskeleton dan tidak menghasilkan kerangka kapur yang radial tetapi dalam bentuk spikula yang terpisah pisah dan berkapur. Sedangkan karang batu menghasilkan kerangka kapur yang radial dalam bentuk kristal aroganit dan bersifat eksoskleton (Manuputy 1986).
(23)
Perairan ekosistem terumbu karang kaya akan keragaman species penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman species adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu, dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang dapat ditemui (Dahuri et al. 1996). Lebih lanjut di katakan, selain mempunyai fungsi ekologis yakni sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi berbagai biota. Terumbu karang juga menghasilkan beberapa produk yang mempunyai nilai ekonomi yang penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara.
Ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor lingkungan laut seperti cahaya, gelombang, arus, salinitas suhu, sedimentai, ketersediaan makanan (nutrien), pasang surut, dan tipe substrat. Tingkat kejernihan air dipengaruhi oleh partikel tersuspensi antara lain akibat dari pelumpuran dan ini akan berpengaruh terhadap jumlah cahaya yang masuk ke dalam laut, sementara cahaya sangat diperlukan oleh zooxanthella untuk melakukan fotosintetik, dimana hidup di dalam jaringan tubuh binatang pembentuk terumbu karang (Veron 1995).
Parameter lingkungan sangat menentukan kehidupan terumbu karang (Nybakken 1992), antara lain :
(a) Suhu
Terumbu karang tumbuh secara optimal pada suhu 230 - 250C, dan dapat mentolerir suhu sampai kira – kira 360 - 400C, tetapi tidak dapat bertahan pada suhu minimum tahunan dibawah 180C
(b) Kedalaman
Kebanyakan terumbu karang hidup pada kedalaman hingga 2 5 meter atau kurang, dan tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam dari 50 – 70 meter. Kedalaman berhubungan erat dengan cahaya matahari yang dapat masuk ke perairan.
(c) Cahaya
Parameter ini menjadi faktor pembatas kehidupan terumbu karang karena dibutuhkan oleh zooxanthella untuk berfotosintesis. Zooxanthella adalah sejenis tumbuhan yang berasosiasi dalam tubuh hewan karang. Selain itu
(24)
zooxanthella memberikan warna yang indah pada terumbu karang, hal ini menjadi daya tarik sebagi objek wisata selam dan snorkelling.
(d) Salinitas
Karang hanya dapat hidup pada salinitas normal air laut, yaitu pada kisaran 32 – 35 0%. Diluar kisaran tersebut, pertumbuhan karang dapat terganggu dan bisa mengakibatkan kematian hewan karang.
(e) Pengendapan
Adanya pengedapan akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian makan karang, dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan. (f) Gelombang
Tidak adanya gelombang dan arus memungkinkan terjadinya pengendapan di terumbu karang, selain itu juga suplai makanan (plankton) dan air segar yang kaya oksigen jadi berkurang.
Degradasi terumbu karang disebabkan oleh dua penyebab utama yaitu faktor alam dan akibat kegiatan manusia. Faktor alam umumnya disebabkan oleh gangguan alam seperti predator dan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, pemanasan global, banjir, serta bencana alam lainnya seperti El-Nino sedangkan degradasi terumbu karang yang disebabkan akibat Kegiatan manusia antara lain: (1) penambangan dan pengambilan karang, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metode yang merusak, (3) penangkapan yang berlebih, (4) pencemaran perairan, (5) kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) kegiatan pembangunan di wilayah hulu (Westmacott et al. 2000).
Ekosistem terumbu karang tersebar luas diseluruh perairan Indonesia termasuk di pantai barat sumatera. Berdasarkan hasil monitoring CRITC-COREMAP II-LIPI (2007), Perairan Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki tutupan karang hidup berkisar 9%-71,73% dan terdapat 109 jenis karang batu yang termasuk dalam 16 suku, 245 jenis ikan karang dengan 33 suku pada seluruh perairan wilayah Coremap II Kabupaten Tapanuli Tengah.
2.2. Ekowisata
Secara konseptual, ekowisata dapat didefenisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung
(25)
upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Dirjen Pariwisata 1995 in Sembiring et al.
2004). Selanjutnya disebutkan bahwa Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) pada tahun 1977 mendefinisikan ekowisata sebagai suatu kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar daerah tujuan ekowisata.
Ekowisata pertama sekali diperkenalkan tahun 1990 oleh organisasi the international ecotourism society (TIES). Ecotourism atau ekowisata didefinisikan sebagai perjalana n wisata ke wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonservasi atau menyelamatkan lingkungan dan memb eri penghidupan penduduk lokal (Linberg dan Hawkins 1993 in Yulianda 2007). World conservation union (WCU), menyatakan bahwa ecotourism adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partisipasi penduduk lokal.
Menurut Bruce et al. (2002) ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindunga n sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata adalah wisata yang berbasis pada memperbolehkan orang untuk menikmati lingkungan alam dalam arah yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Konsep pengelolaan ekowisata tidak ha nya beriorientasi pada keberlanjutan tetapi lebih dari pada itu yaitu mempertahankan nilai sumberdaya dan manusia. Agar nilai- nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau
(26)
kawasan melainkan filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar (Yulianda 2007).
Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan (Fandeli 2000; META 2002 in Yulianda 2007) :
(a) Wisata alam (nature tourism), merupakan aktifitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.
(b) Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. (c) Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan
wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.
Berbeda dengan industri tourism umumnya, ecotourism memerlukan sentuhan manajemen spesifik agar dapat mencapai tujuan sustainability dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Fokus manajemen ecotourism adalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya yang tidak tergantikan
(irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan untuk
generasi mendatang. Konflik kepentingan akan mudah timbul antara aspek ekonomi dan ekologi pada suatu sumberdaya. Manfaat bagi generasi mendatang masih banyak yang belum terhitung (tangible), misalnya fungsi keanekaragaman hayati atau manfaat flora tertentu bagi ilmu pengetahuan pada sumberdaya hutan. Manfaat ini akan mudah dikorbankan oleh alasan ekonomi dalam suatu manajemen ecotourism yang tidak hati- hati. Oleh karena itu, manajemen
ecotourism mementingkan proses pendidikan terkait dengan upaya-upaya
konservasi lingkungan. Hasilnya diharapkan dapat membangun kesadaran dan mengembangkan perilaku yang signifikan untuk meningkatkan investasi (natural, social, and economic capital) (Nugroho 2004).
Ceballos dan Lascuarin (1997) in Dirawan (2003) menyatakan bahwa ekowisata sebagai suatu bagian logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan berbagai disiplin dan perencanaan yang hati hati (baik secara fisik maupun pengelolaannya). Selanjutnya disebutkan bahwa, sebaiknya,
(27)
perkembangan wisata menerapkan konsep ekowisata. Hal ini disebabkan karena ekowisata dapat dikatakan bukan hanya sebagai salah satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan.
Ekowisata mampu memberikan kontribusi secara langsung melalui konservasi, yang artinya: (1) Mendapatkan dana untuk menyokong kegiatan konservasi dan pengelolaan lingkungan, termasuk didalamnya penelitian untuk pengembangan, (2) Pengunjung/wisatawan membantu dalam usaha perlindungan dengan memberikan informasi atas kegiatan ilegal dan membantu dalam memformulasikan semacam “buku petunjuk” pengunjung selama melakukan kunjungan atau berwisata. Secara tidak langsung kontribusi ekowisata melalui konservasi adalah : (1) Meningkatnya kesadaran publik terhadap konservasi pada tingkat lokal, internasional, (2) Pendidikan konservasi selama berwisata menjadi bagian pengalaman yang terbentuk selama wisatawan ber-ekowisata, yaitu dengan melibatkan wisatawan secara langsung terhadap kegiatan pelestarian sekaligus meningkatkan kualitas produk ekowisata yang ditawarkan (Omarsaid 1999). 2.3. Ekowisata Bahari
Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan : (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung system kehidupan, (2) melindungi keanekaragaman hayati, (3) menjamin kelestaian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya dan (4) memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian suatu konsep pengembangan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata (Yulianda 2007) meliputi :
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penaggulangan disesuaikan dengan sifat dan karekter alam dan budaya setempat.
(28)
2. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi.
3. Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.
4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.
5. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.
6. Menjaga keharmonisan dengan alam; kegitan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.
7. Daya dukung sebaga i batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
8. Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat).
Konsep wisata bahari didasarkan pada pemandangan, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya, dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing- masing daerah. Kegiatan wisata ada yang memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan secara langsung dan tidak langsung (Nurisyah 2001). Jenis-jenis wisata yang memanfaatkan wilayah pesisir secara langsung antara lain : Berperahu, berenang, snorkelling, menyelam dan pancing, sedangkan yang tidak langsung seperti kegiatan olahraga pantai, piknik menikmati atmosfir laut.
Objek ekowisata bahari dapat dikelompokkan berdasarkan komoditi, ekosistem dan kegiatan. Objek komoditi terdiri dari potensi spesies biota laut dan material non hayati yang mempunyai daya tarik wisata. Objek ekosistem terdiri dari ekosistem pesisir yang mempunyai daya tarik habitat dan lingkungan dan objek kegiatan merupakan kegiatan yang terintegrasi di dalam kawasan yang mempunyai daya tarik wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olah raga, menikmati pemandangan dan iklim. Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut seperti selam,
snorkelling, selancar, jet ski, perahu kaca, wisata lamun, wisata satwa dan sebagainya (Yulianda 2007).
(29)
Tantangan dalam pengembangan wisata bahari adalah memanfaatkan terumbu karang yang ada secara berkelanjutan tanpa menimbulkan dampak– dampak yang merugikan. Hal ini penting karena kegiatan wisata bahari pada hakekatnya memadukan dua sistem, yaitu kegiatan manusia dan ekosistem laut dari terumbu karang. Adanya kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada sumberdaya alam, diantaranya terumbu karang, dan apabila terjadi kerusakan akan menurunkan mutu daya tarik pariwisata di Indonesia (Yulianda 2003).
Selanjutnya, penataan kawasan ekowisata bahari yang memperhatikan prinsip konservasi ditujukan untuk mempertahankan keseimbangan alam. Sistem zonasi merupakan suatu upaya untuk melindungi sumberdaya alam dan mempermudah pelaksanaan pengelolaan. Zonasi ekowisata bahari dapat ditentukan sebagai zona inti, zona khusus, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Penentuan zonasi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor ekologi, sosial dan ekonomi. Faktor ekologi yang dipertimbangkan adalah keberadaan satwa yang dilindungi dan kerentanan habitat/ekosistem serta tingkat ancaman kerusakan. Faktor sosial mempertimbangkan kegiatan masyarakat dan pengunjung serta gangguan yang ditimbulkannya. Faktor ekonomi yang dipertimbangkan berupa nilai manfaat yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan (Yulianda 2003).
Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika. Selain itu terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi perhatian bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai obyek penelitian (Dahuri 2003).
2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan data spasial (Prahasta 2005).
SIG bukanlah suatu sistem yang semata- mata berfungsi untuk membuat peta tetapi merupakan alat analitik (analytical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Hampir semua bidang ilmu yang bekerja
(30)
dengan informasi keruangan memerlukan SIG, diantaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan dan transportasi (Jaya 2002).
Sehubungan dengan pemanfaatan SIG dalam bidang pariwisata, Aronnof (1993) in Sigabariang (2008) menyatakan bahwa pemetaan zona kegiatan wisata pesisir dengan SIG ini tentu akan sangat membantu pemerintah daerah dalam menyusun rencana pengembangan wisata pesisir di wilayahnya. Penerapan teknologi SIG biasa menjadi salah satu alternatif untuk pengembangan potensi daerah yang terkait dengan wilayah pesisir, yakni ekowisata pesisir.
2.5. Daya Dukung dan Kesesuaian Wisata
Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka perlu penentuan daya dukung kawasan (DDK) yaitu jumlah maksimal pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia (Yulianda 2007).
Analsisis daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalsis jumlah maksimum wisatawan yang diperbolehkan melakukan kegiatan wisata bahari disuatu kawasan, dalam hal ini kawasan ekosistem terumbu karang, tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Gangguan keseimbangan ini diakibatkan oleh kerusakan biophisik ekosistem secara langsung dan tidak langsung, misalnya melalui pencemaran. Berdasarkan sumber gangguan ekosistem tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kawasan objek wisata (ekosistem) yang rentan terhadap kerusakan langsung dan pendekatan maksimum beban limbah (Orams 1999).
McNeely et al. (1992) menyatakan bahwa daya dukung wisata merupakan tingkat pengunjung yang memanfaatkan suatu kawasan wisata dengan perolehan tingkat kepuasan yang optimal dengan dampak terhadap sumberdaya yang minimal. Konsep ini meliputi dua faktor yang utama yang membatasi perilaku pengunjung berkaitan dengan daya dukung, yaitu : (1) kondisi lingkungan dan (2) kondisi sosial budaya masyarakat.
Daya dukung wisata menunjukan tingkat maksimum pengunjung yang menggunakan dan berhubungan dengan infrastruktur yang dapat ditampung suatu
(31)
wilayah. Jika daya dukung melampaui, akan mengakibatkan kemerosotan sumberdaya di wilayah, mengurangi kepuasan pengunjung dan atau berdampak merugikan pada aspek sosial, ekonomi. Pengertian daya dukung wisata saat ini meliputi empat komponen dasar yaitu biofisik, sosial budaya, psikologi dan manajerial (Angamanna 2005).
Hawkins dan Roberts (1997) merekomendasikan sebanyak 5000 – 6000 penyelam per lokasi setiap tahun dapat digunakan untuk menduga daya dukung kawasan Daerah Perlindungan Laut untuk mendukung wisata selam dan
snorkelling, tergantung pada jumlah lokasi penyelaman yang dapat digunakan. Selanjutnya, Dixon et al. (1993) menyarankan batas jumlah maksimum sebanyak 4000 – 6000 penyelam per lokasi per tahun, sebelumnya dimana penyelaman menyebabkan perubahan kerusakan pada struktur komunitas karang di Taman Laut Bonaire Karibia. Diasumsikan 300 hari per tahun penyelaman pada lokasi tertentu, angka rekomendasi dari Dixon et al. (1993) dan Hawkins dan Roberts (1997) menyetarakan 13 – 20 penyelam per lokasi selam per hari. Dengan asumsi waktu yang baik untuk penyelaman dalam sehari 8 jam, maka didapat 2 orang penyelam per lokasi perjam.
Kesesuaian ekologi ekowisata bahari adalah suatu kriteria sumberdaya dan lingkungan yang disyaratkan/dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata bahari (Yulianda 2007). Dalam pengembagan ekowisata yang berbasis pada ketersedian potensi sumberdaya hayati suatu kawasan sangat ditentukan oleh kesesuaian secara ekologis. Untuk wisata bahari seperti wisata selam dan snorkelling sangat didukung oleh kesesuaian ekosistem terumbu karang yang sehat dan berada dalam kondisi yang bagus, yang akan menjadi objek dan daya tarik yang diincar oleh wisatawan.
Kesesuaian kondisi ekosistem terumbu karang untuk kegiatan wisata bahari meliputi kesesuaian wisata selam dan wisata snorkelling. Kriteria yang dipakai untuk wisata selam adalah : kecerahan perairan, tutupan komonitas karang, jenis lifeform karang, keragaman jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang (Yulianda 2007).
Kriteria kesesuaian kawasan ekosistem terumbu karang untuk wisata
(32)
lifeform, keragaman jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan terumbu karang (Yulianda 2007).
2.6. Metode Biaya Perjalanan (TCM)
Nilai ekonomi merupakan sebuah pengukuran tentang berapa jumlah maksimum seseorang mau melepaskan suatu barang atau jasa untuk mendapatkan barang atau jasa yang lain (Lipton et al. 1995 in Prihatna 2007). Dalam pandangan ekonomi pada umumnya, nilai ekonomi diukur dari harga pasar (market price). Menurut Brookshire et al. (1980) in Prihatna (2007) harga merupakan indikator nilai yang benar bagi sebuah perubahan kecil (yang disebut oleh ekonomi sebagai margin). Namun ini hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu. Secara umum, bagi perubahan kecil dan besar terhadap suatu sumberdaya alam atau kawasan, indikator untuk menentukan nilai ekonomi yang benar adalah kemauan membayar seseorang (willingness to pay) atau kemauan menerima (willingness to accept) seseorang atas suatu barang/jasa.
Metode Biaya Perjalanan (travel cost method, TCM) merupakan metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value) dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar (non
market good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada
suatu tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalam bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat (Lipton et al. 1995 in Prihatna 2007).
Terdapat tiga kelompok dasar dari Travel Cost Model yaitu : (1) Zona Travel CostModel yaitu memperkirakan rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata dari berbagai zona asal pengunjung; (2) Individual Travel Cost Model yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata, dalam pendekatan ini, pengunjung dikelompokkan berdasarkan pengeluaran; dan
(3) Discrete Choice Travel Cost yaitu untuk mengestimasi kunjungan wisata
berdasarkan pilihan diskret apakah akan mengunjungi satu lokasi wisata atau tidak (Grigalunas et al. 1998 in Prihatna 2007).
(33)
2.7. Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strength Weaknesses Opportunities Threats) adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats)
(Rangkuti 1997).
Dalam mengusahakan ekowisata di suatu tempat perlu dilakukan analisis SWOT. Yang sangat penting dikenali adalah keadaan (keindahan, daya tarik) yang spesifik atau unik dan obyek wisata yang bersangkutan. Selanjut nya prasarana apa yang tersedia ; lancar/tidak lancar, nyaman/tidak nyaman, sudah lengkap/masih harus diadakan atau dilengkapkan dan sebagainya. Tersedianya sumberdaya manusia yang terlatih maupun yang dapat dilatih, berhubungan dengan tingkat pendidikan dan budaya masyarakatnya (Fandeli et al. 2000).
Lundberg et al. (1997) menjelaskan bahwa proyek-proyek kepariwisataan harus dilaksanakan setelah ditentukan tujuan dan sasaran-sasaran strategis. Suatu strategi adalah suatu rencana yang direkayasa untuk menyelasikan suatu misi. Misi itu harus direncanakan dalam parameter-parameter strength (S, kekuatan) dan weakness (W, kelemahan) dari organisasi kepariwisataan, opportunities (O, kesempatan) dan threats (T, ancaman) dalam lingkungan. Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasikan strategi yang perlu dikembangkan dalam rangka pengusahaan ekowisata. Dalam penyusunannya dipertimbangkan berbagai kondisi internal lokasi, yaitu strength dan weakness serta kondisi eksternal, yaitu
opportunity dan threat. Analisis SWOT ini dirumuskan berdasarkan hasil studi pustaka, wawancara dan pengamatan langsung dilapangan. Selanjutnya hasil analisis ini dipakai sebagai dasar untuk menyusun strategi dan operasionalisasi pengusahaan ekowisata (Inhutani IV 1996).
(34)
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan perairan Pulau Putih, Desa Tapian Nauli I, Kecamatan Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Lampiran 1). Pelaksanaan penelitian berlangsung selama 2 bulan yaitu pada Bulan Mei sampai Juni 2009.
Lokasi pengambilan data biofisik dilakukan di perairan Pulau Putih, Pulau Janggi dan Pulau Mansalar bagian timur dengan jumlah titik sampling sebanyak 11 stasiun. Penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja (pusposive sampling) yang didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi stasiun yang dipilih dapat mewakili perairan kawasan Pulau Putih secara keseluruhan. Selain itu juga, berdasarkan pengamatan visual untuk melihat penyebaran tutupan karang di daerah penelitian sehingga dapat ditentukan daerah yang tepat untuk dijadikan titik stasiun atau lokasi pengamatan (Tabel 1 dan Gambar 2).
Terdapat 5 stasiun dipilih di pantai timur Pulau Mansalar, 3 diantaranya merupakan titik dasar CRITC COREMAP II-LIPI, sedangkan 2 stasiun lainnya dilakukan diantaranya untuk mewakili daerah di sekitarnya. 4 stasiun ditentukan di perairan Pulau Putih yang mewakili bagian barat, timur, utara dan selatan dan 2 titik stasiun dipilih pada perairan Pulau Janggi yang dapat mewakili bagian barat dan timur perairan pulau tersebut.
Tabel 1. Posisi geografis lokasi pengambilan contoh
Lokasi Stasiun Posisi Geografis Keterangan
Latitude Longitude
Pulau Putih P01 1°38'35.335" 98°35'49.862"
P02 1°38'44.197" 98°35'40.804"
P03 1°38'50.942" 98°35'51.596"
P04 1°38'48.197" 98°35'59.537"
Pulau Mansalar M01 1°36'39.168" 98°36'23.472" *
bagian timur M02 1°37'36.163" 98°36'23.868"
M03 1°38'25.692" 98°35'46.392" *
M04 1°39'12.158" 98°35'10.029"
M05 1°39'42.048" 98°35'23.641" *
Pulau Janggi J01 1°38'34.465" 98°36'10.830"
J02 1°38'32.841" 98°36'30.634"
(35)
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
Ada beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah peta dasar (basemap) yang sudah didigitasi, perahu bermotor, peralatan SCUBA diving, kamerabawah air,global positioning system (GPS), roll meter 70 m, palu (martil), Alat tulis dan kertas tahan air ukuran A4, waterpass, secchi disc, termometer, refraktometer dan floating drouge.
3.3. Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui pengukuran, pengamatan, dan wawancara yang secara garis besar meliputi kondisi ekosistem, sosial budaya dan ekonomi masyarakat.
(36)
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran terhadap laporan hasil- hasil penelitian dan hasil kegiatan di lokasi yang sama, publikasi ilmiah dan data dari instansi terkait. Pengumpulan data skunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti laporan hasil survey dan publikasi lainnya serta peta-peta yang tersedia.
Proses pelaksanaan penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram tahapan pelaksanaan penelitian Identifikasi dan
perumusan masalah
Sosial,Ekonomi,Budaya: •Demografi
•Pariwisata
•Perikanan,
•perhubungan
Parameter lingkungan: • Suhu
• Salinitas
• Kecerahan
• Kecepatan Arus
• Kedalaman
Ekosistem T.Karang : • Tutupan komunitas
karang
• Jenis lifeform
• Kelimpahan ikan karang
Pengolahan dan Analisis Data
-Analisis tutupan karang & ikan karang -Analisis dan areal
kesesuaian wisata serta daya dukung kawasan
-Analisis ekonomi -Analisis SWOT
Deskripsi hasil Variabel Penelitian
Pengumpulan Data (primer dan sekunder)
Kajian pustaka
Penarikan kesimpulan
(37)
1. Parameter kualitas lingkungan perairan
Data kualitas lingkungan perairan yang diperlukan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Table 2.
Tabel 2. Parameter kualitas lingkungan perairan yang diukur dan alat yang digunakan
No. Jenis data Alat Satuan Keterangan
Kualitas lingkungan perairan
1. Kecepaten arus Floting drauge m/det In situ
2. Kecerahan Secchi disc (%) In situ
3. Kedalaman Tali dan Meteran Meter In situ 4. Salinitas Refraktometer (%o) In situ
5. Suhu Termometer (oc) In situ
Karakteristik pantai
6. Kemiringan pantai waterpass (o) In situ
2. Lifeform komunitas karang
Dalam melakukan identifikasi komunitas karang menggunakan metode line intercept transect (LIT). mengikuti English et al. (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Tekhnis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan meteran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada disebelah kiri penyelam. LIT ditentukan pada garis transek 0-10 m, 30-40 m, 60-70 m. Kemudian dilakukan pencatatan karang yang berada tepat digaris meteran dengan ketelitian hingga sentimeter.
Identifikasi biota pengisi habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (lifeform) yang memiliki kode-kode identifikasi yang mengacu pada English et al. (1997) seperti yang tersaji pada Tabel 3.
(38)
Tabel 3. Penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya
Kategori Kode Keterangan
Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau
putih kotor
Dead Coral with Alga DCA Karang ini masih berdiri, struktur
skeletal masih terlihat
Acropora Branching ACB Bercabang , memiliki axial dan
radial oralit.
Encrusting ACE Biasanya merupakan dasar dari
bentuk Acropora belum dewasa
Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji
Digitate ACD Bercabang tidak lebih dari 2o
Tabulate ACT Bentuk seperti meja datar
Non Acropora
Branching CB Bercabang dan memiliki radial oralit.
Encrusting CE Sebagian besar terikat pada substrat
(mengerak).
Foliose CF Karang terikat pada satu atau lebih
titik, seperti daun, atau berupa piring.
Massive CM Seperti batu besar atau gundukan
Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau
baji.
Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari
genera
Heliopora CHL Karang biru
Millepora CML Karang api
Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil
Soft Coral SC Karang bertubuh lunak
Sponge SP Bertubuh lunak, terlihat dalam
berbagai bentuk seperti tabung, vas, pipih, membulat.
Zoanthids ZO Seperti anemone tetapi lebih kecil,
biasanya hidup sendiri/koloni seperti hewan kecil menempel pada
substratum seperti platythoa
Others OT Ascidians, anemon, gorgonian, dan
lain-lain Alga
(Bed Algae)
Alga assemblage AA Lebih kecil dari satu spesies yang agak sulit diperuntukkan
Coralline alga CA Dinding tubuh mengandung kapur
Halimeda HA Alga dari genus Halimeda
Macroalga MA Berbagai jenis alga, alga coklat,
hijau, dan merah
Turf alga TA Alga halus berspiral lebat
Abiotik Sand S Pasir
Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil
Silt SI Pasir berlumpur
Water W Air
Rock RCK Batu
(39)
3. Ikan karang
Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode underwater visual census (UVC). Ikan- ikan yang dijumpai pada jarak 2.5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenis dan jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5 x 70 ) = 350 m2
Spesies ikan yang didata dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama (English et al. 1997), yaitu :
(a) Ikan- ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan- ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning),
Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol);
(b) Ikan- ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan- ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe); (c) Ikan- ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5–25 cm,
dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya dit emukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan- ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh famili
Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae, dan Blenniidae (ikan peniru).
Identifikasi jenis ikan karang mengacu pada buku identifikasi ikan karang dari Kuiter et al. (2001).
4. Sosial, ekonomi dan budaya
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara dengan responden (interview). Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi lokasi penelitian, kondisi sosial ekonomi dan persepsi atau pemahaman masyarakat dan Pemerintah Daerah tentang pengelolaan Pulau Putih sebagai kawasan ekowisata. Pengambilan
(40)
sampel dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa responden adalah individu, masyarakat dan staf dinas yang mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan baik langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan ekowisata di daerah setempat.
Pengumpulan data primer dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Adapun data yang dikumpulkan meliputi :
(a) Data ekonomi masyarakat seperti mata pencaharian, tingkat pendapatan (b) Data sosial dan budaya meliputi : tingkat pendidikan, sarana dan prasarana
perikanan, sistem kekerabatan masyarakat, kepariwisataan, dan perhubungan. Penarikan sampel (responden) dalam memperoleh data biaya perjalanan dilakukan dengan pendekatan Accidental sampling yaitu peneliti mengambil sampel secara kebetulan tanpa memperhatikan jumlah sampel. Jenis data yang dikumpulkan seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Data yang dikumpulkan dalam analisis biaya perjalanan
Data yang dibutuhkan Jenis data
1. Jumlah pengunjung ke lokasi per musim atau per tahun Data sekunder 2. Biaya perjalanan pengunjung Data primer 3. Pendapatan rumah tangga Data primer
4. Umur Data primer
5. Pendidikan Data primer
6. Jumlah rombongan Data primer
7. Tanggungan keluarga Data primer
8. Lain- lain (faktor yang mempengaruhi demand) Data primer
4.1. Analisis Data
Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dan kuantitatif, baik dari sumber primer maupun sekunder. Data yang dikumpulkan dari lapangan merupakan gugus data mentah (row data). Sebelum proses tabulasi, akan dilakukan pengkodean dan pengeditan yang dilanj utkan dengan analisis data dengan model kualitatif dan kuantitatif.
(41)
4.1.1. Analisis data ekologis a. Persentase tutupan karang
Persen penutupan karang berdasarkan pada kategori dan persentasi karang hidup (lifeform), semakin tinggi persen penutupan karang hidup maka kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik, dan semakin penting pula untuk dilindungi. Data persen penutupan karang hidup yang diperoleh berdasarkan metode line intersept transect (LIT) dihitung berdasarkan persamaan yakni :
? ? ? ??
? ? ? ? ? ?
Keterangan : Ni = persen penutupan karang
li = panjang total lifeform / jenis ke-i L = panjang transek (70 m)
Data kondisi penutupan terumbu karang yang diperoleh dari persamaan di atas kemudian dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988) yaitu :
a. 75 - 100 % = sangat baik b. 50 - 75 % = baik c. 25 - 50 % = sedang d. 0 - 25 % = rusak b. Jenis dan keragaman ikan karang
Keragaman jenis ikan karang berdasarkan hasil pengamatan yang diidentifikasi dengan pedoman yang ada. Sedangkan kelimpahan jenis ikan karang dihitung dengan menggunakan rumus:
n
X
∑
=
=n i
i
1
x
Keterangan: X = kelimpahan ikan
?xi = jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke- i
n = luas terumbu karang yang diamati (m2)
Keanekaragaman ikan karang dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) (Shanon 1948; Zar 1996) dan indeks kemerataan Pielou’s index = J’ (Pielou 1996; Zar 1996).
? ?? ? ? ? ? ?? ? ?
?
(42)
Keterangan : pi = ni/N
ni = frekuensi kehadiran jenis i
N = frekuensi kehadiran semua jenis
J’ = (H’/H’max) Keterangan : H’ = ln S
S = jumlah jenis Tabel 5. Klasifikasi indeks Shanon – Zar
Nilai Indeks (H`) Kriteria
< 1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap jenis rendah, kestabilan komunitas rendah, tekanan ekologi besar
1 – 3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang, kestabilan komunitas sedang, tekanan ekologi sedang
> 3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi, kestabilan komunitas tinggi, tekanan ekologi rendah
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 sampai 1. Makin kecil nilai E menunjukkan penyebaran individu tiap spesies/genera tidak sama dan ada kecenderungan bahwa satu genus mendominasi populasi tersebut (Tabel 6). Semakin besar nilai keseragaman maka populasi akan menunjukkan keseragaman yaitu jumlah individu setiap spesies/genera dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda (Odum 1971).
Penilaian keseragaman ikan karang menggunakan kisaran yang dinyatakan oleh (Daget 1976) .
Tabel 6. Klasifikasi indeks keseragaman–Daget
Nilai Indeks Keseragaman (E) Kondisi Komunitas 0.00 – 0.50 Tertekan/Rendah 0.51 – 0.75 Labil/Sedang 0.75 – 1.00 Stabil/Tinggi
(43)
Nilai dominansi dihitung dengan menggunakan rumus :
D ? ? ?? ?
?
?
? ?
?? ?
Keterangan :
D = indeks Dominansi Simpson ni = jumlah individu ke- i
N = jumlah total individu S = jumlah spesies/genera i = 1,2,3...,S
Kisaran nilai indeks dominansi adalah 0 – 1, jika nilainya mendekati 0 (0 – 0.50) berarti hampir tidak ada spesies/genera yang mendominasi dan apabila nilai indeks dominansi mendekati 1 (0.51 – 1) berarti ada salah satu spesies/genera yang mendominasi populasi (Odum 1971).
3.4.2. Analisis matriks kesesuaian wisata snorkelling dan selam
Kegiatan wisata bahari yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya. Setiap kegiatan wisata bahari mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan objek wisata yang akan dikembangkan. Analisis kesesuaian pemanfaatan wisata bahari berbasis konservasi mencakup penyusunan matriks kesesuaian setiap kategori ekowisata bahari yang ada pada setiap stasiun pengamatan, pembobotan dan pengharkatan, serta analisis indeks kesesuaian setiap kategori wisata bahari.
Penentuan kriteria, pemberian bobot dan skor ditentukan berdasarkan hasil studi empiris dan justifikasi para ahli (expert) yang berkompeten dibidang ekowisata bahari, baik secara tertulis maupun lisan. Langkah awal yang dilakukan adalah membangun sebuah matriks kriteria kesesuaian pemanfaatan untuk mempermudah pembobotan (weighting) dan pengharkatan (scoring) yang berisi informasi parameter, bobot, kelas kesesuaian dan skor.
a. Kesesuaian wisata snorkelling
Kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorklling mempertimbangkan tujuh (7) parameter dengan tiga (3) klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata snorkelling antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis
(44)
lifeform, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang, dan lebar hamparan datar karang (Yulianda 2007) (Tabel 7).
Tabel 7. Matriks kesesuaian area untuk wisata bahari kategori wisata snorkelling
No. Parameter Bobot Standar
Parameter Skor N (Bobot x skor) 1. Kecerahan
perairan (%)
5 100 3 ….
…. …. …. 80 < 100 2
20 - < 50 1 < 20 0 2. Tutupan
komunitas karang %
5 > 75 3 ….
…. …. …. > 50 – 75 2
25 – 50 1 < 25 0 3. S Jenis lifeform
karang
3 > 12 3 ….
…. …. …. < 7 -12 2
4 -7 1 < 4 0 4. Jenis ikan
karang
3 > 50 3 ….
…. …. …. 30 – 50 2
10 - >30 1 < 10 0 5. Kecepatan arus
(cm/det)
1 0 – 15 3 ….
…. …. …. >15 – 30 2
>30 – 50 1 > 50 0 6. Kedalaman
terumbu karang (m)
1 1 – 3 3 ….
…. …. …. > 3 – 6 2
>6-10 1 > 10-< 1 0 7. Lebar hamparan
datar karang (m)
1 > 500 3 ….
…. …. …. > 100 - 500 2
20 - 100 1 < 20 0
S N = S Nmaks = 57
IKW = Sumber : Yulianda (2007)
Selanjutnya menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk wisata
(45)
? ? ? ? • ? ??
?
?? ?
? ? ? ? ?
Keterangan :
IKW = indeks kesesuaian wisata
S Ni = nilai parameter ke-i (bobot x skor)
S Nmaks = nilai maksimum dari suatu kategori wisata Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata snorkeling adalah sebagai berikut :
S1 = sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 % S2 = sesua i, dengan IKW 50 - < 83 %
N = tidak sesuai, dengan IKW < 50% b. Kesesuaian wisata selam
Parameter kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang (Tabel 8).
Untuk menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk wisata selam diformulasikan sebagai berikut :
? ? ? ? • ? ?
?
?
?? ?
? ? ? ? ?
Keterangan :
IKW = indeks kesesuaian wisata
Ni = nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)
Nmaks = nilai maksimum dari suatu kategori wisata
Ketentuan untuk kelas kesesuaian kegiatan wisata selam adalah sebagai berikut :
S1 = sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 % S2 = sesua i, dengan IKW 50 - < 83 %
(46)
Tabel 8. Matriks kesesuaian area untuk wisata bahari kategori wisata selam No. Parameter Bobot Standar
Parameter Skor N (Bobot x Skor)
1. Kecerahan
perairan (%)
5 > 80 3 ….
…. …. ….
50 – 80 2
20 - < 50 1
< 20 0
2. Tutupan komunitas karang %
5 > 75 3 ….
…. …. ….
> 50 – 75 2
25 – 50 1
< 20 0
3. S Jenis karang 3 > 12 3 ….
…. …. ….
< 7 -12 2
4 -7 1
< 4 0
4. Jenis ikan karang
3 > 100 3 ….
…. …. ….
50 – 100 2
20 - <50 1
< 20 0
5. Kecepatan
arus (cm/det)
1 0 – 15 3 ….
…. …. ….
>15 – 30 2
>30 – 50 1
> 50 0
6. Kedalaman
terumbu karang (m)
1 6 – 15 3 ….
…. …. ….
>15 - 20 2
>20 – 30 1
> 30 0
S N = S Nmaks = 54
IKW = Sumber : Yulianda (2007)
Berdasarkan parameter–parameter tersebut disusun matriks kesesuaian. Kelas-kelas kesesuaian pada matriks tersebut menggambarkan tingkat kecocokan dari suatu bidang untuk penggunaan tertentu. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi dalam tiga kelas, yang didefenisikan sebagai berikut :
1) Kelas S1 : Sangat sesuai (highly suitable) : Kawasan ekosistem terumbu karang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari (diving dan snorkelling) secara lestari, atau hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti dan tidak terpengaruh secara nyata terhadap kondisi kawasan tersebut, serta tidak
(47)
menambah masukan (input) untuk dikembangkan sebagai objek wisata bahari
2) Kelas S2 : Sesuai (Suitable) : kawasan ekosistem terumbu karang yang mempunyai pembatas agak berat untuk pemanfaatan sebagai kawasan wisata bahari secara lestari. Faktor pembatas tersebut akan mengurangi pemanfaatan kawasan tersebut, sehingga diperlukan upaya tindakan-tindakan tertentu dalam membatasi pemanfaatan dan mengupayakan konservasi dan rehabilitasi
3) Kelas N : Tidak sesuai (Not Suitable): kawasan ekosistem terumbu karang yang mengalami tingkat kerusakan yang tinggi, sehingga tidak memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Untuk itu sangat disarankan untuk dilakukan perbaikan dengan teknologi tinggi dengan tambahan biaya dan perlu waktu yang lama untuk memulihkannya melalui konservasi dan rehabilitasi kawasan tersebut. 3.4.3. Pemetaan kelas kesesuaian wisata
Pemetaan kelas kesesuaian wisata menggunakan analisis keruangan (spatial analysis). Dengan analisis ini akan dihasilkan peta kesesuain untuk kegiatan wisata selam dan snorkelling. Dalam penelitian ini, penggunaan analisis keruangan untuk mengidentifikasi pemanfaatan ruang dilakukan dengan pendekatan sistem informasi geografis (SIG) menggunakan program ArcView Version 3.3.
Proses delineasi kawasan dilakukan berdasarkan pemantauan secara visual terhadap sebaran tutupan karang di lapangan. Masing- masing stasiun ditentukan batasan area yang diasumsikan dapat mewakili daerah sekitarnya berdasarkan tutupan karang.
3.4.4. Analisis nilai daya dukung kawasan
Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yaitu (1) kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dan manusia, dan (2) standar keaslian sumberdaya alam (Yulianda 2007).
Analisis daya dukung ditujukan para pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara
(48)
lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, sehingga perlu adanya penentuan daya dukung kawasan.
Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam, menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia, menggunakan rumus:
? ? ? ? ? ? ?? ?
? ?
? ? ?? ?
? ?
?
Keterangan:
DDK = daya dukung kawasan
K = potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = unit area untuk kategori tertentu
Wt = waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari
Wp = waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu. Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan (Tabel 9). Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian tetap terjaga. Setiap melakukan kegiatan ekowisata, setiap pengunjung akan memerlukan ruang gerak yang cukup luas untuk melakukan aktivitas seperti diving (menyelam) dan snorkelling untuk menikmati keindahan pesona alam bawah laut, sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata (Tabel 10).
Tabel 9. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis kegiatan Jlh Pengunjung
(orang)
Unit area
(Lt) Keterangan
Snorklling 1 500 m2 Setiap 1 orang dalam
100 m x 5 m
Selam 2 2000 m2 Setiap 2 orang dalam
200 m x 10m Sumber : Yulianda (2007)
(49)
Tabel 10. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Jenis kegiatan Waktu yang dibutuhkan
Wp-(jam)
Total waktu 1 hari Wt-(jam)
Snorklling 3 6
Selam 2 8
Sumber : Yulianda 2007
3.4.5. Analisis nilai ekonomi wisata
Untuk menganalisis nilai benefit (nilai rekreasi) lokasi wisata dilakukan dengan metode biaya perjalanan (Travel Cost Method, TCM) yaitu metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value) dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar (non market
good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada suatu
tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalam bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat (Lipton et al. 1995 in Prihatna 2007).
Tujuan melakukan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata melalui estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di lokasi tersebut. Untuk itu, perlu diestimasi fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata. Dalam analisis TCM ini dilakukan dengan pendekatan
individual travel cost analysis yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva
permintaan individu terhadap lokasi wisata, dalam pendekatan ini, pengunjung dikelompokkan berdasarkan pengeluaran;
Garrod and Willis (1999) in Prihatna (2007) menuliskan fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata untuk model individual sebagai berikut :
a. fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata untuk model individual i
i i
i TC Y S
V l n l n l n
l n = β0−β1 +β5 +β4
Keterangan :
Vi = trip kunjungan individu ke-i TCi = biaya perjalanan individu ke-i Yi = pendapatan individu ke-i
Si = biaya perjalanan ke lokasi wisata substitusi yang dikeluarkan oleh individu ke-i
(1)
Lampiran 6. Regresi data tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan Pulau Putih
Nomor
Jumlah Biaya Umur Pendidikan Tanggungan
Pendapatan
Rombongan
Waktu
Responden
kunjungan (V)
(TC)
(A)
(ED)
(F)
(I)
(Par)
(Trip)
1
1.10
12.85
3.56
2.83
1.39
14.91
2.94
0.69
2
0.69
13.77
3.33
2.83
1.10
15.42
2.08
0.69
3
0.69
11.90
3.50
2.48
1.10
14.51
1.10
0.00
4
0.69
11.18
3.74
2.48
0.00
14.22
3.40
0.00
5
1.10
11.19
3.30
2.83
0.00
14.51
3.74
0.00
6
0.00
11.92
3.09
2.48
0.00
13.53
1.61
0.00
7
1.10
13.59
3.69
2.71
1.39
15.20
1.39
0.69
8
0.00
13.13
3.56
2.83
1.39
14.91
1.79
0.69
9
0.69
13.11
3.22
2.71
0.69
14.51
2.56
0.69
10
0.00
13.67
3.40
2.83
1.10
15.20
1.79
0.69
11
1.10
11.85
3.50
2.71
1.10
14.51
0.69
0.00
12
0.00
12.25
3.66
2.83
1.39
14.91
1.10
0.00
13
0.69
11.77
3.58
2.83
1.39
14.51
4.13
0.69
Average
12.48
3.47
2.72
0.92
14.68
2.18
0.37
Average
: 2.00
Jumlah wisatawan : 460 orang/tahun
Luas area karang
: 156.34 ha
(2)
Lampiran 6 (lanjutan)
Coefficient s St andard Error t St at P-value Lower 95% Upper 95%
Int ercept (b0) 3.41 8.75 0.39 0.71 -19.09 25.90
Biaya (b1) -1.39 1.12 -1.24 0.27 -4.26 1.49
Umur (b2) -1.02 1.44 -0.71 0.51 -4.73 2.69
Pendidikan (b3) -1.89 2.12 -0.89 0.41 -7.33 3.55
Tanggungan (b4) -0.41 0.89 -0.46 0.67 -2.70 1.89
Pendapat an (b5) 1.59 1.05 1.52 0.19 -1.11 4.30
Rombongan (b6) -0.36 0.60 -0.60 0.57 -1.89 1.17
Wakt u (b7) 2.53 2.65 0.95 0.38 -4.29 9.34
SUM M ARY OUTPUT
Regression St at ist ics
M ult iple R 0.63
R Squar e 0.40
Adjust ed R Square -0.4 3
St andard Error 0.5 5
Observat ions 13
ANOVA
df SS M S F Significance F
Regression 7 0.99 0.14 0.4 8 0.8 2
Residual 5 1.4 9 0.3
(3)
Lampiran 7. Kurva fungsi permintaan untuk wisata kawasan Pulau Putih
>
lna:=b0+b2*rata_lnA+b3*rata_lnEd+b4*rata_lnF+b5*rata_lnI+b6*rata_lnPar+b7
*rata_lnTtrip;
> a:=exp(lna);
> b:=b1;
> f(Q):=(Q/a)^(1/b);
> plot(f(Q),Q=0..Vrata);
b0 := 3.405288975
b1 := -1.386882133
b2 := -1.020261999
b3 := -1.889159221
b4 := -0.408172364
b5 := 1.594155342
b6 := -0.358756158
b7 := 2.527012772
rata_lnA := 3.47
rata_lnEd := 2.72
rata_lnF := 0.92
rata_lnI := 14.68
rata_lnPar := 2.18
rata_lnTtrip := 0.37
Vrata := 2.00
N := 460.00
L := 156.34
lna := 17.90605491
a := 5.977242009 107
b := -1.386882133
f Q( ) := 4.047456797 10
5
(4)
Lampiran 7 (lanjutan)
> U:=int(f(Q),Q=0..Vrata);
> P:=(Vrata/a)^(1/b);
> C:=P*Vrata;
> CS:=U-C;
> Nilai_Ekonomi_per_ha:=CS*N/L;
> Nilai_Total:=CS*N;
U := 1.760426449 106
P := 2.455426901 105
C := 4.910853802 105
CS := 1.269341069 106
Nilai_Ekonomi_per_ha := 3.719799272 106
(5)
Lampiran 8. Dokumentasi photo penelitian dan kondisi pariwisata di Kawasan
Pulau Putih
Pengamatan terumbu
karang dengan metode LIT
Gambar terumbu karang
Pengamatan ikan karang
dengan metode UVC
Guide
dan wisatawan
Pengukuran kualitas
perairan
Pengukuran kemiringan
pantai dengan menggunakan
Wat erpassSisi depan Pulau Put ih Pulau Janggi Sisi pantai Pulau M ansalar bagian t imur
(6)
Akt ivit as w aw ancara t erhadap karyaw an PT. Sibolga M arina Resort
Akt ivit as perikanan di kaw asan Pulau Put ih
Bagan apung milik nelayan yang beroperasi di Kawasan Pulau Put ih
Fasilit as gazebo Fasilit as bungalow Himbauan part isipasi kebersihan di objek wiat a Pulau Put ih
Wisatawan dan kapal t ransport asi
Peralat an SCUBA Jet t y salah sat u fasilit as w isat a