Nilai Ekonomi Wisata Abiotik

80 pemanfaatannya di atas daya dukung, akan sangat meningkatkan kerusakan terumb u karang Hawkins dan Roberts 1997. Selain daya dukung lingkungan carrying capacity diartikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam, juga membatasi pembangunan fisik yang dapat mengganggu kesinambungan pembangunan wisata. Sehubungan dengan rencana Pulau Mansalar sebagai kawasan ekowisata, maka pembangunan sarana fisik seperti penginapan tidak dianjurkan untuk membangun penginapan klasifikasi hotel tetapi lebih bersifat ramah lingkungan, tradisional, dan terbatas seperti resor kecil dan pondok. Pembangunan fisik sedapat mungkin tidak mengubah bentang alam tetapi lebih menyesuaikan pada kondisi yang ada, karena dalam pengembangan ekowisata, keaslian alam merupakan prioritas untuk dipertahankan sehingga ekowisata tidak mengalami kejenuhan pasar dalam jangka waktu yang lama.

4.6. Nilai Ekonomi Wisata

Semua responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah pengunjung di Pulau Putih dan Pulau Poncan. Responden diambil dari Pulau Poncan atas dasar pertimbangan sampel di Pulau Poncan dianggap bisa merepresentasikan Pulau Putih. Wisatawan yang datang berasal dari Medan, Tarutung, Padang Sidempuan, Rantau Parapat dan Kota Sibolga. Pengambilan sampel dilakukan selama Bulan Mei tahun 2009, pada bulan ini bertepatan pada liburan sekolah sehingga pengunjung didominasi dari kalangan guru dan pelajar dan sebagian dari kalangan swasta. Data estimasi kunjungan wisatawan ke kawasan Pulau Putih selama dua tahun terakhir disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Putih tahun 2007 sampai 2008 Tahun Jumlah Pengunjung orang 2007 410 2008 511 Total 921 Rata-rata 460 Sumber : Sibolga Marina Resort 2009 81 Total pengunjung tersebut berupa estimasi karena pengunjung yang melakukan wisata di Pulau Putih tidak terdata, oleh karena Pulau Putih hanya berupa bagian paket wisata yang dijual oleh Pengelola PT. Sibolga Marina Resort kepada wisatawan yang melakukan wisata bahari. Estimasi didasarkan pada penyewaan fasilitas wisata bahari berupa peralatan selam, snorkelling dan kapal mobilisasi. Secara umum, pengunjung yang melakukan aktivitas baha ri datang untuk memancing, snorkelling dan diving. Wisata pancing paling banyak digemari karena di kawasan Pulau Putih terdapat banyak ikan. Aktivitas memancing ini sering dipaketkan dengan kegiatan snorkelling dan selam tergantung permintaan pengunjung. Dari fungsi permintaan dalam penelitian ini, tingkat kunjungan wisatawan dipengaruhi oleh tingkat pengeluaran wisatawan, pendidikan, umur responden, tanggungan keluarga, jumlah rombongan, pendapatan dan total waktu yang dihabiskan responden selama berwisata. Dalam persamaan ini tingkat kunjungan merupakan variabel dependent variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel independent variabel bebas seperti tingkat pengeluaran wisatawan, pendidikan, umur responden, tanggungan keluarga, pendapatan dan total waktu yang dihabiskan. Dengan menggunakan regresi berganda diperoleh koefisien sebagai berikut : Tabel 29. Koefisien regresi tingkat kunjungan wisatawan ke Pulau Putih Variabel Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95 Upper 95 Intercept b0 3.41 8.75 0.39 0.71 -19.09 25.90 Biaya b1 -1.39 1.12 -1.24 0.27 -4.26 1.49 Umur b2 -1.02 1.44 -0.71 0.51 -4.73 2.69 Pendidikan b3 -1.89 2.12 -0.89 0.41 -7.33 3.55 Tanggungan b4 -0.41 0.89 -0.46 0.67 -2.70 1.89 Pendapatan b5 1.59 1.05 1.52 0.20 -1.11 4.29 Rombongan b6 -0.36 0.59 -0.60 0.57 -1.89 1.17 Waktu b7 2.53 2.65 0.95 0.38 -4.29 9.34 Sumber : Data primer 2009 82 37 . 18 . 2 68 . 14 92 . 72 . 2 47 . 3 53 . 2 36 . 59 . 1 41 . 89 . 1 02 . 1 40 . 3 T Par I F ED A V i + − + − − − = Surplus konsumen merupakan selisih antara tingkat kesediaan membayar willingness to pay dari konsumen dengan biaya yang harus dibayarkan untuk memperoleh suatu kepuasan. Tingkat kepuasan wisatawan ke Pulau Putih dilihat dari tingkat pengeluaran wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut. Makin tinggi pengeluaran pengunjung berarti tingkat kepuasannya semakin tinggi, dan begitu sebaliknya. Ukuran tingkat kepuasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah pengeluaran dari wisatawan yang berkunjung. Variabel bebas yang digunakan yaitu keseluruhan biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung dalam melakukan perjalanan per sekali kunjungan wisata ke kawasan Pulau Putih. Dalam analisis TCM ini dilakukan dengan pendekatan individual travel cost analysis yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata, dalam pendekatan ini, pengunjung dikelompokkan berdasarkan pengeluaran. Dari regresi persamaan yang menggunakan pendekatan individual travel cost analysis menghasilkan fungsi permintaan dengan formula sebagai berik ut : Keterangan : Vi = trip kunjungan individu ke-i A = umur individu ke-i ED = pendidikan ke-i F = tanggungan individu ke-i I = pendapatan individu ke-i Par = jumlah rombongan individu ke-i T = waktu yang dihabiskan individu ke lokasi wisata Dari persamaan tersebut diperoleh koefisien b untuk kunjungan sebesar 3.41 dan hasil persamaan fungsi permintaan di atas dihasilkan consumer surplus per individu sebesar Rp. 1 . 269 . 341,-. Nilai total ekonomi wisata sebesar Rp. 583 . 896 . 892,- per tahun Rp. 3 . 719 . 799,- per hektar. Nilai ini diperoleh dari pengalian antara individual consumer surplus dengan total kunjungan wisatawan yang datang ke lokasi wisata Pulau Putih selama satu tahun. Secara grafik, persamaan di atas dapat digambarkan pada Gambar 14. 83 Gambar 14. Kurva fungsi permintaan untuk wisata Pulau Putih Pada kurva di atas, sumbu Y menunjukan variabel biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh wisatawan dan sumbu X menunjukan variabel frekuensi kunjungan. Berdasarkan Tabel 29, terlihat bahwa nilai ekonomi wisata kawasan Pulau Putih sangat lemah serta variabel bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan Pulau Putih. Nilai ekonomi wisata ini merupakan nilai manfaat langsung yang bersifat non ekstraktif dari sumberdaya terumbu karang yang diperoleh melalui jumlah pengeluaran wisatawan yang mendatangi kawasan Pulau Putih sebagai objek wisata bahari. Jika dilihat dari besarannya, nilai ekonomi yang dihasilkan sangat rendah dengan ukuran luasan terumbu karang 156.34 ha, maka diperlukan suatu strategi yang baik untuk mengelola kawasan tersebut menjadi tujuan wisata yang dapat menumbuhkan minat wisatawan untuk berkunjung, karena potensi pasar cukup besar dan berpeluang untuk dikembangkan sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi daerah. Kamaluddin 2003 menyatakan bahwa beberapa daerah di Indonesia telah memperoleh pendapatan yang cukup besar dari pengembangan pariwisata bahari. Nilai ekonomi pariwisata bahari di beberapa 84 lokasi seperti di Tulamben Bali memperoleh pendapatan tiap tahunnya sebesar Rp. 29.39 miliar; Likuan 2 Sulawesi Utara sebesar Rp. 22.04 miliar dan Wakatobi Buton sebesar Rp. 14.70 miliar. Cesar 2002 in Paul et al. 2002 menyatakan nilai ekonomi terumbu karang yang diperoleh dari kegiatan pariwisata di Hawai mencapai US 8.6 juta per kilometer persegi. Jumlah tersebut diperoleh dari kunjungan jutaan wisatawan yang melakukan penyelaman dan snorkelling di daerah tersebut. Selanjutnya laporan WTTC 2002 in Paul et al. 2002 melaporkan sebanyak US 105 miliar per tahun dihasilkan dari industri kepariwisataan di Karibia. Industri pariwisata di daerah-daerah tersebut memang sudah berkembang baik dan berkelas internasional sehingga jika dijadikan sebagai pembanding, kelihatan sangat timpang dengan kondisi yang ada di kawasan Pulau Putih yang pengelolaannya masih bertaraf lokal dan belum berkembang dengan baik. Akan tetapi, setidaknya informasi ini memberikan gambaran betapa besarnya nilai ekonomi terumbu karang jika dikelola secara profesional, karena nilai ekonomi suatu pulau, tidak ditentukan dari besar kecil ukuran pulau tersebut melainkan dari nilai potensi sumberdaya yang terkandung di dalamnya.

4.7. Strategi Pengelolaan Kawasan Pulau Putih untuk Pengembangan