Melakukan Lebih Dulu Menuntut Diri Sendiri a. Kambing Hitam

93 Pendidikan Agama Khonghucu dan Budi Pekerti Dari sini nampak jelas bahwa ketika kita menuntut orang lain sama artinya kita menuntut diri sendiri dalam peran kita yang lain. Maka menjadi jelas bahwa diri kita adalah ‘sentral’ dalam proses pembinaan diri, dalam proses mengharmoniskan hubungan, dan dalam rangka memperbaiki kesalahan-kesalahan. “Jalan suci seorang Junzi ada empat yang khawatir belum satu kulakukan. Apa yang kuharapkan dari anakku, belum dapat kulakukan terhadap orang tuaku; apa yang kuharapkan dari menteriku belum dapat ku lakukan terhadap rajaku; apa yang kuharapkan dari adikku, belum dapat ku lakukan terhadap kakakku; dan apa yang kuharapkan dari temanku, belum dapat ku lakukan lebih dahulu. Di dalam menjalankan kebajikan sempurna, hati-hati di dalam membicarakannya, bila ada kekurangan aku tidak berani tidak sekuat tenaga mengusahakannya; dan bila ada yang berkelebihan aku tidak berani menghamburkannya; maka di dalam berkata-kata selalu ingat akan perbuatan dan di dalam berbuat selalu ingat akan kata-kata. Bukankah demikian ketulusan hati seorang Junzi?” Tengah Sempurna. Bab XII: 4 Inilah pertanyaan panjang sepanjang perjalanan hidup kita, “Dapatkah lebih dahulu memberikan dan melakukan apa yang kita harapkan orang lain berikan atau lakukan kepada kita?”. Bagaimana dengan sikap kalian? Apakah kalian lebih sering menuntut diri sendiri atau lebih sering menuntut orang lain? Releksi

3. Berbuat Tanpa Pamrih

Setiap orang pasti mempunyai sesuatu yang harus dikerjakan dilakukan, dan menjadi prinsip penting bahwa segala sesuatu yang secara moral harus dilakukannya “lakukanlah tanpa pamrih”. Hal ini dikarenakan nilai suatu pekerjaan yang harusnya kita lakukan terletak pada pekerjaan itu sendiri, bukan pada hasil di luar pekerjaan itu. Teruslah melakukan, apa yang kita ketahui seharusnya dilakukan tanpa memikirkan apakah dalam prosesnya kita akan berhasil atau gagal. 94 Kelas XII SMASMK Bersikap tidak mengindahkan keberhasilan atau kegagalan yang bersifat lahiriah maka dalam pengertian tertentu dapat berarti kita tidak pernah gagal. Jika kita mengerjakan kewajiban kita maka secara moral kita telah melaksanakan kewajiban tersebut. Sebagai hasilnya, kita akan selalu bebas dari kecemasan apakah kita akan berhasil, dan bebas dari ketakutan apakah kita akan gagal. Dengan demikian, tentu kita akan bahagia. Nabi Kongzi bersabda: “Yang bijaksana bebas dari keragu-raguan, yang berpericinta kasih bebas dari perasaan cemas, dan yang berani bebas dari ketakutan”. Sabda Suci. IX: 29 Nabi Kongzi memberikan teladan dalam hal ini. Beliau bahkan tetap melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak yakin apakah akan berhasil. Beliau tetap melakukannya lantaran hal itu memang secara moral wajib ia lakukan. Nabi Kongzi juga memberitahukan alasan mengapa manusia unggul mencoba masuk ke dalam dunia politik pemerintahan adalah karena ia memandangnya sebagai hal yang baik, dimana orang dapat menyumbangkan ide-idenya dalam rangka memperbaiki tatanan masyarakat. Sekali pun ia menyadari bahwa prinsip-prinsipnya mungkin tidak dapat berlaku secara umum. Melakukan sesuatu perbuatan seyogyanya bukan semata-mata karena hasil yang akan didapat dari perbuatan itu. Banyak hal yang secara moral memang seharusnya wajib kita lakukan dan kita melakukannya bukan karena ingin mendapatkan hasil dari perbuatan itu. Perhatikanlah hal yang satu ini: “Apakah kita hanya akan melakukan sesuatu jika kita tahu hasil yang akan kita dapat?” Bila demikian, berarti kita tidak akan melakukan apa pun jika kita tidak mendapat jaminan akan hasilnya?” Apakah untuk setiap perbuatan baik yang kita lakukan karena ingin mendapat imbalan pahala. Jika demikian, berarti kita hanya melakukan sesuatu untuk sesuatu. Serupa dengan hal itu, jika kita mengendalikan nafsu dan berusaha berbuat baik tetapi ingin mendapatkan imbalan pahala ini sama artinya dengan: ’mengendalikan nafsu untuk nafsu’.