Hubungan pendidikan agama ISlam dalam kelluarga dengan akhlak siswa di MTs As-Sa'Adah Cakung Jakarta Timur

(1)

DI MTs AS-SA’ADAH CAKUNG JAKARTA TIMUR

 

SKRIPSI

 

OLEH:

UMMU SYAHDAH

NIM: 207011000475

JURUSAN PENNDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

DI MTs AS-SA’ADAH CAKUNG JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Tarbiyah Pendidikan Agama Islam

 

OLEH:

UMMU SYAHDAH

NIM. 207011000475

Dosen Pembimbing,

Dra. Hj. Eri Rossatria, M.Ag

NIP. 19470717 196608 2 001

JURUSAN PENNDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Ummu Syahdah:

Hubungan Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dengan Akhlak Siswa MTs As-Sa’adah Cakung Jakarta Timur

Pendidikan agama Islam sebagai bantuan dan bimbingan yang diberikan secara sadar oleh pendidik kepada peserta didiknya yang dengan tujuan agar peserta didik memiliki sikap hidup dan cara berfikir serta tingkah laku yang sesuai dengan ajaran Islam. Keberagamaan seseorang terefleksi atau terwujud dalam bentuk tingkah laku/akhlak dan perbuatannya sehari-hari yang akhirnya menjadi sifat atau kepribadian yang dapat melahirkan perbuatan baik atau buruk. Adapun pembinaan agama Islam itu dapat dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namun pembinaan yang dilakukan oleh orang tua dalam keluarga merupakan pembinaan yang sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan dan kepribadian seseorang, karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak.

Penelitian ini dilakukan di MTs As-Sa’adah Cakung Jakarta Timur, yang merupakan salah satu pendidikan formal yang terdapat di wilayah DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan agama Islam dalam keluarga dengan akhlak siswa di sekolah ini baik kepada orang tua, guru, dan teman. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yaitu melakukan analisis terhadap data yang berwujud angka dengan cara menjumlahkan, mengklasifikasikan, dan mentabulasikan. Adapun analisisnya penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu memberikan gambaran atau informasi serta melihat secara langsung hubungan pendidikan agama Islam dalam keluarga dengan akhlak siswa di MTs As-sa’adah, kemudian menganalisis data yang ada. Sementara jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan korelasional, yaitu untuk mencari hubungan antara kedua variabel. Sedangkan tehnik pengumpulan datanya yaitu dengan cara menyebar angket yang berisi sejumlah pernyataan tentang pendidikan agama Islam dalam keluarga dan tentang akhlak. Angket ini dibagikan kepada responden yang telah ditentukan, yaitu siswa kelas VIII MTs As-Sa’adah. Jawaban angket tersebut dihitung dengan rumus prosentase kemudian diolah dan dijelaskan secara deskriptif. Selain itu, peneliti memperoleh data penunjang lainnya melalui wawancara kepada kepala sekolah dan guru bidang study akidah akhlak. Setelah diperoleh hasil angket kedua variabel tersebut, lalu penulis menghitungnya dengan rumus Product Moment. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat korelasi kedua variabel. Kemudian untuk mengetahui keeratan hubungan kedua variabel tersebut, penulis menggunakan rumus Koefisien Determinasi.

Setelah penelitian ini dilakukan, maka penulis memperoleh hasil penelitian dengan angka korelasi sebesar 0,51 yang berarti terdapat korelasi positif antara pendidikan agama Islam dalam keluarga dan akhlak siswa di sekolah, meskipun korelasinya tergolong sedang/cukup, karena terletak antara 0,40 – 0,70. Berdasarkan keeratan hubungan kedua variabel, maka diketahui koefisien determinasinya sebesar 26,01% adapun 73,99% merupakan variabel lain yang memberikan kontribusi terhadap akhlak siswa.


(4)

Bismilahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil ‘Alamin penulis menyanjungkan pujian yang setinggi-tingginya kehadirat Allah SWT. Dengan pertolongan dan hidayah-Nya, skripsi yang berjudul “Hubungan Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dengan Akhlak Siswa di MTs As-sa’adah Cakung Jakarta Timur” ini dapat terselesaikan, sebagai persyaratan memperoleh gelar sarjana (SI).

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya penyusunan skripsi ini dengan baik, tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan motivasi dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada:

1. Dekan beserta Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dra. Hj. Eri Rossatria, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Drs. H. Abdul Azim, selaku Kepala Madrasah beserta seluruh dewan guru dan staff MTs As-Sa’adah Jakarta, yang telah memberikan izin dan kemudahan kepada penulis dalam kegiatan penelitian.

5. Seluruh dosen dan guru yang telah ikhlas dan sabar dalam memberikan bimbingan dan pendidikan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan kepada penulis, Jazakumullah Khoiron Katsiron.

6. Keluargaku tercinta terutama kedua orang tua yaitu: Ayahanda H. Marjani dan Ibunda Hj. Choiriyah, yang dengan penuh ketulusan dan keikhlasan dalam mendo’akan dan memberikan motivasi kepada penulis. Juga kedua mertuaku yang menjaga kedua puteraku dengan sabar. Semoga mereka senantiasa mendapat limpahan kasih sayang serta memperoleh keridhaan Allah SWT. Saudara/i ku yang ada di Kp Baru dan di Tambun Rengas, terutama adikku,


(5)

  iii much.

7. Suamiku tercinta, Ahmad hadi yang telah banyak mensupport dan membantu penulis baik moril maupun materil, lahir dan batin di setiap langkah suka dan duka dengan penuh kasih sayang, kesabaran, dan keikhlasan. Thanks ya pa! juga kedua puteraku Rizmi dan Zami, yang selalu menjadi motivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. I love You forever.

8. Staff akademik dan karyawan Perpustakaan (PT dan PU) serta sahabat-sahabat di UIN Syahid dari angkatan 2005-2007 Non Reguler FITK Jurusan PAI yang telah membantu penulis selama perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan di Yapida dan Yurja. Terima kasih telah memberikan doa, bantuan dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan studi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi maupun kajiannya. Hal ini karena penulis hanyalah manusia biasa yang memiliki kemampuan yang serba terbatas, dan hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri atas segala sesuatu. Semoga Allah SWT mengampuni segala kesalahan dan kekhilafan. Namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembacanya. Amin…

Jakarta, 30 Juni 2010 Penulis,


(6)

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Signifikansi Penelitian ... 10

BAB II : KAJIAN TEORITIS, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Teoritis 1. Akhlak ... 11

a. Pengertian Akhlak ... 11

b. Macam-Macam Akhlak ... 13

c. Tujuan Akhlak ... 18

d. Akhlak Remaja ... 20

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak Remaja ... 26

2. Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga ... 29

a. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 29

b. Dasar Pendidikan Agama Islam ... 32

c. Fungsi Pendidikan Agama Islam ... 35

d. Tujuan Pendidikan Agama Islam ... 36

e. Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga ... 38

f. Penanaman Agama Islam dalam Keluarga ... 47

B. Kerangka Berfikir ... 50

C. Hipotesis ... 52


(7)

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 53

C. Metode Penelitian ... 53

D. Instrumen Pengumpulan Data ... 54

E. Tehnik Pengolahan dan Analisis Data ... 55

F. Tehnik Interpretasi Data ... 58

G. Variabel Penelitian ... 59

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subyek Penelitian ... 64

1. Sejarah Berdirinya MTs As-sa’adah ... 64

2. Visi dan Misi MTs As-Sa’adah ... 65

3. Keadaan Guru dan Pegawai ... 66

4. Keadaan Siswa ... 67

5. Sarana dan Prasarana MTs As-Sa’adah ... 68

6. Struktur Organisasi MTs As-Sa’adah ... 69

B. Deskripsi Data ... 70

C. Pengolahan dan Analisis Data ... 71

1. Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga ... 71

2. Akhlak Siswa ... 83

3. Hubungan Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dengan Akhlak Siswa ... 94

D. Interpretasi Data ... 99

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103 LAMPIRAN


(8)

Tabel 2 Kriteria Pemberian Skor Angket Siswa ... 55

Tabel 3 Rentang Skor Hasil Penghitungan Angket ... 56

Tabel 4 Skala Prosentase ... 57

Tabel 5 Interpretasi Data ... 58

Tabel 6 Matriks Variabel ... 60

Tabel 7 Kisi-kisi Instrument Pendidikan Agama Islam ... 62

Tabel 8 Kisi-kisi Instrumen Akhlak Siswa ... 63

Tabel 9 Data Guru MTs As-Sa’adah Tahun 2009-2010 ... 66

Tabel 10 Keadaan Pegawai MTs As-Sa’adah ... 67

Tabel 11 Jumlah Siswa MTs As-Sa’adah Tahun 2009-2010 ... 68

Tabel 12 Stuktur Organisasi MTs As-Sa’adah ... 69

Tabel 13 Membiasakan anak mengingat Allah SWT……….... 71

Tabel 14 Membiasakan anak melakukan sujud syukur kepada Allah SWT ... 72

Tabel 15 Membiasakan anak memberi salam ketika hendak masuk ke rumah .. 72

Tabel 16 Memukul anak jika tidak belajar di rumah ... 73

Tabel 17 Memarahi anak jika tidak sholat ... 73

Tabel 18 Berkata kasar jika sedang memarahi anak………. 74

Tabel 19 Mendidik anak untuk menghormati yang lebih tua di rumah……… 74

Tabel 20 Mendidik anak untuk menyayangi yang lebih muda………. 75

Tabel 21 Membiasakan anak sholat berjama’ah bersama keluarga di rumah... 75

Tabel 22 Mendidik anak untuk berpuasa di bulan Ramadhan dengan baik….. 76

Tabel 23 Mengajari anak membaca Al-Qur’an di rumah……….. 76

Tabel 24 Membiasakan anak membaca do’a ketika hendak tidur……… 77

Tabel 25 Membiasakan anak membaca do’a sesudah makan………... 77

Tabel 26 Mengawasi anak ketika sedang sholat……… 78

Tabel 27 Mendidik anak untuk sabar dalam menghadapi musibah…………... 78

Tabel 28 Mengingatkan anak untuk belajar di rumah……… 79


(9)

Tabel 31 Memotivasi anak berpartisipasi menjadi panitia zakat/qurban…….. 80

Tabel 32 Mendorong anak untuk mengikuti perlombaan pada acara PHBI…. 81

Tabel 33 Meminta izin kepada orang tua ketika hendak keluar rumah………. 83

Tabel 34 Membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah……… 83

Tabel 35 Membersihkan dan merapikan tempat tidur sendiri……… 84

Tabel 36 Memberi salam ketika hendak masuk ke rumah……… 84

Tabel 37 Mendo’akan kedua orang tua selesai sholat……… 85

Tabel 38 Merawat orang tua yang sedang sakit dengan baik………. 85

Tabel 39 Tidak menyela pembicaraan orang tua yang sedang menasehati…… 86

Tabel 40 Memaksakan orang tua apabila meminta sesuatu………... 86

Tabel 41 Datang ke sekolah tepat waktu……… 87

Tabel 42 Memakai seragam lengkap dan rapi saat bersekolah……….. 87

Tabel 43 Membuang sampah pada tempatnya di sekolah……….. 88

Tabel 44 Mendengarkan guru ketika sedang menjelaskan pelajaran…………. 88

Tabel 45 Memberi salam ketika bertemu dengan guru……….. 89

Tabel 46 Mengerjakan tugas/PR di rumah tanpa menyontek teman…………. 89

Tabel 47 Meminta maaf kepada teman ketika berbuat salah……… 90

Tabel 48 Meminjamkan alat tulis kepada teman yang membutuhkan……….. 90

Tabel 49 Mencegah teman yang ingin membolos dari sekolah……… 91

Tabel 50 Menghibur teman yang sedang sedih………. 91

Tabel 51 Menjenguk teman yang sedang sakit……….. 92

Tabel 52 Ikut dalam perkelahian antar pelajar……… 92

Tabel 53 Skor inventori Pendidikan Agama Islam dalam keluarga……… 94

Tabel 54 Skor inventori akhlak siswa……… 94

Tabel 55 Jawaban skor angket Pendidikan Agama Islam dala keluarga……… 96

Tabel 56 Jawaban skor angket akhlak siswa……….. 97

Tabel 57 Mencari koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y………. 98


(10)

  viii 1. Sarana dan Prasarana MTs As-Sa’adah 2. Angket Penelitian

3. Berita wawancara

4. Lenbar pengesahan judul 5. Surat keterangan bimbingan

6. Surat keterangan izin penelitian dari fakultas 7. Surat keterangan penelitian dari MTs As-Sa’adah 8. Daftar tabel df atau db

                                     


(11)

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak dalam hidup ini, dan manusia tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Menurut John Dewey sebagaimana dikutip oleh A. Fatah Yasin bahwa “pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia guna membentuk dan mempersiapkan pribadinya agar hidup dengan disiplin.”1

Pendidikan dipandang sangat penting dalam proses pembangunan dan dijadikan sebagai sarana kemajuan bangsa. Dengan kata lain kemajuan suatu bangsa terletak pada kualitas manusianya, sementara peningkatan kualitas manusia hanya dapat dibina melalui pendidikan dalam segala bidang kehidupan termasuk kehidupan beragama.

Secara kodrati seorang anak sejak dilahirkan memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang hidup di dunia.2 Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT:

...

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun...(QS: An-Nahl; 78)3

Islam juga menyatakan bahwa seorang anak lahir di dunia membawa

pembawaan yang disebut fitrah. Fitrah ini berisi potensi untuk berkembang, potensi ini dapat berupa keyakinan beragama, perilaku untuk menjadi baik ataupun menjadi buruk dan lain sebagainya yang kesemuanya harus dikembangkan agar ia tumbuh secara wajar sebagai hamba Allah.

      

1

 A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008), Cet. 1, h. 15 

2

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), Cet. 2, h. 85  3

Terjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,, (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 413  


(12)

Rasulullah SAW bersabda:

ْ

أ

ه

ْﺮ

ة

ا

ﷲا

ْ

و

لﺎ

,

آ

ْﻮ

ْﻮ

د

ْﻮ

ْا

ْﻄ

ة

,

ﻮا

دا

اْو

ا

أْو

.

)

نﺎ

ا

اور

(

Setiap anak dilahirkan membawa fitrah (bakat keagamaan), maka terserah kepada kedua orang tuanyalah untuk menjadikan beragama Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. (HR. Ibn Hibban)4

Dari ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi seorang anak terutama pendidikan agama, agar ia menjadi manusia yang berkualitas. Dalam pasal 37 ayat 1 menjelaskan bahwa ”pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman

dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.”5

Sementara pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak adalah pendidikan dari kedua orang tuanya yang terjadi dalam keluarga.

Menurut Zakiah Daradjat keluarga adalah “wadah pertama dan utama

bagi pertumbuhan dan pengembangan anak.”6 Pernyataan tersebut sesuai

dengan pendapat Alisuf Sabri dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu

Pendidikan menyebutkan bahwa:

Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang pertama dialami

oleh anak-anak. Oleh karena itu keluarga disebut sebagai Primary

Community. Yaitu sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga disebut sebagai lingkungan pertama karena dalam keluarga inilah anak pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Dan keluarga disebut sebagai lingkungan penidikan utama karena sebagian besar hidup anak dan pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah di dalam keluarga.7

Pendidikan dalam keluarga berlangsung secara terus menerus melalui pengalaman langsung yang diperoleh anak melalui penglihatan, pendengaran,

      

4

 Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abi Hatim al-Tamimiy al-Bistiy, Shahih Ibn Hibban, Jilid 1, Tahqiq oleh Syu’aib al-arnauth, (Beirut: Muassasat al-Risalat, 1993), h. 336 

5

UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sstem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), (Bandung:Fokusmedia, 2006), h. 52 

6

Zakiah Dardjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV Ruhama, 19995), Cet. 2, h. 47  

7


(13)

perlakuan yang diterimanya serta latihan daya serap si anak serta meniru dan mengidentifikasikan diri dengan orang di sekitarnya, terutama orang-orang yang sering memenuhi kebutuhannya.

Demikian besar dan sangat mendasar pengaruh keluarga terhadap perkembangan pribadi anak terutama dasar-dasar agama, kelakuan, sikap, reaksi dan dasar-dasar kehidupan lainnya, seperti makan, berpakaian, cara bicara, sikap terhadap dirinya terhadap orang lain termasuk sifat-sifat kepribadian lainnya yang semuanya itu terbentuk pada diri anak melalui interaksinya dengan pola kehidupan yang terjadi dalam keluarga. Oleh karena itu kehidupan dalam keluarga jangan sampai memberikan pengalaman-pengalaman atau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik yang

akan merugikan perkembangan hidup anak kelak di masa dewasa.8

Menurut Nur Uhbiyatiyang dimaksud dengan keluarga yang ideal ialah: Keluarga yang mau memberikan dorongan kuat kepada anaknya

untuk mendapatkan pendidikan agama. Jika mereka mampu dan berkesempatan, maka mereka dapat melakukannya sendiri, tetapi jika tidak, maka mereka mendatangkan guru agama untuk memberikan pelajaran privat kepada anak-anak mereka. Di samping itu mereka masih memberikan perhatian dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan. Keluarga demikianlah yang melahirkan anak-anak taat menjalankan agama/ibadah dan berakhlak mulia.9

Pendidikan agama dalam lingkungan keluarga harus diupayakan mampu menyentuh kata hati, akal fikiran anak, perasaan serta pendengaran mereka. Bekal ini merupakan modal dasar yang sangat penting bagi tercapainya martabat manusia shaleh. Terlebih-lebih bila hal tersebut diimbangi dengan pendidikan memadai yang diberikan oleh kedua orang tua yang memiliki dan memikul tanggung jawab.10

Sementara penanggung jawab atau pemegang otoritas penyelenggaraan

pendidikan di lingkungan keluarga pada umumnya adalah orang tua.11

      

8

Sabri, Penganar…, h. 21  9

Uhbiyati, Ilmu Pendidikan…, h. 212  10

Tim Dosen IAIN Sunan Ampel-Malang, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, (Surabaya: Karya Aditama, 1996), Cet. 1, h. 194 

11

Abuddin Nata, Filsafat Pendiidkan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, h. 115 


(14)

Tanggung jawab itu menurut Abuddin Nata disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal:

1. Karena kodrat, yaitu orang tua ditakdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya.

2. Kepentingan orang tua terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses

anaknya adalah sukses orang tua juga.12

Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa “orang tua sering diistilahkan dengan

pendidik kodrat”.13 Karena anak merupakan amanat Tuhan yang harus

ditunaikan oleh kedua orang tuanya dan Tuhan tidak menghendaki anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) dibiarkan begitu saja menjadi manusia lemah, serta menjadi fitnah bagi kedua orang tuanya kelak di kemudian

hari.14 Adapun pelaksanaan tugas dan tanggung jawab orang tua dalam

mendidik anak-anaknya secara tegas telah diperintahkan oleh Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …(QS: Al-Tahrim:6)15

Dengan demikian memberikan pendidikan agama dalam keluarga kepada anak adalah suatu kewajiban mutlak yang harus dilaksanakan oleh orang tua dengan sebaik-baiknya.

Pendidikan agama dalam lingkungan keluarga merupakan basic. Awal mula anak tumbuh rasa iman kepada Allah tak lain adalah dalam lingkungan keluarga. Selama keluarga itu (orang tua) memiliki rasa iman yang mantap, barulah diharapkan orang tua tersebut dapat mendidik anaknya. Pendidikan agama bisa bersemi secara subur dalam diri anak tak terlepas dari kondisi keluarga dan situasi keagamaan di dalamnya. Oleh karena itu bila pendidikan

      

12

Nata, Filsafat Pendidikan…, h. 62  13

Uhbiyati, Ilmu Pendidikan …, h. 211   14

Syaukani HR, Pendidikan Paspor Masa Depan, Prioritas Pembangunan dalam Otonomi Daerah, (Jakarta: Nuansa Madani, 2006), h. 194  

15


(15)

agama ingin tumbuh subur dan anak memiliki rasa iman dan keagamaan yang kuat, maka kondisikanlah kehidupan rumah tangga tersebut menjadi kehidupan keluarga Muslim.

Mengenai peranan keluarga, Zakiah Dardjat dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam menyatakan bahwa:

Ayah dan ibu mempunyai peranan yang sangat penting dan sangat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya, dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal anak, menjadi temannya dan yang dipercayainya. Pengaruh ayah terhadap anaknya juga besar. Di mata anaknya ia seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai di antara orang-orang yang dikenalnya. Cara ayah melakukan pekerjaannya sehari-hari berpengaruh pada cara pekerjaan anaknya.16

Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat H. M. Arifin yang menyebutkan bahwa “ayah dan ibu merupakan dwitunggal yang bersama-sama menjalankan tugas pendidikan dalam keluarga yang dijalin dengan kerja sama dan saling pengertian sebaik-baiknya, agar timbul keserasian dalam menunaikan tugas tersebut baik yang bersifat paedagogis ataupun

psikologis dalam pembentukan dan pengembangan watak/sikap anak.”17

Seharusnya Pendidikan Agama Islam terutama dalam keluarga dapat membangun dan membentuk karakter, akhlak dan moralitas anak yang baik. Namun kenyataannya, Pendidikan Agama Islam tidak mampu lagi membentengi anak-anak didik dengan akhlakul karimah yang kuat khususnya pada masa remaja dalam meghadapi tuntutan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek).

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Masri Mansoer dkk, berdasarkan laporan Pusat Studi Wanita USU bahwa 85% remaja terkena penyakit kelamin akibat seks bebas, dan 92% penderitanya adalah wanita. Adapun Menteri Negara Komunikasi dan Informasi

      

16

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), Cet. 7, h. 35 

17

M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. 4, h. 88 


(16)

mengatakan bahwa 60% pengguna internet di Indonesia membuka situs porno. Dan dari satu penelitian tentang kenakalan dan tawuran remaja di Jakarta Selatan mengatakan 79% mereka yang terlibat dalam tawuran itu dipicu oleh keagresifan akibat menggunakan narkoba.18 Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Masngudin HMS di pinggiran kota metropolitan Jakarta dari 30 responden tentang kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia saat ini, yaitu sebagai berikut:19

Tabel. 1 Kenakalan Remaja

No Bentuk Kenakalan F %

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Berbohong

Pergi keluar rumah tanpa pamit Keluyuran

Begadang

Membolos sekolah Berkelahi dengan teman Berkelahi antar sekolah Buang sampah sembarangan Membaca buku porno Melihat gambar porno Menonton film porno

Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM Kebut-kebutan

Minum minuman keras Hubungan sex diluar nikah Mencopet Berjudi 30 30 28 26 7 17 2 10 5 7 5 21 19 25 12 8 10 100 100 98,7 93,3 23,3 56,7 6,7 33,3 16,7 23,3 16,7 70,0 63,3 83,3 40,0 26,7 33,3        18

 Masri Mansoer, dkk, Laporan Hasil Penelitian Keberagamaan (Religiusitas) Remaja dan Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h.3 

19

Masngudin HMS, Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga, diakses oleh WWW. Depsos.qo.id/Balatbang/Puslitbang UKS/2004/Masngudin.htm .18-06-2010 


(17)

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruh remaja pernah melakukan kenakalan, khususnya pada tingkat kenakalan biasa, seperti berbohong, pergi keluar tanpa pamit dan sebagainya. Perilaku tersebut dilakukan oleh remaja yang gagal dalam menjalani proses perkembangan agama dan jiwanya, baik pada masa remaja maupun pada masa kanak-kanak di lingkungannya terutama lingkungan keluarga.

Memang pendidikan agama bukan hanya kewajiban orang tua di rumah, melainkan tanggung jawab sekolah dan masyarakat, yang ketiganya itu oleh Ki Hajar Dewantara disebut “Tri pusat pendidikan”.20 Ketiganya itu memiliki peranan dan tanggung jawab yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya bagi pendidikan anak. Oleh karena itu kerjasama ketiganya harus senantiasa ditingkatkan agar mampu berdaya guna bagi perkembangan kepribadian anak.

Namun kalau difikirkan secara mendalam, siapa sebenarnya yang pertama-tama harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, maka kiranya tidak ada jawaban lain kecuali orang tua, karena orang tua adalah merupakan orang pertama dan utama yang wajib bertanggung jawab atas

pendidikan anaknya. Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa “Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi

tentang perkembangan anaknya.”21 Berpegang landasan inilah orang tua

memiliki nilai signifikan dalam hubungannya dengan proses pendidikan, yakni menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya.

Pendidikan agama bagi seorang anak berkaitan dengan moral dan akhlak. Dalam Islam akhlak merupakan ajaran dasar di samping ajaran aqidah dan syari’ah. Bahkan Islam menegaskan bahwa pembentukan akhlak mulia merupakan misinya yang utama. Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam sabdanya:

      

20

Sabri, Pengantar…, h. 21  21


(18)

ْﺮه

ْﻰ أ

ْ

لﺎﻗ

ةﺮ

:

ْﺜ

ﺎ إ

و

ْ

ﷲا

ﷲا

لْﻮ ر

لﺎﻗ

قﻼْﺧﻷْا

)

ﺪ أ

اور

(

Dari Abu Hurairah telah berkata: Bersabda Rasulullah SAW Tidak

lain kami diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik/ mulia. (HR. Ahmad)22

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Islam memerintahkan keluarga (orang tua) mendidik adab dan sopan santun. Rasulullah SAW bersabda:

ْ أ

ْ

صﺎ ْا

ْ

ﺪْ

ْْوﺮ

ْ

ﻰ ْﻮ

ْ

بْﻮ أ

ْ

لﺎﻗ

:

ْﻮ ر

لﺎﻗ

ْ

ﻀْأ

ﺪ و

ﺪ او

و

ﷲا

ﷲا

ل

بدأ

)

ﺪ أ

اور

(

Dari Ayyub bin Musa bin Umar bin Sa’id bin ‘Ash dari bapaknya dari kakeknya berkata, bersabda Rasulullah SAW:” Tiadalah pemberian seorang ayah terhadap anaknya yang lebih utama dari pada (memberikan pendidikan) adab sopan santun yang baik. (HR. Ahmad)23

Kalau kita pahami bahwa pendidikan agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi, maka bila pertumbuhan seorang anak ternyata mengarah pada “menjadi” anak nakal dan binal (tidak berbudi/tidak bermoral), berarti itu adalah suatu ironi dan realita menyedihkan tiada taranya. Karena itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui ”pendidikan” moral dan akhlak yang benar di rumah tangga adalah amat penting. Jadi yang ditekankan di sini adalah “pendidikan” oleh orang tua bukan “pengajaran”.24

Islam menggariskan kepada orang tua untuk membimbing anaknya agar memiliki akhlak yang baik, yaitu akhlak terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan kepada makhluk hidup lainnya. Namun kenyataannya, banyak

        22

 Musnad Imam Ahmad bin Hambal Jilid II, (Beirut: Maktab Islami, 1978), Cet. 2, h. 381 

23

Musnad…, Jilid III, h. 412  24


(19)

orang tua tidak peduli terhadap pendidikan anak, mereka kerap kali beranggapan bahwa sekolah sudah cukup mampu membentuk anak didik

untuk menjadi manusia seutuhnya.25 Mereka juga beranggapan bahwa

memenuhi kebutuhan jasmani anak saja sudah cukup untuk menunjang keberhasilan anak, dan anak diserahkan tanggung jawabnya kepada pihak sekolah sementara para orang tua sibuk dengan urusannya masing-masing dan kurang memperhatikan pendidikan anaknya.

Asumsi tersebut berdampak negatif terhadap anak terutama masalah moral atau akhlaknya. Pengamatan penulis di MTs As-Sa’adah bahwa akhlak anak di sekolah masih kurang. Hal ini ditunjukkan antara lain siswa masih membuang sampah di sembarang tempat padahal sudah disediakan tempat sampah, kemudian masih banyak yang tidak mengerjakan PR/tugas, dan kurangnya disiplin waktu masuk sekolah, tidak hadir tanpa keterangan serta sering membolos, terjadinya perkelahian antar siswa baik antar siswa di sekolah itu sendiri maupun dengan siswa sekolah lain, dan yang lebih memperihatinkan lagi masih banyak di antara mereka yang belum dapat membaca al-Qur’an dengan baik, enggan diajak sholat Dzuhur berjama’ah dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada halangan (udzur).

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka penulis tertarik

untuk mengadakan penelitian dengan judul “HUBUNGAN PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DENGAN AKHLAK SISWA DI MTs AS-SA’ADAH CAKUNG JAKARTA TIMUR”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ternyata masalahnya begitu luas sehingga tidak mungkin bagi penulis untuk membahasnya secara keseluruhan. Oleh karena itu agar masalah dalam penelitian ini

        25


(20)

lebih fokus dan tidak menyimpang dari apa yang akan diteliti, maka penulis membatasinya sebagai berikut:

a. Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam keluarga dibatasi pada aspek

sholat, puasa, membaca al-Qur’an, dan orang tua.

b. Akhlak yang dimaksud dalam penelitian ini berkaitan dengan akhlak

siswa terhadap orang tua, guru, dan teman

2. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah “Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara Pendidikan Agama Islam dalam keluarga dan akhlak siswa MTs As-Sa’adah?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam

lingkungan keluarga siswa MTs As-Sa’adah.

2. Untuk mengetahui akhlak siswa MTs As-Sa’adah

3. Untuk mengetahui hubungan Pendidikan Agama Islam dalam keluarga

dengan akhlak siswa MTs As-Sa’adah.

D. Signifikansi Penelitian

Adapun manfaat diadakannya penelitian ini adalah:

1. Kegunaan secara akademis agar dapat memberikan informasi yang

bermanfaat bagi para instansi atau lembaga pendidikan khususnya bagi MTs As-Sa’adah Jakarta. 

2. Kegunaan terapan ,hasil penelitian ini dapat dijadikan kontribusi untuk memperluas khazanah ilmu pengetahuan.  

3. Bagi penulis sendiri penelitian ini merupakan praktek pelaksanaan ilmu yang telah diperoleh di perkuliahan dan diharapkan dapat menjadi konsentrasi lebih lanjut sehingga dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi dan dapat dicari solusinya. 


(21)

DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teoritis

1. Akhlak

a. Pengertian Akhlak

Menurut pendekatan etimologi, dalam bahasa Indonesia istilah “akhlak” berasal dari bahasa Arab akhlaq jama’ dari kata khuluq(ﻖ ﺧ) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.1 Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun

yang berarti kejadian, buatan, ciptaan.2

Dalam bahasa Inggris “akhlak” disamakan dengan istilah moral

atau ethic. Begitupun dalam bahasa Yunani perkataan “akhlak”

dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika (tanpa huruf h). Jadi berdasarkan sudut pandang kebahasaan definisi akhlak dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun, tata krama (versi bahasa Indonesia).3

Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar Islam. Menurut Ibnu Maskawaih,

sebagaimana yang dikutip oleh Aminuddin dalam bukunya Pendidikan

Agama Islam untuk Perguruan Tinggi bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan

perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan”.4 Adapun

menurut Ahmad Muhammad al-Khufi seperti yang dikutip oleh

      

1

Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 346

2

Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Cet. 4, h. 198

3

Zahruddin AR, PengantarStudi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, h. 2

4

Aminuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2002), Cet. 1, h. 152


(22)

Ramayulis menyebutkan bahwa akhlak itu adalah “adat dengan sengaja dikehendaki adanya…katakanlah bahwa adat itu azimat (kemauan) yang kuat tentang sesuatu yang diulang-ulang sehingga

menjadi adat (membudaya) kepada kebaikan atau keburukan.”5

Sementara menurut Moh. Ardani akhlak adalah “suatu keadaan yang tertanam dalam jiwa berupa keinginan kuat yang melahirkan perbuatan secara langsung dan berturut-turut tanpa memerlukan pemikiran-pemikiran.”6

Selanjutnya Zakiah Dardjat dalam bukunya Pendidikan Islam

dalam Keluarga dan Sekolah mendefinisikan bahwa akhlak adalah: Kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani,

pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan yang mana tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.7

Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa akhlak adalah perbuatan yang berpangkal pada hati atau asas kesadaran jiwa seseorang tanpa memerlukan pertimbangan dan tanpa ada unsur pemaksaan, kemudian diwujudkan dalam perbuatan yang berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi sifat atau kepribadian yang dapat melahirkan perbuatan baik atau buruk.

Untuk mengetahui lebih jelas dan lebih rinci mengenai akhlak, Aminuddin menyebutkan beberapa ciri dari perbuatan akhlak, yaitu:

1) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.

      

5

Ramayulis dkk, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 1987), Cet. 1, h. 5

6

Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunagara IV, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 271

7

Zakiah Dardjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV Ruhama, 19995), Cet. 2, h. 10


(23)

2) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.

3) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari

dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

4) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan

dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.

5) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan

dengan ikhlas semata-mata karena Allah.8

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa istilah akhlak memiliki pengertian yang sangat luas, sementara yang menjadi standar atau ukuran baik dan buruk akhlak dalam Islam adalah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga bersifat universal dan abadi.

b. Macam-Macam Akhlak

Butir-butir atau sendi-sendi akhlak sangat banyak, bahkan ada yang menyebutkan butir/sendi akhlak itu bertebaran laksana gugusan bintang-bintang di langit, oleh karena itu mengenai macam-macam akhlak, penulis menyebutkannya dari segi wujud pengamalan dan segi obyek atau sasarannya.

Akhlak dalam wujud pengamalannya menurut Moh. Ardani dibedakan menjadi dua, yaitu:9

1) Akhlak yang terpuji (al-akhlak al-karimah/al-mahmudah)

Mengutip pendapat Al-Ghazali, Zahruddin HR menjelaskan bahwa “akhlak yang terpuji berarti sifat-sifat atau tingkah laku yang sesuai

dengan norma-norma atau ajaran Islam.10 Sementara menurut Aminuddin

akhlak terpuji adalah “akhlak yang senantiasa berada dalam kontrol Ilahiyah yang dapat membawa nilai-nilai positif dan kondusif bagi

kemaslahatan ummat.”11 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akhlak

terpuji adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang baik dan sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya.

      

8

Aminuddin dkk, Pendidikan…, h. 153

       9

Ardani, Al-Qur’an…, h. 274  10

Zahruddin AR, Pengantar…, h. 159 11


(24)

Tentang akhlak yang terpuji ada empat sendi yang cukup mendasar dan menjadi induk seluruh akhlak yang baik. Menurut Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Moh Ardani, bahwa induk-induk akhlak yang baik adalah sebagai berikut:

a) Kekuatan ilmu wujudnya adalah hikmah (kebijaksanaan),

yaitu keadaan jiwa yang bisa menentukan hal-hal yang benar di antara yang salah dalam urusan ikhtiariah (perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan kemauan sendiri)

b) Kekuatan marah wujudnya adalah Syaja’ah (berani), yaitu keadaan kekuatan amarah yang tunduk kepada akal pada waktu dilahirkan atau dikekang.

c) Kekuatan nafsu syahwat wujudnya adalah ‘iffah (perwira), yaitu keadaan syahwat yang terdidik oleh akal dan syari’at agama.

d) Kekuatan keseimbangan di antara kekuatan yang tiga di atas

wujudnya ialah ‘adil, yaitu kekuatan jiwa yang dapat

menuntun amarah dan syahwat sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh hikmah.12

Dari empat sendi akhlak yang terpuji itu, akan lahirlah perbuatan-perbuatan baik seperti jujur, suka memberi kepada sesama, tawadhu’, tabah, tinggi cita-cita, pemaaf, kasih sayang terhadap sesama, berani dalam kebenaran, menghormati orang lain, sabar, malu, pemurah, menjaga diri dari hal-hal yang haram, dan sebagainya. Dengan akhlak yang terpuji inilah seseorang akan dapat mencapai atau meraih kebahagiaan yang abadi.

2). Akhlak yang tercela (al-akhlak al-Madzmumah)

Akhlak tercela adalah akhlak yang tidak dalam kontrol Ilahiyah, atau berasal dari hawa nafsu yang berada dalam lingkaran syaitaniyah dan dapat membawa suasana negatif serta destruktif bagi kepentingan umat manusia.13 Sementara menurut Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Zahruddin HR, akhlak yang tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan

      

12

Ardani, Al-Qur’an…, h. 274 13


(25)

kehancuran diri, yaitu tentu saja bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kebaikan.14

Dari definisi-definisi tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa akhlak tercela adalah segala macam sikap dan tingkah laku/perbuatan yang buruk dan dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Sama halnya dengan akhlak yang terpuji, akhlak tercela juga memiliki empat sendi yang cukup mendasar dan menjadi induk seluruh akhlak yang tidak baik. Sensi-sendi akhlak yang tercela tersebut merupakan kebalikan dari sendi-sendi akhlak yang terpuji, yaitu:

a) Khubtsan wa jarbazah (keji dan pintar busuk), dan baldan

(bodoh) yaitu keadaan jiwa yang terlalu pintar atau tidak bisa menentukan yang benar di antara yang salah karena bodohnya di dalam urusan ikhtiariah.

b) Tahawwur (berani tapi sembrono), jubun (penakut) dan

khauran (lemah), yaitu kekuatan amarah yang tidak bisa dikekang atau tidak pernah dilahirkan, sekalipun sesuai dengan yang dikehendaki akal.

c) Syarhan (rakus)dan jumud (beku), yaitu keadaan syahwat yang tidak terdidik oleh akal dan syari’at agama, berarti ia bisa berkelebihan atau sama sekali tidak berfungsi.

d) Zalim, yaitu kekuatan syahwat dan amarah yang tidak terbimbing oleh hikmah.15

Keempat sendi akhlak tercela ini akan melahirkan berbagai perbuatan buruk yang dikendalikan hawa nafsu, seperti: congkak, riya, mencaci maki, khianat, dusta, dengki, keji, serakah, ‘ujub, pemarah, malas, kikir, loba dan sebagainya. Kesemuanya itu akan mendatangkan mudharat dan kerugian bagi individu dan masyarakat.

Selanjutnya akhlak jika dilihat dari obyek atau sasarannya seperti yang dijelaskan oleh Heny Narendrany Hidayati dalam bukunya yang berjudul

Pengukuran Akhlakul karimah Mahasiswa, dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:16

      

14

Zahruddin AR, Pengantar Studi…, h. 156 15 Ardani, Al-Qur’an…, h. 276

  16

 Heny Narendrany Hidayati, Pengukuran akhlakul Karimah Mahasiswa (Jakarta: UIN Press, 2009), Cet. 1, h. 12 


(26)

1) Akhlak kepada Allah (Khalik)

Akhlak kepada Allah pada prinsipnya dapat diartikan penghambaan

diri kepada-Nya atau dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Khalik.17

Adapun bentuk akhlak manusia kepada Allah menurut Aminuddin antara lain adalah:

a) Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya;

b) Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam

berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati;

c) Berdoa kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada

Allah;

d) Tawakkal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan;

e) Tawadhu’ kepada Allah, adalah rendah hati di hadapan

Allah, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.18

2) Akhlak kepada sesama manusia

Akhlak kepada sesama manusia menurut M. Nipan Abdul Halim sebagaimana yang dikutip oleh Heny Narendrany Hidayati, pada dasarnya bertolak kepada keluhuran budi dalam menempatkan diri kita dan menempatkan diri orang lain pada posisi yang tepat. Hal ini merupakan refleksi dari totalitas kita dalam menghambakan diri kepada Allah SWT.19

Akhlak terhadap manusia ini menurut Muhammad Daud Ali dapat dirinci menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:

a) Akhlak kepada Rasulullah, seperti: mencintai Rasulullah secara tulus dan mengikuti semua sunnahnya, menjadikannya idola/suri teladan dalam hidup dan

      

17 Hidayati, Pengukuran…, h. 12 18 Aminuddin, dkk, Pendidikan…,h. 153


(27)

kehidupan, menjalankan apa yang disuruhnya dan tidak melakukan apa yang dilarangnya.

b) Akhlak kepada kedua orang tua, seperti: Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya, merendahkan diri kepada keduanya diiringi perasaan kasih sayang, berkomunikasi dengan mempergunakan kata-kata yang lemah lembut, berbuat baik kepada keduanya, mendo’akan keselamatan dan keampunan bagi mereka meskipun telah meninggal dunia.

c) Akhlak kepada diri sendiri, antara lain:memelihara kesucian diri, menutup aurat, jujur, ikhlas, sabar, rendah hati, malu melakukan perbuatan jahat, menjauhi dengki, menjauhi dendam, serta menjauhi segala perkataan dan perbuatan sia-sia.

d) Akhlak kepada tetangga,saling mengunjungi, saling bantu di waktu senang lebih-lebih tatkala susah, saling memberi, saling hormat-menghormati, saling menghindari pertengkaran dan permusuhan.

e) Akhlak kepada keluarga, karib kerabat, antara lain: saling membina rasa cinta, berbakti kepada ibu bapak, mendidik anak-anak dengan kasih sayang, memelihara silaturrahmi yang dibina orang tua yang telah meninggal dunia.

f) Akhlak kepada masyarakat, antara lain: memuliakan tamu, menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, saling menolong dalam kebaikan, memberi makan fakir miskin, bermusyawarah dalam segala urusan kepentingan bersama, menunaikan amanah yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita dan menepati janji.20

3) Akhlak kepada lingkungan.

Selain kepada Allah SWT dan sesama manusia seperti yang telah disebutkan di atas, setiap individu juga harus memiliki akhlak yang baik terhadap lingkungannya. Adapun lingkungan yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupuin benda-benda tak bernyawa.

Akhlak yang diajarkan al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Adapun bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk akhlakul karimah terhadap

      

20

Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 357


(28)

lingkungan di antaranya adalah memelihara tumbuh-tumbuhan, menyayangi hewan, menjaga kebersihan dan menjaga ketentratraman.21

c. Tujuan Akhlak

Akhlak merupakan mutiara hidup yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya, sebab seandainya manusia tanpa akhlak, maka akan hilanglah derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia dan turunlah ke derajat binatang, bahkan tanpa akhlak manusia akan lebih hina, lebih jahat dan lebih buas dari binatang buas.22

Tujuan akhlak bagi seseorang sebagaimana yang dijelaskan oleh Moh. Ardani adalah “agar ia dapat mengetahui yang baik dan yang buruk, dapat membedakan yang patut dan yang tidak patut, yang hak dan yang bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun ia kuasa atau mampu melakukannya.”23

Adapun menurut Barmawie Umary tujuan utama akhlak adalah supaya hubungan kita kepada Allah dan hubungan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis. Dan dengan berakhlak kita dapat

memperoleh Irsyad, Taufiq, dan Hidayah yang dengan demikian maka

insyaallah kita akan berbahagia di dunia dan di akhirat.24 Sementara tujuan akhlak menurut Zahruddin AR adalah:

Berimplikasi bagi individu tersebut, seperti dapat meningkatkan wibawa, mendapat kehormatan di masyarakat, banyak disenangi sesamanya, mudah mendapat perlindungan serta mendapat ketenteraman dan kebahagiaan hati. Adapun bagi masyarakat (sosial), manusia mampu membina dan menjaga kerukunan antar tetangga yang terwujud dalam sikap saling menghormati, saling melindungi, saling menjaga, dan saling peduli satu sama lainnya (toleransi), sehingga seluruh lapisan masyarakat akan menjadi tenang, aman, damai dan sejahtera.25

      

21

Hidayati, Pengukuran…, h. 16 22 Hidayati, Pengukuran …, h. 17

23

Ardani, Al-Qur’an …, h. 277 24

Barmawie Umary, Materia Akhlak, (Solo: CV Ramadhani, 1990), Cet. 9, h. 2 25


(29)

Perhatian terhadap pentingnya akhlak kini semakin kuat, yaitu di saat manusia di zaman modern ini dihadapkan pada masalah moral dan akhlak yang serius, yang kalau dibiarkan akan menghancurkan masa depan bangsa yang bersangkutan. Praktik hidup yang menyimpang dan penyalahgunaan kesempatan dengan mengambil bentuk perbuatan sadis dan merugikan orang kian tumbuh subur di wilayah yang tak berakhlak. Korupsi, kolusi, penodongan, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, tawuran antar pelajar dan antar warga, serta perampasan hak-hak azasi manusia pada umumnya terlalu banyak yang dapat dilihat dan disaksikan. Adapun cara mengatasinya bukan dengan uang, ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus dibarengi dengan penanganan di bidang mental spiritual dan akhlak yang mulia.

Melihat betapa urgennya akhlak dalam kehidupan sehari-hari ini, maka penanaman nilai-nilai akhlakul karimah harus dilakukan dengan segera, terencana dan berkesinambungan. Dimulai dari hal-hal kecil, seperti makan dan minum, adab bicara, cara berpakaian yang Islami dan sebagainya. Semua nilai-nilai mulia itu sebenarnya sudah dicontohkan oleh sosok yang paling

mulia yaitu Nabi Muhammad SAW.26

Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad adalah hamba pilihan sebagai uswatun hasanah, satu-satunya mata rantai sejarah berhasil menciptakan budi pekerti yang luhur, sejati dan mulia. Hal itu didukung oleh ucapan Sayyidah Aisyah ra, ia pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah

SAW, beliau menjawab;

نﺁﺮﻘ اﻪﻘ ﺧنﺎآ

(Akhlaknya adalah Al-Qur’an)

.

27

Bahkan mengenai akhlaknya ini, Rasulullah langsung mendapat pujian dari Allah SWT, seperti dalam firmannya:

Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak tinggi. (QS: Al-Qalam; 4)28

      

26

Aminuddin, dkk, Pendidikan…,h. 157 27

Jamaluddin Miri, Pendidkan Anak dalam Islam, Terjemahan Tarbiyatul Aulad Fil Islam, karya Abdullah Nasih Ulwan, (Jakarta: Pustaka Amini, 1995), Cet. 1, h. 4

28

Terjemahan Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 960


(30)

Jadi apabila seseorang ingin berakhlak sempurna, maka tidak ada

teladan lain kecuali Nabi Muhammad SAW. 29 Sebagaimana firman Allah

SWT:

Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab:21)30

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan akhlak adalah untuk memberikan pedoman atau petunjuk bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik dan yang buruk, kemudian mengerjakan yang baik secara terus menerus dan menjadikannya kebiasaan dan sifat yang akhirnya menjadi kepribadian. Dan apabila akhlak telah ditegakkan akan terbentuklah individu dan masyarakat yang suci, selalu menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dalam semua aspek kehidupan.

Dengan mensuri tauladani akhlak Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari, maka ada jaminan yang pasti bahwa kehidupan setiap individu dan masyarakat akan terasa indah, dan pasti membawa kesuksesan, bukankah Nabi Muhammad SAW sudah tercatat dalam sejarah, bahwa beliau adalah orang yang paling sukses dalam semua sektor kehidupan.31

d. Akhlak Remaja

Sebelum membahas tentang akhlak remaja terlebih dahulu diketahui definisi remaja itu sendiri. Secara etimologi, remaja (Adolescence) dalam

      

29 Athoullah Ahmad, Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf, (Serang: Saudara, 1995), Cet. 2, h. 6

30 Terjemahan, Al-Qur’an…, h. 670 31 Aminuddin, dkk, Pendidikan…,h. 158


(31)

bahasa Latin diperoleh dari kata kerja adolescere yang berarti untuk tumbuh dan kembang menjadi dewasa.32 Atau pertumbuhan ke arah kematangan.33

Adapun secara terminologi, menurut Yusak Burhanuddin bahwa remaja adalah “masa peralihan di antara anak dan masa dewasa, di mana

anak-anak mengalami pertumbuhan cepat di segala bidang.34 Sementara Oemar

hamalik mendefinisikan arti remaja adalah “periode antara permulaan pubertas dengan kedewasaan yang secara kasar antara usia 14-25 tahun untuk laki-laki

dan antara usia 12-21 tahun untuk perempuan.”35 Adapun meurut Santrock

sebagaimana yang dikutip oleh Nihayah remaja adalah “transisi periode perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional.”36

Dari definisi-definisi di atas baik secara etimologi atau terminologi, penulis menyimpulkan bahwa pada intinya remaja adalah transisi periode antara masa anak-anak dan masa dewasa. Fase remaja termasuk dalam fase-fase perkembangan manusia, seperti disebutkan dalam firman Allah SWT:

Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, Kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, Kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), Kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat

      

32

Zahrotun Nihayah, dkk, Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet. 1, h. 105

33

Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2000), Cet. 2, h. 117

34

Yusak Burhanuddin, Kesehatan Mental, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. 1, h. 75

35 Hamalik, Psikologi..., h. 117 36 Nihayah, dkk, Psikologi..., h. 106


(32)

 

Selanjutnya mengenai masa perkembangan manusia, menurut J.J. Rousseau, sebagaimana yang dikutip oleh Sarlito Wirawan Sarwono, ia menbaginya menjadi empat tahapan, yaitu:

1) Masa Kanak-kanak ( infancy ), umur 0-4 atau 5 tahun.

Tahap ini didominasi oleh perasaan senang (pleasure) dan tidak senang (pain) dan menggambarkan tahap evolusi yaitu masa manusia sama dengan binatang.

2) Masa Bandel ( savage stage ), umur 5-12 tahun.

Tahap ini mencerminkan era manusia liar atau pengembara. Perasaan-perasaan yang dominan dalam periode ini adalah ingin main-main, lari-lari, loncat-loncat dan sebagainya yang pada pokoknya untuk melatih ketajaman indera dan keterampilan anggota-anggota tubuh. Kemampuan akal masih sangat kurang. 3) Masa bangkitnya akal (ratio), nalar (reason) dan kesadaran diri

(self consciousness), umur 12-15 tahun.

Dalam masa ini terdapat energy dan kekuatan fisik yang luar biasa serta tumbuh keingintahuan dan keinginan coba-coba.

4) Masa kesempurnaan remaja (adolescence proper), umur 15-20

tahun.

Dalam tahap ini terjadi perubahan dari kecenderungan mementingkan diri sendiri kepada kecenderungan memperhatikan orang lain dan kecenderungan memperhatikan harga diri. Tahap ini juga bangkitnya dorongan seks.38

Melihat tahapan perkembangan manusia di atas, masa remaja berada pada tahapan ketiga, yaitu masa bangkitnya akal, nalar, dan kesadaran diri. Adapun mengenai usia remaja, sampai saat ini belum ada batas yang pasti, namun rentangan usia remaja yang hampir disepakati seperti yang telah dijelaskan oleh Dr. Zakiah Daradjat ialah umur 12-21 tahun. Sementara masa remaja menurut pendapat Elizabeth B. Hurlock yang dikutip oleh Sahilun A. Nasir, ia membaginya menjadi 3 tahapan yaitu:39

a. Usia Pra remaja 10 -12 tahun ( Praeadolescence ).

      

37 Terjemahan, Al-Qur’an…, h. 768 38

SarlitoWirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), Cet. 11, h. 22

39

Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia), Cet. 1, h. 71


(33)

b. Usia Remaja Awal 13 – 16 tahun ( Early adolescence ). c. Usia Remaja Akhir 17 – 21 tahun ( Late adolescence )

Mengenai periode remaja, menurut para ahli perkembangan terbagi menjadi dua macam, yaitu:40

a. Periode remaja awal (digambarkan secara umum sesuai dengan usia

sekolah siswa SLTP).

b. Periode remaja akhir (mendekati usia periode siswa SMU ke atas).

Dari beberapa pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa usia anak Madrasah Tsanawiyah berkisar antara 13-16 tahun, yang berarti tergolong dalam kelompok usia remaja awal (early adolescence) atau masa bangkitnya akal, nalar dan kesadaran diri.

Adapun mengenai ciri-ciri khusus pada masa ini menurut Sahilun A. Nasir dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Perasaan dan emosi remaja tidak stabil.

b. Mengenai status remaja masih sangat sulit ditentukan.

c. Kemampuan mental dan daya pikir mulai agak sempurna.

d. Hal sikap dan moral, menonjol pada menjelang akhir remaja

awal.

e. Remaja awal adalah masa kritis.

f. Remaja awal banyak masalah yang dihadapi.41

Dengan melihat ciri-ciri di atas, bahwa banyak sekali perubahan yang terjadi pada diri remaja yang dapat menimbulkan masalah. Seperti mengalami ketidaktentuan tatkala mencari kedudukan dan identitas, di mana para remaja bukan lagi anak-anak, tertapi juga belum menjadi orang dewasa. Oleh karena itu mereka cenderung dan bersifat lebih sensitif karena perannya belum tegas, mereka juga mengalami pertentangan nilai-nilai dan harapan-harapan yang akibatnya lebih mempersulit dirinya yang sekaligus mengubah perannya.42

Ketidaktentuan atau kebimbangan pikiran remaja itu merefleksi terhadap tingkah laku/akhlaknya, sehingga mereka tampak berbeda sekali

      

40

Nihayah, dkk, Psikologi…, h. 106 41

A. Nasir, Peranan…, h. 64 42


(34)

dengan periode umur ini. Ketegangan emosi, peristiwa yang menyedihkan dan keadaan yang tidak menyenangkan juga berpengaruh besar dalam sikap remaja terhadap masalah keagamaan dan akhlak.43 Mengenai hal ini Sahilun A. Nasir berpendapat bahwa:

Keraguan atau kebimbangan para remaja ini memang indikasi dari belum matangnya kepribadian. Karena itulah masa ini sering

disebut juga masa Sturm und drang, karena anak itu emosinya

timbul dengan cepat, sehingga menimbulkan kemauan-kemauan yang keras. Ia mulai sadar tentang dirinya sendiri dan ingin melepaskan dirinya dari segala kekangan dan berontak terhadap norma-norma atau tradisi-tradisi yang berlaku yang kiranya tak dikehendakinya.44

Sementara menurut Bambang Syamsul Arifin, perkembangan moral/akhlak para remaja pada masa ini bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Adapun tipe moral/akhlak yang terlihat pada remaja juga mencakupi:

a. Self directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan perkembangan pribadi.

b. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.

c. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.

d. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.

e. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.45

Dengan keadaan seperti itu, maka tidaklah mudah bagi seseorang memilih cara atau metode yang tepat dan baik untuk membina agama dan akhlak para remaja, apalagi melihat perkembangan dunia saat ini yang sangat cepat, namun sebagai pegangan menurut Zakiah Daradjat ada beberapa segi yang perlu mendapat perhatian bagi para remaja antara lain:

a. Menunjukkan bahwa kita memahami mereka.

      

43

Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), Cet. 1, h. 243

44

A. Nasir, Peranan…, h. 64

 45


(35)

Setiap orang terutama remaja akan senang apabila orang lain dapat memahami dan mengenal perasaannya. Dengan demikian, mereka simpati kepada orang yang mau mengerti perasaan dan penderitaannya. Apabila rasa simpati itu telah tercipta, biasanya mereka akan dengan mudah menerima saran atau nasihat.

b. Pembinaan secara konsultasi.

Hendaknya setiap pembina bersikap terbuka untuk menampung atau mendengar ungkapan perasaan yang dialami oleh para remaja, baik secara kelompok maupun perseorangan.

c. Dekatkan agama kepada hidup.

Menggerakkan hati para remaja secara otomatis untuk mematuhi hukum dan ketentuan agama dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Karena itu, diperlukan usaha untuk mendekatkan agama dengan segala ketentuannya dengan jalan mencarikan hikmah dan manfaat setiap ketentuan agama itu. Jangan sampai mereka menyangka bahwa hukum dan ketentuan agama merupakan perintah Tuhan yang terpaksa mereka patuhi, tanpa merasakan manfaat dari kepatuhannya itu.46

Pada masa ini, para remaja menghadapi masalah dengan sikap bingung, tetapi dengan bantuan orang di sekitarnya terutama dalam lingkungan keluarga, diharapkan mereka dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya dengan baik, apalagi jika remaja itu seorang beriman yang kuat. Remaja yang kuat jasmani dan rohaninya dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup, akan menjadi orang yang selalu berguna bagi agama, nusa dan bangsanya. Remaja yang demikian ini telah dilukiskan dalam al-Qur’an:

Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambah pula untuk mereka petunjuk. (Al-Kahfi: 13)47

Begitulah, remaja penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional yang mempunyai semangat patriotisme, budi pekerti/akhlak yang tinggi, berilmu dan bertakwa kepada Tuhan YME.48

      

46

Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 14, h. 128 47


(36)

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak Remaja

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa masa remaja awal

adalah masa bangkitnya akal (ratio), nalar (reason) dan kesadaran

(consciousness). Dalam masa ini terdapat energi dan kekuatan fisik yang luar biasa serta tumbuh keingintahuan dan keinginan coba-coba. Mereka juga banyak menghadapi masalah terutama yang berhubungan dengan akhlak dan agama. Perkembangan keberagamaan remaja sangat berpengaruh terhadap akhlak/moralnya. Oleh karena itu dalam pembinaan akhlak/moral remaja, agama mempunyai peranan penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama sifatnya tetap, tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat..49

Untuk lebih jelas lagi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak remaja, Bambang Syamsul Arifin menyebutkan bahwa pengaruh tersebut bersumber dari dalam diri sendiri dan bersumber dari faktor luar seperti berikut ini:50

a. Faktor Intern

1). Faktor Hereditas

Hereditas adalah totalitas sifat-sifat karakteristik yang dibawa atau dipindahkan dari orang tua ke anak keturunannya.51 Salah satu pewarisan orang tua kepada anaknya adalah pewarisan yang bersifat tingkah laku baik

terpuji maupun tercela.52 Dengan demikian orang tua yang memiliki

akhlak yang baik, maka kemungkinan anak juga memiliki akhlak yang baik atau terpuji begitu pula sebaliknya.

       

2). Tingkat Usia

 

48

A. Nasir, Peranan..., h. 67 49

Daradjat, Ilmu…, h. 84 50 Arifin, Psikologi…, h. 78

51

Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 95 52


(37)

Sebagaimana telah dijelaskan dahulu bahwa remaja pada masa ini sedang mengalami Sturm und drang atau storm and stress, yang berarti masa ketidakstabilan perasaan dan emosi. Keadaan tersebut terefleksi kepada akhlak/moralnya. Jika keraguan atau kebimbangan berakhir dengan tunduk kepada ketentuan yang ada, maka akhlak remaja tersebut dapat dikatakan baik begitu pula sebaliknya.

3). Kepribadian

Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara kedua unsur inilah yang membentuk kepribadian dan menyebabkan munculnya tipologi (lebih menekankan pada unsur bawaan dan tak dapat diubah) dan munculnya karakter (lebih menekankan adanya pengaruh lingkungan dan dapat diubah).

Kepribadian yang berawal dari unsur bawaan sering disebut juga sebagai identitas (jati diri) seseorang yang sedikit-banyak menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luar dirinya. Perbedaan dalam kepribadian inilah diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek lainnya termasuk jiwa agama yang berpengaruh terhadap akhlak/tingkah lakunya.

4). Kondisi Kejiwaan

Kondisi kejiwaan terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Menurut Bambang Syamsul Arifin, ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini yaitu:

a) Model Psikodinamik (Sigmund Freud) yang menunjukkan

bahwa gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia, dan konflik ini akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal.

b) Pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan

mempengaruhi kondisi seseorang, penyakit ataupun factor genetik atau konisi sistem syaraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku yang abnormal.

c) Pendekatan eksistensial, menekankan pada dominasi


(38)

manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.53

Di antara sebab kegoncangan jiwa dan perasaan yang sering terjadi pada masa remaja adalah pertentangan dan ketidakserasian yang terdapat dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. 54

b. Faktor Ekstern

1). Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu kedudukan keluarga terutama orang tua dalam membentuk akhlak/moral anak sangatlah dominan. Jika orang tua menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, anak akan cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku orang tuanya itu pada dirinya. Begitu pula sebaliknya. Selain itu kegoncangan dalam keluarga misalnya, hubungan ibu-bapak dan anak-anak yang kurang erat, keadaan keluarga yang bercerai berai atau perpisahan yang terlalu lama, dapat menyebabkan kelainan perilaku anak termasuk remaja.

2). Lingkungan Institusional

Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi akhlak/moral remaja dapat berupa instutusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.

Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai program yang sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock seperti yang dikutip oleh H. Syamsu Yusuf, pengaruh sekolah terhadap perkembangan moral/akhlak anak terutama pada masa remaja sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga sementara guru-guru merupakan substitusi dari orang tua.55

      

53

Arifin, Psikologi…, h. 82 54

Daradjat, Ilmu Jiwa… , h.119 55

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. 11, h. 140


(39)

Sekolah juga merupakan lingkungan sekunder. Bagi anak yang sudah bersekolah, lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain rumah adalah sekolahnya. Anak remaja yang sudah duduk di bangku SLTP atau SLTA umumnya menghabiskan waktu sekitar tujuh jam sehari di sekolahnya. Ini berarti hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap pembentukan akhlak/moral remaja cukup besar. Adapun fator yang berpengaruh di sekolah bukan hanya guru dan sarana serta prasarana pendidikan saja, pergaulan antar teman pun besar pengaruhnya terhadap akhlak/moral anak.56

3). Lingkungan Masyarakat

Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi yang berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama dan berakhlak. Dalam masyarakat, individu (terutama anak-anak dan remaja) akan melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak baik), maka anak remaja pun cenderung akan berakhlak baik. Namun apabila temannya menampilkan perilaku yang kurang baik (amoral), maka anak remaja pun cenderung mengikuti pengaruh tersebut. Hal ini akan terjadi apabila anak atau remaja kurang mendapatkan bimbingan dalam keluarganya.

Dengan melihat berbagai faktor yang mempengaruhi akhlak remaja, baik faktor intern atau ekstern, maka untuk membentuk remaja yang shaleh (pola pikir, sikap dan perilaku) yang sesuai dengan ajaran agama, diperlukan adanya lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kesadaran beragama remaja sebagai dasar untuk mewujudkan remaja yang berakhlak mulia.

2. Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga

a. Pengertian Pendidikan Agama Islam

      

56


(40)

Sebelum menjelaskan pengertian Pendidikan Agama Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian pendidikan. Secara etimologi pendidikan berasal dari kata “didik” lalu kata ini mendapat awalan me

sehingga menjadi mendidik, artinya memelihara dan memberi latihan.57

Dalam bahasa Inggris disebut education (pendidikan) berasal dari kata

educate (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop)58. Adapun dalam bahasa Arab sering kali disebut dengan term al-tarbiyah.59

Secara terminologi pendidikan mempunyai beberapa pengertian, di antaranya menurut Anton Moeliono, et-al yang dikutip oleh Samsul Nizar, ia mendefinisikan pendidikan sebagai “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, dan cara-cara

mendidik”.60 Sedangkan menurut Langeveld sebagaimana dikutip oleh

Alisuf Sabri, menyebutkan bahwa pendidikan itu ialah “pemberian bimbingan atau bantuan rohani bagi yang masih memerlukan, pendidikan itu terjadi melalui pengaruh dari seseorang yang telah dewasa kepada orang yang belum dewasa”.61

Selanjutnya Hasan Langgulung menyatakan bahwa “pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasa diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik.62

Dari berbagai definisi di atas baik secara etimologi maupun terminologi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha transfer nilai-nilai budaya dalam rangka penyempurnaan tingkah laku, pendewasaan dan pemahaman. Atau dengan kata lain bahwa orientasi dari

      

57

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,1997), Cet. 3, h.10.

58

Syah, Psikologi …, h. 10 59

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:Ciputat Pers,2002), Cet. 1, h.25.

60

Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2001),Cet. 1, h.9.

61

Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Press, 2005), Cet. 1,h.8 62


(41)

pendidikan adalah pembentukan nilai-nilai kepribadian yang luhur dan berkualitas.

Pengertian pendidikan secara umum itu kemudian dihubungkan dengan Islam sebagai suatu sistem keagamaan menimbulkan pengertian-pengertian baru. Abdurrahman An-Nahlawi menggambarkan hubungan antara Islam dan pendidikan sebagai berikut:

Islam merupakan syari’at Allah bagi manusia yang dengan syari’at itu manusia beribadah. Agar manusia mampu memikul dan merealisasikan amanat besar itu syari’at itu membutuhkan pengamalan, pengembangan, dan pembinaan. Pengembangan dan pembinaan itulah yang dimaksud dengan pendidikan Islam.63

Lebih lanjut para ahli berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian pendidikan Islam, seperti Ahmad D. Marimba yang dikutip

oleh Samsul Nizar dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan

Islam, bahwa Pendidikan Islam adalah “Bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama”.64

Sedangkan menurut Armai Arief Pendidikan Islam adalah “sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia seutuhnya, beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan

kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnnah”.65 Sementara H. Muhaimin

menyebutkan bahwa Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Adapun Pendidikan Agama Islam menurut dia merupakan bagian dari pendidikan Islam.66

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan yang

      

63

Abdurrahman An-Nahlawi, Pendiidkan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakrta: Gema Insani Press, 1991), h. 28

64

Nizar, Filsafat Pendidikan…, h.32. 65

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 16

66

H. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4


(42)

dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan sesuai ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, agar ia memiliki kepribadian muslim.

b. Dasar Pendidikan Agama Islam

Pendidikan agama Islam sebagai aktivitas pembinaan kepribadian tentulah memiliki dasar/landasan dalam penyelenggaraannya, baik pendidikan itu diselenggarakan di rumah, sekolah maupun masyarakat. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Hadits).67

Menurut Nur Uhbiyati dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam (IPI), meyebutkan bahwa “dasar pendidikan Islam secara garis besar ada tiga yaitu: Al-Qur’an, Al-Sunnah dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita yaitu UUD 1945 pasal 29, GBHN Tahun 1993 No.22 Tahun 1989.”68

Sedangkan menurut pemikir muslim lainnya, mereka membagi sumber atau dasar nilai yang dijadikan acuan dalam pendidikan Islam kepada tiga sumber yaitu:69

1) Al-Qur’an.

Dalam buku Ilmu Pendidikan Islam Ramayulis menyebutkan bahwa

“Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal.”70 Keuniversalan ajaran Al-Qur’an menurut Samsul Nizar “mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi

      

67

Nizar, Filsafat Pendidikan…, h. 34. 68

Uhbiyati, Ilmu Pendidikan…, h. 19 69

Nizar, Pengantar…, h. 95 70


(43)

dan sekaligus mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.”71

Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik itu pendidkan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan alam semesta. Al-Qur’an merupakan sumber yang absolut dan utuh.

Di samping itu Al-Qur’an bila ditinjau dari proses turunnya yang berangsur-angsur dan sesuai dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi turunnya, merupakan proses pendidikan yang ditunjukkan Allah kepada manusia. Dengan proses tersebut memberikan nuansa bagi manusia untuk dilaksanakan proses pendidikan secara terencana dan berkesinambungan sesuai dengan perkembangan zaman dan tingkat kemampuan peserta didiknya.72

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Al-Qur’an adalah sumber agama Islam yang pertama dan utama yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. Al-Qur’an juga memiliki misi dan implikasi kependidikan yang bergaya imperative, motifatif, dan persuatif-dinamis,

sebagai suatu sistem pendidikan yang utuh dan demokrasi lewat proses manusiawi. Dengan ini diharapkan peserta didik mampu hidup secara serasi dan seimbang baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.

2) Al-Sunnah (Hadits).

Secara sederhana Al-Sunnah (Hadits) merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan Nabi Muhamad SAW dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan dakwah Islam. Contoh yang beliau berikan dapat berupa hadits qauliyat (ucapan, pernyataan Nabi), hadits fi’liyat (tindakan dan perbuatan Nabi) dan hadits taqririyat (persetujuan Nabi atas tindakan dan peristiwa yang terjadi).73

Meskipun secara umum bagian terbesar di syariah Islam telah terkandung dalam Al-Qur’an, namun muatan hukum di dalamnya belum

      

71

Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakrta: PT Media Pratama, 2001), h. 95

72

Nizar, Pengantar…, h. 97 73


(44)

Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mantaati Allah… (QS: An Nisa; 80)75

Dari ayat di atas dapat terlihat jelas, bahwa kedudukan Hadits Nabi sebagai sumber pendidikan yang utama setelah Al-Qur’an, dan dapat dipergunakan sebagai acuan bagi pelaksanan pendidikan Islam. Dengan demikian menurut Samsul Nizar, dalam Pendidikan Agama Islam Sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu:

a) Menjelaskan sistem Pendidikan Islam yang terdapat dalam

al-Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya.

b) Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan

Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya kepada anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya.76

3). Ijtihad (ijma’ulama)

Secara etimologi, ijtihad berarti usaha keras dan bersungguh-sungguh. Adapun secara terminologi menurut pendapat Hasbi Ash-shiddiqy bahwa ijtihad itu adalah mempergunakan segala kesanggupan

untuk mengeluarkan hukum syara’ dari Kitabullah dan Hadits Rasul.77

Sementara menurut pendapat Samsul Nizar yang ia kutip dari Abu Zuhrah, ijtihad adalah “produk ijma’ para mujtahid muslim pada suatu periode tertentu terhadap berbagai persoalan yang terjadi setelah wafatnya

      

74

Nizar, Pengantar…, h. 98. 75

Terjemah, Al-Qur’an…, h. 132 76

Nizar, Filsafat Pendidikan…, h. 35 77

Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), Cet. 1, h. 50.


(1)

Jakarta, 6 Februari 2010 No : Istimewa

Lamp : 1 (satu) berkas

Hal : Pengajuan Judul Skripsi Kepada Yth.,

Drs. H. Abd. Fatah Wibisono, MA Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Di tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam hormat, teriring do’a semoga Bapak dalam keadaan sehat wal’afiat dan sukses dalam menjalankan segala aktifitas, amin.

Selanjutnya, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ummu Syahdah NIM : 207011000475

Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI) Semester : VII (tujuh)

Bermaksud mengajukan judul skripsi dengan tema:

“Hubungan Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dengan Akhlak Siswa di MTs As-Sa’adah Cakung Jakarta Timur”

Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini saya lampirkan: 1. Out line

2. Daftar pustaka sementara

Demikian surat ini diajukan, semoga Bapak berkenan untuk menerima judul skripsi ini. Atas perhatian dan bantuan Bapak, saya mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Dosen Seminar Proposal Pemohon

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Ummu Syahdah NIP. 150 231 356 NIM. 207011000475

Mengetahui, Sekretaris Jurusan PAI

Drs. Sapiuddin Shidiq, M.Ag NIP. 150 299 477


(2)

PEDOMAN DAN HASIL WAWANCARA

Nama : Drs. H. Abd Azim

Jabatan : Kepala Sekolah MTs As-Sa’adah Hari/tgl Wawancara : Selasa, 3 Juni 2010

Pertanyaan:

1. P: Jelaskan bagaimana sejarah berdirinya MTs As-Sa’adah Cakung Jakarta ini! J: MTs as-Sa’adah ini berdiri pada tahun 1985 sebagai tindak lanjut dari Madrasah Ibtidaiyah yang sudah berdiri sejak tahun 1959 yang dahulu disebut dengan istilah MD (Madrasah Diniyah), kedua madrasah tersebut bernaung di bawah YAPIDA (Yayasan Perguruan Islam Daaru As-Sa’adah). Dasar didirikannya MTs ini adalah Yayasan sudah cukup memiiki kemampuan baik dari segi keilmuan maupun ADRT/finansialnya, di samping bertujuan memberikan wadah untuk meningkatkan pendidikan agama masyarakat setempat khususnya dan masyarakat umum lainnya.. Madrasah ini didirikan di atas tanah wakaf atas nama H. Muhabbar. Adapun pendirinya diprakarsai oleh para tokoh masyarakat yang sebagian besar merupakan keluarga dari pemilik wakaf, di antaranya KH. Ahmad Muhabbar, Drs. H. Ubaidillah, dan Drs. H. abd Azim Ahmad. Adapun sebagai tim penasehatnya adalah KH. A. Marzuki Muhammad, H. Maridi Muhabbar, H. Abdullah Muhabbar, dan H. Muhammad Mubayyin. Dan saya mulai menjadi kepala sekoah sejak tahun 1992.

2. P: Dari mana saja siswa yang berminat masuk ke MTs ini?

J: Beberapa tahun lalu siswa yang berminat di MTs ini cukup banyak, selain dari lingkungan setempat (Tambun rengas dan Tambun Selatan) ada juga mereka yang datang dari lingkungan lainnya seperti: Kandang Sapi, Rorotan, malaka, dan dari Tanjakan AURI. untuk saat ini sebagian besar siswa berasal dari lingkungan setempat (Tambun Rengas dan Tmbun Selatan).


(3)

3. P: Bagaimana perkembangannya sampai saat ini, berkurang atau bertambah? Dan apa yang menjadi alasannya?

J: Beberapa tahun terakhir jumlah siswa berkurang. Sebagian besar masyarakat tertarik dengan pendidikan dan SPP gratis dari pemerintah.

4. P: Usaha apa yang Bapak lalukan agar MTs ini tetap eksis dan banyak peminatnya?

J: Menyamakan mutu sekolah dengan sekolah lain yang lebih baik dengan cara memperbaiki kinerja guru, meningkatkan KBM, meningkatkan kedisiplinan, dan meningkatkan kegiatan ekstrakurikuler yang dapat membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas prestasi siswa baik yang bersifat akademik maupun yang non akademik. Hal itu juga bertujuan agar apa yang menjadi target utama saya sebagai kepala sekolah secara pribadi yaitu mengeluarkan siswa (lulus dari As-Sa’adah) dan menghantarkan siswa (masuk SLTA Negeri atau yang sederajat) dapat terwujud.

5. P: Bagaimana latar belakang ekonomi dan pendidikan para orang tua siswa di MTs ini?

J: Rata-rata ekonominya rendah, dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Mengenai pendidikan hampir 60% hanya lulus SD

6. P: Apakah ada pengaruh ekonomi dan pendidikan para orang tua di rumah dengan akhlak siswa di sekolah?

J: Ada, karena dengan keadaan ekonomi yang rendah dapat menghambat KBM . Mengenai pendiidkan orang tua, memang sangat berpengaruh karena dari segi waktu anak lebih banyak di rumah dari pada di sekolah., dan secara tidak sengaja tingkah laku orang tua menjadi gambaran atau contoh bagi anak.

7. P: Apakah ada kerja sama antara sekolah dengan orang tua siswa dalam usaha membentuk akhlak siswa yang baik?

J: Ada, yaitu dengan melakukan koordinasi antara guru/pihak sekolah dengan wali murid melalui adanya pertemuan setiap 3 bulan sekali.


(4)

8. P: Apakah ada kendala yang mendasar dalam melaksanakan kegiatan tersebut? J: Ada, masih banyak orang tua siswa yang kurang berminat atau enggan untuk hadir

pada pertemuan tersebut.

9. P: Langkah apa yang dilakukan pihak sekolah dalam mengatasi kendala tersebut?

J: Pihak sekolah akan memberikan sesuatu yang bersifat materi berupa hadiah untuk siswa, agar orang tua mau datang menghadiri pertemuan di sekolah.

10.P: Usaha apa yang Bapak lakukan untuk membentuk akhlak siswa yang baik? J: Saya pribadi dan para guru memberikan contoh atau tauladan yang baik, di

samping itu sekolah menyediakan beberapa sarana yang menunjang pembentukan akhlak yang baik seperti keberadaan guru BK, melaksanakan sholat Dzuhur berjama’ah, kegiatan kesenian, dan olah raga.

Jakarta, 3 Juni 2010 Kepala Sekolah


(5)

PEDOMAN DAN HASIL WAWANCARA

Nama : Syarif Hidayatullah, M.PdI Guru Bidang Study : Aqidah Akhlak

Hari/tgl Wawancara : Selasa, 3 Juni 2010

1.P: Sejak kapan Bapak mengajar bidang study Aqidah Akhlak di MTs As-Sa’adah? J: Tahun 2009-2010

2. P: Bagaimana hasil belajar/nilai pelajaran Aqidah Akhlak siswa? J: Baik

3. P: Menurut Bapak apakah hasil belajar pendidikan Aqidah Akhlak berhubungan dengan akhlak siswa itu sendiri di sekolah?

J: Pasti, karena dalam proses kegiatan belajar mengajar aqidak akhlak juga mencakup tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

4. P: Bagaimana pelaksanaan pendidikan Aqidah Akhlak di sekolah, agar tujuan membentuk akhlakul karimah dapat tercapai?

J: Di antaranya melakukan sistem kontrol siswa di sekolah, baik dari segi perbuatan, perkataan maupun penampilan. Selain itu para guru secara bergiliran mengawasi mereka, ketika sedang melaksanakan sholat dzuhur berjama’ah di masjid.

Jakarta, 3 Juni 2010 Guru Aqidah Akhlak

(Syarif Hidayatullah, M.PdI)


(6)

PEDOMAN DAN HASIL WAWANCARA

Nama : Lutfiah Jabatan : Tata Usaha

Hari/tgl Wawancara : Selasa, 03 Juni 2010 Pertanyaan:

1. P: Sejak kapan Ibu menjadi pegawai di bagian Tata Usaha di MTs As-Sa’adah?

J: Tahun 1999

2. P: Berapakah jumlah siswa di MTs ini secara keseluruhan?

J: Dari kelas VII s/d IX berjumlah 80 orang, untuk lebih jelas lihat data siswa. 3. P: Berapakah jumlah guru secara keseluruhan serta latar belakang

pendidikannya?

J: Kurang lebih 16 orang, untuk lebih jelas lihat data guru

4. P: Sarana apa saja yang ada di sekolah ini yang dapat mendukung pembentukan akhlak siswa yang baik?

J: Aula serba guna yang dapat digunakan untuk mempelajari Ta’lim setiap hari jum’at dan tempat siswa melaksanakan sholat Dhuha. Adapun sholaat Dzuhur pelaksanaannya secara berjama’ah di masjid Al-Mubarok yang berlokasi dekat dengan sekolah.

Jakarta, 03 Juni 2010 Tata Usaha