Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak dalam hidup ini, dan manusia tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Menurut John Dewey sebagaimana dikutip oleh A. Fatah Yasin bahwa “pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia guna membentuk dan mempersiapkan pribadinya agar hidup dengan disiplin.” 1 Pendidikan dipandang sangat penting dalam proses pembangunan dan dijadikan sebagai sarana kemajuan bangsa. Dengan kata lain kemajuan suatu bangsa terletak pada kualitas manusianya, sementara peningkatan kualitas manusia hanya dapat dibina melalui pendidikan dalam segala bidang kehidupan termasuk kehidupan beragama. Secara kodrati seorang anak sejak dilahirkan memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang hidup di dunia. 2 Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT: ☺ ⌧ ... Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun...QS: An-Nahl; 78 3 Islam juga menyatakan bahwa seorang anak lahir di dunia membawa pembawaan yang disebut fitrah. Fitrah ini berisi potensi untuk berkembang, potensi ini dapat berupa keyakinan beragama, perilaku untuk menjadi baik ataupun menjadi buruk dan lain sebagainya yang kesemuanya harus dikembangkan agar ia tumbuh secara wajar sebagai hamba Allah. 1 A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008, Cet. 1, h. 15 2 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998, Cet. 2, h. 85 3 Terjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,, Semarang: Toha Putra, 1989, h. 413 1 2 Rasulullah SAW bersabda: ْ أ ه ﻰ ﺮ ْﺮ ة ا ﷲا ﻰ ْ و ﻗ لﺎ , آ ْﻮ ْﻮ د ْﻮ ﺪ ْا ﻰ ﻔ ْﻄ ﺮ ة , ﺄ ﻮا ﻬ ﻮ دا اْو ﺮ ا أْو ﺴ ﺎ . نﺎ ا اور Setiap anak dilahirkan membawa fitrah bakat keagamaan, maka terserah kepada kedua orang tuanyalah untuk menjadikan beragama Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. HR. Ibn Hibban 4 Dari ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi seorang anak terutama pendidikan agama, agar ia menjadi manusia yang berkualitas. Dalam pasal 37 ayat 1 menjelaskan bahwa ”pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.” 5 Sementara pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak adalah pendidikan dari kedua orang tuanya yang terjadi dalam keluarga. Menurut Zakiah Daradjat keluarga adalah “wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak.” 6 Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Alisuf Sabri dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pendidikan menyebutkan bahwa: Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang pertama dialami oleh anak-anak. Oleh karena itu keluarga disebut sebagai Primary Community . Yaitu sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga disebut sebagai lingkungan pertama karena dalam keluarga inilah anak pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Dan keluarga disebut sebagai lingkungan penidikan utama karena sebagian besar hidup anak dan pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah di dalam keluarga. 7 Pendidikan dalam keluarga berlangsung secara terus menerus melalui pengalaman langsung yang diperoleh anak melalui penglihatan, pendengaran, 4 Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abi Hatim al-Tamimiy al-Bistiy, Shahih Ibn Hibban , Jilid 1, Tahqiq oleh Syu’aib al-arnauth, Beirut: Muassasat al-Risalat, 1993, h. 336 5 UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sstem Pendidikan Nasional SISDIKNAS, Bandung:Fokusmedia, 2006, h. 52 6 Zakiah Dardjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: CV Ruhama, 19995, Cet. 2, h. 47 7 Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Press, 2005, Cet. 1, h. 22 3 perlakuan yang diterimanya serta latihan daya serap si anak serta meniru dan mengidentifikasikan diri dengan orang di sekitarnya, terutama orang-orang yang sering memenuhi kebutuhannya. Demikian besar dan sangat mendasar pengaruh keluarga terhadap perkembangan pribadi anak terutama dasar-dasar agama, kelakuan, sikap, reaksi dan dasar-dasar kehidupan lainnya, seperti makan, berpakaian, cara bicara, sikap terhadap dirinya terhadap orang lain termasuk sifat-sifat kepribadian lainnya yang semuanya itu terbentuk pada diri anak melalui interaksinya dengan pola kehidupan yang terjadi dalam keluarga. Oleh karena itu kehidupan dalam keluarga jangan sampai memberikan pengalaman- pengalaman atau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik yang akan merugikan perkembangan hidup anak kelak di masa dewasa. 8 Menurut Nur Uhbiyati yang dimaksud dengan keluarga yang ideal ialah: Keluarga yang mau memberikan dorongan kuat kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan agama. Jika mereka mampu dan berkesempatan, maka mereka dapat melakukannya sendiri, tetapi jika tidak, maka mereka mendatangkan guru agama untuk memberikan pelajaran privat kepada anak-anak mereka. Di samping itu mereka masih memberikan perhatian dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan. Keluarga demikianlah yang melahirkan anak-anak taat menjalankan agamaibadah dan berakhlak mulia. 9 Pendidikan agama dalam lingkungan keluarga harus diupayakan mampu menyentuh kata hati, akal fikiran anak, perasaan serta pendengaran mereka. Bekal ini merupakan modal dasar yang sangat penting bagi tercapainya martabat manusia shaleh. Terlebih-lebih bila hal tersebut diimbangi dengan pendidikan memadai yang diberikan oleh kedua orang tua yang memiliki dan memikul tanggung jawab. 10 Sementara penanggung jawab atau pemegang otoritas penyelenggaraan pendidikan di lingkungan keluarga pada umumnya adalah orang tua. 11 8 Sabri, Penganar…, h. 21 9 Uhbiyati, Ilmu Pendidikan…, h. 212 10 Tim Dosen IAIN Sunan Ampel-Malang, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Surabaya: Karya Aditama, 1996, Cet. 1, h. 194 11 Abuddin Nata, Filsafat Pendiidkan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. 1, h. 115 4 Tanggung jawab itu menurut Abuddin Nata disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: 1. Karena kodrat, yaitu orang tua ditakdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya. 2. Kepentingan orang tua terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. 12 Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa “orang tua sering diistilahkan dengan pendidik kodrat”. 13 Karena anak merupakan amanat Tuhan yang harus ditunaikan oleh kedua orang tuanya dan Tuhan tidak menghendaki anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah suci dibiarkan begitu saja menjadi manusia lemah, serta menjadi fitnah bagi kedua orang tuanya kelak di kemudian hari. 14 Adapun pelaksanaan tugas dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak-anaknya secara tegas telah diperintahkan oleh Allah SWT: … Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …QS: Al-Tahrim:6 15 Dengan demikian memberikan pendidikan agama dalam keluarga kepada anak adalah suatu kewajiban mutlak yang harus dilaksanakan oleh orang tua dengan sebaik-baiknya. Pendidikan agama dalam lingkungan keluarga merupakan basic. Awal mula anak tumbuh rasa iman kepada Allah tak lain adalah dalam lingkungan keluarga. Selama keluarga itu orang tua memiliki rasa iman yang mantap, barulah diharapkan orang tua tersebut dapat mendidik anaknya. Pendidikan agama bisa bersemi secara subur dalam diri anak tak terlepas dari kondisi keluarga dan situasi keagamaan di dalamnya. Oleh karena itu bila pendidikan 12 Nata, Filsafat Pendidikan…, h. 62 13 Uhbiyati, Ilmu Pendidikan …, h. 211 14 Syaukani HR, Pendidikan Paspor Masa Depan, Prioritas Pembangunan dalam Otonomi Daerah, Jakarta: Nuansa Madani, 2006, h. 194 15 Terjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an,… h. 951 5 agama ingin tumbuh subur dan anak memiliki rasa iman dan keagamaan yang kuat, maka kondisikanlah kehidupan rumah tangga tersebut menjadi kehidupan keluarga Muslim. Mengenai peranan keluarga, Zakiah Dardjat dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam menyatakan bahwa: Ayah dan ibu mempunyai peranan yang sangat penting dan sangat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya, dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal anak, menjadi temannya dan yang dipercayainya. Pengaruh ayah terhadap anaknya juga besar. Di mata anaknya ia seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai di antara orang-orang yang dikenalnya. Cara ayah melakukan pekerjaannya sehari-hari berpengaruh pada cara pekerjaan anaknya. 16 Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat H. M. Arifin yang menyebutkan bahwa “ayah dan ibu merupakan dwitunggal yang bersama- sama menjalankan tugas pendidikan dalam keluarga yang dijalin dengan kerja sama dan saling pengertian sebaik-baiknya, agar timbul keserasian dalam menunaikan tugas tersebut baik yang bersifat paedagogis ataupun psikologis dalam pembentukan dan pengembangan wataksikap anak.” 17 Seharusnya Pendidikan Agama Islam terutama dalam keluarga dapat membangun dan membentuk karakter, akhlak dan moralitas anak yang baik. Namun kenyataannya, Pendidikan Agama Islam tidak mampu lagi membentengi anak-anak didik dengan akhlakul karimah yang kuat khususnya pada masa remaja dalam meghadapi tuntutan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi iptek. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Masri Mansoer dkk, berdasarkan laporan Pusat Studi Wanita USU bahwa 85 remaja terkena penyakit kelamin akibat seks bebas, dan 92 penderitanya adalah wanita. Adapun Menteri Negara Komunikasi dan Informasi 16 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008, Cet. 7, h. 35 17 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga , Jakarta: Bulan Bintang, 1978, Cet. 4, h. 88 6 mengatakan bahwa 60 pengguna internet di Indonesia membuka situs porno. Dan dari satu penelitian tentang kenakalan dan tawuran remaja di Jakarta Selatan mengatakan 79 mereka yang terlibat dalam tawuran itu dipicu oleh keagresifan akibat menggunakan narkoba. 18 Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Masngudin HMS di pinggiran kota metropolitan Jakarta dari 30 responden tentang kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia saat ini, yaitu sebagai berikut: 19 Tabel. 1 Kenakalan Remaja No Bentuk Kenakalan F 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Berbohong Pergi keluar rumah tanpa pamit Keluyuran Begadang Membolos sekolah Berkelahi dengan teman Berkelahi antar sekolah Buang sampah sembarangan Membaca buku porno Melihat gambar porno Menonton film porno Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM Kebut-kebutan Minum minuman keras Hubungan sex diluar nikah Mencopet Berjudi 30 30 28 26 7 17 2 10 5 7 5 21 19 25 12 8 10 100 100 98,7 93,3 23,3 56,7 6,7 33,3 16,7 23,3 16,7 70,0 63,3 83,3 40,0 26,7 33,3 18 Masri Mansoer, dkk, Laporan Hasil Penelitian Keberagamaan Religiusitas Remaja dan Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, h.3 19 Masngudin HMS, Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga , diakses oleh WWW. Depsos.qo.idBalatbangPuslitbang UKS2004Masngudin.htm .18-06-2010 7 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruh remaja pernah melakukan kenakalan, khususnya pada tingkat kenakalan biasa, seperti berbohong, pergi keluar tanpa pamit dan sebagainya. Perilaku tersebut dilakukan oleh remaja yang gagal dalam menjalani proses perkembangan agama dan jiwanya, baik pada masa remaja maupun pada masa kanak-kanak di lingkungannya terutama lingkungan keluarga. Memang pendidikan agama bukan hanya kewajiban orang tua di rumah, melainkan tanggung jawab sekolah dan masyarakat, yang ketiganya itu oleh Ki Hajar Dewantara disebut “Tri pusat pendidikan”. 20 Ketiganya itu memiliki peranan dan tanggung jawab yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya bagi pendidikan anak. Oleh karena itu kerjasama ketiganya harus senantiasa ditingkatkan agar mampu berdaya guna bagi perkembangan kepribadian anak. Namun kalau difikirkan secara mendalam, siapa sebenarnya yang pertama-tama harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, maka kiranya tidak ada jawaban lain kecuali orang tua, karena orang tua adalah merupakan orang pertama dan utama yang wajib bertanggung jawab atas pendidikan anaknya. Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 7 ayat 1 m enyatakan bahwa “Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan anaknya.” 21 Berpegang landasan inilah orang tua memiliki nilai signifikan dalam hubungannya dengan proses pendidikan, yakni menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya. Pendidikan agama bagi seorang anak berkaitan dengan moral dan akhlak. Dalam Islam akhlak merupakan ajaran dasar di samping ajaran aqidah dan syari’ah. Bahkan Islam menegaskan bahwa pembentukan akhlak mulia merupakan misinya yang utama. Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam sabdanya: 20 Sabri, Pengantar…, h. 21 21 UU RI No 20 Tahun 2003…, h. 7 8 ْﺮه ْﻰ أ ْ لﺎﻗ ةﺮ : ْﺜ ﺎ إ و ْ ﷲا ﻰ ﷲا لْﻮ ر لﺎﻗ قﻼْﺧﻷْا ﺎ ﻷ ﺪ أ اور Dari Abu Hurairah telah berkata: Bersabda Rasulullah SAW Tidak lain kami diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik mulia. HR. Ahmad 22 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Islam memerintahkan keluarga orang tua mendidik adab dan sopan santun. Rasulullah SAW bersabda: ﺪ ْ أ ْ صﺎ ْا ْ ﺪْ ْْوﺮ ْ ﻰ ْﻮ ْ بْﻮ أ ْ لﺎﻗ : ْﻮ ر لﺎﻗ ْ ﻀْأ ﺪ و ﺪ او ﺎ و ﷲا ﻰ ﷲا ل ﺴ بدأ ﺪ أ اور Dari Ayyub bin Musa bin Umar bin Sa’id bin ‘Ash dari bapaknya dari kakeknya berkata, bersabda Rasulullah SAW:” Tiadalah pemberian seorang ayah terhadap anaknya yang lebih utama dari pada memberikan pendidikan adab sopan santun yang baik. HR. Ahmad 23 Kalau kita pahami bahwa pendidikan agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi, maka bila pertumbuhan seorang anak ternyata mengarah pada “menjadi” anak nakal dan binal tidak berbuditidak bermoral, berarti itu adalah suatu ironi dan realita menyedihkan tiada taranya. Karena itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui ”pendidikan” moral dan akhlak yang benar di rumah tangga adalah amat penting. Jadi yang ditekankan di sini adalah “pendidikan” oleh orang tua bukan “pengajaran”. 24 Islam menggariskan kepada orang tua untuk membimbing anaknya agar memiliki akhlak yang baik, yaitu akhlak terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan kepada makhluk hidup lainnya. Namun kenyataannya, banyak 22 Musnad Imam Ahmad bin Hambal Jilid II, Beirut: Maktab Islami, 1978, Cet. 2, h. 381 23 Musnad…, Jilid III, h. 412 24 Syaukani HR, Pendidikan…, h. 198 9 orang tua tidak peduli terhadap pendidikan anak, mereka kerap kali beranggapan bahwa sekolah sudah cukup mampu membentuk anak didik untuk menjadi manusia seutuhnya. 25 Mereka juga beranggapan bahwa memenuhi kebutuhan jasmani anak saja sudah cukup untuk menunjang keberhasilan anak, dan anak diserahkan tanggung jawabnya kepada pihak sekolah sementara para orang tua sibuk dengan urusannya masing-masing dan kurang memperhatikan pendidikan anaknya. Asumsi tersebut berdampak negatif terhadap anak terutama masalah moral atau akhlaknya. Pengamatan penulis di MTs As-Sa’adah bahwa akhlak anak di sekolah masih kurang. Hal ini ditunjukkan antara lain siswa masih membuang sampah di sembarang tempat padahal sudah disediakan tempat sampah, kemudian masih banyak yang tidak mengerjakan PRtugas, dan kurangnya disiplin waktu masuk sekolah, tidak hadir tanpa keterangan serta sering membolos, terjadinya perkelahian antar siswa baik antar siswa di sekolah itu sendiri maupun dengan siswa sekolah lain, dan yang lebih memperihatinkan lagi masih banyak di antara mereka yang belum dapat membaca al-Qur’an dengan baik, enggan diajak sholat Dzuhur berjama’ah dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada halangan udzur. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “HUBUNGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DENGAN AKHLAK SISWA DI MTs AS-SA’ADAH CAKUNG JAKARTA TIMUR”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah