Teori-Teori yang Relevan .1 Ekolinguistik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 Ekolinguistik Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik berawal dari pemikiran Haugen bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa Fill, 2001:44. Ekolinguistik menjelaskan fenomena bahasa dengan parameter ekologi. Einer Haugen seorang tokoh paradigma linguistik pertama pada 30 tahun yang telah mengkombinasikan bahasa dengan ekologi. Dijelaskan bahwa ekologi bahasa adalah ilmu yang mempelajari interrelasi antara bahasa yang ada dalam kognitif manusia dan dalam komunitas yang multilingual. Semenjak itu, ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik yang mengembangkan hubungan antara bahasa dan ekologi yang telah didirikan dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan pendekatan, dan metode yang berbeda pula. Haugen 1970 dalam Mbete 2009:11-12, menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu: 1 linguistik historis komparatif, 2 linguistik demografi, Universitas Sumatera Utara 3 sosiolinguistik, 4 dialinguistik, 5 dialektologi, 6 filologi, 7 linguistik preskriptif, 8 glotopolitik, 9 etnolinguistik, linguistik antropologi, ataupun linguistik kultural cultural linguistics, dan 10 tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Jauh sebelum kemunculan Haugen, ekologi sebenarnya telah diperkenalkan pada tahun 1834- 1914oleh Ernest Haeckel. Secara etimologis, kata ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti house, man’s immediate suroundings. Ricklefs 1976:1 mendefinisikan ekologi adalah ilmu yang mempelajari tumbuhan dan hewan, sebagai individu dan bersama-sama dalam populasi dan komunitas biologis, dalam kaitannya dengan lingkungan-fisik, kimia, dan biologi karakteristik lingkungan mereka. Menurut Haugen 1972:325 dalam Lindo dan Bundsgaard eds 2000:9Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment. ‘Bahasa ekologi dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antara bahasa tertentu dan lingkungannya.’ Ekolinguistik merupakan sebuah ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu yang merupakan payung untuk semua penelitian bahasa yang dikaitkan antara manusia sebagai pemakai bahasa dan alam sekitarnya lingkungan. Hal ini senada dengan Universitas Sumatera Utara apa yang dikatakan oleh Fill 1993:126, dalam Lindo Bundsgaard, eds, 2000:40 yang mendefinisikan ekolinguistik sebagai: Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[…] all approaches in which the study of language and languages is in any way combined with ecology’. ‘Ekolinguistik merupakanistilah payung untuk Hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional merupakan pokok pembicaraan utama dalam studi ekologi. Setidaknya ada dua parameter yang dihubungkan, yaitu bahasa dan ekologi lingkungan. Kombinasi dari kedua parameter tersebut menghasilkan studi yang disebut ekolinguistik. Fill dan Mühlhäusler 2001:2 dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University menyebutkan: ‘[…] semua pendekatan studi bahasa dan bahasa- bahasa yang dikombinasikan dengan ekologi.’ “Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environmentecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times” p.2. Pembicaraan di antara para pakar bahasa tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau di dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Pakar-pakar di atas menekankan tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi dari perspektif yang lebih luas. Universitas Sumatera Utara Sudut pandang mereka adalah bahwa teori ekologi dan bahasa saling berhubungan. Pandangan terhadap lingkungan yang dibentuk dan membentuk semua hubungan antar pesona bahasa yang sangat penting merupakan bagian dari masalah ekologi. Konsepsi pandangan bahasa dan ilmu bahasa juga menunjukkan bahwa bahasa baik yang tertulis maupun lisan dan lingkungan dianggap sebagai tujuan-tujuan kajian yang potensial. Secara tradisional ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu eco-critical discourse analysis dan linguistic ecology Fill dalam Lindo dan Bundsgaard, 2000:9. Yang pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedang yang kedua, linguistik ekologi, yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik. Analisis wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak- pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem. Fokus kajian pada penelusuran gambaran ideologi yang dapat mendukung kelangsungan ekologis. Dalam perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau menggambarkan perubahan lingkungan, baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam, demikian pula sebaliknya. Berkurang atau menghilangnya biota, fauna atau flora di lingkungan alam dan budaya tertentu mengubah pula pemahaman dan interelasi manusia dengan alam di lingkungan itu. Kondisi ini pada akhirnya memengaruhi pemakaian bahasa, misalnya penggunaan leksikon flora masyarakat Pakpak Dairi. Masyarakat Pakpak Dairi Universitas Sumatera Utara sebagai penutur asli memahami makna leksikon yang digunakan pada kegiatan berkomunikasi antarpenutur dengan menggunakan leksikon yang berasal tumbuhan hutan, gunung, alam, nama-nama binatang karena memang tanaman, benda alam dan binatang tersebut masih ada di lingkungan. Hal ini seiring pula dengan perubahan waktu, dengan menghilangnya tanaman, penghuni hutan, gunung, alam, nama-nama binatang dan leksikon yang berkaitan dengan kehidupan di lingkungan. Dengan demikian, telah terjadi pula penyusutan pemahaman makna leksikal dan fungsinya yang leksikon tersebut disebutkan tapi wujud benda yang bertautan dengan nama tumbuhan nyaris tidak dikenali lagi oleh genarasi muda. Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler eds 2001:14 menyebutkan tiga bentuk lingkungan: 1 Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan. 2 Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut. 3 Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni. Lebih lanjut Sapir menjelaskan bahwa secara lahiriah bahasa itu dipengaruhi lingkungan yang melatari pengguna atau pemakai suatu bahasa. Universitas Sumatera Utara Lingkungan fisik ragawi tersebut tergambar dalam bahasa-bahasa yang telah dipengaruhi faktor-faktor sosial. Namun, perubahan lingkungan fisik akan lebih terlihat jelas dari kosa kata bahasa tersebut. Pembahasan utama dalam studi ekolinguistik adalah hubungan antara lingkungan dan bahasa pada ranah leksikon bukan pada ranah bunyi bahasa fonologi dan ranah bentuk kata morfologi. Hubungannya ini dijelaskan lebih rinci oleh Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler 2001: 2, yaitu “This interrelation exists merely of the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology.” Keterkaitan ini ada hanya pada tingkat kosa kata dan bukan, pada fonologi atau morfologi. Lebih lanjut Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler 2001: 14 menjelaskan hubungannya, yaitu lingkungan fisik dan sosial masyarakat penutur sebuah bahasa akan tercermin dari penggunaan kosa kata bahasa mereka. Kosa kata lengkap sebuah bahasa dipandang sebagai inventaris kompleks dari semua ide, minat yang menyita perhatian masyarakat, misalnya kamus lengkap sebuah suku menyimpulkan karakteristik budaya masyarakatnya yang memanfaatkan itu sehingga tidaklah sulit menemukan contoh-contoh kosakata sebuah bahasa yang digunakan oleh sekelompok penutur tempat mereka berada. Perubahan bahasa pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi Lindo dan Bundsgaard, 2000:11 yaitu “ideo-logical dimension, socio-logical dimension, and bio-logical dimension.” Pertama, dimensi ideologis berkaitan dengan adanya ideologi masyarakat. Misalnya ideologi kapitalisame dan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan untuk Universitas Sumatera Utara tetap mempertahankan, mengambangkan, dan membudidayakan flora yang bernilai ekonomi tinggi untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi; kedua, dimensi sosiologis yaitu berkaitan dengan adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi sosiologis ini, bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna; ketiga, dimensi biologis berkaitan dengan adanya keanekaragaman biota secara berimbang dalam ekosistem. Dimensi biologis secara verbal terekam secara leksikon dalam perbendaharaan kata setiap bahasa. 2.1.2Semantik Struktural Banyak teori tentang makna telah dikemukakan para ahli. Ferdinan de Suassure untuk pertama kali memberikan pandangan ini dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa rentetan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep yang dimiliki oleh signifian Ferdinan de Saussure dalam Chaer, 2007:286. Lebih lanjut, Richard dan Ogdent 1923 dalam Chaer 2007:286 menjelaskan hubungan antara lambang, konsep, dan acuan yang disebut dengan segitiga makna. Dalam bagan tersebut, hubungan antara lambang dan konsep bersifat langsung karena lambang dan konsep adalah masalah di dalam bahasa, sedangkan hubungan antara lambang dan referen bersifat tidak langsung karena lambang adalah masalah dalam bahasa sementara referen merupakan masalah di luar bahasa yang hubungannya bersifat Universitas Sumatera Utara arbitrer. Karena bersifat arbitrer, maka kita tidak dapat menjelaskan hubungan kata-kata itu dengan makna yang dimilikinya. Dalam kajian linguistik, persoalan yang menjadikan makna sebagai bidang kajiannya adalah Semantik. Semantik menelaah hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut Edward dalam Tarigan, 1985:3. Semantik struktural merupakan pendekatan strukturalis yang dibawa pada ranah semantik leksikalGeeraerts 2010:48. Secara teori dan deskripsi semantik struktural muncul dengan rangkaian hubungan konsep makna strukturalis. Dalam semantik struktural, ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu ranah leksikal, analisis komponen, dan relasi semantis. Dalam hal ini, relasi semantis akan digunakan sebagai kajian teoretis. Relasi semantis mengembangkan ide dari gambaran relasi struktural dalam kata-kata yang berhubungan Geeraerts, 2010:52 Makna kata dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam konteks kalimat. Menurut semantik leksikal, makna suatu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh- sungguh nyata dalam kehidupan kita Pateda, 2001:74. Sebagai contoh kata daun referennya ‘bagian tanaman yang tumbuh berhelai-helai pada ranting’, dalam bahasa Pakpak Dairi komil referennya ‘jenis tumbuhan semak dengan kontur daun yang lembut biasa untuk makanan kerbau’. Pendekatan semantik leksikal yang digunakan pada kajian ini adalah pada ranah relasi semantis. Teori yang digunakan untuk menjelaskan relasi semantis Universitas Sumatera Utara leksikon flora bahasa Pakpak Dairi adalah teori Saeed 2000:63. Teori relasi semantis menurut Saeed adalah:

1. Homonim

Homonimi adalah bentuk kata secara fonologi sama tetapi maknanya tidak berhubungan lihat Saeed, 2000:63. Selain homonim, ada juga istilah homograf dan homofon. Homograf merupakan kata yang tulisannya sama tetapi maknanya berbeda. Homofon adalah istilah untuk kata yang pengucapannya sama tetapi maknanya berbeda. Namun, Saeed juga menyebut kedua istilah itu homonim karena perbedaan kedua istilah tersebut bergantung pada perilaku sintaksis dan pengucapannya. Namun beberapa penulis membedakan homograf dengan homofon, misalnya: a. kata yang tulisan dan pelafalannya sama tetapi maknanya berbeda homonim, misalnya genting I‘gawat’ dan genting II‘atap’. b. kata yang tulisannya sama tetapi pelafalan dan maknanya berbeda homograf, misalnya apel I‘buah’ apel II ‘upacara’. c. kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda homofon, misalnya [bank] I ‘lembaga penyimpan uang’ dan [bang] II ‘kakak].

2. Polisemi

Secara leksikologi, homonim dan polisemi memiliki perbedaanlihat Saeed2000:64. Meskipun keduanya memiliki pengertian yang sama,dalam Universitas Sumatera Utara