Hakekat Strategi Pembelajaran Kooperatif

3. Hakekat Strategi Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai strategi pembelajaran dimana para siswa bekerja bersama dengan menggunakan kemampuan keahlian masing-masing untuk mencapai keberhasilan dari setiap anggota kelompok (Johnson,dkk. 2000). Pembelajaran kooperatif didasarkan pada suatu metode pengajaran yang membutuhkan keaktifan guru dan siswa, dan terjadi interaksi dalam proses pembelajaran yang akhirnya siswa mendapat pengetahuan dari hasil proses tersebut. Melalui strategi pembelajaran kooperatif, siswa bukan hanya belajar menerima apa yang disajikan guru dalam proses pembelajaran, melainkan bisa belajar dari siswa lainnya, dan sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang lain (Slavin,1995). Selanjutnya proses pembelajaran kooperatif ini mampu merangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar dalam kelompok –kelompok kecil siswa (Nurhadi,2004).

Selanjutnya Tsailing Liang (2002:6 ) mendifinisikan: Cooperative learning is defined as a system of concrete teaching and

learning techniques, rather than an approach, in which students are active agents in the process of learning through small group structures so that

students work together to maximize their own and each other’s learning. There are five characteristics that feature cooperative learning in this

study: (1) positive interdependence, (2) face-to-face interaction, (3) individual accountability, (4) interpersonal and small group skills, and (5) group processing.

Pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai suatu sistem pengajaran nyata dan teknik-teknik belajar, juga suatu pendekatan, di mana siswa merupakan peserta aktif dalam proses pembelajaran melalui struktur kelompok kecil sehingga siswa bekerja sama untuk memaksimalkan mereka sendiri dan saling belajar. Disebutkan juga bahwa ada lima karakteristik yang menjadi ciri pembelajaran Pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai suatu sistem pengajaran nyata dan teknik-teknik belajar, juga suatu pendekatan, di mana siswa merupakan peserta aktif dalam proses pembelajaran melalui struktur kelompok kecil sehingga siswa bekerja sama untuk memaksimalkan mereka sendiri dan saling belajar. Disebutkan juga bahwa ada lima karakteristik yang menjadi ciri pembelajaran

Selanjutnya Trianto (2010: 56) mengatakan : belajar kooperatif bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai guru dan mungkin siswa kita pernah menggunakannya atau mengalaminya sebagai contoh saat bekerja dalam laboratorium. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru (Slavin, 1995; Eggen & Kauchak). Artzt & Newman (1990: 448) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasitan.kelompoknya.

a. Teori –Teori Yang Mendasari Pembelajaran Kooperatif

1) Perspektif Aliran Vygotski

Vygotsky dalam Tsailing Liang (2002:26 ) mengatakan: According to Vygotsky (1978), all good learning was that which was in advance of development and involved the acquisition of skills just beyond

the student’s grasp. Such learning occurred through inter action within the student’s zone of proximal development. Vygotsky defined the zone of proximal development as the discrepancy between the student’s actual developmental level (i.e., independent achievement) and his/her potential level (achievement with help from a more competent partner).

S emua pembelajaran yang baik adalah yang berada disekitar daerah perkembangan dan melibatkan perolehan keterampilan hanya di luar jangkauan

siswa. Seperti pembelajaran terjadi melalui interaksi dalam zona perkembangan proksimal siswa. Vygotsky mendefinisikan zona perkembangan proksimal sebagai siswa. Seperti pembelajaran terjadi melalui interaksi dalam zona perkembangan proksimal siswa. Vygotsky mendefinisikan zona perkembangan proksimal sebagai

Vygotsky dalam Tsailing Liang (2002: 26) mengatakan: Vygotsky’s zone of proximal development had many implications for those

in the educational milieu. One of them was the idea that human learning presupposed a specific social nature and was part of a process by which children grew into the intellectual life of those around

them.(Vygotsky,1978). According to Vygotsky (1978) , an essential feature of learning was that it awakens a variety of internal developmental processes that were able to operate only when the child was in the action of interacting with people in his environment and in cooperation with his peers .

Zona perkembangan proksimal Vygotsky memiliki banyak implikasi di lingkungan pendidikan. Salah satunya adalah gagasan bahwa manusia belajar mensyaratkan bersifat sosial yang spesifik dan merupakan bagian dari proses dimana kehidupan anak-anak tumbuh menjadi intelektual dari orang-orang di sekitar mereka . Menurut Vygotsky , merupakan ciri yang penting dalam belajar adalah bahwa belajar itu membangkitkan berbagai proses perkembangan internal yang mampu beroperasi hanya ketika anak berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya dan bekerja sama dengan rekan-rekannya.

2) Perspektif Piaget

Sigel dalam Tsailing Liang (2002:27 ) mengatakan: In contrast to Vygotskian perspective that learning which resulted from

social interaction leads cognitive development, Piaget’s theory suggested that cognitive development leads to learning. A central component of

Piaget’s developmental theory of learning and thinking was that both involve the participation of the learner. Knowledge was not merely

transmitted verbally but must be constructed and reconstructed by the learner. Piaget asserted that for a child to know and construct knowledge of the world, the child must act on objects and it was this action that provided knowledge of those objects; the mind organized reality and acted transmitted verbally but must be constructed and reconstructed by the learner. Piaget asserted that for a child to know and construct knowledge of the world, the child must act on objects and it was this action that provided knowledge of those objects; the mind organized reality and acted

Berbeda dengan perspektif Vygotskian bahwa pembelajaran yang dihasilkan dari interaksi sosial membawa perkembangan kognitif, teori Piaget menyarankan bahwa perkembangan kognitif mengarah ke pembelajaran. Komponen utama dari teori perkembangan Piaget tentang belajar dan berpikir keduanya melibatkan partisipasi pelajar. Pengetahuan tidak hanya ditransmisikan secara verbal tetapi harus dibangun dan direkonstruksi oleh pelajar. Piaget menegaskan bahwa bagi seorang anak untuk mengetahui dan membangun pengetahuan tentang dunia, anak harus bertindak pada objek dan tindakan inilah yang memberikan pengetahuan tentang benda-benda ; pikiran mengorganisir realitas dan bertindak atasnya. Pelajar harus aktif, ia bukan bejana untuk diisi dengan fakta.

Selanjutnya “Piaget’s approach to learning was a readiness approach. Readiness approaches in developmental psychology emphasize that children cannot learn something until maturation gives them certain prerequisites ” (Brainerd, dalam Tsailing Liang :2002: ). Pendekatan Piaget untuk pembelajaran adalah pendekatan kesiapan. Pendekatan kesiapan dalam psikologi perkembangan menekankan bahwa anak-anak tidak bisa belajar sesuatu sampai pematangan memberi mereka prasyarat tertentu.

Selanjutnya Sigel dalam Tsailing Liang :2002: 27-28) mengatakan : The ability to learn any cognitive content was always related to their stage

of intellectual development. Children who were at a certain stage cannot be taught the concepts of a higher stage. Piaget promoted active discovery learning environments at schools. Intelligence grew through the twin processes of assimilation and accommodation; therefore, experiences of intellectual development. Children who were at a certain stage cannot be taught the concepts of a higher stage. Piaget promoted active discovery learning environments at schools. Intelligence grew through the twin processes of assimilation and accommodation; therefore, experiences

Kemampuan untuk mempelajari isi kognitif selalu terkait dengan tahap perkembangan intelektual pelajar. Anak-anak yang pada tahap tertentu tidak dapat diajarkan konsep yang lebih tinggi. Piaget mempromosikan penemuan aktif lingkungan belajar di sekolah. Kecerdasan kembar tumbuh melalui proses asimilasi dan akomodasi, sehingga pengalaman harus direncanakan untuk memungkinkan peluang untuk asimilasi dan akomodasi.

Selanjutnya Piaget berpikir bahwa guru harus dapat menilai tingkat kognitif siswa, kekuatan, dan kelemahan. Pembelajaran harus individual sebanyak mungkin dan siswa harus memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan satu sama lain, berdebat dan membicarakan isu-isu. Siswa melihat guru sebagai fasilitator pengetahuan, guru menjadi pembimbing dan pemberi semangat pada siswa, juga memungkinkan siswa untuk berbuat dan belajar dari kesalahan. Belajar jauh lebih bermakna jika siswa diizinkan untuk bereksperimen sendiri daripada mendengarkan ceramah guru. Guru harus menyajikan kepada siswa dengan materi, situasi dan kesempatan yang memungkinkan mereka untuk menemukan pembelajaran baru. Dalam siswa belajar aktif, guru harus memiliki keyakinan pada kemampuan siswa untuk belajar sendiri.

Teori independen dari Vygotsky dan Piaget saling mendukung satu sama lain. Interaksi sosial pertama dianjurkan dalam belajar sedangkan yang kedua belajar aktif dipromosikan pada peserta didik. Keduanya adalah unsur penting dalam mewujudkan pembelajaran kooperatif pada kehidupan nyata dalam kelas.

Tidak hanya teori saja mampu memberikan penjelasan yang lengkap untuk penerapan pembelajaran kooperatif. ( Sigel dalam Tsailing Liang :2002: 27-28).

3) Teori Belajar Sosial Bandura

The social learning theory of Bandura (1971) emphasized the importance of observing and Tipeing the behaviors, attitudes, and emotional reactions of others. Social learning theory explained human behavior in terms of continuous reciprocal interaction between cognitive, behavioral, and environmental influences. The component processes underlying observational learning included: (1) attention, including Tipeed events (distinctiveness, affective valence, complexity, prevalence, functional value) and observer characteristics (sensory capacities, arousal level, perceptual set, past reinforcement), (2) retention, including symbolic coding, cognitive organization, symbolic rehearsal, motor rehearsal, (3) motor reproduction, including physical capabilities, self-observation of reproduction, accuracy of feedback, and (4) motivation, including

external, vicarious and self reinforcement. (Bandura dalam Tsailing Liang :2002: 28).

Teori belajar sosial dari Bandura menekankan pentingnya pengamatan dan pentipean perilaku, sikap, dan reaksi emosional orang lain. Teori belajar sosial menjelaskan perilaku manusia dalam hal pengaruh interaksi timbal-balik terus menerus antara kognitif, perilaku, dan lingkungan. Komponen yang mendasari proses pembelajaran observasional meliputi: (1) perhatian, termasuk peristiwa ditipekan (kekhasan, valensi afektif, kompleksitas, prevalensi, nilai fungsional) dan karakteristik pengamat (kemampuan indra, tingkat gairah, mengatur persepsi, melewati penguat), (2) retensi , termasuk pengkodean simbolik, organisasi kognitif, latihan simbolis, latihan motor, (3) motor reproduksi, termasuk kemampuan fisik, pengamatan reproduksi diri sendiri, keakuratan umpan balik, dan (4) motivasi, termasuk eksternal, bantuan dan penguatan diri.

4) Konstruktivisme

Being student-centered by nature, cooperative learning owed much credit to constructivism. To date, a focus on student-centered learning might well

be the most important contribution of constructivism (Cheek, 1992; Yager, 1991). Constructivism, or constructivist approach, was not a brand new theory but a holistic approach to the teaching and learning process developed by incorporating concepts from Piaget, Vygotsky, and Bandura,

as discussed in the previous sections. (Tsailing Liang : 2002:30) .

Pembelajaran yang berpusat siswa, konstruktivisme berjasa besar pada pembelajaran kooperatif. Untuk saat ini, fokus pada pembelajaran yang berpusat pada siswa mungkin menjadi kontribusi yang paling penting dari konstruktivisme. Konstruktivisme, atau pendekatan konstruktivis, bukan teori merek baru, tetapi pendekatan holistik untuk mengajar dan proses belajar dikembangkan dengan menggabungkan konsep dari Piaget, Vygotsky, dan Bandura.

Selanjutnya konstruktivisme menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif, bukanlah konsep baru. Ia memiliki akarnya dalam filsafat dan telah diterapkan pada sosiologi dan antropologi, serta psikologi kognitif dan pendidikan . Mungkin filsuf konstruktivis pertama, Giambatista , berkomentar dalam risalah tahun 1710 yang hanya tahu sesuatu jika kita bisa menjelaskannya , dijabarkan lebih lanjut ide ini dengan menegaskan bahwa manusia tidak penerima informasi pasif. Peserta didik secara aktif membangun pengetahuan, terhubung ke pengetahuan sebelumnya berasimilasi, dan membuat mereka dengan membangun penafsiran mereka sendiri Tema utama dalam konstruktivisme adalah bahwa belajar adalah proses aktif di mana peserta didik membangun ide-ide baru atau konsep berdasarkan pengetahuan mereka saat ini / masa lalu. Pembelajar yang memilih dan mengubah informasi, membangun hipotesis, dan membuat keputusan,

bergantung pada struktur kognitif untuk melakukannya struktur kognitif. (yaitu, skema, Tipe mental) memberikan makna dan organisasi untuk pengalaman dan membiarkan individu melampaui informasi yang diberikan kepada mereka. Sejauh yang menyangkut pengajaran, instruktur harus mencoba dan mendorong siswa untuk menemukan prinsip-prinsip sendiri. Kurikulum harus diatur secara spiral sehingga siswa terus-menerus dibangun di atas apa yang telah mereka pelajari. Bruner , menyatakan bahwa teori pengajaran harus tertuju empat aspek utama: (1) predisposisi terhadap pembelajaran, (2) cara-cara di mana suatu badan pengetahuan terstruktur sehingga bisa paling mudah dipahami oleh pelajar , (3) urutan yang paling efektif untuk mempresentasikan materi, dan (4) sifat dan facing dari imbalan dan hukuman. Keempat aspek instruksi yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif. (Tsailing Liang : 2002:30) .

b. Unsur –Unsur Pembelajaran Kooperatif

“ In general, there were five major factors that define cooperative learning and to make cooperative learning successful: (1) positive interdependence,

(2) individual accountability, (3) quality of group processing, (4) teaching of cooperative skills, and (5) teaching of social skills ” . ( Tsailing Liang :

2002: 31) . Secara umum, ada lima faktor utama yang menentukan pembelajaran

kooperatif dan untuk membuat pembelajaran kooperatif sukses: (1) saling ketergantungan positif, (2) akuntabilitas individual, (3) kualitas proses kelompok, (4) pengajaran keterampilan bekerjasama, dan (5) mengajarkan keterampilan sosial.

1) Saling ketergantungan positif :

Positive interdependence was creating the sense that “we sink or swim together”(Johnson et al). It was a sense of working together for a common goal and caring about each other’s learning. Within cooperative learning situations, students have two responsibilities: 1) learn the assigned material, and 2) ensure that all members of the group learn the assigned material. The technical term for that dual responsibility was positive interdependence (Sharan, 1980). When positive interdependence was clearly underst ood, it establishes that: (1) Each group member’s efforts were required and indispensable for group success (no “free - riders”); (2) Each group member had a unique contribution to make to the joint effort because of his or her resources and/or role and task responsibilities (Johnson & Johnson, 1994). (Tsailing Liang : 2002: 32 )

Saling ketergantungan positif menciptakan perasaan bahwa "kita tenggelam atau b erenang bersama”. Menjadi suatu keinginan untuk bekerja bersama untuk tujuan umum dan peduli tentang pelajaran lain. Dalam situasi pembelajaran kooperatif, siswa memiliki dua tanggung jawab: 1) mempelajari materi yang ditugaskan, dan 2) memastikan bahwa semua anggota kelompok mempelajari materi yang ditugaskan. Istilah teknis untuk itu tanggung jawab ganda adalah saling ketergantungan positif. Ketika saling ketergantungan positif jelas dipahami, menetapkan bahwa: (1) upaya setiap anggota kelompok diminta dan sangat diperlukan untuk keberhasilan kelompok (2) setiap anggota grup memiliki kontribusi yang unik untuk membuat usaha bersama karena sumberdayanya dan atau peran dan tugas tanggung jawab.

Selanjutnya dijelaskan ada sejumlah cara untuk penataan saling ketergantungan positif dalam belajar kelompok yaitu: (1) Saling ketergantungan tujuan positif: Siswa merasa bahwa mereka dapat mencapai tujuan belajar mereka jika dan hanya jika semua anggota dari kelompok mereka juga mencapai tujuan mereka. Kelompok itu menyatu pada satu tujuan umum, menjadi satu alasan

konkrit. Saling ketergantungan tujuan positif mungkin terstruktur dengan memberi informasi anggota kelompok mereka bertanggung jawab untuk: 1) semua skor anggota menjadi kriteria penentu saat diuji secara individual, 2) nilai keseluruhan kelompok berada di atas suatu kriteria tertentu, 3) hasil kesuksesan diselesaikan oleh kelompok. (2) Peran saling ketergantungan itu terstruktur ketika setiap anggota ditugaskan peran komplementer dan saling berhubungan (seperti pembaca, perekam, checker pemahaman, semangat partisipasi, dan Elaborator pengetahuan) yang menentukan tanggung jawab bahwa kebutuhan kelompok untuk menyelesaikan tugas bersama. (3) Interdependensi sumber daya itu terstruktur ketika setiap anggota mempunyai hanya satu informasi, materi, atau sumber daya yang diperlukan untuk tugas yang harus diselesaikan dan sumber daya anggota harus dikombinasikan agar kelompok untuk mencapai tujuannya.

Ada sejumlah cara untuk penataan saling ketergantungan positif. Salah satu cara adalah harus memiliki produk grup tunggal; yang lain adalah untuk memberikan peran untuk setiap siswa, memberikan hadiah kelompok juga memupuk saling ketergantungan positif. Tanpa saling ketergantungan positif, siswa kadang-kadang jatuh ke dalam perangkap "tumpangan," di mana mereka membiarkan satu siswa melakukan semua pekerjaan untuk mereka, atau menjadi " off task ". (Tsailing Liang : 2002: 32 )

2) Akuntabilitas Individu :

Individual accountability was the element, which provided for each student believing that it was important for him/her to learn the material. Each team member feels in charge of their own and their teammates’ learning and makes an active contribution to the group. Thus there was no “hitchhiking” or “freeloading” for anyone in a team — everyone

contributes. The teacher must have a way of determining what each contributes. The teacher must have a way of determining what each

Akuntabilitas individu adalah elemen, yang disediakan untuk setiap siswa percaya bahwa sangatlah penting bagi dia untuk mempelajari materi. Setiap anggota tim merasa bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri dan rekan kerja mereka dan memberikan kontribusi yang aktif kepada grup. Jadi tidak ada “hitchhiking” or “ freeloading ” untuk siapa pun dalam tim setiap orang berkontribusi. Guru harus memiliki cara untuk menentukan apa masing-masing individu sudah belajar, serta apa yang telah dicapai kelompok. Ada sejumlah cara untuk mencapai akuntabilitas individu; pilih secara acak kertas kerja siswa masing-masing jika siswa melakukan kerja dalam kelompok, kuis lisan untuk siswa secara acak , atau kuis tertulis atau ujian pada akhir kerja kelompok.

3) Kualitas Proses Interaksi Kelompok:

To provide abundant verbal, face-to-face interaction, where learners explain, argue, elaborate, and link current material with what they have learned previously was important in cooperative learning. Face-to-face verbal interaction referred to the physical set up of the group. Students needed to be clustered together in a tight group, facing each other, in order to have the kind of interchange necessary to accomplish the task. Johnson and Johnson ) , proposed that groups should begin small, when students were just beginning to work together add develop their skills. (Aschettino, dalam Tsailing Liang : 2002: 33).

Untuk memberikan komunikasi yang efektif , interaksi tatap muka, di mana pelajar menjelaskan, berpendapat, mengelaborasi, dan menghubungkan materi saat ini dengan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya adalah penting dalam pembelajaran kooperatif. Inter aksi verbal “ Face-to-face ” disebut Untuk memberikan komunikasi yang efektif , interaksi tatap muka, di mana pelajar menjelaskan, berpendapat, mengelaborasi, dan menghubungkan materi saat ini dengan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya adalah penting dalam pembelajaran kooperatif. Inter aksi verbal “ Face-to-face ” disebut

Selanjutnya dijelaskan bahwa kualitas interaksi akan tergantung pada sejumlah faktor, seperti: kelas dan frekuensi di mana siswa bekerja sama di antara mereka dalam tugas-tugas akademis mereka, memberikan umpan balik antara satu sama lain dalam kegiatan belajar mereka, belajar berbagi pengalaman dan pengalaman hidup, dan mendukung dan terlibat di antara mereka sendiri dalam perasaan mereka dan harapan pendidikan. Dalam perspektif ini, Johnson & Johnson, menyatakan bahwa menempatkan siswa dalam kelompok untuk bekerja sama, bahkan di bawah nama pembelajaran kooperatif atau struktur tugas, tidak menjamin bahwa mereka akan terlibat dalam jenis-jenis interaksi positif yang mempromosikan pembelajaran.

Selain itu, lingkungan kelas yang positif juga berhubungan dengan kualitas interaksi kelompok. Pelaksanaan proses interaksi yang tepat merupakan komponen utama yang membantu untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam masalah akademik dan perilaku lain, dan membantu menciptakan lingkungan akademik yang lebih besar di kelas.

4) Pengajaran Interpersonal dan Keterampilan Group Kecil: The teaching of cooperative skills was essential. Placing socially

unskilled students in a group and telling them to cooperate did not guarantee that they have the ability to do so effectively (Johnson & Johnson dalam Tsailing Liang : 2002). Students must learn the task and unskilled students in a group and telling them to cooperate did not guarantee that they have the ability to do so effectively (Johnson & Johnson dalam Tsailing Liang : 2002). Students must learn the task and

teacher. Secondly, it could be established through role playing, Tipeing, and discussing the components of particular social skills.

Pengajaran keterampilan kooperatif itu penting. Menempatkan siswa tidak terampil dalam kelompok sosial dan memberitahu mereka untuk bekerja sama tidak menjamin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya dengan efektif. Siswa harus mempelajari tugas dan keterampilan menjaga kelompok agar berjalan lancar. Siswa tidak mungkin secara intuitif tahu keterampilan- keterampilan sosial, sehingga mereka harus diajarkan secara eksplisit bagaimana untuk bekerja sama dengan orang lain., menunjukkan bahwa keterampilan kelompok interpersonal dan kecil bisa diajarkan melalui berbagai cara; pertama semua, menetapkan tujuan keterampilan sosial bersama dengan tujuan akademik memungkinkan siswa tahu ini penting untuk guru. Kedua, hal itu dapat ditentukan melalui bermain peran, petipean, dan membahas komponen keterampilan sosial tertentu .

Selanjutnya dijelaskan bahwa peran guru dalam metode pengajaran itu bukanlah seseorang yang mengukur kemampuan siswa dalam hal produk akhir tetapi dalam hal proses. Guru, seseorang yang bertindak sebagai teman, sebagai koordinator, sebagai direktur yang menuntun sebagai aktor bagaimana melakukan dan sebagai penasehat dalam tugas-tugas akademik dan dalam pengembangan psikososial dan kognitif siswa . (Cowei, Smith, Boulton, & Laver, dalam Tsailing Liang : 2002: 34).

5) Pengajaran Keterampilan Sosial :

It was very important for students to have sufficient social skills, involving an explicit teaching of appropriate leadership, communication, trust and conflict resolution skills so that they could cooperate effectively. Stated that social skills should be explicitly taught to the students so that students could work among themselves, not only in terms of cooperation but also

without hostility and without the teacher’s authority. Under this logic, the scholar said that each student was motivated internally by need for freedom, love, and fun. Johnson and Johnson , also stated that students must be taught these skills

and be motivated to use them. If group members lack the interpersonal and small-group skills to cooperate effectively, cooperative learning would not be productive. (Tsailing Liang : 2002:34 ).

Sangat penting bagi siswa untuk memiliki keterampilan sosial yang memadai, yang melibatkan pengajaran eksplisit kepemimpinan yang tepat, komunikasi, kepercayaan dan keterampilan resolusi konflik sehingga mereka bisa bekerja sama secara efektif. Menyatakan bahwa keterampilan sosial harus secara eksplisit diajarkan kepada siswa sehingga siswa bisa bekerja di antara mereka sendiri, tidak hanya dalam hal kerjasama tetapi juga tanpa permusuhan dan tanpa hak guru. Berdasarkan logika ini, “ scholar ” mengatakan bahwa setiap siswa didorong oleh kebutuhan internal untuk kebebasan, cinta, dan menyenangkan.

Johnson dan Johnson juga menyatakan bahwa siswa harus diajarkan keterampilan-keterampilan dan termotivasi untuk menggunakannya. Jika anggota kelompok tidak memiliki keterampilan interpersonal dan kelompok kecil untuk bekerja sama secara efektif, pembelajaran kooperatif tidak akan produktif.

c. Langkah-langkah Tipe Pembelajaran Kooperatif

Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah itu ditunjukkan pada Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Langkah-langkah Tipe Pembelajaran Kooperatif

Fase Tingkah Laku Guru Fase-1 Menyampaikan tujuan

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaranyang ingin dan memotivasi siswa

dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan

Fase-2 Menyajikan informasi

demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase-3 Mengorganisasikan Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya siswa ke dalam kelompok

membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok kooperatif

agar melakukan transisi secara efisien.

Fase-4 Membimbing Guru membimbing kelompok-kelompok belajar kelompok bekerja dan belajar

pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi

Fase-5 Evaluasi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase-6 Memberikan Guru mencari cara-cara untuk menghargaibaik upaya maupun penghargaan

hasil belajar individu dan kelompok.

Sumber. Trianto.. (2009:66)

d. Metode Tipe Pembelajaran Kooperatif

Metode-metode tipe pembelajaran kooferatif disajikan pada tabel 2.3 berikut ini :

Table 2.3 Metode Tipe Pembelajaran Kooperatif

Metoda Johnson & Johnson

Peneliti dan Pengembang

Tahun

Mid 1970 s

Learning Together (LT)

DeVries & Edwards Early 1970 s Teams-Games-Tournaments (TGT) Sharan & Sharan

Mid 1970 s Group Investigation (GI)

Johnson & Johnson Mid 1970 s Constructive Controversi Aronson & Associates

Late 1970 s Jigsaw Procedure

Slavin & Associates Late 1970 s Student Team Achievement Division (STAD) Cohen

Early 1980 s Complex Instruction

Slavin & Associates Early 1980 s Team Assisted Instruction (TAI) Kagan

Cooperative Learning Structures Steven, Slavin,&

Mid 1980 s

Cooperative Integrated Reading &

Late 1980

Associates

Composition (CIRC)

Kagan

Early 1990 s Three-Step Interview

Kagan

Late 1980 s Inside-Outside Circle

Sumber : Tsailing Liang (2002).

e. Keunggulan dan Keterbatasan Strategi Pembelajaran Kooperatif

Keunggulan Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) sebagai suatu strategi di antaranya: (1) Melalui SPK siswa tidak terlalu menggantungkan pada

guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain, (2) SPK dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain, (3) SPK dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan, (4) SPK dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar, (5) SPK merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan keterampilan memanage waktu, dan sikap positif terhadap sekolah, (6) Melalui SPK dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya, (7) SPK dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil), (8) Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang.

Keterbatasan SPK di antaranya: (1) Untuk memahami dan mengerti filosofis SPK memang butuh waktu. Sangat tidak rasional kalau kita mengharapkan secara otomatis siswa dapat mengerti dan memahami filsafat cooperative learning. Untuk siswa yang dianggap memiliki kelebihan, contohnya,

mereka akan merasa terhambat oleh siswa yang dianggap kurang memiliki kemampuan. Akibatnya, keadaan semacam ini dapat mengganggu iklim kerja sama dalam kelompok, (2) Ciri utama dari SPK adalah bahwa siswa saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung dari guru, bisa terjadi cara belajar yang demikian apa yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah dicapai oleh siswa, (3) Penilaian yang diberikan dalam SPK didasarkan kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari, bahwa sebenarnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu siswa, (4) Keberhasilan SPK dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang, Dan, hal ini tidak mungkin dapat tercapai hanya dengan satu kali atau sekali-sekali penerapan strategi ini, (5) Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang sangat penting untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuan secara individual. Oleh karena itu idealnya melalui SPK selain siswa belajar bekerja sama, siswa juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri. Untuk mencapai kedua hal itu dalam SPK memang bukan pekerjaan yang mudah. (Wina Sanjaya, 2010:249-251)

Dari uraian tinjauan tentang pembelajaran kooperatif ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tersebut memerlukan kerja sama antar siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas, tujuan, dan penghargaan. Keberhasilan pembelajaran ini tergantung dari keberhasilan masing-masing individu dalam kelompok, di mana keberhasilan tersebut sangat Dari uraian tinjauan tentang pembelajaran kooperatif ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tersebut memerlukan kerja sama antar siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas, tujuan, dan penghargaan. Keberhasilan pembelajaran ini tergantung dari keberhasilan masing-masing individu dalam kelompok, di mana keberhasilan tersebut sangat