sasaran dari suatu kawasan lindung. Hal ini memungkinkan untuk perbaikan pengelolaan kawasan melalui pembelajaran, adaptasi, dan diagnosis masalah-
masalah khusus yang mempengaruhi tujuan dan sasaran yang telah dicapai. Juga salah satu cara untuk menunjukkan akuntabilitas bagi pengelolaan sebuah
kawasan konservasi laut. Menurut
Pameroy., et. al
., 2000 untuk mengukur efektifitas pengelolaan pada kawasan konservasi laut dilakukan pengukuran terhadap beberapa indikator,
indikator dimaksud antara lain : 1 Indikator Biofisik terdiri dari : a k
elimpahan spesies, b struktur populasi
spesies, c distribusi kompleksitas habitat, d komposisi dan struktur komunitas, e keberhasilan dalam pengelolaan komunitas, f integritas
jaringan makanan, g jenis usaha perikanan, h kualitas air, i daerah menunjukkan tanda-tanda pemulihan, j kawasan yang dampaknya berkurang
oleh kegiatan manusia. 2 Indikator sosial ekonomi masyarakat terdiri dari : a pola penggunaan
sumberdaya laut, b nilai-nilai masyarakat lokal dan keyakinan tentang sumber daya laut, c tingkat pemahaman dampak sumberdaya manusia, d persepsi
terhadap ketersediaan makanan laut, e persepsi hasil sumberdaya laut, f persepsi tentang pasar, g sumber pendapatan rumah tangga, h struktur
pekerjaan rumah tangga, i prasarana dan usaha masyarakat, j tingkat pengetahuan formal masyarakat.
Indikator biofisik dan indikator sosial ekonomi diatas merupakan indikator yang di ukur dengan tujuan untuk menilai secara keseluruhan capaian pengelolaan
DPL apakah program dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengelolaan
Namun demikian berbagai kebijakan, produk hukum, kelembagaan maupun program-program yang ada ternyata tidak menunjukkan atau memberikan hasil
yang signifikan berupa terlindunginya berbagai kawasan konservasi beserta berbagai keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Dengan harapan agar
pengelolaan kawasan dapat lebih baik secara kualitas maupun kuantitas.
Upaya pemerintah untuk mengantisipasi berbagai tindakan perusakan atau eksploitasi di kawasan-kawasan konservasi tampaknya belum optimal dan tidak
mampu mencegah laju perusakan ataupun upaya eksploitasi berbagai keanekaragaman hayati. Pemerintah tampaknya menghadapi kesulitan untuk
melaksanakan upaya-upaya konservasi, yang disebabkan oleh : 1 Luasnya cakupan kawasan konservasi
2 Minimnya dana konservasi 3 Terbatasnya sumber daya manusia yang tersedia, baik dari sudut kuantitas
maupun kualitas. 4 Kuatnya ego dinas sektoral seperti Dinas Pertambangan atau Dinas Pertanian
untuk melakukan eksploitasi di kawasan konservasi, yang memunculkan konflik inter dinas, disamping intra dinas kehutanan sendiri.
5 Lemahnya penegakan hukum Penyebab lainnya, yang justru memperparah keberadaan berbagai kawasan
konservasi maupun sumber daya alam yang ada adalah pola pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik atau terpusat dan tidak dikembangkannya
peran serta masyarakat. Beberapa penilaian terhadap keberhasilan kawasan perlindungan laut
apabila pengelolaannya secara bersama-sama dengan keterlibatan masyarakat setempat Brechin 1991; Borrini-Feyerabend 1993; White et al. 1994; Pollnac et
al. 2001, di mana keberhasilan yang lebih baik jika masyarakat memiliki partisipasi yang tinggi dalam pengelolaan suatu kawasan Newmark et al. 1992;
Picard 2003 dan hasil dari pengelolaan itu, masyarakat merasakan manfaatnya Mehta Heinen 2001; Bauer 2003. Dengan ikut berpartisipasi dalam
pengelolaan kawasan konservasi, dirasakan manfaatnya terutama bagi pengguna atau pemanfaat dari sumberdaya tersebut Jacobson Marynowski 1997.
Pengelolaan harus di fasilitasi oleh pemerintah jika dirasakan bermanfaat dan persepsi para pemangku kepentingan terkait harus lebih baik, terutama
pengguna sumberdaya itu sediri, dan secara berkala faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ini harus dievaluasi. Survei sosial-ekonomi menekankan
bahwa para pemangku kepentingan utama yang tinggal berdekatan dengan kawasan konservasi, mengalami kendala utama dalam pembiayaan pengelolaan
kawasan konservasi Hough, 1988; Shyamsudar Kramer, 1997; Archabald Naughton-Treves 2001.
2.2 Terumbu Karang