Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat

Pengelolaan ekosistem berhasil atau tidak berhasil, dapat mengakibatkan tekanan pada keanekaragaman hayati Goodman, 1975;Shrader-Frechette and McCoy, 1993. 6 Kesinambungan. Istilah kesinambungan, jika digunakan di dalam pengelolaan ekosistem, harus jelas defenisinya, waktu, kerangka pengelolaan, manfaat biaya, dan prioritas Norton, 1991; Goodland et al., 1993. 7 Informasi Ilmiah. Informasi ilmiah penting untuk pengelolaan ekosistem agar lebih efektif, namun salah satu unsur dalam proses pengambilan keputusan adalah penentuan pilihan antara masyarakat umum atau pihak swasta Ludwig et al., 1993.

2.1.2 Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat

Pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat adalah suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya terumbu karang-nya sendiri dengan terlebih dahulu mendefenisikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya. Pengelolaan ini menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka Nikijuluw, 2002. Dalam masyarakat terjadi interaksi antara individu dan interaksi ini mengakibatkan terjadinya kompetisi. Saling berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya terumbu karang akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengelolaan terumbu karang yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya dan kemiskinan. Namun demikian, saling kompetisi antara individu dapat juga dipandang sebagai potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling berkompetisi merupakan sifat alamiah. Namun sifat ini merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat itu sendiri menentukan cara-cara pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan sendiri. Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat dalam mengelola sumberdaya terumbu karang adalah upaya mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya yang dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup mereka sendiri-sendiri. Salah satu bentuk kepedulian masyarakat pesisir dalam melestarikan ekosistem terumbu karang, dengan menjadikan sebagian kawasan ekosistem terumbu sebagai kawasan konservasi dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut. Salah satu model pendekatan yang dilakukan dalam upaya pelestarian ekosistem terumbu karang adalah melalui penetapan suatu kawasan perlindungan alam dalam bentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah. Melalui otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang tidak lain adalah tanggung jawab yang lebih besar dalam pengelolaan pesisir dan laut di wilayah kewenangannya. Pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam memilih dan menentukan cara yang lebih baik dalam mengelola potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat dan kapasitas yang dimilikinya. Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD merupakan suatu alternatif pengelolaan kawasan konservasi yang terdesentralisasi dalam usaha mengatasi permasalahan degradasi lingkungan yang terjadi di daerah. Sementara itu di wilayah desa dapat ditetapkan suatu Daerah Perlindungan Laut DPL berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan dari musyawarah desa. DPL marine sanctuary tidak jauh berbeda dengan “lubuk larangan” atau hutan desa maupun hutan adat. Menurut Tulungen dkk. 2002 fungsi dari DPL adalah sebagai berikut: 1 meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar DPL; 2 menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme lainnya; 3 dapat dikembangkan sebagai tempat yang cocok untuk daerah tujuan wisata; dan 4 meningkatkan pendapatankesejahteraan masyarakat setempat. Dasar penetapan DPL sebaiknya melalui suatu mekanisme musyawarah desa yang kemudian dituangkan melalui suatu Peraturan Desa. Di dalam peraturan mengenai DPL ini berisi tentang pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas yang bersifat ekstraktif, sekaligus sanksi yang disepakati bagi pelanggar aturan serta mekanisme pengawasan dan penetapan sanksi tersebut. Penetapan lokasi dan ukuran ideal suatu DPL merupakan gabungan antara prinsip-prinsip ekologis dan pertimbangan efektivitas pengelolaan di tingkat lokal. Lokasi atau kawasan yang ditetapkan sebagai DPL ditentukan dan ditetapkan sendiri oleh kesanggupan masyarakat desa itu sendiri dalam pengelolaannya. Mengacu pada Pedum Coremap-II, 2004, zona dalam DPL paling tidak terdiri 3 tiga zona sebagai berikut: 1 Zona Inti Zona Inti adalah suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya alam laut lainnya sama sekali tidak diperbolehkan. Begitu pula kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar serta penggunaan galah untuk mendorong perahu juga tidak diperbolehkan. Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, seperti berenang, snorkling dan menyelam untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan. Namun demikian perlu kesepakatan dengan masyarakat kegiatan apa saja yang boleh dilakukan di zona inti, sehingga fungsi zona tersebut dapat optimal. Zona inti merupakan kawasan yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya. Kunci utamanya adalah adanya suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona inti yaitu zona larang ambil permanen. Hal ini berarti bahwa zona inti ini segala aktifitas perikanan tidak diperbolehkan dan ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan atau usaha pengambilan sumberdaya lainnya Tulungen dkk., 2002. Zona inti penekanan pengelolaannya di konsentrasikan pada upaya perlindungan. Kondisi alamnya masih asli dan belum terjamah oleh tangan manusia. Kegiatan yang boleh dilakukan terbatas dan hanya mengarah pada kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. 2 Zona Penyangga Zona penyangga berada di luar kawasan DPL yang berfungsi untuk menyangga keberadaan jenis biota laut beserta ekosistem yang terdapat di dalamnya terhadap adanya gangguan dari luar yang dapat membahayakan keberadaan potensinya. Selain fungsi pengamanan juga berfungsi sebagai kawasan pengembangan budidaya maupun pelaksanaan pembangunan dalam bentuk pengembangan pemanfaatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang berada di sekitarnya. 3 Zona Pemanfaatan Tradisional Zona pemanfaatan tradisonal berada di luar zona penyangga yang dialokasikan untuk pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional oleh masyarakat setempat dalam upaya mendukung pembangunan sosial, ekonominya. Di samping pemanfaatan secara tradisional zona ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan pembangunan sarana prasarana rekreasi dan pariwisata secara lestari.

2.1.3 Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Ko-Manajemen

Dokumen yang terkait