Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan batasan istilah. Ketujuh sub-bagian tersebut merupakan bagian-bagian dari pendahuluan yang menggambarkan sebuah penelitian yang bersifat komprehensif. Masing- masing sub-bagian akan dijabarkan secara singkat, padat, dan jelas.

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa . Hal ini sejalan dengan tuntutan Pasal 3 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional SPN. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, saleh, sabar, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu lembaga pendidikan adalah sekolah. Sekolah menjadi lembaga formal yang menyelenggarakan proses belajar mengajar untuk membimbing, mendidik, melatih, dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan. Sekolah menjadi tempat berlangsungnya pendidikan karakter, dimana peserta didik belajar dan berkembang menjadi pribadi yang memiliki nilai-nilai karakter positif. Dalam perkembangan pendidikan Indonesia, pendidikan karakter hilang dari kurikulum sekolah dan digantikan oleh mata pelajaran lainnya, seperti PPKn, budi pekerti, dan yang tetap ada dari dulu yaitu pendidikan agama. Beberapa mata pelajaran tersebut memuat nilai-nilai karakter, namun fokus utamanya adalah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Meskipun sampai ke penghayatan nilai-nilai secara afektif, namun tidak dalam pengaplikasiannya. Krisis karakter dan nilai bangsa saat ini terkait erat dengan semakin tidak adanya harmoni di dalam sekolah. Banyak sekolah mengalami disorientasi. Fokus pembelajaran sekolah berhenti pada tataran kognitif, tanpa mengindahkan nilai-nilai karakter dan perkembangan pada potensi peserta didik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan karakter di sekolah khususnya SMP, baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai- nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari Suyanto, 2011. Perlu dilakukan evaluasi komprehensif tentang keterlaksanaan dan hambatan-hambatan pendidikan karakter yang telah berlangsung dengan sistem terintegrasi di SMP. Melihat permasalahan yang dialami remaja dalam praktik pendidikan di SMP, tampaknya perlu adanya pendampingan dan perhatian serius. Meskipun ada jam mata pelajaran agama, hal itu hanyalah sebagai pengetahuan bukan untuk diamalkan dengan baik. Padahal pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengalaman nilai secara nyata. Hal tersebut terkait dengan karakteristik perkembangan peserta didik di usia SMP yang merupakan masa yang rentan bagi remaja. Usia remaja merupakan masa peralihan. Masa yang sulit dan banyak masalah terjadi di dalamnya, masa dimana remaja mencari jati dirinya. Remaja akan melakukan berbagai macam bentuk pemberontakan dan mencari kesenangan sesuai yang diinginkan. Pada tahun 2013, kementrian pendidikan memberlakukan kurikulum baru yaitu kurikulum 2013. Muatan dalam kurikulum ini nampaknya lebih komprehensif, mengharuskan setiap mata pelajaran memuat nilai-nilai karakter yang mengarah pada tindakan nyata peserta didik. Guru perlu menggunakan pendekatan experiential learning, sehingga peserta didik memperoleh pengalaman langsung dalam pembelajarannya di kelas, dan akhirnya menjadi karakter yang ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kurikulum 2013 diharapkan perkembangan sistem pendidikan di bangsa ini semakin baik dan mengembalikan nilai-nilai karakter yang telah hilang. Namun nampaknya harapan ini belum terlaksana dengan baik. Hampir setiap pergantian menteri, kurikulum pun ikut berganti. Namun pergantian ini tidak menunjukkan perubahan yang signifikan bagi pendidikan di Indonesia, khususnya di SMP. Diberlakukannya kurikulum baru 2013 yang kembali mengarahkan sistem pendidikan pada pengembangan nilai karakter peserta didik, nampaknya perlu perjuangan yang keras. Sekolah perlu mengintegrasikan nilai karakter pada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum. Guru perlu menyusun sedemikian rupa Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang memuat nilai karakter melalui pendekatan experiential learning. Nampaknya semua ini masih sulit dalam pengaplikasiannya. Guru masih mengalami kesulitan dalam memberikan penilaian para peserta didik. Nilai-nilai karakter yang terdapat di RPP hanya sekedar menjadi paparan belaka dan sulit diintegrasikan dalam proses pembelajaran. Hal ini juga dialami oleh tenaga pembimbing sekolah. Guru BK mengalami banyak kesulitan mengimplementasikan muatan karakter di sekolah. Padahal, peran guru BK terkait penanaman nilai karakter ke peserta didik sangat besar. Guru BK mengalami kesulitan dalam penyusunan perencanaan Satuan Layanan Bimbingan SLB. Layanan bimbingan klasikal di kelas pun belum dapat digunakan secara efektif. Guru BK masih menggunakan pendekatan lama, yang memaksakan anak untuk menyerap informasi melalui nasihat-nasihat, ceramah, dan hukuman. Dari berbagai permasalahan yang timbul dengan diberlakukannya sistem baru ini, maka perlu dikaji lebih mendalam mengenai keterlaksanaan dan hambatan-hambatan pendidikan karakter terintegrasi di SMP. Hal ini penting dilakukan untuk memperbaiki pendidikan karakter di sekolah.

B. Identifikasi Masalah