Penelitian yang Pernah Dilakukan

perdagangan jasa menjadi kurang yakin. Lipsey 2006 mencoba untuk mendiskripsikan tentang perdagangan jasa export dan import dengan menggunakan beberapa contoh angka dari beberapa negara, antara lain Amerika Serikat. Berdasarkan data terakhir perdagangan jasa di dunia ini mencapai seperempat dari total perdagangan barang. Dari tahun ke tahun pertumbuhan perdagangan jasa ini terus meningkat, khususnya sejak tahun 1975. Ini dikarenakan sudah mulai banyak negara yang menghitung perdagangan jasa secara cermat, di mana pada tahun tahun sebelumnya masih sekedar diperkirakan dengan hasil yang masih underestimate. Di Amerika sendiri, menurut Lepsey 2006, ekspor jasa, termasuk pariwisata telah mencapai 40 persen dari total ekspor barang, sementara impor jasanya mencapai 20 persen dari total impor jasa. Namun peningkatan impor jasa ini meningkat lebih cepat jika dibandingkan dengan peningkatan impor barang dalam lima tahun terakhir ini. Dibandingkan dengan output barang dan jasa, ekspor dan impor jasa ini jauh lebih kecil dari pada ekspor dan impor barang. Untuk menghitung nilai ekspor dan impor jasa pariwisata ini berbeda dengan cara menghitung ekspor dan impor barang, di mana ekspor jasa dikonsumsi oleh bukan penduduk suatu negara non-resident sementara impor jasa dikonsumsi oleh penduduk suatu negara resident atas produk luar negeri di negara yang mereka kunjungi. Dalam hal ini jasa yang diekspor atau diimpor tidak melalui pencatatan oleh bea cukai custom yang bertugas untuk mencatat semua keluar-masuk barang dari dalam dan ke luar negeri. Kesulitan muncul saat jasa pendidikan di Amerika Serikat yang menerima mahasiswa dari luar negeri sebagai non-resident berubah status menjadi resident. Sehingga pencatatan ekspor jasanya menjadi tidak benar karena pada hakekatnya tidak terjadi ekspor. Dan perdagangan jasa yang terjadi adalah perdagangan domestik karena jasa tersebut dikonsumsi oleh penduduk dalam negeri sendiri. Namun berdasarkan Balance of Payment Manual edisi kelima oleh IMF 1993 dinyatakan bahwa khusus untuk pasien rumah sakit medical patients dan mahasiswa students tetap sebagai non- resident walaupun masa tinggalnya lebih dari satu tahun. Secara umum apabila penduduk tinggal di suatu negara lebih dari satu tahun tanpa melihat kewarganegaraanya dianggap sebagai resident. Perbedaan antara data statistik dengan Balance of Payment dalam pencatatan perdagangan barang dan jasa terletak pada perpindahan kepemilikan barang bukan pada perpindahan fisik lokasi barang. Barang dan jasa yang dibeli dalam suatu negara oleh non-resident dicatat sebagai transaksi domestik untuk data statistik sementara dalam BOP dicatat sebagai ekspor jasa karena kepemilikannya telah berpindah dari produk negara tersebut ke non-resident. Sebaliknya, penduduk suatu negara yang pergi ke luar negeri dan mengkonsumsi barangjasa di luar negeri, tidak akan dicatat dalam data statistik. Namun dalam BOP transaksi ini dicatat sebagai impor jasa karena adanya perpindahan kepemilikan dari barangjasa produk luar negeri ke penduduk suatu negara. Ada dua lembaga dunia yang menaungi aktivitas pariwisata yaitu WTO World Trade Organization dan UNWTO United Nation World Tourism Organization . Pemahaman pariwisata dari kedua lembaga tersebut berbeda. Dalam WTO pengertian pariwisata hanya terbatas pada hotel, restoran, biro perjalanan dan pemandu wisata. Definisi ini mengacu pada General Agreement on Trade in Services GATS. Sementara pengertian pariwisata dari UNWTO sangat luas selain mencakup yang didefinisikan oleh WTO juga meliputi semua usaha yang melayani wisatawan Roe et al., 2004. Dalam menghadapi era globalisasi ini, negara berkembang, seperti Indonesia, menghadapi tantangan eksternal yang terus menekan laju pertumbuhan ekonomi yaitu meningkatnya harga minyak dunia dan gejolak nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Selain itu tantangan eksternal yang dihadapi adalah komitmen Indonesia untuk melakukan liberalisasi perdagangan sesuai kesepakatan AFTA dan WTO. Di sisi lain tantangan internal juga menjadi hambatan tersendiri dalam mengatasinya seperti masalah kesempatan kerja pengangguran yang meningkat, defisit neraca pembayaran yang kronis dan terus meningkat, hutang luar negeri yang terus meningkat dan kesenjangan yang semakin lebar dalam distribusi pendapatan Gonarsyah etal., 2002. Attanayake 1983 mengatakan, seperti aktivitas ekonomi lainnya, pariwisata internasional inbound dan outbound juga dipengaruhi oleh perekonomian dunia yang dinamis serta perubahan sosial ekonomi masyarakat. Kenaikan harga minyak dunia, isu terorisme serta situasi sosial politik dunia berdampak terhadap aktivitas perjalanan penduduk dunia. Namun tidak diragukan lagi bahwa pariwisata akan terus berkembang menjadi industri utama dunia. Aly dan Mark 2002 dalam tulisannya mempertanyakan apakah terorisme akan memberikan dampak permanen atau sementara terhadap perkembangan pariwisata. Di Timur Tengah, terorisme, perang yang berkecamuk, dan ketidakstabilan negara menjadi faktor utama yang kontra produktif terhadap upaya pengembangan pariwisata. Untuk melihat shock dalam waktu tertentu apakah bersifat permanen atau sementara dengan menggunakan metode minimum LM unit root test guna menentukan data series yang digunakan apakah stasioner atau tidak stasioner. Dari hasil uji hipotesa dengan level of significant sebesar 10persen untuk Mesir dan 1 persen untuk Israel menolak null hipotesa bahwa data series yang diuji ternyata stasioner artinya bahwa shock yang terjadi secara tidak langsung hanya bersifat sementara terhadap kunjungan wisatawan yang ada di kedua negara tersebut. Dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa terorisme yang terjadi di Mesir sebagian besar ditujukan kepada wisatawan dan daerah tujuan wisata, namun tidak demikian halnya yang terjadi di Israel. Dari data series yang dipakai untuk uji hipotesa menyatakan bahwa pada tahun 1991 terjadi shock yang sangat significant terhadap perkembangan pariwisata di Timur Tengah saat terjadinya perang teluk. Pariwisata memiliki dampak yang cukup signifikan dalam perekonomian suatu negara yaitu penerimaan devisa dari luar negeri serta penciptaan lapangan kerja sehingga tidak mengherankan bahwa pariwisata adalah merupakan kegiatan ekonomi yang ikut menggerakkan perekonomian dunia Katafano, 2004. Pariwisata adalah industri yang cukup besar di dunia dan wisata cruise atau wisata dengan kapal pesiar berkembang cukup pesat dua puluh tahun terakhir ini. Dalam pelayanannya jenis wisata ini tidak membutuhkan fasilitas infrastruktur yang cukup besar seperti hotel karena mereka akan menggunakan sarana akomodasi di dalam kapal. Namun demikian kebocoran penerimaan devisa pada pariwisata cukup besar di mana pengeluaran mereka selama berada di Indonesia akan mengalir kembali ke luar negeri khususnya makanan dan minumanChase dan McKee, 2003. SelanjutnyaChase dan McKee 2003 mengukur dampak ekonomi pariwisata kapal pesiar di Jamaica menggunakan model Keynesian dengan tiga persamaan regresi masing-masing untuk melihat dampak terhadap pengeluaran pemerintah, import, dan investasi. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pariwisata kapal pesiar tidak berdampak terhadap pengeluaran pemerintah. Namun multiplier dalam persamaan investasi menunjukkan bahwa pariwisata kapal pesiar ini akan meningkatkan investasi di Jamaica. Demikian juga halnya dalam persamaan impor, jenis pariwisata ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Ini menunjukkan bahwa devisa yang dibawa oleh wisatawan ke Jamaica oleh wisatawan, sebagian akan mengalir kembali ke luar negeri dalam bentuk impor makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh wisatawan. Pada tahun 1960an sampai dengan 1970an pariwisata mulai berperan dalam neraca pembayaran dan sebagai salah satu sumber utama penerimaan devisa. Pada tahun 1980an sampai dengan 1990an pariwisata mulai menjadi perhatian karena dampak positipnya dalam perekonomian baik langsung maupun tidak langsung terhadap penerimaan pemerintah, pendapatan nasional dan tenaga kerja. Secara umum pariwisata merupakan sektor yang tumbuh secara pesat di negara berkembang yang mempunyai dampak multidimensi Aly, 2002. Menurut Roe et tal. 2004, pariwisata sebagai sektor tumbuh begitu pesat di negara berkembang. Pada tahun 2004 sumbangan kegiatan pariwisata dan perjalanan sebesar 11 persen terhadap GDP dunia sementara ekpor pariwisata inbound mencapai 6-7 persen dari total ekspor barang dan jasa. Pada tahun 1980 ekspor ini baru mencapai 4 persen meningkat menjadi 5 persen pada tahun 1990 dan pada tahun 1995 meningkat menjadi 6 persen. Sebagai contoh lain di salah satu negara maju, penerimaan devisa pariwisata di Canada pada tahun 2002 mencapai 51.8 juta US dan pariwisata ini memberikan sumbangan terhadap GDP sebesar 2.3 persen. Menurut Organization for Economics Cooperation and Development OECD pariwisata adalah merupakan industri jasa yang paling besar dan paling dinamis di negara anggota OECD termasuk negara-negara berkembang yang diharapkan terus tumbuh di tahun-tahun mendatang. Kegiatan pariwisata bisa menciptakan lapangan kerja untuk penduduk tua maupun muda dengan keahlian yang sangat bervariasi mulai dari daerah perkotaan sampai ke perdesaan. Di Canada tenaga kerja di bidang pariwisata baik laki-laki maupun perempuan memberikan sumbangan hampir 4 persen terhadap total angkatan kerja Tourism Count, 2004. Dampak ekonomi pariwisata ini juga dinyatakan oleh Attanayake 2004 bahwa dampak ini muncul ketika wisatawan datang ke tempat tujuan menjadi konsumen barang dan jasa di tempat yang dikunjungi. Pengeluaran mereka biasanya lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran di tempat tinggalnya. Dari sisi wisatawan, barang dan jasa yang mereka konsumsi adalah merupakan produk pariwisata seperti akomodasi, makanan dan minuman, angkutan, hiburan dan sebagainya. Semua produk tersebut adalah intangible, sementara yang lainnya tangible . Ini adalah alasan mengapa pariwisata dikategorikan sebagai invisible export dalam neraca pembayaran. Karakteristik penting lainnya dari produk pariwisata adalah tetap dalam waktu dan ruang karena tidak bisa disimpan maupun dipindahkan. Pariwisata adalah sektor padat karya labor intensive yang menyerap banyak tenaga kerja mulai dari tenaga kerja yang profesional skilled labor sampai pekerja tradisional unskilled labor sehingga pariwisata bisa sebagai salah satu sektor yang bisa ikut mengentaskan kemiskinan masyarakat yang berada di sekitar daerah tujuan wisata. Chao et al. 2005 menggunakan framework dynamic general equilibrium dampak jangka pendek dan jangka panjang dari pariwisata terhadap tenaga kerja, akumulasi kapital dan kesejahteraan penduduk untuk negara small open economy yang belum mencapai tingkat full employment ada pengangguran. Dengan menggunakan model ECM Error Correction Modelling, Tang 2010 meneliti hubungan antara pariwisata dengan pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Dari hasil penelitian wisatawan yang berkunjung ke Malaysia dari 12 negara menunjukkan bahwa tidak semua pasar pariwisata Malaysia bisa memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Hanya ada 5 negara yang memberikan kontribusi dalam bertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan hanya 6 negara dalam jangka pendek. Oleh karena itu identifikasi untuk pasar pariwisata potensial menjadi penting agar kebijakan pemasaran pariwisata menjadi lebih efektif. Perkembangan pariwisata dunia yang terus meningkat apakah bisa menciptakan lapangan kerja terhadap penduduk lokal, mengurangi tingkat pengangguran dan memperbaiki kesejahteraan pekerja? Untuk menjawab masalah tersebut, Chao et al. 2005 mengadopsi model minimum wage dari Brecher 1974 di mana pengangguran terjadi dalam suatu perekonomian. Dalam model ini juga dikaitkan dengan perubahan kapital dalam jangka panjang. Pariwisata merupakan kegiatan yang bersifat padat karya maka perluasan usaha pariwisata akan memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak Tse, 2001. Namun perluasan di sektor pariwisata ini akan menjadikan kontra produktif terhadap sektor lainnya yaitu akan mengurangi akumulasi kapital, jika non-traded sektor pariwisata adalah padat karya dibandingkan dengan traded sektor lainnya. Dan jika traded sektor tidak terlalu padat modal, penurunan dalam kapital tidak akan mengurangi perbaikan tingkat kesejahteraan. Namun demikian jika traded sektor lebih padat modal maka penurunan kapital merupakan faktor yang dominan dalam menurunnya tingkat kesejahteraan. Chao et al. 2005 mencoba simulasi modelnya dengan menggunakan data dari negara Jerman. Menurut Ashley 2002, pariwisata juga bisa dipakai dalam pengentasan kemiskinan. Ada 3 keuntungan dalam pengembangan pariwisata, yaitu keuntungan dari sisi ekonomi, keuntungan pola hidup masyarakat sekitar perbaikan sosial budaya penduduk, dan keuntungan partisipasi penduduk dalam pengembangan pariwisata. Fokus pengembangan pariwisata untuk lebih bisa meningkatkan keuntungan secara ekonomi meliputi penggunaaan pekerja lokal dan memberikan kesempatan kepada penduduk lokal untuk berusaha di bidang pariwisata baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam melayani wisatawan. Melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, serta memberikan informasi yang benar kepada masyarakat tentang rencana pengembangan pariwisata yang akan dilakukan bisa memberikan manfaat yang cukup signifikan terhadap masyarakat di sekitar daerah tujuan wisata. Singh 1997 mengatakan bahwa penurunan nilai mata uang lokal devaluasi terhadap US akan berdampak terhadap industri pariwisata. Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke negara tersebut akan meningkat karena daya beli mereka meningkat. Selain itu pengeluaran mereka juga akan meningkat sebagai akibat dari lama tinggal mereka yang meningkat karena harga yang kompetitif. Dalam jangka pendek, devaluasi akan berdampak negatif terhadap penduduk untuk melakukan perjalanan ke luar negeri outbound karena biaya perjalanan yang meningkat, tetapi dalam jangka panjang tidak akan terlalu berpengaruh. Peningkatan pendapatan negara secara signifikan telah mendorong pertumbuhan pariwisata. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pariwisata juga disinggung oleh Singh 1997 yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan masyarakat, stabilitas ekonomi, kemudahan melakukan perjalanan, liberalisasi angkutan udara, teknologi, pemasaran dan promosi yang terfokus melalui berbagai kampanye pariwisata. Sementara menurut Nathakumar, ettal. 2008, ada tiga variabel yang mempengaruhi model permintaan pariwisata internasional yaitu pendapatan per kapita dari negara asal wisatawan, nilai tukar mata uang, dan relatif harga negara asal dan tujuan wisatawan. Di sisi lain menurut Uysal dan Crompton 1984 bahwa permintaan pariwisata internasional tergantung dari pendapatan riil per kapita negara asal wisatawan, nilai tukar relatif mata uang negara asal dan tujuan wisatawan, biaya transportasi, dan besarnya pengeluaran promosi dari negara tujuan wisatawan. Dalam menyusun model permintaan akan pariwisata di Fiji, Katafono 2004 menggunakan variabel tidak bebasnya adalah jumlah kunjungan wisatawan sementara variabel bebasnya adalah Gross Domestic Product GDP, Exchange Rate dan dua dummy variabel yaitu terjadinya kudeta di Fiji dan terjadinya topan cyclones di Fiji. Model yang digunakan adalah model double log sehingga koefisiennya dari model ini dapat dinterpretasikan sebagai elastisitas. Dalam hal faktor yang bisa mempengaruhi kunjungan wisatawan selama ini Katafano 2004 menggunakan pendapatan dan harga. Jika pendapatan meningkat maka jumlah orang yang melakukan perjalanan juga akan meningkat. Sebagai proxy untuk pendapatan ini digunakan real GDP yang ditimbang dengan perdagangan dari negara utama asal wisatawan. Faktor lainnya mestinya indeks tarip hotel, restoran dan angkutan yang sebenarnya bisa dipakai sebagai proxy untuk faktor harga. Namun data tersebut tidak tersedia sehingga nilai tukar exchange rate mata uang asal wisatawan digunakan sebagai proxy harga dengan asumsi tarip hotel dan restoran bergerak sejalan dengan Exchange Rate. Faktor harga ini menjadi penting dalam model karena wisatawan mancanegara itu sensitif terhadap harga apakah itu biaya transportasi angkutan udara dan biaya hidup akomodasi dan makanan dari negara yang dituju. Sementara itu data tentang biaya perjalanan ongkos naik pesawat tidak tersedia dengan baik sehingga variabel ini tidak dimasukkan dalam model. Katafano 2004 juga menyatakan bahwa meningkatnya harga akan mengurangi jumlah kunjungan wisatawan, namun yang terjadi sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam kenyataannya kenaikan harga dalam jangka panjang tidak akan mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan, khususnya “high budget tourist”. Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan oleh Katafano 2004, yaitu Exchange Rate sebagai proxy harga mungkin tidak mencerminkan harga yang ada di Fiji. Demikian juga halnya faktor biaya transportasi tidak dimasukkan dalam model. Berdasarkan teori mikroekonomi tentang permintaan bahwa permintaan pariwisata didefinisikan sebagai sejumlah barang dan jasa pariwisata di mana konsumen wisatawan bersedia dan mampu untuk membeli dalam waktu dan kondisi tertentu. Dalam model permintaan wisatawan di Tunisia, Choyakh 2008 menetapkan bahwa permintaan pariwisata adalah fungsi dari pendapatan wisatawan, harga barang dan jasa pariwisata, harga barang dan jasa substitusi, serta variabel kualitatif lainnya seperti krisis ekonomi dan perang teluk dengan menggunakan dummy variabel. Variabel bebas yang digunakan dalam fungsi ini adalah malam tamu yang didefinisikan sebagai jumlah wisman yang berkunjung ke Tunisia yang menginap di hotel dikalikan dengan lama menginapnya.Banyak alternatif untuk mengukur jumlah permintaan pariwisata, antara lain: devisa yang diperoleh dari wisatawan, jumlah malam kunjungan di negara tujuan, dan jumlah wisman. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan Garin-Munoz et al., 2000. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita negara asal wisatawan adalah faktor yang paling signifikan mempengaruhi malam tamu wisatawan di hotel di Tunisia. Elastisitas pendapatan hasilnya cukup besar yaitu antara 2.46 sampai 5.83. Ini menunjukkan bahwa kunjungan dan lama menginap wisatawan ke Tunisia sangat dipengaruhi oleh GDP negara asal wisatawan dan besarnya nilai elastisitas lebih dari 1 mengindikasikan bahwa pariwisata adalah merupakan barang “superior” yaitu peningkatan pendapatan di empat negara Eropa asal wisman sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Tunisia lebih dari satu persen Choyakh, 2008. Witt dan Witt 1995 dalam Aslan et al. 2009 menyebutkan bahwa 75 persen studi tentang permintaan pariwisata menggunakan persamaan double log karena mudah dalam interpretasi dari estimasi koefisiennya yaitu elastisitas permintaan. Sebagian besar literatur juga menyarankan bahwa untuk mengestimasi fungsi permintaan pariwisata adalah model fungsi persamaan linier dan log linier. Keuntungan menggunakan persamaan double-log dapat menghasilkan estimasi koefisien dalam persamaan ini yang merupakan elastisitas dari variabel penjelas yang dimasukkan dalam model Garin-Munoz et al., 2000, Aslan et al., 2009, Tan et al., 2002, Torraleja et al., 2009. Dalam beberapa penelitian tentang permintaan pariwisata menunjukkan bahwa permintaan akan pariwisata dipengaruhi oleh pendapatan dan harga serta kejadianperistiwa tertentu yang bisa berdampak positif maupun negatif.Hubungan antara permintaan barang atau jasa dengan pendapatan bisa positif maupun negatif tergantung dari jenis barang dan jasa tersebut, sebagai barang normal atau barang inferior. Konsumen akan membeli barang normal lebih banyak dan barang inferior lebih sedikit saat pendapatan meningkat. Dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata termasuk sebagai barang normal Tan et al., 2002. Hasil penelitian Aslan et al. 2009 menunjukkan bahwa estimasi koefisien elastisitas pendapatan dari wisatawan yang berkunjung ke Turki menghasilkan nilai yang sangat kecil 0.04 – 0.06. Ini menunjukkan bahwa pendapatan tidak terlalu berpengaruh terhadap wisatawan yang berkunjung ke Turki atau dapat dikatakan bahwa pariwisata Turki bukan merupakan barang superiorluxury goods . Ketika persentase perubahan permintaan lebih besar jika dibandingkan dengan persentase perubahan pendapatan atau nilai elastisitas pendapatannya lebih dari 1 maka permintaan barang tersebut elastis. Dan jika kurang dari satu maka permintaan barang tersebut inelastis. Sebagian besar penelitian elastisitas permintaan pariwisata lebih besar dari satu dan menyimpulkan bahwa pariwisata sebagai luxury goods Tan et al., 2002, dan Venegas Sr., 2009. Demikian juga elastisitas harga tidak terlalu sensitif terhadap kunjungan wisman ke Turki. Namun justru faktor internal dan eksternal lainnya yang berupa data kualitatif, yaitu peristiwa 11 September 2001 dan gempa bumi di Marmara berpengaruh negatif terhadap kunjungan wisman ke Turki. Menurut Tan et al. 2002 bahwa kunjungan wisman ke Indonesia adalah elastis namun cenderung menjadi inelastis. Hasil ini sejalan dengan konsep product life cycle yang menyatakan bahwa elastisitas permintaan cenderung tinggi pada produk baru dan cenderung menurun ketika produk tersebut sudah menjadi biasa. Kunjungan wisman ke Indonesia diuntungkan oleh meningkatnya pendapatan di negara asal. Maka dalam pemasaran pariwisata harus bisa diidentifikasi mana produk yang sudah membosankan dan mana produk yang memiliki prospek untuk dikembangkan. Oleh karena itu pemerintah harus berperan dalam menjaga keseimbangan antara perluasan pasar dan pengembangan infrastruktur.

2.3. Dampak Kebijakan

Maju-mundurnya sektor pariwisata tidak terlepas dari kebijakan pemerintah suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara yang terus berupaya meningkatkan kontribusi pariwisata dalam perekonomiannya telah melakukan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan lalulintas pergerakan manusia antar negara. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia antara lain dengan menerapkan kebijakan Bebas Visa Kunjungan Singkat BVKS terhadap 145 negara sejak tahun 1991. Namun kebijakan ini pada tahun 2002 diubah menjadi Visa on Arrrival VOA terhadap negara yang telah diberikan BVKS namun negara tersebut sebaliknya tidak memberikan bebas visa terhadap warga negara Indonesia yang ingin mengunjungi negara tersebut. Dengan menganut asas resiprokal, negara anggota ASEAN masih tetap mendapatkan BVKS saat warganegaranya mengunjungi Indonesia. Kebijakan negara asal wisatawan mancanegara juga bisa mempengaruhi jumlah kunjungannya ke Indonesia, seperti adanya travel warning dari negara Australia pasca terjadinya bom Bali pada tahun 2002. Secara lebih rinci dampak kebijakan ini akan dijelaskan dalam sub-sub bab 2.3.1. Guna meningkatkan pendapatan negara dan menghambat mengalirnya devisa dari Indonesia ke luar negeri maka pemerintah membebankan biaya fiskal terhadap penduduk Indonesia yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri. Namun akhir-akhir ini kebijakan tersebut menuai protes dari beberapa negara anggota ASEAN karena penduduk Indonesia yang ingin mengunjungi negara ASEAN mengurungkan maksud untuk pergi ke luar negeri karena harus mebayar biaya fiskal. Secara lebih rinci dampak kebijakan ini akan dijelaskan dalam sub- sub bab 2.3.2.

2.3.1. Dampak Travel Warning

Pada tahun 2002, saat terjadi bom Bali, beberapa negara menerapkan kebijakan travel warning terhadap penduduknya yang akan berkunjung ke