Pola Pemanfaatan dan Penilaian Ekonomi Sumberdaya Air Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Jawa Barat

(1)

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan dapat menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas dan kuantitas SDAL. Kerusakan SDAL seperti kerusakan ekosistem hutan dapat menyebabkan bencana alam yang akan merugikan manusia dan ekosistem secara keseluruhan. Pentingnya menjaga sumberdaya hutan dikarenakan hutan merupakan salah satu sumberdaya sangat penting yang memiliki berbagai fungsi esensial.

Fungsi hidrologi merupakan salah satu fungsi hutan dengan beragam manfaat antara lain dapat menampung air hujan di dalam tanah, mencegah intrusi air laut yang asin, dan menjadi pengatur tata air tanah. Fungsi hutan lainnya secara ekologis adalah mencegah erosi dan banjir, menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah, dan sebagai wilayah untuk melestarikan keanekaragaman hayati, sedangkan secara klimatologi hutan dapat mengatur iklim dan hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen bagi kehidupan dan manfaat bagi manusia secara ekonomi adalah hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi, membuka lapangan pekerjaan, dan menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar negeri. Ditinjau dari peran hutan yang sangat besar, maka apabila hutan mengalami kerusakan akan berdampak nyata bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia dan lingkungan.


(2)

Taman Hutan Raya (Tahura) adalah suatu bentuk kepedulian pemerintah akan kelestarian lingkungan. Tahura merupakan daerah konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan agar kelestarian lingkungan dapat dicapai. Tahura adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan umum sebagai tujuan penelitian, ilmu pengetahuan dan pendidikan, juga sebagai fasilitas yang menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Fungsi dari Tahura sendiri sebagai tempat perlindungan sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa asli dan atau bukan asli serta keunikan panorama alam dapat dimanfaatkan secara lestari untuk konservasi, koleksi, edukasi, rekreasi, dan secara tidak langsung dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2007).

Fungsi Tahura sebagai penyangga kehidupan salah satunya adalah sebagai penyimpan cadangan air bersih. Fungsi tersebut merupakan fungsi hidrologis hutan sebagai tempat penampung air hujan di dalam tanah. Air hujan yang tersimpan dalam tanah akan menjadi suatu input alami air tanah yang dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi manusia. Sekitar 97 persen air yang ada di bumi merupakan air laut yang tidak dapat dikonsumsi sebelum terlebih dahulu dipisahkan dari kandungan garamnya. Sekitar 3 persen adalah air tawar yang terbagi menjadi 0,3 persen air di permukaaan tanah; 30,1 persen air di bawah tanah; dan 68,7 persen berupa glasier. Air di permukaan itulah yang selama ini dimanfaatkan atau dikonsumsi manusia. Dari hanya 0,3 persen air permukaan, sebagian besar adalah air danau (87 persen), sekitar 11 persen adalah air payau, dan hanya 2 persen adalah air sungai (Ramli, 2011).


(3)

Manusia sangat membutuhkan air untuk kehidupan sehari-harinya, namun ketersediaan air bersih ini semakin menurun dari tahun ke tahun. Persediaan air yang terbatas seharusnya membuat masyarakat lebih efisien dalam menggunakannya. Salah satu kegiatan yang membutuhkan persediaan air adalah irigasi pertanian. Menurut Siwi (2006), meningkatnya konversi lahan sawah menjadi perumahan serta sektor industri dan jasa menyebabkan pasokan air yang layak untuk dimanfaatkan semakin langka. Pada tahun 1999-2000 kebutuhan air meningkat sebesar 10 persen/tahun dan tahun 2000-2015 diperkirakan meningkat sebesar 6,7 persen/tahun. Disisi lain ketersediaan air tahun 2000 hanya mencukupi 23 persen dari total kebutuhan penduduk dan tahun 2015 diperkirakan hanya mencukupi 12 persen. Dengan demikian, upaya peningkatan efisiensi dalam penggunaan air harus dilakukan. Selama pemanfaatan air masyarakat tidak dikenai biaya karena air tidak memiliki nilai pasar. Hal tersebut menyebabkan penggunaannya menjadi tidak efisien dan apabila air diberi harga, maka masyarakat diharapkan lebih efisien dalam menggunakannya.

Fungsi Tahura selain sebagai penghasil sumberdaya air juga berfungsi sebagai tempat rekreasi, tempat penelitian, kawasan konservasi, penyerap karbon, dan penunjang perekonomian masyarakat sekitarnya. Apabila Tahura mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas, maka akan berdampak secara tidak langsung kepada masyarakat sekitarnya. Contohnya, penurunan kualitas dan kuantitas Tahura menyebabkan kuantitas air yang dihasilkan semakin berkurang, sehingga menyebabkan pasokan air yang dimanfaatkan beberapa instansi dan kebutuhan sehari-hari masyarakat menjadi berkurang. Berkurangnya kuantitas air disebabkan karena menurunnya luas daerah resapan air. Kawasan Bandung Utara


(4)

sudah mengalami penurunan luas daerah resapan air akibat banyaknya pembangunan perumahan, sebelum terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air Tahura yang berada di kawasan Bandung Utara. Apabila Tahura yang berada di kawasan Bandung Utara mengalami kerusakan maka akan semakin memperburuk kuantitas air untuk kawasan Bandung Utara, oleh sebab itu keberadaan Tahura tersebut harus dijaga kelestariannya agar sumberdaya air tetap dapat dimanfaatkan (Pikiran Rakyat, 2008).

Tahura Ir. H. Djuanda merupakan Tahura yang berada di kawasan Bandung Utara dengan luas 526,98 Ha. Tahura tersebut memiliki potensi yang cukup besar dalam menghasilkan sumberdaya air, karena salah satu fungsinya adalah sebagai daerah resapan air. Pemanfaatan air oleh beberapa instansi dan masyarakat di sekitar daerah Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu jasa lingkungan dari Tahura tersebut. Jasa sumberdaya air yang dihasilkan oleh Tahura ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang berada di sekitarnya. Pemanfaatan atas jasa sumberdaya air yang dilakukan oleh beberapa instansi dan masyarakat dilakukan tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun karena dalam hal ini air dianggap tidak memiliki harga pasar, sehingga instansi dan masyarakat tersebut kurang efisien dalam memanfaatkan sumberdaya air yang dihasilkan oleh Tahura Ir. H. Djuanda. Keadaan tersebut dapat membahayakan kelestarian suplai air bagi masyarakat dimasa yang akan datang. Potensi jasa sumberdaya air yang ada di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda sebenarnya dapat dihitung, sehingga diketahui berapa besar nilai jasa sumberdaya air yang dihasilkan. Nilai dari jasa sumberdaya air Tahura ini dapat dihitung dengan menggunakan metode Pembayaran Jasa Lingkungan/Payment for Environmental Services (PJL/PES). Dengan mengetahui


(5)

nilai jasa lingkungan dari sumberdaya air, maka dapat dilakukan langkah-langkah pengelolaan dan pemanfaatan air secara efisien dan lestari.

1.2 Perumusan Masalah

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda merupakan Tahura pertama di Indonesia. Awal mulanya Tahura Ir. H. Djuanda merupakan hutan lindung dengan nama hutan Lindung Gunung Pulosari yang merupakan taman terbesar yang dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia. Saat itu Tahura Ir. H. Djuanda dijadikan sebagai kawasan pelestarian alam yang tersisa serta sebagai paru-paru Kota Bandung, yang juga memiliki potensi sebagai daerah resapan air.

Tahura Ir. H. Djuanda memiliki potensi sebagai daerah resapan air dan penyedia air bersih yang dimanfaatkan oleh beberapa instansi dan masyarakat sekitar sumber air Tahura tersebut. Sumber air bersih yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan beberapa instansi sekitar Tahura Ir. H. Djuanda dapat berasal dari mata air dan sungai yang mengalir di dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Sungai yang mengalir dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda adalah Sungai Cikapundung, dimana Sungai Cikapundung membentang sepanjang 15 km dan lebar rata-rata 8 m dengan debit air sekitar 3.000 m3/detik dan dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening Kota Bandung dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Dago Bengkok. Salah satu mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda melalui Badan Pengelola Air Bersih Desa Ciburial (BPAB-DC) adalah mata air Seke Gede dengan debit air sebesar 360 liter/detik. Setiap pemanfaat yang memanfaatkan potensi Tahura Ir. H. Djuanda berkewajiban membayar sebesar Rp


(6)

500.000.000/10 tahun berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2008 tentang pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda.

Saat ini kondisi sumberdaya air yang berada di Tahura Ir. H. Djuanda mulai mengalami penurunan baik itu secara kuantitas maupun secara kualitas, hal ini dapat dilihat dari hilangnya salah satu mata air yang berada dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Total mata air yang berada di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda berjumlah 21 mata air dan kini hanya berjumlah 20 mata air saja. Mata air yang hilang adalah mata air Seke Cikiih Kuda, mata air ini hilang karena tertimbun oleh longsor sedangkan mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat melalui BPAB-DC adalah mata air Seke Gede dengan debit sebesar 360 liter/detik. Debit mata air Seke Gede keadaannya sudah tidak memadai untuk dimanfaatkan oleh pelanggan BPAB-DC yaitu masyarakat Desa Ciburial, karena masyarakat kini harus bergiliran selama lebih kurang 2-3 hari dalam mendapatkan pasokan air bersih yang berasal dari mata air Seke Gede.

Saat ini beberapa instansi dan pengelola air masyarakat memanfaatkan air secara gratis dari sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda. Selama ini masyarakat serta instansi beranggapan bahwa air dianggap tidak memiliki nilai yang sangat berarti, namun pada kenyataannya apabila air dihitung secara ekonomi maka akan diketahui bahwa air sesungguhnya memiliki nilai yang sangat besar. Dengan demikian air yang merupakan jasa lingkungan memiliki nilai yang sesuai jenis dan kegunaannya.

Jasa lingkungan yang dihasilkan oleh Tahura Ir. H. Djuanda berupa sumberdaya air yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan umumnya dianggap tidak memiliki nilai karena sifatnya sebagai barang publik


(7)

atau sumberdaya milik bersama. Namun kenyataannya jasa lingkungan tersebut dapat diketahui nilainya dengan menggunakan penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan/Payment for Environmental Service (PJL/PES), sehingga dapat diketahui besarnya nilai jasa lingkungan yang dimanfaatkan oleh instansi dan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda.

Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian meliputi:

1. Bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya air di Tahura Ir. H. Djuanda? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk

membayar penggunaan air bersih dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda? 3. Berapa besarnya kesediaan membayar (WTP) masyarakat terhadap

penggunaan air bersih yang berasal dari dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda?

4. Berapa besarnya nilai ekonomi dari jasa sumberdaya air yang terdapat dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian yaitu: 1. Menganalisis pola pemanfaatan sumberdaya air di Tahura Ir. H. Djuanda. 2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar dalam

penggunaan air bersih di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda.

3. Mengestimasi besarnya kesediaan membayar (WTP) masyarakat terhadap penggunaan air bersih yang berasal dari kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. 4. Mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari jasa sumberdaya air yang terdapat


(8)

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, menjadi sarana untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan serta salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Bagi masyarakat dan pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran lebih lengkap tentang pentingnya peranan keberadaan hutan sebagai kawasan dalam pengelolaan sumberdaya air, kawasan pelestarian alam, dan rekreasi.

3. Bagi pengelola Tahura Ir. H. Djuanda, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi nilai sumberdaya air yang terdapat dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Wilayah penelitian adalah kawasan di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda dan Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Responden dalam penelitian adalah masyarakat melalui BPAB-DC yang memanfaatkan sumberdaya air di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda, PDAM Tirtawening Kota Bandung, dan PLTA Dago Bengkok. Penelitian difokuskan kepada pola pemanfaatan jasa sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda, faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan masyarakat dalam membayar penggunaan air Tahura Ir. H. Djuanda. Besarnya kesediaan masyarakat dalam pembayaran kelestarian lingkungan Tahura


(9)

Ir. H. Djuanda serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dan nilai ekonomi potensial sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda.


(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Hutan Raya

Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan umum sebagai tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Juga sebagai fasilitas yang menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2007).

Kawasan Tahura dikelola oleh pemerintah, dalam hal ini di Indonesia dikelola oleh Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia dan dikelola dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan satwa beserta ekosistemnya. Rencana pengelolaan Tahura sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan kawasan. Sesuai dengan fungsinya, Tahura dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya, pariwisata alam dan rekreasi serta pelestarian budaya (Saiful, 2011).

Indonesia kini memiliki 22 kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan raya. Nama-nama kawasan hutan raya yang berada di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.2 Sumberdaya Air 2.2.1 Siklus Hidrologi

Menurut Suparmoko (2008), air yang terdapat di alam tidak semata-mata dalam bentuk cair, tetapi dapat dalam bentuk padat, serbuk, dan gas, seperti es,


(11)

salju, dan uap yang terkumpul di atmosfir. Air yang ada di alam tidaklah statis tetapi selalu mengalami perputaran sehingga dalam jangka panjang air yang tersedia di alam selalu mengalami perpindahan. Penguapan terjadi pada air laut, danau, sungai, tanah, maupun tumbuh-tumbuhan karena panas matahari. Kemudian lewat suatu proses waktu, air dalam bentuk uap terkumpul di atmosfir dalam bentuk gumpalan-gumpalan awan hingga mengalami perubahan bentuk menjadi butir-butir air dan butir-butir es. Kemudian butir-butir inilah yang jatuh ke bumi berupa hujan, es, dan salju.

Air yang jatuh ke bumi akan mengalami beberapa kejadian antara lain: 1. Air akan membentuk kolam, danau serta sungai dan segera menguap kembali

ke atmosfir (evaporasi).

2. Air yang melalui siklus hidup dari tumbuh-tumbuhan kembali menguap ke atmosfir melalui penguapan dari daun (transpirasi).

3. Air dapat jatuh dalam bentuk salju di pegunungan akan tersimpan di permukaan sampai mencair kembali kemudian meresap ke dalam tanah. 4. Air dapat meresap melalui permukaan tanah kemudian masuk ke dalam tanah

atau ke lapisan-lapisan yang membentuk persediaan air di bawah tanah (aquifers).

5. Air dapat mengalir langsung (run-off) di atas tanah kemudian masuk ke dalam sungai.

6. Air dapat terjerat dalam bentuk es di kutub atau di sungai es (gletser).

Kejadian-kejadian yang dijelaskan pada poin di atas, untuk kejadian pertama dan kedua tampak bahwa air tersebut kembali lagi ke aliran atmosfir sehingga air yang jatuh ke bumi tersebut tidak sempat dimanfaatkan oleh manusia.


(12)

Kejadian ketiga dan selanjutnya menjelaskan bahwa air tersebut jatuh ke bumi dan dapat dimanfaatkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebelum kembali ke atmosfir atau mengalir ke laut.

Air yang jatuh ke bumi sebagian akan tetap berada di daratan, sedangkan sebagian lagi akan mengalir ke laut. Air yang berada di daratan nantinya akan tampak berada di permukaan tanah yaitu danau, mata air, dan sungai dan sebagian akan meresap ke dalam tanah yang membentuk air tanah.

Proses atau terjadinya siklus hidrologi itu sendiri yang menyebabkan air akan selalu tersedia untuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Air yang jatuh ke bumi sebelum kembali ke atmosfir atau ke laut diharapkan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia. Hal ini akan terlaksana apabila siklus hidrologi berjalan stabil, maksudnya jika air jatuh ke bumi terlebih dahulu kemudian meresap ke dalam tanah atau tersimpan di kolam, danau, dan sungai-sungai dalam yang kemudian dimanfaatkan oleh manusia. Selanjutnya air buangan setelah penggunaan akan kembali ke atmosfir atau mengalir ke laut. Apabila proses hidrologi terganggu seperti adanya kerusakan pada jaringan penyimpan air di bumi yaitu kerusakan hutan, pemukiman yang padat dan sebagainya, maka air yang jatuh ke bumi sebagian besar akan menguap kembali ke atmosfir atau mengalir langsung (run-off) ke laut sehingga yang tersedia bagi manusia hanya sebagian kecil saja.

2.2.2 Air sebagai Kebutuhan Dasar Manusia

Menurut Sanim (2010), air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya dijamin konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945 ayat 3, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan


(13)

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konstitusi ini jelas menunjukkan dan merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan warga negaranya.

Penjaminan konstitusi lebih dipertegas lagi pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Sumberdaya Air, yang menyatakan negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok produktif. Secara eksplisit isi ayat tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat memperoleh air bersih adalah hak setiap orang, warga negara dari suatu negara, tak terkecuali warga Negara Indonesia. Jaminan tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya menjamin akses setiap orang ke sumber air untuk mendapatkan air.

Air selain merupakan kebutuhan dasar manusia juga sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikkan bersama (global common atau sebagai common resources). Sumberdaya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh keuntungan. Dengan adanya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Konvensi Internasional, pandangan tradisional tersebut sudah berubah dan ditinggalkan karena air tidak sekedar hanya barang publik tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Paradigma ekonomi ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinstik (intrinstic value) dari air, yang didasarkan pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air (limited and


(14)

scarcity water) serta dibutuhkannya investasi atau penyediaan air bersih, sebagai pemenuhan hak atas setiap warga negara.

2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan, dan lain-lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia, sehingga sumberdaya dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Definisi lain juga menyatakan bahwa sumberdaya juga terkait pada dua aspek, yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan (Fauzi, 2004).

Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung juga menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan sebagainya. Manfaat ini sering lebih terasa dalam jangka panjang. Manfaat tersebut sering disebut dengan manfaat ekologis, dimana manfaat ini sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai dari sumberdaya (Fauzi, 2004).

2.4 Jasa Lingkungan

Jasa lingkungan diartikan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami. Misalnya, hutan sebagai


(15)

ekosistem alami selain menyediakan berbagai macam produk kayu juga menyediakan produk non kayu sekaligus juga menjadi reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring air yang kemudian melepasnya secara gradual, sehingga air tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun dengan adanya penebangan pohon yang tidak terkendali pada sistem hutan alami dapat menimbulkan gangguan, terutama dalam siklus air dimana dengan adanya pembabatan hutan dapat menyebabkan banjir pada saat musim hujan dan menurunnya kualitas air. Demikian pula saat musim kemarau terjadi kekurangan (defisit) air yang otomatis berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas air yang dapat menimbulkan kerentanan masyarakat hilir dalam kebutuhan dan ketersediaan air bersih atau air minum yang berakibat kualitas hidup terancam dan kesejahteraan masyarakat menjadi menurun. Jasa hidrologis hutan tersebut akan terancam seiring dengan meningkatnya laju degradasi, untuk itu diperlukan adanya hubungan hulu hilir dalam bentuk penyediaan biaya atau dana kompensasi dari pengguna jasa lingkungan di wilayah hilir (Sutopo, 2011).

2.5 Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)

Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah instrumen berbasis pasar untuk tujuan konservasi, berdasarkan prinsip bahwa siapa saja yang mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan harus membayar dan siapa yang menghasilkan jasa tersebut harus dikompensasi (LPM Equator, 2011). Menurut Wunder (2005), pembayaran jasa lingkungan adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lingkungan yang perlu dilestarikan dengan cara memberikan nilai oleh penerima manfaat kepada penghasil manfaat jasa lingkungan.


(16)

Pembayaran jasa lingkungan merupakan skema baru untuk mendukung eksternalitas lingkungan yang positif melalui transfer keuangan dari penerima manfaat jasa lingkungan tertentu kepada mereka yang menyediakan sumberdaya lingkungan. Prinsip dasar PJL adalah sumberdaya pengguna dan masyarakat yang berada dalam posisi untuk memberikan jasa lingkungan harus diberi kompensasi untuk biaya penyediaan mereka dan bahwa mereka yang mendapatkan manfaat dari layanan ini harus membayar kepada si penyedia (Mayrand dan Paquin, 2004). 2.5.1 Fungsi Jasa Lingkungan

Menurut Wunder (2005), suatu ekosistem menyediakan suatu jasa lingkungan yang memiliki empat fungsi penting, yaitu:

1. Jasa penyedia (provising services)

Penyediaan sumberdaya alam berupa sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, serat air, mineral, dan lain-lain. 2. Jasa pengaturan (regulating services)

Jasa lingkungan memiliki fungsi menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, pengontrol erosi, pengaturan untuk mengontrol penyakit, pengaturan untuk mengurangi risiko yang menghambat perbaikan kualitas lingkungan, dan lain-lain.

3. Jasa kultural (cultural service)

Jasa lingkungan sebagai identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan, inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, rekreasi, dan lain-lain.

4. Jasa pendukung (supporting services)


(17)

Terkait dengan pemanfaatan air, bahwa hutan memberikan suatu jasa lingkungan yang manfaatnya sungguh dirasakan oleh masyarakat. Seperti hutan bermanfaat sebagai pengatur aliran dan supply melalui penyerapannya, memperbaiki kualitas air dengan mengurangi sedimentasi dan erosi, mencegah dan mengurangi bencana akibat air yang tidak dapat diserap.

2.5.2 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

Pembayaran jasa lingkungan dibagi atas empat tipe, yaitu (Wunder, 2005): 1. Penyerapan dan penyimpanan karbon (carbon sequestration and storage)

Contohnya sebuah perusahaan listrik membayar kepada para petani agar melakukan penanaman pohon dan menjaga keberadaannya.

2. Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection)

Contohnya memberikan sejumlah biaya kepada seseorang untuk memulihkan suatu daerah yang nantinya akan menciptakan koridor biologi.

3. Perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Contohnya pengguna air yang berada di hilir harus membayar kepada pengguna di hulu untuk membatasi deforestasi, erosi tanah, dan lain-lain. 4. Keindahan pemandangan (landscape beauty)

Contohnya pemilik suatu tempat wisata membayar kepada masyarakat agar mereka tidak melakukan perburuan di hutan terhadap satwa liar dimana hutan tersebut nantinya akan dikunjungi oleh para wisatawan, sehingga hutan tersebut dijadikan objek wisata untuk melihat satwa-satwa liar.

Skema PJL berusaha untuk menetapkan nilai dan harga jasa lingkungan yang sesuai. Skema PJL akan cenderung bekerja dengan baik ketika nilai jasa lingkungan tinggi untuk penerima manfaat dan biaya penyediaan layanan rendah.


(18)

Namun bisa juga bekerja ketika nilai jasa dan biaya penyediaannya keduanya tinggi, asalkan pembayaran melebihi biaya penyediaan jasa. Jika nilai layanan dan biaya penyediaan rendah, maka biaya transaksi yang terkait dengan skema PJL mungkin lebih tinggi dari nilai tambahan dalam hal pemanfaatan lingkungan.

Fleksibilitas skema PJL dapat juga dilihat dari skema pembayarannya yang bisa berdasarkan besaran luas area yang menjadi subyek perubahan pemanfaatan lahan, atau pada praktek pemanfaatan lahan spesifik dapat diarahkan pada area, praktek, atau atribut spesifik dengan kriteria-kriteria umum. Skema PJL juga dapat dalam bentuk manfaat non moneter pada pemanfaatan lahan seperti training, infrastruktur atau bantuan untuk diversifikasi pendapatan atau pengembangan pasar (Mayrand dan Paquin, 2004).

Sumber : Pagiola, 2003

Gambar 1. Struktur Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan 2.6 Metode Estimasi Penilaian Ekonomi Jasa Lingkungan

Menurut Yakin (1997), estimasi penilaian lingkungan melibatkan penilaian moneter (uang) untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan. Dalam analisa ekonomi lingkungan, penilaian keuntungan dari perubahan lingkungan itu sangat

Penerima Manfaat Struktur Governance

Mekanisme Pendanaan Mekanisme Pembayaran Environmental Service Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat


(19)

kompleks karena nilai keuntungan bukan hanya nilai moneter (berupa uang) dari konsumen yang menikmati langsung (users) jasa perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga nilai yang berasal dari konsumen potensial dan orang lain karena alasan tertentu (non users).

Menurut Yakin (1997), terdapat 15 jenis metode penilaian ekonomi terhadap jasa lingkungan yang telah berkembang. Diantaranya adalah the Dose-Response Method (DRM), Hedonic Price Method (HPM), Travel Cost Method (TCM), the Averting Behaviour Method (ABM), dan Contingent Valuation Method (CVM). Namun diantara beberapa metode tersebut, metode CVM yang paling populer karena dapat mengukur dengan baik nilai penggunaan (use values) dan nilai dari non pengguna (non use values).

2.6.1 The Dose-Response Method (DRM)

The Dose-Response Method (DRM) ini berdasarkan pada gagasan bahwa kebanyakan aktifitas, kualitas lingkungan dapat dianggap sebagai suatu faktor produksi. Contohnya, kualitas air bagi industri yang menggunakan air untuk tujuan pengolahan atau proses produksi. Bagi kegiatan-kegiatan seperti itu, peningkatan kualitas lingkungan akan mengakibatkan perubahan dalam biaya produksi yang bisa jadi selanjutnya mengakibatkan terjadinya suatu perubahan terhadap harga, output, dan atau tingkat pengembalian modalnya. Dengan menganggap bahwa tidak ada kesempurnaan pasar yang menggangu (distorsi) harga pasar, benefit atau keuntungan dari peningkatan kualitas lingkungan dapat diukur dari perubahan pasar yang dapat diselidiki tersebut (Yakin, 1997).

Metode ini memiliki dua kelebihan, yaitu metode dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana orang tidak sadar terhadap dampak yang diakibatkan oleh


(20)

polusi dan DRM merupakan metode pengukuran benefit yang sulit dan biasanya menjadi perhatian pembuat kebijaksanaan. Kelemahan metode DRM, yaitu metode mensyaratkan data yang memuaskan dan lengkap serta jika nilai tidak langsung atau nilai dari bukan pengguna adalah cukup tinggi, maka metode ini akan menyebabkan estimasi yang terlalu rendah (undersestimate) terhadap keuntungan dari kebijaksanaan lingkungan.

2.6.2 Hedonic Price Method (HPM)

Metode Hedonic Price Method (HPM) didasarkan pada gagasan bahwa barang pasar menyediakan pembeli dengan sejumlah jasa, yang beberapa diantaranya dapat berupa kualitas lingkungan. Misalnya bangunan rumah dengan kualitas udara segar disekitarnya, pembeli akan menerimanya sebagai pelengkap. Jika orang merasa tertarik dengan panorama lingkungan pelengkap seperti itu, mereka akan bersedia membayar lebih untuk rumah yang berada di area dengan kualitas lingkungan yang baik, dibandingkan dengan rumah dengan kualitas yang sama pada tempat lain yang kualitas lingkungannya buruk (Yakin, 1997).

HPM memiliki kelebihan dalam perhitungan benefit yang diperoleh berdasarkan tingkah laku pasar yang diteliti, sedangkan kelemahannya adalah harga yang tersedia harus valid, metode ini tidak mampu mendapatkan pilihan estimasi harga dengan adanya ketidakpastian serta tidak dapat mengestimasi nilai pengukuran kesejahteraan yang didasarkan pada surplus konsumen.

2.6.3 Travel Cost Method (TCM)

Travel Cost Method (TCM) berusaha untuk menempatkan nilai pada pasar barang non lingkungan dengan menggunakan perilaku konsumsi di pasar. Secara khusus, biaya mengkonsumsi jasa dari aset lingkungan digunakan sebagai proxy


(21)

untuk harga. Biaya konsumsi akan mencakup biaya perjalanan, biaya masuk, dan pengeluaran pada peralatan modal yang diperlukan untuk konsumsi. Metode ini mengasumsikan kelemahan antara aset lingkungan dan pengeluaran konsumsi (Hanley dan Spash, 1993).

Menurut Pierce et al. (2006), TCM dikembangkan utuk menilai kegunaan dari barang non market, daerah yang letak geografisnya khusus dan lokasi yang dipergunakan untuk rekreasi. Secara prinsip metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi, dengan mengetahui pola ekspenditur dari konsumen, maka dapat diketahui berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2004).

Adapun kelebihan dari metode ini yaitu hasil perhitungan benefit berdasarkan tingkah laku pasar yang diteliti, sedangkan kelemahan metode ini yaitu biaya perjalanan yang digunakan haruslah valid, biaya kesempatan (opportunity cost) harus dimasukkan ke dalam perhitungan, dan teori ekonomi gagal untuk menjelaskan hubungan antara jumlah kunjungan dan biaya perjalanan (Yakin, 1997).

2.6.4 The Averting Behaviour Method (ABM)

The Averting Behaviour Method (ABM) ini menilai kualitas lingkungan berdasarkan pada pengeluaran untuk mengurangi atau mengatasi efek negatif dari polusi. Misalnya, terjadinya polusi udara yang mengharuskan orang-orang menggunakan masker. Biaya pembelian masker dianggap sebagai nilai dari benefit untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Kelebihan ABM adalah pengukuran manfaat yang dihasilkan berdasarkan karakteristik pasar yang


(22)

diselidiki, sedangkan kelemahan ABM yaitu membutuhkan data yang memuaskan dan rumit dan metode ini tergantung pada asumsi yang tidak dapat dijelaskan atau dianalisa dengan tepat yang berkaitan dengan spesifikasi fungsi utilitas orang yang diteliti (Yakin, 1997).

2.6.5 Contingent Valuation Method (CVM)

Contingent Valuation Method (CVM) adalah metode teknik survei untuk menanyakan kepada penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti jasa lingkungan. Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan untuk diterapkan dalam menilai keuntungan dari penyediaan jasa lingkungan pada lingkup masalah lingkungan yang luas juga mampu menentukan pilihan estimasi harga pada kondisi ketidakmenentuan (Yakin, 1997). Pendekatan CVM pertama kali dikenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesa yang dibangun. Pendekatan CVM secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei (Fauzi, 2004).

Pada dasarnya CVM merupakan suatu metode untuk penilaian suatu barang yang tidak mempunyai harga pasar. Nilai tersebut diestimasi dengan suatu metode yang diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pengambil keputusan yang diperlukan untuk mengetahui biaya dan manfaat dari suatu program kegiatan perbaikan kualitas lingkungan atau aktivitas yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan (Yulianti dan Ansusanto, 2002).


(23)

Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui pertama, keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat dan kedua, keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) (Fauzi, 2004). Willingness to pay (WTP) adalah nilai responden yang menyatakan keinginan untuk membayar atau menyetujui sejumlah uang tertentu untuk melakukan perubahan lingkungan (Yulianti dan Ansusanto, 2002).

Kuesioner CVM dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) pertanyaan tentang karakteristik sosial demografi responden seperti usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan lain-lain; (2) pertanyaan tentang WTP yang diteliti; (3) penulisan detail tentang benda yang dinilai, persepsi penilaian benda publik, jenis kesanggupan, dan alat pembayaran. Pertanyaan dalam kuesioner mengenai WTP yang diteliti dibagi dalam beberapa jenis pertanyaan, yaitu: (1) permainan lelang (bidding game), (2) pertanyaan terbuka, (3) payment card, dan (4) model referendum atau discreate choice (dichotomous choice) (Fauzi, 2004).

Penggunaan CVM dalam memperkirakan ekonomi suatu lingkungan memiliki kelebihan-kelebihan, yaitu penilaian kontingensi ini sangat fleksibel dalam memperkirakan nilai ekonomi apa pun, CVM dapat memperkirakan nilai guna, serta nilai-nilai keberadaan, nilai-nilai pilihan, dan nilai-nilai warisan, serta hasil CVM tidak sulit untuk dianalisis dan dipahami1. Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang


(24)

utama adalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate maupun understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal yang utama yaitu, bias yang timbul dari strategi yang keliru dan bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian (design bias) (Fauzi, 2004).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengoperasian CVM, yaitu (Hanley dan Spash, 1993):

1. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kreadibilitas dan realistik. 2. Alat pembayaran yang digunakan atau ukuran kesejahteraan (WTP)

sebaiknya tidak kontroversial dengan etika dimasyarakat.

3. Informasi yang disajikan untuk responden sebaiknya cukup mengenai sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka.

4. Responden sebaiknya mengenal sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan mempunyai pengalaman di dalamnya.

5. Jika memungkinkan ukuran WTP sebaiknya dicari karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.

6. Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.

7. Pengujian kebiasan sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk memperkecil strategi bias khusus.

8. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.

9. Sebaiknya diketahui dengan pasti apakah contoh memiliki karakteristik yang sama dengan populasi dan penyesuaian dibuat jika diperlukan.


(25)

10. Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali apakah mereka setuju dengan harapan sebelumnya.

2.7 Analisis Regresi Logit

Analisis regresi logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini mengkaji hubungan pengaruh-pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen melalui model persamaan matematis tertentu. Namun jika peubah dependen dari analisis regresinya berupa kategorik, maka analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logit (Hosmer dan Lemeshor, 1989).

Penelitian ini menggunakan analisis regresi biner yang menyatakan bahwa apakah responden bersedia membayar atau tidak bersedia membayar. Transformasi persamaannya sebagai berikut (Ramanathan, 1997):

1 i

i P

Li In X u

P  

 

   

 

dimana Li sering disebut sebagai indeks model logistik, yang nilainya sama

dengan 1 i i P In P    

  ; dan 1 i i P P   

  adalah odd, yaitu nilai rasio kemungkinan

terjadinya suatu peristiwa dengan kemungkinan tidak terjadinya peristiwa. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). ML sebuah teknik estimasi yang bersifat iteratif digunakan terutama pada persaman-persamaan non linear dalam parameter-parameter (koefisien-koefisien).

2.8 Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda (multiple regression analysis) adalah suatu model dimana variabel dependen bergantung pada dua atau lebih variabel yang


(26)

independen (Firdaus, 2004). Persamaan model regresi berganda dapat dituliskan sebagai berikut (Juanda, 2009):

Y = β1 X1i+ β2 X2i+ β3 X3i+ βk Xki+ εi

Subskrip i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 hingga N untuk data populasi, atau sampai n untuk data contoh (sample). Y merupakan variabel dependen sedangkan Xki merupakan pengamatan ke-i untuk variabel independen Xk. Koefisien βi dapat merupakan intersep apabila semua pengamatan X1i bernilai satu, sehingga model menjadi sebagai berikut:

Y = β1+ β2 X2i+ β3 X3i+ βk Xki+ εi

Dalam mendapatkan koefisien regresi parsial, maka digunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square-OLS). Metode OLS dilakukan dengan pemilihan parameter yang tidak diketahui sehingga jumlah kuadrat kesalahan pengganggu (Residual Sum of Square-RSS) yaitu ∑ei2 = minimum (terkecil). Pemilihan model didasarkan dengan pertimbangan metode ini mempunyai sifat-sifat karakteristik yang optimal, sederhana dalam perhitungan, dan umum digunakan. Beberapa asumsi yang dipergunakan dalam model regresi berganda adalah (Firdaus, 2004):

1. Nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari εi tergantung pada Xi tertentu adalah nol.

2. Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada autokorelasi (non autokorelasi) artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai rata-ratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif atau negatif. 3. Varian bersyarat dari (ε) adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama


(27)

4. Variabel independen adalah non stokastik, yaitu tetap dalam penyampelan berulang. Jika stokastik didistribusikan secara independen dari gangguan ε. 5. Tidak ada multikolinearitas diantara variabel independen satu dengan yang

lainnya.

6. ε didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varian yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2.

Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi maka suatu fungsi regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan dengan metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias linear terbaik (Best Linear Unbiased Estimator-BLUE). Sebaliknya, jika ada asumsi dalam model regresi yang tidak dipenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh maka kebenaran pendugaan dapat diragukan. Penyimpangan asumsi 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius sedangkan asumsi 1, 4, dan 6 tidak.

2.9 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil studi pustaka diperoleh beberapa hasil kajian mengenai nilai pemanfaatan sumberdaya air, diantaranya penelitian Setiawan (2000), mengenai nilai ekonomi Tahura Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung. Metode yang dilakukan adalah dengan mewawancarai penduduk sekitar yang memanfaatkan jasa lingkungan dari Tahura Wan Abdul Rachman. Hasil dari penelitian adalah berdasarkan surplus konsumen yang diperoleh masyarakat nilai Tahura Wan Abdul Rachman untuk nilai hijauan pakan ternak sebesar Rp 3.581.529.620; nilai kayu bakar sebesar Rp 10.329.411.216; nilai perladangan tanaman semusim sebesar Rp 381.235.682; nilai perladangan tanaman tahunan sebesar Rp 1.389.565.000; nilai air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp


(28)

487.530.594; nilai air sawah sebesar Rp 149.083.495; dan nilai wisata sebesar Rp 9.367.513. Total surplus konsumen yang diperoleh masyarakat untuk komponen-komponen tersebut di atas adalah Rp 16.327.713.120 atau rata-rata Rp 734.028/Ha/tahun.

Yumarni (2002), meneliti tentang manfaat Tahura Dr. Mohammad Hatta, dalam penelitian menjelaskan nilai Tahura Dr. Mohammad Hatta secara ekonomi atas pemanfaatan jasa yang dihasilkan. Metode yang dilakukan adalah dengan mewawancarai penduduk sekitar yang memanfaatkan jasa lingkungan dari Tahura Dr. Mohammad Hatta. Hasilnya adalah total surplus konsumen yang diperoleh masyarakat yang berbatasan langsung dengan Tahura Dr. Mohammad Hatta adalah Rp 8.978.666.190 setiap tahunnya, dengan surplus konsumen masing-masing kegiatan setiap tahunnya adalah kayu bakar sebesar Rp 7.781.952.966; hijauan makanan ternak sebesar Rp 158.856.589; air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp 346.199.528; air untuk sawah sebesar Rp 10.099.219; perladangan tanaman semusim sebesar Rp 1.996.975; perladangan tanaman tahunan sebesar Rp 6.218.947; dan wisata sebesar Rp 673.341.966.

Widada dan Darusman (2004), melakukan penelitian tentang nilai ekonomi domestik dan irigasi pertanian yang dilakukan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), dimana penelitian mencari tahu besarnya manfaat hidrologi TNGH khususnya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pertanian masyarakat desa penyangga TNGH. Contoh desa yang dijadikan suatu sampel sebanyak 13 desa dengan pengumpulan data menggunakan metode survei yang dilaksanakan selama enam bulan. Hasilnya adalah bahwa nilai ekonomi air sebagai manfaat hidrologi TNGH untuk kebutuhan domestik masyarakat desa


(29)

penyangga TNGH sebesar Rp 5.223.870.380 terdiri dari nilai yang dibayarkan Rp 1.163.367.368 dan surplus konsumen Rp 4.060.502.012. Nilai ekonomi air sebagai manfaat hidrologi TNGH untuk kebutuhan pertanian masyarakat desa penyangga TNGH sebesar Rp 1.417.546.684 terdiri dari atas nilai yang dibayarkan Rp 958.967.038 dan surplus konsumen Rp 460.387.400.

Penelitian yang dilakukan oleh Mihardja (2009), mengenai inventarisasi jasa lingkungan air di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Nantu bertujuan mengumpulkan informasi dan data tentang potensi jasa air di kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Nantu dan hubungannya dengan aktivitas ekonomi di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Nantu. Metode pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan mengumpulkan beberapa studi pustaka, observasi partisipasi dan pencatatan serta wawancara. Hasilnya adalah nilai total ekonomi air per tahun untuk penggunaan air oleh penduduk sekitar Suaka Margasatwa Nantu berjumlah Rp 10.616.126,98 dan dalam 25 tahun (diskonto 10 persen) mencapai nilai Rp 96.363.009 sedangkan jika dibandingkan harga riil air berdasarkan PDAM Paguyaman, maka dihasilkan nilai total ekonomi air per tahun sebesar Rp 118.269.850 dan dalam 25 tahun (diskonto 10 persen) mencapai nilai Rp 1.073.540.158.

Penelitian yang dilakukan oleh Merryna (2009), mengenai WTP masyarakat terhadap PJL yang dilakukan di Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten. Tujuannya ialah mencari nilai WTP masyarakat terhadap instrumen ekonomi yaitu PJL, faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden untuk melakukan PJL, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan tersebut. Tentu saja metode yang digunakan adalah


(30)

CVM. Hasil penelitian yaitu nilai WTP yang diperoleh untuk nilai rataan WTP responden adalah Rp 101/liter/KK sedangkan nilai total WTP adalah Rp 83.835/liter. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden dipengaruhi oleh penilaian kualitas air, jumlah kebutuhan air, jarak rumah ke sumber air, dan rata-rata pendapatan rumah tangga. Jumlah pemanfaatan jasa lingkungan mata air Cirahab oleh masyarakat sebanyak 51.887.305/liter/tahun yang dapat dihasilkan oleh 4,94 Ha lahan melalui metode transfer benefit. Nilai potensial pemanfaatan mata air Cirahab adalah sebesar Rp 5.240.617.805/tahun yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pemulihan ekologi hutan sebesar Rp 544.758.500/Ha/tahun.

Sutopo (2011), melakukan penelitian mengenai pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum (studi kasus DAS Cisadane hulu). Metode yang digunakan yaitu mewawancarai masyarakat hulu dan hilir daerah DAS Cisadane. Hasil penelitian memberikan gambaran perlunya dikembangkan pengembangan kebijakan insentif yang lebih adil dan merata. Hal ini disebabkan karena adanya kontribusi peran tertinggi dari pihak swasta dalam mengelola air minum dibandingkan dengan aktor lainnya dengan memberikan manfaat ekonomi tetap mempertahankan kriteria terbaiknya dengan melakukan diversifikasi usaha tani guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan konsisten untuk melaksanakan dan mencanangkan strategi agar tetap melakukan kegiatan konservasi terutama pada kawasan resapan air. Hal ini sesuai pula dengan respon yang signifikan terhadap kemauan masyarakat untuk melakukan konservasi dengan cara melakukan menanam pohon dan adanya persepsi terhadap PJL bahwa masyarakat setuju pentingnya pembayaran jasa lingkungan yang didukung


(31)

masyarakat pada saat merespon tingkat kesediaan masyarakat menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) karena akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan mereka sendiri dan adanya respon positif dari pemanfaat air minum (pengusaha) untuk bersedia membayar jasa lingkungan (WTP) sebagai pembayaran jasa lingkungan kepada masyarakat karena dipengaruhi oleh keberadaan dan kondisi pemanfaat yang secara linear signifikan dengan level pendidikannya. Implikasi kebijakan atas hasil penelitian ini, menetapkan nilai rataan (WTP-WTA) sebesar Rp 1.563,97/m3 sebagai basis perhitungan dasar tentang nilai PJL yang dapat diterapkan secara bertahap di DAS Cisadane hulu oleh pemerintah terhadap para pengelola air (users pay principle) untuk masyarakat di hulu sebagai keniscayaan penerapan kebijakan.


(32)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda adalah kawasan pelestarian alam yang berada di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan. Selain sebagai kawasan pelestarian alam, Tahura Ir. H. Djuanda juga menyimpan potensi sebagai daerah resapan air. Sebagaimana yang diketahui bahwa luas daerah resapan air di kawasan Bandung Utara semakin menyempit dan parah kondisinya, sehingga Tahura Ir. H. Djuanda sangat berperan dalam pasokan air di kawasan Bandung Utara. Parahnya kondisi resapan air dapat dilihat pada saat musim kemarau maupun musim hujan. Disaat musim kemarau pasokan air yang diterima oleh masyarakat sangat kecil sekali, sedangkan pada saat musim hujan terjadi bencana banjir. Potensi resapan air dapat dilihat dari mata air dan mengalirnya Sungai Cikapundung. Sungai Cikapundung dimanfaatkan oleh PDAM Tirtawening Kota Bandung dan PLTA Dago Bengkok, sedangkan mata air dimanfaatkan oleh masyarakat melalui BPAB-DC.

Kondisi mata air yang berada di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda mulai mengalami penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas dimana pasokan debit mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sudah mulai mengalami penurunan, hal ini terlihat dari air bersih yang berasal dari mata air yang diterima oleh masyarakat hanya lebih kurang 2-3 hari sekali. Masyarakat serta beberapa instansi yang memanfaatkan air yang berasal dari Tahura Ir. H. Djuanda berkewajiban membayar pemanfaatan jasa sumberdaya air dari Tahura Ir. H. Djuanda, karena Tahura merupakan kawasan konservasi dan penetapan nominalnya sudah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda,


(33)

sedangkan untuk mata air secara langsung dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar melalui BPAB-DC.

Pemanfaatan sumberdaya air menunjukkan penggunaan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh Tahura Ir. H. Djuanda. Agar kuantitas dan kualitasnya dapat terjaga dengan baik maka pengelolaan sumberdaya air tersebut harus dijaga keberadaannya, sehingga ketersediannya tidak mengalami penurunan dan tetap dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukanlah instrumen ekonomi untuk menjaga Tahura tersebut yakni melalui mekanisme PJL yang diharapkan dapat menjaga kuantitas dan kualitas sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda.

Penerapan instrumen ekonomi berupa PJL untuk pemanfaatan sumberdaya air di Tahura Ir. H. Djuanda dapat dilakukan apabila semua pihak mengetahui potensi ekonomi sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda. Guna mengetahui potensi nilai ekonomi potensial Tahura Ir. H. Djuanda, maka diperlukan analisis mendalam mengenai pola pemanfaatan sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda oleh berbagai instansi dan masyarakat. Dalam penelitian ini teknik WTP dengan metode CVM digunakan untuk mengetahui nilai ekonomi sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda yang diestimasi dari sudut pandang masyarakat. Selain itu untuk mendapatkan nilai ekonomi total sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda, maka nilai ekonomi yang diberikan oleh pemanfaat sumberdaya air lainnya yaitu PDAM Tirtawening Kota Bandung dan PLTA Dago Bengkok juga diperhitungkan. Alur penelitian disajikan pada diagram alur kerangka berpikir yang dapat dilihat pada Gambar 2.


(34)

Gambar 2. Diagram Alur Kerangka Berpikir

Mata air Sungai Cikapundung

Fungsi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

Potensi resapan air dan

penyediaan air bersih Jasa lingkungan

WTP masyarakat terhadap PJL Kawasan pelestarian

alam

Pemanfaatan sumberdaya air berkelanjutan

Ketersediaan sumberdaya air

Instrumen ekonomi berupa PJL Dimanfaatkan

oleh PLTA Dago Bengkok

Dimanfaatkan oleh PDAM Tirtawening

Kota Bandung

Dimanfaatkan oleh masyarakat melalui BPAB-DC

Pola pemanfaatan sumberdaya air di Tahura Ir. H. Djuanda

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan WTP masyarakat dalam penggunaan air bersih Tahura Ir. H. Djuanda Penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air

Nilai PJL untuk PDAM Tirtawening dan PLTA


(35)

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda dan Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena masyarakat dan instansi di daerah tersebut memanfaatkan sumberdaya air yang berada dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda untuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian terbagi dalam beberapa tahap, tahap awal ini merupakan pra penelitian yang dimulai dari pengamatan permasalahan di lapangan, perumusan masalah, pengembangan kerangka berpikir serta penyusunan proposal. Tahapan ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2012. Tahapan pengambilan data yang dilaksanakan bulan April hingga Mei 2012. Selanjutnya tahapan pengolahan dan analisis data serta penyusunan skripsi dilaksanakan bulan Juni hingga November 2012.

4.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Menurut Jogiyanto (2008), survei (survey) atau lengkapnya self-administered survey adalah metode pengumpulan data primer dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada responden individu, sedangkan menurut Nasution (2003), suatu penelitian survei bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang orang yang jumlahnya besar,


(36)

dengan cara mewawancarai sejumlah kecil dari populasi itu. Dalam metode survei ini, kuesioner dan wawancara digunakan sebagai instrumen penelitian. Menurut Nasution (2003), kuesioner adalah daftar pertanyaan yang didistribusikan melalui pos untuk diisi dan dikembalikan atau dapat juga dijawab dibawah pengawasan peneliti, sedangkan wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal yang bertujuan memperoleh informasi.

4.4 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian diperoleh dari berbagai instansi pemerintah di lokasi penelitian, seperti pihak pengelola Tahura Ir. H. Djuanda, BPAB-DC, PDAM Tirtawening Kota Bandung, PLTA Dago Bengkok, dan Desa Ciburial serta referensi lainnya dan penelitian-penelitian terdahulu. Data primer yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pihak pengelola Tahura Ir. H. Djuanda, BPAB-DC, PDAM Tirtawening Kota Bandung, PLTA Dago Bengkok, dan masyarakat melalui kuesioner seperti yang disajikan pada Lampiran 3. Data tersebut meliputi respon dari responden terhadap keinginan membayar responden terhadap jasa sumberdaya air dari kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Jenis data dan sumbernya dapat disajikan dalam Tabel 1.

4.5 Metode Pengambilan Sampel

Teknik yang digunakan dalam menentukan responden untuk BPAB-DC, PDAM Tirtawening Kota Bandung, dan PLTA Dago Bengkok adalah key person, yang memahami permasalahan dan berperan dalam mengambil keputusan, sedangkan penentuan desa dilakukan secara purposive sampling yaitu desa yang


(37)

masyarakatnya memanfaatkan mata air yang berada dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Menurut Nasution (2003), purposive sampling adalah memilih sampel secara sengaja. Selanjutnya sampel masyarakat dipilih dengan metode convinience sampling dengan alasan keterbatasan dalam membentuk sampling frame. Menurut Mustafa (2000), convinience sampling adalah pengambilan sampel yang mudah ditemui. Jumlah responden yang diambil sebanyak 80 Kepala Keluarga (KK) dari 650 KK yang berada di Desa Ciburial yang memanfaatkan air dari BPAB-DC. Tabel 1. Matriks Metode Analisis Data

No. Tujuan Penelitian Sumber

Data

Metode Analisis Data 1 Menganalisis pola pemanfaatan

sumberdaya air di Tahura Ir. H. Djuanda. Wawancara (key person), kuesioner, dan literatur Analisis deskriptif kualitatif

2 Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar dalam penggunaan air bersih di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda.

Kuesioner Analisis regresi logit

3 Mengestimasi besarnya kesediaan membayar (WTP) masyarakat terhadap pengguna air bersih yang berasal dari kawasan Tahura Ir. H. Djuanda.

Kuesioner Pendekatan Contingent Valuation Method dan Willingness to Pay

4 Mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari jasa sumberdaya air yang terdapat dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda.

Wawancara (key person) dan kuesioner Analisis deskriptif kuantitatif

4.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data dan informasi yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan bantuan komputer, yaitu program Microsoft Office Excell 2010 dan SPSS 17.0.


(38)

4.6.1 Analisis Pola Pemanfaatan Sumberdaya Air

Analisis pola pemanfaatan sumberdaya air dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda terutama yang dimanfaatkan oleh BPAB-DC, PDAM Tirtawening Kota Bandung, dan PLTA Dago Bengkok dapat diidentifikasi secara deskriptif. Menjelaskan bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya air dari awal mula pengambilan hingga air itu dimanfaatkan. Analisis deskriptif adalah analisis yang menekankan pada pembahasan data-data dan subjek penelitian dengan menyajikan data-data secara sistemik dan tidak menyimpulkan hasil penelitian (Suliyono, 2011), sedangkan menurut Withney (1960) dalam Nazir (1988), analisis deskriptif adalah metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.

4.6.2 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Membayar Masyarakat

Analisis kesediaan membayar masyarakat terhadap jasa sumberdaya air yang dimanfaatkannya dari Tahura Ir. H. Djuanda dapat menggunakan analisis regresi logit. Persamaan logit untuk faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar masyarakat sebagai berikut:

Li= β0+ β1PDDKN + β2JT + β3JP + β4TP + β5JKA + β6KA + β7PM + εi dimana:

Li = Peluang responden bersedia (bernilai 0 jika “tidak bersedia” dan bernilai 1 jika “bersedia”)


(39)

β1, ... , β7 = Koefisien dari regresi

PDDKN = Tingkat pendidikan responden (tahun) JT = Jumlah tanggungan responden (orang)

JP = Jenis pekerjaan responden (bernilai 1 jika “ibu rumah tangga”, bernilai 2 jika “wirausaha”, bernilai 3 jika “pegawai swasta”, dan bernilai 4 jika “pegawai negeri sipil”)

TP = Tingkat pendapatan responden (bernilai 1 jika “ <= Rp 500.000”, bernilai 2 jika “ Rp 500.001-Rp 1.000.000”, bernilai 3 jika “ Rp 1.000.001-Rp 1.500.000”, bernilai 4 jika “ Rp 1.500.001-Rp 2.000.000”, dan bernilai 5 jika “ > Rp 2.000.001”)

JKA = Jumlah kebutuhan air dalam rumah tangga responden (liter/hari)

KA = Kualitas air (bernilai 1 jika “sangat kotor”, bernilai 2 jika “kotor”, bernilai 3 jika “biasa”, dan bernilai 4 jika “jernih”)

PM = Pengetahuan responden mengenai manfaat Tahura Ir. H. Djuanda (bernilai 0 jika “tidak” dan bernilai 1 jika “ya”) i = Responden ke-i (i = 1, 2, ... , n)

ε = Galat

β1, ..., β7 > 0

Variabel tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan per bulan, jumlah kebutuhan air dalam rumah tangga, kualitas air, dan


(40)

pengetahuan responden mengenai manfaat Tahura Ir. H. Djuanda merupakan variabel yang memiliki peluang berpengaruh terhadap kesediaan membayar jasa lingkungan sumberdaya air dalam upaya pelestarian lingkungan. Variabel-variabel di atas disusun berdasarkan teori-teori yang ada dan penelitian terdahulu.

Hipotesa variabel tingkat pendidikan adalah semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka akan semakin besar kesediaan responden untuk bersedia membayar dalam upaya pelestarian lingkungan terutama atas jasa lingkungan terhadap sumberdaya air. Hipotesa variabel jumlah tanggungan adalah semakin banyak tanggungan dalam satu keluarga, maka akan semakin besar kesediaan membayar responden.

Hipotesa jenis pekerjaan adalah semakin tinggi tingkat pekerjaan dalam hal ini tentu saja berkaitan dengan tingkat pendapatan per bulan, maka semakin besar kesediaan responden dalam upaya pelestarian lingkungan terutama atas jasa lingkungan terhadap sumberdaya air. Hipotesa jumlah kebutuhan air dalam rumah tangga adalah apabila jumlah kebutuhan air per harinya semakin banyak, maka kesediaannya dalam membayar upaya pelestarian lingkungan terutama jasa lingkungan terhadap sumberdaya air pun akan semakin besar.

Hipotesa kualitas air adalah apabila kualitas air semakin baik, maka kesediaan orang untuk membayar akan semakin besar sesuai dengan kualitas air yang responden terima. Begitu pula dengan pengetahuan responden mengenai manfaat Tahura Ir. H. Djuanda, responden yang paham mengenai manfaat Tahura Ir. H. Djuanda akan memberikan kesediaan membayar yang lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak memahami manfaat Tahura Ir. H. Djuanda.


(41)

4.6.3 Analisis Nilai WTP Masyarakat

Nilai WTP ini dapat diperoleh dengan melalui tahapan-tahapan dalam penentuannya dengan menggunakan metode CVM (Hanley dan Spash, 1993): 1. Membuat pasar hipotetik (setting up the hypotetical market)

Pasar hipotetik dibangun karena menurunnya kualitas lingkungan di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda terutama mengenai daya resapan air, sedangkan yang diketahui bahwa air merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat penting sehari-harinya. Menurunnya daya resapan air di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda, maka masyarakat mau tidak mau memanfaatkan jasa lingkungan sumberdaya air dari Tahura Ir. H. Djuanda. Hal yang perlu dilakukan adalah membuat kuesioner yang nantinya akan diberikan kepada masyarakat. Kuesioner merupakan alat yang digunakan untuk mengetahui preferensi masyarakat terhadap kesediaannya membayar jasa lingkungan sumberdaya air. Kuesioner juga menanyakan akan kesediaan masyarakat dalam membayar, apakah mereka bersedia atau tidak bersedia dan berapa besarnya biaya yang mampu mereka bayarkan.

2. Memperoleh nilai penawaran (bids)

Nilai penawaran pada penelitian menggunakan metode dichotomous choice (model referendum), yaitu menawarkan kepada responden jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah responden bersedia membayar atau tidak sejumlah uang tersebut dalam upaya meningkatkan pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda yang menghasilkan jasa sumberdaya air. Metode ini lebih memudahkan responden memahami tujuan penelitian dilakukan.


(42)

3. Memperkirakan nilai rata-rata WTP (calculating average WTP)

Nilai rata-rata WTP dihitung berdasarkan nilai penawaran yang diperoleh pada tahap sebelumnya. WTPi dapat diduga dengan melakukan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan WTP dibagi dengan jumlah responden. Dugaan rataan WTP dalam rumus adalah sebagai berikut:

1 n

i i i

EWTP

W Pf

dimana:

EWTP = Dugaan rataan WTP Wi = Nilai WTP ke-i Pfi = Frekuensi relatif n = Jumlah responden

i = Responden ke-i yang bersedia melakukan pembayaran jasa lingkungan

4. Memperkirakan kurva WTP (estimating bid curve)

Pendugaan perkiraan kurva WTP dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

WTP = f (PDDKN, JT, JP, TP, JKA, KA, PM) dimana:

PDDKN = Tingkat pendidikan responden (tahun) JT = Jumlah tanggungan responden (orang)

JP = Jenis pekerjaan responden (bernilai 1 jika “ibu rumah tangga”, bernilai 2 jika “wirausaha”, bernilai 3 jika


(43)

“pegawai swasta”, dan bernilai 4 jika “pegawai negeri sipil”)

TP = Tingkat pendapatan responden (bernilai 1 jika “ <= Rp 500.000”, bernilai 2 jika “ Rp 500.001-Rp 1.000.000”, bernilai 3 jika “ Rp 1.000.001-Rp 1.500.000”, bernilai 4 jika “ Rp 1.500.001-Rp 2.000.000”, dan bernilai 5 jika “ > Rp 2.000.001”)

JKA = Jumlah kebutuhan air dalam rumah tangga responden (liter/hari)

KA = Kualitas air (bernilai 1 jika “sangat kotor”, bernilai 2 jika “kotor”, bernilai 3 jika “biasa”, dan bernilai 4 jika “jernih”)

PM = Pengetahuan responden mengenai manfaat Tahura Ir. H. Djuanda (bernilai 0 jika “tidak” dan bernilai 1 jika “ya”) 5. Menjumlahkan data (agregating data)

Menjumlahkan data nilai total dari masyarakat dengan menggunakan rumus:

1

n i i

ni

TWTP

WTP

P

N

 

 

 

dimana:

TWTP = Total WTP WTPi = WTP kelas ke-i P = Jumlah populasi

ni = Jumlah sampel pada kelas WTP ke-i N = Jumlah sampel


(44)

i = Kelas WTP (1, 2, 3, ... , n)

6. Mengevaluasi penggunaan CVM (evaluating the CVM exercise)

Evaluasi penggunaan CVM diperlukan karena untuk melihat sejauh mana keberhasilan penggunaan CVM pada penelitian ini. Evaluasi dapat dilihat dari tingkat keandalan (reability) fungsi WTP. Uji yang dapat dilakukan dengan uji keandalan yang melihat nilai R2 dari model Ordinary Least Square (OLS) WTP.

4.6.4 Analisis Fungsi WTP

Analisis ini digunakan untuk mengetahui berapa besarnya WTP responden. Model yang digunakan adalah model regresi linier berganda. Persamaan regresi besarnya nilai WTP responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

WTP = β0+ β1PDDKN + β2JT + β3JP + β4TP + β5JKA + β6KA + β7PM + εi dimana:

WTP = Nilai WTP β0 = Intersep

β1, ... , β7 = Koefisien dari regresi

PDDKN = Tingkat pendidikan responden (tahun) JT = Jumlah tanggungan responden (orang)

JP = Jenis pekerjaan responden (bernilai 1 jika “ibu rumah tangga”, bernilai 2 jika “wirausaha”, bernilai 3 jika “pegawai swasta”, dan bernilai 4 jika “pegawai negeri sipil”)


(45)

TP = Tingkat pendapatan responden (bernilai 1 jika “ <= Rp 500.000”, bernilai 2 jika “ Rp 500.001-Rp 1.000.000”, bernilai 3 jika “ Rp 1.000.001-Rp 1.500.000”, bernilai 4 jika “ Rp 1.500.001-Rp 2.000.000”, dan bernilai 5 jika “ > Rp 2.000.001”)

JKA = Jumlah kebutuhan air dalam rumah tangga responden (liter/hari)

KA = Kualitas air (bernilai 1 jika “sangat kotor”, bernilai 2 jika “kotor”, bernilai 3 jika “biasa”, dan bernilai 4 jika “jernih”)

PM = Pengetahuan responden mengenai manfaat Tahura Ir. H. Djuanda (bernilai 0 jika “tidak” dan bernilai 1 jika “ya”) i = Responden ke-i (i = 1, 2, ... , n)

ε = Galat

Pengujian hipotesis regresi berganda dari hasil print out komputer dapat dilakukan dengan cara:

1. Dengan melihat nilai thitung atau Fhitung dan dibandingkan dengan nilai ttabel atau Ftabel. Jika thitung atau Fhitung lebih besar daripada ttabel atau Ftabel maka keputusannya adalah tolak hipotesis nol (H0). Sebaliknya, jika nilai thitung atau Fhitung lebih kecil daripada ttabel atau Ftabel maka keputusannya adalah menerima hipotesis nol (H0).

2. Dengan menggunakan nilai signifikansi (P-value). Jika P-value lebih kecil daripada taraf signifikansi yang disyaratkan maka H0 ditolak dan jika P-value lebih besar daripada taraf signifikansi yang disyaratkan maka H0 diterima.


(46)

4.6.5 Estimasi Nilai Sumberdaya Air

Estimasi nilai sumberdaya air diidentifikasi secara kuantitatif. Nilai air yang dimanfaatkan oleh masyarakat melalui BPAB-DC didapat dari total pemanfaatan air oleh responden dikali dengan nilai rata-rata air. Nilai sumberdaya air PDAM Tirtawening Kota Bandung didapat dari perkalian harga riil yang telah ditetapkan oleh PDAM Tirtawening dengan volume distribusi air PDAM Tirtawening untuk wilayah Bandung Utara dan PLTA Dago Bengkok didapat dari hasil perkalian total listrik per bulan dengan harga berdasarkan asumsi pajak yang selalu dibayarkan oleh PLTA Dago Bengkok setiap bulannya.

4.7 Pengujian Parameter 4.7.1 Uji G

The log-likelihood biasa dikenal sebagai -2LL (- two times the log-likelihood) dimana nilai tersebut dapat memperkirakan distribusi chi-square (χ2) dan memungkinkan penentuan level signifikansi. Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel independen secara serentak. Rumus umum untuk uji G adalah (Hosmer dan Lemeshow, 1989) :

2 o

i l

G In

l

 

   

  dimana:

L0 = Nilai likelihood tanpa variabel independen Li = Nilai likelihood model penuh

Pengujian terhadap hipotesis pada uji G adalah sebagai berikut: H0 : β1 = ... = βn = 0


(47)

Statistik G akan mengikuti sebaran χ2 dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > χ2p(a) maka hipotesis nol ditolak. Uji G juga dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan variabel didalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi. Hasil estimasi yang menggunakan logit ini menggunakan software SPSS 17.0, nilai Chi-Square yang merupakan rasio kemungkinan maksimum atau Likelihood Ratio dapat dilihat pada tabel Omnibus Tests of Model Coefficients.

4.7.2 Uji Odds Ratio

Odds merupakan rasio peluang kejadian sukses dengan kejadian tidak sukses dari variabel independen. Dalam hubungan antar variabel kategori terdapat ukuran asosiasi atau ukuran keeratan hubungan antar variabel kategori. Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh dari analisis regresi logit adalah odds ratio. Sehingga odds ratio dapat dikatakan sebagai suatu interpretasi dari peluang (Firdaus dan Afendi, 2005 dalam Minha, 2008). Interpretasi odds ratio adalah sebagai berikut:

1. Jika koefisien bertanda positif maka odds ratio akan lebih dari satu.

2. Jika variabelnya merupakan skala nominal (dummy), maka dummy = 1 memiliki kecenderungan untuk Y = 1 sebesar exp(βi) kali dibandingkan

dengan dummy = 0.

3. Jika variabelnya bukan dummy, maka semakin besar X maka exp(βi) ≥ 1,

sehingga semakin besar nilai X semakin besar pula kecenderungan untuk Y = 1.


(48)

4.7.3 Uji Kenormalan

Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah error term dari data atau observasi yang jumlahnya kurang dari 30 mendekati sebaran normal sehingga statistik t dapat dikatakan sah. Namun, untuk meyakini data mendekati sebaran normal perlu dilakukan sebuah uji. Salah satu uji yang dapat dilakukan adalah uji Kolmogorov Smirnov. Hasil uji Kolmogorov Smirnov dapat dilihat pada hasil analisis regresi berganda, yaitu pada tabel One Sample Kolmogorov Smirnov Test. 4.7.4 Uji Statistik t

Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing variabel independen (Xi) mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat setempat (Yi) sebagai variabel dependen, prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut (Ramanathan, 1997):

H0 : βi = 0 atau variabel independen (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (Yi)

H1 : βi ≠ 0 atau variabel independen (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (Yi)

( )

0

i hit n k

i

b

t

sb

dimana:

bi = Parameter koefisien regresi sbi = Simpangan baku koefisien

Jika thit (n-k) < tabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Yi)

Jika thit (n-k) > tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Yi)


(49)

Namun untuk uji t, dapat dilakukan dengan cara melihat output perhitungan komputer dengan melihat P-value dimasing-masing variabel independen. Apabila P-value pada masing-masing variabel lebih kecil dari α maka tolak H0 (variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Yi)).

4.7.5 Uji Statistik F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen (Xi), secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Yi). Prosedur pengujiannya antara lain (Ramanathan, 1997):

H0 : β1 = β2 = β3 = ... = βk = 0 H1 : β1 = β2 = β3 = ... = βk ≠ 0

( 1)

( 1)

hit

JKK k F

JKG k n

 

dimana:

JKK = Jumlah Kuadrat untuk nilai tengah kolom JKG = Jumlah Kuadrat Galat

n = Jumlah sampel k = Jumlah variabel

Jika Fhit < Ftabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap (Yi)

Jika Fhit > Ftabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Yi)

Uji F dapat dilakukan dengan cara melihat output perhitungan komputer dengan melihat P-value dari Statistik F < α. Apabila nilai P-value < α maka tolak H0 (variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Yi)).


(50)

4.7.6 Uji Multikolinear (Multicollinearity)

Dalam model yang melibatkan banyak variabel bebas sering terjadi masalah multicollinearity, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar variabel-variabel independen. Menurut Koutsoyiannis (1977), untuk mendeteksi adanya multicollinearity dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membandingkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas (r2). Untuk hal ini dapat dibuat suatu matriks koefisien determinasi parsial antar variabel bebas.

Multicollinearity dapat dianggap bukan merupakan suatu masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara simultan. Namun multicollinearity dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara simultan. Secara matematis dapat dituliskan dalam pertidaksamaan berikut:

r2 xj, xj > R2 x1, x2, ... , xk

Masalah multicollinearity juga dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana apabila nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity.

4.7.7 Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi metode pendugaan metode kuadrat terkecil adalah homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi homoskedastisitas adalah heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2006).


(51)

Ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot. Dasar analisis uji heteroskedastisitas sebagai berikut:

1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

Keadaan heteroskedastisitas tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain (Firdaus, 2004):

1. Sifat variabel yang diikutsertakan ke dalam model

Secara teoritis dapat diperkirakan semakin banyak pilihan pendapatan keluarga petani, akan mempunyai semakin banyak pilihan dalam konsumsinya, dan sebaliknya. Jika hal ini benar maka akan ada kecenderungan bahwa varian Y akan semakin besar dengan makin besarnya nilai X. Tingginya varian Yitersebut akan berarti pula tingginya varian εi. 2. Sifat data yang digunakan dalam analisis

Pada penelitian dengan menggunakan data runtut waktu, kemungkinan asumsi itu mungkin benar. Data itu pada umumnya mengalami perubahan yang relatif sama atau proporsional, baik yang menyangkut data variabel bebas maupun data variabel tak bebas. Tetapi pada penelitian dengan menggunakan data seksi silang, kemungkinan asumsi itu benar adalah lebih kecil. Hal ini disebabkan data itu pada umumnya tidak mempunyai tingkatan yang sama atau sebanding.


(52)

Keadaan heteroskedastisitas tersebut di atas akan mengakibatkan hal-hal berikut:

1. Penduga OLS yang diperoleh tetap memenuhi persyaratan tidak bias.

2. Varian yang diperoleh menjadi tidak efisien, artinya cenderung membesar sehingga tidak lagi merupakan varian yang terkecil. Kecenderungan semakin membesarnya varian tersebut akan mengakibatkan uji hipotesis yang dilakukan juga tidak akan memberikan hasil yang baik (tidak valid). Pada uji t terhadap koefisien regresi, thitung diduga terlalu rendah. Kesimpulan tersebut akan semakin jelek jika sampel pengamatan semakin kecil jumlahnya.

Dengan demikian, model perlu diperbaiki dulu agar pengaruh dari heterokedastisitasnya hilang.

4.8 Batasan Penelitian

Batasan dalam melakukan penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu: 1. Wilayah penelitian di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda dan Desa Ciburial,

Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

2. Obyek penelitian adalah masyarakat melalui BPAB-DC yang menggunakan air bersih yang berasal dari Tahura Ir. H. Djuanda untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

3. Responden merupakan masyarakat melalui BPAB-DC yang memanfaatkan salah satu mata air, dan pihak PDAM Tirtawening Kota Bandung serta PLTA Dago Bengkok yang memanfaatkan Sungai Cikapundung dari Tahura Ir. H. Djuanda.

4. Willingness to pay ditujukan kepada mereka yang memanfaatkan sumberdaya air yang berasal dari kawasan Tahura Ir. H. Djuanda.


(1)

119

Lampiran 9. Hasil Regresi Berganda

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Change Statistics Durbin-Watson R Square Change F

Change df1 df2

Sig. F Change

1 .722a .521 .475 693.602 .521 11.210 7 72 .000 1.570 a. Predictors: (Constant), PM, JT, JP, JKA, KA, PDDKN, TP

b. Dependent Variable: WTP Masyarakat

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 3.775E7 7 5392775.172 11.210 .000a

Residual 3.464E7 72 481084.358

Total 7.239E7 79

a. Predictors: (Constant), PM, JT, JP, JKA, KA, PDDKN, TP b. Dependent Variable: WTP Masyarakat

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardiz ed Coefficient s

t Sig.

Correlations

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta

Zero-order Partial Part

Toleran ce VIF

1 (Cons

tant)

119.447 765.252 .156 .876

PDD KN

3.955 32.460 .011 .122 .903 .137 .014 .010 .882 1.133

JT -104.356 65.164 -.133 -1.601 .114 -.213 -.185 -.131 .961 1.041 JP -66.034 116.188 -.049 -.568 .572 -.001 -.067 -.046 .892 1.121 TP 456.774 109.919 .378 4.156 .000 .363 .440 .339 .804 1.244 JKA -1.760 .355 -.427 -4.962 .000 -.453 -.505 -.405 .899 1.112 KA 451.989 164.608 .237 2.746 .008 .389 .308 .224 .893 1.120 PM 345.547 175.957 .180 1.964 .053 .386 .258 .160 .795 1.258 a. Dependent Variable: WTP Masyarakat


(2)

(3)

121

Lampiran 10. Tabel Uji Kenormalan

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 80

Normal Parametersa,,b Mean .0000000

Std. Deviation 6.62160577E2

Most Extreme Differences Absolute .074

Positive .074

Negative -.032

Kolmogorov-Smirnov Z .663

Asymp. Sig. (2-tailed) .772

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(4)

DAFTAR RIWAYAT

Penulis bernama Pradipta Mutiara Purnama, dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1990 di Bandung, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Aep Purnama dan Iis Aisyah Wahidi.

Penulis memulai pendidikan pada tahun 1994 di TK MESRA Bogor. Kemudian penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Bangka III Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan tingkat menengah pertama dapat diselesaikan penulis pada tahun 2005 di SMP Negeri 1 Bogor. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2008.

Setelah menyelesaikan pendidikan selama 12 tahun, penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi di perguruan tinggi negeri, yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008 di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen.


(5)

RINGKASAN

PRADIPTA MUTIARA PURNAMA. Pola Pemanfaatan dan Penilaian Ekonomi Sumberdaya Air Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Dibimbing oleh

TRIDOYO KUSUMASTANTO dan NUVA.

Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda terletak di Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Tahura adalah suatu bentuk kepedulian pemerintah akan kelestarian lingkungan. Fungsi Tahura sebagai penyangga kehidupan salah satunya adalah sebagai penyimpan cadangan air bersih. Pemanfaatan air yang dilakukan oleh beberapa instansi dan masyarakat di sekitar daerah Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu jasa lingkungan dari Tahura tersebut. Jasa lingkungan yang dihasilkan oleh Tahura Ir. H. Djuanda berupa sumberdaya air yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan umumnya dianggap tidak memiliki nilai. Nilai jasa lingkungan tersebut dapat diketahui berapa nilainya dengan menggunakan penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan/Payment for Environmental Service (PJL/PES). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis deskriptif, metode Contingent

Valuation Method (CVM), metode analisis regresi berganda, dan analisis regresi

logit.

Berdasarkan hasil penelitian sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda dimanfaatkan oleh masyarakat melalui BPAB-DC, PDAM Tirtawening Kota Bandung, dan PLTA Dago Bengkok. BPAB-DC memanfaatkan air yang berasal dari salah satu mata air dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda, yaitu mata air Seke Gede dengan debit sebesar 360 liter/detik dan dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat Desa Ciburial. PDAM Tirtawening memanfaatkan sumber air yang berasal dari Sungai Cikapundung yang dimanfaatkan untuk masyarakat kawasan Bandung Utara. PLTA Dago Bengkok memanfaatkan air dari Sungai Cikapundung untuk memutar turbin guna menghasilkan tenaga listrik.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebesar 76 persen responden bersedia untuk membayar jasa lingkungan sumberdaya air dalam upaya pelestarian lingkungan. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk membayar penggunaan air bersih dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda menggunakan analisis regresi logit, dengan hasil persamaan Li = 12,659

+ 3,581 TP(2) – 0,014 JKA + 2,602 PM(1) + εi. Faktor-faktor yang signifikan

mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk membayar adalah tingkat pendapatan, jumlah kebutuhan air, dan pengetahuan responden mengenai manfaat Tahura Ir. H. Djuanda.

Melalui pendekatan CVM diketahui rata-rata WTP responden sebesar Rp 98/KK/liter dengan nilai total WTP (TWTP) sebesar Rp 63.148/liter. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan membayar (WTP) masyarakat dianalisis menggunakan regresi berganda, dengan hasil persamaan WTPi = 119,447 – 104,356 JT + 456,774 TP – 1,760 JKA + 451,989 KA +

345,547 PM + εi. Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi besarnya

kesediaan membayar (WTP) masyarakat adalah tingkat pendapatan, jumlah kebutuhan air, kualitas air, dan pengetahuan responden mengenai manfaat Tahura Ir. H. Djuanda. Nilai ekonomi potensial sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda didapatkan sebesar Rp 111.655.732.000/tahun. Nilai ini diperoleh dari nilai


(6)

iii

ekonomi potensial air masyarakat melalui BPAB-DC sebesar Rp 14.024.701.600/tahun, PDAM Tirtawening Kota Bandung sebesar Rp 97.553.030.400/tahun, dan PLTA Dago Bengkok sebesar Rp 78.000.000/tahun. Nilai jasa sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda yang cukup besar menunjukkan bahwa peranan Tahura Ir. H. Djuanda dalam penyediaan sumberdaya air dinilai sangat penting bagi instansi serta masyarakat sekitarnya.

Kata kunci: Kesediaan Membayar, Taman Hutan Raya, Contingent Valuation