Ketimpangan Kemakmuran dan Ketimpangan Daerah

67 ini dapat dilihat dari angka PDRB per kapita Sumatera Barat yang lebih rendah dari angka Pendapatan Perkapita Nasional. Selama kurun waktu 2010-2013, PDRB per kapita Sumatera Barat selalu di bawah angka nasional. Dari tabel 2.1 dapat dilihat bahwa pada Tahun 2013, PDRB per kapita Sumatera Barat adalah 22,90 juta rupiah, atau rata-rata 1,9 juta per bulan. Angka ini masih jauh dibawah nasional sebesar 32,46 juta atau rata-rata 2,7 juta perbulan. Dengan demikian perlu kerja keras bagi pemerintah dan stakeholder yang terlibat dalam pembangunan ekonomi Sumatera Barat untuk meningkatkan PDRB per kapita. Peningkatan output daerah tidak terlepas dari kinerja sektor-sektor pembentuk PDRB. Untuk daerah Sumatera Barat, sektor pertanian masih memegah peranan yang dominan sebagai sektor penyumbang terbesar PDRB Sumatera Barat, karena itu kinerja sektor pertanian akan sangat besar sekali dampaknya terhadap peningkatan ouput daerah.

d. Ketimpangan Kemakmuran dan Ketimpangan Daerah

Indikator ekonomi makro lain yang tidak kalah penting diperhatikan oleh pemerintah adalah ketimpangan kemakmuran. Ketimpangan kemakmuran menunjukkan ketimpangan pendapatan yang terjadi di Sumatera Barat, yang diperlihatkan oleh Indeks Gini Gini Ratio. Makin tinggi nilai Indeks Gini berarti makin tinggi ketimpangan pendapatan yang terjadi di Sumatera Barat dan sebaliknya. Kondisi ketimpangan kemakmuran di Sumatera Barat selama kurun waktu 2010 -2013 dapat dilihat pada tabel 2.1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pembangunan ekonomi daerah di Sumatera Barat belum sejalan dengan pengurangan ketimpangan kemakmuran.Hal ini ditunjukkan oleh kecendrungan naiknya Indeks Gini Sumatera Barat selama periode tersebut. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa penyebaran kesejahteraan belum merata di Sumatera Barat. Namun demikian jika dibandingkan dengan kondisi nasional, ketimpangan yang terjadi di Sumatera Barat relatif lebih baik. Karena Indeks Gini Sumatera Barat selama periode 2010-2013 lebih rendah dari nasional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara nasional kondisi pemerataan kemakmuran di Sumatera Barat relatif lebih baik. Walaupun tren ketimpangan kemakmuran yang terjadi cendrung naik dari tahun ke tahun. Selanjutnya jika dilihat dari ketimpangan antar daerah, maka kondisi yang terjadi selama tahun 2010- 2013 adalah sebaliknya. Ketimpangan antar daerah yang terjadi di Sumatera Barat cendrung lebih baik dari tahun ke tahun, hal ini diperlihatkan dari angka Indeks Wiliamson yang cendrung berkurang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di kota dan kabupaten di Sumatera Barat relatif lebih merata di banding dengan daerah lain. Dibanding provinsi tetangga Riau, ketimpangan pembangunan daerah Riau relatif lebih tinggi dari Sumatera Barat, walaupun output yang dihasilkan daerah Riau jauh lebih tinggi dari Sumatera Barat. 68 Berdasarkan fakta-fakta di atas maka peluang dan tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi yang akan dihadapi oleh Sumatera Barat ke depan adalah sebagai berikut: 1 Dari sisi permintaan pertumbuhan ekonomi Sumatera masih mengandalkan konsumsi rumah tangga dan sering bersifat temporary terutama untuk bulan puasa dan hari lebaran. Dari sisi penawaran sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan dua sektor yang memberikan peluang untuk menjadi motor penggerakan pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat. 2 Kenaikan harga BBM dan harga komoditi pangan strategis menjadi tantangan bagi pemerintah Sumatera Barat dalam upaya menstabilkan harga untuk mencegah tingginya inflasi. Karena diyakini kedua faktor tersebut akan menjadi pendorong terjadinya inflasi di Sumatera Barat yang akan berdampak terhadap rendahnya daya beli masyarakat. 3 Pendapatan perkapita penduduk Sumatera Barat yang relatif rendah dibanding dengan pendapatan nasional serta tidak terpenuhinya target yang telah ditetapkan dalam RPJM selama tahun 2010-2013, merupakan tantangan nyata bagi pemerintah untuk mendorong perekonomian yang lebih baik. Terutama dalam mendorong usaha- usaha skala kecil dan menengah yang mendominasi perekonomian Sumatera Barat. 4 Ketimpangan yang terjadi di Sumatera Barat lebih rendah dibandingkan nasional tetapi kecendrungan ketimpangan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam upaya pemerataan hasil pembangunan. Namun demikian ketimpangan pembangunan antar daerah dari tahun ke tahun justru lebih rendah. Rendahnya ketimpangan antar daerah memberikan dampak positif sekaligus peluang bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang lebih baik.

2. PENANAMAN MODAL

Pembangunan di bidang penanaman modal akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi; penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, sasaran pembangunan utama urusan penanaman modal adalah untuk meningkatkan investasi sehingga pertumbuhan ekonomi negara dan atau daerah semakin tinggi. Secara lebih rinci, Undang-Undang No. 25 tahun 2007 menjelaskan tujuan penyelenggaraan penanaman modal, yaitu: a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. Menciptakan lapangan kerja; c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; 69 e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f. Rnendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan rnenggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h. Meningkatkan ke sejahteraan masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penanaman tersebut, maka Provinsi Sumatera Barat membutuhkan investor-investor baru, baik dalam bentuk Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN maupun Penanaman Modal Asing PMA. Oleh sebab itu, menjadi tanggungjawab daerah dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Sumatera Barat untuk menyusun 1 perencanaan penanaman modal, 2 meningkatkan fasilitas untuk mendorong peningkatan penanaman modal, 3 meningkatkan kinerja perijinan dan pelayanan penanaman modal. Hal ini dipertegas lagi dalam Perpres 27 tahun 2009, tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP penanaman modal, PTSP bertujuan untuk membantu Penanaman Modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai Penanaman Modal, dengan cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan rneringankan atau rnenghilangkan biaya pengurusan Perizinan dan Nonperizinan. Sesuai dengan road map Penanaman Modal Nasional, Provinsi Sumatera Barat juga sudah menindaklanjutinya dengan Rencana Umum Penanaman Modal Provinsi Sumatera Barat dengan tahapan yang sesuai dengan RUPM nasional, yaitu seperti dapat di lihat pada Gambar 1. Dalam memberikan pelayanan informasi investasi, Provinsi Sumatera Barat telah mampu menggunakan teknologi informasi yang relatif lebih baik. Gambar 2.4 Roadmap Penanaman Modal 70 Di samping itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam 4 tahun terakhir juga berupaya untuk meningkatkan investasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan, antara lain malalui kegiatan promosi kerjasama investasi, meningkatkan mutu pelayanan perizinan yang berorientasi pada kebutuhan klienpemohon, meningkatkan kualitas sumber daya aparatur pelayanan perizinan dan mendorong minat investor menginvestasikan usahanya di Provinsi Sumatera Barat. Hasil dari program kerja yang telah dilakukan menunjukkan bahwa antara tahun 2009 sampai Tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah proyek investasi penanaman modal di Sumatera Barat, baik PMDN maupun PMA. Sekalipun jumlah proyek yang direncanakan tidak selalu sama dengan yang direalisasikan, namun secara rata-rata jumlah proyek PMA lebih banyak dibandingkan dengan PMDN. Jika pada tahun 2009 jumlah proyek PMDN yang direalisasikan berjumlah 11 proyek, dan tahun 2013 meningkat menjadi 31 proyek. Sebaliknya, jumlah proyek PMA meningkat dari 13 proyek pada tahun 2009 menjadi 42 proyek pada tahun 2013. Sekalipun demikian, dari tahun ketahun jumlah proyek PMDN dan PMA tersebut tidak menunjukkan perkembangan yang stabil. Tabel berikut menyajikan perkembangan jumlah proyek PMDN dan PMA di Sumatera Barat dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Tabel. 2.26 Perkembangan Rencana dan Realisasi Jumlah Proyek Investasi Proyek Tahun PMDN PMA Rencana Realisasi Rencana Realisasi Thn 2009 10 11 25 13 Thn 2010 5 17 14 20 Thn 2011 9 23 32 21 Thn 2012 11 20 26 24 Thn 2013 39 31 12 42 Pertumbuhan 40,53 29,57 16,76 34,07 Sumber: BPS, SBDA, tahun 2014 Nilai rencana investasi PMDN dalam 4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang berarti. Tetapi nilai realisasi investasi PMDN di Sumatera Barat tidak banyak mengalami perubahan antara tahun 2009 sampai tahun 2013. Jika pada tahun 2009 realisasi nilai investasi berjumlah Rp761.617,90 juta pada tahun 2009 dan meningkat menjadi Rp1.678.383,80 pada tahun 2011. Tetapi pada tahun 2013, turun kembali menjadi Rp873.761,90 juta. Sebaliknya, jumlah nilai investasi PMA menunjukkan peningkatan yag segnifikan, terutama pada tahun 2011 dan tahun 2012. Jika pada tahun 2009 berjumlah US20.994,06 Ribu, maka 71 jumlah nilai investasi PMA ini meningkat menjadi US65.456,99 Ribu pada tahun 2011, dan menjadi US86.194,93 Ribu pada 2012, serta menjadi US136.121,43 pada tahun 2013. Momentum peningkatan jumlah investasi PMA ini harus dipertahankan tujuan pananaman modal sebagaimana yang dijelaskan di atas dapat dicapai. Tabel berikut menyajikan perkembangan jumlah rencana dan realisasi investasi di Sumatera Barat. Tabel. 2.27 Perkembangan Rencana dan Realisasi Nilai Investasi PMDN Rp.Juta dan PMA US.Ribu Tahun PMDN PMA Rencana Realisasi Rencana Realisasi Thn 2009 647.680,83 761.617,90 23.315,39 20.994,06 Thn 2010 1.015.621,00 398.269,06 27.780,07 17.807,96 Thn 2011 1.385.477,55 1.678.383,80 75.445,11 65.456,99 Thn 2012 1.909.918,52 749.934,63 281.314,57 86.194,93 Thn 2013 79.834.563,10 873.761,90 290.061,82 136.121,43 Pertumbuhan 233,20 3,49 87,81 59,57 Sumber, BPS, SBDA Tahun 2014 Sejalan dengan peningkatan realisasi nilai investasi tersebut, penyerapan jumlah tenaga kerja PMDN juga mengalami peningkatan. Bahkan, pertumbuhan penyerapan tenaga PMDN lebih besar lagi dibandingkan dengan PMA. Penyeraan tenaga kerja PMDN meningkat dari 656 orang pada tahun 2009 menjadi 1.392 orang pada tahun 2013. Sedangkan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada PMA meningkat dari 490 orang pada tahun 2009 menjadi 656 orang pada tahun 2013. Tabel berikut menyajikan perkembangan jumlah rencana dan realisasi jumlah penyerapan PMDN dan PMA. Tabel. 2.28 Perkembangan Rencana dan Realisasi Jumlah Tenaga Kerja PMDN dan PMA Org Tahun PMDN PMA Rencana Realisasi Rencana Realisasi Thn 2009 1.271 656 1.205 490 Thn 2010 3.778 1.316 373 398 Thn 2011 562 880 1.678 383 Thn 2012 2.731 111 1.442 416 Thn 2013 55.810 1.392 1.119 656 Pertumbuhan 157,42 20,69 1,83 7,57 Sumber, BPS, SBDA Tahun 2014 72 Berdasarkan data tahun 2009 sampai 2013dapat disimpulkan bahwa tidak semua rencana investasi yang telah disetujui dapat direalisasikan. Hal ini tidak hanya terjadi untuk rencana investasi yang dibiayai PMA tetapi juga PMDN. Pada masa datang hal seperti ini diharapkan tidak terjadi lagi. Oleh sebab itu, kebijakan peningkatan iklim dan kemudahan investasi harus dirumuskan ulang sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat

3. KOPERASI USAHA KECIL DAN MENENGAH

Pendekatan pembangunan yang ditujukan pada pelaku ekonomi, khususnya pada Koperasi dan UKM, amat penting. Upaya penguatan kelembagaan Koperasi dan UKM, selain ditujukan padapeningkatan kualitas kelembagaan, juga dilakukan untuk meningkatkan jumlahpelaku usaha. Dalam hal ini aspek pentingdalam pengembangan SDM berkaitan dengan kewirausahaan, perkoperasian,manajerial, keahlian teknis dan keterampilan. Pengembangan sumber daya manusia merupakan bagian dari upayapenumbuhan kualitas dan jumlah wirausaha. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Rekapitulasi data koperasi Sumatera Barat terlihat pada Tabel 1 berikut. Secara umum terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah koperasi dan koperasi yang aktif seiring dengan peningkatan jumlahAnggota, manager dan kariawan serta modal, volume usaha dan SHU. Tabel. 2.29. Rekapitulasi Data Koperasi Sumatera Barat 2009-2013 No Tahun Koperasi unit Jumlah Anggota orang RAT Unit Jumlah Manajer orang Jumlah Karyawan orang Modal Sendiri Rp. Juta Modal Luar Rp. Juta Volume Usaha Rp. Juta SHU Rp. Juta JML Aktif Tidak Aktif 1 2013 3.747 2.641 1.106 545.288 1.526 849 4.702 1.468.067,84 1.448.868,03 4.000.252,10 285.573,36 2 2012 3.703 2.494 1.209 521.621 1.251 670 4.603 1.271.308,12 1.395.692,54 3.593.274,30 159.498,90 3 2011 3,619 2,366 1,253 511,022 1,059 444 3,924 988,911.82 1,154,952.41 3,064,507.14 129,544.60 4 2010 3,595 2,319 1,276 560,332 1,29 422 3,841 902,348.24 996,172.98 2,653,902.02 125,022.69 5 2009 2.414 1.061 3.475 560.521 1.333 414 4.151 1.170.296,70 811.372,64 2.178.430,57 154.484,44 6 2008 2.462 962 3.424 540.418 1.302 491 5.306 978.125,55 532.403,37 1.270.614,11 424.458,79 Koperasi dan UMKM yang merupakan usaha ekonomi kerakyatan, pemerintah tidak mungkin mengandalkan mekanisme pasar atau mengutamakan pendekatan formal sebagai landasan perumusan kebijakan. Aspek-aspek yang perlu ditangani agar iklim usaha berpihak kepada koperasi dan UMKM itu adalah: a. Pendanaan b. Sarana dan prasarana c. Informasi usaha d. Kemitraan e. Perizinan usaha f. Kesempatan berusaha 73 g. Promosi dagang h. Dukungan regulasi dan kelembagaan Selanjutnya, kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk membantu koperasi dan UMKM secara sistematis dengan komitmen yang jelas kepada ekonomi rakyat, membangun berbagai bentuk pola kerjasama bisnis yang sinergis, serta berbagai kebijakan yang jelas dan terukur untuk menunjang setiap tahapan dalam daur bisnis, mulai dari penyusunan rencana bisnis, pengembangan produk, pembiayaan, promosi produk, hingga pengembangan kerjasama dalam bentuk riset terapan. Kebijakan yang dirumuskan tentunya tidak hanya mengandalkan rumusan-rumusan makro dengan memperbaiki iklim usaha, tetapi juga harus mengutamakan pendekatan mikro dengan mengatasi berbagai bentuk hambatan yang dialami oleh para pelaku bisnis dengan aset dan omzet yang kecil. Berdasarkan ketentuan dalam PP No.382007 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupatenkota, telah ditegaskan bahwa koperasi dan usaha kecil-menengah merupakan salah satu dari 26 urusan wajib yang harus diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah daerah. Selanjutnya Undang-undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai landasan berpijak bagi proses fasilitasi yang berkesinambungan. Fasilitasi atau pemberdayaan hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam pasal 4 undang-undang ini, yaitu: a. Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri. b. Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. c. Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, Menengah. d. Peningkatan daya-saing usaha Mikro, Kecil dan Menengah. e. Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu. Paradigma fasilitasi dan pemberdayaan mestinya tidak justru menimbulkan ketergantungan pelaku usaha koperasi dan UMKM kepada fasilitasi dari pemerintah. Sebaliknya, fasilitasi harus bisa menciptakan para manajer koperasi dan pelaku UMKM yang tangguh, ulet dan peka terhadap peluang-peluang baru dalam bisnis sehingga mampu bersaing dengan para pengusaha besar. Sebagai contoh adalah pembangunan perkebunan rahyat di Sumatera Barat yang telah dibangun berdasarkan kemitraan antara Koperasi perkebunan rakyat kelapa sawit dengan perusahaan perkebunan besar. Setelah kebun di konversi, pengelolaannya diserahkan ke Koperasi yang kemampuan managerial Koperasi belum kuat. Banyak kebun rakyat plasma yang tidak diusahakan dengan benar atau sesuai standard. Pada periode lima tahun 74 ke depan akan banyak kebun rakyat plasma dibawah Koperasi akan melakukan peremajaan. Hal ini akan memerlukan failitasi dan pemberdayaan serta pendampingan dari Dinas Koperasi yang terkoordinasi dengan Dinas Perkebunan. Di daerah Sumatera Barat, Koperasi yang melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan telah dibangun kembangkan bersamaan dengan Usaha Kecil dan Menengah UKM dengan berbagai indicator kinerja. Indikator kinerja tersebut terlihat pada Tabel 2. Untuk perencanaan kegiatan Koperasi dan UMKM periode kedepan indicator ini menjadi ukuran keberhasilan pengembangan Koperasi dan UKM. a. Persentase koperasi aktif b. Jumlah UKM aktif non BPRLKM UKM c. Jumlah BPRLKM aktif d. Usaha Mikro dan Kecil jml usaha MK disbanding jml seluruh UKM e. Jumlah Penerima Manfaat Kredit Modal Usaha Selanjutnya, perhatian pemerintah Propinsi Sumatera Barat terhadap PKL terlihat dari registrasi yang dimulai tahun 2010 yaitu 2000 PKL yang terintegrasi dengan 39 Koperasi dan Tahun 2011 sebanyak 2000 PKL terintegrasi dengan 18 Koperasi. Kegiatan ini, disamping untuk menata dan meregistrasi PKL, juga dalam rangka meningkatkan kesadaran PKL untuk menjadi anggota koperasi, karena penyaluran bantuan perkuatan modal dilakukan melalui Koperasi. Tabe 3 memperlihatkan perkembangan penerima dana nbantuan modal di Sumatera Barat. Koordinasi Program KUR di Sumatera Barat dengan 7 Bank Penyalur dengan plafon sampai dengan Desember 2013 sebesar Rp 4,1 T dengan 107.149 debitur dan OSTD 1,617 T Lakip Dinas KUMKM, 2013. Untuk kebermanfaatan dan keberlanjutan penguatan modal tersebut diperlukan monitoring dan evaluasinya, guna perencanaan kegiatan KUMKM ke depan. Tabel. 2.30 Perkembangan PKL Penerima Dana Bantuan Perkuatan Modal di Sumatera Barat Uraian 2010 2011 2012 2013 Koperasi Penerima 39 18 31 31 Jml PKL 2.000 2.000 1.932 998 Jml Perkuatan Rp. Juta 1.000 2.000 1.932 1.996 KabKota Penerima 19 4 5 6 Dengan demikian, Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah KUMKM merupakan bagian integral dalam pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Pemberdayaan Koperasi dan UKM, berkaitan langsung dengan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat 75 pro poor. Dalam penetapan isu dan kebijakan kedepan, pemberdayaan KUKM akan berdasarkan pada peluang dan tantangan. Secara umum, prospek kemajuan juga terbuka lebar karena krisis ekonomi mulai pulih, relatif stabil dan aman, diharapkan akan meningkatkan daya beli. Jumlah penduduk yang besar, berarti pasar akan berkembang lebih besar sehingga memberi peluang bagi berkembangnyan KUKM. Peluang secara lebih rinci adalah sbb: 1. Globalisasi ekonomi dan makin pesatnya kerjasama ekonomi antar negara terutama dalam konteks ASEAN dan APEC, akan menciptakan peluang baru bagi Koperasi dan UKM, sehingga dapat meningkatkan peranannya sebagai penggerak utama pertumbuhan industri manufaktur dan kerajinan, agroindustri, ekspor non migas, dan penciptaan lapangan kerja baru. 2. Upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM telah mendapat komitmen dan dukungan politik masyarakat, Pemerintah Daerah dan Lembaga legistatif terhadap pembangunan ekonomi rakyat sebagai pelaku utama dalam perekonomian nasional dan domestik. 3. Di bidang permodalan, pengembangan potensi masih terbuka luas, untuk menjadikan LKM sebagai kekuatan pembiayaan bagi usaha mikro. Selain telah disalurkannya skema kredit dan juga tersedia plafon kredit yang besar di lembaga keuangan bank dan non bank. 4. Perubahan struktur pelaku ekonomi dari pertanian ke agribisnis, akan dapat memacu dan meningkatan produktivitas usaha dan investasi bagi usaha UKM, akan memacu peluang bagi usaha Koperasi dan UKM terutama di bidang agribisnis, agroindustri, kerajinan industri, dan industri-industri lainnya sebagai pelaku sub kontraktor yang kuat dan efisien bagi usaha besar. 5. Koperasi dan UKM umumnya bergerak di sektor padat karya menghendaki tersedianya jumlah penduduk sebagai tenaga kerja yang potensial. 6. Pengembangan usaha Koperasi dan UKM dapat terus dilakukan karena tersedianya SDA dan tersedianya keragaman bahan baku bagi produk inovatif Koperasi dan UKM. 7. Koperasi dan UKM dapat didorong menjadi motor penggerak perekonomian, mengingat kandungan impornya rendah, dan keterkaitan antar sektor relatif tinggi, dan keanekaragaman pola permintaan masyarakat, memberi peluang untuk menumbuhkan usaha. 8. Perubahan orientasi kebijakan investasi, perdagangan dan industri ke arah industri pedesaan dan industri yang berbasis sumber daya alam terutama pertanian, kehutanan, ketautan, pertambangan dan 76 pariwisata serta kerajinan rakyat memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan UKM. 9. Koperasi dan UKM dapat didorong menjadi motor penggerak perekonomian, mengingat kandungan impornya rendah, dan keterkaitan antar sektor relatif tinggi, dan keanekaragaman pola permintaan masyarakat, memberi peluang untuk menumbuhkan usaha. 10. Dukungan perubahan orientasi kebijakan investasi, perdagangan dan industri ke arah industri pedesaan dan industri yang berbasis sumber daya alam terutama pertanian, kehutanan, ketautan, pertambangan dan pariwisata serta kerajinan rakyat memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan UKM. 11. Keberadaan KUKM merupakan kekuatan utama di bidang kredit mikro, yang mengulurkan dukungan permodalan bagi usaha mikro ke berbagai pelosok yang tidak mungkin dijangkau oleh Lembaga keuangan manapun. 12. Keberadaan Usaha Besar merupakan mitra penting dalam pengembangan ekonomi rakyat, diantaranya pengembangan kemitraan dan jaringan pasar bersama Koperasi dan UKM, tempat magang, alih teknologi, pendampingan dan advokasi serta CSR dengan menekankan pada bentuk kerjasama yang saling membutuhkan, menguntungkan dan membesarkan. Potensi besar dan kondisi obyektif keberadaan Koperasi dan UKM tersebut, diperkirakan dalam lima tahun ke depan akan mengalami perkembangan ke arah pertumbuhan. Oleh sebab itu, berbagai upaya pemberdayaan yang dilakukan Pemerintah, diharapkan akan dapat mempercepat proses kemajuan dan menghantarkan pada kondisi yang lebih baik bagi Koperasi dan UKM. Dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, Koperasi dan UKM masih akan menghadapi banyak kendala. Kelembagaan usaha Koperasi dan UKM merupakan aspek penting yang perlu dicermati dalam membedah permasalahan Koperasi dan UKM. Tantangan pengembangan UKM teridentifikasi sbb: 1. Sebagian usaha yang ada, pelaku usahanya adalah Usaha Mikro dan Kecil, dengan Skala usaha yang sulit berkembang karena tidak mencapai skala usaha yang ekonomis, kebanyakan usaha dikelola secara tertutup, dengan legalitas usaha dan administrasi kelembagaan yang sangat tidak memadai. 2. Upaya pemberdayaan UKM rumit karena jumlah dan jangkauan UKM demikian banyak dan luas, terlebih bagi daerah tertinggal, terisolir dan perbatasan. 77 3. Rendahnya pemahaman perkoperasian oleh para pengelola, pengurus maupun anggota Koperasi, dan rendahnya partisipasi anggota dalam usaha Koperasi terlihat dan rendahnya pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan RAT oleh Koperasi aktif. 4. Kapasitas dan kualitas para pengelola Koperasi, sebagian besar masih sangat rendah. Hal ini juga mengindikasikan bahwa tetah terjadi pengelolaan Koperasi yang tidak sesuai dengan nilai, identitas dan jatidiri Koperasi. 5. Peran koperasi dalam pengembangan pertanian semakin menurun, harapan untuk melakukan perubahan tidak mungkin diserahkan pada masyarakat, karena kesadaran untuk berkoperasi belum sepenuhnya tumbuh berkembang sebagai sebuah kebutuhan. 6. Koperasi dan UKM juga menghadapi persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Kebanyakan SDM Koperasi dan UKM berpendidikan rendah dengan keahlian teknis, kompetensi, kewirausahaan dan manajemen yang seadanya. 7. Terbatasnya akses Koperasi dan UKM kepada sumberdaya produktif; bahan baku, permodalan, teknologi, sarana pemasaran serta informasi pasar. 8. Kebanyakan Koperasi dan UKM mengunakan teknologi sederhana, kurang memanfaatkan teknologi yang lebih memberikan nilai tambah produk dan sulit untuk memanfaatkan informasi pengembangan produk dan usahanya. 9. Rendahnya produktivitas dan daya saing produk Koperasi dan UKM. Terlebih Koperasi dan UKM tidak memiliki jaringan pasar dan pemasaran yang luas, kebanyakan mereka hanya memiliki akses pasar di tingkat local. 10. Pasar bebas yang ditandai dengan berlakunya Asean Free Trade Area AFTA dan ASEAN-China Free Trade Agreement ACFTA, dapat menjadi ancaman, karena asimetris datam penguasaan pasar dan rendahnya daya saing produk Koperasi dan UKM di pasar internasional. 11. Tekanan persaingan produk Koperasi dan UKM meningkat dengan masuk dan beredarnya produk impor ilegal, berkembangnya bisnis retail oleh usaha besar di masyarakat. 12. Kebijakan aspek informasi, kemitraan, pemberian kesempatan berusaha, promosi dagang dan dukungan kelembagaan yang kurang mendukung, serta perlunya peningkatan koordinasi antar instansi terkait. Pemahaman terhadap permasalahan dan identifikasi tiap pelaku, diharapkan dapat mempercepat upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM 78 secara lebih luas dengan penyebaran yang lebih merata, yang bertujuan untuk mengatasi masalah internal dan eksternal yang dihadapi Koperasi dan UKM sehingga memperoleh jaminan kepastian dan kesempatan berusaha. Atas dasar itu SKPD yang membidangi Koperasi dan UKM akan mengembangkan berbagai program dan kegiatan yang berkesesuaian, tepat sasaran, berhasil guna dan bermanfaat secara langsung bagi pemberdayaan Koperasi dan UKM. 4. KETENAGAKERJAAN a. Partisipasi Angkatan Kerja Kondisi ketenagakerjaan di Sumatera Barat dapat dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja. TPAK menunjukkan merupakan indikator ketenagakerjaan yang memberikan gambaran tentang penduduk yang aktif secara ekonomi dalam kegiatan sehari-hari merujuk pada suatu waktu. TPAK adalah indikator yang biasa digunakan untuk menganalisa partisipasi angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. TPAK dihitung dari perbandingan jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja dikali 100 persen. Dengan kata lain TPAK menggambarkan jumlah penduduk yang bekerja pada suatu daerah. Kondisi TPAK Sumatera Barat selama periode 2010-2013 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel. 2.31 TPAK Sumatra Barat dan Indonesia Tahun 2010-2013 Indikator Satuan 2010 2011 2012 2013 TPAK Sumbar 66,36 66,19 64,47 62,90 Indonesia 67,72 88,34 67,88 66,90 Sumber : BPS 2014 Data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di Sumatera Barat cendrung menurun dari tahun ke tahun. Walaupun pada tahun 2011-2012 terjadi kenaikan. Penurunan TPAK sejalan dengan tingkat pengangguran yang cendrung bertambah. Selanjutnya jika dibandingkan dengan kondisi nasional, maka TPAK Sumatera Barat relatif lebih rendah. Kondisi ini kemungkinan bisa disebabkan karena terbatasnya lapangan pekerjaan yang ada atau kualitas sumber daya yang rendah sehingga tidak terserap dalam dunia kerja. Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pengangguran. Untuk melihat lebih jauh kondisi ketenagakerjaan kota dan kabupaten di Sumatera Barat, dapat dilihat pada tabel berikut: 79 Tabel. 2.32. Kondisi TPAK Kota dan Kabupaten di Sumatra Barat Tahun 2010-2013 No KabKota Tahun 2010 2011 2012 2013 Rata- rata Kabupaten 1 Kepulauan Mentawai 79.85 68.67 77.45 76.79 75.69 2 Pesisir Selatan 59.7 66.01 59.01 56.88 60.40 3 Solok 71.26 65.49 61.25 60,30 66.00 4 Sijunjung 64.75 66.14 64.92 63.04 64.71 5 Tanah Datar 67.17 65.2 68.82 71,95 67.06 6 Padang Pariaman 64.48 64.34 63,36 61.19 63.34 7 Agam 67.54 65.61 70,02 62,35 66.58 8 Lima puluh Kota 73.36 66.08 72.12 70.98 70.64 9 Pasaman 68.75 65.35 74,07 72,91 67.05 10 Solok Selatan 70.83 67.31 62.6 61.17 65.48 11 Dharmasraya 69.21 68.93 72.01 69,54 70.05 12 Pasaman Barat 71.09 66.68 62,46 57.97 65.25 Kota 13 Padang 59.51 66.86 55.69 57,43 60.69 14 Solok 63.21 67.11 63,86 61.96 64.09 15 SawahLunto 74.81 67.57 72.77 67,50 71.72 16 Padang Panjang 71.56 67.94 67.14 66.31 68.24 17 BukitTinggi 64.51 65.71 67.54 62,84 65.92 18 Payakumbuh 70.55 67.15 68.16 66.64 68.13 19 Pariaman 63.26 66.25 58,64 61,62 64.76 Sumber: Sumatera Barat dalam angka 2014 Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa ada 4 empat daerah di Sumatera Barat yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Sawahlunto, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Dharmasraya yang memiliki angka TPAK diatas 70 persen. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di daerah ini relatif lebih banyak dibanding dengan daerah lain. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa di daerah ini peluang dan kesempatan kerja relatif lebih banyak dibanding daerah lain. Walaupun tingginya TPAK belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi, karena secara umum lowongan kerja yang ada lebih banyak untuk pekerja kasar unskill labor. Dari data tahun 2013, diketahui hampir 1 juta orang penduduk yang bekerja hanya memiliki tingkat pendidikan SD dan tidak tamat sekolah. 80

b. Pengangguran