Data Hasil Penelitian HASIL PENELITIAN
74
b. Pelaksanaan Pemberdayaan Lansia Melalui Kegiatan Keagamaan Pemberdayaan lansia di Dusun Gatak dibentuk secara musyawarah olah
pengurus masjid dan perwakilan remaja. Pemberntukan tersebut tidak luput dari proses perencanaan. Perencanaan kegiatan dilakukan secara bertahap dan
sederhana dari kumpulan ide-ide yang ada. Dijelaskan oleh RW selaku takmir masjid:
“Kami pihak pengurus musyawarah waktu itu terus dipertemuan selanjutnya kami mulai koordinasi lebih lanjut dengan wakil remaja dan
beberapa pihak lalu kami tawarkan kalau ada yang mau membantu mengajar”CW.3.3, hal:151
Diungkapkan juga oleh AN bahwa: “Kami perencanaannya ga mendetail sih mbak kan kami suga dananya
sukarela, ustadnya ga dibayar, dan ga pakai konsumsi juga. Dana untuk pelaksanaan kami ambilkan dari infaq masjid dan sosial mbak. Kami
waktu itu dapet ide kemudian di rapat selanjutnya kami dapat pengajar dan kesepakatan waktu sudah gitu aja” CW.4.3, hal:157
Pada umumnya masyarakat desa masih memegang tradisi atau kebiasaan yang ada, seperti halnya gotong royong antar warga, musyawarah maupun
tradisi-tradisi adat. Masyarakat di Dusun Gatak masih mempertahankan tradisi-tradisi tersebut. Banyak hal dilakukan untuk kebaikan bersama dan
secara suka rela begitu juga dengan pemberdayaan lansia. Pembentukan dibuat secara musyawarah, ustadzustadzah yang mengajar juga menawarkan diri
secara suka rela. Seperti yang diungkapkan oleh BI:
“Saya kan ikut pembetukan dulu itu, saya ditawari untuk ngajar ya kemudian saya ikut berpartisipasi gitu mbak. Disini kan masih banyak
yang belum bisa baca Al-Quran, itung-itung ikut membantulah”CW.1.1, hal:140
75
Didukung oleh pernyataan RW: “Yang ngajar ya dari kami warga kami sendiri, kan dulu ditawarkan siapa
yang mau sukarela ngajar ngaji dan tidak dibayar gitu mbak terus Alhamdulillah ada yang mau”CW.3.6, hal:151
Lansia tidak dilibatkan secara langsung dalam perencanaan pemberdayaan. Perencanaan sengaja dibentuk terlebih dahulu oleh pengurus dan perwakilan
remaja, akan tetapi setelah pemberdayaan mulai berjalan para lansia dapat berpartisipasi dalam pengampilan keputusan. Dapat dilihat dari penuturan AN:
“Kegiatan, tempat dan hari kami yang tentukan sih mbak tapi setelah bisa berjalan ya kami serahkan sama mereka yang menjalani mau bagaimana.
Kami sebagai fasilitator sama, manut kan mereka juga sudah bisalah ya maksudnya kalau disuruh bikin keputusan sendiri”CW.4.3, hal:157
Diperkuat oleh pernyataan RW: “Enggak sih mbak itu yang ikut musyawarah itu pengurus sama
perwakilan remaja, warga ngikut aja gitu”CW.3.4, hal:151 Dalam pemberdayaan yang diselenggarakan bersifat umum untuk warga
Dusun Gatak. Kegiatan tersebut juga tidak mensyarakatkan apapun saat perekrutan peserta pemberdayaan. Seperti yang dijelaskan oleh RW:
“Kami mengumumkan lewat pengeras suara masjid mbak, kami juga pengajian rutin tiap bulan. Biasa kalau di dusun gini kan gethok tular
mbak, dari mulut kemulut gitu diomongin kalau ada kegiatan TPA dan lain-lain”CW.3.2, hal:151
Didukung oleh pendapat AN: “Kami mengumumkan di masjid kalau ada kegiatan-kegiatan gitu mbak,
kan memang kalau disini pengumuman ya ngumuminnya lewat pengeras suara di masjid. Terus warga yang mau ikut tinggal dateng gitu
mbak”CW.4.2, hal:156
Beberapa paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan lansia di
Dusun Gatak
terbentuk dari
proses perencanaan.
Perencanaan pemberdayaan
melibatkan pengurus
masjid dan
perwakilan ramaja.
76
Perencanaan dilakukan selama beberapa tahap dengan menentukan jenis kegiatan, tujuan, waktu, tempat dan biaya. Pemberdayaan ini dilakukan secara
bersama-sama dan menggunakan dana sukarela sehingga tidak memberatkan para lansia.
Pemberdayaan lansia terdiri dari beberapa kegiatan keagamaan yaitu TPA, yasinan, dan kajian yangn dilaksanakan rutin satu minggu sekali. Seperti yang
diungkapkan oleh salah ustadzah LI: “Disini ada beberapa kegiatan mbak yang TPA itu ada dua, TPA Al-
Quran setiap malam Minggu dan TPA iqro’ setiap malam Jumat. Ada lagi yaitu kajian setiap malam Selasa dan yasinian setiap malam Jumat
bada isya. Ada lagi pengajian setiap sebulan sekali kalau itu untuk umum semua boleh ikut tidak hanya yang lansia” CW.2.2, hal:144
Didukung oleh pernyataan SD: “TPA Iqro’ niku malem jumat bar magriban dugi isya’ kan damel
jamaah, enten TPA kangge seng pun Al-quran niku malem minggu nggeh sami bar maghrib dugi isya’, kajian kaleh Bu Yola niku malem
selasa nggeh bar maghrib dugi isya’, enten maleh yasinan malem jumat bada isya’ kadang dugi jam sepuluh”. CW.6.6, hal:167
Sesuai dengan yang dikatakan oleh AN: “Disini TPA yang iqro itu malem Jumat, kalau yang Al-Quran malem
Minggu. Kajiannya malem Selasa, yasinan malem Jumat bada isya’” CW.4.6, hal:174
Sedangkan SD mengungkapkan: “Nek seng TPA nggeh moco iqro’ mbak, nek kajian kaleh Bu YL niku
kulo jarang mangkat terus nek yasinan ngoten nggeh mung moco yasin terus diisi lain-lain nek enten seng ajeng dirembug ngoten”. CW.6.4,
hal:167
Setiap kegiatan mempunyai pengampu dan penanggung jawab sendiri- sendiri, untuk TPA iqro’ diampu oleh ustadz BI dan ustadzah LI. TPA Al-Quran
diampu oleh ustadz WN, kajian oleh ustadzah YL, dan yasinan dibimbing oleh
77
Pak Rakun. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran di TPA maupun di yasinan dan kajian pada menggunakan empat tahap yaitu tahap persiapan, pembukaan, inti,
dan penutup. Dilihat dari penuturan RW: “Tahap pelaksanaan pembelajarannya itu kan pertama persiapan tempat,
terus pembukaan, baca doa, kemudian nanti ngaji, setelah itu penutup” CW.3.5, hal:152
Hal ini juga disampaikan oleh SY: “Bar jamaah sholat maghrib niku nata meja buat TPA niku terus ngaji.
Dibuka terus baca al-fatihah terus baca doa mau belajar terus ngaji satu- satu sma gurunya. Kalo satu orang lagi ngaji terus yang lain niku baca
sendiri ngoten mbak. Bar niku pun, ditutup baca doa penutup majlis terus wangsul. Nek sing yasinan niku dibuka teru baca yasin, doa, terus istirahat
lain-lain terus pun. Nek kajian kaleh bu YL nggeh sami tapi khusus yang perempuan”. CW.5.8, hal:162
Sedangkan LI mengatakan bahwa: “Pembukaan mbak setelah itu baca doa mau belajar, kemudian mulai
belajarnya satu-satu sambil nunggu giliran mbah-mbahnya belajar sendiri dulu. Kalau yang yasinan ya sama, dibuka dulu baca Al-Fatihah terus baca
yasin terus ada sesi lain-lain untuk berdiskusi. Kalau kajian itu setelah dibuka, kami kasih materi dengan ceramah. Setelah selesai, mereka boleh
tanya. Kalau udah selesai ditutup pakai doa penutup majlis”. CW.2.7, hal:146
Penuturan tersebut sejalan dengan penuturan SM: “Kados wingi kino bar sholat maghrib njuk nata meja, mic, Al-Quran,
tikar. Bar niku njuk dibuka karo Mas WN kui, soko mburi karo ono seng mbagekke snek. Bar dibuka kan moco doa bar kuwi diwarahi sikek karo
Mas WN cara mocone piye. Nek wes terus siji-siji kon moco nganggo mic nek salah yo dibenerke. Bar kuwi nek Mas WN ora sibuk kyo wingi kae
iso diwoco artine, biasane sampe setengan sepuluh nek isya’ yo sholat sek. Nek karo Pak GL sak ayat kudu bener. Wes rampung ngaji njuk ditutup
moco doa, bar kwi ngresiki ngon terus do ngekke sosial sak ikhlase mbak”. CW.7.8, hal:172
Didukung oleh keterangan dari WJ: “Riyen awal masuk dites riyen diken maos iqro’ 1 saget nopo mboten.
Nek pas TPAne niku pertamane dibukak terus baca doa ngoten terus do baca kiambak-kiambak kaleh nunggu giliran nek pun nggeh ditutup. Pas
78
ngaji kaleh gurune njuk mangkeh gurune nyatet teng buku prestasi niko, nggeh mung ngoten mbak. Nek yasinan niko radi benten, enten lain-laine
soale kan mboten teng masjid terus wektune kan mboten ketabrak isya’ dadi saget tekan jam 21.30 kadang jam 22.00. Yasinan niko biasane
dibukak kaleh Pak Rakun terus nggeh moco-moco dungo ngoten niko terus moco yasin niku”. CW.8.8, hal:212
Jumlah lansia yang mengikuti pemberdayaan lansia ini adalah sebanyak 50 orang. Lansia tersebut terbagi dalam kelompok-kelompok yaitu kelompok
TPA iqro’ dan TPA Al-Quran. Dapat dilihat dari pernyataan AN: “….waktu pertama pertemuan itu sampai sekitar 50 orang….” CW.4.4,
hal:157 Sedangkan LI menuturkan :
“Kalau yang Al-Quran itu banyak mbak 30 lebih, kalau yang iqro’ itu yang aktif hanya tujuh, kajian itu jugabanyak mbak kebanyakan yang dateng itu
yang dari Al-Quran sekitar 20 orang. Kalau yang yasinan 40 lebih mbak kan campur itu”. CW.2.9, hal:146
Diperkuat oleh pernyataan BS: “Dulu waktu awal-awal itu banyak mbak. Sekarang TPA malem jumat
yang aktif biasanya 7 kadang 5. Kalau yang Al-Quran itu juga banyak wong kalau buat snace aja sampe 40 katanya”. CW.1.9, hal:142
Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan lansia di Dusun Gatak melakukan perencanaan program pemberdayaan secara
sederhana dan secara musyawarah yang melibatkan pengurus Masjid, serta perwakilan
remaja. Lansia
tidak dilibatkan
secara langsung
dalam perencanaan program pemberdayaan, akan tetapi lansia diberikan kebebasan
berpendapat maupun berpartisipasi saat pemberdayaan sudah berjalan. Perekrutan pengajar atau ustadzustadzah dilakukan dengan cara mengajukan
diri secara suka rela dan tidak menerima imbalan sama sekali. Pemberdayaan lansia di Dusun Gatak mencakup tiga kegiatan yaitu TPA, yasinan, dan kajian.
79
TPA dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok Al-Quran dan kelompok iqro’. TPA Al-Quran dilaksanakan pada pukul 18.30 WIB atau bada maghrib
setiap hari Sabtu di Masjid Al-Iman. TPA iqro dilaksanakan pada pukul 18.30 WIB atau bada maghrib setiap hari Kamis di Masjid Al-Iman. Kegiatan
yasinan dilaksanakan pada pukul 19.30 WIB atau bada isya’ di hari Kamis bertempat di rumah warga secara bergilir. Sedangkan kajian dilakukan pada
pukul 18.30 WIB atau bada maghrib setiap hari Senin. Jumlah lansia yang mengikuti kegiatan ini adalah sebanyak 50 orang Tahap pelaksanaannya yaitu
terdiri dari tahap persiapan, pembukaan, inti, dan penutup. Menurut hasil pengamatan, jumlah lansia yang mengikuti TPA Al-Quran
adalah sebanyak 30 orang, sedangkan TPA iqro’ sebanyak 7 orang. Yasinan, dan kajian diikuti oleh lansia dari kedua kelompok tersebut, jadi total lansia
yang aktif dalam pemberdayaan ini yaitu sebanyak 37 orang. c. Metode Pemberdayaan Lansia
Pemberdayaan yang menjadikan lanjut usia sebagai garapan utama membutuhkan metode khusus dan penanganan yang lebih dibandingkan
dengan pemberdayaan dengan sasaran usia lain yang lebih muda. Metode yang digunakan haruslah metode dapat mudah diterima dan diikuti oleh para lansia.
Pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode ceramah, dan praktek. Seperti yang dikatakan oleh ustadz BI:
“Ya TPA pembelajarannya pakai iqro’. Dulu kan juga sempat kerjasama dengan Fan Tahsin, tapi kan mereka belum bisa baca sama sekali mbak
jadi agak kurang pas dengan itu ya terus cuma ngisi berapa kali gitu terus udah dilanjut iqro. Kalau kajian jelas kami menggunakan metode ceramah
dalam penyampaiannya”. CW.1.4, hal:141
80
Diperkuat oleh pernyataan AN: “Pakai apa ya mbak kayaknya pakai iqro kalau yang TPA itu, yang mudah
buat menula yang ga muda lagi”. CW.4.7, hal:157 Sedangkan RW menyampaikan bahwa:
“Kami dulu nyoba pakai metode dari FAN Tahsin mbak tapi ada beberapa kelompok tidak bisa mengikuti karena itu belajarnya cepet kan. Kalau
mbah-mbah yang belum begitu tua gitu masih bisa mengikuti dan sekarang sudah Al-Quran. Tapi kalau yang 70 tahun keatas agak kesulitan akhirnya
mereka pakai yang metode iqro”. CW.3.7, hal:152
Hal ini sesuai dengan penuturan LI: “Pakai iqro mbak karena kami pikir itu lebih mudah. Kalau yang sudah
Al-Quran itu dulunya mereka pakai metode yang berbeda jadi cepet bisa. Awalnya mau kami samakan pakai metode itu semua tapi yang di
kelompok malem Jumat itu si mbah-mbahnya banyak yang sudah sepuh nanti malah tambah kesulitan”. CW.2.4, hal:145`
Dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan ustadzustadzah menggunkanan media buku iqro’ Al-Quran, hadits, dan juga buku yasin disaat kegiatan
yasinan. Seperti yang diungkapkan oleh BS: “Medianya ya pakai buku iqro’ itu mbak, kalo yasinan ya buku yasin.
Kalau yang Al-Quran sama kajian itu kadang juga ustadnya pakai hadits buat ngisi materinya”. CW.1.5, hal:141
Diperjelas oleh pernyataan LI: “Kami hanya pakai iqro’ itu mbak jadi mbak-mbahnya itu nanti baca satu-
satu kami yang koreksi. Kalau yang Al-Quran itu beda lagi mbak, karena sudah Al-Quran jadi mereka bacanya Cuma satu ayat per orang tapi nanti
semua di ajarin dulu sama ustadnya. Yang yasinan itu ya cuma baca yasin. Kajian itu juga nanti ustadzahnya menyampaikan materi secara lisan gitu
nanti mbah-mbahnya bisa tanya”. CW.2.5, hal:145
Kelancaran dalam sebuat kegiatan didukung dengan adanya sarana dan prasarana yang memadahi. Pelaksanaan pemberdayaan lansia di Dusun Gatak
juga tidak luput dari dukungan sarana dan prasarana yang ada. Sarana dan
81
prasarana tersebut berupa ruangan masjid, meja, tikar, media pembelajaran, microfone, dan juga almari. Hal ini disampaikan oleh AN:
“Di masjid sudah kami siapkan semua mbak, ada meja, tikar, iqro’, Al- Quran, ada lemari tempat kayak kertas absen itu, ada mic”. CW. 4.8,
hal:157
Sedangkan BS menyampaikan: “Tempatnya masjid itu, ada meja, papan tulis juga ada mbak tapi jarang
digunakan. Ada iqro’, Al-Quran, buku prestasi, lemari juga ada. Sarpras dapat dari takmir itu dana dari infaq”. CW.1.6, hal:141
Didukung oleh pernyataan LI: “Di Masjid itu sudah ada meja, tikar, rak tempat iqro, kayak buku prestasi
itu, Al-Quran, microfone. Sebenarnya di Masjid itu juga ada papantulis mbak tapi tidak kami gunakan karena menurut kami lebih efektif kalau
diajarin pakai iqro’ langsung. Kalau yang Al-Quran juga ada snaknya mereka inisiatif iuran sendiri karena orangnya lebih banyak mbak”.
CW.2.6, hal:145
Pemberdayaan yang mencakup berbagai kegiatan memberikan kesempatan kepada lansia untuk dapat selalui aktif dan juga berkumpul dengan seusianya,
meskipun para lansia masih bekerja di sawah. Hal ini disampaikan oleh SY: “Nek kulo mesti tak usahakke mangkat mbak. Wong nggeh mboten tau
libur paling nek Ustade mboten saget, paling mung moco bareng-bareng ngoten. Soale kan wes gae snek mbak, nek ora yo ono Pak Rakun kae”
CW.7.5, hal:172
Hal ini juga disampaikan oleh LI: “Mereka termotivasi mbak wong hujan aja mereka tetep berangkat, kalau
pas deres banget gitu bisanya mereka minta diganti malem Sabtu…” CW.2.15, hal:148
Sedangkan WI mengungkapkan bahwa: “Mboten mesti mbak, nek nembe repot nggeh mboten. Kulo wingi mboten
mangkat pun rongjumat wong nembe enten keperluan 40 dinten tiang sepah” CW.8.5, hal:176
Sejalan dengan penuturan SD:
82
“Geh sok-sok mboten mlampah kan kulo taseh kagungan mbah, dados kulo ngurus mbahe kulo niku. Kan mbahe pun mboten saget nopo-nopo
kiambak, teng dalem nggeh entene mung kulo dados nggeh kulo seng ngurus”. CW.6.5, hal:167
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa metode penyampaian pembelajaran yaitu dengan metode ceramah, dan praktek. Dalam
kegiatan kajian materi disampaikan dengan metode ceramah, sedangkan TPA dan yasin dilakukan dengan metode praktek yaitu membaca secara langsung.
Media yang digunakan yaitu buku iqro’, Al-Quran, hadits, dan buku yasin. Pelaksanaan kegiatan didukung oleh sarana dan prasarana yaitu ruangan
masjid, microfone, meja, tikar, papan tulis, iqro’, Al-Quran, dan almari. Dari hasil pengamatan peneliti menemukan bahwa pemberdayaan lansia
dilakukan dengan
metode kelompok,
dimana dalam
penyampaian pembelajaran disampaikan menggunakan metode cerahan dan praktek. Kajian
disampaikan dengan metode ceramah, TPA Al-Quran menggunakan metode praktek. Ustadz terlebih dahulu menuntun dan memberi petunjuk kepada para
lansia untuk membaca ayat tersebut dengan benar, lalu para lansia mengikuti. Setelah diberikan petunjuk kemudian para lansia membaca dengan keras
menggunakan microfone satu orang satu ayat untuk dikoreksi kebenarannya oleh ustadz yang mengajar.
d. Materi Pemberdayaan Lansia Lansia yang sudah mengalami banyak penurunan kemampuan fisik
menjadikan pertimbangan tersendiri untuk pengurus dalam memilih materi. Banyaknya kegiatan dan juga tingkat kesulitan mempengaruhi kelancaran
jalannya pemberdayaan, maka pengurus memilih tiga kegiatan khusus dalam
83
pemberdayaan lansia ini yang masing-masing mempunyai materi berbeda. Materi
yang diberikan dalam pemberdayaan
lansia melalui kegiatan keagamaan di Dusun Gatak yaitu cara membaca iqro’, Al-Quran dan terjemah,
kajian, serta yasinan. Hal ini disampaikan oleh SM: “TPA niku seng Al-Quran nggeh moco Quran mbak nggko diartikke karo
Mas WN, nek kajian Bu YL kwi bahas berita-berita seng anyar ngono kae barang. Koyo wingi kae bahas LGBT aku ngeri banget krungune”.
CW.7.4, hal:172
Didukung dengan penuturan SY: “….kajian itu juga bisa tahu perkembangan informasi dan aturan-aturan
yang ada di Al-Quran” CW.5.11, hal:163 Sedangkan RW mengungkapkan bahwa:
“….Kalaupun dibuatkan kegiatan yang macem-macem itu takutnya malah memberatkan mbak soalnya kebanyakan dari mereka masih di sawah”
CW.3.9, hal:152
Dikuatkan oleh pernyataan SD: “….Wong nek geh ajeng diisi kathah-khatah wong pun do tuwo-tuwo
nggeh radi kangelan nek menurute kulo. Kan geh taseh sok do teng sawah”. CW.6.7, hal:167
Pemilihan materi tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan lansia, walaupun saat penentuan materi lansia tidak dilibatkan secara langsung namun
berdasarkan pertimbangan dan musyawarah antar pengurus dan perwakilan remaja materi tersebut sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
para lansia. Sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh SM:
“Pun sesuai niku mbak wong seng dereng saget nggeh katah. Pas awal TPA niko mangkat kathah mbak mbok wong 50 wae ono neng omahe Mas
RD niku nengo kok terus do jeleh. Seng bertahan nggeh kantun niko ming ora wingi kae 20-30 mbak. Nek gawe snek 40 wongan”. CW.7.7, hal:172
84
Diperjelas oleh WJ: “Nggeh pun mbak, kan kathah seng dereng saget, nek wes tuwo ki lak yo
butuh to mbak” CW.8.7, hal:177 Hal tersebut dikuatkan oleh Ustadz BS:
“Iya sudah, warga juga merindukan ada kegiatan keagamaan. Orang kalau sudah sepuh-sepuh ya saya kira yang lebih dibutuhkan adalah lebih
mendekatkan diri kepada Seng Kuasa. Ya menurut saya sudah pas kegiatan ini”. CW.1.3, hal:140
Seperti yang diungkapkan oleh Ustadzah LI: “Pada awal dulu dibentuknya itu banyak sekali yang ikut dan mereka
memang belum bisa membaca Al-Quran jadi saya rasa materinya sudah sesuai dan juga kajian itu diisi dengan perkembangan berita terkini atau ya
yang lagi ngetren apa gitu mbak”. CW.2.3, hal:144
Saat pembelajaran,
lansia mempunyai
tinggat pemahaman
dan perkembangan yang berbeda-beda, oleh karena itu keaktifan lansia dalam
bertanya menjadi
hal yang
sangat penting.
Lansia yang
mengikuti pemberdayaan lansia di Dusun Gatak tidak segan-segan untuk bertanya
tentang materi yang kurang dipahami atau permasalahan yang sedang dihadapi. Seperti yang diungkapkan oleh BS:
“Kalau tanya tentang materi ya pasti pernah mbak mereka tanya cara
bacanya gimana gitu. Kadang juga ada yang tanya masalah lain kayak sholat atau puasa gitu. Ya saya jawab mbak, saya malah seneng kalau
mereka bertanya, artinya kan mereka juga tertarik untuk lebih banyak tahu”. CW.1.10, hal:142
Dikuatkan oleh pernyataan LI: “Ya mereka kalau ga bisa ya tanya mbak, kalau huruf yang bunyinya agak
sama gitu mereka mesti keliru jadi kadang waktu ketemu sama huruf itu diam dulu karena takut kebalik. pernah waktu itu kami belajar sambil
mereka meme gabah di depan rumah”. CW.2.10, hal:146
Selain itu, WJ menjelaskan bahwa:
85
Nggeh niku mbak. Mboten usah isen nek kados kulo ngeten. Kados Mbak NH niku salah dibenerke, wedi nek kulo kan mboten. Nek mboten saget,
seng bener niku pripun. Seng marai sero digetakko kulo mboten wedi. Nek ora iso terus dinengke wae yo kapan leh iso? Diomongke mawon kaleh
Mas BS seng mboten saget pundi ngoten”. CW.8.18, hal:179
Hal yang sama dikatakan oleh SD: “Nggeh mbak nek kangelan ngoten kulo matur, nek mung meneng ngeh
kapan isane. Nek riyen-riyen nggeh nate isin tapi sak niki pun mboten. Sak niki nek mboten saget nggeh tangklet ngoten”. CW.6.18, hal:169
Selain lansia yang aktif dalam pembelajaran, lansia juga diberikan kewenangan dan kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan yang ada dalam pemberdayaan lansia di Dusun Gatak. Seperti yang diungkapkan oleh SD:
“Geh nek enten seng ajeng dirembug geh kulo urun rembug, kados nek teng yasina ngoten niko kan dirembug bareng-bareng. Terus mangkeh
hasile nopo nek enten perubahan ngoten gari disanjangke kaleh gurune ngoten” CW.6.9, hal:167
Dikuatkan oleh pernyataan WJ: “Nggeh mbak, nek enten seng pengen diusulke nggeh ngomong kaleh
gurune ngoten mbak. Misale jawoh terus diganti malem sabtu ngoten” CW.8.9, hal:177
Didukung dengan penuturan SM: “Mesti nek kuwi mbak, nek ono opo-opo mesti musyawarahke kabeh melu
usul piye apike ngoten. Koyo pas pak GL lungo ra gelem mulang kae terus do laporan to terus pie wong tuwo-tuwo ki? Nek ora ono seng do mimpin
tetep ra iso mlaku nek ora ono ustade ngono to. Terus akhire mas WN ki berjuang pie carane gen iso tetep berjalan kegiatanane, bar ono Mas WN
kwi lagi gelem mbak” CW.7.9, hal:173
Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa materi yang disampaikan dalam pemberdayaan lansia adalah cara membaca iqro’, Al-
Quran, mengkaji ayat-ayat Al-Quran, membaca surat yasin, dan kajian yang membahas perkembangan terkini dipandang dari sudut pandang Islam. Lansia
86
tidak dilibatkan dalam penentuan materi akan tetapi materi tersebut sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan para lansia, serta lansia juga
dapat mengikuti kegiatan-kegiatan dalam pemberdayaan secara rutin. Saat pembelajaran berlansung, para lansia juga menyampaikan kesulitan dalam
belajar kepada ustadzustadzah yang mengajar. Dari hasil pengamatan peneliti memperoleh informasi bahwa ada lansia
yang tidak berangkat secara rutin. Lansia yang aktif rutin mengikuti pemberdayaan tersebut sekitar 80, dan 20 adalah lansia yang mengikuti
pemberdayaan lansia akan tetapi belum berangkat secara rutin. Saat pembelajaran memang para lansia masih banyak yang lupa sehingga bertanya
kepada ustadzustadzah, akan tetapi ustadzustadzah meminta para lansia untuk berusaha mengingat-ingat terlebih dahulu.
2. Hasil Pemberdayaan Lansia Melalui Kegiatan Keagamaan Kegiatan
TPA dapat memberikan
hasil berupa pengetahuan dan
kemampuan lansia
dalam membaca
iqro’ sampai
dengan Al-Quran.
Ustadzustadzah membimbing dan mengikuti perkembangan kemampuan lansia saat pelaksanaan pembelajaran. Dapat dilihat dari penjelasan BS:
“Waktu ngaji kan kelihatan mbak. Kalau ada materi yang sudah lewat tapi kok lupa, lha itu berarti mereka belum paham sepenuhnya mungkin baru
ditahap menghafal”. CW.1.12, hal:142
Selain itu ada penuturan lain dari LI: “Kami pakai EBTA mbak, di halaman terakhir setiap jilid di iqro itu kana
da EBTA. Nah kalau misal belum lulus itu ya belum naik jilid selanjutnya gitu”. CW.2.12, hal:146
87
Lansia juga terbuka dalam menyampaikan kesulitan, kritik maupun saran kepada
ustadzustadzah dan
juga pengurus.
Keterbukaan tersebut
menumbuhkan interaksi yang baik antara lansia, pengurusa maupun Ustadzustadzah. Hal ini diungkapkan oleh RW:
“Terbuka mbak mereka itu, kalau mau ada perubahan atau apa ya itu mereka musyawarah nanti bilang ke kami. Kalau mereka ada kesulitan
mereka juga tanya”. CW.3.15, hal:154
Hal yang sama diungkapkan oleh AN: “Ya terbuka mbak disini kan masih apa ya istilahnya desa gitu lho mbak
jadi sama tetangga disini mbasih bagus, gotong royongnya juga masih bagus. Sini biasa rembukan mbak sudah biasa menyampaikan keluhan dan
ide tu”. CW.4.15, hal:159
Selama beberapa tahun mengikuti pemberdayaan lansia melalui kegiatan keagamaan yang diselenggarakan, lansia telah mendapatkan perubahan dalam
kemampuannya membaca iqro’ dan Al-Quran. Seperti yang disampaikan oleh BS:
“Beberapa diantara mereka jadi sering jamaah di Masjid mbak saya sering ketemu. Masjid sekarang jadi lumayan rame Alhamdulillah ya sedikit-
sedikit ada kemajuan mbak”. CW.1.13, hal:142
Diperkuat oleh pernyataan LI: “Kalau perubahan itu ya pelan-pelan ya mbak ga bisa dilihat secara cepat.
Dulu di sini itu banyak yang pelihara anjing dan yang melihara itu malah yang muslim. Katanya anjing itu gedenya cepet jadi cepet bisa dijual gitu
mbak. Tapi sekarang sudah berkurang, ya memang masih ada tapi sudah berkurang. Kalau sedang ketemu ngaji bareng gitu suka saya srempetin
gitu kalau anjing itu najis. Dulu juga waktu saya masih awal pindah di sini kalau ada yang meninggal itu yang mensucikan dan mandiin itu Pak
Rakun mbak. Baik yang peningal perempuan ataupun laki-laki semua yang mandiin Pak Rakun, kan harusnya yang boleh mandiin kan yang
semahromnya kan”. CW.2.13, hal:147
Sedangkan RW mengungkapkan bahwa:
88
“Perubahannya yang jelas kegiatan keagamaan sekarang jadi banyak mbak dengan kata lain warga disini lansia pun juga masih belajar dan mereka
rajin. Mereka juga lebih sering jamaah di masjid sekarang kayak mbah HJ itu subuh pun jamaah di Masjid lho itu mbak. Ya karena kegiatannya
adalah TPA mereka ya sedikit-sedikit bisalah iqro dan Al-Quran”. CW.3.11, hal:153
Didukung oleh pernyataan WJ: “Kulo dados ngertos sekedik bab agama kados poso, kados sedekah niku.
Senajan awake dewe wong ra duwe, tapi yo nek iso sedekah. Kulo riyen blas dereng saget ngaji sakniki pun iqro’ 6 nggeh Alhamdulillah alon-alon.
Geh sekedik-sekedik mbuh ditompo nopo mboten seng penting pun usaha lak ngoten”. CW.8.12, hal:178
Perubahan dan peningkatan kemampuan membaca iqro’, Al-Quran maupun pengetahuan tentang agama yang didapat oleh lansia menjadi
cerminan bahwa para lansia merasa terfasilitasi dengan adanya pemberdayaan lansia yang ada. Dapat dilihat dari pernyataan WJ:
“Kegiatan ini bermanfaat. Kemarin saya tanya pada Mas BS tentang puasa kalau tidak sahur puasanya batal atau tidak. Setelah mendapat jawaban
saya menjadi tidak ragu lagi, saya tahu dasarnya”. CW.8.11, hal:187
Hal yang sama diungkapkan oleh SD: “Geh bermanfaat sanget mbak wong nek pun tuwo ngeten niki nopo maleh
seng perlu digolekki mbak lak nggeh sangu damel ngenjeng. Nek kulo sok ajar moco surat pendek mbak”. CW.6.11, hal:198
Sedangkan AN menyampaikan: “Iya mbak saya rasa terfasilitasi dulu kan ga ada kegiatan kayak gini.
Kayak mbah saya itu, dulu kan mbahe tinggalnya masih di rumahnya sana kana da kegiatan ngajinya kan dekat sama pesantren terus pindah sini dulu
ga ada ya pengen ngaji lagi katanya”. CW.4.12, hal:158
Lansia merasa
terfasilitasi dan
telah mendapatkan
hasil berupa
meningkatnya kemampuan membaca iqro sampai dengan Al-Quran. Dengan adanya hasil tersebut belum tentu pemberdayaan tersebut telah berjalan
dengan efektif dan efisien. Dipaparkan oleh BS:
89
“Kalau dibilang sudah efektif dan efisien kok juga belum cukup saya rasa. Ya sudah tapi sedikit-sedikit soalnya dari pengajar juga kadang ada
kegitan penting jadi tidak bisa datang. Sedangkan pesertanya kan sudah lansia jadi juga agak special dibandingkan dengan yang lain” CW.1.16,
hal:142
Ditegaskan oleh LI: “Ya gimana ya mbak berhubung yang belajar itu simbah-simbah ya belum
bisa efektif dan efisien. Misalkan kami ngajar sudah memberikan permisalan juga tapi kalau mereka belum bisa nangkep kan otomatis
mereka belum bisa lanjut ke halaman berikutnya mbak. Kami juga yang ngajar kan gantian, kalau misalkan saya ga bisa ya nanti ada Pak BS
kadang ya yang lain, kalau memang semua tidak bisa ya sudah kan terpaksa mereka belajar sendiri mbak”. CW.2.16, hal:148
Dalam pelaksanaan sebuah kegiatan dibutuhkan evaluasi untuk membuat sebuah kemajuan dalam kegiatan yang akan datang. Pemberdayaan lansia
yang ada di Dusun Gatak khususnya pada kegiatan TPA, para ustadzustadzah melakukan evaluasi pembelajaran menggunakan EBTA dalam iqro’. Berikut
penuturan BS: “Tidak ada evaluas mbak, adanya ya pakai EBTA itu di iqro”. CW.1.11,
hal:141 Hal yang saja juga dingkapkan oleh RW:
“Evaluasi kalau dari kami yang menyelenggarakan belum ada mbak paling sama yang ngajar itu kami kalau ada masalah apa atau mau diganti apanya
gitu kami serahkan ke para lansia kok. Lansia pengennya gimana terus kami tinggal terima ngikut aja kan kegiatannya udah jalan”. CW.3.10,
hal:152
Dipertegas oleh pernyataan AN: “Dari kami pengurus tidak ada evaluasi mbak sejauh ini belum ada tu,
mungkin diadakannya sama gurunya yang ngajar mbak kan kami sebatas penyelenggara nanti kalau ada laporan apa gitu kami baru bertindak”.
CW.4.10, hal:158
Evaluasi pembelajaran yang hanya dilakukan menggunakan EBTA, tidak menurunkan kualitas semangat belajar para lansia. Para lansia terus berusaha
90
untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan dalam
pemberdayaan yang
diselenggarakan. Hal ini disampaikan oleh SM: “Nggeh mbak terus niku. Wong mbiyen Pak GL wegah mulang kae wae
terus dibingung do berjuang pokokke piye carane kudu ngajine ki tetep mlaku kok. Jaman saiki nek ora ngaji ki wes ra iso mbak” CW.7.14,
hal:174
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh SY: “Nggeh mbak biarpun tidak sekolah tapi nek saget ngaji itu bisa sedikit-
sedikitlah, sudah tua ngeten nggeh nopo maleh seng dipadosi mbak” CW.5.14, hal:163
Diungkapan oleh AN: “Kelihatannya termotivasi mbak wong waktu ada masalah pengajarnya ga
mau datang mereka juga ikut ngurusin pokoknya kegiatan ini harus jalan terus gitu mbak” CW.4.13, hal:158
Pemberdayaan lansia yang memfasilitasi lansia dalam berkegiatan merupakan hal yang diharapkan oleh lansia, kerena sebelumnya belum ada
kegiatan yang diperuntukkan bagi lansia. Lansia merasa lebih termotivasi untuk melalukan kegiatan apabila dilakukan bersama-sama dengan banyak
teman seusia. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa hasil dari
pemberdayaan lansia melalui kegiatan keagamaan yaitu meningkatnya kemampuan lansia dalam membaca iqro’ maupun Al-Quran, para lansia
menjadi rajin berjamaah di Masjid, bertambahnya wawasan keagamaan yang dimiliki lansia, dan lansia terbuka dengan adanya perkembangan informasi
terbaru.
91
3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pemberdayaan Lansia Melalui Kegiatan Keagamaan
a. Faktor Pendorong Dari hasil penelitian terdapat beberapa faktor pendukung pemberdayaan
lansia melalui kegiatan keagamaan, seperti yang diungkapkan oleh BS: “Pendukungnya salah satunya ada fasilitas. Terus dari mbah-mbahnya juga
semangat, mereka merasa butuh. Kalau di pengajarnya sendiri sebisa mungkin meluangkan waktu malem Jumat. Kadang yang ngajar ada yng
diajar ga ada kadang sebaliknya” CW.1.17, hal:143
Selain itu LI juga mengatakan bahwa: “Yang mendukung itu semangat dari si mbah-mbahnya itu mbak, mereka
semangat sekali walaupun ya bisa dibilang banyak yang lupa atau salah gitu ya. Kalau yang masih umur itu 70 kebawah masih mending sekarang
sudah ada yang iqro’ 6 tapi kalau yang 70 ke atas ya harus sabar mbak. Kadangan mereka semangat malah kami yang sibuk”. CW.2.17, hal:148
Sedangkan RW menyapaikan bahwa: “Faktor pendorongnya itu warganya sendiri juga gampang digerakkan
mereka semangat mbak walaupun awalnya itu banyak sekali tapi terus jadi separonya ya kan sudah lumayan. Terus disini yang ngajar juga mau
meluangkan waktu walaupun tidak dibayar itu lho mbak”. CW.3.16 hal:154
Hal tersebut didukung oleh pernyataan SD: “Pengen saget ngoten mbak wong nek dipikir wong urip pisan bondo
donyo ra digowo nggeh to? Kulo nggeh pun iqro’ enem pun ajeng rampung kan nggeh pengene cepet saget. Geh mugi-mugi lancar saget
tumut rencange moco Al-Quran”. CW.8.19, hal:179
Sejalan dengan penuturan SM: “Yo pengen iso wae mbak. Mbiyen arep sinau ngaji urung ono TPA, lha
saiki wes digawekke TPA lak yo kepenak garek mangkat mbak”. CW.7.19, hal:174
92
Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor pendukung yang membantu kelancaran berjalannya pemberdayaan lansia
melalui kegiatan keagamaan, antara lain adalah: 1 Faktor sumber daya manusia
Adanya pemberdayaan lansia di Dusun Gatak merupakan wujud dari kepedulian seluruh warga terutama pengurus terhadap lansia. Pengurus
yang berusaha
memfasilitasi lansia
dengan kegiatan-kegiatan
keagamaan sesuai dengan kebutuhan lansia. Ustadzustadzah yang suka rela mengajar, sabar, dan berkenan meluangkan waktu untuk
lansia di kegiatan TPA, kajian, maupun di kegiatan yasinan. 2 Faktor peserta didik
Faktor ini merupakan faktor yang penting dalam berjalannya proses pemberdayaan lansia. Para lansia sebagai peserta didik mempunyai
semangat yang tinggi, walaupun para lansia mengalami beberapa kesulitan belajar. Lansia di Dusun Gatak umumnya masih bekerja di
sawah, jika dilihat dari usia dan juga rutinitas tersebut sudah menyita waktu dan tenaga akan tetapi para lansia masih mau meluangkan
waktu serta berusaha belajar. 3 Sarana dan prasarana
Lancarnya sebuah kegiatan pasti tidak luput dari sarana dan prasarana pendukung kelancaran kegiatan hingga tercapainya tujuan yang
diharapkan. Dalam pemberdayaan ini sarana dan prasarana yang disediakan oleh pengurus adalah berupa tempat dan kelengkapan
93
pembelajaran. Sarana dan prasarana tersebut juga disediakan secara gratis oleh pengurus diambilakan dari uang infaq dan sosial agar tidak
memberatkan para lansia. 4 Faktor lingkungan masyarakat
Lingkungan merupakan salah satu faktor pendukung pemberdayaan ini dikarenakan lingkungan yang ada ikut membantu kelancaran kegiatan.
Warga masyarakat yang terbuka dengan adanya pemberdayaan membantu memberikan dukungan kepada lansia. Dukungan tersebut
berbentuk respon yang baik dan juga membantu proses belajar para lansia saat di rumah. Bersedia menyediakan tempat yang akan
digunakan sebagai tempat dilaksanakannya kegiatan yasinan setiap Kamis malam bada isya’.
b. Faktor Penghambat Pemberdayaan
yang dilaksanakan
tidak hanya
mempunyai faktor
pendukung, akan tetapi juga mempunyai faktor penghambat. Faktor penghambat tersebut berasal dari diri lansia maupun dari luar diri lansia.
Seperti yang diungkapkan oleh LI: “Penghambatnya mungkin waktu kami semua yang ngajar punya
kesibukan kali ya mbak, kan kami biasanya gantian ngajarnya tapi kalau pas ga bisa semua ya mau tidak mau harus libur atau diundur malem
Sabtu. Terus Si mbah-mbahnya sering lupa jadi kami kan belum bisa meluluskan halaman itu jadi diulang-ulang terus”. CW.2.18, hal:148
Sedangkan RW menjelaskan bahwa: “….Terus masalah waktu mbak, yang ikut kan sudah tua, bekerja lagi kan
ya pasti sibuk ada waktu cuma malam itu saja pasti capek makannya kami adakan seminggu sekali habis isya dimalam Jumat sama malem minggu
kalau yang TPA”. CW.3.17, hal:154
94
Didukung dengan pernyataan AN yaitu: “Kalau dilihat dari kondisinya usianya kan sudah lansia kan ya mbak jadi
yang paling kelihatan kan fisik mereka sudah tidak sekuat kita. Jadi kalau belajar dengan kondisi yang capek kan ya nangkepnya jadi susah dan lagi
mereka mungkin agak lupa-lupa gitu mbak kalau dari warganya”. CW.4.19, hal:160
Hal ini juga disampaikan oleh salah seorang lansia yaitu SD: “Kadang sok kesel niku mbak dados kadang nggeh mboten mangkat. Nek
enten ayat seng gandeng-gandeng dowo ngoten kulo sok lalai mocone”. CW.6.21, hal:170
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa hambatan yang ada dalam pemberdayaan lansia melalui kegiatan keagamaan,
yaitu sebagai berikut: 1 Kondisi fisik lansia
Memasuki usia lanjut kondisi fisik lansia mengalami penurunan seperti daya ingat, daya tangkap belajar, struktur gigi yang sudah tidak
lengkap, dan daya tahan tubuh. Dalam belajar lansia mudah lupa, dan kesulitan dalam mengucapkan huruf dengan benar. Aktifitas yang
dimiliki lansia di pagi sampai dengan sore hari menjadikan lansia merasa kelelahan dan dapat menghambat konsentrasi lansia dalam
belajar. Usia yang sudah berlanjut juga membuat lansia lebih lambat mengikuti pembelajaran yang ada.
2 Faktor sumber daya manusia Sumber daya manusia menjadi faktor pendorong dan juga dapat
menjadi faktor
penghambat. Ustadzustadzah
yang mengajar
mempunyai kesibukan masing-masing dengan pekerjaan yang dimiliki.
95
Jumlah pengajar yang terbatas dan kesibukan yang dimiliki menjadi hambatan
dalam pelaksanaan
pembelajaran. Saat
semua Ustadzustadzah mempunyai kesibukan di luar maka pembelajar
terpaksa di ganti pada keesokan harinya atau bahkan diliburkan. 3 Keterbatasan waktu
Baik para lansia maupun Ustadzustadzah masing-masing mempunyai kesibukan dipagi hari sampai sore hari. Waktu luang yang dimiliki
hanya malam hari, sedangkan di malam hari kondisi badan sudah lelah. Waktu yang digunakan dalam pemberdayaan ini adalah bada maghrib
sampai dengan isya’ dan ada yang setelah isya’. TPA dilaksanakan bada maghrib sampai dengan isya’ sedangkan lansia yang mengikuti
kegiatan ini sangat banyak, jadi pembelajaran belum bisa berjalan efektif dan efisien
96