E. Parafin Cair
Parafin cair yang juga disebut mineral oil merupakan minyak kental yang transparan, tidak berwarna dan tidak memiliki rasa. Memiliki titik didih 360
C dan larut dalam aseton, benzena, kloroform, karbon disulfida eter, petroleum eter,
serta praktis tidak larut dalam air. Penggunaan parafin cair pada emulsi topikal yaitu 1,0 - 32,0 . Viskositas parafin cair pada 20
C sebesar 110-230 mPa.s dan parafin cair inkompatibel dengan agen pegoksidasi yang kuat. Parafin cair biasanya
digunakan pada emulsi minyak dalam air MA Sheng, 2009.
F. Gliserol
Gambar 5. Struktur molekul gliserol Nunez and Medina, 2009.
Gliserol atau gliserin C
3
H
8
O
3
merupakan cairan higroskopis kental, tidak berwarna, tidak berbau, bening, dan inkompatibel dengan agen pengoksidasi kuat.
Gliserol berfungsi sebagai pengawet, humektan, kosolven, pelarut, pemanis, plasticizer dan agen tonisistas. Gliserol sebagai humekt
an digunakan ≤ 30. Gliserol memiliki titik didih sebesar 290
C, dan viskositas sebesar 110,0 mPa.s pada 20
C. Gliserol larut pada air metanol, etanol, sehingga praktis tidak larut pada minyak dan kloroform Nunez and Medina, 2009.
G. Bahan-Bahan dalam Formulasi
1. Asam stearat
Gambar 6. Struktur molekul asam stearat Allen, 2009
Asam stearat merupakan serbuk padat, berwarna putih atau kekuningan dan sedikit mengkilap. Asam stearat memiliki fungsi sebagai agen pengemulsi,
solubilizing agent, serta sebagai lubrikan tablet dan kapsul. Dalam formulasi sediaan topikal dapat berfungsi sebagai pengemulsi dan solubilizing agent. Asam
stearat memiliki nilai keasaman sebesar 195-212, asam stearat dinetralkan keasamannya dengan senyawa alkali atau trietanolamin TEA pada formulasi
sediaan topikal agar tidak mengiritasi kulit ketika diaplikasikan pada kulit serta agar membentuk konsistensi creamy. Asam stearat sangat larut dalam benzen, karbon
tetraklorida, kloroform dan eter. Larut dalam etanol 95, hexane dan propylene glycol. Tidak larut parsial dalam air, serta memiliki titik lebur 69-70
C. Asam stearat inkompatibel terhadap basa, agen pereduksi dan agen pengoksidasi.
Penggunaan asam stearat pada sediaan krim sebesar 1 hingga 20 Allen, 2009.
2. Setil Alkohol
Gambar 7. Struktur molekul setil alkohol Unvala, 2009
Setil alkohol digunakan dalam sediaan krim untuk meningkatkan stabilitas, meningkatkan tektur dan meningkatkan konsistensi sediaan. Setil
alkohol memiliki titik leleh 45-52 C. Setil akhohol mudah larut dalam alkohol
96 dan eter, larut sebagian dalam air dan tercampur ketika dilelehkan dengan lemak, parafin cair atau padat dan isopropil miristat Unvala, 2009.
3. Metil paraben
Gambar 8. Struktur molekul metil paraben Haley, 2009
Metil paraben merupakan suatu agen antibakteri atau pengawet yang banyak digunakan dalam sediaan kosmetik dan dalam berbagai macam bentuk
sediaan farmasi. Metil paraben memiliki bentuk kristal atau serbuk kristal. Metil paraben tidak berwarna serta tidak berbau. Metil paraben dapat menunjukkan
aktivitas antibakteri pada pH 4-8, akan tetapi lebih aktif mencegah jamur daripada bakteri Haley, 2009. Penggunaan metil paraben untuk sediaan topial
yaitu 0,02-0,3 Winarti, 2013.
4. Trietanolamin TEA
Gambar 9. Struktur molekul Trietanolamin Goskonda, 2009
TEA berbentuk cairan kental tidak berwarna hingga kuning pucat serta memiliki bau amonia yang ringan. Titik leleh dari TEA sebesar 20-21
C dan pH sebesar 10,5 dalam larutan 0,1 N. TEA memiliki titik didih sebesar 335
C dan viskositas sebesar 590 mPa.s pada 30
C. TEA bersifat higroskopis. TEA dapat bercampur dengan aseton, karbon tetraklorida, metanol dan air. TEA
inkompatibel terhadap tionil kloridan dan asam mineral Goskonda, 2009.
H. Desain Faktorial
Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk memberikan model hubungan antara varabel respon dengan satu atau lebih variabel
bebas, model yang diperoleh berupa persamaan matematika. Desain faktorial dua level berarti ada dua faktor A dan B yang masing-masing faktor diuji pada dua
tingkatan yang berbeda, yaitu level rendah dan tinggi Bolton and Bon, 2010. Pada desain faktorial dapat dilihat hubungan antara respon variabel dengan dua atau lebih
faktor untuk menentukan efek dari faktor yang diteliti beserta interaksinya yang berpengaruh signifikan Wijoyo, 2016.
Optimasi campuran dua bahan dua faktor dengan desain faktorial two level factorial design dilakukan berdasarkan rumus:
Y = b + b
1
X
a
+ b
2
X
b
+ b
12
X
a
X
b
...........................................................1 Keterangan:
Y = respon hasil atau sifat yang diamati.
A, B = level bagian A, level bagian B.
b , b
1
, b
2
, b
12
= koefisien yang dapat dihitung dari percobaan. Pada desain faktorial dua level dan dua faktor diperlukan empat percobaan
2
n
= 4 dengan 2 menunjukkan level dan n menunjukkan jumlah faktor yaitu 1 A dan B masing-masing pada level rendah, a A pada level tinggi dan B pada level
rendah, b A pada level rendah dan B pada level tinggi, ab A dan B masing- masing pada level tinggi. Dari rumus dan data yang diperoleh dapat dibuat
contourplot dan superimposed contourplot suatu respon tertentu yang sangat berguna dalam memilih kondisi yang optimum pada level faktor yang diteliti
Bolton and Bond, 2010.
Tabel II. Rancangan Penelitian Desain Faktorial dengan Dua Faktor dan Level Bolton and Bon, 2010
Formula Faktor A
Faktor B Interaksi
I -
- +
a +
- -
b -
+ -
ab +
+ +
Keterangan: -
= level rendah +
= level tinggi Formula I
= faktor A level rendah, faktor B level rendah Formula a
= faktor A level tinggi, faktor B level rendah Formula b
= faktor A level rendah, faktor B level tinggi Formula ab
= faktor A level tinggi, faktor B level tinggi Desain faktorial memiliki kelebihan yaitu memiliki efisiensi maksimal
dalam memperkirakan pengaruh dominan dalam memberikan respon, memungkinkan untuk mengidentifikasi pengaruh tiap-tiap faktor yang diteliti
maupun pengaruh antar faktor yang diteliti, dapat mengurangi jumlah penelitian apabila dibandingkan dengan penelitian dua pengaruh faktor yang dilakukan secara
terpisah, serta seluruh efek dan interaksi yang dihasilkan tidak tergantung pada efek dari faktor-faktor lain dalam penelitian Bolton and Bon, 2010.
Istilah-istilah desain faktorial yaitu: 1. Faktor yaitu variabel yang telah ditetapkan pada suatu penelitian yang dapat
bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Faktor ini harus dapat dinyatakan dalam suatu harga atau nilai.
2. Level yaitu harga yang ditetapkan untuk faktor. 3. Respon yaitu hasil terukur yang didapat dari suatu penelitian dan harus dapat
dikuantifikasi. 4. Interaksi yaitu akibat dari penambahan efek-efek faktor yang dapat bersifat
antagonis atau sinergis. Antagonis berarti memiliki efek yang memperkecil efek faktor sedangkan sinergis berarti memiliki efek memperbesar efek faktor
Kurniawan dan Sulaiman, 2009.
I. Pengujian Efek Antioksidan dengan Metode DPPH
Ada beberapa metode umum yang sering digunakan untuk pengujian kapasitas antioksidan yaitu metal reducing power atau ferric reducing antioxidant
power FRAP, organic radical scavenging 2,2-Azino-bis3-ethylbenz-thiazoline- 6-sulfonic acid ABTS, trolox equivalent antioxidant capacity TEAC, DPPH
2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl dan peroxy radical scavenging oxygen radical absorbance capacity ORAC Marinova and Batchvarov, 2011. Salah satu
metode yang banyak digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan adalah metode DPPH 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil. Menurut Molyneux 2004, DPPH
merupakan senyawa radikal bebas yang stabil. Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan
pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH sehingga warna ungu dari radikal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjadi memudar warna kuning. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Semakin pudar
warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula Dewi, 2014. Elektron ganjil pada radikal
bebas DPPH memberikan absorbansi maksimum yang kuat pada panjang gelombang 517 nm dan memberikan warna ungu. Metode ini tergolong cepat,
sederhana, tidak mahal dan banyak digunakan untuk mengukur kemampuan komponen sebagai pemerangkap radikal bebas serta dapat mengevaluasi aktivitas
antioksidan dari makanan Prakash, Rigelhof and Miller 2001. Kelebihan dari metode ini adalah DPPH akan beraksi dengan sampel
secara keseluruhan dalam waktu tertentu dan DPPH dapat bereaksi secara perlahan meskipun dengan antioksidan yang lemah Prakash, et al., 2001. Mekanisme
penghambatan radikal DPPH dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Mekanisme Penghambatan Radikal Bebas DPPH Miryanti,
2011
Beberapa komponen senyawa yang aktif bereaksi dengan DPPH yaitu glutation, amina aromatik p-fenilen diamin dan p-
aminofenol dan α-tokoferol Vitamin E -stokiometri 2:1 serta komponen aromatik polyhidroksil hidrokuinon
dan pirogalol. Komponen lain seperti fenol monohidrat tyrosin, gula sederhana glukosa, purin dan primidin tidak bereaksi, sedangkan protein akan terpresipitasi.
Pendekatan sederhana untuk intepretasi data adalah membandingkan absorbansi dengan konsentrasi substrat. Metode alternatif lain yang sering digunakan adalah
persentase reduksi DPPH Q yang dikenal dengan “inhibition” atau “quenching” yang dihitung dengan rumus :
Q = 100 A – A
c
A
0 ..................................................................................................................................
2 Lambang A
adalah absorbansi awal dan A
c
adalah nilai absorbansi terhadap penambahan sampel dengan konsentrasi c Molyneux, 2004.
J. Landasan Teori