Penelitian oleh Atmojo 2009: 5 menjelaskan bahwa model tugas terstruktur resitasi dapat meningkatkan aktivitas berpikir kritis siswa yang dapat
dilihat dari kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal dengan langkah-langkah yang ditentukan. Penelitian oleh Utami 2012: 10 memberikan kesimpulan bahwa
penerapan metode resitasi dengan penemuan terbimbing dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada materi aritmatika sosial. Hal ini dibuktikan
melalui peningkatan ketuntasan hasil belajar. Riyanti 2013: 107 juga menyatakan hal yang serupa, yaitu 1 metode resitasi berbasis inkuiri terbimbing
efektif terhadap kemandirian belajar siswa dan hasil belajar siswa; 2 Siswa kelas VII memberikan tanggapan baik terhadap penggunaan metode resitasi berbasis
inquiri terbimbing dengan presentase rata-rata tanggapan sebesar 77,08 kategori tanggapan baik.
Berdasarkan referensi penelitian yang sudah dilakukan di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian tentang keefektifan model discovery learning
berbantuan resitasi terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII. Penelitian ini bermaksud untuk membantu mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa selama mengikuti pembelajaran matematika.
2.3 Kerangka Berpikir
Pembelajaran matematika di sekolah diselenggarakan dengan beberapa tujuan, salah satunya adalah agar siswa mempunyai kemampuan berpikir krtitis
terutama yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan Depdiknas 2006: 361, yang menyatakan bahwa pengembangan kemampuan
berpikir kritis menjadi fokus pembelajaran dan menjadi salah satu standar kelulusan siswa SMP dan SMA. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
pengambilan sampel nilai ulangan harian siswa dan wawancara dengan guru pengampu mata pelajaran matematika di SMP N 1 Jati Kudus menunjukkan
bahwa aspek berpikir kritits siswa merupakan salah satu kemampuan matematika yang masih belum dikuasi siswa secara optimal. Hal ini terbukti dari kemampuan
berpikir kritis siswa yang masih di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal KKM yang ditentukan sekolah yakni 75.
Menurut Johnson 2006: 185, tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Agar siswa dapat memperoleh
pemahaman yang optimal, Brunner sebagaimana dikutip oleh Basleman Mappa 1994: 72 menyarankan bahwa siswa harus mengkonstruk pengetahuan selama
proses pembelajaran. Artinya, agar tujuan dari kemampuan berpikir kritis siswa sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan pemahaman konsep yang baik dengan
mengkonstruk pengetahuan yang dimiliki siswa. Beberapa alasan yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa diantaranya adalah materi
pelajaran cenderung dirasa siswa bersifat abstrak sehingga siswa kesulitan untuk mengkonstruk pengetahuannya, dan penerapan model pembelajaran yang belum
tepat. Menurut Suherman et al., 2003: 62, dalam pembelajaran matematika di sekolah, guru hendaknya memilih metode dan teknik yang banyak melibatkan
siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial. Prinsip belajar aktif inilah yang diharapkan dapat menumbuhkan sasaran pembelajaran
metematika yang kritits. Pemilihan model pembelajaran sangat penting selama
proses pembelajaran dan memberikan implikasi pada keberlanjutan penerimaan materi dan kemampuan siswa. Dari hasil wawancara juga didapat bahwa respon
siswa cenderung pasif dan kemandirian siswa dalam pembelajaran matematika juga masih rendah. Sehingga guru masih menerapkan model ekspositori maupun
ceramah. Akibatnya, siswa tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan mereka dalam berpikir kritis.
Berpikir kritis merupakan proses berpikir yang terarah dan jelas untuk memecahkan masalah, menganalisis asumsi hingga melaksanakan penelitian
untuk menarik suatu kesimpulan. Salah satu model pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk berpikir kritis adalah model discovery
learning. Model pembelajaran ini sangat diperlukan untuk membangun dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Menurut Johnson 2006: 201,
ada delapan langkah indikator yang harus dikuasai siswa agar dapat berpikir kritis dengan baik. Salah satu unsur yang sangat penting dan merupakan bagian
dari berpikir kritis adalah memecahkan masalah untuk menarik kesimpulan sesuai dengan bukti yang ditemukan. Untuk dapat memecahkan suatu permasalahan
yang diajukan oleh guru, siswa dituntut untuk berpikir yang nalar dan dengan proses yang sistematis. Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu
mengarahkan siswa untuk dapat berpikir secara nalar dan sistematis adalah model discovery learning. Langkah-langkah pembelajaran sintaks dalam model
discovery learning dapat membantu siswa untuk memecahkan masalah dan menemukan suatu pengetahuan baru berdasarkan bukti-bukti yang nyata. Sintaks
dalam model discovery learning yang diawali dengan guru memberikan stimulasi,
kemudian meminta siswa untuk mengidentifikasi masalah, pengumpulkan data, mengolah data, membuktikan, hingga menarik kesimpulan merupakan urutan
langkah yang sistematis. Keenam langkah dalam discovery learning ini dapat menjadi unsur penunjang, membantu, dan melatih siswa untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis. Model discovery learning sesuai dengan teori Bruner yang mengajarkan
anak agar mempunyai kemampuan dalam hal menguasai konsep, teorema, definisi dan semacamnya, maka anak harus dilatih untuk melakukan penyusunan
representasinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Piaget yang mengatakan bahwa siswa akan membentuk pengetahuannya sendiri sesuai dengan pengalaman.
Pembelajaran discovery learning juga didukung dengan teori Vygotsky, dimana siswa diarahkan untuk bekerja secara berkelompok dan dihadapkan
dengan suatu permasalahan untuk menemukan suatu konsep. Model discovery learning akan lebih maksimal diterapkan di pembelajaran dengan menggunakan
metode resitasi penugasan. Hal ini didasari oleh teori belajar Ausubel, yang menyatakan bahwa belajar dikatakan menjadi bermakna meaningful bila
informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa itu sehingga siswa itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan
struktur kognitif yang dimilikinya. Resitasi penugasan digunakan untuk merekap semua kegiatan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya untuk memecahkan masalah, dan dapat berinteraksi secara langsung di lapangan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih bermakna serta membantu
mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Beberapa hasil
penelitian menunjukkan
bahwa pembelajaran
menggunakan model discovery learning dan pembelajaran menggunakan metode resitasi merupakan pembelajaran yang efektif. Penelitian yang terdahulu oleh
Pratiwi 2014: 16 mengatakan bahwa keterampilan berpikir kritis yang diajarkan menggunakan model discovery learning lebih baik dari pada pembelajaran biasa.
Hal ini didukung pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu 2014: 47, mengungkapkan hasil belajar siswa dapat ditingkatkan melalui penerapan model
pembelajaran discovery learning, yang dapat dilihat dari naiknya nilai rata- rata kelas. Selain itu, hal serupa yang dilakukan oleh Atmojo 2009: 5 menjelaskan
bahwa tugas terstruktur resitasi dapat meningkatkan aktivitas berpikir kritis siswa yang dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal dengan
langkah-langkah yang ditentukan. Melalui metode resitasi, Utami 2012: 10 mengatakan bahwa metode resitasi dengan penemuan terbimbing dapat
meningkatkan ketuntasan hasil belajar. Hal ini diperkuat dengan penelitian oleh Riyanti 2013: 107 juga menyatakan hal yang serupa, yaitu metode resitasi
berbasis inkuiri terbimbing efektif terhadap kemandirian belajar siswa dan hasil belajar siswa.
Dengan demikian, model discovery learning sangat relevan dengan metode resitasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Oleh
karena itu berdasarkan permasalahan, fakta dan teori diatas, dapat ditarik hipotesis yang berbunyi kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan model
discovery learning berbantuan resitasi dapat mencapai KKM dan kemampuan berpikir kritis siswa menggunakan model discovery learning berbantuan resitasi
lebih baik daripada kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan model ekspositori.
Kerangka berpikir yang telah diuraikan tersebut dapat dirangkum dalam Gambar 2.1 sebagai berikut.
2.4 Hipotesis