52
memiliki pola yang sama. Gejala kejahatan terjadi dalam proses interaksi antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan kelompok masyarkat mana yang memang melakukan kejahatan. Kejahatan tindak
pidana tidak semata-mata dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang ditimbulkan atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan pribadi kelompoknya, sehingga perbuatan- perbuatan tersebut merugikan kepentingan masyarakat luas, baik kerugian
materi maupun kerugianbahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia, walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana.
2
Maka dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang melakukan kejahatan dan melanggar hukum yang telah dicantumkan di KUHP berarti perbuatan yang
dilakukan seseorang tersebut adalah perbuatan kriminal dan seseorang tersebut akan dijatuhkan pidanahukuman atau akan mendapatkan sanksi.
B. Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Tempat Membina Pelaku Tindak KriminalKejahatan
Dalam buku Herbert L. Packer yang berjudul The Limits of The Criminal Sanction yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief membicarakan masalah saksi
pidana dalam penanggulangan kejahatan, menyebutkan bahwa :
3
a. Sanksi pidana sangat diperlukan, tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang.
2
Abdussalam, Krimonologi Jakarta : Restu Agung , 2007, h. 15.
3
Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Samksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Semarang: Universitas Diponogoro, 1998, h. 23.
53
b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang sudah ada, yang dimiliki untuk menghadapi bahaya-bahaya bersar yang bersifat segera.
Maka dari penjelasan di atas penulis memberi kesimpulan bahwa suatu ketika sanksi pidana merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu
ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Ia merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat dan secara
manusiawi. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.
Kemudian menurut Muladi, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini
terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan, yaitu :
4
a. Pencegahan umum dan khusus b. Perlindungan masyarakat
c. Memelihara solidaritas masyarakat d. Pengimbalanperimbangan
Dengan demikian penjatuhan pidana berpengaruh langsung terhadap seseorang yang dikenai pidana. Pemidanaan bertujuan agar terpidana tidak lagi
melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan melanggar hukum, baik oleh individu maupun
kelompok. Seperti yang telah penulis paparkan di Bab II, sistem pemasyarakatan
sebelumnya adalah sistem kepenjaraan yang menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan. Sehubung dengan itu, pemberian sanksi pidana dengan
4
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat Bandung: Alumni, 1985, h. 61.
54
membina narapidana pada sistem kepenjaraan mengalami perubahan yang cukup berarti khususnya tentang metode perlakuan terhadap narapidana itu sendiri.
“Pemikiran mengenai fungsi ideologi Pancasila tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi
sosial Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di
Indonesia yang dinamakan sistem pemasyarakatan. Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Sahardjo Mantan Menteri
Kehakiman pada 05 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitasi Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau
dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang
dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah pemasyarakatan dibekukan sebagai pembinaan terhadap pelanggar hukum dan sebagai suatu
pengejawatahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegritasi sosial ataupun pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan
penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan semakin
mantap dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan”
5
Pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan diatur secara khusus dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1945. Jika dilihat pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan mengatur tentang pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di BAPAS. Selanjutnya dipertegas dengan pasal 7 ayat
1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri
dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.
5
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Penjelasan Atas UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.