Kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Kabupaten Bintan dan alternatif pengelolaannya

(1)

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DI PERAIRAN KABUPATEN BINTAN DAN

ALTERNATIF PENGELOLAANNYA

FEBRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaanya adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2009

Febrizal NRP. C252070244


(3)

FEBRIZAL. Coral Reef Ecosystem Conditions in Bintan District Waters and Its Alternative Management. Under the direction of ARIO DAMAR and NEVIATY P. ZAMANI.

Coral reef ecosystem damage caused by natural and human activites. Any small change can provide a dramatic change in the condition of the dynamics and structure of coral reef ecosystems. With the lack of information and the condition of water quality conditions of living coral cover in the of Bintan coastal waters area, for it was a basic study and includes aspects of the importance of ecosystem management. The purpose of this study are: To determine the condition of coral reef ecosystems; and cause of the damage coral reefs ecosystem; also Finding an alternative management of coral reef ecosystems by developing lesson learn from existing reefs.The methods used were the square transect for determining of coral reefs and macroalgae cover. whereas for determination of fish community structur using modification of Line Intercept Transect and Underwater Fish Visual Cencus (UVC). The analysis used was standar ecologycal analysis, correlation with Principle Component Analysis and Corelation. The result showed that coral reef ecosystem in most location are still in good condition. The correlation analysis obtained the increase in the percentage of dead coral cover will increase the percentage cover of macroalgae, while the relationship herbivorous fish and algae cover inversel. The conclusion that all the activities that may damage the reefs will affect the coral ecosystem conditions that will cause the growth of macroalgae has dead coral cover. Herbivore is a control on the growth and help maintain reef communities in competition with macroalgae.


(4)

FEBRIZAL. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya. Di bawah bimbingan Ario Damar dan Neviaty P. Zamani.

Ekosistem terumbu karang menyediakan berbagai sumber kebutuhan hidup untuk masyarakat pesisir seperti hasil perikanan, budidaya dan pariwisata. Hampir 60 persen masyarakat Kabupaten Bintan berkonsentrasi di sepanjang pesisir untuk mencari penghidupan sepanjang tahunnya sehingga memberi tekanan pada sumberdaya pesisir dan laut melalui rentangan berbagai pengaruh. Kelebihan tangkap, kerusakan habitat dan peningkatan sedimen memberikan antropogenik yang sangat luas di Bintan sebagaimana informasi yang di peroleh dari CRITC Coremap II-LIPI.

Tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui kondisi dan penyebab kerusakan di ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan dan mencari alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan pengembangan lesson learn dari existing terumbu karang.

Penelitian ini dilakukan di perairan Kabupaten Bintan di dua wilayah yaitu wilayah Kecamatan Gunung Kijang (pantai Trikora) dan Pulau Mapur Provinsi Kepulauan Riau, pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009. Persentase penutupan karang beserta penyusun substrat dasar lainnya diperoleh berdasarkan metode transek kuadrat . Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual bawah air (Under Visual Census). Data kualitas air yang meliputi kond isi fisika, dan kimia perairan.dengan metode analisis kualitas air yang mangacu pada APHA (1989). Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan variabel tutupan karang hidup, tutupan karang mati kelimpahan ikan herbivora dan makroalga adalah dengan analisis Korelasi Spearman dengan menggunakan

software Microsoft Excel 2003, sedangakan untuk melihat pola pengelompokan variabel penyususn substrat dasar, ikan karang dan lingkungan, digunakan Analisia Komponen Utama (PCA) dengan menggunakan ExcelStat 2009.

Hasil yang di peroleh adalah tutupan karang hidup antara 34,69 % - (99,84 %). Kerusakan terumbu karang terjadi disebabkan oleh adanya aktifitas manusia baik diwilayah perairan ataupun didaratan. Baik oleh kegiatan penangkapan maupun sedimentasi dari daratan. Total kelimpahan ikan sebanyak 6.789 individu ikan dari keseluruhan stasiun pengamatan selama penelitian. Dan terindentifikasi sebanyak 57 spesies dengan 14 family ikan. Jumlah ikan herbivora yang ditemui selama pengamatan adalah 199 ind ividu dari keseluruhan stasiun pengamatan dengan jumlah spesies 6 jenis dari famili pomacentridae, scaridae dan siganidae. Rendahnya tingkat kelimpahan ikan herbivora disebabkan oleh penangkapan ikan lebih dari masyarakat nelayan pada musim angin kencang di wilayah ini., terutama kan herbivora berukuran besar. Kelompok makroalga merupakan kelompok tutupan yang tertinggi terutama distasiun 1( 16,65%), diukuti dengan stasiun 4 (15,78%) serta stasiun 5 dan 8(10,99% dan 10,69) dibandingkan dengan turf algae ditemukan hanya pada stasiun 4 dan 5 ( 1,24% dan 1,66%) sedangkan coralin coralin algae ditemukan pada stasiun 2, 4 dan 5 (2,38%, 3,82% dan 0,39%). Tingginya tutupan alga di beberapa stasiun penelitian


(5)

tempat pertumbuhannya. Sehingga adanya hubungan positif antara peningkatan tutupan karang mati dengan tutupan makro alga.

Kesimpulannya adalah kondisi terumbu karang di periaran Kabupaten Bintan secara umum termasuk dalam kondisi ‘sedang’ hingga ‘baik serkali’.sedangkan di wilayah II di lokasi P. Mapur berada dalam kondisi ‘sedang’ hingga ‘ baik sekali’ dengan kisaran diantar dua lokasi yaitu 34,69% hingga 99,84%.Kelimpahan ikan herbivora dan tutupan karang hidup berpengaruh negatif terhadap tutupan makroalgae. Secara umum kondisi perairan Kabupaten Bintan masih mendukung bagi pertumbuhan ekosistem terumbu karang. Alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap kondisi ekosistem terumbu karang diperairan Kabupaten Bintan adalah (1) mempertahankan kondisi terumbu karang dari kegiatan penangkapan yg bersifat destruktif ; (2) Menangani Ikan herbivora secara khusus dan mendapat prioritas perlindungan di dalam pengelolaan terumbu karang. (3) Penegakan hukum dan pengawasan yang optimal dapat dilakukan dengan membuat aturan perundang-undangan daerah yang belum ditetapkan di daerah sebagai bentuk aksi perlindungan terhadap pemanfaatan terumbu karang sebagai sumberdaya laut tidak hanya dipandang sebagai nilai ekonomis tapi juga bernilai ekologis, (4) Implementasi pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan.


(6)

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DI PERAIRAN KABUPATEN BINTAN DAN

ALTERNATIF PENGELOLAANYA

FEBRIZAL

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

Nomor Pokok : C252070244

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Ario Damar, M.Si Ketua

Dr.Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(8)

 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang- undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun tesis dengan judul

Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasihyang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas semua waktu, tenaga, sertas masukan dan saran selama penyusunan tesis ini.

2. Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Kepulauan Riau yang telah memberikan Bantuan dana kepada penulis.

3. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan serta Instansi Terkait yang telah banyak membantu dalam penyediaan informasi dan data dalam penelitian ini.

4. Keluarga tercinta (Ayahanda A. Rachman. T, Ibunda Nurma sari, Saudara-saudara tercinta) yang senantiasa memberikan doa dan restu selama penulis menempuh pendidikan.

5. Rekan-rekan kuliah Program Studi SPL-Sandwich coremap II-ADB yang telah memberikan inspirasi dan menjadi teman diskusi.

Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulus mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga hasil dari penelitian dan tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pengelolaan terumbu karang di masa yang akan datang.

Bogor, Oktober 2009 Febrizal


(10)

Penulis dilahirkan di Selat Panjang pada tanggal 3 Febuari 1971 sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Penulis mengawali pendidikan dasar di SD Negeri 002 Buluh Kasap (1977 – 1983). Penulis melanjutkan pendidikan di SMP YPLK Dumai pada tahun 1983 – 1986, dan pada tahun 1986 – 1989 dilanjutkan di SMA Negeri 2 Dumai Selanjutnya penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Riau melalui jalur PMDK pada tahun 1989, dan lulus pada tahun 1995).

Selama di Universitas Riau , penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI). Untuk menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Kelautan FAPERIK – UNRI, penulis melakukan penelitian dengan judul “ Kandungan Logam Berat (Pb,Cd, dan Zn di dalam tubuh Lokan (Geloena Coaxans) di Perairan Sungai Pakning Kabupaten Bengkalis” Penulis dinyatakan lulus dan memperoleh gelar sarjana pada bulan Desember 1995.

Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya ”.


(11)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. 1.4. Tujuan Penelitian... Manfaat Penelitian... 4 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 7 2.1. Batasan Wilayah Pesisir... 7

2.2. Ekologi Terumbu Karang... 9

2.3. Faktor-faktor Pembatas... 11

2.4. Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang... 15

2.5. Ikan Karang... 17

2.5.1. Hubung Ikan Karangan dengan Keanekaragaman Habitat... 18

2.5.2. Trophic Ekologi Ikan Karang... 20

2.6. Peran Herbivori Dalam ekosistem terumbu Karang... 23

2.7. Makroalga... 23

3. METODOLOGI PENELITIAN 26

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 26

3.2. Ruang Lingkup Penelitian... 26

3.3. Peralatan yang di gunakan... 26

3.4. Penentuan Stasiun Penelitian... 27

3.5. Metode Pengumpulan Data... 29

3.5.1. Pengamatan Terumbu Karang dan Makro Alga... 29

3.5.2. Pengamatan Ikan Karang... 30

3.5.3. Pengukuran Variabel Kualitas Air ... 32

3.6. Studi Pustaka... 32

3.7. Analisa Data ... 32

3.7.1. Persentase Penutupan Karang dan Makro Algae 32 3.7.2. Ikan Karang... 32

3.7.2.1. Kelimpahan Ikan Karang... 33

3.7.3. Variabel Kualitas Air... 34

3.8 Analisis Hubungan... 38

3.8.1. Hubungan antara Lingkungan dan Penutupan Subrat Dasar serta ikan karang... 38


(12)

xi

Halaman

4. HASIL 40

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 40

4.1.1. Kecamatan gunung Kijang (Pantai Trikora)... 40

4.1.2. Pulau Mapur... 43

4.2. Kondisi terumbu Karang... 45

4.3 Hubungan Parameter Lingkungan dengan Penutupan Substrat Dasar... 51

4.4 Kelimpahan Ikan... 54

4.4.1. Kelimpahan Ikan Herbivora... 57

4.5. Hubungan Parameter Lingkungan dengan Ikan Karang... 58

4.6. Kondisi Alga... 61

4.7. Kondisi Lingkungan... 62

4.7.1. Suhu... 62

4.7.2. Kecerahan... 62

4.7.3. Kedalaman... 63

4.7.4. Kecepatan Arus... 63

4.7.5. TSS (Total Suspended Solid)... 64

4.7.6. Salinitas... 65

4.7.7. Ortophosfat (PO4-P)... 65

4.7.8. Nitrat (NO3- N)... 66

4.7.9. Nitrit (NO2)... 67

4.7.10. Amonia (NH3)... 67

4.7.11. DO (Disolved Oxygen)... 67

4.8 Korelasi... 67

4.8.1. Hubungan antara kelimpahan ikan Herbivora dan persentase tutupan alga... 67

4.8.2 Hubungan antara pesentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan Ikan Karang (individu/transek)... 68

4.8.3. Hubungan antara persentase tutupan karang mati dengan persentase kelimpahan alga... 68

4.8.4 Hubungan persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan alga... 68

5. PEMBAHASAN 69 5.1. Kondisi Penutupan Substrat Dasar Ekosistem Terumbu Karang... 69

5.2. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Kabupaten Bintan... 70

5.3. Tutupan Karang Hidup, Kelimpahan Alga, Ikan herbivora dan Lingkungan... 73

5.4. Pembelajaran dari Existing Ekosistem Terumbu Karang... 77

5.5. Alternatif Pengelolaan Ekosistem terumbu Karang... 79

6. SIMPULAN DAN SARAN 83 6.1 Simpulan... 83


(13)

xii

Halaman

DAFTAR PUSTAKA 85


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Parameter dan cara analisis kualitas air dalam penelitian... 27 2. Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu

karang berdasarkan life form karang dan kodenya... 30 3. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan

persentase penutupan karang (Gomez dan Yap, 1988)... 33 4. Konsentrasi larutan Standar Nitrat-nitrogen... 36 5. Persentase tutupan karang keras, karang mati, alga, biota lain dan

abiotik penyusun struktur bentik... 47 6. Nama- nama stasiun penelitian berdasarkan pembagian kawasan... 47 7. Distribusi persentase tutupan karang keras di lokasi penelitian... 48 8. Daftar family dan spesies ikan karang yg ditemukan dengan metode

visual sensus bawah air di seluruh stasiun...

55

9. Daftar family dan spesies ikan herbivora yang ditemukan dengan metoda visual sensus diseluruh stasiun...

57

10. Kelimpahan spesies ikan herbivora individu per transek disetiap stasiun. 57 11. Persentase tutupan alga di tiap-tiap stasiun... 61


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Faktor-faktor yang membatasi pertumbuhan terumbu karang

(Nybakken, 1988)... 13

2. Ikan- ikan karang yang berasosiasi dengan koloni karang bercabang (Nybakken,1988)... 19

3. Peta lokasi penelitian... 28

4. Metode pengamatan terumbu karang dengan transek kuadrat ... 29

5. Pencatatan data kelimpahan dan bio massa sensus visual bawah air spesies ikan karang (Labrosse, 2002)... 31

6. Persentase penutupan kelompok bentik: karang hidup, karang mati, alga, biota lain, abiotik... 46

7. Persentase tutupan karang hidup berdasarkan genus... 50

8. Persentase tutupan karang hidup dari kategori Acropora: Acropora brancing (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Submasive (ACS), Acropora Tabulate (ACT)... 50

9. Persentase tutupan karang hidup dari kategori Non-Acropora: Coral Brancing (CB), Coral Encruisting (ACD), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Sub-massive (CS), Coral Mushroom (CMR), Coral Meliopora (CME), Coral Heliopora (CHL)... 51

10 a. Biplot korelasi antara variabel.di seluruh stasiun... 53

10 b. Biplot observasi data variabel diseluruh stasiun ... 53

11. Kelimpahan jenis ikan karang per stasiun... 56

12. Kelimpahan family ikan karang per stasiun... 56


(16)

xv

Halaman

14 Kelimpahan family ikan herbivoara per stasiun... 58

15. Biplot korelasi antara data variabel di seluruh stasiun... 60

16. Kondisi persentase tutupan Alga di tiap-tiap stasiun penelitian... 61

17. Nilai rata-rata suhu di tiap-tiap stasiun pengamatan... 62

18. Nilai rata-rata kecerahan (m) di tiap-tiap stasiun pengamatan... 63

19. Nilai rata-rata kedalaman (m) di tiap-tiap stasiun pengamatan... 63

20. Nilai rata-rata kecepatan arus (cm) di tiap-tiap stasiun pengamatan... 64

21. Kondisi TSS (Total Suspended Solid) di tiap-tiap stasiun pengamatan... 64

22. Kondisi Salinitas (‰) di tiap-tiap stasiun pengamatan... 65

23. Kondisi Orthophosphate (PO4-P) di tiap-tiap stasiun pengamatan... 66

24. Kondisi Nitrat (NO3-N) di tiap-tiap stasiun pengamatan... 66


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Persentase penutupan karang hidup dan biota penyusun substrat dasar

lainnya (%) pada lokasi penelitian yang berbeda... 91

2. Bentuk pertumbuhan karang batu (English et al. 1997)... 92

3. Kelimpahan jenis ikan karang tiap-tiap stasiun... 95

4. Total kelimpahan jenis ikan herbivora tiap stasiun... 100

5. Kondisi kualitas perairan tiap stasiun penelitian... 101

6. Korelasi antara kondisi tutupan substrat dasar yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian 102 7. Sumarry statistik analisis PCA... 103

8. Korelasi antara kondisi family ikan karang yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian... 108 9. Nilai akar ciri variabel kondisi perairan dan family ikan karang... 109

10 Hasil perhitungan Analisis korelasi antara variabel Tutupan karang kelimpahan ikan herbivora dan tutupan alga... 110


(18)

1. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi organisme pendukung yang ada di ekosistem tersebut. Ekosistem terumbu karang menjadi demikian penting karena ekosistem tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi sehingga dapat memberikan cadangan sumberdaya untuk beberapa dekade (Knowlton 2001).

Kerusakan Sumberdaya laut, khususnya terumbu karang disebabkan oleh banyak faktor yang dapat dikelompokan ke dalam dua bagian yaitu: faktor alamiah dan antropogenik. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam antara lain terjadinya bencana alam seperti gempa dan tsunami. Sedangkan kerusakan yang berkaitan dengan perilaku manusia, umumnya dipicu oleh berbagai faktor seperti kemiskinan dan kurangnya sosialisasi tentang pentingnya pelestarian terumbu karang (Zaelani dalam Nagib et al. 2006).

Menurut Dahuri et al. (1996) faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di Indonesia antara lain disebabkab oleh ; (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, pembangunan jalan dan hiasan ( ornamen), (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan alat tangkap yang operasinya menyebabkan rusaknya terumbu karang, seperti muroami, (3) pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian, rumah-tangga baik berasal dari kegiatan di darat ( land base activities), maupun kegiatan di laut (marine base activities), (4) pengendapan (sedimentasi) dan peningkatan kekeruhan air akibat erosi tanah di daratan, kegiatan penggalian di pantai dan penambangan disekitar terumbu karang, dan (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang. Sedimentasi yang terjadi di perairan terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang.


(19)

Aktifitas daratan di Kabupaten Bintan seperti penambangan pasir dan batu granit yang telah beroperasi diwilayah ini sejak berpuluh tahun meskipun sebagian besar perusahaan telah tidak diberi izin lagi untuk pengoperasiannya, menghasilkan dampak terhadap ekosistem pesisir Kabupaten Bintan dengan tingginya tingkat sedimentasi di sekitar wilayah perairan Kabupaten Bintan. Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung sedimen yang terdeposit akan menutupi permukaan polip karang sehingga akan meningkatkan kebutuhan energi metabolik untuk menghilangkannya kembali. Secara tidak langsung sedimen yang tersuspensi dapat menghalangi masuknya penetrasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis alga simbion karang zooxanthellae. Apabila jumlah sedimen cukup tinggi dan melebihi batas kemampuan polip karang untuk beradaptasi, maka akan terjadi kematian dan penurunan penutupan terumbu karang pada daerah tersebut. Di sisi lain apabila sedimen mengandung sejumlah besar bahan organik akan terjadi invasi oleh alga. Menurut Tomascik (1991), beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan pengerukan, pertambangan, dan pembangunan konstruksi.

Sebagai salah satu ekosistem pantai, terumbu karang memiliki peranan penting dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat pesisir. Disadari maupun tidak, sebagian besar masyarakat pesisir menggantungkan perekonomian mereka pada sektor perikanan. Ekosistem terumbu karang hadir dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, baik keanekaragaman jenis biota karang sebagai penyusun utama ekosistem tersebut maupun keanekaragaman biota laut lainnya. Berbagai macam jenis ikan, Moluska, Krustasea, serta Ekhinodermata yang memiliki nilai ekonomis tinggi hidup berasosiasi dalam ekosistem tersebut. Biota laut ekonomis merupakan target utama penangkapan nelayan yang telah menghidupi mereka secara turun temurun.

Hampir 60 persen masyarakat Bintan berkonsentrasi di sepanjang pesisir untuk mencari penghidupan sepanjang tahunnya sehingga memberi tekanan pada sumberdaya pesisir dan laut melalui rentangan berbagai pengaruh. Limbah rumah tangga, kelebihan tangkap, kerusakan habitat dan peningkatan sedimen


(20)

memberikan antropogenik yang sangat luas di Bintan sebagaimana informasi yang di peroleh dari CRITC Coremap II-LIPI. Terumbu karang sangat membutuhkan kondisi yang seimbang terutama dari toleransi fisika perairan seperti suhu, salinitas, serta sedimen. Perubahan sekecil apapun dapat memberikan perubahan yang dramatikal pada kondisi dinamika dan struktur ekosistem di terumbu karang.

Ekosistem merupakan konsep terpenting dalam studi ekologi dimana ekosistem merupakan interaksi semua bagian dari faktor fisik, biologi dan lingkungan manusia yang tidak terbatas areanya dan waktu. Mulai dari kolam sampai dengan seluruh biosphere bumi (Whitten et al. 1996). Tansley (1935) dalam Mackenzie (2001) menyebutkan bahwa ekosistem di dalamya termasuk fauna, flora dan interaksi fisik di ruang tersebut. Para ekologi modern cenderng berpikir bahwa ekosistem merupakan terminologi aliran energi, aliran carbon dan siklus nutrien (Mackenzie 2001).

Keanekaragaman ekosistem dapat dikenali melalui pengamatan terhadap lingkungan fisik, dimana lingkungan fisik yang berbeda melahirkan komunitas kehidupan yang berbeda. Sifat fisik, seperti suhu, kejernihan air, pola arus dan kedalaman air mempengaruhi komunitas yang hidup didalamnya (Dahuri 2003).

Ekosistem terumbu karang yang sangat sensitif terhadap pengaruh kegiatan manusia, pada umumnya sudah mengalami tekanan seperti eutrofikasi (penyuburan), pengembangan pesisir, sedimentasi dan penangkapan berlebih sehingga kondisi terumbu karang banyak mengalami penurunan (Lesser 2003). Akibat dari tekanan tersebut dapat mengakibatkan pergantian fase komunitas dimana makroalgae yang memiliki pertumbuhan lebih cepat daripada terumbu karang sendiri (Mc Manus et al. 2000, Jompa & Mc Cook 2002, Lardizabal 2007, Bachtiar 2008).

Ikan karang merupakan biota yang sangat erat hubungannya dengan terumbu karang, oleh karena itu kelimpahan ikan karang sangat tergantung dengan kondisi terumbu karang. Jika terumbu karang mengalami penurunan maka kelimpahan ikan karang pun akan cenderung menurun.

Ikan herbivor yang merupakan ikan karang sebagai biota yang memakan alga di ekosistem terumbu karang dan berfungsi sebagai pengontrol pertumbuhan alga disekitar ekosistem terumbu karang. Alga dan termbu karang sama-sama


(21)

merupakan biota yang menempel di substrat sehingga terumbu karang dan alga berkompetisi untuk mendapatkan ruang (Lardizabal 2007).

Littler et al. (2006) menjelaskan bahwa ikan herbivor merupakan kontrol dari atas (top down control) bagi pertumbuhan makroalga melalui proses grazing. Sedangkan peningkatan nutrien merupakan kontrol dari bawah (bottom up control) bagi pertumbuhan makroalga.

Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi ekosistem terumbu karang, terutama dari aktifitas manusia, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dimana hakekatnya merupakan suatu proses pengontrolan tindakan manusia, agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Sehingga pengelolaan secara terpadu oleh berbagai pihak dan instansi yang terkait sangat penting dilakukan.

1.2.Perumusan Masalah

Semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada diterumbu karang seperti ikan, udang, dan lain sebagainya, maka aktifitas masyarakat untuk memanfaatkan kondisi tersebut sangat besar pula. Dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang akan semakin besar pula. Hal ini akan menyebabkan menurunnya kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah Kabupaten Bintan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai hasil pengamatan tentang kondisi terumbu karang di wilayah ini yang mengalami degradasi dengan tingkat keruskan yang bervariasi. Hasil survey ekologi pusat Penelitian Oseanografi LIPI mengungkapkan sebagian besar kawasan perairan Pulau Mapur mempunyai tutupan karang dari 50 persen dan di beberapa stasiun penelitian dijumpai adanya kerusakan karang yang cukup parah dengan persentase tutupan karang hidup kurang dari 25 persen (P2O-LIPI, 2005). Meskipun hasil pengamatan CRITC COREMAP terakhir (2007) menunjukan kondisi terumbu karang di wilayah Kabupaten Bintan cenderung mengalami perbaikan dengan meningkatnya persentase tutupan karang sekitar 50 persen.

Perairan Bintan Timur dari waktu kewaktu mengalami penurunan yang sangat dimungkinkan bahwa aktifitas manusia baik dalam pemanfaatan


(22)

sumberdaya laut dan aktifitas daratan akan mempengaruhi kondisi terumbu karang seiring dengan bertambahnya aktifitas manusia yang mendiami wilayah pesisir pantai. Menurut survey tentang kondisi terumbu karang yang dilakukan CRITC COREMAP Kabupaten Bintan pada tahun 2006, rata-rata tutupan karang hidup di beberapa lokasi pengamatan, termasuk dalam kategori sedang yaitu 32,05 persen. Sedangkan rata-rata karang mati mencapai 30,91 persen. Kondisi karang yang rusak atau mati diyakini disebabkan ilah manusia, antara lain akibat penggunaan bom dan jaring dasar untuk menangkap ikan yang dilakukan oleh nelayan, yang dibuktikan dengan adanya patahan karang yang banyak dijumpai antara lain di daerah Teluk Dalam, Desa Malang Rapat (CRITC COREMAP Kabupaten Bintan 2006).

Pemanfaatan sumberdaya alam tanpa adanya perencanaan yang matang akan dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam itu sendiri sehingga akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam itu sendiri. Sehingga pemanfaatan potensi sumberdaya perairan perlu memperhatikan azaz keberlanjutan.

Dengan minimnya informasi kondisi kualitas perairan dan kondisi tutupan karang hid up di wilayah perairan pesisir Bintan Timur, untuk itu suatu studi yang mendasar dan mencakup aspek pengelolaan terhadap pentingnya ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut sangat diperlukan. Dengan demikian maka akan didapatkan suatu pola pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan (sustainable) untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang.

2. Mengetahui penyebab kerusakan yang terjadi di ekostem terumbu karang. 3. Mencari alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan

pengembangan lesson learn dari existing terumbu karang. 1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dasar bagi kondisi ekosistem terumbu karang terhadap stress dari kegiatan ma nusia dan


(23)

allternatif pengembangan pengelolaannya, khususnya pemerintah agar dapat menentukan kebijakan yang sempurna berkaitan dengan upaya pelestarian sumberdaya alam, khususnya ekosistem terumbu karang.


(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batasan Wilayah Pesisir

Wilayah Pesisir secara ekologis adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan sedangkan ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan (Beatly 1994; Dahuri et al. 1996; Clark 1996).

Di dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (2001), pendefenisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti pasang surut dan kearah laut dipengaruhi oleh proses-proses-proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administratif pemerintahan mempunyai batasan terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai hulu dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau sepertiga untuk kabupaten atau kota. Sedangkan apabila dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengeolaan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggungjawab. Dengan demikian, wilayah pesisir adalah tempat berinteraksinya ekosistem darat dan laut, batasnya kearah darat mencakup administrasi suatu kecamatan, desa atau pantai dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai.

Di wilayah pesisir terdapat ekosistem yang terkait satu dengan lainnya. Ekosistem pesisir merupakan suatu unit tatanan interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan secara bersama-sama menjalankan fungsinya masing- masing pada suatu tempat atau habitat (Odum 1971). Selanjutnya dikatakan bahwa komponen hayati dan nirhayati secara fungsional hubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu sistem dari kedua komponen tersebut, maka dapat mempengaruhi


(25)

keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya (Bengen 2002).

Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (nutrient, sedimentasi dan bahan pencemar) yang kesemuanya akan bermuara ke perairan pesisir. Selain itu, pola pergerakan massa air ini juga akan berperan dalam perpindahan biota perairan (plankton, ikan, udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Bengen 2004).

Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai 4 (empat) fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Benge n 2001). Sedangkan menurut ( Dahuri et al. 1996), wilayah pesisir secara keseluruhan memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi manusia, sebagai berikut: 1. Penyedia sumberdaya alam hayati, seperti sumber pangan (protein) dan

sebagai obat-obatan untuk kesehatan.

2. Penyedia sumberdaya alam non hayati, yakni dapat menyediakan lapangan pekerjaan seperti kegiatan industri, pertambangan dan sebagainya.

3. Penyedia energi, dengan menggunakan gelombang pasang-surut dapat membangkitkan tenaga listrik.

4. Sarana transportasi, untuk membangun pelabuhan atau dermaga sebagai bongkar muat barang.

5. Rekreasi dan pariwisata, yakni didukung oleh pasir putih, terumbu karang dan sebagainya.

6. Pengatur iklim dan lingkungan hidup, laut berperan mengatur suhu udara dan iklim laut, menyerap CO2, menjaga lingkungan laut agar sirkulasi air dunia

terjamin sehingga daerah tropis air laut tidak terlalu panas dan sebaliknya daerah subtropis.

7. Penampung limbah, bentuk apapun limbah yang dibuang ketempat terakhirnya adalah muara sungai di laut.


(26)

8. Sumber plasma nutfah, yakni tempat hidupnya beraneka ragam biota dan plasma nutfah sehingga merupakan bagian kepentingan manusia.

9. Pemukiman, yaitu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat yang mempunyai kegiatan di pesisir.

10. Kawasan Industri, yakni digunakan untuk pembangunan industri sehingga memudahkan kegiatan ekspor dan impor barang.

11. Pertahanan dan keamanan, wilayah pesisir megelilingi pulau sehingga pulau merupakan wilayah pengaman dan pendukung kekuatan hankam.

Sebagai wilayah yang mempunyai karakteristik tersendiri, maka faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, serta faktor fisik dan kimia lainnya lebih bervariasi dibandingkan dengan ekosistem yang terdapat di laut lepas maupun yang terdapat di perairan darat. Karakteristik hidro-oseanografi yang sangat dinamis ini menjadikan pengelolaan wilayah pesisir baik untuk kepentingan perikanan budidaya, konstruksi, pariwisata, serta kegiatan lainnya harus dikerjakan secara bijak dan hati-hati.

2.2. Ekologi Terumbu Karang

Pembentukan kerangka karang pada umumnya diinterpretasikan sebagai kenaikan massa kerangka kapur karang, di mana jaringan hidup hewan karang diliputi kerangka disusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonite (Kristal serat CaCO3) dan kalsit (bentuk kristal yang umum CaCO3) (Goreau et al. 1982).

Proses fotosintesis bagi zooxanthellae tergantung dari penetrasi radiasi matahari yang masuk ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni karang. Radiasi matahari yang cukup untuk mendukung proses fotosintesis

zooxanthellae terumbu karang yang terjadi pada kedalaman tersebut dan kejernihan air terkait dengan kandungan sedimen alam perairan. Di satu sisi kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat penetrasi radiasi matahari sehingga mengurangi jumlah radiasi yang diperlukan untuk proses fotosintesis, di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang


(27)

mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesa untuk menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang menyebabkan karang terhambat pertumbuhannya (Nybakken 1992).

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang khas dikepulauan khususnya di wilayah tropis. Ekosistem ini terkenal dengan produktifitasnya yang tinggi karena proses daur ulang (siklus) unsur hara berlangsung sangat cepat di ekosistem ini. Ekosistem ini juga sangat penting bagi perairan disekitarnya mengingat banyak jenis ikan yang hidupnya bergantung dengan ekosistem ini walaupun ikan tersebut tidak menghabiskan waktunya hidup di terumbu karang.

Kualitas perairan terumbu karang sangat tergantung pada faktor fisika laut seperti arus, pasang surut, suhu, kecerahan, kedalaman perairan, sedimentasi dan unsur hara dalam perairan, juga tergantung pada faktor kimia seperti salinitas, CO2, O2, PH dan faktor biologis seperti predator, penyakit, makanan, reproduksi,

zooxanthellae (Sya’rani 1982). Menurut Edinger et al. (2000) kualitas perairan berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan karang seperti kecepatan arus, kedalaman, suhu, salinitas, kecerahan, phosphat, silikat, nitrat, nitrit, oksigen terlarut dan pH.

Jenis Terumbu Karang

Menurut bentuk dan letaknya, pertumbuhan ekosistem terumbu karang dikelompokkan menjadi tiga tipe terumbu karang (Nybakken 1988), yaitu :

1. Terumbu Karang Pantai (Fringing Reef)

Terumbu Karang ini berkembang dipantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu Karang ini tumbuh keatas dan kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat di bagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik, bahkan banyak yang mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.

2. Terumbu Karang Penghalang (Barrier Reef)

Terumbu Karang ini terletak agak jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu


(28)

(40-70 meter). Terumbu Karang ini berakar pada kedalaman yang melebihi kedalaman maksimum dimana karang batu pembentuk terumbu dapat hidup. Umumnya terumbu tipe ini memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar.

3. Terumbu Karang Cincin (Atoll)

Terumbu Karang ini merupakan bentuk cincin yang melingkari suatu goba (Lagon). Menurut Kuenan (1950) dalam Sukarno (1983) kedalam rata-rata goba di dalam atol sekitar 45 meter, jarang sampai 100 meter. Terumbu karang ini juga bertumpu pada dasar laut yang dalamnya di luar batas kedalaman karang batu penyusun terumbu karang hidup

Berdasarkan pada tipe ekosistem terumbu karang diatas ditemukan tiga macam bentuk permukaan dasar, yaitu :

a. Bentuk permukaan dasar mendatar di tempat dangkal, yaitu daerah rataan terumbu (reef flat).

b. Bentuk permukaan dasar yang miring ke arah tempat yang lebih dalam dan landai atau curam, yaitu lereng terumbu (reef slope).

c. Bentuk permukaan dasar yang mendatar di tempat ya ngdalam, yaitu goba (lagoon floor) atau teras dasar (submarine terrace).

Pertumbuhan terumbu karang akan menjadi terhambat apabila daerah terumbu karang tersebut mengalami kerusakan. Faktor-faktor yang sangat dominan dalam kerusakan terumbu karang adalah faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan akibat faktor alam bagi terumbu karang terutama disebabkan oleh perusakan mekanik melalui badai tropis yang hebat sehingga koloni terumbu karang tersebut terangkat dari terumbu. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching.

2.3. Faktor-Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang

Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berlindung, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi


(29)

berbagai biota karang. Ekosistem terumbu karang memliki berbagai macam biota karang yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang dan tiram mutiara (Dahuri et al. 1996). Fungsi optimum ini dapat tercapai apabila pertumbuhan terumbu karang dinamis. Menurut Nybakken (1988), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah :

1. Kedalaman

Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0 – 25 m dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50 – 70 m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulau-pulau. Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman 1964). Walaupun Tidak sedikit species karang yang tidak mampu bertahan pada kedalaman hanya satu meter, karena kekeruhan air dan tingkat sedimentasi yang tinggi, seperti banyak terjadi di pantura (pantai utara) Pulau Jawa (Suharsono 2007)

2. Suhu (Temperatur)

Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23°C – 25 °C. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada suhu di bawah 18 °C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36°C – 40°C. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang.

3. Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang terjadi didalam air adalah sebagai berikut :

cahaya


(30)

Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta membentuk terumbu

akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15% – 20% dari intensitas di permukaan. 4. Salinitas

Karang tidak dapat bertahan pada salinitas diluar 32‰ – 350/00. Namun

pada kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidup pada salinitas 420/00. Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan

dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas lebih rendah dari kisaran diatas terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairan yang didalam tubuhnya akan keluar.

Namun Suharsono (2007) mengatakan pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run off, badai, hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,5% - 52,5% (Vaughan 1919; Wells 1932).

5. Pengendapan

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang adalah pengendapan dimana pengendapan yang terjadi di dalam air atau diatas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Endapan mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang. Akibatnya, perkembangan terumbu karang di daerah yang pengendapannya lebih besar akan berkurang atau menghilang (Nybakken 1988).

Gambar 1 Faktor- faktor yang membatasi pertumbuhan terumbu karang (Nybakken 1988).


(31)

Terumbu karang lebih subur pada daerah yang bergelombang besar. Gelombang itu memberi sumber air yang segar, oksigen dalam air, menghalangi pengendapan pada koloni karang (Nybakken 1988). Substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan planula (larva karang) yang akan membentuk koloni baru (Nontji 1987).

Pertumbuhan terumbu karang kearah atas dibatasi oleh udara, dimana banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan mereka keatas hanya terbatas sampai tingkat pasang surut terendah (Nybakken 1988). Beberapa faktor yang dapat mengendalikan populasi karang antara lain: cahaya, salinitas, suhu arus dan gelombang laut serta substrat untuk melekatkan tubuh.

Cahaya diperlukan untuk fotosintesis alga simbiotik (zooxanthella) yang produknya kemudian disumbang ke hewan karang yang menjadi inangnya (Berwick 1983). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemudian mengurangi kemampuan karang untuk membentuk kerangka (Nybakken 1988). Oleh karena itu distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk ke kolom air (Barnes 1980).

Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme organisma. Dengan kenaikan suhu 10 °C kegiatan metabolisme organisma yang diukur dengan konsumsi oksigen menjadi dua kali. Beberapa spesies karang dapat bertahan terhadap suhu 14 °C akan tetapi laju klasifikasi menjadi sangat menurun. Demikian pula dengan suhu yang tinggi, metabolism meningkat sampai kecepatan tertentu hingga pertumbuhan kerangka menurun (Tomascik 1991), suhu optimum pertumbuhan karang adalah 25 °C – 30 °C (Randall 1983).

Air yang jernih adalah media yang baik untuk pertumbuhan karang. Semakin banyak partikel-partikel tersuspensi dalam kolom air berpengaruh negatif pada karang oleh karena proses fotosintesis karang terganggu (terhambat). Polip karang harus memproduksi banyak lendir untuk melepaskan partikel-partikel tersuspensi yang me ngendap pada tubuhnya (Levinton 1982; Nybakken 1988). Kekeruhan juga mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke kolom air sehingga menghambat fotosintesis zooxanthella. Menurut Ditlev (1980) pada


(32)

perairan yang keruh karang ditemukan hidup hanya sampai kedalaman 2 meter sedangkan pada air jernih dapat mencapai 80 meter.

Arus di laut penting untuk transportasi zat hara, larva dan bahan sedimen. Arus penting untuk penggelontoran dan pencucian limbah dan untuk mempertahankan pola penggerusan dan pengurukan (Tomascik 1991). Oleh karena itu karang yang tumbuh di perairan dimana selalu teraduk arus dan ombak lebih baik dibanding di perairan yang tenang dan terlindung.

2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang

Sedimentasi merupakan masalah yang umum di daerah tropis, pengembangan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas pertanian, dapat membebaskan sedimen (terrigenous sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Aktivitas pertanian, pembukaan lahan dan pengolahan tanah di daratan lainnya biasanya membebaskan sedimen melalui larian permukaan (run- off). Sedimen yang dibebaskan oleh aktivitas-aktivitas ini cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 1.640 mg/cm/hari, seperti yang tercatat di sebelah timur Florida, Amerika serikat (Reed 1981 dalam Supriharyono 2000).

Sedimentasi yang terjadi di Perairan terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Tomascik (1991), beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan pengerukan, pertambangan dan pembangunan konstruksi. Pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti, terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen ; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang disubstrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen (Loya 1976).

Dengan adanya anggapan bahwa laut merupakan tempat pembuangan limbah industri dan rumah tangga yang efisien, telah membawa dampak semakin


(33)

meningkatnya konsentrasi nutrient dalam perairan yang lebih lanjut meningkatkan biomassa alga dasar dan produksi primer dalam kolom air (Pastorok dan Bilyard 1985). Dari sekian banyak komponen limbah (antara lain; surfaktan, logam berat, bahan organik beracun dan bahan kimia), zat hara nitrogen dan fosfor merupakan faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu karang (Tomascik 1991). Dengan populasi phytoplankton yang tinggi kan menekan karang hermatifik melalui dua cara yaitu mengurangi penetrasi cahaya bagi aktifitas zooxanthella dan meningkatkan laju pertumbuhan spesies hewan filter feeder seperti sponge dan bryozoa yang selanjutnya berkompetisi dengan karang dalam hal ruang (Pastorok dan Bilyard 1985).

Terumbu karang mempunyai berbagai fungsi salah satunya adalah sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak. Walaupun terumbu karang tahan terhadap badai tropis yang hebat, tetapi pada umumnya sangat peka terhadap dampak lingkungan yang berkaitan dengan kegiatan manusia. Menurut Tomascik (1991), komunitas terumbu karang yang bersimbiosis dengan zooxanthelae (karang hermatifik, tridacna, anemon laut dan foraminifera) hidup berkembang dalam kondisi perairan yang jernih, sangat peka terhadap masukan unsur hara yang berlebihan dan bahan pencemar lain.

Fosfat merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan oleh mahluk hidup yang ada diperairan. Sumbangan fosfat terbesar berasal dari sedimentasi yang ada di dasar perairan. Oleh karena itu semakin dalam perairan, semakin besar kandungan posfatnya. Apabila kadar fosfat dipermukaan lebih tinggi dibanding kolom air yang lebih dalam, bila diperairan tersebut banyak mendapatkan pengaruh dari darat berupa sumbangan limbah penduduk. Limbah penduduk yang banyak menyumbang kadar fosfat diantaranya detergen.

Konsentrasi bahan organik, unsur hara dan fitoplankton yang tinggi diperairan sangat dipengaruhi oleh daratan. Menurut Tomascik dan Sander (1985) bahwa masukan dari daratan (land run off) disertai hujan keras adalah fakor penting sebagai penekan (stress) musiman yang mempengaruhi komunitas karang dengan peningkatan turbiditas dan menemukan hubungan antara laju pertumbuhan karang dengan konsentrasi NO3/NO2-N dan PO4. Laju pertumbuhan akan


(34)

semakin berkurang dengan semakin bertambahnya konsentrasi unsur hara. Unsur hara dan bahan organik dibutuhkan fitoplankton untuk pertumbuhan, karena itu bila konsentrasi unsur hara dan bahan organik tinggi, maka akan merangsang pertumbuhan dan kepadatan fitoplankton di perairan sehingga mengakibatkan akan menurunkan intensitas cahaya.

Limbah kaya nutrisi dari pembuangan atau sumber lain amat mengganggu karena dapat meningkatkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga mendominasi terumbu hingga pada akhirnya melenyapkan karang. Lebih lanjut Brown (1997), menyatakan bahwa terumbu yang pernah dihadapkan pada gangguan manusia yang berlanjut seringkali menunjukan kemampuan yang rendah untuk pulih. Menurut Gesamp (1976) dalam Supriharyo no (2007), limbah domestik mempunyai sifat utama yaitu (1) mrngandung bakteri, parasit dan kemungkinan virus, dalam jumlah banyak, yang sering terkontaminasi dalam kerang (shellfish) dan area pariwisata bahari, (2) mengandung bahan organic dan padatan tersuspensi, sehingga BOD (Biological Oxygen Demand) biasanya tinggi, (3) kandungan unsur hara, terutama komponen fosfor dan nitrogen tinggi, sehingga sering menyebabkan terjadinya eutrofikasi, dan (4) mengandung bahan-bahan terapung, berupa bahan-bahan organik dan anorganik, dipermukaan air atau berada dalam bentuk tersuspensi.

2.5. Ikan karang

Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak daripada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah ikannya adalah habitat spesies ikan karang dimana diduga ada sebanyak 4000 spesies (Allen et al. 1996). Di perairan Indonesia sendiri terdapat sekitar 3000 jenis yang termasuk dalam 17 ordo dan 100 famili (Kuiter 1992). Kebanyakan famili- famili ikan yang berada pada laut tropis sebagian besar merupakan famili ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan beberapa famili hanya dapat ditemukan di daerah terumbu karang. Famili Chaetodontidae, Scaridae dan famili Labridae merupakan famili ikan yang hidup di daerah terumbu. Sedangkan family Acanthuridae, Holocentridae, Balistidae, Ostraciodontidae, Pomacentridae, Serranidae, Blennidae dan Muraenidae merupakan komponen famili ikan demersal dan


(35)

termasuk kedala jenis ikan pemakan bentos (epibentis). Beberapa famili ikan yang hidup di daerah pelagis (epipelagis) dan mempunyai hubungan erat dengan terumbu karang adalah ikan spesie s Sphyrena danfamili Carangidae.

Ikan- ikan karang tersebut rata-rata memiliki warna yang cerah dan mempunyai ciri khusus yang dapat membantu kita dalam mengidentifikasi spesies ikan tersebut. Selain itu, warna dan ciri tersebut dapat berfungsi untuk melindungi diri dari predator yang selalu mencari kesempatan untuk memakannya.

Menurut Adrim (1993) kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

1. Kelompok ikan target, yaitu ikan- ikan karang yang memp unyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti kelompok ikan Famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae.

2. Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya 1 famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, ya itu ikan dari famili Chaetodontidae.

3. Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogonidae.

2.5.1. Hubungan ikan karang dengan keanekaragaman habitat

Secara umum setiap individu memiliki insting untuk mencari tempat tinggal dimana tempat tinggal tersebut berfungsi untuk melindungi mereka dari berbagai macam bahaya, seperti adanya predator yang selalu mengintai dan siap memangsa kapan saja. Oleh karena itulah karang batu Scleratinia sangat diminati oleh ikan karang sebagai tempat hidup.

Choat and Bellwood (1991) membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang menyimpulkan 3 bentuk umum hubungan, yaitu:

1. Interaksi langsung, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan- ikan muda.


(36)

2. Interaksi dalam mencari makanan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.

3. Interaksi tidak langsung sebagai akibat daristruktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen.

Karang glomerate (jenis Porites sp) pada umumnya tidak memiliki celah yang dalam. Di daerah tersebut banyak terdapat ikan pemakan polip (polypgrazer) seperti ikan pakol (Balistidae) dan ikan kepe-kepe (Chaetodontidae). Karang bercabang (Acropora sp) merupakan tempat berlindung bagi ikan kecil (seperti ikan gobi dan ikan betok laut) yang berenang keluar mencari zooplankton sebagai makanannya dan segera kembali lagi ke terumbu.

Gambar 2 Ikan- ikan karang yang berasosiasidengan Koloni Karang Bercabang (Nybakken 1988)

Interaksi ikan karang lainnya yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1988) adalah:

1. Pemangsaan, dimana ada dua kelompok ikan yang secara aktif memakan koloni-koloni karang, yaitu spesies memakan polip-polip karang mereka sendiri, seperti ikan buntal (Tetraodontidae), ikan kuli pasir (Monacanthidae), ikan pakol (Balistidae) dan ikan kepe-kepe (Chetodontidae) dan sekelompok multivora (omnivora) yang memindahkan polip karang untuk mendapatkan


(37)

baik alga di dalam kerangka karang atau sebagai invertebrata yang hidup dalam lubung kerangka (Acanthuridae, Scaridae).

2. Grazing, dilakukan oleh ikan- ikan famili Siganidae, Pomacentridae, Acanthuridae dan Scaridae yang merupakan herbivora grazer pemakan alga sehingga pertumbuhan alga yang bersaing ruang hidup dengan karang dapat terkendali.

Tipe pemangsaan yang paling banyak di Terumbu karang adalah karnivora, yakni ± 50% –70 % dari spesies ikan. Ikan herbivora dan pemakan karang merupakan kelompok besar kedua yaitu ± 15% dari spesies yang ada dan yang paling penting dari kelompok ini adalah famili Scaridae dan Acanthuridae. Sisanya diklafisikasikan sebagai omnivora atau multivora yaitu ikan- ikan dari famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomachantidae, Monacanthidae Ostaciontidae dan Tetraodontidae. Ikan-ikan pemakan zooplankton memiliki ukuran tubuh yang kecil, yaitu ikan dari famili Clupidae dan Atherinidae (Nybakken 1988).

2.5.2. Trophicekologi ikan karang

Trophic levels adalah posisi makan memakan di rantai makanan seperti produsen primer, herbivor, karnivor primer dan sebagainya. Tanaman hijau menempati trophic level pertama, herbivor yang kedua, karnivor ketiga bahkan keempat trophic level (Sale 1991).

Menurut Hallacher (2003) tingkat trophic di laut dibagi menjadi lima yaitu : 1. Trophic tingkat 1

Tingkat pertama di laut terdiri dari tumbuhan laut yang mencakup fitoplankton, rumput laut dan beberapa jenis lamun. Tumbuhan ini adalah produsen primer yang menangkap energi matahari menjadi bentuk yang dapat digunakan makhluk lain di tingkat trophic lainnya.

• Rumput laut adalah jenis alga yang tumbuh di dasar perairan dangkal dimana terdapat cukup cahaya untuk berfotosintesa. Termasuk didalamnya adalah alga merah, hijau dan coklat. Warna alga berkaitan dengan pigmen penangkap cahaya yang bervariasi tergantung kedalaman habitatnya.


(38)

• Fitoplankton sebagian besar terdiri dari tumbuhan bersel satu sehingga tidak terlihat sejelas rumput laut. Sebagian juga merupakan jenis alga, termasuk di dalamnya dinoflagelata yang merupakan bagian vital dari kelangsungan hidup di terumbu karang. Dalam grup ini juga termasuk bakteri fotosintesa. Bersama, mereka melayang dan ha nyut bersama arus sehingga tersedia sebagai sumber pangan primer di seluruh ekosistem laut.

• Lamun adalah tanaman berbunga yang hidup di perairan dangkal. Lamun menjadi habitat komunitas-komunitas tertentu yang amat bergantung pada keberadaan mereka.

2. Trophictingkat 2

Organisme pada tingkat ini memiliki keragaman yang tinggi dan memiliki cara yang sama beragamnya dalam menggunakan sumber makanan dalam tingkat trophic pertama. Termasuk di dalamnya adalah browsers dan grazer, filter feeders

dan deposit feeders

• Zooplankton adalah plankton hewan yang melayang dan hanyut di laut seperti fitoplankton. Termasuk didalamnya hewan bersel satu, hewan laut dan pesisir dalam fase juvenil dan hewan yang lebih besar seperti ubur- ubur. Sumber pangan zooplankton terdiri dari berbagai macam jenis, sumber pangan utama adalah fitoplankton, namun karena grup ini juga terdiri dari makhluk larva dan juvenil, tak dapat dihindari bahwa zooplankton juga memangsa zooplankton lain yang lebih kecil.

Browsers and grazers mencakup berbagai spesies, termasuk didalamnya moluska seperti siput gastropoda yang memiliki lidah bergigi atau radula yang mengikis alga. Babi laut juga termasuk dalam grup ini, apabila populasi babi laut tinggi maka akan berpengaruh pada jumlah alga ukuran besar seperti

kelp. Beberapa ikan secara khusus memakan alga, contohnya ‘farmer fish’ (sejenis ‘damselfish’) yang ‘merapihkan’ kumpulan alga sekaligus memakannya.

Filter feeders memakan fitoplankton dan zooplankton. Jenis hewan ini menyaring air laut menggunakan berbagai jenis saringan dalam badan mereka (structural traps) untuk mendapatkan plankton. Umumnya filter feeder


(39)

ukuran kecil, seperti bebagai jenis cacing, spon dan bivalva, yang memakan fitoplankton.

• Deposit feeders mengkonsentrasikan diri ke substansi yang kaya akan bakteri yang melapisi batu-batuan dan pesisir berlumpur. Kelompok ini terdiri dari berbagai jenis cacing dan kepiting.

3. Trophic tingkat 3

Tingkat ini terdiri dari karnivora, yang secara aktif memburu dan memakan herbivora dari tingkat dua. Berbagai grup hewan termasuk didalamnya, namun disinilah jenis ikan berdiri sendiri. Ikan adalah grup dengan tingkat keragaman tinggi, meskipun beberapa termasuk tingkat dua sebagai grazers, mayoritas jenis ikan termasuk dalam tingkat tiga keatas.

Apabila zooplankton telah memakan fitoplankton, berarti beberapa filter feeder menjadi termasuk dalam tingkat trophic berikutnya. Banyak filter feeder ukuran besar mendapatkan nutrisi mereka dari zooplankton. Termasuk di dalamnya hiu paus (whale sharks) dan beberapa jenis ikan paus yang melakukan aktifitas makan dalam skala yang amat besar. Dengan cara ini, mereka meniadakan hilangnya energi pada saat makanan meningkat ke trophic tingkat-tingkat berikutnya. Jaring makanan adalah hal yang rumit, dan ini hanyalah satu contoh yang menunjukan bahwa mengelompokan hewan yang memiliki siklus yang berbeda dapat menimbulkan masalah. Filter feeders dapat termasuk trophic

tingkat dua dan tiga. 4. Trophic tingkat 4

Tingkat ini merupakan tingkat karnivora berikutnya, karnivora dalam tingkat ini memburu dan memakan karnivora dan herbivora tingkat lebih rendah. Hewan yang gtermasuk dalam tingkat ini pada umumnya berburu dengan gerakan cepat dan sering karena mereka harus menangkap banyak mangsa agar dapat memenuhi tingkat energi yang mereka butuhkan.

5. Trophic tingkat 5

Walaupun ikan yang saling memangsa membentuk rantai makanan yang amat panjang, pada ujung piramida makanan terdapat predator sejati. Pada ekosistem terumbu karang biasanya kedudukan kehormatan ini biasanya ditempati oleh seekor hiu.


(40)

2.6. Peran Herbivori Dalam Ekosistem Terumbu Karang

Herbivori (herbivory) atau grazing adalah proses atau kegiatan hewan herbivora mengkonsumsi bagian tubuh tanaman, dimana tana man tidak mati akibat kegiatan tersebut. Pada ekosistem terumbu karang, hewan pemakan tanaman atau herbivora merupakan komponen pengendali utama pertumbuhan tanaman makroalga. Herbivori merupakan satu proses ekologis yang sangat penting pada ekosistem terumbu karang, yang dapat mengendalikan kelimpahan makroalga, dimana kelimpahan makroalga yang tak terkendali akan mendominasi terumbu karang. Secara alami makroalga merupakan biota yang sangat cepat menempati setiap ruang yang kosong, untuk itu keberadaan he rbivori untuk membuka ruang yang penuh alga sangat dibutuhkan oleh larva karang menempati ruang untuk penempelan. Dengan adanya hewan herbivora akan dibutuhkan oleh anakan karang agar makroalga tidak menghalanginya dari sinar matahari. Sebagaimana Lirman (2001) menyatakan bahwa laju kelulushidupan koloni karang dilaporkan rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya. Sedangkan Mc Cook (2001) pada awalnya meragukan apakah makroalga dapat menyerang karang secara agresif, atau hanya sekedar menutup karang dari sinar matahari. Dari hasil review Imam bachtiar (2009) mengatakan bahwa dari kajian pustaka hingga tahun 2001 tersebut, makroalga dianggap tidak dapat menyebabkan kematian karang melainkan secara tidak langsung menurunkan kelulusanhidup karang. Kecepatan tumbuh makroalga yang dapat memberikan dampak negatif terhadap komunitas karang dianggap hanya muncul jika terjadi pengkayaan nutrien.Tetapi Jompa dan Mc Cook (2003a,b) melaporkan fakta baru bahwa ‘turf algae’ Anotrichium tenue dan Corallophila huymansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang Porites. Kehadiran ikan karang herbivora dapat menjadi penyelamat karang tertentu dari agresivitas makroalga tersebut. 2.7. Makroalga

Makroalga berbeda dengan mikroalga dimana makroalga memiliki banyak sel dan berkuran besar. Namun beberapa diantaranya seperti Acetabularia dan


(41)

Makroalga memiliki bentuk yang luas mulai dari jaringan kulit yang sederhana, foliose (daun melambai) sampai filamentous (menyerupai benang) dengan struktur cabang yang sederhana sampai bentuk yang komplek dengan memiliki spesialisasi untuk menangkap cahaya, reproduksi, pendukung, pengapungan dan menempel pada dasar perairan. Ukuran ma kroalga dapat mencapai 3 – 4 meter (seperti Sargassum). Makroalga juga dapat hidup pada terumbu karang yang sudah mati atau bebatuan, hampir semua spesies tidak dapat hidup pada perairan yang berlumpur dan berpasir karena tidak memiliki akar yang dapat menambat pada sedimen seperti lamun. Dibandingkan dengan tanaman yang memiliki jaringan lebih lengkap, makroalga memiliki siklus hidup yang lebih komplek, macam- macam cara reproduksi yaitu (1) kebanyakan alga bereproduksi secara sexual dan aseksual dengan mengeluarkan gamet dan spores (2) penyebaran vegetasi dan/atau berfragmentasi (membelah bagian tanaman untuk memproduksi individual baru) (Mc Cook 2001).

Menurut Mc Cook (2008) Klasifikasi makroalga berdasarkan komposisi pigmen dalam proses fotosintesis adalah :

1. Rhodophyta (Red Algae) 2. Ochrophyta (Brown Algae)

3. Chlorophyta (Green Algae) 4. Cyanophyta (Blue-Green Algae)

Berdasarkan pada fungsi karakteristik ekologi (seperti bentuk tanaman, ukuran, kekuatan, kemampuan berfotosintesis), kemampuan bertahan terhadap

grazing (perumputan) dan pertumbuhan, makroalga dapat diklasifisikasikan sebagai berikut (Rogers et al. 1994 dan Mc Cook 2001;) :

1. Turfs Algae : Kumpulan atau asosiasi beberapa spesies dari alga, sebagian besar filamentous dengan pertumbuhan yang cepat, produktivitas dan rata-rata berkoloni yang tinggi. Turf memiliki biomass yang rendah per unit area, tetapi mendominasi dalam proporsi yang besar pada area terumbu karang walaupun dalam terumbu karang yang sehat.

2. Fleshy macroalgae or rumput laut : Bentuk alga yang besar lebih kaku dan secara anatomi lebih komplek dibandingkan dengan turf alga, lebih sering ditemukan di daerah terumbu karang yang datar dan herbivor yang rendah


(42)

karena kadang mereka memproduksi partikel kimia yang menghalangi grazing

oleh ikan.

3. Crustose Alga : Tanaman keras yang tumbuh sebagai kulit melekat pada terumbu karang dengan penampakan seperti lapisan cat daripada tanaman biasa, memiliki pertumbuhan yang lambat. Menghasilkan calcium carbonate

(batu kapur) dan mungkin memiliki peran penting dalam sementasi kerangka terumbu karang secara bersama-sama

Pada ekosistem terumbu karang makroalga terutama turf alga merupakan produsen primer penting karena dapat berfotosintesis makroalga menjadi makanan favorit bagi para herbivora (Morissey 1985) dan sebagai dasar pada jaring makanan di ekosistem terumbu karang, mereka membuat habitat bagi para invertebrata dan vertebrata pada kepentingan fungsi ekologi dan ekonomi, berbeda dengan biota lain yang menempati ekosistem terumbu karang seperti ikan karang, terumbu karang dan lamun dimana jika jumlahnya semakin banyak akan lebih baik, makroalga yang berlimpah membuat degradasi terumbu karang dimana terjadi pergantian fase dari terumbu karang menjadi makroalga walaupun tergantung pada jenis makroalganya (Jompa & Mc Cook 2002).


(43)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perairan Kabupaten Bintan (Gambar 3.1.) dengan memilih dua wilayah yang dijadikan objek penelitian lokasi I (pertama ) yaitu di muara pantai Trikora. Sedangkan lokasi II (kedua) adalah Pulau Mapur. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, dimulai dari bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009.

3.2. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang memerlukan analisis yang saling terkait antara kondisi kualitas perairan dengan kondisi tutupan karang hidup; kondisi tutupan karang hidup dengan ikan karang, kondisi ikan karang dengan tutupan alga, sehingga hasil yang diperoleh dapat memberikan informasi dan rekomendasi untuk alternatif pengelolaan.

3.3. Peralatan yang digunakan

Pengambilan data terumbu karang, ikan karang, dan makroalga dilapangan diperlukan bahan-bahan dan peralatan pendukung sebagai berikut :

• Peralatan dasar selam, yang terdiri dari masker, snorkel dan fin

• Alat selam SCUBA (Self Contain Underwater Breathing Aparatus ) , yang terdiri dari BCD, regulator, weight belt, tabung udara (kapasitas 3000 Psi);

• Roll meter

• Pelampung tanda

• Kamera Bawah air

• Sabak bawah air

• Perahu motor

• Transek kuadrat 1 m x 1 m dan 0.5 m x 0.5 m

• Alat tulis menulis bawah air

• Buku identifikasi karang, yaitu: Ditlev (1980); Wood (1983); Suharsono (1996); Stafford-Smith, Veron (2001) dan

• Laporan serta publikasi yang terkait dengan penelitian.

Peralatan yang diperlukan untuk pengambilan data parameter fisik dan kimia disajikan pada Tabel 1.


(44)

Tabel 1 Parameter dan cara analisis kualitas air dalam penelitian

No Parameter Satuan Alat/ Cara Analisis Keterangan

A Fisika

1 Kecerahan cm Secchi Disc In situ

2 Suhu °C Thermometer In situ

3 Padatan Tersuspensi mg/l Botol sampel; Ice Box; Laboratorium

(TSS) Gravimetri

B Kimia

1 Salinitas ‰ Refraktometer In situ

2 Oksigen terlarut mg/l DO meter In situ

3 Ammonia mg/l

Botol sampel,

Spektrofotometer Laboratorium

4 Nitrat (NO3-N) mg/l

Botol sampel,

Spektrofotometer Laboratorium

5 Nitrit (NO2-N) mg/l

Botol sampel,

Spektrofotometer Laboratorium 6

Phosphat

(Ortophospate) mg/l

Botol sampel,

Spektrofotometer Laboratorium 3.4. Penentuan Stasiun Penelitian

Wilayah Kabupaten Bintan dengan penggunaan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, berkembang menjadi kawasan wisata, permukiman, industri, pertanian, perikana n, pertambangan, dan lain- lain menjadikan wilayah ini berkembang pesat. Dengan memilih dua wilayah yang dijadikan objek penelitian lokasi I (pertama) yaitu di muara pantai Trikora Kecamatan Gunung Kijang yang memiliki kategori tutupan karang rendah dan baik. Lokasi Kecamatan Gunung Kijang dipilih sebagai lokasi pengamatan penelitian dengan pertimbangan yaitu merupakan wilayah yang sangat dekat dengan aktifitas manusia baik di daratan maupun pesisirnya. Sedangkan lokasi II (kedua) adalah Pulau Mapur dengan kondisi tutupan karang dengan kategori baik sampai baik sekali dan dijadikan lokasi pengamatan dikarenakan kondisinya yang agak jauh dari aktifitas daratan (main land).

Titik pengamatan diambil sebanyak 8 titik terdiri dari 5 (lima) titik yaitu Stasiun 1 (satu) sampai dengan stasiun 5 (lima) untuk kawasan I Kecamatan Gunung Kijang (pantai Trikora) Sedangkan 3 (tiga) titik untuk ikawasan II (Pulau Mapur) yaitu stasiun 6 (enam) sampai dengan stasiun 8 (delapan). Stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.


(45)

Gambar 3 Lokasi penelitian di kawasan pesisir Kecamatan Gunung Kijang dan Pulau Mapur


(46)

3.5. Metode Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei untuk mengumpulkan data primer dan penelusuran literatur (desk study) untuk mengumpulkan data sekunder. Data primer terdiri dari:

3.5.1. Pengamatan terumbu karang dan makroalga

Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan modifikasi dari metode transek kuadrat (English et al. 1997). Dalam metode ini terdapat tiga tahapan yang dilakukan, yaitu pembentangan roll meter, pemasangan pasak, dan pengambilan foto transek.

Pemasangan roll meter dilakukan untuk menetapkan transek garis, dimana transek garis ini berfungsi dalam penentuan arah dan jarak yang konstan dari pemasangan transek kuadrat. roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai, kemudian pemasangan transek kuadrat dilakukan setiap selang 10 meter. Sebelum pengambilan foto transek, terlebih dahulu dilakukan pemasangan pasak besi di setiap sudut transek kuadrat dengan tujuan sebagai tanda untuk pengamatan berikutnya. Selanjutnya pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air. Pengolahan foto dilakukan di darat dengan menggunakan software Image-J sampai pada taraf bentuk pertumbuhan tutupan karang (Lampiran 2). Output yang dihasilkan berupa data kondisi penutupan karang yang terdapat dalam transek kuadrat.

Gambar 4 Metode pengamatan terumbu karang dengan transek kuadrat ukuran1 m x 1 m

Analisis Struktur Lifeform (English et al. 1997; Rogers et al. 1994) merupakan pedoman yang digunakan untuk mengamati ekosistem terumbu karang. Metode ini didasarkan pada analisis perbedaan bentuk-bentuk pertumbuhan biota penyusun ekosistem terumbu karang yang merupakan gambaran struktur komunitas dan kondisi habitat yang ditempatinya.


(47)

Tabel 2 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya.

3.5.2. Pengamatan ikan karang

Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual berdasarkan Dartnal dan Jones (1986). Metode ini merupakan salah satu metode

Kategori Kode Keterangan

Komponen Biotik

Acropora

Branching

ACB Paling tidak 2

o

percabangan. Memiliki axial dan radial oralit.

Encrusting

ACE Biasanya merupakan dasar dari bentuk

acropora belum dewasa

Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji

Digitate ACD Bercabang tidak lebih dari 2o

Tabulate ACT Bentuk seperti meja datar

Non-Acropora

Branching

CB Paling tidak 2

o

percabangan. Memiliki radial oralit.

Encrusting

CE Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) Paling tidak 2o percabangan

Foliose

CF Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring.

Massive CM Seperti batu besar atau gundukan

Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji.

Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera

Heliopora CHL Karang biru

Millepora CML Karang api

Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil

Soft Coral SC Karang bertubuh lunak

Sponge SP

Zoanthids ZO

Others OT Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain -lain

Alga

Alga

assemblage AA

Terdiri lebih dari satu jenis alaga

Coralline alga CA Alga yang mempunyai struktur kapur

Halimeda HA Alga dari genus Halimeda

Macroalga MA Alga berukuran besar

Turf alga TA Menyerupai rumput-rumput halus

Abiotik Sand S Pasir

Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih kotor

Dead Coral with

Alga DCA

Karang ini masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat

Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil

Silt SI Pasir berlumpur

Water W Air


(48)

yang umum digunakan dalam survei pengamatan ikan- ikan karang dan telah disepakati menjadi metode baku dalam pengamatan ikan- ikan karang secara kuantitatif di ASEAN pada waktu lokakarya ASEAN-Australia Cooperative Program on Marine Science bulan Agustus-Oktober 1985 di Australian Institute of Marine Science (Hutomo 1986).

Metode ini secara garis besar hampir sama dengan metode Line Intersept Transect dimana roll meter sepanjang 70 m dibentangkan sejajar dengan garis pantai berlawanan dengan arah arus. Pencatatan data dilakukan dalam air dengan menggunakan sabak kemudian dicatat spesies ikan yang ditemukan. Pencatatan data dilakukan dengan jarak pandang sejauh 2,5 m ke kiri dan 2,5 m ke kanan serta pandangan ke depan sejauh yang terlihat. Namun, jangan sekali-sekali menengok kebelakang karena akan tercipta pengulangan data yang akan membuat data tersebut menjadi tidak valid. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan data adalah faktor kecepatan renang, oleh karena itu diperlukan kesabaran sehingga kita dapat berenang dengan santai dan tidak terburu-buru. Hasil pengamatan ikan karang ditabulasikan berdasarkan jenis dan frekuensi ditemukannya pada transek pengamatan.

Gambar 5 Pencatatan data kelimpahan dan biomass Sensus Visual Spesies Ikan Karang (Labrosse 2002).


(49)

3.5.3. Peng ukuran variabel kualitas air

Pengambilan data kualitas air bertujuan untuk mengetahui present status kondisi perairan pesisir Kecamatan Gunung Kijang dan Pulau Mapur Bintan Timur , yang meliputi kondisi fisika, dan kimia perairan. Metode pengambilan contoh dan metode analisis kualitas air ini mangacu pada APHA (1989). Pengukuran dan pengambilan contoh air dilakukan disetiap stasiun pada masing-masing line transect. Variabel- variabel yang diukur langsung (in-situ) meliputi: Kecerahan, suhu, salinitas dan oksigen terlarut. Sedangkan contoh air yang diambil untuk pengukuran laboratorium adalah:TSS; Ammonia – Nitrogen Total – (Metoda Phenate); Nitrat (NO3-N); Nitrit- (NO2-N); Phospat (Orthophosphate);

3.6. Studi Pustaka

Studi pusataka dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian ini antara lain dengan cara mempelajari buku-buku penunjang, laporan penelitian serta bentuk-bentuk artikel dan jurnal lainnya.

Disamping data primer, digunakan juga data sekunder yang dikumpulkan melalui kegiatan desk review terhadap publikasi beberapa instansi atau lembaga yang terkait dengan substansi penelitian. Jenis data sekunder yang dapat dikumpulkan diantaranya adalah data-data statistik sosial ekonomi dan perikanan dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan statistik perikanan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Adanya kendala waktu dan kurangnya kelengkapan data administrasi di tingkat desa dan kecamatan menyebabkan proses pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini kurang optimal. Oleh karena itu, beberapa data yang tidak didapatkan baik terbitan BPS ataupun DKP diperoleh melalui konfimasi wawancara mendalam terhadap stakeholders terkait dan terbatas pada saat penelitian dilakukan.

3.7. Analisis Data

3.7.1. Persentasi penutupan karang dan makroalga

Persentase penutupan karang beserta penyusun substrat dasar lainnya dianalisis dengan menggunakan software Image-J. Prinsip kerja dari metode ini


(1)

Correlations between variables and factors:

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

Suhu (°C) -0,287 -0,480 0,684 -0,119 -0,196 0,401 -0,073

Kecerahanan (m) 0,659 0,264 0,495 0,421 -0,009 -0,245 0,119

Kedalaman (m) 0,852 -0,315 -0,099 0,243 -0,088 -0,304 -0,077

Kec. Arus (cm/det) 0,669 0,268 -0,342 0,406 0,224 0,264 0,279

TSS(mg/l) 0,297 -0,678 -0,584 -0,031 -0,034 -0,286 -0,164

Salinitas (‰) 0,803 -0,382 0,112 0,072 -0,267 0,223 0,266

NO3-N (mg/l) 0,758 0,497 0,168 -0,326 0,093 0,108 -0,156

PO4-P (mg/l) 0,791 0,454 0,194 -0,307 0,083 0,109 -0,132

NO2 (mg/l) 0,791 0,454 0,194 -0,307 0,083 0,109 -0,132

NH3 (mg/l)

-0,292 0,057 0,570 0,174 0,634 -0,391 0,031

DO -0,348 0,412 0,757 0,022 -0,312 -0,179 0,079

Karang Hidup 0,488 -0,731 0,252 -0,346 0,197 -0,024 0,075

Karang Mati -0,560 0,251 0,039 0,726 -0,065 0,225 -0,198

Alga -0,295 0,748 -0,519 -0,128 0,204 0,145 0,073

Biota Lain 0,731 0,322 -0,070 0,480 -0,298 -0,136 -0,142

Abiotik -0,296 0,565 -0,201 -0,472 -0,406 -0,379 0,148

St 1

St 2

St 3 St 4

St 5

St 6 St 7

St 8

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6

F 2 ( 2 1 ,7 9 % )

F1 (35,72 %)

Observations (axes F1 and F2: 57,51 %)

St 1

St 2

St 3 St 4

St 5

St 6 St 7

St 8

Suhu (°C) Kecerahan

an (m ) Kedalaman

(m ) Kec. Arus (cm / det )

TSS(mg/ l) Salinit as

(‰ ) NO3-N

(m g/ l) PO4-P (m g/ l) NO2 (m g/ l) NH3 (m g/ l)

DO

Karang Hidup Karang

M at i Alga

Biot a Lain Abiot ik -10 -5 0 5 10

-15 -10 -5 0 5 10 15

F 2 ( 2 1 ,7 9 % )

F1 (35,72 %)


(2)

Lampiran 7 lanjutan Analisis

PCA

Contribution of the variables (%):

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

Suhu (°C) 1,442 6,606

18,19

5 0,759 3,726 16,58

3 1,497

Kecerahanan (m) 7,594 1,999 9,509 9,511 0,008 6,189 3,903

Kedalaman (m)

12,70

9 2,837 0,378 3,167 0,747 9,527 1,627 Kec. Arus (cm/det) 7,837 2,063 4,555 8,852 4,865 7,211 21,619

TSS(mg/l) 1,540

13,18 4

13,25

5 0,051 0,110 8,445 7,490 Salinitas (‰)

11,27

6 4,176 0,485 0,279 6,937 5,136 19,706 NO3-N (mg/l)

10,04

0 7,086 1,098 5,690 0,842 1,207 6,784 PO4-P (mg/l)

10,95

0 5,899 1,464 5,070 0,664 1,231 4,864 NO2 (mg/l)

10,95

0 5,899 1,464 5,070 0,664 1,231 4,864

NH3 (mg/l) 1,495 0,092

12,60

6 1,629 39,10

3 15,76

4 0,269

DO 2,117 4,878

22,24

2 0,026 9,459 3,306 1,754

Karang Hidup 4,163

15,31

6 2,472 6,414 3,761 0,059 1,555

Karang Mati 5,487 1,806 0,058

28,32

1 0,416 5,210 10,930

Alga 1,521

16,03 8

10,46

1 0,875 4,054 2,182 1,470

Biota Lain 9,343 2,970 0,192

12,34

8 8,646 1,894 5,571

Abiotik 1,537 9,149 1,566

11,93 6

15,99 7

14,82


(3)

Lampiran 8: Korelasi antara kondisi Family Ikan Karang yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian

Correlation matrix (Pearson (n)):

Variables

Suhu (°C)

Kecerahanan (m)

Kedalaman (m)

Kec. Arus

(cm/det) TSS(mg/l)

Salinitas (‰)

NO3-N (mg/l)

PO4-P (mg/l)

NO2 (mg/l)

NH3

(mg/l) DO

Suhu (°C) 1 -0,132 -0,289 -0,562 -0,252 0,143 -0,266 -0,238 -0,238 0,143 0,401

Kecerahanan (m) -0,132 1 0,598 0,480 -0,235 0,493 0,531 0,564 0,564 0,272 0,320

Kedalaman (m) -0,289 0,598 1 0,497 0,619 0,746 0,364 0,407 0,407 -0,220 -0,420

Kec. Arus

(cm/det) -0,562 0,480 0,497 1 0,075 0,500 0,456 0,470 0,470 -0,258 -0,467

TSS(mg/l) -0,252 -0,235 0,619 0,075 1 0,331 -0,209 -0,189 -0,189 -0,378 -0,777

Salinitas (‰) 0,143 0,493 0,746 0,500 0,331 1 0,371 0,429 0,429 -0,429 -0,286

NO3-N (mg/l) -0,266 0,531 0,364 0,456 -0,209 0,371 1 0,998 0,998 -0,142 0,001

PO4-P (mg/l) -0,238 0,564 0,407 0,470 -0,189 0,429 0,998 1 1,000 -0,143 -0,004

NO2 (mg/l) -0,238 0,564 0,407 0,470 -0,189 0,429 0,998 1,000 1 -0,143 -0,004

NH3 (mg/l) 0,143 0,272 -0,220 -0,258 -0,378 -0,429 -0,142 -0,143 -0,143 1 0,435

DO 0,401 0,320 -0,420 -0,467 -0,777 -0,286 0,001 -0,004 -0,004 0,435 1

Apogonidae -0,240 0,560 0,410 0,465 -0,182 0,431 0,997 1,000 1,000 -0,147 -0,006

Caesionidae -0,085 0,262 0,618 0,267 0,402 0,654 0,663 0,690 0,690 -0,218 -0,395

Chaetodontidae 0,512 -0,022 0,532 -0,184 0,604 0,654 -0,022 0,024 0,024 -0,354 -0,309

Halocentridae 0,143 -0,255 0,403 -0,146 0,756 0,429 -0,178 -0,143 -0,143 -0,143 -0,536

Labridae -0,147 0,365 0,769 0,517 0,512 0,674 0,547 0,581 0,581 -0,101 -0,617

Lutjanidae -0,219 0,589 0,411 0,429 -0,190 0,407 0,987 0,991 0,991 -0,031 0,020

Nemipteridae 0,525 -0,411 -0,573 0,024 -0,390 0,028 -0,230 -0,230 -0,230 -0,230 0,008

Pempheridae -0,464 -0,128 -0,039 -0,212 0,134 -0,380 -0,249 -0,278 -0,278 -0,278 0,181

Pomacanthidae -0,073 0,638 0,143 0,162 -0,433 0,000 0,653 0,655 0,655 0,655 0,329

Pomacentridae -0,304 -0,074 0,610 0,371 0,822 0,326 -0,252 -0,234 -0,234 -0,413 -0,764

Ptereleotridae 0,140 -0,249 0,409 -0,141 0,755 0,435 -0,165 -0,131 -0,131 -0,145 -0,537

Scaridae 0,156 0,273 -0,072 -0,248 -0,207 -0,275 -0,079 -0,070 -0,070 0,964 0,300

Serranidae -0,354 0,188 0,194 0,691 -0,122 0,416 0,792 0,785 0,785 -0,508 -0,328


(4)

Lampiran 9. Variabel kondisi perairan dan family ikan karang

F1 F2

Kecerahanan (m) 0,203 -0,135 Kedalaman (m) 0,227 0,208 Kec. Arus (cm/det) 0,206 0,028

TSS(mg/l) 0,038 0,386

Salinitas (‰) 0,225 0,171 NO3-N (mg/l) 0,308 -0,142 PO4-P (mg/l) 0,315 -0,131

NO2 (mg/l) 0,315 -0,131

Apogonidae 0,315 -0,128

Caesionidae 0,285 0,133

Chaetodontidae 0,083 0,273 Halocentridae 0,047 0,324

Labridae 0,278 0,175

Lutjanidae 0,315 -0,136

Nemipteridae -0,096 -0,047

Pempheridae -0,130 0,012

Pomacanthidae 0,189 -0,246 Pomacentridae 0,017 0,328 Ptereleotridae 0,051 0,323

Scaridae -0,021 -0,123

Serranidae 0,255 -0,052

Siganidae 0,042 -0,121

Akar Ciri

Eigenvalues:

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

Eigenvalue 8,653 6,044 3,419 3,253 1,644 1,441 0,546

Variability

(%) 34,614 24,177 13,676 13,011 6,576 5,763 2,183

Cumulative


(5)

Lampiran 10 Hasil perhitungan Analisis korelasi antara variabel Tutupan karang

hidup, kelimpahan ikan herbivora dan tutupan alga

1.

Hubungan antara kelimpahan ikan Herbivora dan persentase tutupan alga

Kelimpahan ikan herbivora (Ind/transek) dan persentase tutupan alga di

masing-masing stasiun

Stasiun 1 Ikan Herbivora (ind/transek) Makroalga (%)

1 3,00 16,65

2 52,00 7,47

3 4,00 2,64

4 4,00 20,85

5 45,00 13,04

6 23,00 2,00

7 45,00 4,45

8 23,00 10,69

Hasil nilai korelasi antara kelimpahan ikan herbivora dengan persentase tutupan

alga dengan menggunakan software EXCEL 2007.

Ikan Herbivora

(ind/transek) Makroalga (%)

Ikan Herbivora

(ind/transek) 1

Makroalga (%) -0,332592278 1

2.

Hubungan antara pesentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan

Ikan Karang dari masing-masing transek (individu/transek)

Persentase tutupan karang hidup dan Kelimpahan ikan karang (ind/transek) di

tiap-tiap stasiun

Stasiun 1 Karang Hidup (%) Ikan Karang (Ind/transek)

1 34,69 59,00

2 59,36 121,00

3 61,55 292,00

4 42,89 619,00

5 44,33 1275,00

6 99,84 1523,00

7 49,43 1623,00

8 68,30 1277,00

Hasil nilai korelasi antara tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan

karang(individu/transek) dengan menggunakan software EXCEL 2007.

Karang Hidup (%) Ikan Karang (Ind/transek)

Karang Hidup (%) 1

Ikan Karang


(6)

Lampiran 10 lanjutan

3. Hubungan antara persentase tutupan karang mati dengan persentase

kelimpahan alga

Hasil nilai korelasi antara persentase tutupan karang mati dengan persentase

kelimpahan alga

Karang mati (%) alga (%)

Karang mati (%) 1

Makroalga (%) 0,456432612 1

Persentase tutupan karang mati dan persentase kelimpahan Alga ditiap-tiap stasiun

Stasiun 1 Karang mati (%) alga (%)

1 21,85 16,7

2 31,91 7,5

3 34,84 2,6

4 32,60 20,8

5 35,92 13,0

6 0,00 2,0

7 7,77 4,45

8 36,99 10,69

4. Hubungan persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan alga

Persentase tutupan karang hidup dan persentase kelimpahan alga setiap stasiun

pengamatan

stasiun

Karang Hidup

(%) Alga (%)

1

34,69

16,65

2

59,36

7,47

3

61,55

2,64

4

62,89

20,85

5

44,33

13,04

6

99,84

0,16

7

68,3

4,45

8

49,43

10,69

Hasil nilai korelasi antara persentase tutupan karang hidup dengan persentase

kelimpahan alga

Karang Hidup

(%) Alga (%)

Karang Hidup

(%) 1