Potensi dan prospek pemanfaatan

pada bab pendahuluan. Berdasarkan pengamatan di lapangan hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain: 1. Banyak spesies tumbuhan obat liar di kebun yang tidak teregistrasi sebagai koleksi KRB. Beberapa contoh spesies liar berpotensi obat dapat dilihat pada Lampiran 3. 2. Pada umumnya spesies tumbuhan obat yang bersifat semusim tidak ditanam sebagai koleksi. 3. Koleksi tumbuhan obat yang ada di KRB hanya spesies yang adaptif di daerah dataran rendah basah. 4. Terjadinya kasus-kasus kehilangan spesies tumbuhan obat yang unik, menarik, dan dikenal luas oleh masyarakat. 5. Tidak intensifnya kegiatan eksplorasi dan pengumpulan spesies tumbuhan obat dari berbagai daerah Indonesia. 6. Data di atas belum termasuk spesies berpotensi obat yang habitatnya belum terwakili di KRB seperti hutan bakau mangrove.

4.1.2. Potensi dan prospek pemanfaatan

Koleksi tumbuhan obat KRB terdiri atas berbagai habitus Gambar 4, yang terbanyak adalah berupa pohon berkayu yaitu 311 spesies. Jika dibandingkan Gambar 4 Jumlah koleksi KRB berpotensi obat. 2 3 5 10 122 132 179 311 50 100 150 200 250 300 350 ju ml a h s p e si e s Habitus dengan taman obat atau kebun obat seperti Taman Sringanis, Karyasari, Kampung Djamoe, maupun kebun-kebun obat milik pemerintah seperti di Balittro dan BPTO Tawangmangu tentu kondisi ini sangat berbeda. Pada umumnya koleksi kebun-kebun obat tersebut lebih didominasi spesies berhabitus herba dan tumbuhan semusim, dikarenakan lahan yang terbatas. Hal ini juga berkaitan erat dengan kebutuhan produksi suplemen kesehatan yang mereka hasilkan pada umumnya berasal dari herba dan tumbuhan semusim. Para praktisi pengembang tumbuhan obat dan industri obat tradisional pada umumnya terfokus kepada spesies yang berupa herba dan semak dikarenakan juga periode produksinya lebih cepat dan lebih mudah ditumbuhkembangkan. KRB saat ini belum mengarah kepada produksi suplemen obat sehingga belum memperhitungkan faktor produksi tumbuhan. Sehubungan dengan adanya perbedaan konsep ini, maka seorang peneliti sekaligus praktisi tumbuhan obat memberi saran agar KRB lebih memfokuskan pengembangan konservasi tumbuhan obat berhabitus pohon dibandingkan habitus lainnya. Pemikiran ini didasarkan potensi KRB yang lebih banyak memiliki koleksi berupa pohon dibandingkan kebun obat secara umum. Selain itu KRB memiliki basis ilmiah yang cukup memadai sebagai dasar bagi pengembangan tumbuhan obat dan penentuan status konservasinya. Tumbuhan obat koleksi KRB ini berasal dari berbagai daerah baik dari daerah nusantara maupun dari luar negeri. Dari Gambar 5 tampak bahwa koleksi tumbuhan obat KRB sebagian besar masih berasal dari pulau Jawa, yaitu 305 spesies atau 40 dari total jumlah koleksi. Jumlah total koleksi tumbuhan obat yang berasal dari dalam negeri adalah 559 spesies yang berarti baru sekitar 27 dari jumlah 2039 spesies tumbuhan obat di hutan tropis Indonesia. Dengan demikian masih cukup banyak tumbuhan obat Indonesia yang belum terkoleksi di KRB terutama tumbuhan yang berasal dari luar Jawa. Dengan koleksi yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai negara ini memungkinkan KRB memiliki keunggulan bahan dan informasi untuk beberapa tumbuhan obat yang tidak dimiliki kebun obat atau taman obat komersial. Potensi ini menjadi bekal bagi prospek penelitian dan pengembangan bahan obat alami pada masa yang akan datang. Beberapa spesies tumbuhan obat yang terdapat di KRB juga memerlukan upaya perbanyakan sebagai antisipasi dari kematian spesies tersebut akibat umurnya yang sudah tua. Kematian spesies tanpa ada generasi pengganti sebagai hasil perbanyakan dari individu yang sama akan menyebabkan KRB kesulitan mencari penggantinya dan sekaligus menghilangkan potensi plasma nutfah spesies yang bersangkutan. Sepuluh spesies koleksi tumbuhan obat tertua di KRB disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sepuluh spesies koleksi tumbuhan obat tertua di KRB No. Nama spesies Tahun koleksi Asal 1. Altingia excelsa Noronha 1844 Jawa 2. Caesalpinia coriaria Jacq. Willd. 1850 India 3. Ficus adenosperma Miq. 1866 Maluku 4. Tectona grandis L. 1866 Jawa 5. Connarus semidecandrus Jack 1870 Bangka 6. Pandanus tectorius Soland. ex Park. 1888 Kep. Pasifik 7. Decaspermum fruticosum J.R. Forst. G. Forst. 1891 Maluku 8. Acalypha wilkesiana Mull. Arg. 1894 Malaya 9. Kigelia africana Lam. Benth. 1895 India 10. Alpinia malaccensis Burm. f. Roscoe 1897 Kalimantan Gambar 5 Asal koleksi tumbuhan berpotensi obat di KRB . 205 305 77 57 44 29 28 19 50 100 150 200 250 300 350 Ju ml a h s p e si e s Asal tumbuhan Tumbuhan tua tersebut pada Tabel 2 pada umumnya berupa pohon besar yang sewaktu-waktu dapat tumbang dan mati akibat alami maupun terjangan angin. Hal ini telah terjadi pada beberapa spesies tumbuhan obat seperti pala Myristica fragrans Houtt., selungkit Canthium horridum Blume, dan dodoyo Erythroxylum ecarinatum Burck yang rata-rata umurnya di atas 50 tahun Hidayat et al. 2006. Belum adanya upaya perbanyakan baik secara konvensional maupun melalui kultur jaringan terhadap spesies tersebut mengakibatkan KRB tidak memiliki lagi spesies ini dikarenakan tidak ada anakan yang berasal dari individu yang sama. Spesies tersebut mungkin saja masih ada di luar KRB atau di habitat alamnya namun sejarah spesies tersebut di KRB dan genetikanya adalah potensi yang berbeda. Kehilangan spesies tentu akan mengurangi potensi pemanfaatan tumbuhan obat tertentu pada masa yang akan datang. Setiap spesies memiliki keunikan dalam pemanfaatannya sebagai bahan obat alami. Beragam penyakit dapat diatasi oleh tumbuhan obat. Satu spesies bisa saja dimanfaatkan untuk berbagai penyakit. Dari informasi masyarakat dan berbagai sumber pustaka, banyak penyakit yang dapat diobati oleh koleksi tumbuhan obat di KRB yang berjumlah 764 spesies. Sepuluh jenis penyakit tertinggi yang terkait dalam penggunaan 764 spesies tersebut seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Gambar 6 Sepuluh jenis penyakit tertinggi dalam penggunaan spesies di KRB 192 113 104 97 73 55 44 36 32 30 50 100 150 200 250 Ju ml a h s p e si e s d ig u n a k a n Jenis penyakitgangguan kesehatan Jumlah spesies tumbuhan obat untuk mengobati gangguan perut atau pencernaan adalah yang paling banyak. Hal ini sesuai pula dengan data Zuhud 2009 yang menyatakan kelompok penyakit yang tertinggi dengan jumlah spesies tumbuhan obatnya adalah penyakit saluran pencernaan 487 spesies tumbuhan obat. Sementara itu hasil penelitian Solikin 2009 di Kebun Raya Purwodadi menyatakan pemanfaatan tumbuhan untuk obat penyakit kulit seperti cacar, kudis, bisul dan kurap adalah paling banyak. Berdasarkan data di atas baik penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan maupun yang berhubungan dengan penyakit kulit tampaknya merupakan dua penyakit yang umum terjadi di masyarakat Indonesia. Selain kedua penyakit itu malaria dan flu kerap pula terjadi di Indonesia. Pada Gambar 6 kedua penyakit ini digabungkan dalam satu jenis gangguan kesehatan yaitu demam. Adanya beberapa kawasan yang rawan malaria menyebabkan beberapa masyarakat lokal berusaha mengobatinya secara alami. Pada umumnya spesies yang memiliki rasa pahit baik daun, batang, atau akarnya berhubungan dengan pengobatan penyakit ini Hidayat 2008. Setiap spesies ada yang memiliki manfaat dari seluruh bagiannya atau hanya bagian-bagian tertentu saja yang bermanfaat sebagai obat. Dari koleksi tumbuhan di KRB, daun merupakan bagian tumbuhan terbanyak digunakan 303 spesies untuk pengobatan sedangkan umbut paling sedikit digunakan 10 spesies. Hal ini sesuai pula dengan data Zuhud 2009 yang menyatakan bahwa daun merupakan bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat, yaitu sebesar 749 spesies 33,50, sedangkan umbut merupakan bagian tumbuhan yang paling sedikit digunakan, yaitu sebanyak 8 spesies 0,18. Demikian pula hasil penelitian Solikin 2009 di Kebun Raya Purwodadi yang menyatakan bagian organ tumbuhan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan penyakit adalah daun. Secara lengkap bagian-bagian tumbuhan yang digunakan dan jumlah spesies yang digunakannya tersaji pada Gambar 7. Selain daun, yang cukup banyak bagian digunakan adalah akar. Akar menempati posisi kedua terbanyak digunakan sebagai bahan obat. Hal ini perlu perhatian lebih mengingat akar adalah organ utama penunjang tegaknya sebuah tumbuhan. Pengambilan akar tumbuhan akan lebih berpengaruh terhadap kelangsungan tumbuhan dibandingkan pengambilan bagian lainnya. Penggunaan bagian akar tumbuhan untuk bahan baku obat harus dipertimbangkan karena secara fisiologis, pengambilan akar tanaman biasanya dilakukan dengan menggali atau mencabut tumbuhan sehingga dapat mengancam kelangsungan hidup dan kelestarian spesies tumbuhan Solikin 2009. Beberapa kasus hilangnya spesies tumbuhan obat di KRB diakibatkan adanya informasi penggunaan bagian akar tumbuhan tertentu untuk pengobatan tradisional. Pasak bumi Eurycoma longifolia Jack. dan ginseng jawa Talinum paniculatum Gaertn. adalah contoh spesies yang hilang akibat dicabut akarnya.

4.1.3. Kelangkaan koleksi tumbuhan obat