I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat berharga dan kebutuhan vital bagi mahluk hidup. Dalam era kehidupan ekonomi moderen
seperti saat ini, air merupakan elemen utama, yaitu untuk kebutuhan domestik, perikanan, peternakan, pertanian, industri, pembangkit listrik, transportasi dan
bahkan sampai kebutuhan sekunder seperti rekreasi dan olah raga. Seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan
dijaga kemurniannya terhadap cemaran. Realitanya air selalu dihambur- hamburkankan, dicemari dan disia-siakan.
Air bersih sebagai sumber kehidupan ini persediaannya terbatas dan kualitasnya semakin turun akibat cemaran dari hasil kegiatan manusia, sehingga
banyak orang yang tidak mendapatkan akses air bersih. Menurut organisasi kesehatan dunia, 2 miliar orang kini menyandang resiko menderita penyakit
murus diare yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari 5 juta anak-anak setiap tahun. Kuantitas dan
kualitas sumber-sumber air semakin menurun akibat dicemari oleh limbah rumah tangga maupun industri yang tidak diolah atau karena penggunaanya yang
melebihi kapasitasnya untuk dapat diperbaharui. Perubahan radikal terhadap cara kita menghargai dan memanfaatkan air sangat mendesak untuk dilakukan, karena
indikasi air bersih menjadi barang langka saat ini sudah terjadi, yaitu air bersih semakin sulit diperoleh dan untuk mendapatkannya harus melalui pengolahan
khusus yang biayanya melewati jangkauan sumber daya ekonomi negara. Konsumsi air secara keseluruhan meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir
dan terbukti kususnya negara kita gagal mencegah terjadinya penurunan mutu air serta tidak mampu memenuhi kebutuhan air bersih secara nasional.
Dewasa ini 1.2 milyar penduduk dunia tidak mempunyai akses air bersih dan hampir dua kali dari jumlah itu tidak mempunyai fasilitas sanitasi dasar yang
memadai. Masalah air bersih di dalam negeri terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang dan kota-kota penyangga ibukota serta kota-
kota besar lainnya semakin mengkhawatirkan. Air sungai sebagai sumber air baku
perusahaan air minum debitnya semakin kecil dan kualitasnya semakin menurun, hal ini mengakibatkan biaya produksi air bersih semakin mahal dan pada kondisi
tertentu menyebabkan perusahaan air minum PAM tidak dapat lagi dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat karena kualitas air olahan
buruk dan tidak memenuhi Permenkes Republik Indonesia Nomor 416MENKESPERIX1990 tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh PDAM Tirta Kerta Raharja TKR Kabupaten Tangerang pada bulan September 2000 terhadap
kualitas air baku perusahaan air minum, air sungai cisadane yang digunakan oleh instalasi pengolahan air IPA wilayah Bojong Renget tidak memenuhi kriteria
mutu air Golongan I sebagai air baku perusahaan air minum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Konsentrasi senyawa organik KMnO
4
dalam air baku berkisar antara 10-19 mgl, amoniak NH
4
-N 0.06-1.09 mgl dan deterjen MBAS 0.2-0.92 mgl. Pertengahan bulan Agustus 2009
konsentrasi senyawa organik KMnO
4
mencapai 19.02 mgl, amoniak NH
4
-N 3.8 mgl, dan deterjen MBAS 0.9 mgl, sehingga PDAM TKR wilayah IPA
Bojong Renged menghentikan proses pengolahan untuk sementara waktu, karena instalasi pengolahan yang ada sudah tidak mampu lagi mengolah dengan kondisi
air baku seperti tersebut diatas. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air, kriteria kualitas air golongan I
yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum, konsentrasi maksimum yang diperbolehkan untuk organik 10 mgl, amoniak 0.5 mgl, dan
deterjen 0.2 mgl. PAM di Indonesia khususnya PDAM TKR wilayah IPA Bojong Renget
menggunakan gas klor untuk mereduksi mikroorganisma desinfeksi. Di dalam proses desinfeksi gas klor juga bereaksi dengan senyawa organik, amoniak, logam
besi dan mangan. Meningkatnya konsentrasi zat pencemar tersebut mengakibatkan kebutuhan klor untuk proses desinfeksi semakin banyak, sebagai
akibatnya muncul hasil samping dari proses klorinasi, yaitu terbentuknya senyawa trihalometan THM dan diikuti kenaikan konsentrasi senyawa halogen organik
lainnya. Peningkatan konsentrasi senyawa amoniak dalam air baku
mengakibatkan amoniak bereaksi dengan klor menjadi kloramine yang daya desinfeksinya lebih lemah. Hal ini mengakibatkan konsumsi klor menjadi lebih
besar, sehingga biaya operasionalnya menjadi lebih tinggi. Selain itu di dalam air baku perusahaan air minum juga mengandung senyawa fenol yang sifatnya mudah
bereaksi dengan senyawa klor, sehingga dengan adanya pembubuhan klor pada saat proses desinfeksi akan membentuk senyawa halogen organik klorofenol yang
sangat berbahaya dan memicu penyakit kanker carcinogen. Deterjen sintesis terutama jenis anionic banyak digunakan secara luas di
Indonesia sejak 20 tahun terakhir, sehingga residunya telah mengakibatkan pencemaran air tanah dangkal, danau, laut dan sungai yang digunakan sebagai air
baku PAM. Air yang tercemar deterjen dalam jumlah banyak tidak mudah untuk direduksi dengan menggunakan sistem instalasi konvensional yang dimiliki oleh
PAM, sehingga diduga kuat senyawa tersebut masih terkandung dalam air bersih yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk.
Penurunan kualitas air baku mengakibatkan biaya proses pengolahan menjadi lebih besar, bahan kimia yang dibutuhkan meningkat dan kualitas air
olahan tidak memenuhi kriteria mutu air sebagai air baku PAM. Tindakan untuk mengatasi penurunan kualitas air baku dapat dilakukan dengan penerapan
teknologi pengolahan lanjut advanced treatment. Salah satu cara yaitu seperti yang dilakukan oleh perusahaan air minum saat ini dengan menambahkan karbon
aktif bubuk pada bak pengendap atau menggunakan filter karbon aktif. Cara ini mampu meningkatkan kualitas air olahan, namun menambah beban proses
pengolahan terutama pada proses sedimentasi, sehingga memerlukan tambahan biaya untuk pengadaan karbon aktif dengan biaya yang tidak sedikit. Pemakaian
karbon aktif mengakibatkan permasalahan baru, yaitu karbon aktif yang telah dipakai untuk proses pengolahan dan mengalami kejenuhan tidak dapat digunakan
lagi limbah. Dalam mengantisipasi permasalahan limbah ini adalah dengan melakukan pengolahan secara biologis biological process yang sampai saat ini
masih dianggap sebagai teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Salah satu cara yang dapat dipertimbangkan dalam pengolahan secara biologis ini adalah
dengan penerapan proses biofiltrasi menggunakan media plastik tipe sarang tawon yang diterapkan pada awal proses pretreatment.
1.2 Kerangka Pemikiran