3. Strategi WO Weaknesses-Opportunities
Strategi ini bertujuan memperbaiki kelemahan internal dengan cara mengambil keuntungan dari peluang eksternal.
4. Strategi WT Weaknesses-Threats
Strategi ini bertujuan mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman eksternal.
Tabel 7 Formulir Matriks SWOT Eksternal
Internal Opportunities Peluang
Threats Ancaman Strengths Kekuatan
SO ST
Weaknesses Kelemahan WO
WT Sumber: David 2005
e Pembuatan Tabel Peringkat Alternatif Strategi
Penentuan prioritas dilakukan kepada beberapa alternatif strategi yang diperoleh dari matriks SWOT. Tahap ini dilakukan dengan cara menjumlahkan
skor dari faktor-faktor penyusunnya Tabel 9. Strategi yang memiliki skor tertinggi merupakan strategi yang menjadi prioritas utama.
Tabel 8 Formulir Penentuan Peringkat Alternatif Strategi Alternatif Strategi
Keterkaitan dengan Unsur SWOT
Skor Peringkat
SO1 SO2
SOn ST1
ST2 STn
WO1 WO2
WOn WT1
WT2 WTn
Sumber: Saraswati 2010
c. Formulasi Rencana Pengelolaan dan Pelestarian
Pada tahap ini disusun formulasi dari strategi yang telah ditentukan dari analisis SWOT. Formulasi tersebut berupa usulan-usulan pelestarian dalam
menangani masalah dan mengembangkan potensi tatanan lanskap yang terdapat pada tapak. Usulan pelestarian yang diberikan dalam bentuk zonasi pelestarian
dan usulan aksesibilitas dan sirkulasi. Pertimbangan pembagian zonasi pelestarian dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Pertimbangan Pembagian Zonasi Pelestarian
Zonasi Kriteria
Arahan Pengembangan dan Pengelolaan
Zona Inti a. Terdapat situs sejarah
a. Perlindungan yang intensif. b. Aktivitas yang dilakukan
pasif dan tidak mengancam keberlanjutan situs melihat,
interpretasi, mempelajari, merasakan suasana.
b. Perbaikan dan perubahan harus seijin BP3 dan dikhususkan untuk
interpretasi lanskap sejarah situs.
Zona Penyangga
a. Terdapat fasilitas pendukung aktivias wisata yang sesuai
dengan karakternya. b. Aktivitas yang dilakukan
masih pasif dan terbatas. a. Perubahan dan pengembangan
kawasan tidak mengancam, merusak situs, dan untuk
memperkuat karakter lanskap dan sejarah situs.
c. Karakter lahan, pemukiman, dan aktivitas masyarakat
yang mempengaruhi situs. b. Perubahan dan pengembangan
kawasan sesuai dengan RDTR Kabupaten Sleman, dan
pengawasan BP3. d. Objek wisata di sekitar situs.
Zona Pengembangan
a. Terdapat fasilitas yang
diperlukan, tetapi harus sesuaitidak merusak
karakter zona inti terutama secara visual.
b. Aktivitas dapat bersifat aktif.
a. Perubahan dan perkembangan
kawasan sesuai dengan aspek legal yang berlaku dan RDTR
Kabupaten Sleman.
KONDISI UMUM LOKASI STUDI
4.1 Letak Geografis, Luas, dan Batas Wilayah
Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian utara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini terbentang mulai
110° 13’ 00’’ sampai dengan 110° 33’ 00” Bujur Timur dan mulai 7° 34’ 51” sampai dengan 7° 47’ 03” Lintang Selatan dengan ketinggian 100-1000 meter di
atas permukaan air laut. Luas Wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 km
2
atau sekitar 18 dari luas Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak terjauh utara-selatan sekitar 32 km dan timur-barat kira-kira 35 km. Secara
administratif, Kabupaten Sleman berbatasan dengan Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah di bagian utara, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten
Provinsi Jawa Tengah, bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul Provinsi D.I.Yogyakarta, dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon
Progo Provinsi D.I.Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Sleman terdiri dari 17 kecamatan, 86 desa, dan 1.212 dusun
BAPPEDA, 2008. Salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman adalah Kecamatan Prambanan. Di kecamatan inilah letak Situs Ratu Boko. Kecamatan
Prambanan memiliki luas 41,35 km
2
dan berbatasan dengan Kecamatan Kalasan
di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul, Kabupaten Klaten-Jawa Tengah di sebelah timur, dan sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Kalasan dan Kecamatan Berbah. Secara geografis Situs Ratu Boko terletak pada koordinat 110° 40’ 54’’ BT
dan 7° 45’ 40’’ LS. Sedangkan secara administratif Situs Ratu Boko terletak di dua wilayah desa, yaitu Dukuh Dawung Desa Bokoharjo, Kecamatan
Prambanan di sebalah barat dan Dukuh Sumberwatu Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan di sebelah timur. Namun situs ini dominan terletak di
Dukuh Dawung, Desa Bokoharjo. Luas Desa Bokoharjo sekitar 5,40 Km
2
dan luas Desa Sambirejo yaitu 8,39 Km
2
. Situs Ratu Boko terletak pada ketinggian 195.97 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas sekitar 160.898 m
2
. Peta administrasi Desa Bokoharjo dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Peta Administrasi Desa Bokoharjo dan Desa Sambirejo Situs Ratu Boko berada kurang lebih dua kilometer di sebelah selatan
komplek Candi Prambanan. Situs ini terletak di atas dataran perbukitan seluas 500x500 meter persegi. Perbukitan Boko merupakan rangkaian pegunungan zona
Gunung Kidul yang berketinggian antara 110 hingga 229 meter di atas permukaan laut. Tapak bukit tersebut dibatasi Jalan Raya Piyungan-Prambanan di sebelah
utara dan Jalan Aceh Candi Ijo di sebelah selatan. Di sebelah timur berbatasan dengan jalan penghubung Kebon Dalem Kidul-Pereng, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Sungai Opak. Dalam skala tapak itu sendiri, Situs Ratu Boko berada di bawah tiga
pengelola. Kawasan yang melingkupi keseluruhan benda-benda purbakala di
bawah pengelolaan BP3 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah diluar kawasan situs dan aspek wisatanya
termasuk di dalam pengelolaan PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Sedangkan wilayah yang paling luar di bawah kewenangan
Pemda. Kantor pusat pengelola BP3 berada di Kelurahan Bogem, sedangkan kantor pusat PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko
terletak di Jalan Raya Jogja-Solo. Kawasan Situs Ratu Boko dapat dilihat pada Gambar 5 dan peta Kompleks Situs Ratu Boko ada pada Gambar 6.
Gambar 5 Kawasan Situs Ratu Boko
BP3
4.2 Sejarah Situs Ratu Boko
Situs Ratu Boko sebagai salah satu peninggalan yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah memiliki karakter yang berbeda dengan peninggalan-
peninggalan lain. Peninggalan masa klasik Jawa Tengah pada umumnya berupa bangunan candi, baik itu merupakan bangunan tunggal atau kompleks. Sedangkan
peninggalan Situs Ratu Boko ini bukan hanya bangunan atau elemen yang bersifat keagamaan candi tetapi juga bangunan yang bersifat profan tempat tinggal.
Dalam buku Menapak Jejak Kepurbakalaan Ratu Boko Ayuati dan Gatut, 2003 menjabarkan bahwa kawasan Situs Ratu Boko adalah kawasan peninggalan
sejarah yang dibangun sekitar abad VIII M dengan latar belakang keagamaan yang berbeda, yaitu Hindu dan Budha. Pada awalnya kompleks Situs Ratu Boko
merupakan kompleks wihara yang digunakan sebagai tempat tinggal para biksu dalam agama Budha. Diketahui pula pendirian Abhayagiriwihara oleh Rakai
Panangkaran pada tahun 714 Saka 792 M. Arti dari Abhaya yaitu tiada bahaya atau damai, sedangkan Giri berarti gunung. Jadi Abhayagiriwihara artinya yaitu
wihara yang terletak di gunung atau bukit yang penuh kedamaian. Rakai Panangkaran adalah salah satu raja besar dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno
yang juga turut membangun Candi Kalasan yang terletak di Kecamatan Kalasan. Sifat Buddhisme di Situs Ratu Boko dapat diindikasikan melalui temuan arca
Budha, reruntuhan stupa, dan stupika. Temuan reruntuhan stupa menunjukkan pengaruh Buddhisme di Situs Ratu Boko pada masa lampau. Stupa merupakan
fenomena religius yang secara formal maupun konseptual dianggap penting dan identik dengan agama budha, sedangkan stupika adalah stupa kecil yang
digunakan dalam upacara sebagai benda pelengkap. Pada sekitar tahun 856 M, fungsi komplek Situs Ratu Boko menjadi
tempat kediaman bagi Rakai Walaing Pu Kumbhayoni Sri Kumbhaja yang menganut agama Hindu. Ada tiga prasasti yang ditemukan berangka tahun 856 M
dan semuanya mengandung keterangan pendirian lingga yaitu Lingga Kerrtivaso, Lingga Tryambaka, dan Lingga Hara. Lingga adalah perwujudan Dewa Siwa,
yaitu dewa tertinggi dalam pemujaan Trimurti di Indonesia. Prasasti lain yang ditemukan adalah Prasasti Pereng tahun 826 M. Prasasti ini mengandung
keterangan tentang pendirian sebuah bangunan suci untuk Dewa Siwa, yaitu
Candi Bhadraloka. Pada kurun waktu itu, kawasan Situs Ratu Boko disebut Walaing, diketahui dari prasasti Mantyasih yang menyebutkan bahwa penulis
prasasti, yaitu Pu Tarka, berasal dari Walaing. Selain itu, karakter agama Hindu juga dapat dilihat dari temuan-temuan berbentuk yoni, tiga buah miniatur candi
yang bersifat Hiduistik, arca Balarama, arca Durga, dan arca Ganesha. Para ahli memperkirakan bahwa Situs Ratu Boko telah dihuni pada sekitar 600 M700 M
sampai 1400 M. Namun hingga saat ini, masih belum diketahui fungsi dari Situs Ratu
Boko. Selain menggunakan data-data non tekstual bangunan, arca, keramik, gerabah, dan artefak-artefak lain, digunakan juga data tekstual seperti prasasti
untuk mengetahui latar belakang sejarah Situs Ratu Boko. Adapun prasasti- prasasti yang pernah ditemukan di situs ini, antara lain Soenarto, Subroto, dan
Santoso, 1993: a.
Lima fragmen prasasti berhuruf Prenagiri dan berbahasa Sansekerta. Fragmen prasasti ini ditemukan di dekat batur A. Meskipun sudah tidak
utuh lagi tetapi masih dapat diketahui bahwa prasati ini berhubungan dengan pendirian bangunan suci untuk Awalokiteswa, yaitu salah satu
Bodhisatwa dalam agama Budha khususnya aliran Mahayana. b.
Tiga prasasti berhuruf Jawa Kuno, dalam bentuk syair Sansekerta. Penemuan prasasti ini sudah tidak diketahui lagi secara pasti, namun
diperkirakan masih di sekitar Situs Ratu Boko. Dua diantaranya memuat angka tahun 778 M dan 856 M, berisi tentang pendirian Lingga Kerrtivaso
dan Lingga Tryambaka. Sebuah prasasti lainnya berisi tentang sebuah Lingga Hara.
c. Sebuah prasasti berbahasa dwilingual Sansekerta-Jawa Kuno. Prasasti ini
ditemukan di desa Pereng tidak jauh dari Ratu Boko. Prasasti yang ditulis pada tahun 785 Saka atau 863 M berisi tentang pendirian sebuah bangunan
suci untuk Dewa Siwa yang bernama Badraloka. Pendirian bangunan ini diperintahakan oleh Rakai Walaing pu Kumbhayani.
d. Sebuah tulisan singkat inskripsi pada lempengan emas. Inskripsi ini
ditemukan di dalam peripih periuk perunggu di bawah bak penampung air. Prasasti ini diterjemahkan oleh Rita Margaretha, bunyinya: Om Rudra yana