Tatanan Lanskap Situs Ratu Boko

keraton ini memilih dibangun di perbukitan karena mengutamakan faktor keamanan dan faktor pencaharian. Bahan yang digunakan dalam pembangunan adalah kayu dan batu karena disesuaikan dengan iklim dan lingkungan. Selain itu bentuk konstruksi bagian atapnya selalu mempunyai sudut kemiringan cukup tajam. Bahan atap yang digunakan pada zaman dahulu diduga adalah ijuk, daun- daunan, dan sirap, sedangkan bagian lantainya ditinggikan dengan batur atau disangga oleh beberapa tiang 1 . Apabila diduga sebagai tempat permukiman, seharusnya kondisi lingkungan dapat mendukung kehidupan manusia di dalamnya. Hal yang paling menonjol dari ciri permukiman adalah sumber air yang cukup dan kesuburan tanah. Namun dilihat dari data yang diperoleh serta pengamatan lapang, situs ini berada pada keadaan lingkungan yang tandus dan gersang. Hal tersebut dipengaruhi oleh ketinggian rangkaian perbukitan Boko yang ada pada ketinggian yang cukup rendah, yaitu 229 m di atas permukaan laut. Jika dilihat dari segi jenis tanah yang terkandung, karena susunan tanah terdiri dari lempung abu-abu, lempung abu-abu kerikil putih, lumpur lempung cokelat berlapiskan cadas, lumpur lempung kerikil, dan cadas muda, maka jenis tanah seperti ini cenderung keras dan kurang baik dalam pertanian dan perkebunan. Situs yang diduga sebagai permukiman ini terletak di perbukitan yang bentukan lahannya sangat rentan terhadap erosi dan tanah longsor, terutama pada kawasan yang minim vegetasi. Hal yang menyebabkan kawasan ini rentan dengan erosi dan tanah longsor adalah lapisan tanahnya yaitu grumosol dan latosol yang memiliki ketebalan yang sangat tipis. Keadaan tanah dengan sifat yang minim akan ketersediaan air tanahnya berakibat kurang baik untuk budidaya tanaman terutama pada musim kemarau. Dengan kondisi lahan seperti yang dijelaskan sebelumnya menunjukkan secara geografis dan secara geologis kurang memenuhi syarat untuk dijadikan tempat permukiman, terutama dalam kendala kurangnya sumber air sebagai kebutuhan utama manusia. Tanah juga kurang menyerap air hujan dengan baik disebabkan jenis tanah grumosol yang mengandung pasir sehingga air tidak mudah terikat oleh partikel tanah. Selain itu adanya sedimentasi batuan di bawah 1 Sumber: Wawancara dengan Ketua Pengelola Situs Ratu Boko BP3 DIY Februari, 2011 permukaan tanah dengan kondisi pelapisan miring, bahkan di beberapa bagian kemiringannya terjal. Keadaan permeabilitas tanahnya juga rendah dan sangat mudah terjadi erosi Widayati, 1994. Situs Ratu Boko yang terletak di perbukitan dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 10 Bukit dan Lembah yang Mengelilingi Kompleks Situs Ratu Boko Gambar 11 Situs Ratu Boko dan Kawasan di Sekitarnya Sumber: Indonesian Heritage, 1996 Situs Ratu Boko ini diduga dulunya adalah sebagai tempat pemujaan dan sangat terkait dengan letaknya yang berada di perbukitan. Situs ini terletak pada kemiringan yang cukup landai. Dengan keadaan topografi yang seperti ini, masyarakat zaman dahulu kemudian membangunnya sebagai tempat pemujaan agar nilai kesakaralannya tinggi. Selain itu, situs ini juga diduga sebagai tempat berlindung dari musuh dan permukiman sementara. Didukung pula dengan kondisi topografi di luar situs, khususnya di sebelah barat situs Jalan Raya Piyungan yang lerengnya bergelombang. Dengan keadaan tanah yang bergelombang mempersulit musuh untuk masuk dan memperkuat pertahanan di dalam keraton. Selain itu, keberadaan Situs Ratu Boko dengan situs-situs di sekitar kawasan saling terkait yang menunjukkan adanya masyarakat Hindu dan Budha yang pernah tinggal di kawasan tersebut. Candi yang terletak di sekitar kompleks Situs Ratu Boko antara lain, di sebelah timur terdapat Candi Barong dan Candi Miri yang bersifat Hindu, serta stupa Dawangsari yang bersifat Budha Gambar 12. Sedangkan di sebelah selatan kompleks terdapat Candi Banyunibo yang bersifat Budha dan di atas bukit sebelah selatan Banyunibo terletak Candi Ijo yang bersifat Hindu. Adapula Candi Sojiwan yang bersifat agama Budha terletak di sebelah utara serta Candi Rara Jonggrang Candi Prambanan yang bersifat Hindu. Di lembah barat Situs Ratu Boko terdapat Situs Watu Gudig yang belum jelas latar belakang keagamaannya dan Candi Kalasan yang bersifat Budha. Keterkaitan yang paling erat yaitu antara Situs Ratu Boko dengan Candi Prambanan dan Candi Kalasan berdasarkan latar belakang sejarahnya. Selain dilihat dari tatanan lanskap alami, bentuk lain yang perlu diperhatikan adalah tata ruang, elemen sejarah, dan tata letak elemen yang terdapat dalam kompleks Situs Ratu Boko. Dari tata ruang, elemen sejarah, dan tata letak elemen, kompleks ini mengarah pada sebuah kompleks keraton. Bangunan-bangunan peninggalan zaman Boko memang mengarah pada bangunan keraton, seperti adanya gapura, Pendapa, alun-alun, Keputren, dan lain-lain. Gambar 12 Candi Barong Terlihat dari Sebelah Timur 5.1.2 Konsep Tatanan Lanskap a. Karakter Bangunan Situs Ratu Boko Apabila dibandingkan dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang merupakan bangunan ibadah pada rentang waktu yang tidak terlalu jauh, Situs Ratu Boko tidak memiliki karakter yang menonjol. Candi Borobudur dan Candi Prambanan memiliki bentukan yang meruncing ke atas, sedangkan Situs Ratu Boko hanya batu dan batur-batur yang tertata membentuk suatu pola kerajaan atau keraton. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan fungsi antara Candi Borobudur dan Candi Prambanan dengan Situs Ratu Boko. Fungsi Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebagai tempat beribadah, sedangkan Situs Ratu Boko selain berfungsi sebagai tempat beribadah, juga sebagai tempat tinggal. Objek utama bangunan tersebar di perbukitan sebelah barat yang berkontur. Meskipun bentuk bangunan simetris, namun tata letak bangunan pada lahan tidak simetris yang menunjukkan adanya transisi antar satu kelompok bangunan dengan kelompok bangunan lainnya. Bangunan yang memiliki bentuk dominan adalah Gapura Utama. Gapura utama memiliki tinggi yang menjulang dan tidak dalam skala manusia sehingga memberikan kesan megah dan wibawa. Namun terdapat persamaan antara Candi Bororbudur sengan Situs Ratu Boko, yaitu adanya hiasan ratna sejenis buah Keben pada gapura utama. Perbedaan bentuk dan karakter bangunan antara Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Situs Ratu Boko dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Perbedaan Karakter Bangunan antara Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Situs Ratu Boko b. Konsep Tatanan Berdasarkan Filosofis dan Fungsi Menurut Subroto 19891990 dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Unsur-Unsur Bangunan Pada Situs Ratu Boko”, Situs Ratu Boko merupakan bekas keraton atau bekas suatu kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan bekas-bekas peninggalan yang mendukung pernah dibangunnya sebuah kerajaan seperti batur, lantai bangunan, tembok, pagar, gapura, dan kompleks gua. Diantara peninggalan-peninggalan tersebut terdapat beberapa bangunan yang bersifat profan huniantidak sakral dan bangunan yang bersifat sakral suci. Bangunan yang bersifat profan atau hunian yaitu seperti Pendapa, Keputren, dan kolam pemandian. Sedangkan bangunan atau tinggalan yang bersifat sakral atau suci antara lain kompleks gua, minatur candi, beberapa arca, dan peripih. Dalam menentukan konsep tatanan lanskap, terdapat dua dasar, yaitu berdasarkan filosofi atau alur kesejarahannya dan berdasarkan fungsi bangunan dan elemen sejarah. Berdasarkan konsep inilah konsep tatanan diambil dari dasar kesejarahan pada umumya, yaitu konsep kosmologis agama Hindu dan agama Budha. Dalam bidang kesejarahan, ada tiga aspek yang mempengaruhi suatu tinggalan arkeologis yaitu waktu time, ruang space, dan bentuk form. Studi arkeologi ruang lebih menitik beratkan perhatiannya kepada sebaran distribution benda-benda dan situs arkeologi serta hubungan relationship benda dan situs itu dengan lingkungan fisiknya sebagai sumber daya. Secara umum konsep kosmologi agama Hindu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bhurloka dunia bawah, bwahloka dunia tengah, dan swahloka dunia atas. Namun banyak orang yang menyebut konsep pembagian tata ruang ini dengan Tri Hita Kirana atau diartikan sebagai tiga jalan kebajikan. Tiga bagian dalam Tri Hita Kirana ini, antara lain adalah atma jiwa, sarira raga, dan trikaya tenagakekuatan. Ada hubungan yang terkait antara bagian-bagian dalam Tri Hita Kirana. Integrasi antara atma dengan sarira akan menghasilkan kreasi yang memiliki tiga kekuatan, yaitu kaya tenaga fisik, wak kemampuan berbicara, dan manah tenaga jiwapikir. Di Bali, konsep ini disebut dengan Tri Angga, yang terdiri dari nista yang berarti bagian bawah dan diidentikan dengan kaki dan kotor, madya atau bagian tengah atau balai yang bersifat netral, dan utama yaitu bagian atas atau kepala dan bersifat bersih Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Direktorat Jendral Pariwisata Proyek Pengembangan Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, 1996. Selain konsep dari agama Hindu, konsep kosmologis dari agama Budha juga secara tersirat pada tatanan Situs Ratu Boko ini. Konsep kosmologis agama Budha di bagi menjadi tiga bagian, yaitu kamadhatu nafsu rendah, rupadhatu pembersihan, dan arupadhatu alam atas Anonim, 2012. Dari konsep dasar yang dijelaskan sebelumnya, konsep yang hampir sama juga diterapkan pada tata ruang kompleks Situs Ratu Boko. Pembagian ruang kompleks Situs Ratu Boko ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu area profan, area transisi, dan area sakral. Di dalam konsep tatanan filosofis ini dibagi lagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan fungsi bangunan. Konsep fungsi bangunan dibagi menurut letak dan fungsi setiap elemen yang ada di dalam kompleks Situs Ratu Boko. Menurut fungsi bangunan-bangunannya, Situs Ratu Boko terbagi menjadi lima kelompok, yaitu Kelompok Gapura Utama, Kelompok Paseban, Kelompok Pendapa, Kelompok Keputren, dan Kelompok Gua. Konsep tatanan berdasarkan filosofis dijabarkan secara horizontal dan vertikal. Konsep yang dijabarkan secara horizontal, dilihat dari tingkat kesakralan berdasarkan susunan area dari depan ke belakang. Area profan yang merupakan area yang paling depan dan dinilai tidak memiliki nilai kesakralan sama sekali. Lalu area selanjutnya adalah area transisi yang terletak di tengah, setelah area profan. Area ini merupakan area netral antara area profan dan area sakral. Area yang paling belakang adalah area sakral. Area sakral dinilai memiliki kesakralan atau kesucian yang paling tinggi. Area ini merupakan pusat kegiatan masyarakat kerajaan. Kegiatan yang dilakukan yaitu kegiatan pemerintahan, kegiatan pribadi anggota kerajaan, dan kegiatan peribadahan. Pembagian ruang filosofis secara horizontal ini dapat dilihat pada Gambar 14. Konsep tatanan secara vertikal melihat tingkat kesakralan berdasarkan tinggi area, yaitu dari rendah ke tinggi. Area profan terletak pada susunan terendah karena selain fungsi ruang yang kurang sakral juga letaknya yang berada di paling bawah atau pada teras pertama. Area selanjutnya yaitu area transisi, area ini setingkat lebih tinggi dari area profan, yaitu pada teras kedua dan teras ketiga. Area transisi merupakan area yang bersifat netral dan berfungsi sebagai tempat berkumpul untuk acara-acara penting, seperti acara pembakaran jenazah, dan lain- lain. Area yang terakhir atau area yang tingkatannya paling tinggi adalah area sakral. Area ini terletak paling belakang di sebelah timur dan pada tatanan yang paling tinggi. Area sakral dibagi ke dalam dua area, yaitu area ibadah dan area pribadi. Area ibadah letaknya di atas bukit dan diduga menjadi area peribadahan yang sangat dijunjung kesucian dan kesakralannya sesuai dengan filosofis agama hindu, yaitu tempat suci berada pada tingkatan yang paling tinggi. Area lainnya pada area sakral yaitu area pribadi. Area pribadi letaknya di teras yang lebih rendah dibandingkan dengan area skaral namun masih dalam garis vertikal yang sama dengan area ibadah. Area pribadi ini termasuk ke dalam area sakral karena merupakan area dengan diduga sebagai pusat kegiatan sehari-hari anggota kerajaan. Pembagian ruang vertikal berdasarkan filosofinya dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 14 Pembagian Ruang Berdasarkan Filosofis Secara Horizontal Gambar 15 Pembagian Ruang Berdasarkan Filosofis Secara Vertikal Area profan merupakan halaman yang luas di sebelah barat sebelum kawasan inti situs. Area ini dinilai profan atau tidak sakral karena sifatnya umum dan hanya ada struktur jalan menuju kawasan inti situs. Tidak ada elemen yang sifatnya sakral di area ini. Batas dari area profan dengan area transisi ditandai dengan tangga menuju Gapura Utama. Area transisi dimulai dari Gapura Utama I pada teras kedua sampai ke halaman sebelah timur di teras ketiga. Area transisi bersifat netral, terletak di antara area profan dan area sakral. Pada area ini terdiri dari kelompok Gapura Utama dan kelompok Paseban. Kelompok Gapura Utama terletak di sebelah barat yang terdiri dari Gapura Utama I dan II, talud, pagar, candi pembakaran dan sisa- sisa reruntuhannya. Fungsi ruang pada kelompok ini umumnya sebagai ruang penerimaan dan sebagai tempat upacara. Seperti Gapura Utama I dan II merupakan akses masuk-keluar kerajaan yang sifatnya bebas dan boleh dilalui oleh siapa saja. Candi Pembakaran yang digunakan sebagai tempat pembakaran jenazah juga dinilai bersifat netral. Hal ini dikarenakan kegiatan yang dilakukan pada Candi Pembakaran bersifat umum, yaitu ritual pembakaran jenazah yang dilaksanakan oleh semua anggota dan masyarakat kerajaan. Kelompok kedua yaitu Kelompok Paseban. Kelompok ini terdiri dari batur Paseban dua buah, talud, dan pagar Paseban termasuk gapura, dan dua buah lantai di teras ketiga dengan beberapa umpak batu. Diduga dahulu kelompok Paseban difungsikan sebagai ruang berkumpul atau gathering area bagi masyarakat kerajaan. Secara umum dapat disebut juga sebagai alun-alun. Fungsi dari batur Paseban dan lantai pada teras ketiga yang diduga memiliki fungsi sebagai tempat pertemuan. Area sakral terbagi menjadi dua area, yaitu area ibadah dan area pribadi. Area ibadah terletak di sebelah utara dengan keadaan tanah yang berundak-undak serta ketinggian yang lebih tinggi dibandingkan dengan area pribadi. Area ibadah dimulai dari jalan setapak menuju ke perbukitan di sebelah utara. Terdapat dua buah gua di perbukitan ini, yaitu Gua Wadon dan Gua Lanang yang termasuk ke dalam kelompok Gua. Kelompok Gua letaknya di teras paling atas sebelah utara kelompok Pendapa. Kelompok ini terdiri dari Gua Lanang, Gua Wadon, bak tandon air, dan tangga batu cadas alam. Gua Lanang dan Gua Ladon terletak pada teras yang berbeda. Gua Wadon berada pada tempat yang lebih rendah dari Gua Lanang dan terletak di sebelah tenggara Gua Wadon. Pada zaman dahulu gua digunakan sebagai tempat bersemedi dan tempat yang paling suci maka letaknya di teras yang paling tinggi di antara kelompok lainnya. Hal ini bertujuan untuk lebih mensakralkan lingkungan peribadahan. Selain itu agar orang yang beribadah atau bersemedi dapat lebih khusyuk dengan keadaan lingkungan yang lebih sunyi dan tenang. Sampai sekarang masih belum diketahui perbedaan fungsi antara Gua Lanang dan Gua Wadon. Area sakral lainnya yaitu area pribadi yang terletak pada teras yang lebih rendah di sebelah selatan area ibadah. Di dalam area pribadi ini terdiri dari kelompok Pendapa dan kelompok Keputren. Kelompok Pendapa terdiri dari batur Pendapa dan Pringgitan yang dikelilingi pagar batu. Pendapa ini memiliki tiga gapura sebagai pintu masuk, miniatur candi yang dikelilingi teras-teras segi empat di samping kanan Pendapa, beberapa kolam penampung air yang dikelilingi pagar lengkap dengan gapuranya, dan struktur talud yang diberi pagar dibagian atasnya. Fungsi kelompok Pendapa adalah sebagai pusat kegiatan kerajaan karena diduga Pendapa merupakan tempat tinggal para raja. Kelompok lain yaitu Kelompok Keputren. Kelompok Keputren terdiri dari dua buah batur Keputren dan kompleks kolam pemandian. Fungsi dari Kelompok Keputren adalah sebagai tempat kegiatan para ratu dan putri kerajaan. Keputren diduga memiliki fungsi sebagai tempat tinggal ratu dan putri. Bagian lain yang termasuk dalam kelompok ini adalah kompleks kolam yang letaknya di antara Pendapa dan Keputren. Tepatnya kompleks kolam ini di sebelah timur Pendapa dan di sebelah barat Keputren. Kompleks kolam yang tersedia pun dikhususkan sebagai tempat pemandian para ratu dan putri. Terbagi menjadi dua kompleks, yaitu kompleks kolam bundar dan kompleks kolam persegi. Elemen-elemen yang ada pada area ini bersifat pribadi karena hanya anggota kerajaan saja yang dapat melakukan aktivitas pada area ini. Selain itu juga elemen-elemen yang ada pada area ini memiliki fungsi yang tinggi dalam mendukung kegiatan sehari-hari anggota kerajaan. Dapat dilihat bahwa Pendapa dan Keputren merupakan tempat tinggal raja dan ratu yang sifatnya sangat pribadi. Selain itu, kompleks kolam ini merupakan kolam-kolam yang hanya dapat digunakan oleh anggota kerajaan saja baik itu untuk mandi, maupun untuk kegiatan lainnya. Elemen lainnya yang ada di kelompok Keputren yaitu bak air yang letaknya di utara kompleks kolam. Bak air ini berbentuk persegi dan ukurannya jauh lebih kecil daripada kolam-kolam di kompleks pemandian. Peta tatanan lanskap berdasarkan filosofis terdapat pada Gambar 16. Peta tatanan kelompok ruang berdasarkan fungsi bangunanya dapat dilihat pada Gambar 17. 5.1.3 Tata Ruang, Orientasi, dan Elemen Lanskap Sejarah Fungsi Kompleks Situs Ratu Boko sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga ada tiga fungsi kompleks Situs Ratu Boko ini, yaitu sebagai permukiman, sebagai pertahanan, dan sebagai tempat beribadah. Situs ini dibangun di atas bukit dengan kandungan batuan padas yang dominan. Pada bagian depan kawasan Situs Ratu Boko terdiri dari teras-teras yang dibuat oleh masyarakat zaman dahulu untuk menghindari bencana erosi dan longsor. Terdiri dari tiga teras, yaitu teras pertama, teras kedua, dan teras ketiga. Latar belakang pembuatan teras-teras ini yaitu didasari pada kepercayaan tertentu. Orientasi dari Situs Ratu Boko adalah menghadap ke arah barat. Hal ini mengikuti arah terbenamnya matahari. Situs terbentang memanjang dengan arah barat ke timur-tenggara dengan dibatasi oleh tebing di sekelilingnya. Namun tidak semua elemen yang ada di dalam kawasan Situs Ratu Boko menghadap barat. Elemen-elemen yang menghadap ke arah barat antara lain Gapura Utama, bangunan yang diduga sebagai tempat tinggal seperti Pendapa dan Keputren, bangunan yang diduga sebagai tempat pertemuan seperti batur Paseban dan batur yang terletak di sebelah uatara batur Paseban, dan yang terakhir elemen yang menghadap ke barat adalah Candi Batu Putih, Candi Pembakaran, dan miniatur candi. Sedangkan dua buah gua yang terletak di sebelah timur kawasan situs menghadap ke arah selatan. Hal ini belum diketahui dengan pasti alasan perbedaan orientasi antar beberapa bangunan. Diduga orientasi gua menghadap selatan agar dapat berjaga-jaga dan melihat keadaan ke sebelah selatan gua Pendapa dan Keputren yang ketinggiannya lebih rendah dari area kompleks gua. Pada umumnya bahan dasar yang digunakan pada elemen-elemen sejarah yang ada yaitu batuan andesit, antara lain terdapat pada Gapura Utama, batur yang terdapat di teras ketiga, batur Paseban, batur Pendapa, batur Pringgitan, dan batur Keputren. Bahan lain yang digunakan pada elemen-elemen yang ada di kawasan Situs Ratu Boko ini yaitu batu putih yang digunakan pada elemen Candi Batu Putih, Candi Pembakaran, dan digunakan pula pada dinding Pendapa. Bahan lainnya yaitu batuan induk dan batuan padas yang umumnya digunakan sebagai bahan dasar bak air, kolam, dan beberapa bagian dinding. Elemen-elemen yang ditinggalkan dari peradaban ini dapat dikelompokan berdasarkan tata ruang filosofinya. Terbagi menjadi tiga area, yaitu Area Profan, Area Transisi, dan Area Sakral Tabel 16. Tabel 16 Pengelompokkan Elemen No. Area Kelompok Fungsi Elemen 1. Profan 1. Struktur Jalan 2. Talud 3. Pagar 4. Saluran Air 2. Transisi Gapura Utama 1. Gapura Utama I 2. Gapura Utama II 3. Candi Batu Putih 4. Pagar 5. Talud 6. Tangga 7. Saluran Air 8. Candi Pembakaran 9. Kolam Paseban 1. Lantai 2. Pagar 3. Paseban 4. Umpak-Umpak 3. Sakral Area Ibadah Gua 1. Gua Lanang 2. Gua Wadon Area Pribadi Pendapa 1. Pendapa 2. Paseban 3. Batur 4. Saluran Air 5. Bale-Bale 6. Miniatur candi Keputren 1. Keputren 2. Kolam 3. Batur 4. Pagar 5. Saluran Air

a. Area Profan

Area profan terletak di sebelah barat. Area ini merupakan area yang letaknya paling awal dan paling depan. Area profan dimulai dari halaman luas pelataran bawah sampai dengan tangga sebelum Gapura Utama sebelah barat. Ada yang menyebutkan arti dari profan adalah permukiman atau tempat tinggal, tapi maksud profan di sini adalah area yang dinilai kurang suci atau tidak sakral. Area profan berada di teras pertama. Teras ini memiliki ukuran sekitar 180x80 m dan merupakan teras terendah di antara tiga teras yang ada di kawasan situs ini. Pada sebelah timur dibatasi oleh talud yang merupakan pembatas dari teras pertama dengan teras kedua, sedangkan pada sebelah utara, barat, dan selatan dibatasi oleh lereng-lereng bukit. Keadaan lahan di area profan relatif datar. Elemen-elemen arkeologis yang ada pada teras pertama antara lain, sisa-sisa pagar, struktur jalan, saluran air, dan talud. a.1 Struktur Jalan Jalan yang terdapat pada teras pertama ini sebagian besar sudah ditutupi oleh jalan baru. Struktur jalan merupakan lantai yang tertata dari balok-balok batu putih dan memliki lebar kurang lebih 4 meter. Jalan ini berada sebelum Gapura Utama. Terdapat beberapa buah tangga untuk mencapai Gapura Utama karena letak jalan dan gapura yang berbeda teras. Gambar 18 Jalan Menuju Teras Kedua a.2 Talud Talud terletak di sebelah timur teras pertama dan merupakan pembatas teras pertama dengan teras kedua. Talud ini disusun dari batu putih sedangkan pada bagian utara dipahat dari batuan induk. Tinggi talud antara 3-4 meter. Sebagian talud dalam keadaan runtuh. Fungsi talud yaitu dalam pengelolaan air dan untuk mencegah terjadinya erosi tanah. Gambar 19 Talud 1 a.3 Pagar Pagar yang ada pada teras pertama hanya tinggal sisa-sisanya saja. Pagar ini terbuat dari batu putih dan merupakan pembatas jalan menuju Gapura Utama I. a.4 Saluran Air Saluran air ini memiliki panjang 95 cm, lebar 34 cm, dan tebal 28 cm. Pada awalnya saluran air ini merupakan sebuah balok batu yang kemudian dipahat sehingga membentuk saluran air. Di bagian tengah balok batu saluran air dipahat dengan lebar 18 cm dan kedalaman 10 cm.

b. Area Transisi

Area kedua atau area transisi terletak di tengah, dimulai dari Gapura Utama sampai alun-alun. Fungsi dari area ini adalah sebagai tempat berkumpul gathering area, pertemuan dengan raja, dan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya umum. Hal ini terlihat dari elemen yang ada, seperti dua batur Paseban dan dua lantai yang diduga digunakan sebagai tempat pertemuan, lalu Candi Pembakaran yang fungsinya sebagai tempat sesembahan dan pembakaran jenazah. Disebut area transisi karena area ini bersifat netral atau sebagai pembatas antara area yang tidak sakral dengan area yang sakral. Pada area ini kedaan lahannya berteras-teras, yaitu terdiri dari teras kedua dan teras ketiga. Teras kedua terletak di sebelah timur teras pertama dan memiliki ukuran 170x20 meter. Teras ini dibatasi oleh tebing di sebelah utara, di sebelah barat dibatasi oleh talud atau dinding pembatas teras pertama dengan teras kedua, lereng terletak di sebelah selatan teras kedua, dan di sebelah timur dibatasi oleh talud pembatas teras kedua dan teras ketiga. Dinding di sebelah barat pada teras kedua terbuat dari batuan induk kecuali ujung utara sepanjang 6 m. Bagian dinding sebelah utara memanfaatkan tebing bukit batu padas yang diratakan. Secara umum, bentukan lahan teras kedua rata dan berada di ketinggian yang sama. Elemen-elemen peninggalan yang tersisa pada teras kedua antara lain, Gapura Utama I, Batur Batu Putih Batur A, pagar, tangga, lantai, saluran air, dan talud. Teras yang terakhir yaitu teras ketiga. Teras ketiga memiliki ukuran 160x160 m. Teras ini letaknya di sebelah timur teras kedua dan memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari teras pertama dan teras kedua. Teras ketiga berupa tanah lapang yang cukup luas dan mengarah ke tenggara menuju kompleks bangunan Pendapa. Di sebelah utara dan timur teras ketiga ini merupakan dinding bukit yang beberapa bagiannya disusun dari batu putih, sedangkan pada bagian selatan dan barat terdapat talud pembatas teras kedua dan teras ketiga. Keadaan permukaan tanah dari permulaan halaman di teras ketiga sampai ke Paseban relatif memiliki ketinggian yang sama meskipun tidak rata. Sisa-sisa benda peninggalan yang masih ada di teras ketiga yaitu Candi Pembakaran, kolam kecil, kolam di timur Candi Pembakaran, umpak-umpak, saluran air, kolam di tenggara Gapura Utama II, pagar, dan Paseban. Bentuk dasar dan ukuran elemen-elemen yang hampir sama pada area transisi mengidentifikasikan bahwa ada dasar tersendiri dari letak bangunan- bangunan tersebut. Yang pertama yaitu bentuk dasar dari kedua Gapura Utama hampir mirip, yang membedakan hanya ketinggian dan jumlah gapura paduraksa. Selain itu ciri khas dari Gapura Utama dan gapura lainnya yang ada di kompleks Situs Ratu Boko yaitu hiasan Ratna hiasan yang berbentuk seperti buah keben di bagian atas gapura. Bahan yang digunakan oleh kedua gapura ini adalah batuan andesit kecuali tangganya yang menggunakan bahan dasar batu putih. Selanjutnya yaitu bentuk dari batur dan lantai yang ada di area transisi. Bentuk yang sama dari dua buah lantai yang terletak di tengah-tengah teras ketiga dengan batur Paseban yang letaknya di sebelah selatannya. Bentuk dari batur dan lantai ini adalah persegi panjang dan tersusun dari bahan yang sama yaitu batu andesit. Yang membedakan adalah orientasinya. Batur Paseban memanjang barat- timur, sedangkan lantai di sebelah utaranya memanjang utara-selatan.