6 masih mempertahankan bentuk yang bulat dan granula rusak yang sudah
kehilangan bentuknya Garcia et al. 1997. Cameron et al. 1983 menyatakan bahwa penyerapan air yang kurang pada
pati tidak cukup untuk destabilisasi daerah kristalin. Hal ini juga dikaitkan dengan penyerapan air pada daerah amorf karena gangguan pada daerah amorf membantu
kerusakan daerah kristalin akibat titik percabangan amilopektin yang rusak. Selama pemanasan dengan air yang cukup, daerah kristalin dalam granula meleleh dan
amilosa larut Hermansson et al. 1996.
Menurut Tako et al. 2014, kelarutan yang tinggi dan kestabilan panas dari molekul amilopektin dapat berkontribusi pada rantai cabang pendeknya A pada
rantai panjang B2-B3. Ikatan hidrogen intramolekular dan gaya van der waals berperan dalam kestabilan panas molekul amilopektin beras. Rantai pendek
molekul amilopektin beras A menghalangi pengikatan ikatan hidrogen dan dapat larut dalam air dengan mudah.
Air dan panas merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam proses gelatinisasi terutama bagaimana perubahan struktur amilosa dan amilopektin pada
jumlah air dan suhu yang berbeda Ratnayake dan Jackson 2006. Zeng et al. 2011 menjelaskan bahwa air yang dibutuhkan untuk proses gelatinisasi pati yaitu 5-40
sehingga terjadi dislokasi heliks amilopektin dan pelelehan heliks koil dimana amilopektin terbuka dan membentuk gel amorf. Air yang meningkat menyebabkan
ukuran dan jumlah daerah kristalin dari pati menurun karena dengan adanya panas, air dapat berdifusi masuk ke dalam daerah ini dan membagi daerah kristalin menjadi
daerah amorf Daomukda et al. 2011.
2.4 Karakteristik Pati Pragelatinisasi
Sifat utama dari pati pragelatinisasi ini yaitu kemampuan penyerapan air yang meningkat dan kelarutannya dalam air yang dingin Ashogbon et al. 2014. Proses
gelatinisasi ini akan mengubah karakteristik pati secara kimia maupun fisik akibat penyusunan kembali intra dan intermolekuler ikatan hidrogen antara air dan
molekul pati Neelam et al. 2012. Sifat fisik pati ini dipengaruhi oleh faktor internal yang ditentukan oleh sumber botani seperti struktur amorf dan kristalin pati
native, ukuran, morfologi, distribusi ukuran serta faktor eksternal seperti sumber area penanaman dan cuaca Schirmer et al. 2015.
Penyerapan air pada daerah amorf menyebabkan granula pati kehilangan kestabilan struktur kristalinnya sehingga kehilangan sifat birefringence Ratnayake
dan Jackson 2006. Kehilangan struktur pati yang teratur ini bersifat ireversibel yang meliputi pengembangan granula pati, hilangnya birefringence dan kristalinitas
Neelam et al. 2012.
Pragelatinisasi menyebabkan kerusakan granula pati yang menyebabkan pati tergelatinisasi memiliki indeks adsorpsi air dan indeks kelarutan air yang lebih
tinggi daripada pati native Majzoobi et al. 2011. Kerusakan granula pati yang besar memiliki indeks absorpsi air yang tinggi Nakamura et al. 2010 sedangkan
kerusakan granula pati yang kecil pada pati beras beramilosa tinggi menyebabkan penurunan indeks absorpsi air dan indeks kelarutan air Nakorn et al. 2009.
Menurut Nakorn et al. 2009, indeks absorpsi air dan indeks kelarutan memiliki hubungan dengan disintergrasi makromolekular dan degradasi pati selama
pemanasan dimana peningkatan indeks absorpsi air dan indeks kelarutan air dapat
meningkatkan kerusakan struktur granula pati. Jumlah kerusakan pati yang tinggi mungkin menyebabkan daya ikat air yang tertinggi pada tepung Lee et al. 2012
dan derajat gelatinisasi pati yang meningkat dapat menyebabkan WHC yang tinggi Pinnavaia et al. 1998. Patindol et al. 2012 menjelaskan tepung beras maupun
pati beras yang telah tergelatinisasi memiliki kemampuan penyerapan minyak yang lebih tinggi daripada native.
Menurut Bernetti et al. 1968, pati pragelatinisasi ketika dilarutkan dalam air dapat menyebabkan lapisan permukaan menjadi gel dan lapisan permukaan
menyerap dengan cepat sehingga lapisan yang mengel ini menghambat penetrasi air dan membentuk gumpalan pada bagian tengah. Pati yang telah digelatinisasi
akan kehilangan sifat viskositas dan kemampuan pengental dibandingkan pati native. Majzoobi et al. 2011 menyatakan viskositas intrinsik pati pragelatinisasi
gandum lebih rendah secara signifikan dibandingkan pati native dan jumlah kristalinitas pati pragelatinisasi lebih sedikit daripada pati native. Viskositas yang
hilang ini dapat diakibatkan oleh retrogradasi dari amilosa yang larut dan rehidrasi yang rendah setelah pengeringan.
Perubahan viskositas yang terjadi akibat pengembangan granula pati dan kelarutan makromolekul pati menjadi tahap yang penting dalam proses gelatinisasi.
Ketika suhu yang diaplikasikan lebih dari suhu gelatinisasi pati, pengembangan dan kerusakan pati terjadi secara parsial. Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya
peningkatan viskositas selama proses pemanasan seperti pada Gambar 1 Schirmer et al. 2015.
Penggunaan drum dryer dalam proses gelatinisasi pati gandum pada suhu 158
C, tekanan uap 5 bar dan kecepatan drum 5 rpm menghasilkan pati pragelatinisasi yang struktur granula patinya hilang, struktur kristalin yang rendah,
kental dalam air yang dingin, larut dan mampu menyerap air yang tinggi Majzoobi et al. 2011. Menurut Nakorn et al. 2009, peningkatan suhu drum 117,123
C dapat menurunkan indeks penyerapan air dari pati beras ketan pragelatinisasi.
Viskositas puncak setelah pendinginan pati beras ketan pragelatinisasi akan menurun dengan meningkatnya suhu permukaan drum.
Gambar 1 Pengukuran viskositas pati dalam air yang berlebih selama proses pemanasan dan pendinginan Schirmer et al. 2015
8 Menurut Wadchararat et al. 2006, tepung beras pragelatinisasi memiliki
waktu pasting dan suhu pasting yang lebih rendah, viskositas puncak serta setback yang rendah. Amilosa yang bebas akan menurunkan viskositas puncak dan
viskositas breakdown namun meningkatkan viskositas akhir dan viskositas setback Park et al. 2007. Majzoobi et al. 2011 menyatakan pati gandum pragelatinisasi
memiliki viskositas yang meningkat pada suhu di bawah suhu gelatinisasi pati native dan jika dipanaskan kemudian didinginkan viskositas akhirnya akan lebih
rendah dibandingkan pati native. Nakorn et al. 2009 menjelaskan bahwa kadar amilosa pati pragelatinisasi yang lebih rendah memiliki kerusakan makromolekul
pati yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari penurunan viskositas puncak selama pendinginan dari pati beras ketan pragelatinisasi daripada pati beras dengan amilosa
yang lebih tinggi pregelatinized jasmine starch.
2.5 Deep Fat Frying
Penggorengan minyak terendamdeep fat frying merupakan proses pemanasan dan pengeringan bahan pangan dengan mencelupkan bahan ke dalam
minyak pada suhu yang tinggi 170 - 210 C. Proses penggorengan ini meliputi
proses perubahan komponen-komponen yang berbeda secara fisik maupun kimia yaitu denaturasi protein, gelatinisasi pati, penguapan air dan pembentukkan crust
Porta et al. 2012. Selama proses penggorengan, proses pindah panas dan massa terjadi di dalam produk secara simultan. Perpindahan panas terjadi secara konveksi
dari medium penggorengan menuju ke permukaan bahan dan perpindahan panas secara konduksi terjadi di dalam bahan pangan. Perpindahan massa terjadi dengan
hilangnya air dari bahan pangan dalam bentuk uap air dan perpindahan minyak ke dalam bahan pangan Brennan 2006. Rajkumat et al. 2003 menyatakan bahwa
air awalnya menguap pada laju yang cepat kemudian penurunan kadar air berjalan secara simultan dengan kenaikan suhu. Pati yang tergelatinisasi selama proses
penggorengan ini menyebabkan tekanan pori kapilaritas sehingga minyak dapat berpenetrasi ke permukaan dan masuk ke dalam bahan pangan.
Proses penggorengan meliputi empat tahap Brannan et al. 2014. Tahap pertama merupakan tahap pemanasan awal dimana suhu dari permukaan bahan
pangan akan meningkat hingga suhu titik didih air. Tahap ini sangat cepat dan biasanya hilangnya air dapat diabaikan dan terjadi proses pindah panas konveksi
alami. Tahap kedua merupakan pemanasan permukaan dimana pindah panas yang terjadi berubah dari konveksi alami menjadi konveksi paksa karena terjadi
evaporasi air pada permukaan bahan pangan. Tahap ini merupakan permulaan pembentukan crust. Tahap berikutnya merupakan tahap falling rate dimana paling
banyak terjadi air yang hilang karena suhu inti bahan telah mencapai titik didih air. Perpindahan massa uap terjadi secara steady menurun karena penurunan air bebas
dan pembentukkan crust tebal yang menjadi penghalang hilangnya uap. Tahap terakhir merupakan titik akhir gelombang dimana terjadi perhentian hilangnya air.
Menurut Dana et al. 2006, mekanisme penyerapan minyak selama deep fat frying yaitu perpindahan air, efek fase pendinginan, dan surface active agents. Pada
umumnya, penyerapan minyak terjadi karena pori-pori yang besar dalam bahan pangan yang telah digoreng akibat hilangnya air. Kemudian mekanisme yang kedua
adalah jumlah minyak yang terserap secara signifikan ketika bahan pangan dipindahkan dari penggorengan yaitu terjadi pada fase pendinginan. Efek fase