76
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Imron 2007 yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara keterbukaan komunikasi, pemecahan
konflik terhadap kepuasan kerja bidan. Agar keterbukaan dalam komunikasi interpersonal tetap terjaga dengan baik, diharapkan kepala ruang perawatan
menumbuhkan sikap keterbukaan seperti selalu bersikap terbuka dalam berkomunikasi dengan perawatan, bereaksi secara jujur dalam menyampaikan
informasi tentang pelaksanaan asuhan keperawatan.
5.2 Pengaruh Empati dalam Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja
Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di RSUD dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar
Berdasarkan hasil analisis uji statistik Pearson Correlation Product Moment antara empati dalam komunikasi interpersonal dengan kinerja perawat pelaksana
ruang rawat inap di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar, diperoleh nilai p 0,05 p = 0,001 nilai ini lebih kecil dari nilai α 0,05, menunjukan ada hubungan
yang bermakna variabel empati dalam komunikasi interpersonal terhadap kinerja perawat pelaksana ruang rawat inap di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
tingkat kepercayaan 95. Dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,753 terdapat hubungan yang kuat antara variabel empati dalam komunikasi interpersonal dengan
kinerja perawat pelaksana. Empati dapat mengurangi banyak rintangan untuk mencapai tujuan
komunikasi yang efektif. Semakin besar kesenjangan antara pengalaman dan latar belakang komunikator dengan penerimaan semakin besar pula upaya untuk membuat
Universitas Sumatera Utara
77
suatu kesepahaman. Supranto 2001 menambahkan pentingnya dimensi empati dalam memberikan pelayanan yang bermutu salah satu cara utama
mendiferensiasikan pelayanan jasa kesehatan termasuk pelayanan rawat inap adalah memberikan jasa pelayanan yang berkualitas lebih tinggi dari pesaing secara
konsisten. Adanya pengaruh variabel empati dalam komunikasi interpersonal terhadap kinerja dapat dijelaskan bahwa empati memberikan sumbangan guna
terciptanya hubungan yang saling mempercayai antara kepala ruang perawatan dengan perawat pelaksana. Empati dalam komunikasi akan menimbulkan sikap
penerimaan dan pengertian terhadap perasaan orang lain secara tepat, serta meningkatkan efektivitas dari komunikasi yang menyebabkan timbulnya
kesepahaman antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana sehingga dapat memperlancar hubungan kerja dan meningkatkan pelaksanaan asuhan keperawatan.
Menurut Bullmer Wiryanto, 2004, empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian
mengkonsumsikannya dengan kepekaan sedemikian rupa sehingga menunjukan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu. Bullmer menganggap
empati lebih merupakan pemahaman terhadap orang lain ketimbang suatu diagnosis dan evaluasi terhadap orang lain. Empati menekankan kebersamaan dengan orang
lain lebih daripada sekedar hubungan yang menempatkan orang lain sebagai objek manipulatif. Taylor menyatakan bahwa empati merupakan faktor esensial untuk
membangun hubungan yang saling mempercayai. Ia memandang empati sebagai usaha menyelam ke dalam perasaan orang lain untuk merasakan dan menangkap
Universitas Sumatera Utara
78
makna perasaan itu. Empati memberikan sumbangan guna terciptanya hubungan yang saling mempercayai karena empati mengkomunikasikan sikap penerimaan dan
pengertian terhadap perasaan orang lain secara tepat.
5.3 Pengaruh Sikap Mendukung dalam Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di RSUD dr. Djasamen
Saragih Pematangsiantar
Berdasarkan hasil analisis uji statistik Pearson Correlation Product Moment antara sikap mendukung dalam komunikasi interpersonal dengan kinerja perawat
pelaksana ruang rawat inap di RSUD dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar, diperoleh nilai probabilitas p 0.016 nilai ini lebih kecil dari nilai α 0,05, ini
menunjukan hubungan yang bermakna dari variabel sikap mendukung dalam komunikasi interpersonal terhadap kinerja perawat pelaksana ruang pasien rawat inap
di RSUD dr.Dajasamen Saragih Pematangsiantar pada taraf α 0,05. Nilai koefisien korelasi variabel sikap mendukung r= 0,565 terdapat keeratan hubungan sedang
terhadap kinerja perawat pelaksana. Menurut Hidayat 2012 dapat disimpulkan bahwa dukungan dalam
komunikasi yang efektif adalah penting dalam meningkatkan kinerja. Menurut Rahkmat 2007 sikap dukungan atau suportif dalam komunikasi adalah sikap
mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Sedangkan sikap defensif dalam komunikasi interpersonal akan membuat komunikasi gagal, karena orang defensif
akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain. Komunikasi defensif dapat
Universitas Sumatera Utara
79
terjadi karena faktor-faktor personal ketakutan, kecamasan, harga diri yang rendah, pengalaman defensif dan sebagainya atau faktor-faktor situasional seperti perilaku
komunikasi orang lain, tentunya hal ini dapat menjadi penghambat dalam menciptakan komunikasi interpersonal yang efektif.
Rahkmat 2005 yang mengutip Jack R. Gibb menyebut enam perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu : 1 Deskripsi, yaitu menyampaikan perasaan
dan persepsi kepada orang lain tanpa menilai : tidak memuji atau pengencam mengevaluasi pada gagasan, bukan pada pribadi orang lain, orang tersebut “merasa”
bahwa kita menghargai diri mereka, 2 Orientasi masalah, yaitu mengajak untuk bekerjasama mencari pemecahan masalah, tidak mendikte orang lain, tetapi secara
bersama-sama menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya, 3 spontanitas, yaitu sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam,
4 Empati, 5 Persamaan yaitu sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis, 6 Provisionalisme, yaitu kesediaan untuk meninjau kembali
pendapat diri. Dari pengalaman dilapangan, kemauan responden untuk mendukung agar
komunikasi berlangsung efektif yang diwujudkan dengan adanya dukungan kepala ruangan terhadap perawat pelaksana dalam menerapan asuhan keperawatan mulai
dari pengkajian sampai evaluasi. Jika dikaitkan dengan pernyataan Rakhmat 2007 menunjukkan ada kecenderungan kepala ruangan bersikap defensif dalam
berkomunikasi interpersonal hal ini dapat disebabkan oleh faktor - faktor personal dan situasional, tetapi hal ini tidak termasuk dalam variabel penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
80
5.4 Pengaruh Sikap Positif dalam Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di RSUD dr. Djasamen Saragih
Pematangsiantar
Berdasarkan hasil analisis uji statistik Pearson Correlation Product Moment antara sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan kinerja perawat pelaksana
ruang rawat inap di RSUD dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar, diperoleh nilai probabilitas p 0,009, nilai ini l
ebih kecil dari nilai α 0,05, ini menunjukan hubungan yang bermakna dari variabel sikap positif dalam komunikasi interpersonal
terhadap kinerja perawat pelaksana ruang rawat inap di RSUD dr.Djasamen Saragih pematangsiantar pada taraf α 0,05. Nilai koefisien korelasi variabel sikap positif
dalam komunikasi interpersonal sebesar r=0,558 tingkat keeratan hubungan sedang terhadap kinerja perawat pelaksana.
Menurut Rakhmat 2005 menyatakan bahwa sukses komunikasi antarpribadi banyak tergantung pada kualitas pandangan dan perasaan diri, positif atau negatif.
Pandangan dan perasaan tentang diri yang positif, akan lahir pola perilaku komunikasi antarpribadi yang positif pula. Sugiyo 2005 mengartikan bahwa rasa
positif adalah adanya kecenderungan bertindak pada diri komunikator untuk memberikan penilaian yang positif pada diri komunikan. Komunikasi antarpribadi
akan efektif jika seseorang mempunyai rasa positif terhadap dirinya dan dikomunikasikan kepada orang lain, akan membuat orang lain juga memiliki rasa
positif, merasa lebih baik dan mempunyai keberanian untuk lebih berpartisipasi dalam setiap kesempatan sehingga bermanfaat untuk mengefektifkan kerjasama
Thoha, 2007. Orang yang memiliki konsep diri positif, bersikap optimis terhadap
Universitas Sumatera Utara
81
kompetisi, akan terungkap dari kemauannya bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Dari konsep positif ini lahir pola perilaku komunikasi antarpribadi
yang positif pula, yakni melakukan persepsi yang lebih cermat dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan kita dengan cermat pula
Rahmat, 2005. Dari pengalaman dilapangan, kemauan responden untuk sikap positif agar
komunikasi berlangsung efektif yang diwujudkan melalui proses komunikasi antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana tanpa adanya faktor – faktor personal
ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah dan bersikap objektif. Jika dikaitkan dengan pernyataan Rahmat 2005 menunjukkan ada kecenderungan kepala ruangan
bersikap negatif dalam berkomunikasi interpersonal hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor personal dan situasional, tetapi hal ini tidak termasuk dalam variabel
penelitian ini.
5.5 Pengaruh Kesetaraan dalam Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di RSUD dr.Djasamen Saragih
Pematangsiantar
Berdasarkan hasil analisis uji statistik Pearson Correlation Product Moment antara kesetaraan dalam komunikasi interpersonal dengan kinerja perawat pelaksana
ruang rawat inap di RSUD dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar, diperoleh nilai pr
obabilitas p 0,008 nilai ini lebih kecil dari nilai α 0,05, ini menunjukkan hubungan yang bermakna dari variabel kesetaraan dalam komunikasi interpersonal
terhadap kinerja perawat pelaksana ruang rawat inap di RSUD dr.Djasamen Saragih
Universitas Sumatera Utara
82
Pematangsiantar p ada taraf α 0,05. Dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,657 dapat
diketahui bahwa variabel kesetaraan dalam komunikasi interpersonal mempunyai hubungan yang kuat dengan kinerja perawat pelaksana.
Rahkmat 2005 mengemukakan bahwa persamaan atau kesetaraan adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis. Dalam persamaan
tidak mempertegas perbedaan, artinya tidak menggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama, yaitu mengkomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada
perbedaan pendapat merasa nyaman, yang akhirnya proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan lancar. Orang yang bertindak superior biasanya tidak dapat memberi
tanggapan kerjasama dan bersahabat dari orang lain. Mereka yang bersikap memberi kuliah atau peringatan akan diterima secara dingin. Di lain pihak, mereka yang
berbicara secara sederajat, menunjukkan rasa hormat dan kepercayaannya kepada pendengar, biasanya akan menerima tanggapan yang jujur dan terus terang. Manejer
yang ingin komunikasi antarpribadinya efektif sebaiknya tidak menggunakan jabatannya dalam berkomunikasi Stoner, 1982.
Komunikasi akan berlangsung efektif dalam sumber dan penerimanya memiliki persamaan. Semakin dekat kesamaan diantara orang-orang dalam
berkomunikasi, semakin besar komunikasi terjadinya saling pengertian diantara mereka. Komunikasi antarpribadi akan lebih bisa efektif dalam mencapai tujuan
organisasi bila orang-orang yang berkomunikasi ada dalam suasana kesetaraan kesamaan Thoha, 2007.
Universitas Sumatera Utara
83
Menurut Effendi 2003 orang yang berkomunikasi dalam suasana ketidaksetaraan akan menimbulkan ketidakmengertian dalam komunikasi, selanjutnya
akan menyebabkan pesan yang disampaikan kepada mereka diabaikan. Tetapi sebuah penelitian yang diungkapkan oleh Effendy 2003 menunjukkan bahwa kesetaraan
dapat juga menjadi rintangan bagi lanjutnya pembaharuan yang cepat, ide-ide baru biasanya masuk dari anggota-anggota dengan status yang lebih tinggi atau berbeda.
Dari pengamatan dilapangan kemauan responden untuk terciptanya kesetaraan dengan upaya mewujudkan adanya pengakuan bahwa kedua pihak sama-sama
bernilai, menerima pihak lain apa adanya dan tidak merasa dirinya lebih tinggi dari pihak lain dalam berkomunikasi interpersonal ternyata memberi pengaruh yang
bermakna terhadap peningkatan kinerja. Jika dikaitkan dengan hasil penelitian Effendy 2003 di atas, ada kecenderungan variabel kesetaraan yang tinggi dalam
komunikasi interpersonal menjadi rintangan bagi lajunya pembaharuan yang cepat sehingga pengaruhnya tidak begitu bermakna terhadap kinerja. Akan tetapi hal ini
tidak termasuk dalam variabel penelitian dan menunjukkan keterbatasan dalam penelitian ini, sehingga menjadi bahan dalam penelitian selanjutnya.
Penelitian tentang komunikasi yang efektif yang dapat membangun hubungan antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana ruang rawat inap di rumah sakit
seperti dilakukan Egia 2011 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, menemukan bahwa keterbukaan openness, empati empathy, sikap mendukung
supportiveness, sikap positif positiveness, kesetaraan equality berperan dalam membangun hubungan antarpribadi perawat di rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
84
Demikian juga penelitian Salfiya 2011 menemukan bahwa keterbukaan, empati, perilaku suportif, perilaku positif, kesetaraan merupakan faktor penunjang
efektivitas komunikasi antarpribadi perawat dalam menyampaikan pesannya kepada pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Komunikasi antara kepala ruangan
terhadap kinerja perawat pelaksana ruang rawat inap sebagai faktor penunjang efektivitas komunikasi bisa diterima dengan baik oleh perawat pelaksana sehingga
semua itu bisa berdampak pada kegiatan keperawatan yang nantinya akan berpengaruh pada asuhan keperawatan kearah yang lebih baik.
5.6 Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar