Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia

(1)

STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING

MINYAK PALA INDONESIA

DEWI DARMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2007

Dewi Darmayanti NRP F 351020191


(3)

ABSTRAK

DEWI DARMAYANTI. Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia. Dibawah Bimbingan: TAJUDDIN BANTACUT, SEMANGAT KETAREN, dan JONO M. MUNANDAR.

Meskipun Indonesia menguasai 65% pangsa pasar minyak pala dunia, namun rendahnya daya saing dan laju peningkatannya jika dibandingkan dengan negara pesaing membuat posisi kunci tersebut dikhawatirkan hilang dimasa mendatang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang berperan dalam peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia dan menetapkan strategi peningkatannya. Penelitian dilaksanakan dengan mengidentifikasi faktor-faktor penentu keunggulan bersaing minyak pala dengan menggunakan kerangka ”Diamond Porter” yang dilakukan melalui wawancara pakar dan pemangku kepentingan. Selanjutnya diidentifikasi struktur hubungannya dengan menggunakan metode Interpretive Structural Modelling (ISM). Berdasarkan faktor kunci yang teridentifikasi disusun skenario penetapan strategi peningkatan dayasaing dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang terdiri atas 5 tingkatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi industri minyak pala Indonesia di pasar dunia cukup dominan dengan pesaing utama Grenada. Pada saat ini posisi industri minyak pala Indonesia terancam oleh Grenada dari segi kelembagaan yang mapan, proses produksi dan rantai tataniaga yang lebih efisien serta mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Dalam rangka peningkatan mutu dan efisiensi produksi minyak pala, dari aspek budidaya perlu digunakan bibit unggul berupa tanaman pala cangkok dengan skala usaha minimal 1,4 ha/petani, pemupukan sesuai anjuran, pascapanen dilakukan dengan memetik buah pala destilasi umur 3-4 bulan langsung dari pohon, pengeringan biji dan fuli pala dilakukan sampai kadar air mencapai 12-13%, penyulingan dilakukan secara bertingkat dengan tekanan 0 s.d 1.5 atmosfir, pengemasan dengan menggunakan drum berlapis galvanis, pengangkutan harus menghindari panas matahari langsung, rantai pemasaran diperpendek menjadi petani – koperasi penanganan pascapanen dan pengolahan – negara konsumen.

Adapun faktor dan sub faktor kunci yang berperan dalam peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia terdiri atas faktor sumberdaya (6 sub faktor), permintaan (3 sub faktor), industri pendukung dan terkait (3 sub faktor), strategi perusahaan dan persaingan (2 sub faktor), peran kesempatan (2 sub faktor) dan peran pemerintah (4 sub faktor). Dari hasil analisis penetapan strategi peningkatan dayasaing dengan menggunakan AHP, terpilih 2 strategi prioritas untuk peningkatan dayasaing minyak pala yakni penciptaan iklim usaha yang kondusif dan pengembangan sarana dan prasarana pendukung usaha agroindustri minyak pala.


(4)

ABSTRACT

DEWI DARMAYANTI. The Strategy for Increasing Indonesia’s Nutmeg Oil Competitiveness. Supervised by TAJUDDIN BANTACUT, SEMANGAT KETAREN, and JONO M. MUNANDAR.

Despite being the market leader by controlling up to 65% of the world market of Nutmeg oil, Indonesia is concerned about loosing this position due to low competitiveness and its growth compared to their competitors.

This research has an objective to reveal key factors which determined competitiveness of nutmeg oil agro industry and the strategy to increase it. The research is conducted by identifying key factors by make use of the “Diamond Porter” framework through interview with experts and stake holders. The relation structure of key factors is identified using Interpretive Structural Modeling (ISM). Based on the identified key factors, the chosen strategy scenarios are determined using Analytical Hierarchy Process (AHP) method which consists of 5 levels.

The results show that nutmeg oil industrial position in world market was dominant compare with Grenada as main competitor. Nutmeg oil industrial position was corrupted by Grenada because of settle of nutmeg oil association, production process and marketing chain more efficien and also got full support from the govermenment. In term of quality improvement and efficiency of nutmeg oil processing, it is needed to use good quality of nursery, economic scale minimal 1,4 ha/farmer, fertilizing, nutmeg post harvest done direct pick from the plant after 3-4 month after flower, nutmeg and mace dried until water containt become 12-13%, destillation done with 0-1,5 atm pressure, packaging use conatiner covered by galvanis and transportation must to avoid direct sun rays , marketing chain should be more shorter become farmer post harvest and processing nutmeg cooperative – consumer

the key factors and sub factors which determined the competitiveness of the Indonesia’s nutmeg oil consist of resources condition (6 sub factors), demand condition (3 sub factors), supporting and related industry (3 sub factors), structure of firm and rivalry (2 sub factors), chances (2 sub factors) and government (4 sub factors). Result of the strategy analysis using AHP method has determined 2 priority strategy to increase competitiveness of Indonesia’s nutmeg oil are conducive business environment and supporting infrastructure development for nutmeg oil industries.


(5)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING

MINYAK PALA INDONESIA

DEWI DARMAYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Judul Tesis : Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia Nama : Dewi Darmayanti

NRP : F351020191

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc. Anggota

Ir. Semangat Ketaren, MS Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS

Tanggal Ujian : 24 Agustus 2007 Tanggal Lulus :


(8)

Kupersembahkan Untuk Suami tercinta

Syarifulmasa

dan putera putriku tercinta


(9)

RIWAYAT HIDUP

Dewi Darmayanti,

Lahir 21 Juni 1967 di Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Anak kedua dari pasangan Tarwa S. Darmawan dan Darliati Danu. Tahun 1986 penulis lulus dari Sekolah Menengah Farmasi Departemen Kesehatan Jakarta Pusat dan pada tahun 1991 meraih gelar Sarjana Biologi (Dra) jurusan mikrobiologi dari Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta dengan judul skripsi: “Pengaruh Pemupukan N dan Pemberian Azospirillum braziliense pada tanaman Jagung (Zea mays)”.

Sejak tahun 1993 menjadi Pegawai Negeri Sipil di Badan Pengembangan SDM Pertanian Departemen Pertanian pada Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP) Batu, Malang, Jawa Timur. Pada tahun 1995 ditempatkan sebagai staf tehnis pada Pusat Pendidik an dan Pelatihan Pegawai Pertanian Badan Pengembangan SDM Pertanian Jakarta. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti tugas belajar di Institut Pertanian Bogor dengan tesis berjudul Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia dibawah bimbingan Dr. Ir. Tajuddin Batacut, M.Sc., Ir. Semangat Ketaren, MS dan Dr. Ir. Jono Munandar, MSc.


(10)

ii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin dan perkenaan-Nya sehingga Tesis dengan judul Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia, dapat penulis selesaikan.

Penyusunan tesis ini adalah merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing, Ir. Semangat Ketaren, MS, dan Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc selaku anggota atas bimbingan dan bantuan yang diberikan selama proses pembimbingan sampai selesainya Tesis ini.

2. Ir Pramono D. Fewidarto, MS selaku penguji luar komisi atas saran-saran yang telah diberikan untuk penyempurnaan tesis ini, serta seluruh staf pengajar pada Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, atas ilmu yang telah diberikan.

3. Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kepala Pusat Pengembangan Pelatihan Pertanian, serta Ibu Ir. Ella Rosilawati K, M.Si atas segala kemudahan yang diberikan juga kepada pimpinan lembaga serta dinas yang terkait dengan tema penelitian ini.

4. Semua nara sumber dan pakar seperti Ir. Semangat Ketaren, MS, T.R. Manurung, Ir. Resfolida, M.Si, Radiyanto Hadimulyono, SE, M.Si dan Bapak Mulyono atas semua informasi dan saran dalam penyusunan tesis ini. 5. Suami tercinta Syarifulmasa, mimih dan bapak, adinda Dadan Darmana atas

curahan waktu dan dorongan semangat dan doa, rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB yang banyak memberikan bantuan dan motivasinya, terutama; Bu Dian, Pak Napisman, Pak Mulyadi, Siti Zakiah dan Doni Hidayat.

Sumbang saran guna penyempurnaan tesis ini sangat penulis harapkan sehingga penelitian ini dapat memberikan manfaat yang berarti kepada semua pihak yang terkait.

Bogor, September 2007 Dewi Darmayanti


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Tujuan……… 4

1.3 Manfaat Penelitian……… 4

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ..……….. 4

II MINYAK PALA INDONESIA 2..1 Agroindustri Minyak Pala……….. 6

2.1.1 Bahan Baku……… 7

2.1.2 Teknologi Proses……… 10

2.1.3 Penggunaan Minyak Pala………. 12

2.2. Produksi Minyak Pala Indonesia………. 13

III DAYASAING MINYAK PALA 3.1 Konsep Dayasaing………... 15

3.2 Indikator Dayasaing……… 17

3.3 Faktor Penentu Dayasaing ………. 18

3.4 Dayasaing Minyak Pala Indonesia di Pasar Internasional…… 22

3.5 Penelitian Terdahulu tentang Dayasaing……… 25

IV METODOLOGI PENELITIAN…….……….. 27

4.1 Kerangka Pemikiran……… 27

4.2 Tahapan Penelitian……….. 28

4.2.1 Survey Pakar……….……….. 28

4.2.2 Analytical Hierarchy Process...………….. 32

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian………. 37

4.4 Analisis Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala……... 38

4.4.1 Konstruksi Hirarki….……….……….. 38

4.4.2 Hubungan Antar Tingkat Hirarki...………….. 42

4.5 Analisis Nilai Tambah Metode Hayami ………... 42

V PROFIL INDUSTRI MINYAK PALA 5.1 Profil Perkebunan Pala ………..……… 44

5.2 Perusahaan Penyulingan ... 44

5.3 Lokasi Penyulingan ... 45

5.4 Bahan Baku Penyulingan ………... 46

5.5 Teknologi Penyulingan ………... 48

5.6 Pemasaran ………... 49


(12)

iv VI HASIL IDENTIFIKASI DAN MODEL STRUKTUR FAKTOR

PENENTU DAYASAING

6.1 Sumberdaya………... 54

6.1.1 Faktor Sumberdaya ... 54

6.1.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Sumberdaya ... 62 6.2 Kondisi Permintaan……… 57

6.2.1 Faktor Kondisi Permintaan ... 65

6.2.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Kondisi Permintaan... 68 6.3 Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung……… 72

6.3.1 Faktor Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung ... 72

6.3.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung... 75 6.4 Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan……… 77

6.4.1 Faktor Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan ... 77

6.4.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan ... 79 6.5 Peran Kesempatan………. 81

6.5.1 Faktor Peran Kesempatan ... 81

6.5.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Peran Kesempatan... 83 6.6 Peran Pemerintah……… 85

6.6.1 Faktor Peran Pemerintah ... 85

6.6.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Peran Pemerintah ... 89 VII STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING MINYAK PALA 7.1 Skenario Peningkatan Dayasaing Minyak Pala ... 92

7.1.1 Prioritas Faktor Penentu ……… 92

7.1.2 Prioritas Aktor ……… 92

7.1.3 Prioritas Tujuan ……… 92

7.1.4 Prioritas Strategi ……… 94

7.2 Strategi Peningkatan Dayasaing………. 94

7.3 Kebijakan Peningkatan Dayasaing Minyak Pala....……… 98

VIII SIMPULAN DAN SARAN 102 8.1 Simpulan………. 102

8.2 Saran……… 103

DAFTAR PUSTAKA……… 104


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Luas areal perkebunan dan produksi pala di Indonesia tahun 2003. 9

2. Komposisi kimia biji pala ... 10 3. Standar mutu minyak pala Indonesia ... 12 4. Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia tahun1998-2005 13 5. Nilai indeks RCA sepuluh negara eksportir minyak atsiri terbesar

(HS 3301) ...

22

6. Perkembangan RCA minyak pala (HS 3301295025) negara saingan Indonesia di pasar Amerika Serikat ...

23

7. Skala penilaian perbandingan Saaty ... 36 8. Kerangka analisis nilai tambah metode Hayami... 43

9. Perusahaan penyulingan di Provinsi Jawa Barat ... 45 10. Nilai tambah usaha penyulingan minyak pala (untuk 1 kali proses) 52

11 Lahan potensial untuk tanaman pala ... 56

12. Luas areal dan produksi perkebunan pala seluruh Indonesia menurut tahun...

57

13. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu sumberdaya... 62

14. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu permintaan... 69

15. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu industri pendukung dan terkait...

75

16. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu struktur dan strategi perusahaan dan persaingan...

80

17. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu peran

kesempatan...

84

18. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu pemerintah... 89


(14)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar buah pala dan bagian-bagiannya 8

2. Diagram alir penyulingan minyak pala... 11

3. The National Diamond System ………... 19

4. Rantai pemasaran minyak pala Grenada ... 23

5. Rantai tata niaga minyak pala Indonesia... 25

6. Kerangka pemikiran penelitian...………. 28

7. Diagram alir analisis hierarki proses……….. 34

8. Produktivitas perkebunan pala di Provinsi Jawa Barat ... 44

9. Diagram model struktural untuk faktor penentu sumberdaya…... 63

10. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu sumberdaya……… 64 11. Diagram model struktural untuk faktor penentu permintaan………. 70

12. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu permintaan……… 71 13. Diagram model struktural untuk faktor penentu industri pendukung dan terkait……….. 76 14. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu industri pendukung dan terkait………. 76 15. Diagram model struktural untuk faktor penentu strategi, struktur perusahaan dan persaingan……….. 80 16. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu strategi, struktur perusahaan dan persaingan………. 81 17. Diagram model struktural untuk faktor penentu peran kesempatan.. 84 18 Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu

peran kesempatan………..

85

19. Diagram model struktural untuk faktor penentu peran pemerintah… 90 20. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu

peran pemerintah……… 91


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Perkembangan industri minyak atsiri Indonesia tahun 1998-2003... 104 2. Pohon industri minyak pala... 105 3. Luas areal, produksi dan produktivitas perkebunan Pala Indonesia.... 106 4. Negara tujuan ekspor minyak pala Indonesia tahun 2001-2005... 107 5. Perbedaan minyak pala Indonesia dengan Grenada... 108 6. Hasil identifikasi usaha penyulingan dan pemasok bahan baku

di kabupaten Bogor dan Sukabumi... 111

7. Informasi pakar pada penelitian strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia...

117

8. Kode program Matlab 7 (the Mathwork) untuk metode Interpretive Structural Modelling (ISM)...

118

9. SSIM Final sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia... 121 10. Daftar eksportir minyak pala Indonesia ………..

11. Kode program matlab 7 (the Mathwork) untuk metode

Analytical Hierachy Process (AHP)... 125

12. Input gabungan pendapat pakar dengan metode AHP... 126

13. Diagram bobot prioritas dengan metode AHP berdasarkan penilaian masing-masing pakar dan gabungannya ……….……….

130

14 Matriks perumusan rekomendasi kebijakan peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia ...

135

15 Rencana Operasional Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia 141 16 Input pembentukan nilai tambah penyulingan minyak pala ... 143


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam pembangunan nasional peranan agroindustri sebagai upaya peningkatan nilai tambah komoditas pertanian memberikan kontribusi yang sangat besar. Lima peran yang dapat diharapkan dalam pengembangan agroindustri di Indonesia, yakni sebagai penghasil devisa, penyerap tenaga kerja, pendorong pemerataan pembangunan, pemacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, serta pendorong pengembangan wilayah (Didu 2000).

Salah satu produk agroindustri yang sangat potensial sebagai komoditas ekspor adalah minyak atsiri, karena memiliki kegunaan yang beragam seperti sebagai penambah rasa makanan, parfum, aroma terapi dan bahan baku industri farmasi. Pasar minyak atsiri dunia sekitar US$ 2,6 milyar, dengan pertumbuhan 7,5% per tahun (Gaw & Paltoo 2000). Perkembangan ekspor minyak atsiri Indonesia selama periode 1999 - 2003 cenderung berfluktuasi. Nilai ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2002 sebesar US$ 53,98 juta dan terendah pada tahun 2000 sebesar US$ 43,55 juta. Potensi ekspor tersebut menunjukkan posisi pasar internasional komoditas minyak atsiri, dimana Indonesia sebagai salah satu negara eksportir minyak atsiri terbesar ketiga setelah Perancis dan China yang mencapai nilai ekspor sebesar US$ 47,9 juta (BPS 2003). Dengan demikian, perolehan devisa ekspor dari minyak atsiri memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perekonomian nasional.

Nilai ekspor minyak atsiri terbesar diperoleh dari jenis minyak nilam (Patchouly oil) sebesar 45% dari total nilai ekspor, minyak pala (nutmeg oil) sebesar 27%, dan jenis minyak atsiri lainnya sebesar 21% (BPS 2004). Volume ekspor minyak pala pada tahun 2005 mencapai 977 ton atau senilai US$ 14.970.000 (BPS 2006), 65% dari pangsa pasar minyak pala di pasar internasional berasal dari Indonesia dan sisanya dipenuhi oleh produsen lain (Grenada, India dan negara lainnya).

Dalam rangka memenuhi permintaan pasar internasional yang tinggi dengan kualitas yang baik, proses pengolahan minyak pala melalui penyulingan biji dan


(17)

fuli pala dilakukan dengan teknologi dan manajemen proses yang standar. Pemilihan biji pala sebagai bahan baku utama sangat tergantung pada kualitas buah dan teknik penanganan pascapanennya serta kontinyuitas ketersediaannya. Tanaman pala merupakan tanaman asli Indonesia dan tersebar hampir diseluruh propinsi. Propinsi terbesar penghasil pala di Indonesia adalah Sulawesi Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Maluku Utara, Papua, Sumatera Barat, Maluku, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat (BPP 2004).

Berdasarkan daerah asalnya, biji pala dan fuli dibedakan menjadi dua jenis mutu, yaitu "East indian Nutmeg and Mace" dan "West indian Nutmeg and Mace". Pala yang berasal dari daerah Banda, Siauw, Penang, Padang dan Papua Nugini (Myristica argentea) dimasukkan dalarn kelompok "East indian Nutmeg and Mace", sedangkan pala yang berasal dari Grenada termasuk jenis "West indian Nutmeg and Mace" (Smith dan Anand 1984).

Sifat minyak pala tergantung kepada asal daerah, jenis tanaman penghasil, umur buah, mutu biji pala dan fuli serta metode penyulingan. Oleh karena itu sifat fisik dan kimia minyak pala dan fuli yang berasal dari "East indian" berbeda dengan minyak "West indian". Minyak pala "West indian" mempunyai bobot jenis, indeks bias, residu penguapan yang lebih rendah dan putaran optikyang lebih tinggi karena mengandung terpene dalam jumlah lebih besar. Minyak pala Indonesia mempunyai keunggulan karena memiliki aroma yang khas dan rendemen minyak yang tinggi, namun peranan Indonesia dalam mengendalikan pasar pala dunia tidak begitu nyata disebabkan kemampuan Indonesia dalam negosiasi dan diplomasi bisnis ekspor impor masih lemah. Justru Grenada (West indian) mempunyai andil dominan (Lutony dan Rahmayati 2002; Sunarto, diacu dalam Oryzanti 2003).

Akibatnya terjadi persaingan mutu, harga dan kapasitas pasokan di pasara internasional yang menuntut usaha atau agroindustri minyak atsiri memiliki dayasaing yang kompetitif. Dayasaing tersebut sebagai suatu kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah dibanding produsen lain sehingga pada saat produk tersebut dijual, produsen memperoleh laba yang mencukupi dan dapat mempertahankan keber lanjutan biaya produksinya. Oleh karena itu, dayasaing


(18)

3 merupakan hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan atau agroindustri (Simanjuntak 1992). Penciptaan dayasaing suatu komoditi untuk mendapatkan keuntungan dilakukan dengan peningkatan keunggulan komparatif maupun kompetitif produk di pasar internasional. Keunggulan (competitiveness) biasanya dinyatakan dalam bentuk keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Pada saat ini tersedia peluang pasar yang cukup besar bagi minyak pala Indonesia yang ditunjukkan dengan meningkatnya kebutuhan minyak atsiri dunia sejalan dengan berkembangnya industri pemakai, bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan dan semakin sadarnya penduduk untuk menggunakan minyak atsiri yang relatif aman bila dibandingkan dengan bahan serupa yang diproduksi secara sintetis. Indonesia memiliki lahan dan iklim yang sesuai untuk pengembangan tanaman pala. Berdasarkan Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Unggulan Nasional 2002, terdapat 6,038,722 ha lahan yang sesuai untuk perkebunan pala sedangkan yang sudah dimanfaatkan sebesar 40,281 ha, sehingga masih tersedia lebih kurang 5,988,441 ha untuk pengembangan perkebunan pala di Indonesia. Dari luas lahan tersebut, 40% luas lahan tersebut berada di Provinsi Papua. Namun peluang ini belum dimanfaatkan dengan baik terlihat dari kecilnya persentase pengolahan biji pala menjadi minyak pala rata-rata sebesar 14,58% dan sedikitnya investasi dibidang industri minyak pala (BPS 2003, diolah).

Indonesia sebagai produsen minyak pala terbesar ketiga di dunia dengan kontribusi di pasar internasional sebesar 65% produksi dunia, tetapi indeks dayasaing komparatif (revealed comparative indeks/RCA) di pasar Amerika rata-rata untuk 5 tahun terakhir lebih rendah dibandingkan dengan Grenada. Grenada memiliki kecenderungan peningkatan indeks RCA yang jauh melebihi Indonesia (> 100 %). Hal ini jika dibiarkan, lambat laun akan berdampak negatif pada dominasi Indonesia terhadap pasar minyak pala. Untuk itu dibutuhkan strategi khusus yang mampu meningkatkan dayasaing minyak pala Indonesia agar tetap mampu bersaing dimasa mendatang. Melihat makin ketat persaingan yang dihadapi maka diperlukan upaya-upaya untuk memenangkan persaingan tersebut dan memanfaatkan peluang pasar dan potensi ketersediaan bahan baku dengan


(19)

meningkatkan mutu minyak pala sehingga dayasaing minyak pala Indonesia di pasar internasional akan meningkat.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengetahui faktor dan sub faktor-faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia di pasar internasional, struktur model faktor penentu dayasaing dan menetapkan strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia maka dilakukan penelitian “Strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia ”.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

(1) Mengidentifikasi faktor dan sub faktor penentu keunggulan bersaing minyak pala Indonesia.

(2) Menentukan model struktur faktor penentu yang paling berperan dalam meningkatkan dayasaing minyak pala Indonesia.

(3) Menetapkan strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia.

1.3. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

(1) Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan (pemerintah atau departemen terkait) tentang faktor-faktor dan sub faktor penentu keunggulan bersaing minyak pala Indonesia yang paling berperan dalam meningkatkan dayasaingnya.

(2) Membantu perumusan strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia.

(3) Membantu perumusan langkah-langkah operasional dalam rangka meningkatkan dayasaing minyak pala Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini terdiri atas: (1) Studi pustaka untuk mengetahui tentang konsep dayasaing dan kondisi usaha perkebunan dan industri minyak pala di Indonesia, (2) Observasi untuk mengetahui kondisi perkebunan dan industri


(20)

5 penyulingan minyak pala, (3) pemilihan responden dan brainstorming untuk mengidentifikasi faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia berdasarkan model ”Diamond Porter”, (4) Analisis ISM (Interpretative Structural Modelling) untuk membangun model struktural faktor penentu dayasaing, (5) Melakukan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menyusun strategi kebijakan peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia.

Pada saat pengambilan data primer, lokasi penelitian dibatasi di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi). Batasan pemilihan lokasi ini berdasarkan kondisi teknologi penyulingan yang homogen di seluruh Indonesia disamping keterbatasan dana penelitian.


(21)

II. MINYAK PALA INDONESIA

2.1. Agroindustri Minyak Pala

Minyak pala sebagai salah satu jenis produk minyak atsiri yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan komoditas ekspor. Volume ekspor minyak pala pada tahun 2005 mencapai 977 ton atau senilai US$ 14,970.000 (BPS 2006). Minyak pala merupakan hasil proses penyulingan biji dan fuli pala. Bahan baku penyulingan minyak pala adalah biji pala muda karena mempunyai kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi. Sifat fisik minyak pala berwama kuning pucat sampai tak berwarna, mudah menguap, dan mempunyai bau khas pala (Dorsey 2001).

Agroindustri minyak pala merupakan kegiatan pemanfaatan buah pala sebagai bahan baku maupun penunjang produksi minyak atsiri. Sebagai bahan penunjang, minyak pala mempunyai beberapa kegunaan diantaranya adalah: (1) zat penyedap (flavoring agent), (2) zat pewangi (fragrance), (3) zat pengawet, dan (4) zat penghilang rasa sakit, sehingga banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman, kosmetika dan parfum, serta industri farmasi (Anonim 2005).

Sebagian besar agroindustri minyak pala dikelola oleh industri kecil dengan modal investasi sebesar Rp. 200.000.000,- dan jumlah karyawan antara 4 – 9 orang (Hasil survey industri penyulingan rakyat 2005). Lokasi pengembangan industri penyulingan minyak pala ditemukan di beberapa daerah seperti Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jawa Barat, sehingga ketersediaan produk tersebar di berbagai daerah tersebut. Sementara perkembangan industrinya bersifat pasang surut tergantung kondisi pasar atau permintaan.

Perkembangan industri minyak pala itu sendiri tidak terlepas dari peranan pelaku pasar, baik produsen maupun pedagang serta konsumen (pasar) untuk membentuk jaringan tata niaga yang berkelanjutan. Perkembangan industri minyak atsiri tahun 1998-2003 menunjukkan peningkatan, baik dari aspek jumlah unit usaha, tenaga kerja yang terlibat, nilai output/produksi, nilai bahan baku serta nilai tambahnya (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa industri minyak atsiri


(22)

7 memiliki prospek yang sangat baik, meskipun dikelola oleh industri kecil yang tersebar di seluruh sentra produksi.

Secara umum kegiatan industri kecil sangat mendominasi struktur perekonomian Indonesia. Menurut Hanan (2003), dari segi kuantitatif, pelaku usaha di Indonesia tercatat 41,36 juta unit dengan 99,9% diantaranya adalah usaha kecil menengah (UKM) yang mampu menyerap 99,45% dari seluruh jumlah tenaga kerja nasional (sekitar 76,97 juta orang). Khusus pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, UKM menyerap tenaga kerja sekitar 49%. Dengan demikian, keberlanjutan industri kecil mendapat prioritas untuk dikembangkan dan didukung secara ekonomis maupun sosial politik (Hubeis, 1997).

2.1.1. Bahan baku

Tanaman pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang berasal dari Malaise archipel, yaitu gugusan kepulauan Banda dan Maluku (Sunanto 1993). Tanaman pala tergolong dalam famili Myristicaceae dengan kira-kira 200 species dan seluruhnya tersebut di daerah tropis. Jenis tanaman pala yang baik digunakan sebagai bahan baku industri minyak atsiri dilihat dari kuantitas dan kualitas produksinya adalah pala Banda, Sian, Patani, Ternate dan Pala Tidore. Syukur dan Hernani (2002), menyatakan ada beberapa species pala selain Myristica fragrans Houtt (Pala Banda), yaitu Myristica argentea Warb (Pala Papua), Myristica malabarica (Pala Malabar) dan Myristica succedena Blume (Pala Halmahera). Diantara jenis-jenis tersebut yang bermutu baik adalah Myristica fragrans Houtt.

Secara fisik kualitas buah pala didasarkan pada tingkat kemasakan yang berwarna kuning kehijauan dengan tekstur keras dan diameter buah antara 3 – 9 cm. Bagian buah pala terdiri atas daging dan biji pala serta fuli, tempurung, dan daging biji (Gambar 1). Di antara daging dan biji terdapat selaput seperti jala yang di dalam dunia perdagangan disebut fuli (Purseglove et.al., 1981). Fuli dari buah pala yang belum cukup masak berwarna kuning pucat dan akan berubah warna menjadi coklat muda pada saat pengeringan. Fuli yang sudah tua berwarna merah api dan akan berwarna merah coklat pada saat kering. Apabila fuli disimpan


(23)

dalam waktu yang lama akan berubah menjadi kuning tua hingga kuning orange seperti warna jerami. Menurut Somaatmadja dan Herman (1984), buah pala segar dapat dihas ilkan daging buah sebanyak 83.3%, fuli 3.22%, tempurung biji 3.94% dan daging biji sebanyak 9.54%.

Gambar 1. Buah Pala dan bagian-bagiannya

Daerah penghasil utama pala di Indonesia berturut-turut adalah Sulawesi Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Maluku dan Papua, sedangkan daerah potensial penghasil pala adalah Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat dimana sebagian besar (99.63%) diproduksi oleh perkebunan rakyat (PR) sedangkan sisanya sebesar 0.37% diusahakan oleh perkebunan besar swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) (DBPP 2004). Walaupun luas areal perkebunan pala mengalami peningkatan, namun peningkatannya tidak signifikan, dari 12.745 ha pada tahun 1967 menjadi 61.558 ha pada tahun 2002 (Lampiran 3) dengan laju peningkatan sebesar 2.9% per tahun. Luas areal dan produksi perkebunan pala Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.


(24)

9 Tabel 1 Luas areal perkebunan dan produksi pala di Indonesia tahun 2003

No. Propinsi

Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jumlah Luas (ha) Produksi (ton) Luas (ha) Produksi (ton) Luas (ha) Produksi (ton) Luas (ha) Produksi (ton) 1. NAD 11.551 4.965 0 0 0 0 11.551 4.965

2. Sumut 147 42 0 0 0 0 147 42

3. Sumbar 3.592 2.299 0 0 0 0 3.592 2.299

4. Lampung 10 3 0 0 0 0 10 3

5. Jabar 2.054 465 0 0 0 0 2.054 465

6. Banten 39 3 0 0 0 0 39 3

7. Jateng 384 9 302 11 0 0 686 20

8. Jatim 20 13 0 0 0 0 20 13

9. Bali 1 0 0 0 0 0 1 0

10. NTT 441 77 0 0 0 0 441 77

11. Kaltim 3 1 0 0 0 0 3 1

12. Sulut 16.870 7.524 0 0 0 0 16.870 7.524

13. Gorontalo 36 6 0 0 0 0 36 6

14. Sulteng 717 81 0 0 0 0 717 81

15. Sulsel 2.370 483 0 0 0 0 2.370 483

16. Sultra 141 28 0 0 0 0 141 28

17. Maluku 5.495 1.124 0 0 155 39 5.650 1.163 18. Mal.Ut 9.392 3.247 0 0 0 0 9.392 3.247 19. Papua 8.084 2.909 0 0 0 0 23.126 7.319 Indonesia 61.347 23.279 302 11 155 39 61.804 23.329 Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2004)

Menurut Ketaren (1985), minyak pala Indonesia berasal dari pala dan fuli “East India” yang terdiri dari 4 kelas mutu yang dicirikan oleh daerah penghasilnya yaitu:

- Pala Banda, tergolong pala yang bermutu terbaik dalam perdagangan dan mengandung lebih kurang 8 persen minyak atsiri.

- Pala Siam, mempunyai mutu hampir sama dengan pala Banda tetapi kadar minyaknya lebih kecil (6.5 persen).

- Pala Penang, bermutu baik sebelum perang dunia kedua, namun sekarang mutunya menurun karena sering diserang ulat dan jamur.

- Pala Dapur (Myristica argentea W) berbau kurang enak dan mempunyai kadar minyak atsiri yang rendah.

Ketaren (1985) juga menyatakan buah pala yang berumur 3-4 bulan mengandung lebih banyak minyak atsiri, sedangkan buah pala yang tua lebih banyak mengandung minyak berat (fixed oil) dan senyawa miristisin yang beraroma kuat. Komposisi kimia biji pala disajikan pada Tabel 2 berikut:


(25)

Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Pala

Komponen Fuli Biji

Air 9,78-12,04 5,79-10,83

Protein 6,25-7,00 6,56-7,00

Minyak atsiri 6,27-8,25 2,56-6,94 Ekstrak alkohol 22,07-24,76 10,42-17,38 Minyak lemak 21,63-23,72 28,73-36,94

Pati 49,85-64,85 31,81-49,80

Serat Kasar 2,94-3,95 2,38-3,72

Abu 1,81-2,54 2,13-3,26

*) Winto. A.L. dan Winton K.B. di dalam Somaatmadja (1984)

2.1.2. Teknologi Proses

Minyak pala Indonesia diperoleh dengan cara melakukan penyulingan terhadap biji dan fuli pala. Biji yang biasa digunakan dalam penyulingan biji pala adalah biji muda karena mempunyai kandungan minyak pala yang lebih tinggi (Nurdjanah et al. 1990). Metode penyulingan yang digunakan dapat berupa penyulingan uap (steam destillation) maupun penyulingan dengan uap dan air (steam dan water destillation). Kadang-kadang penyulingan dengan air dan uap (kukus) menghasilkan minyak dengan mutu yang paling baik, sedangkan cara kohobasi menghasilkan minyak pala dengan mutu yang bervariasi dan berada dibawah standar mutu yang ada (Purseglove et al. 1981). Diagram alir penyulingan biji pala dapat dilihat pada Gambar 2.

Minyak pala yang dihasilkan berupa cairan jernih (hampir tidak berwarna) sampai kuning muda, mudah menguap dan mempunyai bau khas pala. Sifat-sifat minyak dari biji tidak berbeda dengan minyak dari fuli pala, bahkan sebagian besar minyak pala dihasilkan dari campuran biji dan fuli pala. Nutmeg oil yaitu minyak hasil sulingan biji pala, sedangkan mace oil adalah minyak hasil penyulingan fuli pala. Didalam perdagangan kedua minyak ini tidak dibedakan karena terdapat kesamaan unsur-unsur penyusun serta dikandung minyak atsirinya. Rendemen nutmeg oil dan mace oil sekitar 7 – 15% dengan kandungan minyak atsiri berupa eugenol, iso-eugenol, terpineol, borneol, linalol, geraniol, safrole, terpene, aldehid dan unsur lain yang berupa cairan bebas (Lutony dan Rahmayati 2002).


(26)

11 Gambar 2. Diagram alir proses penyulingan minyak pala (Risfaheri dan Mulyono,

1992)

Minyak pala yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan berdasarkan ciri-ciri fisik dan kimiawinya. Ciri-ciri fisik yang dijadikan ukuran penentuan mutu minyak pala adalah berat jenis, putaran optik, indeks bias, kelarutan dalam alkohol, dan sisa penguapan, sedangkan ciri kimiawinya adalah kandungan miristisin dalam senyawa aromatik dan kandungan alkohol dalam senyawa terpen. Mengingat bahwa produksi minyak pala di Indonesia hampir

Pencampuran (mixing) dalam ketel suling dengan perbandingan spesifik

Proses Penyulingan (48 jam)

Pengaliran

Pemisahan minyak dr air

Analisis Mutu

Pengeringan pala Fuli pala

Obat nyamuk bakar

Bungkil Uap panas

Biji pala (berumur 3-5 bulan)

Penimbangan Penggilingan Pengeringan

Penimbangan

Minyak dalam uap air

Penimbangan

Pengemasan

Distribusi dan pemasaran Minyak dalam botol

Penggilingan

Pupukkompos Boiler


(27)

seluruhnya diekspor, maka terdapat standar mutu atau persyaratan mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 1998 yang harus dipenuhi sebelum diekspor, seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar mutu minyak pala Indonesia

Karakteristik Minyak

Pala* Minyak Pala** Minyak Pala*** Bobot Jenis 25o

C/25o

C 0,847 – 0,919 0,840 – 0.925 0,847 – 0,919

Putaran Optik +10o

- +30o

+10o

- +30o

+8o

- +26o

Indeks Bias (n25D) 1,472 – 1,494 1,474 – 1,488 1,472 – 1,494 Kelarutan dalam alkohol 90% 1 : 3 Jernih,

seterusnya Jernih

1 : 1 Jernih, seterusnya Jernih

1 : 3 Jernih, seterusnya Jernih

Sisa Penguapan 2.5% - 3%

Zat Asing :

- Lemak Negatif Negatif Negatif

-Alkohol Tambahan Negatif - Negatif

Minyak Pelikan Negatif - Negatif

Minyak Terpentin Negatif - Negatif

*)Standar Mutu Perdagangan (SP-29-1976)

**) Standar Mutu Menurut Ketentuan Balai Penelitian Kimia (Ketaren, 1990) ***) Standar Nasional Indonesia (SNI 06-3735-1998)

Disamping memenuhi persyaratan mutu diatas, minyak pala juga harus memenuhi kadar miristisin (dengan metode Ge) > 10%. Clevenger (1935) dalam Ditjen Industri Kecil (1983) meneliti kadar minyak yang dikandung oleh biji pala Banda, biji pala Padang dan biji pala yang berkerut (Shrivel) sebesar 4-10, 8-11,5 dan 11,5 – 21 ml/100 gram.

2.1.3. Penggunaan Minyak Pala

Minyak pala umumnya digunakan dalam industri makanan dan minuman, industri parfum dan kosmetika, industri sabun, industri farmasi dan lain-lain (Purseglove et al. 1981). Pala ataupun ekstraknya biasanya digunakan secara komersial untuk produk roti-rotian, minuman non-alkohol, es krim, permen karet, sirup, parfum sup, daging olahan, daging belanda (Dutch loaf), kornet sapi dan daging ayam (Kenneth, 1990). Minyak pala mengandung sejumlah komponen yang dipergunakan pada industri olekemikal dan digunakan sebagai bahan alami penambah aroma pada industri makanan dan minuman. Minyak pala menggantikan peran biji pala tanpa meninggalkan partikel endapan pada makanan. Minyak pala juga dipergunakan untuk industri kosmetik dan farmasi misalnya untuk pasta gigi, obat batuk, menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki


(28)

13 sistem saluran pencernaan; miristisin yang terkandung di dalam minyak pala merupakan zat yang dapat menyebabkan halusinasi(Travelgrenada 2005).Pada Lampiran 2 dapat ditunjukkan berbagai alternatif pemanfaatan dan pengolahan buah pala tersebut.

Oleoresin dan mentega pala merupakan hasil ekstraksi biji pala menggunakan pelarut organik. Oleoresin terdiri atas minyak atsiri, resin serta komponen-komponen pembentuk aroma lainnya yang tidak mudah menguap yang menentukan rasa khas rempah. Penggunaan oleoresin pada industri pangan mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut: (1) mutu produk lebih seragam dan terkontrol, (2) pemakaian lebih ekonomis dan efisien karena sudah berbentuk ekstrak rempah dan (3) mudah dalam penanganannya (Risfaheri dan Mulyono 1992).

2.2. Produksi Minyak Pala Indonesia

Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia selama lima tahun terakhir berfluktuasi dengan volume ekspor terbesar terjadi pada tahun 2001 yaitu mencapai 495.021 kg atau senilai US$ 14,782.076. Volume dan nilai ekspor serta harga FOB minyak pala Indonesia selama delapan tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia tahun 1998 – 2005

Tahun Volume Ekspor (kg) Nilai Ekspor (US$ 000)

1998 382.100 10,014

1999 387.725 10,046

2000 350.544 9,110

2001 495.021 14,782

2002 295.089 9,273

2003 - 11,753

2004 955.000 11,165

2005 977.000 14,970

Sumber: BPS (2006)

Berdasarkan laju peningkatan ekspor, sampai dengan tahun 1999 minyak pala merupakan jenis minyak atsiri yang menunjukkan laju peningkatan ekspor Indonesia tertinggi yaitu 34.6% per tahun atau rata-rata meningkat US$ 1,722,849 per tahun (BPS 2000). Amerika Serikat masih merupakan negara tujuan ekspor


(29)

utama dengan nilai ekspor rata-rata sebesar 60% dari total nilai ekspor minyak pala Indonesia. Selain Amerika Serikat, negara tujuan ekspor lainnya adalah Jerman, Perancis, Singapura, Australia, Switzerland, India dan Malaysia. Pada tahun 2005 volume ekspor ke Amerika Serikat sebesar 340 ton atau senilai US$ 8,611,000. Jumlah tersebut merupakan 57.6% dari total ekspor minyak pala Indonesia yang mencapai volume sebesar 977 ton atau senilai US$ 14.970.000 (Lampiran 4).


(30)

III. DAYASAING MINYAK PALA

3.1. Konsep Dayasaing

Dayasaing merupakan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah dibanding produsen lain sehingga produsen memperoleh laba yang mencukupi dan dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak 1992). Menurut Salvatore (1997) menyatakan bahwa dayasaing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik. Dayasaing adalah keunggulan dari suatu perusahaan atau industri dalam menghadapi pesaingnya di pasar domestik atau internasional.

Dayasaing (competitiveness) seringkali dinyatakan dalam bentuk keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Suatu komoditi dianggap menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional apabila komoditi tersebut mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif maupun kompetitif suatu aktivitas ekonomi dari suatu negara atau daerah menunjukkan keunggulan baik dalam potensi sumberdaya alam, penggunaan teknologi maupun kemampuan manajerial dalam aktivitas yang bersangkutan (Sudaryanto et al. 1993).

Byerlee (1989) dalam Andriani (1999) menyatakan bahwa keunggulan komparatif menggambarkan efisiensi penggunaan sumberdaya untuk memproduksi suatu produk tertentu yang diukur pada kondisi perdagangan internasional. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan komparatif bersifat dinamis artinya suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif disektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang mempengaruhinya. Soydlowsky (1984) dalam Saptana et al. (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor yang berubah terkait dengan keunggulan komparatif adalah ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi. Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran


(31)

dayasaing (keunggulan) potensial dalam arti dayasaing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali.

Asumsi perekonomian yang tidak mengalami hambatan atau distorsi sama sekali sulit ditemukan dalam dunia nyata, khususnya di Indonesia sebagai negara yang berkembang. Oleh karena itu, keunggulan komparatif tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur keuntungan suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang badan atau orang-orang yang berkepentingan langsung dengan suatu proyek. Konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan secara finansial adalah keunggulan kompetitif.

Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa keunggulan perdagangan antara negara dengan negara didalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Fakta yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri di satu negara dengan negara lainnya, bahkan antara kelompok industri yang ada dalam satu negara. Oleh karenanya, keunggulan kompetitif dapat dicapai di suatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada (Warr 1994, diacu dalam Novianti 1995).

Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (analisis finansial). Selanjutnya menurut Warr (1994) dalam Novianti (1995), keunggulan komparatif merupakan suatu ukuran dayasaing yang relevan bagi suatu negara sedangkan keunggulan kompetitif untuk suatu perusahaan atau individu.

Menurut Kasryno dan Simatupang (1990) analisis keunggulan komparatif maupun kompetitif dapat mencakup tiga orientasi perdagangan yaitu (1) substitusi impor; manfaat yang diperoleh berupa penghematan devisa negara akibat berkurangnya impor, (2) perdagangan antar daerah; manfaat yang diperoleh berupa penghematan devisa negara karena impor dari luar negeri digantikan oleh perdagangan antar daerah (3) promosi ekspor; manfaat yang diperoleh berupa nilai devisa dari hasil produksi yang di ekspor.


(32)

17 Dayasaing internasional dari sebuah industri nasional didefinisikan dengan industri tersebut memiliki posisi pasar yang superior melalui laba yang tinggi dan pertumbuhan yang konstan dibandingkan dengan pesaingnya (Cho dan Moon 2003). Kesalahan konsep dalam dayasaing internasional adalah membagi dayasaing internasional menjadi dua golongan yaitu dayasaing harga (seperti upah minimal, tingkat kurs, produktivitas tenaga kerja dan dayasaing bukan harga (seperti kualitas, pemasaran, jasa dan diferensiasi pasar) (Francis dan Tharakan dalam Cho dan Moon, 2003).

3.2. Indikator Dayasaing

Salah satu cara untuk mengukur keunggulan komparatif adalah menggunakan indeks RCA (Revealed Comparative Advantage). Indeks RCA merupakan alat yang digunakan untuk mengevaluasi spesialisasi ekspor yang pada akhirnya dapat menjadi indikator dayasaing ekspor (Yamazawa dan Ukuda 1994, dalam Intal 1996). Apabila indeks RCA lebih besar atau kurang dari 1 mengindikasikan adanya keunggulan atau kelemahan dalam dayasaing komparatif yang pada akhirnya akan meningkatkan (menurunkan) dayasaing internasional. Peningkatan atau penurunan nilai indeks RCA dari waktu ke waktu mengindikasikan peningkatan atau penurunan dayasaing komparatif, yang pada akhirnya akan meningkatkan atau menurunkan tingkat dayasaing internasional. RCA diformulasikan sebagai berikut:

w wj

i ij

X X

X X

RCA= ... (1)

Dimana: X = ekspor, j = komoditi ke-j, i = negara ke-i, w = dunia.

Menurut Intal 1996, ada tiga tipe dayasaing yaitu dayasaing internasional, dayasaing domestik dan dayasaing komparatif. Dayasaing internasional adalah biaya unit untuk ekspor (unit cost on export/uce) :

Uce = Puc/Pw = TC/PWQ ... (2)

Dayasaing domestik adalah biaya unit pada penjualan domestik (unit cost on domestic sels/ucd):


(33)

Ucd = Puc/Pd = TC/PdQ ... (3) Dayasaing komparatif adalah biaya unit pada harga bayangan (unit cost on shadow prices/ucs):

Ucs = Pucs/Pws=TCS/PwsQ ... (4) Dimana:

Puc = unit biaya fisik (= TC/Q)

Pucs = unit biaya fisik pada harga bayangan (= TCS/Q) Pw = harga dunia

Pd = harga domestik (yang diproteksi) Pws = harga dunia bayangan

TC = biaya total

TCS = biaya total pada harga bayangan Q = jumlah yang diproduksi

Perbedaan antara biaya total dan biaya total bayangan adalah jumlah dari semua biaya tambahan pada harga yang dipengaruhi oleh distorsi pasar. Suatu produk dikatakan berdayasaing atau mempunyai keunggulan komparatif jika nilai Uce, Ucd atau Ucs lebih kecil dari 1.

3.3. Faktor Penentu Dayasaing

Menurut Porter (1990), teori perdagangan klasik yang berdasarkan pada keunggulan komparatif tidak menjelaskan secara memuaskan pola perdagangan negara miskin sumberdaya. Berdasarkan hal tersebut Porter menyusun model dayasaing internasional dalam bentuk model “Diamond Porter”.

Ada empat katagori atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu faktor sumberdaya (factor conditions), permintaan (demand conditions), industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), struktur perusahaan dan persaingan (structure of firms and rivalry). Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan (chance) dan peranan pemerintah (Goverment) dalam meningkatkan dayasaing industri nasional dan secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan the national ”diamond” (Gambar 3).


(34)

19 Gambar 3. “The National Diamond System” (Porter,1990)

Masing-masing elemen dalam model diamond Porter dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

(i) Faktor Sumberdaya

a. Sumberdaya Manusia (jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah) dan etika kerja (termasuk moral).

b. Sumberdaya Fisik atau Alam (biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan, kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain).

c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) antara lain terdiri dari ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan.

d. Sumberdaya Modal antara lain suku bunga yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal serta peraturan moneter dan fiskal.

Related and Supporting

Industries Structure of

Firms and Rivalry

Factor Conditions

Demand Conditions

Chance Government


(35)

e. Sumberdaya infrastruktur antara lain ketersediaan jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan.

(ii) Kondisi permintaan

Terdiri dari komposisi permintaan domestik, jumlah permintaan dan pola pertumbuhan dan permintaan domestik internasional.

(iii) Industri Pendukung dan Industri Terkait

Terdiri atas industri kemasan, alat/mesin pengolahan, jasa trasnportasi dan lain-lain.

(iv) Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan

Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Struktur industri dan struktur perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang bersaing.

(v) Peran kesempatan

Merupakan faktor yang berada diluar kendali perusahaan dan atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional. Beberapa keuntungan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing global industri nasional adalah adanya penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang), meningkatnya permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor kesempatan lainnya.

(vi) Peran pemerintah

Sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu dayasaing global. Pemerintah


(36)

21 dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku-pelaku industri terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya teknologi dan ilmu pengetahuan serta sumberdaya informasi. Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar upah tenaga kerja minimum dan berbagai kebijakan terkait lainnya.

Model Diamond Porter ini dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh terhadap model yang lain seperti analisis menggunakan SWOT, PEST atau ISM. Lebih jauh model ini dapat pula dikembangkan untuk analisis dayasaing yang rumit yang digunakan pada saat menyusun strategi, rencana dan keputusan membuat investasi tentang bisnis dan organisasi.

Intal (1996) dalam Munandar, 2001 menyusun formulasi strategi dayasaing Philipina untuk komoditas agroindustri didasarkan pada konsep ”dayasaing berlian Porter”. ”Berlian” terdiri dari dua bagian yaitu bagian dalam dan luar. ”Berlian” bagian dalam terdiri atas produktivitas (alokasi sumberdaya yang efisien), efikasi (rendahnya biaya traksaksi untuk melakukan usaha), inovasi dan nilai (akses teknologi dan etos kerja) sedangkan berlian bagian luar terdiri atas faktor kondisi (misalnya kuantitas, kualitas, pertumbuhan), teknologi (tingkat alih teknologi, adaptasi, penyerapan teknologi), kebijakan (makroekonomi dan sektoral) dan lembaga/industri pendukung (industri terkait dan infrastruktur). Intal 1996 juga menyatakan, faktor yang mempengaruhi dayasaing internasional dalam hubungannya dengan interdependensi makroekonomik, yaitu nilai tukar, produktivitas industri dan produktivitas pertanian (bahan baku untuk agroindustri) sedangkan faktor utama yang mempengaruhi keunggulan komparatif yaitu sumberdaya (manusia dan fisik) dan tingkat perubahan teknologi.

Faktor pemicu dayasaing terdiri atas teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor ini dapat dibedakan atas (1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset, pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar rupiah), kebijakan perdagangan, riset, pengembangan, pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali seperti


(37)

kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik, dan; (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam (Munandar 2001).

3.4. Dayasaing Minyak Pala Indonesia di Pasar Internasional

Berdasarkan persamaan indeks RCA (persamaan 1), keunggulan komparatif untuk sepuluh negara eksportir minyak atsiri terbesar di dunia dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Nilai indeks RCA sepuluh negara eksportir minyak atsiri terbesar (HS 3301)

No. Negara Tahun Trend

2001 2002 2003 2004 2005

1. Amerika Serikat 1.77 1.87 1.75 1.97 2.08 4.3% 2. Perancis 0.56 0.55 0.59 0.64 0.63 3.1% 3. Brazil 7.88 9.62 12.16 10.30 9.95 7.4% 4. Inggris 0.82 0.72 0.83 0.84 0.89 2.6% 5. Argentina 7.54 9.70 8.38 7.76 10.77 11.6% 6. China 4.12 3.52 2.43 2.73 2.50 -10.4% 7. Indonesia 10.6 9.37 8.32 8.24 11.10 2.7% 8. Jerman 0.27 0.28 0.28 0.36 0.39 10.2% 9. Italia 0.68 0.63 0.65 0.66 0.64 -1.4% 10. India 5.90 7.65 9.57 11.38 - 24.6%

Sumber: UN Comtrade (2006) diolah dalam Rusli 2006

Dari Tabel 5 terlihat bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2001-2005), Indonesia memiliki indeks RCA yang cukup tinggi setingkat dengan Argentina dan Brazil. Namun demikian kecenderungan peningkatan indeks RCA yang terjadi, posisi Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan karena jika dibandingkan dengan dua negara tersebut, kecenderungan peningkatan indeks RCA Indonesia jauh lebih rendah yakni 2.7% dibanding 11.6% (Argentina) dan 7.4% (Brazil).

Hal yang sama juga terlihat pada perkembangan RCA minyak pala dibandingkan dengan dua negara pesaing yakni India dan Indonesia. Jelas terlihat, meskipun nilai ekspor minyak pala Indonesia mewakili 65% pangsa pasar dunia, indeks dayasaingnya rata-rata untuk 5 tahun terakhir lebih rendah jika dibandingkan dengan Grenada. Lebih jauh Grenada juga memiliki kecenderungan peningkatan indeks RCA yang jauh melebihi Indonesia (> 100 %) seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Hal ini jika dibiarkan, lambat laun akan berdampak


(38)

23 negatif pada dominasi pasar minyak pala Indonesia. Untuk itu dibutuhkan strategi khusus yang mampu mendongkrak dayasaing minyak pala Indonesia agar tetap mampu bersaing dimasa mendatang.

Tabel 6. Perkembangan RCA minyak pala (HS 3301295025) negara saingan Indonesia di Pasar Amerika Serikat

No. Negara Tahun Trend

2001 2002 2003 2004 2005

1. India 0.61 0.79 0.99 0.99 0.70 1.13% 2. Grenada 12.43 11.98 11.98 15.70 21.29% 3. Indonesia 5.58 6.64 6.65 6.65 8.34 8.45%

Sumber: US Census Bureau, Foreign Trade Statistics (2006) diolah dalam Rusli 2006

Grenada adalah pesaing Indonesia dalam perdagangan minyak pala di pasar internasional. Walaupun minyak pala Indonesia mempunyai keunggulan karena memiliki aroma yang khas dan rendemen minyak yang tinggi (Lampiran 4), namun peranan Indonesia dalam mengendalikan pasar pala dunia tidak begitu nyata disebabkan kemampuan Indonesia dalam negosiasi dan diplomasi bisnis ekspor impor masih lemah, justru Grenada mempunyai andil dominan (Lutony dan Rahmayati 2002; Sunarto dalam Oryzanti 2003). Produksi minyak pala Grenada pada tahun 2000 berjumlah 2.4 ton (US$ 193,11) dan meningkat dengan pesat menjadi 17.9 ton dengan nilai ekspor US$ 677,98 dan menurun menjadi 6.8 ton atau senilai US$ 482,77 pada tahun 2002 (Travel Grenada, 2005).

Pengumpul biji pala dr petani Perwakilan di USA, Eropa, Kanada Pedagang dan pembeli internasiona ; Outlet GNCA Konsumen lokal industri Unit Pengolahan Koordinator pasar bahan baku Pengolahan Unit ekstraktor/ GCNA Ekspor Ekspor


(39)

Gambar 4. Rantai pemasaran minyak pala Grenada (GCNA 1999, dalam Rodriguez, 2003)

Disamping kemampuan diplomasi, Grenada yang memiliki kelembagaan minyak pala yang kuat. The Grenada Cooperative Nutmeg Association (GCNA) merupakan organisasi petani yang sangat penting di Grenada. GCNA memiliki 16 pangkalan penampungan dengan produksi rata-rata 20 ton/tahun dan 10 ton minyak fuli/tahun. Unit penyulingan ini beroperasi 24 jam/hari dengan kapasitas penuh 40 ton/tahun. Petani dan kelompok tani membawa biji pala ke lokasi pengolahan terdekat kemudian dipisahkan berdasarkan kualitas. Unit pengolahan juga berfungsi untuk proses pengeringan, gudang penyimpanan untuk selanjutnya dikemas, dijual, diolah atau disuling. Asosiasi ini juga memiliki tenaga ahli dibidang minyak atsiri yang membantu GCNA menghasilkan minyak pala yang berkualitas tinggi. Gambar 4 memperlihatkan rantai pemasaran minyak pala negara Grenada. Dengan pola kelembagaan seperti diatas maka ekonomi biaya tinggi akibat rantai pemasaran yang panjang dapat dihindari dan keuntungan yang diperoleh pelaku usaha terjamin .

Di Indonesia, minyak pala yang dihasilkan umumnya dijual ke pedagang pengumpul/pedagang perantara yang berada di daerah produsen. Ada kalanya eksportir memiliki pangkalan di desa atau kota kecil sehingga memperoleh minyak pala langsung dari pedagang perantara. Ditangan eksportir, minyak pala yang berasal dari pedagang perantara masih mengandung kotoran dan terdiri atas berbagai kelas mutu sehingga di eksportir minyak pala mengalami penanganan lebih lanjut antara lain proses penjernihan, pengelompokkan, pencampuran (blending), analisa minyak dan pengemasan. Rantai tata niaga industri minyak pala di Indonesia disajikan pada Gambar 5. Pelaku usaha (petani, pedagang pengumpul, penyuling, pedagang perantara, ekspotrir dan industri besar) dalam melakukan usahanya masih sendiri-sendiri. Dengan struktur tata niaga yang demikian dikhawatirkan menyebabkan kemampuan posisi tawar dan negosiasi harga dengan pihak importir menjadi lemah dan tidak ada jaminan harga bagi pelaku usaha .


(40)

25 Gambar 5. Rantai tata niaga industri minyak pala di Indonesia

3.5. Penelitian Terdahulu Tentang Dayasaing

Hasil penelitian Munandar (2001) tentang faktor-faktor penentu dayasaing ekspor minyak sawit dan teh Indonesia menggunakan metode ekonometrik. Model disusun berdasarkan ide umum bahwa dayasaing ekspor ditentukan oleh beberapa faktor antara lain kondisi, kebijakan, teknologi dan inovasi, dan perilaku konsumsi.

Hasil penelitian Haridian (2002) tentang sistem penunjang keputusan perencanaan dan pengembangan agroindustri pala terdiri dari aplikasi usahatani tanaman pala dengan basis model analisis pemilihan lokasi penanaman tanaman pala dan model kelayakan finansial usahatani tanaman pala dan aplikasi agroindustri manisan pala.

Nugraha (2003) melaporkan tentang studi pengembangan agroindustri minyak pala (Nutmeg Oil) di Kabupaten Bogor menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) menyimpulkan 3 faktor yang paling memberikan kontribusi terhadap pengembangan agroindustri minyak pala di Kabupaten Bogor yaitu pemasaran hasil produksi (bobot 0.215), manajemen operasi dan produksi

Petani Bahan baku Pedagang Pengumpul Penampungan, pengumpulan Penyuling Destilasi (minyak atsiri kasar) Industri besar Pemurnian, fraksinasi, compounding, blending Industri pangan, Kosmetik, toiletries, parfum Pedagang perantara Penampungan, pengumpulan, pencampuran Eksportir Pengumpulan, pencampuran, ekspor


(41)

(bobot 0.179) dan faktor mutu bahan baku (bobot 0.150) sedangkan strategi yang paling tepat dalam pengembangan agroindustri minyak pala adalah pembinaan yang lebih intensif oleh pemerintah kepada petani dan pengusaha minyak pala; strategi penerapan manajemen organisasi dan peningkatan luas areal tanaman pala. Berdasarkan hasil analisis sensitifitas, agroindustri minyak pala sensitif terhadap penurunan harga jual dan kenaikan harga bahan baku sebesar 5%.

Penelitian Gunawan (2004) tentang sistem penunjang keputusan pra rancang bangun industri intermediate minyak pala menggunakan Visual Basic 6.0 terdiri atas empat model yaitu Model Penyaringan Alternatif, Model Pemilihan Alternatif, Model Pemilihan Kelembagaan Industri dan Model Analisa Kelayakan Finansial. Berdasarkan hasil perhitungan analisa sensitifitas jika terjadi kenaikan sebesar 10% pada bahan baku dan penurunan harga jual produk sebesar 10%, industri intermadiate masih layak diinvestasikan.

Penelitian Sitorus, 2004 tentang penyulingan biji pala kering dari berbagai kelas mutu dan ukuran rajangan terhadap rendemen dan mutu minyak pala, menunjukkan bahwa kelas mutu biji pala dan ukuran perajangan berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen minyak pala dan nilainya cenderung menurun dengan semakin tuanya biji pala. Biji pala dengan ukuran perajangan 10 mm menghasilkan rendemen 19.58%.

Penelitian Priyadharsini (2005) tentang strategi penciptaan keunggulan bersaing produk jamu asal Indonesia untuk pasar ekspor, menggunakan pendekatan Berlian Porter bertujuan untuk mengetahui faktor penentu dayasaing produk jamu menggunakan alat analisis Revealed Comparative Advantage (RCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), Accelaration Ratio (AR), Interpretive Structural Modelling (ISM) dan Independent Preference Evaluation (EVA).


(42)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Kerangka Pemikiran

Minyak pala termasuk salah satu dari lima besar penghasil devisa Indonesia dari kelompok minyak atsiri. Sebagian besar industri penyulingan minyak pala (Nutmeg oil) di Indonesia umumnya berlokasi di pedesaan berupa industri skala kecil atau rumah tangga yang masih menggunakan teknologi penyulingan yang sederhana. Tertinggalnya teknologi penyulingan, lemahnya penerapan manajemen perusahaan dan rantai tata niaga yang panjang serta belum adanya kelembagaan minyak pala dapat mengakibatkan kemampuan industri minyak pala Indonesia sulit bersaing di pasar internasional.

Untuk menciptakan keunggulan bersaing minyak pala di pasar ekspor, diperlukan strategi yang dapat diterapkan oleh pelaku usaha dan stakeholder terkait dengan agroindustri minyak pala. Strategi tersebut dirancang melalui kajian posisi persaingan pasar Indonesia di pasar internasional serta identifikasi faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia. Hasil identifikasi tersebut berupa faktor dan sub faktor yang paling mendorong dalam meningkatkan dayasaing digunakan sebagai dasar penyusunan strateginya.

Posisi persaingan minyak pala Indonesia dikaji melalui studi literatur dan wawancara dengan pakar serta stakeholder terkait, identifikasi faktor dan sub-sub faktor penentu dayasaing minyak pala (berdasarkan Porter Diamond) dilakukan melalui wawancara dengan pakar dan pelaku usaha, penentuan faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala dilakukan melalui wawancara dengan pakar dengan menggunakan analisis Interpretive Structural Modelling (ISM). Penggunaan metode ISM dalam penelitian ini karena pada saat identifikasi menggunakan pendekatan Diamond Porter untuk identifikasi faktor penentu dayasaing dan bukan berdasarkan kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang minyak pala Indonesia. Tahapan penentuan strategi peningkatan dayasaing digunakan analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) yang bertujuan untuk mengambil keputusan yang efektif dalam rangka peningkatan dayasaing minyak pala dengan pendekatan sistem (Gambar 6).


(43)

Gambar 6 Kerangka pemikiran penelitian.

4.2. Tahapan Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, tahapan penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung, survey sentra produksi minyak pala dan pengumpulan pendapat para pakar serta pelaku usaha minyak pala seperti petani, pedagang pengumpul, eksportir, instansi/lembaga terkait melalui wawancara mendalam.

Pengumpulan data melalui kuisioner yang berisi daftar pertanyaan mengenai permasalahan dan kondisi yang ada saat ini. Kuisioner yang digunakan dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu: (1) kuisioner umum untuk memperoleh data gambaran umum industri minyak pala, pemasalahan dan harapan responden pelaku usaha; dan (2) kuisioner utama survey pakar kelompok praktisi, akademisi yang memiliki keahlian dibidang minyak atsiri serta birokrat yang memiliki latar belakang dibidang pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan dan produk agroindustri.

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, informasi dari instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen

1. Identifikasi Sub Faktor Penentu Dayasaing minyak pala (wawancara pakar

& pelaku usaha)

3. Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia

Alat Analisis : Analytical Hierarchy Process (AHP) 1.1 Sumber daya 1.2. Permintaan 1.3. Industri Pendukung dan terkait 1.4. Strategi, struktur dan persaingan perusahaan 1.5. Peran Kesempatan 1.6. Peran Pemerintah

2. Analisis Faktor dan Sub Faktor Penentu Dayasaing Minyak Pala Indonesia Alat Analisis: Interpretive Structural Modelling


(44)

29 Perdagangan, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian, pelaku usaha minyak pala, Badan Pusat Statistik dan lain-lain.

4.2.1. Survey Pakar

Survey ini dilakukan dalam kegiatan akuisisi pengetahuan dari pakar atau ahli terkait yang didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: 1) keberadaan responden, keterjangkauan dan kesediaan untuk diwawancarai; 2) reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibelitasnya sebagai ahli; 3) pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa seseorang tersebut mampu memberikan saran yang benar, membantu dan memecahkan permasalahan serta menguasai bidangnya. Dalam memberikan saran dan pemecahan masalah seorang ahli mempunyai karakteristik efektif, efisien dan sadar akan keterbatasannya. Kegiatan dan informasi yang digali dari survey pakar adalah:

1) Identifikasi Sub Faktor

Identifikasi dilakukan dengan pendekatan Model Diamond Porter melalui brainstorming dengan pakar, pengusaha minyak pala dan literatur

2) Analisis Faktor dan Sub Faktor Keunggulan Bersaing

Untuk menganalisis faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia digunakan alat analisis Interpretive Structural Modelling (ISM). Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data analisis ISM menggunakan Matlab 7.

ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) untuk memotret perihal yang kompleks dari sistem, melalui pola-pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis dan kalimat dengan hasil analisis berupa model-model struktur. Teknik ISM terutama ditujukan untuk pengkajian suatu tim, namun bisa juga dipakai oleh seorang peneliti. Metode dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur didalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan (Eriyatno 1998).


(45)

Penggunaan kedua metode tersebut pada dasarnya untuk menentukan skala prioritas penciptaan keunggulan bersaing dengan memanfaatkan faktor-faktor penentu dengan bobot tertinggi dan sub faktor penentu yang menjadi kunci keberhasilan.

Untuk menentukan hierarki elemen kunci tahapannya adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan hasil identifikasi faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia ditentukan hubungan kontekstual (perbandingan) antar elemen yaitu ”A” lebih mendorong dari ”B”

b. Menentukan notasi huruf kedalam matriks Structural Self Interaction Matrix (SSIM), Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju. Notasi-notasi huruf V, A, X dan O digunakan untuk melambangkan perbandingan antar elemen:

V adalah eij = 1 dan eji = 0

A adalah eij = 0 dan eji = 1

X adalah eij = 1 dan eji = 1

O adalah eij = 0 dan eji= 0

Simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 adalah tidak terdapat atau tidak ada hubungan konstektual, antar elemen i dan j dan sebaliknya.

c. Menyusun Matriks Reachability (Reachability Matriks /RM) yang dilakukan dengan mengubah simbol-simbol SSIM kedalam sebuah matriks biner. Aturan konversi menerapkan:

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij=1 dan

Eji=0 dalam RM.

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij=0 dan

Eji=1 dalam RM

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM, maka elemen Eij=1 dan

Eji=1 dalam RM

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij=0 dan


(46)

31 d. Menentukan aturan transitivitas, jika matriks (i,j) = 0 maka periksa aturan

transivitas matriksnya dengan aturan sebagai berikut:

Jika elemen (i,j)=1 dan elemen (j,k)=1 maka elemen (i,k) harus =1 e. Menentukan revisi final SSIM (Structural Self Interaction Matrix)

Jika matriks (i,,j) = 1 dan matriks (j,i) = 0 maka revisi (i,,j) = “V” Jika matriks (i,,j) = 0 dan matriks (j,i) = 1 maka revisi (i,,j) = “A” Jika matriks (i,,j) = 1 dan matriks (j,i) = 1 maka revisi (i,,j) = “X” Jika matriks (i,,j) = 0 dan matriks (j,i) = 0 maka revisi (i,,j) = “O” f. Menentukan Dependence (D) dengan rumus

Absis (i) =

=

n

i1

matriks (i,j) ... (5)

g. Menentukan Driven Power (DP) dengan rumus

Ordinat (i) =

=

n

j1

matriks (i,j) ... (6)

h. Memplot elemen ke dalam 4 sektor

Jika absis (i) <= jumlah elemen/2 dan ordinat (i)<= jumlah elemen/2 maka: sektor (i) = 1

Jika absis (i) >= jumlah elemen/2 dan ordinat (i)<= jumlah elemen/2 maka: sektor (i) = 2

Jika absis (i) >= jumlah elemen/2 dan ordinat (i) >= jumlah elemen/2 maka: sektor (i) = 3

Jika absis (i) <= jumlah elemen/2 dan ordinat (i) >= jumlah elemen/2 maka: sektor (i) = 4

Matriks Driver Power(DP)–Dependence(D) berguna untuk melihat tingkat daya dorong dan ketergantungan dari tiap-tiap sub faktor penentu. Secara garis besar klasifikasi sub elemen digolongkan kedalam 4 sektor yaitu:

a. Sektor 1: weak driver-weak dependent variables (Autonomus). Sub elemen yang masuk kedalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Nilai DP < 0.5X dan nilai D < 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen.


(47)

b. Sektor 2: weak driver- strongly dependent variables (Dependent). Umumnya sub elemen yang masuk kedalam sektor ini tidak bebas. Sub elemen masuk sektor ini jika Nilai DP < 0.5X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen.

c. Sektor 3: strong driver-strongly dependent variables (linkages). Sub elemen yang masuk kedalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberik an dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk kedalam sektor ini jika nilai DP > 0.5X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen. d. Sektor 4: strong driver weak dependent variables (independent). Sub elemen

yang masuk kedalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub elemen masuk kedalam sektor 4 jika Nilai DP > 0.5X dan nilai D < 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen.

4.2.2. Analytical Hierarchy Process

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP) adalah suatu metode yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan agar dapat memahami kondisi suatu sistem dan membantu dalam melakukan prediksi dan pengambilan keputusan (Saaty 1993). Metode AHP digunakan untuk memodelkan strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia dengan menggunakan penilaian komparasi berpasangan (pairwise comparisons) atau analisa pendapat terhadap semua pihak yang terlibat dengan permasalahan tersebut. Tolok ukur konsistensi pendapat yang diberikan oleh responden untuk semua pihak yang terlibat menggunakan rasio konsistensi (CR). Menurut Budiharsono (2001), dalam memecahkan masalah dengan menggunakan analisis AHP mempunyai keuntungan sebagai berikut :

i. Kesatuan (AHP memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk berbagai permasalahan yang tak terstruktur).

ii. Kompleksitas (AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan permasalahan kompleks).


(48)

33 iii. Saling ketergantungan (AHP dapat menangani saling ketergantungan

elemen dalam suatu sistem dan tak memaksakan pemikiran linier).

iv. Penyusunan hierarki (AHP mencerminkan kecenderungan untuk memilih elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat).

v. Pengukuran (AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal terwujud untuk menetapkan prioritas).

vi. Konsistensi (AHP melacak kosistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas), vii. Sintesis (AHP menuntut taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap

alternatif).

viii. Tawar menawar (AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka).

ix. Penilaian dan konsensus (AHP tidak memaksa konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang refresentatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda) dan

x. Pengulangan proses (AHP memungkinkan orang-orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan).

Diagram alir proses hierarki analitik disajikan pada Gambar 7 dengan penjabaran sebagai berikut:

1) Identifikasi Sistem

Dalam praktek, tidak ada prosedur untuk membangkitkan tujuan, kriteria dan aktifitas yang dilibatkan dalam suatu hierarki bahkan dalam sistem yang lebih umum. Masalahnya adalah tujuan apa yang dipilih untuk mendekomposisikan kompleksitas sistem (Saaty 1993).


(1)

3) Pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif pelaku usaha minyak pala

Pengembangan kewirausahaan dan kompetitif dilakukan dengan mengembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan para pelaku usaha minyak pala sehingga memiliki orientasi usaha yang mengarah pada pencapaian keuntungan dan pembentukan nilai tambah yang optimal. Kelompok usaha atau petani yang belum memiliki orientasi bisnis cenderung tidak memperoleh nilai tambah, meskipun memiliki pendapatan positif atau tidak rugi. Dengan orientasi bisnis dan komitmen yang kuat untuk membangun sistem agribisnis yang melibatkan setiap pelaku usaha, baik petani maupun pedagang, maka pendapatan petani/pelaku usaha sebagai tujuan peningkatan dayasaing dapat terlaksana.

Keberanian berusaha penyulingan minyak pala dengan mengoptimalkan potensi bahan baku yang ada dan keterbatasan permodalan sudah menjadi modal dasar dalam pengembangan kewirausahaan usaha mikro penyulingan minyak pala. Meskipun belum dapat menguasai pasar internasional dengan proporsi yang layak, inisiasi jaringan pemasaran yang sudah terbentuk dapat digunakan sebagai modal awal untuk pengembangan pasar.

4) Peningkatan kualitas kelembagaan

Peningkatan kualitas kelembagaan dan organisasi/asosiasi pelaku usaha minyak pala diperlukan agar lembaga dan asosiasi mampu tumbuh dan berkembang secara sehat, berfungsi dengan baik, menjadi wadah kepentingan bersama bagi anggotanya. Subagyono, 2006 menyatakan ada empat sisi kelembagaan yang diharapkan mampu memperbaiki posisi dayasaing yaitu pengembangan lembaga keuangan, pengembangan SDM, pengembangan lembaga ekonomi petani dan pengembangan hasil penelitian dari lembaga penelitian

Lebih jauh Subagyono, 2006 menyatakan Lembaga keuangan diharapkan menyediakan sumber permodalan berbentuk kredit perbankan yang dapat dijangkau oleh petani, prosedurnya mudah, volume pendanaan mencukupi, suku bunga kondusif dan sistem agunan pinjaman yang dapat dipenuhi petani. Dalam penyalurannya pihak perbankan dapat berbentuk pengintegrasian pola kredit pada


(2)

yang beresiko rugi pada sub sistem hulu dan sub sistem hilir yang menguntungkan. Bagi usaha kecil di pedesaan yang tidak terjangkau perbankan dapat memanfaatkan lembaga keuangan mikro, koperasi simpan pinjam dan lain-lain. Kelembagaan tersebut perlu terus dibina dan diperkuat kelembagaannya. Dalam rangka mempermudah akses kredit kepada usaha mikro, kecil dan menengah, pemerintah memperkuat dengan pengucuran dana kepada dua lembaga penjamin kredit yaitu Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perusahaan Umum Sarana Penyedia Usaha (Perum SPU) dengan memberikan tambahan modal kerja sebesar 1.4-1.5 triliun dengan demikian Askrindo dan SPU dapat memberikan tingkat suku bunga yang jauh lebih rendah bagi UMKM. Dengan dana penjaminan 1,4 triliun dengan giring rasio 20 sehingga total dana penjaminan bisa mencapai 28 triliun (HAR/OSA 2007).

Pengembangan SDM dilakukan dengan mengoptimalkan lembaga-lembaga pelatihan baik milik pemerintah mapun swasta dan menggiatkan kembali fungsi-fungsi penyuluhan. Lembaga ekonomi petani dalam bentuk koperasi petani didayagunakan kembali dengan melakukan pengelolaan secara profesional dan memiliki komitmen tinggi terhadap petani. Berkembangnya suatu usaha agribisnis tergantung pada produktivitas yang dihasilkan lembaga penelitian. Untuk itu perlu adanya kebijakan pemerintah yang merangsang peneliti untuk menghasilkan produk-produk penelitian yang berorientasi pada masalah aktual di lapangan. Dengan keterbatasan anggaran pemerintah untuk penelitian maka diperlukan keterlibatan penelitian oleh swasta, organisasi profesi, LSM dan lembaga lain.

Dalam penguatan kelembagaan yang terpenting pembentukan jaringan kelembagaan untuk memperlancar mekanisme kerja dan fasilitasi kemitraan serta arus informasi diantara lembaga-lembaga yang terkait. Peningkatan dayasaing usaha minyak pala yang bersumber dari kapasitas lokal yang terkait peluang pasar, baik tingkat lokal, regional, nasional maupun ekspor (internasional). Pengembangan jaringan kelembagaan tersebut memberikan kontribusi positif pada peningkatas kapasitas lokal dalam sinkronisasi kebijakan pemerintah dalam menunjang kegiatan ekonomi masyarakat.

Dalam hal ini kelembagaan yang terkait dengan upaya peningkatan dayasaing minyak pala untuk meningkatkan pendapatan petani dan pengusaha,


(3)

yaitu: (1) lembaga produksi, (2) lembaga distribusi, (3) lembaga keuangan, (4) lembaga keswadayaan masyarakat, dan (5) lembaga advokasi (kelembagaan pendukung/penyuluhan). Kelima kelembagaan tersebut perlu bersinergi untuk mencapai kondisi yang kondusif dengan mengurangi kesenjangan masing-masing kelembagaannya, khususnya dengan pendekatan kegiatan ekonomi produktif.

7.3. Kebijakan Peningkatan Dayasaing Minyak Pala

Kebijakan adalah suatu tindakan (course of action), kerangka kerja (frame work), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tertentu dalam penelitian ini adalah meningkatkan dayasaing minyak pala di Indonesia yang makin turun dalam pasar internasional. Peningkatan dayasaing minyak pala sangat diperlukan untuk meningkatkan pendapatan petani dan pengusaha minyak pala, meningkatkan pangsa pasar, posisi tawar dan pendapatan pemerintah dan pemerintah daerah. Melalui peningkatan dayasaing diharapkan peran Indonesia di pasar internasional akan meningkat, bukan saja sebagai pemasok tetapi mempunyai peran yang lebih dominan dalam menentukan harga minyak pala.

Perumusan kebijakan peningkatan dayasaing mengacu kepada faktor yang mendukung dayasaing dan strategi peningkatan dayasaing. Kebijakan yang dirumuskan berdasar pada permasalahan yang mengakibatkan turunnya dayasaing, kondisi industri minyak pala saat ini, dan kebijakan pengembangan minyak pala yang akan di evaluasi untuk meningkatkan dayasaing minyak pala. Perumusan kebijakan mengacu kepada hasil analisis AHP yang menunjukkan bahwa strategi penciptaan iklim yang kondusif dan pengembangan sarana dan prasarana memperoleh bobot tertinggi. Hal ini mempunyai makna kedua strategi tersebut didukung oleh dua strategi lainnya, yaitu pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif pelaku usaha dan peningkatan kualitas kelembagaan bila dilaksanakan mempunyai efek positif terhadap peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia.

Keempat hal tersebut merupakan tolok ukur untuk merumuskan kebijakan yang akan dirumuskan. Seperti yang telah dipaparkan diatas untuk merumuskan


(4)

kebijakan dari empat strategi terpilih tersebut akan dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan, kondisi saat ini dan kebijakan yang telah ada serta rekomendasi kebijakan seperti yang disajikan pada Lampiran 14. Permasalahan mendasar dalam dayasaing minyak pala Indonesia meliputi 37 sub faktor penentu yang menggambarkan belum terciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan minyak pala, belum berkembangnya sarana dan prasarana dalam mendukung industri minyak pala, belum kompetitifnya sumberdaya manusia untuk menghadapi pasar global dan belum terbentuknya kelembagaan khusus untuk minyak pala. Kebijakan yang ada untuk menjawab permasalahan itu sudah tersedia akan tetapi kebijakan yang khusus untuk menjawab permasalahan industri minyak pala belum tersedia karena selama ini kebijakan yang ada bersamaan dengan kebijakan pengembangan minyak atsiri. Oleh karena itu kebijakan yang direkomendasikan merupakan evaluasi dari kebijakan saat ini dan lebih menyentuh pada permasalahan dayasaing minyak pala. Kebijakan yang akan direkomendasikan adalah sebagai berikut:

1) Penciptaan Iklim yang Kondusif

Rekomendasi kebijakan dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif untuk mendukung peningkatan dayasaing minyak pala dilakukan dengan:

• Pemerintah memberikan kemudahan dalam mengembangkan industri hulu, antara dan hilir melalui kemudahan perizinan, permodalan, pemberian insentif pajak dan peraturan lain dalam investasi.

• Membangun sistem agribisnis minyak pala secara terintegrasi yang dimulai dari sub sistem hulu sampai sub sistem hilir

2) Mengembangkan Sarana dan Prasarana bagi industri minyak pala

Rekomendasi kebijakan untuk mengembangkan sarana dan prasarana dalam mendukung peningkatan dayasaing minyak pala dilakukan dengan:

• Membangun laboratorium untuk mengembangkan berbagai inovasi dibidang teknologi penyulingan.

• Membangun pusat pembibitan tanaman pala serta pembangunan industri alat penyulingan minyak pala.


(5)

• Mendirikan pusat standarisasi bahan baku dan produk antara minyak pala. 3) Pengembangan Sumberdaya Manusia (Pelaku Usaha)

Rekomendasi kebijakan untuk mengembangkan sumberdaya manusia dalam mendukung peningkatan dayasaing minyak pala dilakukan dengan:

• Meningkatkan kemampuan dan kemampuan manajemen perusahaan untuk bersaing dipasar global melalui pengembangan kewirausahaan.

• Mengembangkan kemampuan peneliti dan pelaku usaha dalam melakukan inovasi dan diversifikasi kegunaan minyak pala.

• Meningkatkan kemampuan petani untuk menghasilkan bahan baku yang kontinyu dan mutu yang seragam.

4) Kelembagaan Industri Minyak Pala

Rekomendasi kebijakan untuk kelembagaan industri minyak pala dalam mendukung peningkatan dayasaing minyak pala dilakukan dengan:

• Meningkatkan peran lembaga penelitian dalam mengembangkan inovasi teknologi penyulingan minyak pala.

• Mengembangkan perusahaan perkebunan swasta/perkebunan rakyat agar menghasilkan bahan baku minyak pala yang kontinyu dengan mutu yang seragam dan

• Membentuk lembaga/asosiasi industri minyak pala sebagai wadah pemersatu untuk meningkatkan kemampuan dan kemauan bersaing dipasar global.

Berdasarkan kebijakan diatas disusun rencana kerja operasional untuk meningkatkan dayasaing minyak pala Indonesia sebagaimana disajikan pada Lampiran 15. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan peningkatan dayasaing minyak pala,yaitu: (1) nilai tambah yang dihasilkan dari kegiatan usaha dapat didistribusikan kepada pihak-pihak yang terlibat secara proporsional, (2) volume produksi disesuaikan dengan perkembangan pasar dan produktivitas lahan yang tersedia, (3) penerapan inovasi dan teknologi yang tepat guna dan tepat sasaran dapat menjamin kuantitas dan


(6)

memberikan lapangan dan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar, sekaligus mendorong perkembangan usaha ekonomi lainnya untuk mensinergikan dayasaingnya.