Pengertian dan Fungsi Hadis Kegiatan Penelitian dan I’tibar Sanad

12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Dan berikut adalah redaksi hadis yang dipilih untuk diteliti berdasarkan tema senda gurau: . . . .

1. Pengertian Takhrij

Menurut bahasa takhrij berasal dari kata kharraja خ ّ ر ج yang berarti mengeluarkan. 5 Dalam kamus al-Munawwir lafaz إ ْس ت ْ ر ج إ : ْخ ت ر ج خ : ّ ر ج bermakna ض ّ اْد خ ل lawannya memasukkan. Kata at-takhrij sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian; dan pengertian-pengertian yang popular untuk kata at-takhrij itu ialah: 1 al-istinbât hal mengeluarkan; 2 al-tadrîb hal melatih atau hal pembiasaan; 3 al-taujîh hal memperhadapkan. 6 Adapun menurut istilah takhrij adalah: “Menunjukan posisi hadis dalam sumber-sumber asli yang yang dikeluarkan dengan sanadnya, kemudian menjelaskan kedudukan ketika dibutuhkan.” Sedangkan dalam bukunya, M. Syuhudi Ismail menjelaskan pengertian takhrijul-hadis yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis ialah “Penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan”. 8 5 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989, h.155 6 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007, h. 39. Lihat juga Mahmud at-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Riyad: Maktabah al- Ma‟arif, 1991, h.8 7 Mahmud at-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, h.10 8 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 41

2. Sebab-sebab Perlunya Kegiatan Takhrij Hadis

Bagi seorang peneliti hadis, kegiatan takhrijul-hadis sangat penting. Tanpa dilakukan kegiatan takhrij hadis terlebih dahulu, maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadis itu, dan ada atau tidak adanya syahid atau mutt abi’ dalam sanad bagi hadis yang ditelitinya. Dengan demikian, ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij hadis dan melaksanakan penelitian hadis. Berikut ini dikemukakan tiga hal tersebut: a Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Suatu hadis akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila terlebih dahulu tidak diketahui asal-usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadis yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa diketahui susunan sanad dan matan secara benar, maka hadis yang bersangkutan akan sulit diteliti secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asal- usul hadis yang akan diteliti itu, maka kegiatan takhrij perlu dilakukan terlebih dahulu. b Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti. Hadis yang akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin saja, salah satu dari sanad itu berkualitas daif, sedang yang lainnya berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas daif dan yang berkualitas sahih, maka terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadis yang bersangkutan. Dalam hubungannya untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang sedang akan diteliti, maka kegiatan takhrij sangat diperlukan. c Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mut tabi’ pada sanad yang diteliti. Ketika hadis diteliti salah satu sanad-nya, mungkin ada periwayat lain yang sanad-nya mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan itu bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat sahabat nabi, disebut sebagai syahid, sedang bila terdapat di bagian bukan periwayat tingkat sahabat disebut sebagai mutt abi’. Dalam penelitian sebuah sanad, syahid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat memperkuat sanad yang sedang diteliti. B egitu pula mutabi‟ yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan kekuatannya oleh mutt abi’ tersebut. Untuk mengetahui apakah suatu sanad memiliki syahid atau mutt abi’, maka seluruh sanad hadis itu harus dikemukakan. Itu berarti takhrijul-hadis harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa kegiatan takhrij hadis, tidak dapat diketahui secara pasti seluruh sanad untuk hadis yang sedang diteliti. 9 Dalam menelusuri hadis sampai pada sumber asalnya tidak semudah menelusuri ayat Alquran. Untuk menelusuri ayat Alquran, cukup diperlukan sebuah kitab kamus Alquran, misalnya kitab al- Mu’jam al-Mafahras li Alfâdz al- Qur’ân al-Karîm susunan Muhammad Fuad „Abdul Baqi, dan sebuah 9 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 41-43 rujukan berupa mushaf Alquran. Akan tetapi untuk menelusuri sebuah hadis, tidak cukup hanya menggunakan sebuah kamus atau sebuah kitab hadis yang disusun oleh mukharijnya. Karena hadis terhimpun di dalam banyak kitab sehingga diperlukan kitab-kitab kamus hadis untuk memudahkan kegiatan takhrij hadis dan memahami cara penggunanya. Untuk mengetahui kejelasan hadis beserta sumber-sumbernya seorang peneliti haruslah mengetahui metode-metode dalam mentakhrij hadis. 10 Metode-metode tersebut adalah: 1. Men-takhrij hadis melalui periwayatan pertama. Kitab yang digunakan diantaranya adalah kitab-kitab athraf dan kitab-kitab musnad. 2. Men-takhrij melalui lafal pertama hadis awal matan. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah al-J âmi’ al-Saghîr min ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr, al-Fathu al-Kabîr fî Dammi al-Ziyâdah ila al-J âmi’ al-Saghîr dan kitab Mausû’ah al-Atrâf al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf. 3. Men-takhrij hadis melalui lafal yang terdapat dalam matan hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah al- Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawî. 4. Men-takhrij hadis melalui tema hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Kanz al- ‘Ummâl, kitab Muntakab Kanz al- ‘Ummâl. 10 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 43 5. Men-takhrij hadis melalui klasifikasi jenis hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab al-Azhar al- Mutanatsiruh , kitab al-Ittihâfât al-Saniyyah, kitab al-Hadîts al- Qudsiyyah , kitab al-Marâsil, kitab Tanzîh al-Syarî ’ah al- Marfû ’ah, dan kitab al-Masnû’. Dari kelima metode tersebut di atas tidak mengharuskan seorang peneliti menggunakan semua metode. Terkadang ditemukan hanya tiga atau dua metode saja, jika yang digunakan itu sudah dapat memenuhi usaha penelusuran hadis. 11

C. Kegiatan Penelitian dan I’tibar Sanad

a. Pengertian I‟tibar dan Sanad Kata i‟tibar إا ْع ت ب را merupakan masdar dari kata ر ب تعإ. Menurut bahasa, arti al- i‟tibar adalah “Peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang jelas.” Menurut istilah ilmu hadis, al- I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud. 12 11 Abu Muhammad Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, terj Said Agil Husain al- Munawar H.A. Rifki Mukhtar, Metodelogi Takhrij hadis, Semarang: Toha Putra Group, 1994, h.78 12 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.49 Dengan dilakukannya al-i ’tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing- masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-i ’tibar adalah untuk mengetahui keadan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutt abi’ atau syahid . Yang disebut mutt abi’ biasa juga disebut tabi‟ dengan jama‟ tawabi’ ialah periwayat yang berstatus pendukung para periwayat yang bukan sahabat Nabi. Pengertian syahid dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahid ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. Melalui al- i’tibar akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti memiliki mutt abi’ dan syahid ataukah tidak. 13 Sanad berarti tarîq, yaitu jalan. Sedangkan menurut istilah adalah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Dalam referensi lain, sanad menurut bahasa ialah sandaran, tempat bersandar, atau dapat juga berarti yang dapat dipegang atau dipercaya. 14 Setelah melalui kegiatan takhr ȋ j hadis, kemudian dilanjutkan dengan kritik sanad hadis. Dalam kritik sanad hadis ini menyajikan biografi tiap sanad yang menjadi jalur hadis tersebut yang sampai kepada matan hadis, kemudian menyajikan guru-guru dan murid-murid beliau sehingga sanad dapat dipastikan 13 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.50 14 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, cet ke-4, h. 168 bersambung ittisâl, dan selanjutnya menyajikan tentang komentar ulama terhadapnya sehingga bisa diketahui melalui kitab rijal hadis apakah sanad tersebut termasuk yang positif ta’dîl atau yang negatif tajrîh. Kriteria kesahihan sanad hadis terdapat beberapa syarat yaitu: bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh perawi yang ḏâbiṯ, tidak ada kejanggalan Syâdz maupun cacat ‘illat. 15 Kritik sanad hadis ini merupakan cara untuk mengetahui kualitas perawi yang menjadi rentetan sanad hadis, melalui kitab-kitab rijal hadis seperti Tahdz ȋb al-Tahdzîb, Tahdzîb al-Kamâl, dan lain sebagainya.

D. Kegiatan Penelitian Matan

Untuk mengetahui status kehujjahan hadis, penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting. Karena dalam suatu hadis barulah dinyatakan sahih apabila sanad dan matan hadis itu sama-sama berkualitas sahih. Adapun yang menjadi unsur-unsur acuan utama yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih adalah terhindar dari Syudzudz kejanggalan dan ‘Illat kecacatan. Namun terdapat juga beberapa kriteria kesahihan matan hadis, 16 yaitu: tidak bertentangan dengan akal, tidak bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan dengan hadis yang mutawattir, tidak bertentangan 15 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: PT Mizan Publika, 2009, h.20. 16 Dr.Bustamin M.SI, Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010 dengan hadis ahad yang kualitasnya sahih, tidak bertentangan dengan kesepakatan ulama terdahulu. Dalam kegiatan penelitian matan ini, ada tiga langkah yaitu sebagai berikut: I. Meneliti matan dengan melihat kualitas hadis Dilihat dari segi obyek penelitian, matan dan sanad hadis memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam hubungannya dengan status kehujjahan hadis. Suatu matan hadis tidak dianggap sahih apabila sanadnya diragukan. II. Meneliti susunan lafadz yang semakna Perbedaan dalam redaksi matan dengan matan hadis yang sejalur dengannya karena periwayatan secara makna menurut ulama hadis dapat ditoleransi sepanjang tidak menyalahi kandungan makna hadis dari Rasulullah saw. baik itu pergantian lafal, perbedaan struktur, maupun pengungkapannya sempurna atau tidak, semuanya masih dapat diterima sebagai sabda yang berasal dari Rasulullah saw. III. Meneliti kandungan matan hadis Adapun yang dianggap penting diperhatikan terhadap kandungan matan hadis yang sejalan atau tidak bertentangan dan yang dipertentangkan. 17 17 Dr.Bustamin M.SI, Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010

E. Kritik Hadis tentang Senda Gurau

Hadis Pertama a. Teks Hadis Langkah awal dalam melakukan kritik hadis adalah takhrij hadis, dalam kegiatan takhrij ini penulis menelusuri melalui penggalan lafaz matan hadis dengan menggunakan kitab al- Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawî yaitu dengan lafaz kemudian ditemukanlah sebagai berikut: ب ,ت ر ٨ ٨ Penulis juga menelusuri kata dari lafaz kemudian ditemukan sebagai berikut: رب ,ت ٨ 9 Penulis juga menelusuri kata dari lafaz dan ditemukan sebagai berikut: رب ,ت ٨ 18 A.J Weinsinck, Corcondance et Indices de la Tradition Musumane, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al- Hadîts al-Nabawî, jilid 3. Brill:Leiden, 1955, h.237 19 A.J Weinsinck, Corcondance et Indices de la Tradition Musumane, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al- Hadîts al-Nabawî, h. 256