Sekilas mengenai Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn

Di Indonesia, kitab Ihyâ` Ulûm al-Dîn ini sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Dalam pelacakan penulis, tahun 1963 merupakan tahun pertama kitab ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Hamka memberikan pengantar pada buku tersebut dan ia menyatakan kesenangannya telah ada orang yang mau menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Indonesia, adapun yang menerjemahkan kitab ini adalah Isma‟il Ya‟kub dan diterbitkan oleh penerbit Imbalo Medan. 7 Setelah itu ada beberapa penerbit yang turut serta menerjemahkan kitab ini, di antaranya Penerbit Pustaka Indonesia di Medan dengan jumlah 9 jilid pada tahun 1976, Penerbit Faizan di Jakarta dengan jumlah 4 jilid pada tahun 1984, Penerbit al-Syifa di Semarang pada tahun 1992, dan Penerbit Republika dengan jumlah 9 jilid pada tahun 2011. Menurut Badawi 8 , kitab ini pada dasarnya terbagi menjadi tiga bahasan pokok, yaitu: al- ‘Aqliyah al-Syarî’ah, al-‘Aqliyah al-Falsafiyah, dan al-‘Aqliyah al-Sufiyah. a. Al-‘Aqliyah al-Syarî’ah Pokok bahasan dari al- ‘Aqliyah al-Syarî’aholeh al-Ghazali disariakn dari hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan fiqih dan usulnya, yang itu dinukilkan dari sumber hukum Islam terbesar yaitu Alquran dan hadis, serta disarikan dari pendapat para Imam madzhab, ditambahkan pula dari pendapat ahli fikih, ulama syari‟ah, ulama hadis dan ta‟wil. Meski demikian, semuanya itu tidak menyimpang dari sandaran hukum pokok yang utama dalam Islam, yaitu Alquran, Hadis, dan ijma‟ ulama yang diridhai Allah. 9 7 Abû Hamîd al-Ghazali, Ih yâ` ‘Ulûm al-Dîn, terjemahan Isma‟il Ya‟kub Medan:Penerbit Imbalo, 1964, h.19-22. 8 Ia adalah orang yang mentahqiq kitab Ih yâ` ‘Ulûm al-Dîn 9 Abu Hafsa, Pintu Masuk Buku Ini, dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ih yâ` ‘Ulûm al-Dîn, Jakarta:Republika Penerbit, 2011, h. 13 b. Al-‘Aqliyah al-Falsafiyah Pokok bahasan dari al- ‘Aqliyah al-Falsafiyah oleh Imam al-Ghazali disandarkan pada kemampuan akal manusia untuk memahami, sebagai saran yang telah Allah anugrahkan kepada setiap manusia yang mau menggunakan akal sesuai aturan dan petunjuknya. Sekaligus sebagai pembenar dan saksi atas kebenaran aturan hidup yang disampaikan, yang itu bertujuan untuk memudahkan kita dalam menjalani hidup, serta seluruh aturan yang diperintahkan oleh Allah swt. Di dalamnya penggunaan akal yang dimaksud disini adalah metode berfikir yang dirancang untuk tidak menyimpang dari fithrahnya yang suci, dengan menggunakan logika yang lurus dan cara-cara berfikir yang sahih. 10 c. Al-‘Aqliyah al-Shufiyyah Sedangkan pokok bahasan dari al- ‘aqliyah al-shufiyyah oleh Imam al- Ghazali disandarkan untuk lebih mempersiapkan kepentingan urusan akhirat, melalui cara-cara seperti bersikap zuhut terhadap urusan dunia, menucikan diri dari segala bentuk urusan yang meragukan, maupun usaha pembersihan jiwa dari kotoran yang sanggup melingkupinya. Serta di atas semua permasalahan tersebut, tujuan utamanya adalah pembersihan qalbu melalui pendekatan diri secara langsung kepada Allah swt, menggunakan beberapa metode yang sudah ditentukan-Nya. 11 10 Abu Hasfa, Pintu Masuk Buku Ini dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ `‘Ulûm al-Dîn, h. 14 11 Abu Hasfa, Pintu Masuk Buku Ini dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ `‘Ulûm al-Dîn, h. 14 2. Pandangan Ulama atas Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn Terdapat satu buku yang berupa mengumpulkan pandangan-pandangan kurang baik atas kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Buku ini disusun oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dengan judul terjemahannya Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn dalam pandangan Ulama. Ia meneyebutkan beberapa pandangan ulama yang menyatakan adanya kekurangan dalam kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Di bawah ini, penulis kutip dua diantaranya: 1 Ibn al-Jauzi bahwa “kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn di dalamnya terdapat banyak kerusakan penyimpangan yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan dibandingkan dengan penyimpangan- penyimpangan besar lainnya adalah hadis-hadis palsu dan batil yang termaktub di dalamnya, juga hadis-hadis mauqûf ucapan sahabat atau tabi‟in yang dijadikan sebagai hadis marfû ’ ucapan Rasulullah shallallah „alaihi wa sallam. Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia yang memalsukannya. Serta sama sekali tidak dibenarkan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan hadis palsu, dan tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan atas nama Rasulullah shallallah „alaihi wa sallam.” 12 2 Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah: “Dalam kitab ini terdapat hadis-hadis dan riwayat- riwayat yang lemah bahkan banyak hadis yang palsu. Juga banyak kebatilan dan kebohongan orang-orang ahli Tasa wuf.” 13 Dalam tulisannya, ia menyatakan: “Kitab ini berisi pembahasan-pembahasan yang tercela, yaitu pembahasan yang rusak menyimpang dari Islam dari para ahli filsafat yang berkaitan dengan 12 Ibn al-Jauzi, Minhajul Qashidin, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga Jakarta: Darul Qolam, tt, h. 14-17 13 Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, Juz X, h. 552, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga Jakarta: Darul Qolam, tt, h. 19 tauhid Pengesaan Allah swt, kenabian dan hari kebangkitan. Maka, ketika penulisnya menyebutkan pemahaman orang-orang ahli Tasawuf yang sesat keadaanya seperti seseorang yang mengundang seseorang musuh bagi kaum muslimin tetapi disamarkan dengan memakaikan padanya pakaian kaum muslimin untuk merusak agama mereka secara terselubung. Sungguh para Imam ulama besar Islam telah mengingkari kesesatan dan penyimpangan yang ditulis oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya. ” 14 Sebenarnya orang yang menyebutkan sisi baik dari kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, juga tidak sedikit. Buya Hamka, saat memberikan kata pengantar pada terjemahan kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn cetakan pertama berbahasa Indonesia, menyebutkan begitu besar pengaruh kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn pada masyarakat Muslim dan Ulama di Indonesia. Contohnya, penyebaran Islam di Kerajaan Pasai dipengaruhi juga oleh karya al-Ghazali ini. Untuk contoh lainnya karya Sey kh „Abd al-Shamad al-Falimbani, Sa’ir al-Salikin, banyak dipengaruhi kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Buya Hamka menambahkan, bahwa buku Tasawuf Modern miliknya, “amat banyak mengambil buah renungan al-Ghazali ini”. 15 Bila kitab ini memiliki kekeliruan besar tenyata tidak akan banyak orang yang akan terpengaruhi olehnya. Namun apabila kitab ini sedikit kekeliruan, hal itu penulis pandang sebagai suatu normal dalam sebuah karya. 14 Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, Juz X, h. 552, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga, h. 20 15 Hamka, “Sambutan Terjemahan IHYA‟ ULUMUDDIN” dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ `‘Ulûm al-Dîn, terj. Tk. Ismail Yakub, Juz I Medan: Penerbit Imbalo, 1964, h. 17-18 23

BAB III LISAN DAN SENDA GURAU

A. Pengertian Lisan dan Senda Gurau

Menurut Bahasa ل س ٌنا berasal dari akar kata yang terdiri atas tiga huruf; lam-sin- nun yang dihubungkan menjadi ل س ن dan mempunyai makna dasar yaitu panjang yang agak lembut. Dalam lisân al- ‘arab, kata ل س ٌنا diartikan jârihat al-kalâm, yaitu anggota badan yang bisa mengeluarkan perkataan. Sedangkan bentuk jamak dari lisan adalah اْل س ْن “alsun” dan ا ْل س نْه “alsinah”. Samin Halabi, penulis buku kosakata Alquran, ‘Umdat al-Huffâdz fî Tafsîr Asyrâf al-Alfâdz, membedakan dua bentuk jamak tersebut. Jika kata lisan diposisikan sebagai mudzakar maka bentuk jamaknya adalah ْه نسْل ا , tetapi jika lisan diposisikan sebagai muannats maka bentuk jamaknya adalah ْنسْل ا . Para ahli bahasa memaknai lisan sebagai salah satu organ tubuh yang terdapat di bagian mulut yang menghasilkan kekuatan berbicara yang dapat dimengerti oleh sesama manusia atau disebut juga bi tahrîk al-fasâhah, yaitu ketajaman lisan oleh pengguna bahasa Arab disebut ا ل سل ْن “al-lasan”. 1 Lisan Menurut Istilah adalah sekumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lisan berada di dalam mulut manusia, dan bertetangga dengan gigi dan gusi. Lisan 1 Ibnu Mandzûr, Lisân al- ‘Arabi,juz 12 Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Arabi, h. 275-276. Lihat juga: Sihabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia al- Qur’an; kajian kosa kata, vol II Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet. 1, h. 520. hanyalah segumpal otot lentur yang melintang dan panjang sehingga dapat digerakkan atau dijulurkan. Normalnya, lisan memiliki ukuran 5-6 cm. Lisan juga dikenal sebagai indera pengecap yang banyak memiliki struktur tunas pengecap. 2 Lisan juga turut membantu dalam tindakan bicara. 3 Pengertian Senda Gurau menurut bahasa ialah: Mazaha, yang berasal dari kata 4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti senda gurau adalah main-main canda dengan kata-kata seperti olok-olok; kelakar; seloroh. 5 Bersenda gurau merupakan salah satu cara yang di syari‟atkan dan sifat agar kita disukai banyak orang. Juga merupakan salah satu perantara yang utama untuk dapat dicintai orang lain dan cara yang mudah untuk memperoleh simpati hati mereka. Rasulullah mencontohkan bersenda gurau dengan para sahabatnya, menanamkan kegembiraan dan keceriaan di hati mereka. 6 Terdapat unsur humor dalam senda gurau, karena biasanya senda gurau menghasilkan sebuah tawa. Istilah humor sendiri merupakan kata- kata yang memiliki 2 Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papilla, terdiri dari dua sel yaitu sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor. Sedangkan sel penyokong berfungsi untuk menopang. Terdapat lebih dari 10.000 tunas pengecap pada lidah manusiausianya hanya seminggu. Tunas itu akan mati dan segera digantikan oleh sel-sel yang baru. Sel-sel reseptor terdapat pada tonjolan-tonjolan kecil pada permukaan lidah papila. Sel-sel inilah yang bias membedakan rasa manis, asam, pahit, dan asin. Lihat http:id.wikipedia.orgwikiLidah. 3 http:id.wikipedia.orgwikiLidah. Diakses pada tanggal 8 Juni 2014. 4 Ibnu Mandzûr, Lisân al- ‘Arabi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Arabi, h. 92 5 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, h.812 6 Muhammad bin Ismail al- „Umrani, Ta’aruf Cinta, h. 76 banyak makna. Pada Abad Pertengahan, humor menunjuk kepada suatu energi yang berpikir untuk berhubungan dengan suatu keadaan emosional. Energi ini telah dipercaya untuk menentukan kesehatan dan karakter. Menurut Freud, tujuan dari lelucon atau humor adalah untuk memberikan kesenangan, memunculkan hal yang sebelumnya tersembunyi atau tidak diakui. Sedang Dalam literatur Islam masa lalu, cukup banyak tokoh-tokoh muslim yang telah menghasilkan karya-karya humor. Namun humor dan canda mereka selalu mengandung unsur akidah, muamalah dan akhlak. Di antaranya Nasruddin Hoja, Hani al Arabiy. Para tokoh humor ini, digambarkan sebagai manusia-manusia unik. Dari ucapan dan perbuatan mereka, semuanya mengandung pengajaran dan dakwah. Jadi, di dalam Islam sama sekali tidak ada larangan humor dan cara bersenda gurau. Tentu saja selama masih berada dalam koridor yang benar. Kita tidak diperbolehkan bersenda gurau yang berlebihan hingga akhirnya jatuh pada ghibah atau olok-olok. 7

B. Etika Senda Gurau

Yusuf Qardhawi telah mengariskan lima etika dalam bersenda gurau : 1 Tidak menggunakan perkara yang bohong sebagai alat untuk manusia tertawa. Nabi SAW bersabda, Artinya: Celaka orang yang bercakap kemudian berbohong supaya manusia ketawa. Celakalah dia dan celakalah dia 7 http:wiki.blogspot.comsenda-gurau-dalam-islam di akses pada tanggal 20 Agustus 2014