1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kerusakan lingkungan menjadi penyebab utama peningkatan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah.
Ironisnya, kehancuran ekologi sejumlah kawasan di Indonesia adalah karena hutan, pesisir, dan daerah aliran sungai yang dieksploitasi habis-
habisan. Hal tersebut juga akan berdampak pada makhluk hidup di sekitar kita.
Kerusakan hutan deforestasi masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut Alamendah dalam Departemen Kehutanan 2010,
data laju kerusakan hutan periode 2003-2006 di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun. Bahkan kalau melihat data yang dikeluarkan
oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food
Agriculture Organization FAO, angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektartahun.
Menurut artikel ini juga menjelaskan laju kerusakan hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record
memberikan „gelar kehormatan‟ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan
tercepat di dunia. Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan Menteri
Kehutanan sebelumnya menyebutkan angka 135 juta hektar sebanyak 21
2 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak
memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta
hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH hak penguasaan hutan. Dari total luas hutan di Indonesia
hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari kerusakan hutan sehingga masih terjaga dan berupa hutan
primer. Departemen Kehutanan 2010 juga menyebutkan laju kerusakan
hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan sehingga
mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia mencapai 40 juta meter kubik setahun, sedangkan laju penebangan yang sustainable
lestari berkelanjutan sebagaimana direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta kubik meter setahun.
Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia, disumbang oleh pengalihan fungsi hutan konversi hutan menjadi perkebunan. Konversi
hutan menjadi area perkebunan seperti kelapa sawit, telah merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997.
Kerusakan hutan memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan yang
mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas
3 lingkungan yang pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam,
seperti tanah longsor dan banjir. Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya
kelestarian satwa dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik yang semakin terancam kepunahan akibat
deforestasi hutan misalnya lutung jawa, merak, elang jawa, merpati hutan perak,dan gajah sumatera.
Terkait dengan kepedulian, perlindungan dan rasa cinta terhadap satwa sudah selayaknya diperhatikan. Secara kasat mata, satwa-satwa yang
terdapat di muka bumi ini sedikit banyak mengalami berbagai persoalan. Tentunya persoalan tersebut menyangkut hak-hak hidup mereka seperti
layaknya manusia. Tingkat keterancaman habitat tempat mereka tinggal berupa hutan dan populasi mereka semakin menurun, semakin punah,
semakin terancam, semakin langka bahkan tinggal kenangan, akibat berbagai aktivitas manusia. Nasib mereka dari hari ke hari semakin
memprihatinkan. Berdasarkan artikel BCC Borneo Climate Change 2012,
kepedulian, perlindungan serta rasa cinta terhadap satwa telah digerakkan sejak tahun 1993, ini ditunjukkan untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap
puspa dan satwa. Dengan demikian sudah berlangsung selama 22 tahun sampai saat ini. Berbagai cara telah banyak dilakukan oleh kawan-kawan
lingkungan yang peduli terhadap satwa yang dilindungi, namun
4 kepedulian ini belum sepenuhnya mendapat dukungan dari berbagai pihak,
karena kenyataannya sangat ironis. Kepedulian bersama terhadap satwa dilindungi yang menjadi dasar kepeduliaan, cinta terhadap satwa
dilindungi cenderung semakin terabaikan khususnya tindakan nyata. Permasalahan lainnya yang mendasari semakin memperparah
terancamnya satwa dan hutan di sebabkan oleh tuntutan hidup manusia. Satwa-satwa dilindungi dan keberadaan hutan serta tumbuh-tumbuhan
yang selalu menjadi korban akibat semakin lajunya tingkat kerusakan hutan dan berbagai persoalan lainnya sudah sangat dirasakan dampaknya.
Laju deforestasi juga berdampak langsung terhadap kehidupan manusia, seperti banjir dan kekeringan dan kebakaran.
Hutan sebagai tempat berpijak bagi seluruh kehidupan di bumi semakin hari semakin terkikis dan satwa semakin memprihatinkan
keberadaannya. Terhimpitnya habitat akibat semakin meluasnya area atau lahan untuk perkebunan dan pembangunan. Selain itu, tingkat
keterancaman habitat dan populasi satwa seperti orangutan, burung enggang, trenggiling dan jenis-jenis burung akibat perburuan dan
pemeliharaan serta masih lemahnya penanganan kasus-kasus terkait kejahatan terhadap satwa.
Tito P. Indrawan aktivis Yayasan Palung dalam BCC Borneo Climate Change sebuah situs peduli lingkungan 2012 mengatakan
bahwa tidak cukup hanya mengatakan cinta puspa dan satwa, harus ada
5 kerja nyata untuk itu, sudah banyak satwa di Indonesia yang masuk dalam
daftar satwa dilindungi, namun yang melindungi itu hanya peraturan saja bukan manusia Indonesia yang melindungi. Sebagai contoh, maraknya
kasus pembunuhan satwa, perdagangan satwa langka masih marak, pemeliharaan satwa langka pun tak bisa dibilang sedikit jadi harus ada
langkah dan gerak yang nyata dalam menunjukkan cinta kepada satwa dan puspa Indonesia.
Tito menjelaskan, yang belum ada sekarang adalah sinergisitas antar instansi dalam program-program konservasi. Hutan, tumbuh-
tumbuhan dan satwa merupakan satu kesatuan makluk hidup yang tidak dapat terpisahkan di bumi ini.
Kepedulian manusia untuk bersama-sama menjaga dan melindungi serta melaksakan tindakan nyata menjadi suatu keharusan. Selain itu,
pelibatan semua pihak untuk menumbuhkan rasa cinta, peduli dan melindungi harus ada dan kesadaran untuk saling mendukung tetap terjaga
dan lestarinya satwa dan lingkungan secara berkelanjutan. Pendidikan untuk peduli terhadap makhluk hidup harus dimulai
sejak dini. Hal ini dapat dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Orang tua harus mampu memberikan edukasi yang benar pada anaknya
untuk menumbuhkan sikap peduli dan sayang terhadap satwa, tumbuh- tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya. Femke Den Haas seorang aktivis
JAAN Jakarta Animal Aid Network, dalam Mongabay Sebuah Situs
6 Berita dan Informasi Lingkungan, 2013 menjelaskan bahwa masih banyak
dijumpai orang tua yang memberikan edukasi yang salah pada anaknya. Mengajak anak menonton sirkus dan topeng monyet merupakan hiburan
yang sangat menyiksa binatang dan tidak berperikemanusiaan. Kekejaman, penderitaan, kurang gizi, kurang makan, debu knalpot kendaraan sering
berakhir pada kematian menghantui monyet-monyet yang dijadikan topeng monyet. Femke menyebutkan Indonesia merupakan satu-satunya negara
yang masih melakukan pertunjukan keliling yang menampilkan lumba- lumba.
Kekejaman pada monyet-monyet dan lumba-lumba ini belum banyak diperhatikan oleh masyarakat maupun instansi terkait, padahal
Indonesia mempunyai Undang-Undang No.5 Tahun 1990 pasal 302 tentang Kesejahteraan Satwa yang diterapkan pada KUHP dan Undang-
Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tetapi UU ini tidak pernah diterapkan atau tidak ada ketegasan dari pelaksanaan
UU ini. Di negara-negara lain telah memberlakukan larangan penggunaan
lumba-lumba dalam sirkus keliling, karena mengancam nyawa hewan mamalia tersebut. Sirkus lumba-lumba tidak ada unsur pendidikan sama
sekali, hanya untuk bersenang-senang saja. Seharusnya jika memang ingin memberikan pengetahuan pada anak-anak sebaiknya dilakukan di alam
bebas seperti di Lovina. Femke juga menjelaskan bahwa semua lumba- lumba yang digunakan dalam sirkus-sirkus ditangkap dari alam secara
7 ilegal, pengangkutan dengan pesawat akan mengancam lumba-lumba
tersebut karena lumba-lumba sangat sensitif terhadap suara dan kebisingan pesawat yang dapat merusak sonar, dalam proses penangkapannya hingga
pengangkutan untuk dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain sangat mengancam lumba-lumba karena zat klorin yang digunakan dalam kolam
plastik juga berbahaya. Sirkus lumba-lumba memanfaatkan satwa yang dilindungi untuk disiksa dan dieksploitasi untuk kepentingan mencari laba
bagi bisnis-bisnis yang menjalankannya. Orang tua berusaha membuat anak merasa senang dan terhibur tanpa menyadari telah memberikan
edukasi yang salah. Femke berharap edukasi untuk peduli lingkungan harus diberikan
sejak dini, memberikan pemahaman kepada anak bahwa makhluk ciptaan Tuhan tidak hanya sesama manusia, makhluk hidup lain seperti hewan dan
tumbuhan. Manusia yang diberi akal pikiran seharusnya lebih peduli, merawat, tidak hanya mampu merusak dan mengeksploitasi alam. Manusia
bergantung pada alam, jika alam dan sekitarnya rusak maka punahlah manusia.
Beberapa pembelajaran di tingkat sekolah dasar yang dianggap mengandung nilai pendidikan dan membahas kepedulian terhadap
makhluk hidup dan lingkungannya, misalnya Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Agama, dan Moral Pancasila. Menurut Lilis Widaningsih
dalam Jurnal Pendidikan Lingkungan Hidup 2008 : 6 menjelaskan bahwa pendidikan lingkungan hidup yang diajarkan pada tingkat sekolah dasar
8 dan menengah dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP
mengisyaratkan pentingnya
kreativitas dalam
mengembangkan pembelajaran. Namun, pembelajaran terkait pendidikan lingkungan hidup
terlupakan dalam kurikulum sehingga mendapat porsi yang sedikit dibandingkan dengan materi yang lain. Pembelajaran formal di sekolah
lebih menekankan kepada pencapaian individu untuk bersaing menjadi yang terbaik agar mendapatkan penghargaan, akibatnya individu menjadi
egois dan kurang menghargai lingkungan sekitar mereka. Sedangkan pembelajaran lingkungan hidup di sekolah hanya sebatas guru
memberitahu bagaimana cara merawat alam dan menyayangi makhluk hidup tanpa ada praktik langsung di lapangan dan juga kurangnya
pendidikan yang diberikan orang tua untuk peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan sehingga kesadaran anak sangat kurang bahkan ada yang
tidak peduli. Hal tersebut yang membuat pendidikan lingkungan hidup mengalami kegagalan.
Berdasarkan permasalahan umum di atas, kerusakan lingkungan pun juga terjadi di lingkungan yang lebih kecil seperti yang peneliti amati
di SD Negeri Monggang. Peneliti mewawancarai Kepala Sekolah, beliau menjelaskan bahwa selama ini pembelajaran Ilmu Pengetahual Alam yang
terkait kepedulian terhadap makhluk hidup dan lingkungannya di SD Negeri Monggang masih sebatas menggunakan media buku dan
mendengarkan penjelasan dari guru. Alat permainan edukatif belum lengkap, media yang tersedia di SD Negeri Monggang hanya sebatas
9 buku-buku pelajaran dan LKS, beberapa CD Pembelajaran, begitu juga
dengan pembelajaran yang menekankan pada pemahaman terhadap makhluk hidup masih kurang, pembelajaran hanya sebatas anak diberitahu
oleh guru, dan banyak anak yang belum paham betul untuk peduli terhadap makhluk hidup. Seharusnya pembelajaran untuk siswa kelas
rendah harus mengutamakan unsur permainan karena siswa kelas rendah masih senang bermain-main, senang bergerak, melakukan maupun
menirukan sesuatu. Begitu juga penjelasan dari guru kelas, guru kelas menjelaskan
bahwa beberapa siswa masih sering merusak tanaman di sekolah, menyiksa hewan-hewan kecil seperti kupu-kupu, belalang, yang berada di
lingkungan sekolah. Siswa kurang paham bahwa makhluk hidup di sekitar kita juga perlu dilestarikan agar tidak punah, siswa perlu diberi
pembelajaran agar mengerti makhluk hidup yang dilindungi dan tidak boleh dipelihara, dan makhluk hidup yang bisa dipelihara. Siswa juga
perlu diberi pembelajaran untuk memahami makhluk hidup yang seharusnya bebas berada di habitatnya, dan tidak boleh dieksploitasi
manusia.Guru berharap dengan adanya pembelajaran peduli makhluk hidup yang dikemas dalam alat permainan edukatif, pembelajaran akan
lebih hidup dan tidak membosankan, kelas tampak lebih hidup dan segar. Beberapa siswa di SD Negeri Monggang khususnya kelas 3,
mereka mengeluhkan bahwa selama ini belum pernah ada pembelajaran dengan alat permainan edukatif yang menarik, mereka merasa bosan hanya
10 belajar lewat buku dan LKS, permainan dalam pembelajaran jarang
diberikan oleh guru. Keadaan media di SD Negeri Monggang masih layak, hanya saja tidak bervariasi. Selama pembelajaran siswa diberi penjelasan
oleh guru dengan siswa menyimak buku pembelajaran, kadang-kadang guru membawa alat peraga untuk mempermudah penyampaian materi ke
siswa. CD Pembelajaran juga tersedia di SD Negeri Monggang, namun tidak semua materi dan mata pelajaran ada, pemutaran CD Pembelajaran
jarang sekali karena kurang lengkapnya CD Pembelajaran serta keterbatasan sarana dan prasarana untuk menayangkan di kelas.
Berdasarkan pada observasi awal, peneliti memberikan pertanyaan kepada siswa kelas 3 Sekolah Dasar Negeri Monggang mengenai seberapa
pedulikah kamu dengan makhluk hidup sekitar, sebagian besar dari siswa kurang tahu bahkan tidak peduli terhadap makhluk di sekitar. Sebagian
besar dari siswa juga tidak mengetahui perbedaan antara makhluk hidup yang bisa dipelihara, makhluk hidup yang dilindungi dan makhluk hidup
yang tidak dilindungi. Mereka bahkan senang menonton topeng monyet dan sirkus lumba-lumba. Hal ini dibuktikan dengan hasil jawaban siswa
saat menjawab pre test. Hal tersebut yang memperkuat penelitian dan pengembangan alat
permainan edukatif ini. Penjelasan sekilas mengenai alat permainan edukatif Animals Puppet Show diberikan kepada siswa, mereka tertarik
bahkan antusias untuk mendapatkan pembelajaran peduli terhadap makhluk hidup dengan alat permainan edukatif.
11 Hasil observasi awal peneliti pada siswa sekolah dasar dapat
diketahui bahwa sebagian besar siswa masih menyukai pembelajaran yang terdapat unsur permainan di dalamnya, mereka menghabiskan sebagian
waktunya untuk bermain baik di sekolah maupun di rumah. Mereka mudah merasa bosan apabila pembelajaran terlalu monoton, dan hanya
terpaku pada buku pelajaran. Sehingga diharapkan dengan adanya alat permainan edukasi pada tema Peduli Terhadap Makhluk Hidup dan
Lingkungannya dapat membuat siswa paham untuk peduli terhadap makhluk hidup dan juga lingkungannya
Dari berbagai hal diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengembangan dengan judul “Pengembangan Alat Permainan
Edukatif Animals Puppet Show untuk Meningkatkan Pemahaman
Kepedulian Terhadap Makhluk Hidup pada Siswa Kelas 3 Sekolah Dasar Negeri Monggang, Bantul.
”
12
B. Identifikasi Masalah