16
b. Risiko bagi Konsumen
Risiko bagi konsumen adalah keracunan residu sisa-sisa pestisida yang terdapat dalam produk pertanian.
Risiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida
atau lewat rantai makanan. Meskipun bukan tidak mungkin konsumen menderita keracunan akut, tetapi risiko bagi
konsumen umumnya dalam bentuk keracunan kronis, tidak segera terasa, dan dalam jangka panjang mungkin
menyebabkan gangguan kesehatan Panut Djojosumarto, 2000: 23.
c.
Risiko bagi Lingkungan
Risiko penggunaan pestisida terhadap lingkungan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut.
1 Risiko bagi manusia, hewan, dan tumbuhan yang
berada di tempat, atau di sekitar tempat pestisida digunakan.
Drift pestisida,
misalnya, dapat
diterbangkan angin dan mengenai orang yang kebetulan lewat. Pestisida dapat meracuni hewan
ternak yang masuk ke kebun yang sudah disemprot pestisida Panut Djojosumarto, 2000: 23.
17
2 Bagi
lingkungan umum,
pestisida dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan tanah, udara, dan air dengan segala akibatnya, misalnya
kematian hewan nontarget, penyederhanaan rantai makanan alami, penyederhanaan keanekaragaman
hayati, bioakumulasibiomagnifikasi,
dan sebagainnya Panut Djojosumarto, 2000: 23.
3 Khusus pada lingkungan pertanian agroekosistem,
penggunaan pestisida pertanian dapat menyebabkan hal-hal berikut.
a Menurunnya kepekaan hama, penyebab
penyakit, dan gulma terhadap pestisida tertentu yang berpuncak pada kekebalan
resistensi hama, penyakit, dan gulma terhadap pestisida Panut Djojosumarto,
2000: 24. Munculnya ketahanan hama terhadap insektisida, karena hama terus
menerus mendapat tekanan oleh pestisida maka melalui proses seleksi alam spesies
hama mampu membentuk strain yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu. Saat ini
lebih dari 500 spesies serangga tertentu
18
resisten terhadap
beberapa kelompok
insektisida Kasumbago Untung, 2001: 13. b
Resurjensi hama,
yakni fenomena
meningkatnya serangan
hama tertentu
sesudah perlakuan dengan insektisida Panut Djojosumarto, 2000: 24.
c Letusan hama kedua setelah perlakukan
insektisida tertentu secara intensif ternyata hama
sasaran utama
memang dapat
terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan menjadi hama utama adalah jenis
hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak membahayakan Panut Djojosumarto,
2000: 24. d
Terbunuhnya musuh alami hama. Data mengenai hal ini di Indonesia juga masih
sangat sedikit. Beberapa kejadian dan penelitian yang ada menyatakan bahwa
Fentoat 60 EC dan Isoksation 25 EC menyebabkan menurunnya populasi laba-
laba Lycosa sp.. Diazinon 60 EC, MICP 40 WP, Fenitrotion 75 EC dan Isoksation 25 EC
19
menurunkan populasi Cyrtorhinus sp. Panut Djojosumarto, 2000: 24.
e Perubahan flora, misalnya penggunaan
herbisida secara
terus-menerus untuk
mengendalikan gulma daun lebar akan merangsang pergembangan gulma daun
sempit rumput Panut Djojosumarto, 2000: 24.
f Meracuni tanaman bila salah menggunakan
Panut Djojosumarto, 2000: 24.
3. Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian Hama
Terpadu Integrated
Pest Management
atau disingkat PHT merupakan konsep yang dikembangkan oleh para ahli Amerika Serikat terutama sejak Stern
dan kawan-kawan di Universitas California menulis tentang Integrated Control
pada tahun 1959 di Majalah Hilgaria. Konsep PHT merupakan jawaban terhadap dampak negatif penggunaan
pestisida terutama penggunaan DDT untuk pengendalian hama tanaman sejak Perang Dunia ke II. Dampak tersebut antara lain,
resurjensi hama, ledakan hama sekunder, resistensi hama, dan yang lebih penting lagi adalah dampak negatif terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia Abdul Latief Abadi, 2003: 113-114.
20
Pengendalian Hama Terpadu adalah pengendalian hama yang memiliki dasar ekologis dan menyandarkan diri pada faktor-
faktor mortalitas Abdul Latief Abadi, 2003: 114. Pengendalian Hama Terpadu PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat
multi disiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan
beranekaragam taktik
pengendalian secara
kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan Smith, 1978, sedangkan Kenmore 1989 memberikan definisi singkat
PHT sebagai perpaduan yang terbaik. Yang dimaksud dengan perpaduan terbaik di sini adalah perpaduan penggunaan berbagai
metode pengendalian hama yang dapat memperoleh hasil yang terbaik yaitu stabilitas produksi pertanian, kerugian seminimal
mungkin bagi manusia dan lingkungan, serta petani memperoleh penghasilan yang maksimal dari usaha taninya.
Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional, yang
sangat mengutamakan penggunaan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat
dan berlebihan. Cara ini kecuali meningkatkan biaya produksi juga mengakibatkan dampak samping yang merugikan bagi lingkungan
hidup dan kesehatan masyarakat. Harga pestisida di tingkat petani sangat murah sehingga mendorong petani untuk menggunakan
21
pestisida secara berlebihan tanpa melihat kondisi ekosistem dan dampaknya terhadap lingkungan Abdul Latief Abadi, 2003: 116.
Dilihat dari segi efektivitas dan efisiensi pengendalian, penggunaan pestisida berspektrum lebar semakin mendorong
berkembangnya jenis hama yang resisten, timbulnya resurgensi hama serta timbulnya letusan hama sekunder. Fenomena tersebut
mengakibatkan penggunaan pestisida menjadi semakin kurang efektif
dan efisien.
Akibatnya, petani
terdorong untuk
meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi dan bahkan sering kali mencampur
dengan pestisida
lainnya. Dengan
demikian penggunaan pestisida terus meningkat, lingkungan hidup menjadi
tercemar, sedangkan masalah hama tidak pernah dapat terselesaikan bahkan justru semakin meningkat Abdul Latief
Abadi, 2003: 116. Untuk meningkatkan kembali efisiensi dan efektivitas
pengendalian, serta untuk membatasi pencemaran lingkungan maka kebijakan dan pengendalian secara konvensional tersebut
harus diubah menjadi kebijakan pengendalian hama berdasarkan pada konsep dan prinsip PHT. Oleh karena itu pemerintah
kemudian mengambil keputusan politik dan bertekad untuk menerapkan konsep PHT, dengan dikeluarkannya Inpres 31986
pada tahun 1986 Abdul Latief Abadi, 2003: 117.
22
PHT adalah satu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi
dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Sasaran PHT
adalah : 1.
Produktivitas pertanian mantap tinggi 2.
Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat 3.
Populasi OPT dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada aras yang secara ekonomis tidak merugikan
4. Pengurangan risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan
pestisida. Salah satu tujuan praktis sistem PHT adalah mengurangi
kuantum penggunaan pestisida sintetik, antara lain dengan mengintroduksi pestisida nabati yang mampu menandingi
keampuhan pestisida sintetik tersebut Suryaningsih, 2004: 1.
4. Pengertian Pestisida Nabati
Salah satu alternatif untuk menggantikan penggunaan pestisida sintetik yang banyak menimbulkan dampak negatif
adalah menggunakan senyawa kimia yang berasal dari tanaman yang dikenal dengan nama Pestisida Nabati Sudarmo, 2005.
Pestisida nabati mencangkup bahan nabati ekstrasi penyulingan yang dapat berfungsi sebagai zat pembunuh, zat penolak zat
23
pengikat, dan zat penghambat pertumbuhan organisme pengganggu
tanaman.
Pada umumnya, pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Menurut
FAO 1988 dan US EPA 2002, pestisida nabati dimasukkan ke dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin.
Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik Asmaliyah
dkk, 2010: 2. Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya
berasal dari tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai zat pembunuh, penolak, pengikat ataupun penghambat pertumbuhan OPT.
Pestisida nabati relatif lebih mudah dibuat, lebih mudah terurai di alam dan lebih aman bagi manusia dan lingkungan. Pemanfaatan
pestisida nabati dalam pengendalian OPT, selain sebagai pengendali alamiah yang efektif dan berkelanjutan, juga dapat
berperan dalam meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan efisiensi usaha dan image produk perkebunan ramah
lingkungan Haryono, 2011: 2. Pestisida nabati terbuat dari bahan alaminabati maka jenis
pestisida ini bersifat mudah terurai biodegradable di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi
manusia dan ternak peliharaan yang mengkonsumsinya karena
24
residunya mudah hilang. Pestisida Nabati bersifat “pukul dan lari” hit and run, yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama
pada waktu itu dan setelah hama terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam. Dengan demikian, tanaman akan
terbebas dari residu pestisida dan aman untuk dikonsumsi Agus Kardinan, 2000: 4-5.
Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya.
Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat
pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Menurut Agus Kardinan 2000 , di dalam tumbuhan ada zat metabolit sekunder
yang berfungsi untuk melindungi diri dari pesaingnya. Zat inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati. Zat
ini mempunyai karakterisitik rasa pahit mengandung alkaloid dan terpen, berbau busuk dan berasa agak pedas sehingga tumbuhan
ini tidak diserang oleh hama Hasyim, 2010. Tumbuhan sebenarnya kaya akan bahan bioaktif, walaupun
hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi, tetapi sesungguhnya jumlah bahan kimia pada
tumbuhan dapat melampaui 400.000. Grainge et al., 1984 melaporkan ada 1800 jenis tanaman yang mengandung pestisida
nabati yang dapat digunakan untuk pengendalian hama
25
Sastrosiswojo, 2002,. Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada
sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 235 Famili Agus Kardinan, 2000. Menurut Morallo-Rijesus 1986, jenis
tanaman dari Famili Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling banyak mengandung bahan insektisida nabati
Sastrosiswojo, 2002. Oleh karena itu, jika dapat mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan membantu
masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada
di sekitarnya Agus Kardinan, 2000. Telah banyak diteliti bahwasanya ekstrak tanaman tertentu
mengandung molekul, yang bekerja secara tunggal maupun berinteraksi dengan molekul lainnya yang mampu berperan sebagai
pestisida. Cara kerja mode of action molekul tersebut dapat sebagai biotoksin, pencegah makan antifeedantt, feeding
deterrent , penolak repellent dan atau pengganggu alami, baik
yang diperoleh dari tumbuhan maupun jasad renik yang disebut sebagai pestisida biorasional biorational pesticides EPA, 1989.
Pada umumnya tanaman yang digunakan sebagai pestisida nabati bersifat repellent. Oleh karena itu, jika dapat mengolah
tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan membantu masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah