EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI PERASAN DAUN KAYU KUNING (Arcangelisia flava L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.).

(1)

i

EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI PERASAN DAUN KAYU KUNING (Arcangelisia flava L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA Plutella

xylostella PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Oleh Tri Widayanti NIM 13308141059

PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

Harta yang tak pernah habis adalah ilmu pengetahuan dan ilmu yang tak ternilai adalah pendidikan.

“Pengetahuan adalah senjata yang paling hebat untuk mengubah dunia.”- Nelson Mandela

Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala upaya dan usaha yang disertai dengan doa, karena sesungguhnya nasib seseorang manusia tidak akan berubah

dengan sendirinya tanpa berusaha...

Jangan menunda-nunda untuk melakukan suatu pekerjaan karena tidak ada yang tahu apakah kita dapat bertemu hari esok atau tidak...


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan untuk semua orang spesial yang berperan penting dalam terselesaikannya skripsi ini :

1. Kedua orang tua tercinta Bapak Sugeng (alm) dan Ibu Umi Kulsum, yang telah memberikan banyak dukungan moril maupun materil, serta memberikan do’a restu serta dorongan motivasi dalam pembuatan skripsi ini.

2. Kakak- kakak dan keponakan yang selalu membuat hari-hari saya bahagia, selalu menyemangati, dan memberikan do’a yang terbaik kepada saya. 3. Keluarga Besar Biologi FMIPA UNY, yang selama kurang lebih empat

tahun mewarnai perjalanan hidup saya dalam menuntut ilmu pengetahuan. Terimakasih kepada dosen-dosen Biologi yang telah dengan sabar memberikan didikan dan bimbingan kepada saya.

4. Teman seperjuangan penelitian, Ismi Nurhidayah, Rizky Wulandari, Insiwi Purwianshari yang senantiasa membantu dan saling mendukung dalam menyelesaikan penelitian kami.

5. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan Prodi Biologi FMIPA UNY, khususnya Biologi E angkatan 2013.


(7)

vii

EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI PERASAN DAUN KAYU KUNING (Arcangelisia flava L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA Plutella

xylostella PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.) Oleh:

Tri Widayanti NIM 13308141059

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva, tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.), serta konsentrasi efektif pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida.

Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2016 di Greenhouse, Biologi, FMIPA, UNY, penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas kontrol negatif menggunakan air, empat perlakuan variasi konsentrasi perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) (2,5%; 5%; 7,5%; 10%) dan kontrol positif menggunakan pestisida sintetik. Masing-masing perlakuan dengan lima ulangan. Hasil pengamatan dilakukan analisis varian yaitu analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap respon yang diukur. Apabila hasil uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh atau berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) yang menyebabkan terjadinya mortalitas hama Plutella xylostella tertinggi (56%) yaitu pada konsentrasi 10% pada pengamatan kedua. Perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) menyebabkan terjadinya pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva dengan persentase terjadinya pupa tertinggi (16%) pada konsentrasi 10%. Berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) tertinggi pada konsentrasi 10% sebesar 63,2 gram/tanaman. Hasil uji Anova Satu Arah menunjukkan tidak terdapat perbedaan sangat signifikan (tidak berpengaruh nyata) konsentrasi perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva, dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.). Namun dari hasil pengukuran berpengaruh. Aplikasi perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) berpengaruh terhadap tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.). Tingkat kerusakan daun tanaman sawi terendah pada konsentrasi 10%. Konsentrasi efektif perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida terhadap pengendalian hama Plutella xylostella ialah konsentrasi 10%.

Kata kunci: Pestisida nabati,perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.), sawi (Brassica juncea L.), mortalitas, hama Plutella xylostella.


(8)

viii

THE EFFECTIVITY OF YELLOW WOOD LEAF JUICE (Arcangelisia flava L.) AS VEGETABLE PESTISIDE AGAINST Plutella xylostella PEST

CONTROL ON MUSTARD PLANT (Brassica juncea L.) By:

Tri Widayanti NIM 13308141059

ABSTRACT

This research aims to determine the effect of yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) pestiside plant against Plutella xylostella pests mortality, abridgement of Plutella xylostella pests cycle life, the damage level of mustard plant leaf (Brassica juncea L.) and the wet weight of mustard (Brassica juncea L.), also the effective concentration of yellow wood leaf juice pestiside (Arcangelisia flava L.) as a biopesticide.

The research was held in September-November 2016 in the Greenhouse, Biology, Science Faculty, UNY, this research used an experimental research design with completely randomized design (CRD) consisting of a negative control using water, four treatment variation of the yellow wood leaf juice concentrate (Arcangelisia flava L.) (2.5%, 5%, 7.5%; 10%) and positive control using chemical pesticides. Each treatment had five times repetition. The observation result made by analysing of variance with One Way ANOVA variant analysis (Analysis of Variance) to determine the treatment effect on the measured response. If the results of ANOVA test showed ofdifferent effect or significance effect, it will continued with Duncan Multiple test (Duncan Multiple Range Test) on a 5% significance level to determine differences of the treatments.

The results showed the concentration of yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) which caused the highest mortality of Plutella xylostella pests (56%) on 10% concentration in the second observation. Yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) caused the abridgement of Plutella xylostella pests cycle life with highest percentage of the pupae (16%) at a concentration of 10%. The wet weight mustard (Brassica juncea L.) on the highest concentration of 10% amount to 63.2 grams / plant. One Way Anova test results showed no significant difference (not significant) on the concentration of the yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) against Plutella xylostella pets mortality, abridgement of Plutella xylostella pests cycle life, and the wet weight of mustard (Brassica juncea L. ). But from the result of measurement was effected.The Application of yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) affect the level of damage to the mustard leaf (Brassica juncea L.). The level of damage to the lowest mustard leaf plants at a concentration of 10%. The effective concentration of yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) as a biopesticide against Plutella xylostella pest control on concentration of 10%.

Keywords: Pesticide plant, yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.), mustard plant (Brassica juncea L.), mortality, Plutella xylostella pest.


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya, Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains dengan judul “EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI PERASAN DAUN KAYU KUNING (Arcangelisia flava L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)” dapat disusun sesuai harapan. Penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Kedua orang tua saya yaitu, Bapak Sugeng (alm). dan Ibu Umi Kulsum untuk semua kasih sayang, doa, dukungan dan motivasi yang tiada henti. 2. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd., selaku Rektor Universitas Negeri

Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi di Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Dr. Hartono, M.Si, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah berperan dalam pemberian izin penelitian.

4. Dr. Paidi, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta yang memberikan dukungan dan memberikan izin dalam melakukan penelitian skripsi.

5. Dr. Tien Aminatun, M.Si., selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan dorongan motivasi dan dukungan.

6. Dr. Ixora Sartika Mercuriani, M.Si., selaku penasehat akademik yang selalu memberi masukan, arahan, semangat dan motivasi.

7. Dr. Ir. Suhartini, MS., selaku pembimbing utama dalam penyusunan tugas akhir skripsi yang selalu memberi masukan, arahan, perbaikan, semangat dan motivasi dari awal sampai selesainya penyusunan skripsi.


(10)

x

8. Dra. Budiwati, M. Si., selaku pembimbing pendamping dalam penyusunan tugas akhir skripsi yang selalu memberi arahan, masukan, perbaikan, semangat dan motivasi dari awal sampai selesainya penyususnan skripsi. 9. Prof. Dr. IGP Suryadarma, MS. selaku penguji yang telah memberikan

banyak masukan yang positif untuk kesempurnaan skripsi saya.

10.Dra. Ratnawati, M.Sc. selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan yang positif untuk kesempurnaan skripsi saya.

11.Semua Dosen Biologi Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak memberi ilmunya kepada kami.

12.Bapak Untung dan Bapak Sugiarto selaku Ketua dan Bendahara P4S Tani Organik Merapi yang memberikan ijin untuk mengambil Plutella xylostella.

13.Teman skripsi saya, Rizky Wulandari, Insiwi Purwianshari, Ismi Nurhidayah yang selalu menemani dan membantu penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini, selalu menyemangati dan memotivasi saya, teman berbagi susah dan senang dalam mengerjakan skripsi ini.

14.Teman-teman Biologi E 2013 yang telah menemani dan membantu saya dalam proses penyusunan skripsi serta terimakasih atas persahabatan indah yang selama ini kita jalani.

15.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan kontribusi sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akirnya, semoga segala bantuan yang telah berikan semua pihak di atas menjadi amalan yang bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT dan Skripsi ini menjadi informasi bermanfaat bagi pembaca atau pihak lain yang membutuhkannya.

Yogyakarta, 2017

Penulis


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 10

G. Batasan Operasional ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 13

1. Pengertian Pestisida ... 13

2. Risiko Penggunaan Pestisida Sintetis / Pestisida sintetik ... 14

3. Pengendalian Hama Terpadu ... 19

4. Pengertian Pestisida Nabati ... 22

5. Teknik Pembuatan Pestisida Nabati ... 30

6. Mekanisme Kerja Pestisida Nabati pada Hama Serangga (Insekta) 32 7. Cara Masuk Pestisida Nabati ke dalam Tubuh Serangga Sasaran 34 8. Cara Kerja Pestisida Nabati ... 36


(12)

xii

9. Tanaman Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) ... 37

10.Hama Plutella xylostella ... 43

11.Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 55

B. Kerangka Berpikir ... 65

C. Hipotesis Penelitian ... 66

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 67

B. Tempat dan Waktu ... 67

C. Objek ... 67

D. Variabel ... 67

E. Rancangan Penelitian ... 68

F. Alat dan Bahan ... 69

G. Prosedur Penelitian ... 70

H. Pengukuran Data ... 78

I. Analisis Data ... 79

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 80

B. Pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 94

C. Pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 102

D. Pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 107

E. Konsentrasi efektif larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida terhadap pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 113

F. Keterbatasan Penelitian ... 114

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 115

B. Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Sawi dalam 100 gram ... 61 Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Rata-rata Hasil dan Produksi Petsai/Sawi di Indonesia Tahun 2009 – 2014. ... 64 Tabel 3. Data Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Instar III Plutella xylostella 80 Tabel 4. Rata-rata Mortalitas Larva Instar III Plutella xylostella Pengamatan I .. 88 Tabel 5. Rata-rata Mortalitas Larva Instar III Plutella xylostella Pengamatan II . 89 Tabel 6. Rata-rata Mortalitas Larva Instar III Plutella xylostella Pengamatan III 90 Tabel 7. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Mortalitas Hama Plutella xylostella Larva Instar III pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Pengamatan I ... 92 Tabel 8. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Mortalitas Hama Plutella xylostella Larva Instar III pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Pengamatan II... 92 Tabel 9. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Mortalitas Hama Plutella xylostella Larva Instar III pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Pengamatan III ... 93 Tabel 10. Pengamatan Jumlah Larva Instar III Plutella xylostella yang menjadi Pupa ... 94 Tabel 11. Rata-rata Pemendekan Siklus Hidup Larva Hama Plutella xylostella Instar III yang menjadi Pupa Pengamatan I ... 96


(14)

xiv

Tabel 12. Rata-rata Pemendekan Siklus Hidup Larva Hama Plutella xylostella

Instar III yang menjadi Pupa Pengamatan II ... 97

Tabel 13. Rata-rata Pemendekan Siklus Hidup Larva Hama Plutella xylostella Instar III yang menjadi Pupa Pengamatan III ... 98

Tabel 14. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella Larva Instar III yang menjadi Pupa pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Pengamatan I... 100

Tabel 15. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella Larva Instar III yang menjadi Pupa pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Pengamatan II ... 100

Tabel 16. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella Larva Instar III yang menjadi Pupa pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Pengamatan III ... 101

Tabel 17. Diskripsi Tingkat Kerusakan Daun Sawi (Brassica juncea L.). ... 102

Tabel 18. Pengukuran Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.). ... 107

Tabel 19. Rata-rata Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.). ... 109

Tabel 20. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 111


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Daun Kayu Kuning (Arcangelisisa flava L.) ... 38

Gambar 2. Batang dan Daun Kayu Kuning (Arcangelisisa flava L.) ... 39

Gambar 3. Plutella xylostella L. ... 45

Gambar 4. Siklus hidup Plutella xylostella (Tonny K. M) ... 51

Gambar 5. Kerusakan daun oleh Plutella xylostella ... 51

Gambar 6. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 57

Gambar 7. Kerangka Berfikir ... 65

Gambar 8. Kerusakan tanaman sawi (Brassica juncea L.) pada setiap perlakuan .. 105

Gambar 9. Kondisi tanaman sawi (Brassica juncea L.) pada setiap perlakuan saat dipanen ... 108


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Mortalitas Hama Plutella xylostella

pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 124

Lampiran 2. Data Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 126

Lampiran 3. Data Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Tingkat Kerusakan Daun Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 128

Lampiran 4. Data Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 129

Lampiran 5. Hasil Analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) Mortalitas Hama Plutella xylostella ... 131

Lampiran 6. Hasil Analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) Pupa Hama Plutella xylostella ... 139

Lampiran 7. Hasil Analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 147

Lampiran 8. Dokumentasi Proses Penelitian ... 150

Lampiran 9. Surat Keputusan Penunjukan Dosen Pembimbing Skripsi ... 159


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman sawi (Brassica juncea L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang digemari dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Untuk konsumsi sehari-hari, sawi biasa dijadikan lalapan dan sayuran tumisan bersama dengan sayuran yang lain. Kebutuhan masyarakat terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga tanaman sawi sangat potensial dibudidayakan untuk menjadi sayuran yang komersial dan memiliki prospek pasar yang baik. Sawi memiliki beberapa manfaat yang baik untuk kesehatan, diantaranya menghilangkan rasa gatal di tenggorokan pada penderita batuk, penyembuh sakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan. Kandungan yang terdapat pada sawi berupa protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, Vitamin A, Vitamin B, dan Vitamin C. Setiap 100 g daun segar tanaman sawi mengandung 6.460 SI vitamin A; 0,09 mg vitamin B, dan 120 mg vitamin C (Haryanto, Suhartati dan Rahayu, 2002: 5).

Berdasarkan hasil pengumpulan dan pengolahan data Statistik Produksi Hortikultura tahun 2014, total produksi sawi di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 635.728 ton dan pada tahun 2014 sebesar 602.468 ton, produksi sawi ini mengalami penurunan yaitu sebesar 33.260 ton dikarenakan adanya gangguan hama (Kementerian Pertanian Direktorat


(18)

2

Jenderal Hortikultura, 2015). Untuk produktivitas sawi di Kabupaten/Kota D.I. Yogyakarta sendiri pada tahun 2015 untuk Kulonprogo sebesar 114,32 (kwintal/ha); Bantul sebesar 122,79 (kwintal/ha); Gunungkidul sebesar 59,59 (kwintal/ha) Sleman sebesar 132,15; DIY sebesar 109,73 (kwintal/ha) (Badan Pusat Statistika D.I. Yogyakarta, 2015).

Penurunan produksi sawi (Brassica juncea L.) di Indonesia ini disebabkan karena adanya kendala berupa organisme pengganggu tanaman yaitu ulat jantung sawi Crocidolomia pavonana F dan ulat daun sawi Plutella xylostella. Hama ulat daun sawi Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae) merupakan salah satu jenis hama utama di pertanaman sawi. Apabila tidak ada tindakan pengendalian, kerusakan sawi oleh hama tersebut dapat meningkat dan hasil panen dapat menurun baik jumlah maupun kualitasnya. Serangan yang timbul kadang-kadang sangat berat sehingga tanaman sawi tidak membentuk crop dan panennya menjadi gagal. Kehilangan hasil sawi yang disebabkan oleh serangan hama dapat mencapai 10-90 persen. Ulat daun sawi Plutella xylostella bersama dengan ulat jantung sawi Crocidolomia pavonana F. mampu menyebabkan kerusakan berat dan dapat menurunkan produksi sawi sebesar 79,81 persen (Sembel, 2010). Menurut Permadani dan Sastrosiswojo (1993), serangan hama ulat daun sawi Plutella xylostella dan ulat jantung sawi Crocidolomia pavonana F. menyebabkan kehilangan hasil hampir 100%, apabila tanaman tidak diberi perlakuan insektisida. Kondisi seperti ini tentu saja merugikan petani sebagai produsen sawi. Oleh karena itu upaya


(19)

3

pengendalian hama daun sawi ini sebagai hama utama tanaman sawi perlu dilakukan untuk mencegah dan menekan kerugian akibat serangan hama tersebut.

Pengendalian ulat pemakan daun sawi oleh petani masih tergantung pada penggunaan insektisida sintetik yang diyakini praktis dalam aplikasi dan hasil pengendalian jelas terlihat. Namun, petani cenderung menggunakan insektisida dengan takaran yang berlebihan, sehingga penggunaan insektisida perlu dikelola dan dikendalikan secara efektif dan aman bagi lingkungan (Eko Haryanto, 2003: 23).

Petani pada umumnya mengatasi gangguan ulat sawi dengan menggunakan insektisida kimia sintetik. Ditinjau dari segi penekanan populasi hama, pengendalian secara kimiawi dengan insektisida memang cepat dirasakan hasilnya, terutama pada areal yang luas. Tetapi, selain memberikan keKasumbago Untungan ternyata penggunaan insektisida yang serampangan atau tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Hasil survai pada petani sayuran menyebutkan bahwa petani mengeluarkan 50 persen biaya produksi untuk pengendalian secara kimiawi dengan mencampur berbagai macam pestisida, karena belum diketahui bagaimana penggunaan pestisida yang tepat.

Penggunaan pestisida sintetis di lingkungan pertanian menjadi masalah yang sangat dilematis. Di satu pihak dengan digunakannya pestisida sintetis maka kehilangan hasil pertanian yang diakibatkan organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi dengan


(20)

4

penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana sering menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (Kasumbago Untung Agus Kardinan, 2000: 1).

Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana (khususnya yang bersifat sintetis) sering merugikan terhadap lingkungan. Beberapa kasus yang merugikan tersebut di antaranya: 1) kasus keracunan (lebih dari 400.000 kasus dilaporkan per tahunnya, 1,50% di antaranya fatal); 2) polusi lingkungan (kontaminasi air, tanah, udara, hasil pertanian, dan dalam jangka panjang terjadi kontaminasi terhadap manusia dan kehidupan lainnya); 3) perkembangan serangga menjadi resisten, resurgen, ataupun toleran terhadap pestisida; 4) serta dampak negatif lainnya (Kasumbago Untung Agus Kardinan, 2000: 2).

Dilema antara kebutuhan dan pelestarian lingkungan menumbuhkan gagasan pengembangan pengendalian serangga hama yang berwawasan lingkungan dan aplikasinya sesuai dengan konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Hal ini direalisaikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman, yang salah satu tujuan penting kebijakan tersebut adalah penggunaan insektisida yang bijaksana.

Salah satu cara pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) adalah dengan menggunakan insektisida nabati. Beberapa jenis insektisida nabati yang berasal dari tumbuhan telah dikembangkan untuk mengendalikan hama ulat pemakan daun (Wiratno, 2010: 8).


(21)

5

Telah banyak diteliti bahwasanya ekstrak tanaman tertentu mengandung molekul, yang bekerja secara tunggal maupun berinteraksi dengan molekul lainnya yang mampu berperan sebagai pestisida. Penggunaan ekstrak tumbuhan sebagai salah satu sumber insektisida nabati didasarkan atas pemikiran bahwa terdapat mekanisme pertahanan dari tumbuhan. Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan yaitu senyawa metabolik sekunder yang bersifat penolak (repellent), penghambat makan (antifeedant/feeding deterrent), penghambat perkembangan dan penghambat peneluran (oviposition repellent/deterrent) dan sebagai bahan kimia yang mematikan serangga dengan cepat (Prijono, 1999).

Suatu alternatif pengendalian hama penyakit yang murah, mudah, praktis, dan relatif aman terhadap lingkungan sangat diperlukan oleh negara berkembang seperti Indonesia dengan kondisi petaninya yang memiliki modal terbatas untuk membeli pestisida sintetis yang harganya relatif mahal. Oleh sebab itu, sudah tiba saatnya untuk memasyarakatkan pestisida nabati yang ramah lingkungan yang terbuat dari perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) untuk mengendalikan hama yang sangat merugikan petani karena dapat menurunkan mutu dan produksi pertanian. Salah satu hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah Plutella xylostella atau ulat tritip (Rahmat Rukmana, 1994:16). Dengan dikembangkan pemanfaatan pestisida nabati berbahan dasar daun tanaman kayu kuning (Arcangelisia flava L.) diharapkan petani atau pengguna


(22)

6

dapat mempersiapkan sendiri cara pengendalian hama terpadu yang ramah lingkungan dengan cara sederhana, yaitu dilakukan dengan teknik penggerusan dan perendaman dengan air keran selama 24 jam untuk menghasilkan produk perasan. Penggunaan perasan dilakukan sesegera mungkin setelah pembuatan perasan dilakukan (Kasumbago Untung Agus Kardinan, 2000: 7).

Perasan daun tanaman kayu kuning (Arcangelisia flava L.) dapat digunakan sebagai pestisida nabati kerena di dalam daun kayu kuning mengandung senyawa saponin, flavonoida dan tanin, (Sitepu dan Sutikno, 2001). Menurut Endah dan Heri (2000) bahwa fungsi senyawa saponin, flavonoid, dan tanin dapat menghambat daya makan larva (antifeedantt). Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, apabila senyawa-senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga, alat pencernaannya akan terganggu. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) tersebut juga menghambat indera perasa pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus rasa, sehingga tidak mampu mengenali makanannya. Akhirnya larva akan mati kelaparan (Ahmed dkk, 2009).

Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pengendalian Hama Plutella xylostella pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)”. Hal tersebut bertujuan untuk


(23)

7

mengurangi dampak lingkungan dari penggunaan pestisida sintetis untuk pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi karena pestisida sintetis termasuk salah satu faktor yang dapat membahayakan keselamatan hayati, termasuk manusia dan keseimbangan ekosistem.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat dijabarkan permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi diantaranya :

1. Bagaimanakah kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ? 2. Bagaimanakah cara pengendalian hama Plutella xylostella pada

tanaman sawi (Brassica juncea L.) agar ramah lingkungan dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia ?

3. Bagaimanakah jenis tanaman yang mengandung bahan aktif sebagai pestisida nabati ?

4. Bagaimanakah jenis zat aktif yang terkandung dalam perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) ?

5. Bagaimanakah pengaruh yang ditimbulkan akibat paparan perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?


(24)

8

6. Bagaimanakah efektivitas daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai pestisida nabati dalam mengendalikan hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?

7. Bagaimanakah mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hama Plutella xylostella fase larva, tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) yang ditimbulkan akibat dari penggunaan perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai pestisida nabati ?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, penelitian ini dibatasi pada efektivitas pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap:

1. Mortalitas hama Plutella xylostella

2. Pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva 3. Tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) 4. Berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.)

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu :

1. Bagaimanakah pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap


(25)

9

mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?

2. Bagaimanakah pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?

3. Bagaimanakah pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?

4. Bagaimanakah pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?

5. Berapakah konsentrasi efektif dari larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida terhadap pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.).


(26)

10

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva pada tanaman sawi (Brassica juncea L.).

3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.).

4. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.).

5. Untuk mengetahui konsentrasi efektif dari larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida terhadap pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.).

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Petani dan Masyarakat

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan digunakan sebagai bahan kajian mengenai manfaat perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai pengendali hama Plutella xylostella.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan petani mengenai bahaya pestisida


(27)

11

sintetik yang terbuat dari bahan-bahan kimia terhadap kesehatan tubuh manusia dan lingkungan.

c. Agar dapat merubah pola pikir masyarakat, khususnya para petani agar segera beralih menggunakan pestisida nabati berupa perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) untuk mengendalikan hama Plutella xylostella yang ramah lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan tubuh manuasia.

d. Dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan.

2. Bagi Peneliti

Menambah wawasan sehingga mampu melakukan

pendekatan-pendekatan praktis dari penguasaan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk percepatan pencapaian sasaran dan pemecahan masalah terutama yang berkaitan dengan pengembangan teknik produksi pestisida nabati khususnya untuk mengendalikan hama Plutella xylostella yang menyerang tanaman sawi (Brassica juncea L.).

G. Batasan Operasional

1. Tanaman sawi (Brassica juncea L.) yang akan diinfeksi dengan larva instar III hama Plutella xylostella adalah tanaman sawi (Brassica juncea L.) yang berumur 21 hari setelah tanam.


(28)

12

2. Hama Plutella xylostella yang digunakan adalah larva instar III Plutella xylostella dengan kisaran panjang 4-6 mm, lebar 0,75 mm, dan berwarna hijau.

3. Perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) diperoleh dari daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) yang sudah tua dan berwarna hijau tua.

4. Pengamatan pengaruh pemberian perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) antara lain meliputi : mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva , tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.).


(29)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengertian Pestisida

Pestisida (Inggris: pesticide) secara harfiah berarti pembunuh hama (Pest: hama; cide: membunuh). Pestisida pertanian dan pestisida pada umumnya adalah bahan kimia atau campuran bahan kimia serta bahan-bahan lain (ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dsb) yang digunakan untuk mengedalikan OPT. Karena itu, senyawa pestisida bersifat bioaktif. Artinya, pestisida dengan satu atau beberapa cara mempengaruhi kehidupan, misalnya menghentikan pertumbuhan, membunuh hama/penyakit, menekan hama/penyakit, membunuh/menekan gulma; mengusir

hama, mempengaruhi/mengatur pertumbuhan tanaman,

mengeringkan/merontokkan daun, dan sebagainya (Panut Djojosumarto, 2000: 21-22).

Menurut The United Stated Environmental Pesticide Control act, pestisida adalah sebagai berikut.

1. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang mengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama, kecuali virus, bakteri atau jasad renik lainnya yang terdapat pada manusia dan binatang.


(30)

14

2. Semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Panut Djojosumarto, 2000: 21-22).

2. Risiko Penggunaan Pestisida Sintetis / Pestisida sintetik

Karena pestisida adalah racun, yang dapat mematikan jasad hidup, maka dalam penggunaannya dapat memberikan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap kesehatan manusia serta lingkungan pada umumnya. Pestisida yang disemprotkan segera bercampur dengan udara dan langsung terkena sinar matahari. Dalam udara pestisida dapat ikut terbang menurut aliran angin. Makin halus butiran larutan makin besar kemungkinan ia ikut terbawa angin, makin jauh diterbangkan aliran angin (Sudarmo, 1991: 99).

Meskipun sebelum diproduksi secara komersial pestisida sintetis telah menjalani pengujian yang sangat ketat perihal syarat-syarat keselamatannya, namun karena bersifat bioaktif, maka pestisida tetap merupakan racun. Setiap racun selalu mengandung resiko bahaya) dalam penggunaannya, baik risiko bagi manusia maupun lingkungan. Keseluruhan risiko penggunaan pestisida di bidang pertanian dapat diringkas sebagai berikut (Panut Djojosumarto, 2000: 22).


(31)

15

a. Risiko bagi Keselamatan Pengguna

Risiko bagi keselamatan pengguna adalah kontaminasi pestisida secara langsung, yang dapat mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, pusing, mual, muntah, dsb. Beberapa pestisida dapat menimbulkan iritasi kulit, bahkan dapat mengakibatkan kebutaan (Panut Djojosumarto, 2000: 23).

Keracunan pestisida yang akut berat dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang, bahkan meninggal dunia. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Akibat yang ditimbulkan oleh keracunan kronis tidak selalu mudah untuk diprediksi (Panut Djojosumarto, 2000: 23).

Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan pestisida, meskipun tidak mudah dibuktikan dengan pasti dan meyakinkan, adalah kanker, gangguan syaraf, fungsi hati dan ginjal, gangguan pernapasan, keguguran, cacat pada bayi, dan sebagainya (Panut Djojosumarto, 2000: 23).


(32)

16 b. Risiko bagi Konsumen

Risiko bagi konsumen adalah keracunan residu (sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam produk pertanian. Risiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida atau lewat rantai makanan. Meskipun bukan tidak mungkin konsumen menderita keracunan akut, tetapi risiko bagi konsumen umumnya dalam bentuk keracunan kronis, tidak segera terasa, dan dalam jangka panjang mungkin menyebabkan gangguan kesehatan (Panut Djojosumarto, 2000: 23).

c. Risiko bagi Lingkungan

Risiko penggunaan pestisida terhadap lingkungan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut.

1) Risiko bagi manusia, hewan, dan tumbuhan yang berada di tempat, atau di sekitar tempat pestisida digunakan. Drift pestisida, misalnya, dapat diterbangkan angin dan mengenai orang yang kebetulan lewat. Pestisida dapat meracuni hewan ternak yang masuk ke kebun yang sudah disemprot pestisida (Panut Djojosumarto, 2000: 23).


(33)

17

2) Bagi lingkungan umum, pestisida dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (tanah, udara, dan air) dengan segala akibatnya, misalnya kematian hewan nontarget, penyederhanaan rantai makanan alami, penyederhanaan keanekaragaman hayati, bioakumulasi/biomagnifikasi, dan sebagainnya (Panut Djojosumarto, 2000: 23). 3) Khusus pada lingkungan pertanian (agroekosistem),

penggunaan pestisida pertanian dapat menyebabkan hal-hal berikut.

a) Menurunnya kepekaan hama, penyebab penyakit, dan gulma terhadap pestisida tertentu yang berpuncak pada kekebalan (resistensi) hama, penyakit, dan gulma terhadap pestisida (Panut Djojosumarto, 2000: 24). Munculnya ketahanan hama terhadap insektisida, karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida maka melalui proses seleksi alam spesies hama mampu membentuk strain yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu. Saat ini lebih dari 500 spesies serangga tertentu


(34)

18

resisten terhadap beberapa kelompok insektisida (Kasumbago Untung, 2001: 13).

b) Resurjensi hama, yakni fenomena

meningkatnya serangan hama tertentu sesudah perlakuan dengan insektisida (Panut Djojosumarto, 2000: 24).

c) Letusan hama kedua setelah perlakukan insektisida tertentu secara intensif ternyata hama sasaran utama memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan menjadi hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak membahayakan (Panut Djojosumarto, 2000: 24).

d) Terbunuhnya musuh alami hama. Data mengenai hal ini di Indonesia juga masih sangat sedikit. Beberapa kejadian dan penelitian yang ada menyatakan bahwa Fentoat 60 EC dan Isoksation 25 EC menyebabkan menurunnya populasi laba-laba (Lycosa sp.). Diazinon 60 EC, MICP 40 WP, Fenitrotion 75 EC dan Isoksation 25 EC


(35)

19

menurunkan populasi Cyrtorhinus sp. (Panut Djojosumarto, 2000: 24).

e) Perubahan flora, misalnya penggunaan herbisida secara terus-menerus untuk mengendalikan gulma daun lebar akan merangsang pergembangan gulma daun sempit (rumput) (Panut Djojosumarto, 2000: 24).

f) Meracuni tanaman bila salah menggunakan (Panut Djojosumarto, 2000: 24).

3. Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest

Management) atau disingkat PHT merupakan konsep yang dikembangkan oleh para ahli Amerika Serikat terutama sejak Stern dan kawan-kawan di Universitas California menulis tentang Integrated Control pada tahun 1959 di Majalah Hilgaria. Konsep PHT merupakan jawaban terhadap dampak negatif penggunaan pestisida terutama penggunaan DDT untuk pengendalian hama tanaman sejak Perang Dunia ke II. Dampak tersebut antara lain, resurjensi hama, ledakan hama sekunder, resistensi hama, dan yang lebih penting lagi adalah dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia (Abdul Latief Abadi, 2003: 113-114).


(36)

20

Pengendalian Hama Terpadu adalah pengendalian hama yang memiliki dasar ekologis dan menyandarkan diri pada faktor-faktor mortalitas (Abdul Latief Abadi, 2003: 114). Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah pendekatan ekologi yang bersifat multi disiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beranekaragam taktik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan (Smith, 1978), sedangkan Kenmore (1989) memberikan definisi singkat PHT sebagai perpaduan yang terbaik. Yang dimaksud dengan perpaduan terbaik di sini adalah perpaduan penggunaan berbagai metode pengendalian hama yang dapat memperoleh hasil yang terbaik yaitu stabilitas produksi pertanian, kerugian seminimal mungkin bagi manusia dan lingkungan, serta petani memperoleh penghasilan yang maksimal dari usaha taninya.

Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional, yang sangat mengutamakan penggunaan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan. Cara ini kecuali meningkatkan biaya produksi juga mengakibatkan dampak samping yang merugikan bagi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Harga pestisida di tingkat petani sangat murah sehingga mendorong petani untuk menggunakan


(37)

21

pestisida secara berlebihan tanpa melihat kondisi ekosistem dan dampaknya terhadap lingkungan (Abdul Latief Abadi, 2003: 116).

Dilihat dari segi efektivitas dan efisiensi pengendalian, penggunaan pestisida berspektrum lebar semakin mendorong berkembangnya jenis hama yang resisten, timbulnya resurgensi hama serta timbulnya letusan hama sekunder. Fenomena tersebut mengakibatkan penggunaan pestisida menjadi semakin kurang efektif dan efisien. Akibatnya, petani terdorong untuk meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi dan bahkan sering kali mencampur dengan pestisida lainnya. Dengan demikian penggunaan pestisida terus meningkat, lingkungan hidup menjadi tercemar, sedangkan masalah hama tidak pernah dapat terselesaikan bahkan justru semakin meningkat (Abdul Latief Abadi, 2003: 116).

Untuk meningkatkan kembali efisiensi dan efektivitas pengendalian, serta untuk membatasi pencemaran lingkungan maka kebijakan dan pengendalian secara konvensional tersebut harus diubah menjadi kebijakan pengendalian hama berdasarkan pada konsep dan prinsip PHT. Oleh karena itu pemerintah kemudian mengambil keputusan politik dan bertekad untuk menerapkan konsep PHT, dengan dikeluarkannya Inpres 3/1986 pada tahun 1986 (Abdul Latief Abadi, 2003: 117).


(38)

22

PHT adalah satu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Sasaran PHT adalah :

1. Produktivitas pertanian mantap tinggi

2. Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat

3. Populasi OPT dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada aras yang secara ekonomis tidak merugikan 4. Pengurangan risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan

pestisida.

Salah satu tujuan praktis sistem PHT adalah mengurangi kuantum penggunaan pestisida sintetik, antara lain dengan mengintroduksi pestisida nabati yang mampu menandingi keampuhan pestisida sintetik tersebut (Suryaningsih, 2004: 1).

4. Pengertian Pestisida Nabati

Salah satu alternatif untuk menggantikan penggunaan pestisida sintetik yang banyak menimbulkan dampak negatif adalah menggunakan senyawa kimia yang berasal dari tanaman yang dikenal dengan nama Pestisida Nabati (Sudarmo, 2005). Pestisida nabati mencangkup bahan nabati (ekstrasi penyulingan) yang dapat berfungsi sebagai zat pembunuh, zat penolak zat


(39)

23

pengikat, dan zat penghambat pertumbuhan organisme pengganggu tanaman.

Pada umumnya, pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Menurut FAO (1988) dan US EPA (2002), pestisida nabati dimasukkan ke dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin. Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik (Asmaliyah dkk, 2010: 2).

Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai zat pembunuh, penolak, pengikat ataupun penghambat pertumbuhan OPT. Pestisida nabati relatif lebih mudah dibuat, lebih mudah terurai di alam dan lebih aman bagi manusia dan lingkungan. Pemanfaatan pestisida nabati dalam pengendalian OPT, selain sebagai pengendali alamiah yang efektif dan berkelanjutan, juga dapat berperan dalam meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan efisiensi usaha dan image produk perkebunan ramah lingkungan (Haryono, 2011: 2).

Pestisida nabati terbuat dari bahan alami/nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan yang mengkonsumsinya karena


(40)

24

residunya mudah hilang. Pestisida Nabati bersifat “pukul dan lari”

(hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah hama terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam. Dengan demikian, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan aman untuk dikonsumsi (Agus Kardinan, 2000: 4-5).

Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Menurut Agus Kardinan (2000) , di dalam tumbuhan ada zat metabolit sekunder yang berfungsi untuk melindungi diri dari pesaingnya. Zat inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati. Zat ini mempunyai karakterisitik rasa pahit (mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk dan berasa agak pedas sehingga tumbuhan ini tidak diserang oleh hama (Hasyim, 2010).

Tumbuhan sebenarnya kaya akan bahan bioaktif, walaupun hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi, tetapi sesungguhnya jumlah bahan kimia pada tumbuhan dapat melampaui 400.000. Grainge et al., (1984) melaporkan ada 1800 jenis tanaman yang mengandung pestisida nabati yang dapat digunakan untuk pengendalian hama


(41)

25

(Sastrosiswojo, 2002),. Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 235 Famili (Agus Kardinan, 2000). Menurut Morallo-Rijesus (1986), jenis tanaman dari Famili Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling banyak mengandung bahan insektisida nabati (Sastrosiswojo, 2002). Oleh karena itu, jika dapat mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan membantu masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada di sekitarnya (Agus Kardinan, 2000).

Telah banyak diteliti bahwasanya ekstrak tanaman tertentu mengandung molekul, yang bekerja secara tunggal maupun berinteraksi dengan molekul lainnya yang mampu berperan sebagai pestisida. Cara kerja (mode of action) molekul tersebut dapat sebagai biotoksin, pencegah makan (antifeedantt, feeding deterrent), penolak (repellent) dan atau pengganggu alami, baik yang diperoleh dari tumbuhan maupun jasad renik yang disebut sebagai pestisida biorasional (biorational pesticides) (EPA, 1989).

Pada umumnya tanaman yang digunakan sebagai pestisida nabati bersifat repellent. Oleh karena itu, jika dapat mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan membantu masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah


(42)

26

lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada di sekitarnya (Agus Kardinan, 2000).

Sudarmo (2005) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat membunuh atau menganggu serangga hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal . Cara kerja pestisida nabati yaitu merusak perkembangan telur, larva, pupa, menghambat pergantian kulit, mengganggu komunikasi serangga, menyebabkan serangga menolak makanan, mengurangi nafsu makan, memblokir kemampuan makan serangga mengusir serangga, dan menghambat perkembangan patogen.

Berikut ini beberapa kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan pestisida nabati.

1. Kelebihan pestisida nabati menurut Suwahyono (2010: 23-24)

a. Mempunyai sifat cara kerja (mode of action) yang unik yaitu tidak meracuni (nontoxic).

b. Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan karena residunya mudah hilang. c. Penggunaan dalam dosis yang kecil atau rendah. d. Mudah diperoleh di alam. Di Indonesia sangat


(43)

27

e. Cara pembuatannya relatif mudah dan secara sosial

ekonomi penggunaanya mengKasumbago

Untungkan bagi petani mikro di negara sedang berkembang.

f. Umumnya, pestisida nabati kurang beracun dibanding pestisida sintetik sehingga resiko bahaya yang ditimbulkan juga lebih kecil.

g. Pestisida nabati hanya berpengaruh pada hama sasaran dan organisme lain yang berdekatan kerabatnya. Berbeda dengan pestisida sintetik yang berspektrum luas yaitu dapat membunuh organisme non target (serangga, burung, mamalia).

h. Pestisida nabati umumnya efektif pada jumlah (dosis) rendah dan cepat teruarai sehingga pemaparannya lebih rendah dan terhindar dari masalah pencemaran. Lain halnya pestisida sintetik yang sering kali menimbulkan dampak residu. i. Penggunaan pestisida nabati dalam program

pengendalian hama terpadu dapat mengurangi banyak sekali penggunaan pestisida sintetik degan hasil panen tetap tinggi.


(44)

28

2. Kekurangan / kelemahan pestisida nabati menurut Abdul Latief Abadi (2003: 125-126)

a. Senyawa racun yang terkandung dalam pestisida botani mudah sekali terdegradasi karena cahaya, tercuci air dan kelembaban yang tinggi, sehingga perlu aplikasi yang lebih sering, harus sangat tepat waktu dan tepat sasaran.

b. Senyawa botani cepat menyebabkan serangga berhenti makan dan menyebabkan muntah dan paralisis, tetapi dapat menyebabkan serangga tidak mati dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari. c. Kebanyakan senyawa botani ini mempunyai

toksisitas yang rendah atau moderat terhadap hewan mamalia, walau demikian dapat saja meracuni manusia atau lingkungan.

d. Kebanyakan senyawa botani tidak menyebabkan fitotoksik pada tanaman kecuali nikotin sulfat. e. Pestisida botani tidak banyak tersedia di pasar

(terutama di Indonesia) dan kalaupun ada (di luar negeri) harganya lebih mahal dibandingkan dengan pestisida sintetik.


(45)

29

f. Walaupun bahan-bahannya murah harganya di Indonesia, pembuatan pestisida botani tidak praktis, tidak bersifat tahan lama dalam penyimpanan, dan belum tentu bahannya tersedia pada saat dibutuhkan.

g. Potensi keberhasilan dari pestisida botani sangat ditentukan oleh jenis sumber yang digunakan atau kandungan bahan aktif yang ada dalam tanaman yang dapat bervariasi menurut umur, varietas tanaman dan takaran yang digunakan.

h. Pestisida botani cenderung berspektrum luas, tidak spesifik sehingga dapat pula merugikan pada musuh alami yang ada di pertanaman tersebut.

Menurut Agus Kardinan (2000), penggunaan dan pengembangan pestisida nabati di Indonesia mengalami beberapa kendala berikut : pestisida sintetis (kimia) tetap lebih disukai dengan alasan mudah didapat, praktis mengaplikasinya, hasilnya relatif cepat terlihat, tidak perlu membuat sediaan sendiri, tersedia dalam jumlah banyak, dan tidak perlu membudidayakan sendiri tanaman penghasil pestisida . Kurangnya rekomendasi dari para penyuluh karena mungkin keterbatasan pengetahuan para penyuluh tentang pestisida nabati, tidak tersedianya bahan tanaman secara berkesinambungan dalam jumlah yang memadai saat diperlukan,


(46)

30

dan sulitnya regristasi pestisida nabati di komisi pestisida karena bahan aktif tidak dapat dideteksi.

Pemanfaatan pestisida nabati secara luas akan langsung berpengaruh terhadap berkurangnya volume penggunaan pestisida dan berdampak positif terhadap kualitas produk tanaman, terutama dengan makin terhindarnya produk dari kemungkinan pencemaran residu pestisida sintetikwi. Kondisi produk tanaman yang demikian, saat ini menjadi perhatian konsumen dan dapat memberikan imej kualitas produk yang tinggi (Haryono, 2011: 3).

5. Teknik Pembuatan Pestisida Nabati

Pembuatan pestisida nabati dapat dilakukan secara sederhana dan secara laboratorium. Pembuatan pestisida nabati, yaitu dalam bentuk ekstrak secara sederhana (jangka pendek) dapat dilakukan oleh petani, dan penggunaannya biasanya dilakukan sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak. Pembuatan secara sederhana ini berorientasi kepada penerapan usaha tani berinput rendah. Sedangkan cara laboratorium (jangka panjang) biasanya dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih dan hasil kemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama (Asmaliyah dkk, 2010: 15).

Pembuatan cara laboratorium berorientasi pada industri, membutuhkan biaya tinggi, sehingga produk pestisida nabati


(47)

31

menjadi mahal, bahkan kadang lebih mahal daripada pestisida sintetis. Oleh karena itu pembuatan dan penggunaan pestisida nabati dianjurkan dan diarahkan kepada cara sederhana, terutama untuk luasan terbatas dan dalam jangka waktu penyimpanan yang juga terbatas (Asmaliyah dkk, 2010: 15).

Cara pembuatan pestisida nabati dari berbagai jenis tumbuhan yang berhasil baik atau efektif di suatu tempat belum tentu berhasil baik pula di tempat lain karena ramuan pestisida

nabati bersifat “khusus lokasi”. Hal ini disebabkan suatu tumbuhan

yang sama tetapi jika tumbuh di lingkungan yang berbeda maka kandungan bahan aktifnya pun dapat berbeda pula. Oleh sebab itu dosis dan konsentrasi bahan aktif yang digunakan pun akan berbeda pula. Jadi ramuan pestisida nabati akan tergantung pada hasil pengujian di lokasi setempat dan tidak berlaku di tempat lain. Pembuatan pestisida nabati dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

1. Penggerusan, penumbukan, pembakaran atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta. 2. Perendaman untuk produk ekstrak.

Pembuatan ekstrak ini dapat dilakukan dengan beberapa cara : a. Tepung tumbuhan + air

b. Tepung tumbuhan + air, kemudian dipanaskan/direbus c. Tepung tumbuhan + air + deterjen


(48)

32

d. Tepung tumbuhan + air + surfaktan (pengemulsi) pestisida

e. Tepung tumbuhan + air + sedikit alkohol/metanol + surfaktan

3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus (Agus Kardinan, 2000; Asmaliyah dkk, 2010: 15).

Pemanfaatan tumbuhan penghasil pestisida nabati dalam pengendalian hama sudah banyak dilakukan, terutama di bidang pertanian dan perkebunan dan hasilnya efektif. Penggunaan suatu pestisida nabati akan lebih baik hasilnya atau lebih efektif apabila dipadukan dengan pestisida nabati lainnya. Aplikasinya dapat dilakukan secara pencampuran atau secara berselang-seling. Penggunaan pestisida dipadukan dengan musuh alami bila bahan pestisida nabati tersebut tidak beracun bagi musuh alami (Asmaliyah dkk, 2010: 16).

6. Mekanisme Kerja Pestisida Nabati pada Hama Serangga (Insekta)

Penjelasan mengenai cara kerja pestisida nabati tidak

selalu mudah karena “cara kerja” pestisida nabati dapat dilihat dari

beberapa sudut yang berbeda. Namun, beberapa aspek cara kerja pestisida nabati sangat penting untuk diketahui oleh para


(49)

33

pengguna (petani) agar tidak salah dalam pemilihan dan

penggunaannya. Menurut “cara kerja” atau gerakannya pada

tanaman setelah diaplikasikan, pestisida nabati yang menyerang hama serangga secara kasar dibedakan menjadi tiga macam sebagai berikut (Panut Djojosumarto, 2000: 41).

a. Pestisida Nabati Sistemik

Pestisida nabati sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar, batang, atau daun. Selanjutnya, pestisida nabati sistemik tersebut mengikuti gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya, baik ke atas (akropetal) atau ke bawah (basipetal), termasuk ke tunas yang baru tumbuh (Panut Djojosumarto, 2000: 41).

b. Pestisida Nabati Nonsistemik

Pestisida nabati nonsistemik setelah diaplikasikan (misalnya disemprotkan) pada tanaman sasaran tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman. Pestisida nabati nonsistemik bekerja dengan cara mencegah makan (antifeedantt, feeding deterrent), penolak (repellent) dan atau pengganggu alami, baik yang diperoleh dari tumbuhan. Pestisida nabati


(50)

34

nonsistemik sering disebut pestisida nabati kontak. Namun, istilah itu sebenarnya kurang begitu tepat. Istilah kontak lebih tepat digunakan bagi cara kerja pestisida nabati yang berhubungan dengan cara masuknya ke dalam tubuh serangga (Panut Djojosumarto, 2000: 42).

c. Pestisida Nabati Sistemik Lokal

Pestisida nabati sistemik lokal adalah kelompok pestisida nabati yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Termasuk kategori ini adalah pestisida nabati yang berdaya kerja translaminar atau pestisida nabati yang mempunyai daya penetrasi ke dalam jaringan tanaman (Panut Djojosumarto, 2000: 42).

7. Cara Masuk Pestisida Nabati ke dalam Tubuh Serangga Sasaran

Menurut cara masuk pestisida nabati ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok sebagai berikut.

a. Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison)

Racun lambung (racun perut, stomach poison) adalah pestisida nabati -pestisida nabati yang membunuh


(51)

35

serangga sasaran bila pestisida nabati tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, pestisida nabati tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang mematikan (misalnya ke susunan syaraf serangga). Oleh karena itu, serangga harus terlebih dahulu memakan tanaman yang sudah disemprot dengan pestisida nabati dalam jumlah yang cukup untuk dapat membunuhnya (Panut Djojosumarto, 2000: 42).

Pestisida nabati yang benar-benar murni racun perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan pestisida nabati mempunyai efek ganda, yakni sebagai racun perut dan racun kontak, hanya ada perbedaan kekuatan antara keduanya. Ada pestisida nabati yang kontaknya lebih kuat daripada racun perutnya, demikian sebaliknya (Panut Djojosumarto, 2000: 42).

b. Racun Kontak

Racun kontak adalah pestisida nabati yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan (kontak langsung) dengan pestisida nabati tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut (Panut Djojosumarto, 2000: 43).


(52)

36 c. Racun Pernapasan

Racun pernapasan adalah pestisida nabati yang bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga hama akan mati bila menghirup pestisida nabati dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau menghasilkan gas dan diaplikasikan sebagai fumigansia. Ada pula pestisida nabati , baik racun kontak atau racun perut, yang mempunyai efek sebagai fumigansia (Panut Djojosumarto, 2000: 43).

8. Cara Kerja Pestisida Nabati

Menurut Panut Djojosumarto (2000: 43-44), sifat-sifat atau cara kerja pestisida nabati tersebut mempunyai implikasi terhadap cara aplikasinya. Misalnya:

a. Untuk mengendalikan hama yang berada di dalam jaringan tanaman (misalnya, penggerek batang, penggerek daun, dan penggerek buah) yang dilakukan dengan cara penyemprotan memerlukan pestisida nabati sistemik atau sistemik lokal, agar pestisida nabati dapat masuk ke dalam jaringan tanaman.

b. Untuk mengendalikan hama-hama yang terbang (misalnya, belalang padang, Locusta migratoria), penggunaan


(53)

37

pestisida nabati kontak murni kurang tepat jika digunakan untuk penyemprotan biasa di darat karena belalang akan terbang. Pestisida nabati yang diperlukan untuk menyemprot belalang adalah pestisida nabati yang mengandung racun perut atau racun kontak mempunyai efek sebagai racun perut dan efek residu (residual effect) agak lama. Dengan demikian, meskipun serangga tidak terkena pestisida secara langsung, bila belalang tersebut kembali dan makan tanaman yang sudah disemprot akan mati.

c. Pengendalian hama yang merusak hasil pertanian di gudang dapat menggunakan pestisida nabati yang bersifat fumigansia. Pestisida nabati ini berbentuk gas sehingga dapat masuk lebih dalam ke sela-sela hasil pertanian, bahkan dapat masuk ke dalam korok-korok yang dibuat oleh serangga hama. Fumigansia tidak tepat digunakan di lapangan (kecuali di rumah kaca) karena gas yang dihasilkan akan segera hilang ke udara bebas.

9. Tanaman Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.)

Nama umum yang paling sering digunakan untuk tanaman ini adalah kayu kuning atau akar kuning, Sedangkan nama daerah yang digunakan adalah areuy ki koneng (Sunda) oyod sirawan,


(54)

38

sirawan kunyit, peron sapi, kayu kuning (Jawa). Akar kuning (Indonesia); tali kuning, daun bulan (Palembang); oyod sirawan, sirawan kunyit, peron, peron sapi, sirawan susu, sirawan tai, kayu kuning (Jawa); uwus, tali kuning, kayu kuning (Sulawesi); wali bulan, wari bulan, gumi modoka, mololeya gumini (Ambon); gumi modoku, mololeya (Halmahera utara). Penyebarannya meliputi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Maluku (Mandia, et al., 1999).

Gambar 1. Daun Kayu Kuning (Arcangelisisa flava L.) Sumber: Dokumentasi pribadi

a. Taksonomi

Adapun klasifikasi tanaman kayu kuning dalam sistematika tumbuhan menurut Mandia et al (1999), adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Anak Divisi : Angiospermae


(55)

39

Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ranunculiales Suku : Menispermaceae Genus : Arcangelisia

Jenis : Arcangelisia flava L.

b. Morfologi

Gambar 2. Batang, Daun dan Bunga Kayu Kuning (Arcangelisisa flava L.)

Sumber: Dokumentasi pribadi dan dokumentasi Prof. Dr. IGP Suryadarma

Tumbuhan ini berupa liana memanjat, dengan panjang mencapai 20 m. Batang bulat, membelit, struktur kasar, berwarna coklat kehitaman, dan kayunya berwarna kuning cerah. Daun tunggal, tersebar, berseling, tangkai silindris, pangkal membulat, panjang 10-20 cm, bentuk oval, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi rata, panjang 15-20 cm, lebar 10-16 cm, pertulangan menjari, permukaan licin, kaku, hijau cerah, dan mengkilat. Bunga majemuk,


(56)

40

terletak di ketiak daun, bentuk malai, dengan daun penumpu, bunga sempurna, berkelamin ganda, kelopak (berlepasan, bentuk segitiga, panjang 2-8 mm, hijau), benangsari jumlah 6 dengan kepala sari bulat, kepala putik beruang 3 dan berwarna kuning, mahkota (berlepasan, bentuk asimetris, 6 helai, halus, dan bewarna kuning). Buah kotak, berusuk 3, bulat, permukaan berbulu, dan berwarna hijau. Biji bulat, tunggal, kasar, kecil, dan berwarna coklat. Akar tunggang dan berwarna coklat kehitaman. Akar kuning merupakan tumbuhan liar yang umumnya ditemukan tumbuh di daerah pantai berbatu atau di hutan primer atau sekunder, atau semak belukar, pada ketinggian tempat 100-1.000 m dpl. Khusus di Sulawesi dilaporkan banyak terdapat di daerah berkapur. Berbunganya pada bulan Juli-September. Pengumpulan bahan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Buahnya banyak dimakan dan disebar oleh primata (Macaca, Gibon, Orangutan dan mamalia arboreal lainnya) (Mandia, et al., 1999).

c. Kandungan kimia

Kandungan kimia dari tanaman kayu kuning yaitu saponin, flavonoid, dan tannin, alkaloid berberin, kolumbamin, palmatin, sobakunin, limasin, homoaromalin,


(57)

41

dehidro-koridalmin, 8-hidroksiberin, piknarin, sabanin, talifendin, jatorizin, kolumbamin, tobakunin. Kayu dan daunnya mengandung saponin, flavonoid, dan tanin; akar, batang, dan tangkainya mengandung alkaloid berberin, kolumbamin, palmatin, sobakunin, limasin, homoaromalin, dehidro-koridalmin, 8-hidroksiberin, piknarin, sabanin, talifendin, jatorizin, kolumbamin, tobakunin; sedangkan daging buahnya mengandung zat lendir, dan bijinya mengandung saponin (Mandia, et al., 1999).

Menurut Endah dan Heri (2000) bahwa fungsi senyawa saponin, flavonoid, dan tanin dapat menghambat daya makan larva (antifeedantt). Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, apabila senyawa-senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga, alat pencernaannya akan terganggu. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) seperti kandungan senyawa saponin, flavonoid, dan tanin juga menghambat indera perasa pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya. Akhirnya larva akan mati kelaparan (Ahmed dkk, 2009).


(58)

42

Flavonoid dapat menimbulkan kelayuan pada saraf serta kerusakan pada spirakel yang mengakibatkan serangga tidak bisa bernafas dan akhirnya mati. Saponin menunjukkan aksi sebagai racun dan antifeedantt pada kutu Lepidoptera, kumbang dan berbagai serangga lain (Rosyidah, 2007).

d. Manfaat kayu kuning

Akarnya berguna untuk mengobati bronkitis, diabetes, maag, dan sakit kuning; bunganya berguna sebagai obat disentri; batangnya berguna untuk mengobati cacar air, panas dalam, sariawan, daunnya untuk mengobati kurang darah dan sariawan; sedangkan kayunya berguna sebagai obat afrodisiak, Bagian yang sering digunakan adalah akar, bunga, batang, buah, daun, atau kayunya. Akarnya berguna untuk mengobati bronkitis (radang saluran nafas), cacingan, darah kotor, disentri, kencing bernanah (rajasinga), kencing manis (diabetes), maag, dan sakit kuning; bunganya berguna sebagai obat disentri; batangnya berguna untuk mengobati cacar air, demam dalam, panas dalam, sariawan, dan weil; buahnya berguna sebagai obat sariawan; daunnya berguna untuk mengobati kurang darah (anemia) dan sariawan; sedangkan kayunya


(59)

43

berguna sebagai obat afrodisiak, antiseptik, bisul, borok, cacingan, iritasi kulit, malaria, memacu enzim pencernaan, mempercepat keluarnya darah putih, menambah nafsu makan, peluruh haid, pembersih luka, penurun panas, radang selaput lendir hidung dan mulut, rematik, sakit kuning, dan sariawan (Mandia, et al., 1999).

e. Ekologi dan persebaran

Tanaman ini umumnya ditemukan tumbuh di pantai berbatu atau di tepi-tepi hutan, pada ketinggian 100 – 800 m di atas permukaan laut. Berbunga pada bulan Juli – September, pengumpulan bahan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau (Mandia, et al., 1999).

10.Hama Plutella xylostella

Plutella xylostella adalah serangga kosmopolitan pada daerah tropis dan daerah subtropis. Di Indonesia saat ini penyebaranya bukan hanya di daerah pegunungan tetapi saat ini sudah menyebar sampai di dataran rendah. Plutella xylostella memiliki kisaran inang yang luas. Banyak jenis sawi- sawi dan beberapa tanaman silangan lainnya, termasuk Raphanaus sativus (lobak). Ulat sawi banyak memakan daun muda dan daun tua. Jenis kerusakan oleh ulat sawi ini sangat khas: daun menampilkan


(60)

44

jendela putih tidak teratur, jarang lebih besar dari 0,5 cm yang kemudian memecah ke lubang bentuk (Kalshoven, 1981).

Hama ulat daun sawi Plutella xylostella merupakan salah satu hama utama sawi. Stadia dari Plutella xylostella yang merusak sawi adalah saat stadia larva. Larva Plutella xylostella sudah mulai menyerang tanaman sawi pada saat tanaman sawi baru memiliki sekitar 3 sampai 4 helai daun, dan berlanjut hingga tanaman menjelang panen. Hama Plutella xylostella mempunyai kisaran inang yang cukup luas serta mampu beradaptasi pada geografi yang berbeda. Selain sawi, Plutella xylostella juga dapat menyerang antara lain caisin, kanola, sawi jabung, dan sawi tanah (Herlinda et al., 2004).

a. Klasifikasi

Klasifikasi ulat sawi (Plutella xylostella) menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Plutellidae Genus : Plutella


(61)

45

b. Biologi Hama Plutella xylostella

Gambar 3. Plutella xylostella L. : telur (A) (pembesaran: 3 kali), larva (B), pupa (C) (Pembesaran : 2 kali) dan imago

(D) (pembesaran : 3 kali)

1) Telur

Telur Plutella xylostella sangat kecil (kurang dari 1 mm), berbentuk oval dan berwarna kehijauan. Imago meletakkan telur secara tunggal atau berkelompok dengan 2-3 butir telur sepanjang tulang daun di permukaan atas atau bawah daun (Gambar 3). Kapasitas produksi tidak lebih dari 320 butir telur selama hidupnya yang hanya 2-4 minggu lamanya (Rismunandar, 1986: 89). Ngengat betina akan bertelur sekitar 50 butir dalam waktu 24 jam dan dalam satu tahun dapat menghasilkan lebih dari 10 generasi (Rahmat,R, 1994). Telur menetas


(62)

46

menjadi larva dalam waktu 3 hari menjadi larva (ulat) yang bewarna hijau tergantung kondisi lingkungan (Herlinda et al., 2004). Warna telur tampak lebih gelap pada saat akan menetas (Kalshoven, 1981).

2) Larva

Bentuk larva silindris, relatif tidak berbulu, dan mempunyai lima pasang proleg. Ukuran larva relatif kecil, sifatnya lincah dan kalau tersentuh akan menjatuhkan diri dengan benangnya (Permadani dan Sastrosiswojo, 1993). Larva yang baru menetas dari telur berwarna kehijau-hijauan. Terdapat 4 instar larva yang kesemuanya aktif makan (Sembel, 2010: 214).

Fase larva Plutella xylostella terdiri atas empat instar yaitu, instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Larva instar I berwarna agak keruh dengan kepala berwarna hitam, dan di sekitar abdomennya terdapat rambut-rambut pendek dan halus. Larva instar I berkisar 3-4 hari. Larva instar II berwarna putih kekuningan, dengan ciri-ciri tubuh sama dengan larva instar I. Larva instar II berkisar


(63)

47

1-2 hari. Larva instar III berwarna hijau, dengan kepala berbercak coklat dengan bagian dasar kekuning-kuningan dan terdapat rambut-rambut hitam pada bagian abdomennya. Larva instar III berkisar 2-3 hari. Larva instar IV mirip dengan larva instar III (Gambar 3). Larva instar IV berlangsung selama 3-4 hari. Secara keseluruhan stadium larva berlangsung 10-13 hari (Herlinda et al. 2004). Shepard et al. (1999) menyatakan bahwa perkembangan larva instar I hingga larva instar IV memerlukan waktu sekitar 14 hari, dengan panjang larva instar IV 8 mm (Herlinda et al.2004).

Larva yang baru menetas segera menggerek ke dalam jaringan daun, kemudian memakan daging daun dan epidermis bawah dan menyisakan lapisan epidermis atas daun. Larva bersembunyi di balik daun sambil makan, daging daunnya, tetapi kulit ari (epidermis) bagian permukaan atas daun tidak dimakan sehingga pada daun terlihat bercak-bercak putih. Apabila kulit ari kering maka daun menjadi robek dan nampak berlubang-lubang. Ulat yang diganggu segera menjatuhkan diri dengan


(64)

48

berpegangan pada benang laba-laba dan bergelantungan ke bawah (Rismunandar, 1986: 90).

3) Pupa

Sarang kepompong dibuat dari jenis benang sutera yang berwarna abu-abu putih pada bagian bawah permukaan daun. Pembuatan sarang kepompong diselesaikan dalam waktu 24 jam, setelah itu ulat berubah menjadi pupa (Pracaya, 2001).

Pupa dibungkus oleh kokon yang berbentuk jala dengan panjang kokon sekitar 9 mm (Gambar 3) (Herlinda et al.2004). Pupa pada mulanya berwarna hijau, selanjutnya berwarna kuning pucat,

dengan warna kecoklatan pada bagian

punggungnya. Panjang pupa 5-6 mm, dengan diameter 1,2 – 1,5 mm (Sudarmo, 1991). Pupa tertutup oleh kokon, dengan stadium kepompong (pupa) memerlukan waktu 6-8 hari, selanjutnya akan menjadi dewasa berupa ngengat kecil bewarna cokelat keabu-abuan (Rahmat Rukmana, 1994).


(65)

49 4) Ngengat

Imago Plutella xylostella berupa ngengat kecil, kira-kira 5-9 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu (Gambar 3). Ketika sayap terlipat akan tampak tiga buah lekukan (undulasi) yang berwarna putih seperti bentuk segitiga sepanjang dorsal tubuhnya yang menyerupai bentuk berlian (diamond), sehingga hama ini pun dikenal dengan nama diamond back moth. Stadium imago antara 2-4 minggu. Biasanya imago aktif pada malam hari dan beristirahat di siang hari (Pracaya, 2005).

Ngengat Plutella xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Menurut Harcourt (1954), pada saat tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari (Vos 1953). Ngengat betina kawin hanya satu kali (Harcourt 1957).

Waktu ngengat sedang istirahat, antena lurus ke depan. Ngegat jantan terlihat lebih kecil dibanding dengan betina, demikian pula warnanya lebih cerah (Sudarmo, 1991).


(66)

50

Lama hidup imago sekitar 12 – 20 hari, imago aktif mencari makan pada senja dan malam hari. Ngengat ini menghindar dan bersembunyi pada siang hari (Kartasapoetra, 1990 dan Pracaya, 2005).

c. Daur hidup Plutella xylostella

Plutella xylostella mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago (ngengat). Stadium telur 3-4 hari, ulat 12 hari, pupa 6-7 hari, dan ngengat 20 hari (Pracaya, 2005). Siklus dari telur hingga jadi ngengat, rata-rata 12-15 hari di tempat dengan ketinggian 250 m dan rata-rata 3 minggu di dataran tinggi (Rismunandar, 1986: 90).

Menurut Rahmat Rukmana (1994), Siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva mulai dari telur hingga menjadi serangga (ngengat) berlangsung selama 2-3 minggu, tergantung keadaan temperatur udaranya. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian 1.250 m dari permukaan laut dan temperatur antara 14.50 – 24.6 0C, daur hidupnya berlangsung selama 22 hari

Lamanya daur hidup Plutella xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25 oC rata-rata 21,5 hari (Vos, 1953). Menurut Sastrosiswojo (1987), daur hidup Plutella


(67)

51

xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada suhu 15,5-20,6 oC rata-rata 22,0 hari (Gambar 4).

Gambar 4. Siklus hidup P. xylostella (Tonny K. M)

d. Kerusakan yang Disebabkan oleh Plutella xylostella

Gambar 5. Kerusakan daun oleh Plutella xylostella Sumber : Dokumentasi pribadi

6-8 hari 12-20 hari


(1)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

PUPA Duncana

PERLAKU

AN N

Subset for alpha = 0.05

1

,0 5 ,000

2,5 5 ,400

5,0 5 ,400

7,5 5 ,600

10,0 5 ,800

Sig. ,093

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.


(2)

PENGAMATAN III Oneway

Descriptives PUPA

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum

Maximu m Lower Bound Upper Bound

,00 5 ,0000 ,00000 ,00000 ,0000 ,0000 ,00 ,00

2,50 5 ,0000 ,00000 ,00000 ,0000 ,0000 ,00 ,00

5,00 5 ,0000 ,00000 ,00000 ,0000 ,0000 ,00 ,00

7,50 5 ,0000 ,00000 ,00000 ,0000 ,0000 ,00 ,00

10,00 5 ,0000 ,00000 ,00000 ,0000 ,0000 ,00 ,00

Total 25 ,0000 ,00000 ,00000 ,0000 ,0000 ,00 ,00

Test of Homogeneity of Variances PUPA

Levene

Statistic df1 df2 Sig.


(3)

ANOVA PUPA

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups ,000 4 ,000 . .

Within Groups ,000 20 ,000

Total ,000 24

Robust Tests of Equality of Meansb PUPA

Statistica df1 df2 Sig.

Welch . . . .

Brown-Forsythe . . . .

a. Asymptotically F distributed.

b. Robust tests of equality of means cannot be performed for PUPA because at least one group has 0 variance.

Post Hoc Tests


(4)

LAMPIRAN 7. Hasil Analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) BERAT BASAH

Oneway

Descriptives BERATBASAH

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum

Between- Component

Variance Lower

Bound

Upper Bound

,0 5 54,720 15,4362 6,9033 35,553 73,887 39,5 76,0

2,5 5 56,280 38,1626 17,0669 8,895 103,665 14,8 96,7

5,0 5 31,240 12,5448 5,6102 15,664 46,816 21,7 50,0

7,5 5 58,360 20,6738 9,2456 32,690 84,030 40,8 81,0

10,0 5 63,200 20,1932 9,0307 38,127 88,273 28,2 79,8

Total 25 52,760 24,0202 4,8040 42,845 62,675 14,8 96,7

Model Fixed

Effects 23,1828 4,6366 43,088 62,432

Random


(5)

Test of Homogeneity of Variances BERATBASAH

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

4,532 4 20 ,009

ANOVA BERATBASAH

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between

Groups 3098,480 4 774,620 1,441 ,257

Within Groups 10748,840 20 537,442

Total 13847,320 24

Robust Tests of Equality of Means BERATBASAH

Statistica df1 df2 Sig.

Welch 2,938 4 9,779 ,077

Brown-Forsythe 1,441 4 11,320 ,283


(6)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

BERATBASAH Duncana

PERLAKU

AN N

Subset for alpha = 0.05

1

5,0 5 31,240

,0 5 54,720

2,5 5 56,280

7,5 5 58,360

10,0 5 63,200

Sig. ,062

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.