PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SDN INKLUSI PULUTAN WETAN II.

(1)

PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

DI SDN INKLUSI PULUTAN WETAN II

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Bayu Wiratsongko NIM. 11104241012

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

DI SDN INKLUSI PULUTAN WETAN II

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Bayu Wiratsongko NIM. 11104241012

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

FEBRUARI 2016


(3)

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “Penyesuaian Diri Anak Berkebutuhan Khusus di SDN Inklusi Pulutan Wetan II” yang disusun oleh Bayu Wiratsongko, NIM 11104241012 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, 30 Desember 2015 Pembimbing I,

Prof. Dr. Edi Purwanta NIP. 19601105 198403 1 001

Pembimbing II,

Eva Imania Eliasa, M.Pd., NIP.19750717 200604 2 001


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya tulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berkutnya.

Yogyakarta, 30 Desember 2015 Yang menyatakan,

Bayu Wiratsongko NIM. 11104241012


(5)

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SDN INKLUSI PULUTAN WETAN II” yang disusun oleh Bayu Wiratsongko, NIM 11104241012 ini telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 18 Januari 2016 dan dinyatakan Lulus,

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd. Ketua Penguji ….………... ……… Isti Yuni Purwanti, M.Pd. Sekretaris Penguji ….…………... ……… Prof. Dr. Suparno, M.Pd. Penguji Utama ….…………... ……… Eva Imania Eliasa, M.Pd. Penguji Pendamping ….…………... ………

Yogyakarta, Februari 2016 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas NegeriYogyakarta Dekan,

Dr. Haryanto, M.Pd.

NIP.19600902 198702 1 001


(6)

MOTTO

“Setiap anak memiliki kemampuan mereka sendiri, potensi mereka sendiri, dan kesukaan mereka sendiri”

(Aamir Khan)

“kamu memiliki duniamu sendiri, ciptakan duniamu sendiri dan tersenyumlah pada kehidupan, semua itu terasa menyenangkan”

(Onizuka Eikichi)

“Menghina tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak” (Goleman)

“Orang yang mampu bertahan adalah dia yang bisa sesuai dengan lingkungannya atau dia yang berusaha menciptakan sekitar seperti keinginannya”

(Anonim)


(7)

PERSEMBAHAN

Segala puji, hormat dan ucapan syukur bagi Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia dan penyertaan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Hasil karya tulisan ini saya persembahkan dengan segenap hati kepada :

1. Bapak dan ibu ku terkasih, sebagai tanda bakti, hormat, terimakasih dan kebanggan yang tak terhingga atas segala kasih sayang, perjuangan, pengorbanan, dukungan serta doa yang tulus tiada henti yang telah diberikan selama ini.

2. Almamaterku tercinta prodi BK Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. 3. Indonesia tercinta, Pak Jokowi dan Koh Ahok idolaku.


(8)

PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SDN INKLUSI PULUTAN WETAN II

Oleh : Bayu Wiratsongko NIM 11104241012

ABSTRAK

Sekolah inklusi, mulai dikembangkan dewasa ini dan sudah menampung banyak sekali anak-anak yang memiliki kategori kebutuhan khusus untuk menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus yang sedang menempuh pendidikan formal di sekolah dasar inklusi.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Setting penelitian ini dilaksanakan di SDN Inklusi Pulutan Wetan II. Subjek penelitian terdiri dari 7 orang dengan kriteria anak berkebutuhan khusus dan sedang menempuh pendiikan minimal pada kelas 3 SD serta 3 orang key informant yaitu guru dari ABK tersebut. Metode pengumpulan data dengan observasi dan wawancara mendalam. Uji keabsahan data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi metode dan sumber. Teknik analisis data dalam penelitian ini mengacu pada model interaktif Miles & Huberman yang terdiri dari empat tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyesuain diri pada ke tujuh subjek dilihat dari masing-masing aspek yaitu : 1) penyesuain diri psikologis yang meliputi unsur kognitif dan afektif, keenam subjek mampu menyesuaikan diri dengan baik sementara satu orang subjek tidak 2) penyesuian sosial yang meliputi unsur interaksi sosial dan partisipasi sosial, keenam subjek mampu menyesuaikan diri dengan baik sementara satu orang subjek tidak 3) reaksi penyesuain diri rata-rata dari subjek memunculkan reaksi penyesuaian diri represi sementara untuk reaksi penyesuaian diri konversi maupun rasionalisasi hanya ditunjukkan satu siswa.

Kata kunci : penyesuaian diri, anak berkebutuhan khusus, sekolah inklusi


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih, karunia dan tuntunan-Nya telah memberikan kekuatan lahir dan batin kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mengijinkan penulis menuntut ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah membimbing selama perkuliahan penulis.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan ijin dan pengarahan dalam melaksanakan penelitian ini.

4. Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd. dan Eva Imania Eliasa, M.Pd., sebagai dosen pembimbing yang dengan berbesar hati meluangkan waktu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen-dosen yang mengajar di Prodi Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman kepada penulis.

6. Kepada semua subjek dan key informant dalam penelitian ini yang telah memberikan banyak sekali informasi bagi penelitian ini.

7. Bapak dan ibu ku serta kakak ku yang selalu mendoakan, memberi dorongan, semangat dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.


(10)

8. Keluarga saya yang kedua di kontrakan yang selalu memberikan semangat dan keceriaan.

9. Teman-teman PMK UNY dan BK 2011 terimakasih telah menjadi partner mengasah banyak soft skill dan menjadi tempat berdinamika.

10. Septi Wibakti yang bagaimanapun juga kehadirannya selalu membuat bersemangat dan termotivasi.

11. Semua pihak yang telah mendukung penelitian dan penulisan skripsi ini.

Semua yang telah diberikan untuk penulis menjadi hal yang sangat bermanfaat. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat untuk semua yang membutuhkan. Kiranya kasih dan damai sejahtera Tuhan menyertai kita semua. Amin

Yogyakarta, 30 Desember 2015 Penulis

Bayu Wiratsongko


(11)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Fokus Penelitian ... 8

F. Tujuan Penelitian ... 8

G. Manfaat Penelitian ... 8

H. Batasan Istilah ... 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Penyesuaian Diri ... 12

1. Pengertian Penyesuaian Diri ... 12

2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri... 13

3. Karakteristik Penyesuaian Diri ... 14

4. Aspek Psikologis dan Sosial dalam Penyesusian Diri ... 17


(12)

a. Kognitif ... 17

b. Afektif ... 19

c. Sikap (attitude) ... 21

d. Interaksi Sosial ... 22

5. Reaksi-reaksi Penyesusian Diri ... 24

B. Kajian Tentang Anak Berkebutuhan Khusus ... 29

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus... 29

2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ... 30

3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus ... 32

a. Tunagrahita ... 32

b. Lambat Belajar (Slow Learner) ... 34

C. Kajian tentang Pendidikan Inklusif ... 35

1. Pengertian Pendidikan Inklusif ... 35

2. Landasan Pendidikan Inklusif ... 37

a. Landasan Filosofis ... 37

b. Landasan Yuridis ... 38

c. Landasan Empiris ... 40

3. Prinsip-prinsip Dasar dalam Pendidikan Inklusif ... 41

4. Karakteristik Pendidikan Inklusif ... 44

5. Dampak Pendidikan Inklusif ... 45

6. Model Pendidikan Inklusif di Indonesia ... 46

D. Tugas Perkembangan Usia SD (Kanak-kanak Akhir) ... 47

E. Bimbingan Konseling Pribadi dan Sosial ... 49

F. Bimbingan Konseling Berkebutuhan Khusus ... 51

G. Penelitian yang Relevan ... 52

H. Paradigma Penelitian ... 54

I. Pertanyaan Penelitian ... 55

BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 56


(13)

B. Setting Penelitian ... 57

C. Subjek Penelitian ... 58

D. Instrumen Penelitian... 59

1. Observasi ... 59

2. Wawancara ... 60

E. Keabsahan Data ... 62

F. Metode Analisis Data ... 63

1. Reduksi data (data reduction) ... 64

2. Penyajian data (display data ... 64

3. Verifikasi/kesimpulan ... 65

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 66

1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 66

2. Deskripsi Subjek dan Key Informant Penelitian ... 66

3. Deskripsi Hasil Penelitian ... 77

a. Penyesuaian Diri Psikologis ABK di Sekolah Inklusi ... 79

b. Penyesuaian sosial ABK di Sekolah Inklusi ... 89

c. Reaksi penyesusian diri ABK di sekolah inklusi ... 99

B. Pembahasan ... 103

C. Temuan Lapangan ... 108

D. Keterbatasan Penelitian ... 109

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

LAMPIRAN ... 116


(14)

DAFTAR BAGAN

Hal Tabel 1. Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman ... 65


(15)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Instrumen Penelitian ... 66

Tabel 2. Penyajian Data ... 67

Tabel 3. Profil Subjek Penelitian ... 70

Tabel 4. Profil Key Informant ... 79

Tabel 5. Display Data Penyesuaian Diri PsikologisABK di Sekolah Inklusi ... 79

Tabel 6. Display Data Penyesuaian Sosial ABK di Sekolah Inklusi ... 89

Tabel 7. Display Data Reaksi Penyesuaian Diri ABK di Sekolah ... 99


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal Lampiran 1. Rambu-Rambu Wawancara

Key Informant Guru ... 118

Lampiran 2. Pedoman Observasi ... 119

Lampiran 3. Hasil Wawancara ... 120

Lampiran 4. Hasil Observasi ... 129

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian... 136


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, khususnya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul, berkompeten dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perkembangan zaman yang meningkat secara tajam. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Komitmen yang kuat sangat diperlukan dalam membangun kemandirian dan pemberdayaan yang mampu memberi pilar penopang bagi kemajuan pendidikan di masa yang akan datang. Pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk merealisasikan visi pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tertulis pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945.

Pemerintah menjamin tentang hak memperoleh pendidikan yang layak bagi setiap warga negara tak terkecuali, seperti yang tertuang pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 31 amandemen ke IV tahun 2002 yang


(18)

menjamin kesejahteraan rakyatnya untuk memperoleh pendidikan yang layak, tak terkecuali bagi mereka yang masuk ke dalam kategori berkebutuhan khusus.

Pendidikan tidak hanya diprioritaskan bagi anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi maupun anak-anak yang berasal dari keluarga mampu, tapi juga bagi meraka yang dianggap berbeda dan berkebutuhan khusus. Jika pendidikan di Indonesia tidak memerhatikan masa depan anak yang berkebutuhan khusus, bisa dipastikan bahwa mereka akan selalu tersisih dalam lingkungan mereka tinggal, apalagi untuk mendapatkan perlakuan khusus hanya mereka peroleh melalui pendidikan luar biasa yang memang diperuntukkan bagi anak-anak yang berkelainan.

Tindak lanjut yang dilakukan pemerintah dalam upayanya memenuhi hak-hak pendidikan yang layak bagi seluruh warga negaranya yang termasuk dalam kategori berkebutuhan khusus adalah pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi yang dicanangkan oleh pemerintah ditujukan sebagai solusi bagi mereka (anak berkebutuhan khusus) untuk melanjutkan pendidikan tanpa harus merasa kurang percaya diri ketika berkumpul dengan mereka yang memiliki kondisi fisik, sosial, maupun psikologis yang normal.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi memiliki landasan yuridis sebagai payung hukum. Landasan tersebut tertuang dalamUU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual


(19)

dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’.

Sekolah inklusi, khususnya sekolah dasar (SD) inklusi mulai dikembangkan dewasa ini dan sudah menampung banyak sekali anak-anak yang memiliki kategori kebutuhan khusus untuk menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Sekolah-sekolah inklusi tersebut adalah sekolah-sekolah formal umum yang ditunjuk oleh pemerintah melalui dinas pendidikan sebagai sekolah non-SLB yang memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menempuh pendidikan seperti anak normal pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus yang berada di seklah inklusi tentunya juga memerlukan penyesuaian diri sama seperti anak normal namun penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus tentu berbeda dari anak-anak normal lainnya yang disebabkan adanya perbedaan fisik, mental, maupun kemampuan kademik mereka. Perlunya penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dimaksudkan supaya anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi mendapat hak pendidikannya secara layak.

Menurut M. Ali dan M. Asrori (2005:24) penyesuaian diri didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang


(20)

diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada. Penyesuaian diri mencakup dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial (Fatimah, 2006:68), Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang utnuk menerima dirinya dengan lingkungan sekitar, sedangakn penyesuaian sosial adalah penyesuaian individu dengan lingkungan sekitar dimana individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Wuryantoro (observasi dan wawancara tanggal 6 Maret 2015), terdapat 5 (lima) sekolah dasar inklusi di lingkup kecamatan Wuryantoro yakni SDN Gumiwang Lor I, SDN Genukharjo III, SDN Pulutan Wetan II, SDN Wuryantoro IV, dan SDN Mojopuro I. Data yang diperoleh dari kelima sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi empat diantaranya hanya terdapat kategori inklusi anak lambat belajar, hanya SDN Pulutan Wetan II yang memiliki lebih dari satu kategori anak berkebutuhan khusus. Kategori anak berkebutuhan khusus yang ada di SDN Pulutan Wetan II adalah tuna grahita ringan, tuna grahita sedang dan lambat belajar.

Peneliti memilih SDN Pulutan Wetan II sebagai setting penelitian karena di sekolah tersebut berdasarkan data yang dihimpun mempunyai peserta didik anak berkebutuhan khusus yang cenderung bervariasi, tidak hanya kategori


(21)

lambat belajar saja tetapi juga memiliki peserta didik berkategori tunagrahita ringan maupun tunagrahita sedang.

Berdasarkan pengamatan di SDN Pulutan Wetan II (observasi tanggal 13-14 Maret 2015), sekolah inklusi masih banyak menemui kendala. Kendala yang jelas dapat dilihat adalah seorang guru dapat menangani satu kelas yang sangat heterogen : ada anak yang normal, anak tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, anak berkecerdasan rata-rata, dan anak slow learner. Satu perintah yang diucapkan oleh guru belum tentu akan diinterpretasikan secara sama oleh anak didik yang sangat heterogen tersebut. Kendala selanjutnya adalah kurang memadainya dukungan sosial yang diberikan dalam lingkungan sekolah terhadap anak berkebutuhan khusus baik dukungan sosial dari guru, teman sebaya, staf dan warga sekolah lainnya. Kendala ini dapat diamati di lapangan bahwasanya anak berkebutuhan khsusus sering mendapat bullying dari teman-teman nya baik itu secara verbal maupun non verbal. Dipihak guru sendiri dukungan sosial yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus masih dikatakan belum optimal. Alasan guru belum terbiasa, tidak berkompeten dalam bidang menangani anak berkebutuhan khusus, bukan berlatar belakang dari pendidikan luar biasa sering kali dijumpai pada guru-guru di sekolah inklusi yang faktanya adalah berasal dari sekolah formal umum tetapi kemudian ditunjuk dan atau mengajukan diri untuk menjadi sekolah inklusi. Guru pendamping khusus disiapkan dari SLB (sekolah Luar Biasa) terdekat yang seharusnya mendampingi dan hadir di sekolah tersebut jarang atau bahkan bisa dikatakan tidak pernah hadir di sekolah tersebut untuk


(22)

mendampingi peserta didik berkebutuhan khusus. Berdasarkan permasalahan yang ada inilah tentunya berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri peserta didik berkebutuhan khusus yang berada di SDN Pulutan Wetan II.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus yang menempuh pendidikan di sekolah dasar inklusi baik dari aspek penyesuaian diri psikologis maupun sosial dengan subjek penelitian adalah SDN Pulutan Wetan II. Ketertarikan peneliti untuk meneliti masalah ini adalah adanya perbedaan reaksi penyesuaian diri pada anak berkebutuhan khusus yang berada di SDN Inklusi Pulutan Wetan II. Perbedaan tersebut misalnya ABK A yang mendapat bullying kemudian berdampak pada kehadirannya di sekolah. ABK B yang pada awal masuk tidak dapat menyesuaikan diri baik dalam pergaulan maupun proses belajar lambat laun dapat menyesuaiakan.ABK C yang menerima bullying kemudian melampiaskan pada perilakunya yang menjdi agresif. Jarangnya penelitian tentang sekolah inklusi berkaitan tentang bimbingan konseling berkebutuhan khusus turut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan sekolah dasar inklusi. Hal yang tak kalah penting terkait dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang tertuang dalam pasal 10 ayat 1 bahwa konselor sekolah atau guru BK juga bertugas di dalam lingkup pendidikan dasar (SD), maka penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan tentang


(23)

bagaimana penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi bagi calon konselor yang akan terjun di sekolah dasar.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan beberapa latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Belum diketahuinya penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus secara detail pada sekolah dasar inklusi di SDN II Pulutan Wetan.

C. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, agar beberapa permasalahan dapat dikaji dan diteliti lebih mendalam serta tidak ke luar konteks penelitian maka peneliti melakukan pembatasan masalah. Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus pada sekolah dasar inklusi di SDN II Pulutan Wetan

D. Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, perumusan masalah adalah, bagaimana penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di SDN Pulutan Wetan II?


(24)

E. Fokus Penelitian

Penelitian ini mengenai penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus yang mengambil lokasi di SDN Inklusi Pulutan Wetan II ini mengambil fokus penelitian meliputi:

1. penyesuaian psikologis 2. penyesuaian sosial dan 3. reaksi penyesuaian diri.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di SDN Inklusi Pulutan Wetan II

G. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membeikan manfaat sebesar-besarnya baik secara teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan, yakni :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan informasi mengenai wacana, pengembangan, dan penelaahan dari bentuk2 penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi.

b. Memperkaya khasanah kepustakaan tentang proses terjadinya penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi.


(25)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi instansi sekolah

Manfaat praktis penelitian ini bagi sekolah dasar inklusi adalah memberikan tambahan wawasan mengenai bentuk-bentuk dan proses penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di dalam lingkungan sekolah. Harapannya sekolah dapat menciptakan lingkungan dan suasana yang ramah, nyaman, dan kondusif bagi penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus sehingga anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan hak memperoleh pendidikan yang layak serta anak didik berkebutuhan khusus dapat mengaktualisasikan dirinya di lingkungan sekolah.

b. Bagi guru

Manfaat praktis melalui penelitian ini bagi guru adalah memberikan wawasan terkait karakteristik dan bentuk-bentuk dari anak berkebutuhan khusus. Sehingga dengan mengetahui karakteristik dan bentuk-bentuk anak berkebutuhan khusus tersebut guru tidak menyamaratakan cara dan teknik dalam proses pembelajaran, karenan memang anak berkebutuhan khusus memerlukan tekhnik yang khusus pula dalam kegiatan belajar mengajar.

c. Bagi siswa berkebutuhan khusus

Manfaat praktis melalui penelitian ini bagi anak didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusi adalah tercapainya penyesuaian diri yang ideal berkat dukungan lingkungan sekolah, guru, dan seluruh


(26)

masyarakat sekolah yang menciptakan suasana adaptif bagi anak didik berkebutuhan khusus.

d. Bagi orang tua anak berkebutuhan khusus

Manfaat praktis penelitian ini bagi orang tua anak berkebutuhan khusus adalah memberikan tambahan wawasan mengenai sekolah inklusi. Hal ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan yang matang bagi orang tua dalam hal pilihan sekolah bagi anaknya disamping sebagai upaya tindak lanjut orang tua atas proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh anak dalam lingkungan sekolah, sehingga proses penyesuaian diri anak tidak terhenti sebatas di lingkungan sekolah tetapi juga memperoleh penguatan dari orang tua.

e. Bagi masyarakat

Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah semakin terbukanya wawasan masyarakat terhadap sekolah inklusi serta dapat memberikan dukungan bagi anak berkebutuhan khusus dalam upayanya mencapai penyesuain diri mereka di lingkungan sekolah.

H. Batasan Istilah

Batasan istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Penyesuaian diri

Penyesuaian diri merupakan proses yang dialami atau dilakukan individu atau kelompok terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan serta budaya berupa kognitif dan tingkah laku secara terus menerus hingga


(27)

tercapainya kesinambungan. Penyesuaian diri terjadi pada lingkungan yang berbeda agar dapat berbaur dan berjalan seimbang. Manusia dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Penyesuaian diri pada penelitian ini meliputi aspek psikologis yang mencakup unsur kognitif dan afektif serta penyesuaian sosial yang mencakup interaksi sosial dan partisipasi sosial.

2. Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kelainan baik fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa

3. SD Inklusi

Sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar regular (biasa) yang menerima ABK dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya.


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian tentang Penyesuaian Diri

1. Pengertian penyesuaian diri

M. Ali dan M. Asrori (2005:24) penyesuaian diri didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.

Scheneiders (Syamsu Yusuf, 2004:32) penyesuaian diri sebagai suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi ketegangan, frustasi, dan konflik secara sukses serta menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan tempat hidupnya.

Kartono (2000:16) penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Untuk itu, semua manusia harus mampu atau dapat untuk mencari kebahagiaan yang diinginkannya untuk membuat dirinya bahagia.

James F. Calhoun dan Joan Ross Acocella (Alex Sobur 2003: 526) memberikan definisi yang lebih plastis mengenai penyesuaian diri yaitu


(29)

sebagai interaksi anda yang kontinu dengan diri anda sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia anda.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas tentang penyesuaian diri dapat diambil kesimpulan penyesuaian diri merupakan proses yang dialami atau dilakukan individu atau kelompok terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan serta budaya berupa kognitif dan tingkah laku secara terus menerus hingga tercapainya kesinambungan. Penyesuaian diri terjadi pada lingkungan yang berbeda agar dapat berbaur dan berjalan seimbang. Manusia dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus menerus menyesuaikan diri.

2. Aspek-aspek penyesuaian diri

Menurut Fatimah (2006:68) aspek-aspek penyesuaian diri adalah : a. Penyesuaian psikologis. Penyesuaian psikologis adalah kemampuan

seseorang untuk menerima diri demi tercapainya hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitar. Ia menyatakan sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dalam mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.

b. Penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota


(30)

keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebaya atau anggota masyarakat luas secara umum. Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda kemudian berusaha untuk mematuhinya, sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya.

Aspek-aspek penyesuaian diri dalam penelitian ini yaitu tentang penyesuaian psikologis berkaitan dengan penerimaan diri terhadap kelebihan dan kekurangan, serta penyesuain terhadap lingkungan sekolah, guru, teman sebaya dan masyarakat sekolah.

3. Karakteristik penyesuaian diri

Menurut Sugeng Hariyadi, dkk (2003:67-69) terdapat beberapa karakteristik penyesuaian diri yang positif, diantaranya:

a. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya. Karakteristik ini mengandung pengertian bahwa orang yang mempunyai penyesuaian diri yang positif adalah orang yang sanggup menerima kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan di samping kelebihan-kelebihannya. Individu tersebut mampu menghayati kepuasan terhadap keadaan dirinya sendiri, dan membenci apalagi merusak keadaan dirinya


(31)

betapapun kurang memuaskan menurut penilaiannya. Hal ini bukan berarti bersikap pasif menerima keadaan yang demikian melainkan ada usaha aktif disertai kesanggupan mengembangkan segenap bakat, potensi, serta kemampuannya secara maksimal.

b. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif. Sesuai dengan perkembangan rasional dan perasaan. Orang yang memiliki penyesuaian diri positif memiliki ketajaman dalam memandang realita, dan mampu memperlakukan realitas atau kenyataan secara wajar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ia dalam berperilaku selalu bersikap mau belajar dari orang lain, sehingga secara terbuka pula ia mau menerima feedback dari orang lain.

c. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi. Kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya. Karakteristik ini ditandai oleh kecenderungan seseorang untuk tidak menyia-nyiakan kekuatan yang ada pada dirinya dan akan melakukan hal-hal yang jauh di luar jangkauan kemampuannya. Hal ini terjadi pertimbangan yang rasional antara energi yang dikeluarkan dengan hasil yang diperolehnya, sehingga timbul kepercayaan terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.

d. Memiliki perasaan yangan aman dan memadahi. Individu yang tidak lagi dihantui oleh rasa cemas ataupun ketakutan dalam hidupnya serta tidak mudah dikecewakan oleh keadaan sekitarnya. Perasaan aman mengandung arti pula bahwa orang tersebut mempunyai harga diri yang mantap, tidak


(32)

lagi merasa terancam dirinya oleh lingkungan dimana ia berada, dapat menaruh kepercayaan terhadap lingkungan dan dapat menerima kenyataan terhadap keterbatasan maupun kekurangan-kekurangan dan lingkungannya.

e. Rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran. Karakteristik ini ditandai dengan oleh adanya pengertian dan penerimaan keadaan di luar dirinya walaupun sebenarnya kurang sesuai dengan harapan atau keinginannya.

f. Terbuka dan sanggup menerima umpan balik. Karakteristik ini ditandai oleh kemampuan bersikap dan berbicara atas dasar kenyataan sebenarnya, ada kemampuan belajar dari keadaan sekitarnya, khususnya belajar mengenai reaksi orang lain terhadap perilakunya.

g. Memiliki kestabilan psikologi terutama kestabilan emosi. Hal ini tercermin dalam memelihara tata hubungan dengan orang lain, yakni tata hubungan yang hangat penuh perasaan, mempunyai pengertian yang dalam dan sikapnya wajar

h. Mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Individu diharapkan selaras dengan hak dan kewajibannya, sehingga bertindak dengan norma yang berlaku.

i. Individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku. Individu mematuhi dan melaksanakan norma tanpa adanya paksaan dalam


(33)

setiap perilakunya. Sikap dan perilakunya selalu didasarkan atas kesadaran akan kebutuhan norma, dan atas keinsyafan sendiri.

4. Aspek Psikologis dan Sosial dalam Penyesuaian Diri

Aspek psikologis dan aspek sosial psikologis menggambarkan semua yang berhubungan dengan pikiran, perasaan, dan perilaku individu sehingga aspek-aspek tersebut berkaitan erat dengan penyesuaian diri. Sosial berkaitan dengan situasi-situasi individu dengan individu lainnya. Hal-hal yang berhubungan dengan pribadi dan sosial adalah sebagai berikut :

a. Kognitif

Menurut Drever (Ahmad Fauzi, 2004: 62) disebutkan bahwa kognitif adalah istilah umum yang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, dan penalaran.

Menurut Piaget (Paul Suparno, 2001: 108) menyebutkan bahwa kognitif adalah bagaimana seseorang beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian di sekitarnya. Piaget memandang bahwa seseorang memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas dan tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya walaupun proses berpikir dan konsepasali mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalamannya dengan dunia sekitarnya, namun anak


(34)

juga aktif menginterpretasikan informasi yang ia peroleh dari pengalaman serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsep asal.

Kognitif adalah cara informasi diolah dan dimanipulasi dalam mengingat, berpikir dan mengetahui. Kognitif menggunakan proses berpikir dengan membentuk konsep-konsep abstrak, menyelesaikan beragam masalah, mengambil keputusan dan melakukan refleksi kritis atau menghasilkan gagasan kreatif. Keterbukaan pikiran mampu menerima sudut pandang orang lain dalam melihat satu hal (Laura A. King, 2010: 4-7).

Disonansi kognitif adalah keadaan internal yang tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta sikap dan tingkah laku. Menurut Leon Festinger (1957) disonasi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang antara elemen-elemen kognitif dalam diri individu. Hubungan bertolak belakang tersebut terjadi apabila ada penyangkalan elemen kognitif yang satu dengan yang lain

Menurut Aronson (1968) dan festinger (1957) ada tiga jenis mekanisme untuk mengurangi disonasi kognitif adalah sebagai berikut (Sarlito W. Sarwono, 2011: 97-98):

1) Mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain. 2) Mencari informasi baru yang mendukung sikap atau perilaku untuk

menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan.


(35)

3) Trivilization, yaitu mengabaikan atau menganggap ketidaksesuaian antara sikap atau perilaku yang menimbulkan disonansi sebagai sesuatu yang tidak penting.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan diatas adalah, kognitif adalah kata yang digunakan untuk menjelaskan seluruh aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai, dan memikirkan lingkungannya. Di dalam kognisi terkadang terdapat adanya ketidakserasian karena keadaan yang bertolak belakang terhadap sikap ataupun perilaku orang lain yang tidak sesuai.

b. Afektif

Menurut Laura A. King (2010: 8) afektif mencakup kemampuan yang menyangkut aspek perasaan dan emosi. Pada ranah ini juga terbagi dalam beberapa bagian yang meliputi aspek penerimaan terhadap lingkungan , tanggapan atau respon terhadap lingkungan, penghargaan dalam bentuk ekspresi nilai terhadap sesuatu, mengorganisasikan nilai


(36)

untuk menemukan pemecahan serta karakteristik dari nilai-nilai yang menginternalisasi dalam diri.

Menurut Bloom (Ahmad Fauzi, 2004: 64) afektif adalah kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral, apresiasi, dan cara menyesuaikan diri.

Piaget mengemukakan pengaruh afeksi dalam perkembangan pemikiran seseorang. Unsur afeksi dalam kebutuhan seseorang untuk lebih bersemangat untuk mengembangkan diri dan menentukan diri, untuk mencintai dan menghargai, serta untuk membentuk motivasi yang kuat bagi intelegensi seseorang. Afeksi menjadi motivasi untuk lebih semangat mengembangkan pikiran. Afeksi menjadi semacam kekuatan pola tingkah laku yang unsur kognitifnya merupakan struktur kognitif. Tidak ada pola tingkah laku yang tidak memuat unsur afeksi sebagai motivasi tetapi sebaliknya, tidak ada afeksi yang tanpa dipengaruhi persepsi dan komprehensi yang membentuk struktur kognitif. Afeksi dan kognisi merupakan dua aspek dalam perkembangan yang tidak dapat dipisahkan (Paul Suparno. 2001: 110).

Kesimpulan mengenai afektif adalah perasaan yang ada pada individu seperti suasana hati yang sedih, seanang, terharu dan lain sebagainya. Afektif dan kognitif saling berhubungan dalam menentukan tingkah laku individu.


(37)

c. Sikap (attitude)

Sikap adalah konsep yang dibentuk oleh tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Komponen kognitif berisi semua pemikiran serta ide-ide yang berkenaan dengan objek sikap dapat berupa tanggapan atau keyakinan, kesan, atribusi dan penilaian tentang objek sikap tadi. Komponen afektif dari sikap meliputi perasaan atau emosi seseorang terhadap objek sikap. Adanya komponen afeksi dari sikap dapat diketahuai melalui perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Isi perasaan atau emosi pada penilaian seseorang terhadap objek sikap inilah yang mewarnai sikap menjadi suatu dorongan atau kekuatan. Komponen perilaku dapat diketahui melalui respon subjek yang berkenaan dengan objek sikap. Respons yang dimaksud dapat berupa tindakan atau perbuatan yang dapat diamati dan dapat berupa intense atau niat untuk melakukan perbuatan tertentu sehubungan dengan objek sikap (Sarlito W. Sarwono, dkk., 2009: 83-84)

Sikap manusia bukan sesuatu yang melekat sejak ia lahir tetapi diperoleh melalui proses pembelajaran yang sejalan dengan perkembangan hidupnya. Seseorang tumbuh dan berkembang dilingkungan keluarga serta sikapnya terbentuk dari interaksinya bersama orang-orang disekitarnya. Sikap dibentuk melalui proses belajar sosial, yaitu proses dimana individu memperoleh informasi, tingkah laku, atau sikap baru dari orang lain (Sarlito W. Sarwono, dkk., 2009: 84).


(38)

Dapat disimpulkan sikap merupakan konsep yang dibentuk dari kognitif, afektif, dan tingkah laku. Sikap yang ada pada individu bukan merupakan faktor bawaan. Sikap tumbuh dan berkembang melalui pengalaman yang dialami oleh individu dalam perjalanan hidupnya.

d. Interaksi Sosial

Menurut H. Borner (1953) interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya (Abu Ahmadi, 2002: 54).

Menurut Gillin dan Gillin (1954) interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, anatara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila orang bertemu, interaksi soaial dimuali pada saat itu. Mereka akan saling berjabat tangan, berbicara bahkan berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial.

Interaksi sosial memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi, baik secara tunggal maupun bergabung ialah (Abu Ahmadi, 2002: 57-64) :

1. Faktor Imitasi. Imitasi dilakukan dalam berinteraksi dengan mengimitasi orang lain dalam berbahasa, tingkah laku tertentu, cara memberi hormat, cara berterimakasih dan lain-lain. Imitasi dalam


(39)

interaksi sosial mempunyai sisi yang negatif yaitu mungkin yang diimitasi itu salah sehingga menimbulkan kesalahan kolektif yang meliputi jumlah manusia yang besar dan kadang-kadang orang yang mengimitasi sesuatu tanpa kritik sehingga dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir.

2. Faktor Sugesti. Sugesti yang dimaksud ialah pengaruh psikis baik yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik. Dalam psikologi, sugesti dibedakan adanya auto-sugesti yaitu sugesti terhadap diri yang datang dari dirinya sendiri atau hetero-sugesti yaitu sugesti yang datang dari orang lain.

3. Faktor Identifikasi. Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Proses identifikasi mula-mula berlangsung secara tidak sadar kemudian irrasional , yaitu berdasarkan perasaan-perasaan atau kecenderungan-kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional. Identifiksi berguna untuk melengkapi sistem norma-norma, cita-cita dan pedoman-pedoman tingkah laku orang yang mengidentifikasi tersebut.

4. Faktor Simpati. Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar rasional. Melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses


(40)

identifikasi. Bahkan orang dapat tiba-tiba merasa tertarik kepada orang lain dengan sendirinya karena keseluruhan cara-cara bertingkah laku menarik baginya. Simpati hanya akan berlangsung dan berkembang dalam relasi kerja sama antara dua orang atau lebih, bila terdapat saling pengertian.

Dapat disimpulkan interaksi sosial adalah kontak anatar individu satu dengan yang lain dengan syarat saling berkomunikasi dan adanya kontak sosial yang terjadi antar individu atau kelompok sosialnya.

5. Reaksi-reaksi penyesuaian diri

Suatu kesadaran tentang adanya reaksi penyesuaian utama, atau mekanisme pertahanan mungkin membuat individu sanggup lebih efektif menghadapi ketegangan-ketegangan dan tekanan-tekanan yang relatif normal dari kehidupan setiap hari yang dapat memengaruhi individu dan orang lain.

Menurut Mahmud (Alex Sobur, 2003 : 531) Mekanisme penyesuaian adalah berbagai kebiasaan yang biasa dipakai orang untuk memuaskan motif-motifnya. Termasuk di sini ialah mekanisme pemecahan masalah secara realistis dan mekanisme yang lebih bersifat primitif berupa sikap agresif melawan hal-hal yang merintangi.

Bentuk respon jika motif terpuaskan secara berhasil, muncullah mekanisme-mekanisme yang dipergunakan untuk mereaksi terhadap


(41)

keberhasilan. Misalnya, orang lalu menunjukkan sikap berterimakasih, atau mungkin bergirang hati, atau mungkin pula lalu mereka merasa bersalah.

Sebaliknya, kalau seseorang tidak berhasil memuaskan motifnya, terjadilah berbagai mekanisme reaksi terhadap kegagalan, kekurangan diri sendiri dan terhadap motif yang tidak terpuaskan itu. Misalnya saja, orang-orang lalu mengutuk kegagalan tersebut, atau menyalahkan orang-orang lain dan membalas dendam.

Menurut Kossem (Alex Sobur, 2003:532) kalangan psikolog telah membuat aneka istilah untuk melukiskan banyak tipe reaksi penyesuaian pada kekecewaan. Berikut ini adalah beberapa reaksi tipikal yang ada kalanya yang dialami oleh orang-orang bila berupaya menanggulani banyak kekecewaan hidup.

a. Rasionalisasi (Rationalization). Terjadi bila individu berupaya memberikan penjelasan yang menyenangkan (rasional) tapi tidak usah benar. Penjelasan untuk perilaku yang khusus dan sering tidak diinginkan. Sebenarnya orang yang berupaya membenarkan perilaku yang dirasakannya tidak dikehendaki secara sadar atau bawah sadar terlibat dalam rasionalisasi.

b. Konpensasi (Conpensation). Merujuk pada konsep konpensasi ketika membicarakan suatu situasi saat orang-orang dengan perasaan ketidakcukupan (sesungguhnya maupun dibayangkan) berusaha sendiri dengan upaya tambahan guna mengatasi perasaan-perasaan tidak aman.


(42)

Beberapa bentuk konpensasi mengkin sangat bermanfaat atau positif, sedangkan yang lain-lain merugikan atau negatif. Konpensasi positif mungkin terdapat pada diri seseorang yang anaknya meninggal dunia karena cacat lahir kemudian menghabiskan waktu, kemampuan, dan tenaganya untuk membantu anak-anak cacat.

c. Negativisme (Negativism). Suatu reaksi yang dinyatakan sebagai perlawanan bawah sadar pada orang-orang atau objek-objek lain. Orang-orang dengan kegelisahan yang khas memang cenderung meyakini bahwa makhluk-makhluk hidup yang lain tidak sama merasa seperti mereka, tetapi hanya sedikit saja dari kita yang bisa hidup tenang, terlepas dari penampilan “luar”.

d. Kepasrahan (Resignation). Kepasrahan adalah suatu istilah psikologi yang umumnya merujuk pada suatu tipe kekecewaan mendalam yang sangat kuat, yang ada kalanya dialami oleh individu-individu. Kondisinya mungkin berlangsung lama atau sementara. Kepasrahan dapat dikatakan sebagai keadaan menyerah, menarik diri dari keterlibatan seseorang dengan suatu keadaan khusus.

e. Pelarian (Flight). Pelarian mencakup sesuatu yang lebih jauh daripada kepasrahan, yakni melarikan diri dari situasi khusus yang menyebabkan kekecewaan atau kegelisahan. Pelarian dapat mengakibatkan seseorang mengambil suatu pekerjaan baru sebagai sarana untuk melarikan diri dari pekerjaaan yang sekarang, melamun, lari dari rumah, bahkan meminum


(43)

obat-obatan yang melebihi dosis. Seseorang yang menunjukkan reaksi pelarian, secara sadar maupun bawah sadar, ingin menghindari suatu keadaan dan mengasumsikan bahwa segala sesuatu akan menjdi lebih baik “dimanapun, kecuali disini”.

f. Represi (Represion). Jika tanpa diketahui, seseorang mengeluarkan pengalaman atau perasaan tertentu dari kesadarannya, berarti ia melakukan suatu reaksi penyesuaian diri yang disebut represi. Tidak semua represi harus negatif. Jiwa manusia adalah jiwa ajaib yang berkecenderungan untuk menekan aspek-aspek yang tidak menyenangkan. Misal, bertahun-tahun sesudah liburan, umpamanya, anggota-anggota keluarga mungkin teringat akan berbagai peristiwa yang menyenangkan mereka, namun mereka cenderung menekan, atau melupakan bagian-bagian yang kurang menyenangkan, seperti ban kempes, perut yang terganggu dan nyamuk-nyamuk yang menggigit.

g. Kebodohan semu (Pasaleudostupidity). Dalam beberapa hal tindakan lupa, sebaliknya dari represi peristiwa-peristiwa secara tak sadar, adalah disengaja dan digunakan sebagai alat untuk menghindarkan tipe-tipe kegiatan tertentu. Disebut sebagai kebodohan semu, hal ini tampak pada sementara orang yang dengan sadar berupaya memberi kesan menjadi pelupa.

h. Pemikiran obsesif (Obsessive Thinking). Istilah ini merujuk pada perilaku seseorang yang memperbesar semua ukuran realistis dari masalah atau


(44)

situasi yang dia alami. Misal, orang-orang yang dipekerjakan dalam pekerjaan yang monoton dan membosankan, hanya sedikit menghendaki pemikiran kreatif atau pemusatan pikiran, mungkin terus menerus mempertimbangkan masalah pribadi atau perusahaan dalam pikiran mereka. Barangkali masalah-masalah khusus tidak luar biasa gawat, tetapi obsesi terhadap semua ini dapat menimbulkan pengaruh yang dilebih-lebihkan, dengan menciptakan masalah tampak menjadi luar biasa hebatnya.

i. Pengalihan (Displacement). Pengalihan dapat didefinisikan sebagai proses psikologis dari perasaan-perasaan terpendam yang kemudian dialihkan ke arah objek-objk lain daripada ke arah sumber pokok permasalahan. Pengambinghitaman (scapegoating, yaitu menyalahkan orang lain karena problem atau kegelisahan-kegelisahan sendiri merupakan salah satu bentuk pengalihan.

j. Perubahan (Convension). Istilah ini digunakan untuk melambangkan suatu proses psikologis, dalam hal kekecewaan-kekecewaan emosional diekspresikan dalam gejala-gejala jasmani yang sakit atau tak berfungsi sebagaimana mestinya.


(45)

B. Kajian tentang anak berkebutuhan Khusus

1. Pengertian anak berkebutuhan khusus

Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam sudut pandang pendidikan kebutuhan khusus, keberagaman sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang dan perkembangan yang berbeda-beda, oleh karena intu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda-beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.

Anak berkebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki kelainan pada perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial atau gabungan dari ciri-ciri itu dan menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal (Mega Iswari, 2007:43).

Menurut Mulyono (Mohamad Takdir Ilahi, 2013:137) anak berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau menyandang ketunaan, dan juga anak potensial dan berbakat.

Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens (Mohamad Takdir Ilahi, 2013:138).


(46)

Anak berkebutuhan khusus menurut Undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 32 ayat 1, dan penjelasan pasal 15, yaitu mereka yang memiliki kelainan baik fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa (Haenudin, 2013 : 9).

Pengertian anak berkebutuhan khusus apabila ditarik dari pendapat para ahli tersebut adalah anak-anak yang memiliki karakteristik yang menyimpang dari anak rata-rata normal pada umumnya baik dari segi fisik, psikologis, sosial, emosi maupun gabungan dari lebih dari satu karakteristik tersebut, sehingga memerlukan adanya pelayanan yang bersifat khusus bagi mereka.

Anak-anak yang memiliki kelainan secara edukatif dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus bilamana kelainannya itu menyababkan perlunya mengubah program pendidikan untuk menyesuaikan dengan kebutuhannya. Seringkali pandangan yang timbul di masyarakat bahwa anak berkelainan adalah anak berkebutuhan khusus, walaupun tidak selamanya anak berkelainan memerlukan kebutuhan yang “khusus”.

2. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus

Anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen).


(47)

Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang disebabkan faktor-faktor eksternal sementara menurut Hurlock (Mohamad Takdir Ilahi, 2013: 140) anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan perkembangan akibat langsung karena kecacatan atau bawaan sejak lahir.Menurut Kirk dan Gallagher (Mega Iswari, 2003:46) mengklasifikasikan anak dengan kebutuhan khusus berdasarkan ciri-cirinya :

a. Perbedaan intelektual, termasuk anak-anak yang berintelektual superior dan anak-anak lambat belajar.

b. Perbedaan dalam indera, termasuk anak-anak dengan kerusakan dalam pendengaran, kerusakan penglihatan.

c. Perbedaan komunikasi termasuk anak-anak yang tidak mampu belajar atau mempunyai gangguan berbicara atau bahasa.

d. Perbedaan perilaku , termasuk anak-anak yang emosinya terganggu atau secara sosial tidak dapat menyesuaikan diri.

e. Perbedaan fisik, termasuk anak-anak yang cacat indera yang mengganggu gerakan tubuh dan fasilitas tubuh.

f. Cacat ganda, termasuk anak-anak dengan kombinasi kecacatan (tuli-buta, keterbelakangan mental dan sebagainya)

Menurut Dembo (Depdiknas, 2003) mengklasifikasikan anak-anak berkebutuhan khusus untuk keperluan pembelajaran sebagai berikut :


(48)

a. Tunagrahita (mental retardation) b. Kesulitan belajar (learning disabilities)

c. Gangguan perilaku atau gangguan emosional (behaviour disorder) d. Gangguan bicara dan bahasa (Speech and language disorder) e. Kerusakan pendengaran (hearing impairments)

f. Kerusakan penglihatan (visual impairments)

g. Kerusakan fisik dan gangguan kesehatan (physical and other health impairments)

h. Cacat berat atau cacat ganda (severe and multiple handicap) i. Berkecerdasan luar biasa tinggi atau berbakat (gifted and talented)

3. Karakteristik anak berkebutuhan khusus

Anak berkebutuhan khusus ada berbagai macam karakteristiknya seperti anak tunagrahita, tunadaksa, tunarungu, tunawicara, tunanetra, tunalaras, gifted, tallented, dan lambat belajar, tetapi didalam penelitian ini hanya akan dijelaskan beberapa macam karakteristik anak berkebutuhan khusus menyesuaiakan dengan apa yang ada di SD Inklusi Pulutan Wetan II yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan lambat belajar. Karakteristik tersebut akan dijelaskan dalam uraian di bawah ini sebagai berikut :

a. Tunagrahita

Anak tunagrahita atau anak dengan inteligensi rendah diketahui melalui tes inteligensi (Yoswan Awandi, 2007 : 17). Seseorang yang


(49)

memiliki IQ di bawah 70 (skala Weschler) disebut tunagrahita. Tunagrahita atau keterbelakangan mental dapat dibagi menjadi :

1) Keterbelakangan mental riangan (IQ = 55-59) 2) Keterbelakangan mental sedang (IQ = 40-54) 3) Keterbelakangan mental berat (IQ = 25-39) 4) Keterbelakangan metal berat (IQ = < 24)

Anak tunagrahita akan mengalami kesulitan yang besar untuk menyelesaikan program pendidikan dasar. Dakam sistem pendidikan inklusi, anak tunagrahita diperbolehkan masuk ke dalam kelas reguler dengan konsekuensi diperlukan layanan PLB di sekolah reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusi.

SD Inklusi Pulutan Wetan II memiliki peserta didik dengan kategori tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang yang tengah menempuh pendidikan dasar di sekolah tersebut.

Menurut Sumantri (Yoswan Azwandi, 2007 : 33-34) intelektual yang rendah menimbulkan dampak pada aspek fisik/penampilan dan aspek kemampuan belajar. Ciri-ciri fisik dan penampilan anak dengan gangguan intelektual antara lain :

1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar. 2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia.

3) Perkembangan bicara/bahasa terlambat.

4) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan.


(50)

5) Koordinasi gerak kurang.

6) Sering keluar ludah dari mulut (ngiler).

Dampak dari keterbatasan intelektual/tunagrahita dalam belajar, keterampilan membaca, keterampilan motorik, dan keterampilan lainnya. Perbedaan keterampilan belajar anak tunagrahita terdapat pada tiga daerah yaitu :

1) Tingkat kemahirannya dalam keterampilan tersebut

2) Generalisasi dan transfer keterampilan yang baru diperoleh 3) Perhatian terhadap tugas yang diembannya.

b. Lambat belajar (Slow learner)

Lambat belajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang ber-IQ antara 70-90, mereka termasuk kategori borderline (garis batas) yang secara pendidikan disebut slow learner (lambat belajar). Gejala yang tampak pada anak lambat belajar antara lain prestasi belajar yang rendah, sering tidak naik kelas, sulit menangkap perlajaran, dan sebagainya.

Anak yang tergolong lambat belajar masih dapat mengikuti program pembelajaran reguler pada jenjang pendidikan dasar tapi membutuhkan bantuan yang intensif.

Dampak dari kelambatan belajar pada anak slow learner dapat dijabarkan sebagai berikut :


(51)

1) Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah

2) Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibanding teman-teman seusianya.

3) Daya tangkap terhadap pelajaran terlambat 4) Pernah tidak naik kelas.

Anak lambat belajar memiliki kebutuhan pembelajaran khusus antara lain :

1) Waktu yang lebih lama dibandingkan anak lain

2) Kecerdasan dan kesabaran guru untuk tidak terlalu cepat dalam memberikan penjelasan

3) Diperbanyak latihan daripada hafalan dan pemahaman

4) Menuntut digunakannya media pembelajaran yang variatif oleh guru 5) Diperbanyak kegiatan remedial.

C. Kajian Tentang Pendidikan Inklusif

1. Pengertian pendidikan inklusif

Pengertian pendidikan inklusif meurut Direktorat PLB adalah model pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khuus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif (Budiyanto, 2005: 17-18).


(52)

O’ Neil mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sistem pelayanan PLB yang mempersyaratkan agar semua ALB dilayani di sekolah-sekolah terdekat dikelas biasa bersama teman-teman seusianya (Budiyanto, 2005: 18). Menurut Ormrod (Syafrida Elisa dan Aryani Tri Wrastari, 2013) Inklusi adalah praktek yang mendidik semua siswa, termasuk yang mengalami hambatan yang parah ataupun majemuk, di sekolah-sekolah reguler yang biasanya dimasuki anak-anak non berkebutuhan khusus.

J. David Smith (2006) mengatakan bahawa inklusi berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah.

Pengertian-pengertian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahawa pendidikan inklusi adalah adalah sebuah model pendidikan untuk semua yang mengakomodasi anak berkebutuhan khusus untuk masuk di kelas reguler seperti teman-teman sebayanya yang normal. Berdasarkan definisi pendidikan inklusi yang telah dijelaskan maka diperoleh suatu pengertian bahwa sekolah dasar inklusi adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia dan ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6 dengan kriteria semua dapat menempuh pendidikan di sekolah tersebut baik peserta didik normal maupun berkebutuhan khusus.


(53)

2. Landasan pendidikan inklusi

Penyelenggaraan pendidikan inklusi dalam konteks sekolah formal di Indonesia tentu memiliki landasan yang kuat. Berikut ini akan dijelaskan landasan yang menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia (Komunitas Peduli Anak Berkebutuhan Khusus) adalah sebagai berikut: a. Landasan filosofis

1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2) Pandangan religius masyarakat Indonesia antara lain ditegaskan

bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik tetapi imannya, (3) Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling melengkapi .

3) Pandangan universal hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.


(54)

b. Landasan yuridis

1) UUD 1945 (Amandemen) pasal 31: (1) berbunyi ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. 2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 48

‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Pasal 49 ’Negara, pemerintah, keluarga, dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.

3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’. Pasal 32 ayat (1) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik


(55)

yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’.

4)

Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi Standar isi, Standar proses, Standar kompetensi lulusan, Standar pendidik dan kependidikan, Standar sarana prasarana, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas: SDLB, SMPLB dan SMALB.

5) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif:


(56)

menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, dan SMK.

c. Landasan empiris

1) Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights) 2) Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child) 3) Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World

Conference on Education for All)

4) Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities for persons with disabilities)

5) Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The Salamanca Statement on Inclusive Education)

6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on Education for All)

7) Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”

8) Rekomendasi Bukittinggi (2005)


(57)

3. Prinsip-prinsip dasar dalam pendidikan inklusi

Mulyono (Budiyanto, 2005: 54-58) mengidentifikasi prinsip-prinsip dalam pendidikan inklusif menjadi sembilan elemen dasar yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan. 9 prinsip tersebut adalah:

a. sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan, maksudnya dalam hal ini sikap guru menjadi hal paling penting. Sikap guru tidak hanya berpengaruh pada setting kelas tetapi juga dalam pemilihan strategi pembelajaran. Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan dengan cara memberi informasi yang akurat tentang siswa dan cara penangannya.

b. Interaksi promotif, pendidikan inklusi menuntut adanya interaksi promotif antara siswa. Interaksi promotif yang dimaksud adalah upaya untuk saling menolong dan saling memberi motivasi dalam belajar. Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan saling memberikan andil dalam meraih keberhasilan bersama.

c. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial, pendidikan inklusi tidak hanya menekankan pencapaia tujuan dalam bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi sosial, oleh sebab itu perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan akademik tetapi juga tujuan keterampilan bekerjasama mencakup keterampilan memimpin,


(58)

memahami perasaan orang lain, menghargai pikiran orang lain dan tenggang rasa.

d. Pembelajaran adaptif, ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran yang adaptif tidak hanya ditujukan kepada siswa dengan problema belajar tetapi juga untuk siswa yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atauguru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua, guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.

e. Konsultasi kolaboraif, yang dimaksudkan disini adalah saling tukar informasi antar profesional dan semua disiplin yang terkait untuk memperoleh keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Profesional yang dimaksud mencakup guru kelas, guru bidang studi, guru PLB, guru BK, psikolog dan ahli-ahli lain yang terkait.

f. Hidup dan belajar dalam masyarakat, dalam pendidikan inklusi kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu kehidupan masyarakat yang diidealkan. Kelas yang ideal memiliki suasana yang silih asah, silih asih dan silih asuh sehinga di antara siswa terjalin hubungan yang saling menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun perbedaannya, harus dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi kemanusiaan yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.


(59)

g. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga, keluarga merupakan pondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang, begitu pula dengan sekolah, juga merupakan tempat anak untuk belajar dan berkembang. Keduanya baik keluarga maupun sekolah memiliki fungsi yang sama. Perbedaanya, pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terstruktur, sedangkan di sekolah pendiikann lebih banyak dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang bisa disebut dengan pembelajaran. Keluarga memiliki informasi yang lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan dan minat anak sedangkan sekolah memiliki informasi yang lebih akurat mengenai prestasi akademik siswa . informasi mengenai anak yang dimiliki oleh keluarga merupakan landasan penting bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif.

h. Belajar dan berpikir independen, dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai perkembangan kognitif taraf tinggi dan kreatif agar bmampu berpikir independen. Berkenaan dengan semakin majunya ilmu dan teknomogi, pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan belajr dan berpikir.

i. Belajar sepanjang hayat, pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian dari perjalanan panjang hidup seorang manusia dan manusia belajar sepanjang hidupnya. Belajar sepanjang hayat memiliki makna yang melampaui sekedar menguasai berbagai macam kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas.


(60)

Belajar sepanjang hayat pada hakekatnya adalah belajar untuk berpikir kritis dan belajar untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.

4. Karakteristik pendidikan inklusi

Ada beberapa karakteristik pendidikan inklusi yang dapat dijadikan dasar layanan pendidikan bagi anak luar biasa. Karakteristik tersebut antara lain (Edi Purwanta, 2002) :

a. Pendidikan inklusi berusaha menempatkan anak dalam keterbatasan lingkungan seminimal mungkin, sehingga ia mampu berinteraksi langsung dengan lingkungan sebayanya atau bahkan masyarakat disekitarnya.

b. Pendidikan inklusi memandang anak bukan karena kecacatannya, tetapi menganggap mereka sebagai anak yang memiliki kebutuhan khusus untuk memperoleh perlakuan yang optimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak.

c. Pendidikan inklusi lebih mementingkan pembauran bersama-sama anak lain seusianya dalam sekolah reguler.

d. Pendidikan inklusi menuntut pembelajaran secara individual, walaupun pembelajarannya dilaksanakan secara klasikal. Proses belajar lebih bersifat kebersamaan daripada persaingan.


(61)

5. Dampak pendidikan inklusi

Menurut Staub dan Peck (Edi Purwanta, 2002) setidaknya ada lima kelebihan yang berhasil diidentifikasi antara lain:

a. Berkurangnya rasa takut akan perbedaan individual dan semakin besarnya rasa percaya dan peduli pada anak luar biasa.

b. Peningkatan konsep diri baik pada anak luar biasa maupun pada anak normal. Hal ini diakibatkan dari pergaulan yang terjadi sehingga menjadikan keduanya saling toleran

c. Perkembangan kognisi sosial semakin berkembang diantara keduanya. Mereka dapat saling membantu satu dengan yang lain sehingga mendorong pertumbuhan sikap sosial, yang pada gilirannya akan menumbuhkan kognisis sosial.

d. Pertumbuhan prinsip-prinsip pribadi menjadi lebih baik, terutama dalam komitmen moral pribadi dan etika. Mereka saling tidak curiga dan merasa saling membutuhkan.

e. Persahabatan yang erat dan saling membutuhkan. Mereka merasa saling membutuhkan untuk sharing dalam berbagai hal.

Dalam pendidikan inklusi tentunya juga akan ditemui beberapa kekurangan di dalamnya seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

a. untuk dapat disebut sebagai sekolah inklusi dibutuhkan sarana dan prasarana yang dapat mengakses kebutuhan individual anak yang tidak


(62)

gampang dipenuhi oleh sekolah yang telah menyatakan diri sebagai sekolah inklusi.

b. Untuk dapat disebut sebagai sekolah inklusi yang sebenarnya juga dibutuhkan tenaga pendidik dan tenaga non pendidik (seperti dokter, psikolog, konselor, dan sebagainya) yang tidak serta-merta dapat dipenuhi oleh sekolah yang memproklamirkan diri sebagai sekolah inklusi.

c. Meskipun disebut sebagai sekolah Inklusi yang secara teoritis bisa menerima semua anak tanpa memandang normal atau tidak normal, namun dalam praktik di lapangan sekolah inklusi biasanya hanya menerima anak cacat yang berkategori ringan, bukan yang berkategori sedang atau berat.

6. Model pendidikan inklusi di Indonesia

Menurut Ashman (Syafrida Elisa dan Aryanti Tri Wrastari, 2013) pendidikan inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut: a. Kelas reguler (inklusi penuh) adalah model dimana anak berkebutuhan

khusus belajar bersama anak non-berkebutuhan khusus sepanjang hari di kelas reguler dengan kurikulum yang sama.

b. Kelas reguler dengan cluster, adalah model dimana anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non-berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus.


(63)

c. Kelas reguler dengan pull out adalah model dimana anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non-berkebutuhan khusus di kelas reguler namun pada waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruangan lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

d. Kelas reguler dengan cluster dan pull out adalah model dimana anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non-berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus dan waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruangan lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

e. Kelas berkebutuhan khusus dengan berbagai pengintegrasian adalah model dimana anak berkebutuhan khusus belajar dalam satu ruangan khusus pada sekolah-sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler. f. Kelas khusus penuh adalah sebuah model dimana anak berkebutuhan

khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

D. Tugas Perkembangan Usia SD (Kanak-Kanak Akhir)

Pada tahap tugas perkembangan kanak-kanak akhir, anak sudah semakin luas lingkungan pergaulannya. Anak sudah banyak bergaul dengan orang-orang di luar rumah, yaitu dengan teman bermain di sekitar rumah, teman sekolah maupun masyarakat. Hal ini diharapkan agar anak menguasai


(64)

dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya dan diterima baik oleh lingkungannya (Rita Eka Izzaty, dkk. 2008 : 103)

Adapun tugas-tugas perkembangan pada masa kanak-kanak akhir adalah :

a. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain b. Mengembangan sikap yang sehat mengenai diri sendiri c. Berlajar bergaul dengan teman sebaya

d. Mulai mengembangkan peran sosial menurut gender

e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, berhitung

f. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari

g. Mengembangkan kata batin, moral dan skala nilai

h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga i. Mencapai kebebasan pribadi.

Jika di tugas perkembangan sebelumnya keberhasilan dalam menyelesaikan tugas perkembangan banyak ditentukan oleh lingkungan keluarga, orang tua dan orang-orang dekat dalam keluarga, kini guru di sekolah memiliki andil yang besar dalam membantu siswa untuk menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik. Hal ini mengandung arti bahwa lingkungan keluarga, sekolah dan bahkan lingkungan teman sebayanya secara bersama-sama akan mewarnai penyelesian tugas perkembangan anak.


(65)

Mengacu pada prinsip perkembangan individu yang menekankan bahwa tiap-tiap individu mempunyai tempo dan irama yang berbeda-beda di dalam perkembangannya, ada yang cepat ada yang lambat, namun individu tersebut masih mengikuti garis perkembangan yang umum (Rita Eka Izzaty, dkk. 2008: 48-49)

Pembeda dari tugas perkembangan kanak-kanak akhir yang normal dengan anak yang berkebutuhan khusus pada dasarnya terletak pada waktunya. Tugas perkembangan anak normal relatif sama dengan usianya, sedangkan untuk anak berkebutuhan khusus memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai tugas perkembangannya yang disebabkan oleh gangguan-gangguan dan kelainan yang terdapat pada anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan perbedaan waktu inilah diperlukan adanya intervensi terhadap anak berkebutuhan khusus yang bertujuan membantu anak berkebutuhan khusus mencapai tugas perkembangnnya.

E. Bimbingan Konseling Pribadi dan Sosial

Bimbingan pribadi sosial menurut Abu Ahmadi (2002:109) adalah seperangkat usaha bantuan kepada peserta didik agar dapat menghadapi sendiri masalahmasalah pribadi dan sosial yang dialaminya, mengadakan penyesuaianpribadi dan sosial, memilih kelompok sosial, memilih jenis-jeniskegiatan sosial dan kegiatan rekreatif yang bernilai guna, serta berdaya upaya


(66)

sendiri dalam memecahkan masalah-masalah pribadi, rekreasi dan sosial yang dialaminya.

Syamsu Yusuf (2004: 11), menyatakan bahwa bimbingan sosial-pribadi adalah bimbingan untuk membantu para individu dalam memecahkan masalah-masalah sosial-pribadi. Yang tergolong dalam masalah-masalah-masalah-masalah sosial-pribadi adalah masalah hubungan dengan sesama teman, dengan dosen, serta staf, permasalahan sifat dan kemampuan diri, penyesuaian diri dengan lingkungan pendidikan dan masyarakat tempat mereka tinggal dan penyelesaian konflik.

Merujuk pada pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bimbingan pribadi sosial merupakan suatu bimbingan yang diberikan oleh seorang konselor kepada individu atau sekumpulan individu (siswa), dalam membantu individu mencegah, menghadapi dan memecahkan masalah-masalah pribadi dan sosial, seperti penyesuaian diri dengan lingkungan, penyelesaian konflik serta pergaulan.

Tujuan dari layanan bimbingan pribadi sosial adalah membantu siswa untuk dapat mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mampu memahami dan menerima kelebihan dan kekurangan diri, bersikap respek terhadap sesama dan diri sendiri, memiliki kemampuan melakukan pilihan yang sehat, mengambil keputusan secara efektif, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki kemampuan berinteraksi sosial dan dapat menyelesaikan konflik pribadi maupun sosial.


(67)

F. Bimbinga Konseling Berkebutuhan Khusus

Menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:99) merumuskan arti bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Menurut Rahman Natawijaya, mengertikan Bimbingan adalah sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan supaya individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya. Bimbingan membantu individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai mahluk sosial.

Robinson mengartikan konseling semua bentuk hubungan antara dua orang dimana yang seorang, yaitu konseli dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Suasana hubungan konseling ini meliputi penggunaan wawancara untuk memperoleh dan memberikan berbagai informasi, melatih atau mengajar, meningkatkan kematangan, memberikan bantuan melalui pengambilan keputusan dan usaha-usaha penyembuhan (terapi).


(68)

ASCA (American School Counselor Association) mengemukakan bahwa, konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli, konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu konseli mengatasi masalah-masalahnya.

Berdasarkan pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa bimbingan konseling berkebutuhan khusus adalah upaya batuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli agar konseli tersebut dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda dengan dirinya serta mereka mampu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus tersebut.

G. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Andini Kusuma Wahyuni tahun 2012 yang berjudul “Pelaksanaan Pembelajaran bagi Anak Tunalaras di SD Inklusi Bangunrejo II Yogyakarta”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi pelaksanaan pendidikan inklusi yang terealisasikan pada kegiatan pembelajaran pada umumnya di sekolah dasar inklusi masih belum optimal dan belum berjalan sesuai prinsip pendidikan inklusi itu sendiri. Pendidikan inklusi hendaknya menjadi fasilitator untuk semua siswanya terutama pada siswa berkebutuhan khusus. Guru kelas maupun guru pendamping hendakny


(69)

mengetahui tugas dan peran masing-masing, sehingga dapat berkolaborasi menciptakan lingkungan pembelajaran yang ramah dan fungsional.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Kornelia Tantri Y. tahun 2012 yang berjudul “Penyesuaian Diri Mahasiswa Kalimantan Barat (Dayak Kanayatn) terhadap Budaya Yogyakarta”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya Kalimantan dengan budaya Yogyakarta sehingga mahasiswa asal Kalimantan harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan budaya Yogyakarta. Keterbatasan dalam hal berinteraksi dan bersosialisasi oleh sebagian mahasiswa Dayak Kanayatn terhadap warga sekitar sebagai akibat dari adanya asrama kedaerahan menjadi latarbelakang terhambatnya beberapa proses penyesuaian diri.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Fibriana Anjaryati tahun 2011 yang berjudul “Pendidikan Inklusi dalam Pembelajaran Beyond Centers and Circle Times (BCCT) di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh komitmen guru yang menjalankan pendidikan inklusi serta perkembangan anak yang non-normatif atau berkelainan. Guru dituntut untuk dapat mengenali setiap ciri masalah dalam perkembangan diri anak yang berkelainan, sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat terhadap masalah tersebut sesuai kapasitas sebagai guru.


(70)

H. Paradigma Penelitian

Penyelenggaraan sekolah inklusi semakain berkembang dan mendapat dudkungan masyarakat Indonesia sebagai model pendidikan non-segregasi terhadap anak berkebutuhan khusus. Sekolah inklusi diwajibkan menerima anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses pendidikan formal di sekolah bersama dengan anak normal lainnya. Penyelenggaraan sekolah inklusi bukan berarti tanpa masalah. masalah yang muncul di sekolah inklusi kebanyakan disebabkan oleh kekurangsiapan sumber daya manusia yaitu guru sebagai pihak yang terlibat langsung yang berlatarbelakang dari pendidikan umum (non-PLB).

Keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah yang menempuh pendidikan bersama anak normal tentu menyebabkan suasana di sekolah menjadi berbeda pula. Perbedaan itulah yang sering juga menimbulkan permasalahan yakni bullying baik secara verbal maupun fisik yang dilakukan anak normal terhadap temannya yang berkebutuha khusus. Masalah lain yang muncul adalah kurangnya pendampingan dari guru pendamping khusus yang seharusnya secara rutin sesuai jadwal melakukan pendampingan terhadap anak berkebutuhan khusus.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat fakta menarik tentang penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi. Menyadari fenomena ini, peneliti ingin mendeskripsikan bagaimana penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di SDN Inklusi Pulutan Wetan II. Penyesuaian diri tersebut


(71)

terangkum dalam aspek penyesuaian diri pribadi, penyesuaian sosial, dan reaksi penyesuaian diri.

I. Pertanyaan penelitian

Berdasarkan fokus penelitian dan paradigma penelitian, dapat dikembangkan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana peran kognitif dalam penyesuian diri ABK? b. Bagaimana peran afektif dalam penyesuaian diri ABK?

c. Bagaimana interaksi sosial yang terjalian antara subjek (ABK) dengan teman sebaya, guru, dan masyarakat sekolah?

d. Bagaimana partisipasi sosial subjek di sekolah?

e. Apa reaksi penyesuaian diri yang ditunjukkan oleh subjek?

f. Bagaimana penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di SDN Pulutan Wetan II


(72)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang berjudul “Penyesuaian Diri Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Inklusi di SDN II Pulutan Wetan” ini menggunakan pendekatan kualitatif desain fenomenologis. Menurut Burhan Bungin (2006: 49) penelitian Kualitatif bersifat fleksibel, luwes dan terbuka kemungkinan bagi suatu perubahan penyesuaian-penyesuaian ketika proses penelitian berjalan manakala ditemukan fakta yaang lebih mendasar, menarik, unik, dan bermakna di lapangan.

Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007: 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dari individu tersebut secara holistik (utuh). Penelitian kualitatif yaitu pendekatan penelitian dimana data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Data-data tersebut dapat diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, dokumentasi pribadi, catatan atau memo dan dokumentasi lainnya (Lexy. J. Moleong, 2005:4).

Metode ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan. Informasi yang dikumpulkan dengan metode ini menjadi bahan data yang nantinya dapat diolah sesuai dengan


(73)

permasalahan yang diteliti. Menurut Nasution (2003: 5) penelitian kualitatif adalah mengamati orang dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan pendapat mereka tentang dunia sekitar,

Berkaitan dengan apa yang dikemukakan di atas maka alasan menggunakan penelitian kualitatif adalah ingin mengungkapkan fenomena atau keadaan tertentu serta memaknainya sehingga mengungkapkan fakta tentang penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di SDN II Pulutan Wetan. Data yang diambil berasal dari catatan observasi yang dilakukan di lapangan dan wawancara terhadap siswa berkebutuhan khusus di SDN II Pulutan Wetan serta key informan yang terdiri dari guru SDN II Pulutan Wetan, guru pendamping (PLB), teman sebaya, karyawan sekolah, dan penjaga kantin.

B. Setting Penelitian

Setting penelitian ini dilakukan di SDN II Pulutan Wetan yang berlokasi di Jalan Tiken, Pulutan Wetan, Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri. SDN II Pulutan Wetan dipilih sebagai setting penelitian karena terdapat peserta didik berkebutuhan khusus yang mengenyam pendidikan formal di sekolah tersebut. Selain itu peserta didik berkebutuhan khusus yang ada di sekolah ini sering menjadi objek bullying oleh teman-teman nya. Di sekolah ini pun guru pendamping yang berasal dari latar belakang pendidikan luar biasa juga jarang hadir dan memberikan pendampingan. Kondisi yang sudah digambarkan diatas ini akan diteliti bagaimana penyesuaian diri pada aspek psikologis dan sosial pada


(74)

peserta didik berkebutuhan khusus yang sedang menempuh pendidikan formal di sekolah tersebut. Berikut kondisi profil SDN II Pulutan Wetan yang menjadi setting dalam penelitian ini : SDN II Pulutan Wetan didirikan pada tahun 1962 dan pada tahun yang sama sudah dimulai kegiatan belajar mengajar aktif. SDN II Pulutan Wetan menjadi sekolah Inklusi pada tahun 2010 dengan Surat Keputusan (SK) yang diturunkan dari dinas pendidikan pada tahun tersebut yang menyatakan bahwa SDN II Pulutan Wetan menjadi sekolah inklusi. Jumlah peserta didik inklusi yang ada di SDN II Pulutan Wetan berjumlah 13 anak dengan kriteria masuk ke dalam kategori 2 anak tuna grahita ringan, 3 anak tuna grahita sedang dan 8 anak berkesulitan belajar.

C. Subjek Penelitian

Dalam Penelitian ini, pemilihan subjek adalah berdasarkan kriteria dan pertiimbangan tertentu. Adapun karekteristik subjek dalam penelitian ini adalah : 1. Merupakan peserta didik berkebutuhan khusus yang menempuh pendidikan

formal di SD Inklusi..

2. Berada minimal pada strata atau kelas 3. Peneliti memilih subjek kelas 3 ke atas berdasarkan pertimbangan peserta didik tersebut sudah dapat dilihat penyesuain dirinya di sekolah dimulai sejak awal masuk di sekolah tersebut sampai saat ini.

Berdasarkan karakteristik pemilihan subjek yang ditetapkan dan hasil observasi diperoleh tujuh orang siswa berkebutuhan khusus yang menempuh


(1)

Lampiran 5


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)