BAPPEDA Sumbar

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan Daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, maupun peningkatan indeks pembangunan manusia. Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah secara efektif dan efisien diperlukan perencanaan pembangunan daerah.

Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu. Sesuai Amanat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), dinyatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun, dan RPJMD merupakan bagian yang terintegrasi dengan RPJPD, yang mengindikasikan bahwa penyusunan RPJMD hendaknya selaras dan berkelanjutan untuk mencapai visi dan misi RPJPD.

Mempedomani Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2025, visi RPJPD Provinsi Sumatera Barat adalah: “Menjadi Provinsi Terkemuka Berbasis Sumberdaya Manusia Yang Agamais Pada Tahun 2025”. Untuk dapat mewujudkan visi, misi dan arah pembangunan jangka panjang Provinsi Sumatera Barat 2005-2025 secara bertahap, jelas dan kongkrit diperlukan pentahapan pembangunan daerah dan skala prioritas untuk masing-masing periode 5 (lima) tahunan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

RPJMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2015-2020 ( Tahap III dari RPJPD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2025) merupakan kesinambungan dari pembangunan lima tahun sebelumnya dengan arah pembangunan dan skala prioritas pembangunan ditujukan pada pemantapan landasan pembangunan secara menyeluruh dengan penekanan kepada peningkatan daya saing produk dan hubungan


(2)

2

regional terutama dengan provinsi tetangga, dengan meningkatkan produktivitas, kualitas produk dan efisiensi usaha dengan menggunakan teknologi maju sehingga kesejahteraan masyarakat semakin membaik, mengembangkan sektor pariwisata dan industri kecil lainnya. Untuk mewujudkan harapan tersebut maka dalam penyusunan RPJMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2015-2020 berdasarkan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan teknokratis, politis, partisipatif serta top down dan bottom up.

Pendekatan teknokratis dalam perencanaan pembangunan daerah menggunakan metoda dan kerangka berpikir ilmiah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Metoda dan kerangka berpikir ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis terkait perencanaan pembangunan berdasarkan bukti fisis, data dan informasi yang akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan. Dalam upaya untuk melaksanakan penyusunan dokumen perencanaan jangka menengah dengan pendekatan teknokratik, maka pada Tahun 2014 dilaksanakan kegiatan Studi Pendahuluan (Background Study) RPJMD 2015-2020. Pendekatan teknokratik dengan menggunakan metoda dan kerangka berpikir ilmiah antara lain digunakan untuk:

a. Mengumpulkan data dan informasi kondisi saat ini, yang merupakan review terhadap hasil evaluasi, meliputi aspek geografi dan demografi, aspek kesejahteraan masyarakat, aspek pelayanan umum dan aspek daya saing daerah;

b. Merumuskan peluang dan tantangan yang mempengaruhi capaian sasaran pembangunan daerah;

c. Merumuskan permasalahan dan isu-isu strategis pembangunan daerah Provinsi Sumatera Barat;

d. Merumuskan tujuan, sasaran, strategi, dan implikasi kebijakan pembangunan daerah;

e. Merumuskan kriteria untuk dapat memunculkan program-program yang diprioritaskan, menyusun prioritas program dan indikator; f. Memproyeksikan kemampuan keuangan daerah dan sumber daya

lainnya berdasarkan perkembangan kondisi makro ekonomi.

1.2. Maksud Dan Tujuan 1.2.1. Maksud

Maksud dari pelaksanaan penyusunan Background Study RPJMD Tahun 2015-2020 adalah menyiapkan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik sebagai langkah awal dalam tahapan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahap III 2015-2020 dari RPJPD Tahun 2005-2025.


(3)

3

1.2.2. Tujuan

1. Mengumpulkan data dan informasi kondisi saat ini, yang merupakan review terhadap hasil evaluasi, meliputi aspek geografi dan demografi, aspek kesejahteraan masyarakat, aspek pelayanan umum dan aspek daya saing daerah;

2. Merumuskan permasalahan dan isu-isu strategis pembangunan daerah Provinsi Sumatera Barat.

3. Merumuskan tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan pembangunan daerah Provinsi Sumatera Barat;

4. Memproyeksikan kemampuan keuangan daerah dan sumber daya lainnya berdasarkan perkembangan kondisi makro ekonomi; 5. Merumuskan kriteria untuk dapat memunculkan program-program

yang diprioritaskan, menyusun prioritas program dan indikator. 1.3. Keluaran

Keluaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan kegiatan penyusunan Background Study RPJMD Tahun 2015-2020 adalah potret kekinian Provinsi Sumatera Barat dan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahap III dari RPJPD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2025 atau RPJMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2015-2020 meliputi:

1. Tersedianya data dan informasi kondisi saat ini yang merupakan review terhadap hasil evaluasi;

2. Tersedianya rumusan permasalahan dan isu-isu strategis;

3. Tersedianya rumusan tujuan, sasaran, strategi dan implikasi kebijakan pembangunan daerah;

4. Tersedianya kriteria untuk dapat memunculkan program-program yang diprioritaskan, menyusun prioritas program dan indikator; 5. Tersedianya proyeksi kemampuan keuangan daerah dan sumber

daya lainnya berdasarkan perkembangan kondisi makro ekonomi.

1.4.Manfaat

Manfaat utama yang diharapkan dapat diperoleh dari pelaksanaan kegiatan penyusunan Background Study RPJMD Tahun 2015-2020 adalah sebagai bahan acuan secara teknokratik dari rencana pembangunan daerah Provinsi Sumatera Barat lima tahun ke depan (RPJMD Tahun 2015-2020).

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penyusunan Backgroun Study RPJMD Tahun 2015-2020 meliputi:


(4)

4

1. Review terhadap hasil evaluasi RPJMD Tahap II (kondisi saat ini); 2. Merumuskan permasalahan dan isu-isu strategis;

3. Merumuskan tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan pembangunan daerah;

4. Mereview dan memproyeksikan kemampuan keuangan daerah dan sumber daya lainnya;

6. Merumuskan kriteria untuk dapat memunculkan program-program yang diprioritaskan;

7. Merumuskan prioritas program dan indikator. 1.6. Metodologi

1.6.1. Jenis Studi

Background studi RPJMD ini merupakan sebuah studi deskriptif yang menggambarkan profil pembangunan Provinsi Sumatera Barat saat ini. Selain itu, sampai batas tertentu, studi ini juga termasuk studi eksploratif karena menggali potensi sumberdaya dan mengidentifikasi peluang pembangunan yang dapat diraih dalam lima tahun kedepan, dengan mengurangi kelemahan dan mengatasi tantangan yang dihadapi Sumbar selama ini. Sesuai tujuannya, hasil studi ini akan menjadi landasan pertimbangan atau basis pemikiran bagi semua stakeholders terutama pemerintah untuk mewujudkan tujuan pembangunan Sumatera Barat dalam lima tahun mendatang melalui RPJMD tahap III, sebagai rangkaian RPJP Daerah periode 2005-2025. Studi deskriptif yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif, sehingga diperoleh informasi yang lebih baik tentang pokok permasalahan guna menemukan pemecahan masalah pembangunan yang dialami Sumatera Barat, sehingga dapat mengantarkan Sumatera Barat ke era peningkatan daya saing daerah selama lima tahun mendatang

1.6.2. Data dan Sumber Data

Sesuai dengan jenis studi yang dipilih, maka data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber pertama, yakni dari informan kunci yang berasal dari SKPD lingkup Provinsi, Kab/Kota dan pelaku pembangunan (stakeholder) terkait lainnya, yaitu Ninik Mamak, Bundo Kanduang, Cerdik Pandai, Perguruan Tinggi, Pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat, Media Massa, yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Data sekunder dalam studi ini berupa data yang terdokumentasi baik berupa laporan, hasil studi, maupun dokumen rencana. Sumber data sekunder diperoleh dari dokumen Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD), Midterm Review RPJMD 2010-2015, Rencana Aksi Daerah


(5)

(RAD)-5

Gas dan Rumah Kaca (GRK), RAD-Lingkungan Hidup (LH), RAD-Millenium Development Goals (MDGs), RAD-Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah (ABSSBK), Masterplan Infrastruktur, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Sumatera Barat (MP3ESB), Roadmap Penguatan SIDa, dan dokumen lainnya dari SKPD terkait.

1.6.3. Teknik Pengumpulan Data dan Informasi

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan 5 cara, yaitu: 1) Review dokumen,

2) Focus Group Discussion (FGD), 3) Indepth interview,

4) Studi kasus, 5) Konsinyering, 6) Lokakarya.

1.6.4. Metroda Analisis Data

Dua kombinasi analisis data yang digunakan, yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis content. Analisis statistic deskriptif berupa cross-tabulation (tabulasi silang) dilakukan terhadap data kuantitatif. Analisis

content dilakukan mengacu pada hasil review dokumen sehubungan dengan arah kebijakan pembangunan daerah.


(6)

6

Gambar 1.1

Bagan Alir Metoda dan Kerangka Pikir

Penyusunan Background Study RPJMD Tahun 2015 – 2020 1.7. Dasar Hukum

1. Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau menjadi Undang-Undang Jo Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1979;

2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ; 3. Undang-undang Nomor : 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

5. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

Pengumpulan Data

Data Sekunder5 Tahun Terakhir Data Primer

1. Dokumen Perencanaan (,RPJPD, RPJMN,RPJMD RTRW dan RTRW Provinsi lainnya , Dok.

Teknis)

2. Dukungan data dari SKPD/ Instansi/Lembaga terkait

Teknik Pengumpulan Data 1. Indepth Interview

2. FGD/Lokakarya (Terkait permasalahan, program,kebijakan, pendanaan, peluang dan hambatan, Isu-isu Strategis)

Analisis Data

Deskriptis Analitis (Kuantitatif dan Kulitatif) Review Hasil Evaluasi Kinerja

Review Hasil Evaluasi Kinerja RPJMD 2010- 2015Program dan Kegiatan>< Fakta Lapangan

Review HasilEvaluasi Kinerja Bidang Teknis (diluar RPJMD tetapi menjadi penentu program prioritas pembangunan kedepan

Telaah Dokumen Perencanaan

1. RPJPD Prov. Sumbar 2. Dokumen RTRW Provinsi &

RPJMD Provinsi Tetangga 3. Dokumen RPJMN 2015 –

2019

Isu-isi Strategis

- Bidang Teknis Lingkup Bidang Ekonomi

- Bidang Teknis Lingkup Bidang PWLH

- Bidang Teknis Lingkup Bidang Sosbud

Tujuan, Sasaran, Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

Daerah

Keuangan daerah

Rumusan Prioritas Program Pembangunan dan Indikator


(7)

7

6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

7. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ; 8. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 Tahun 2005

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

10. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;

11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;

12. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2008 tentang RPJPD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2025;

13. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012-2032 (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 79)

14. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 – 2015;

15. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014.

1.8. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab II KONDISI SAAT INI DAN ISU STRATEGIS 2.1. Kondisi Saat Ini

2.1.1. Sosial Budaya 1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Kemiskinan 4. Agama

5. Pemuda dan Olah Raga 6. Kebudayaan


(8)

8

7. Perpustakaan

8. Pemberdayaan perempuan dan anak

9. Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) 2.1.2. Ekonomi

1. Ekonomi Makro 2. Penanaman Modal 3. KUKM

4. Ketenagakerjaan 5. Pertanian

6. Kehutanan 7. Pariwisata

8. Kelautan dan Perikanan

9. Perindustrian dan Perdagangan 2.1.3. Infrastruktur

1. Sarana dan Prasarana Umum (Pekerjaan Umum) 2. Perumahan

3. Penataan Ruang 4. Transportasi 5. Kebencanaan

6. Komunikasi dan Informatika 2.1.4. Sumberdaya Alam

1. Lingkungan hidup

2. Energi dan Sumber Daya Mineral 3. Kehutanan

2.1.5. Pemerintahan

1. Perencanaan Pembangunan 2. Kependudukan dan catatan sipil

3. Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 4. Pemberdayaan masyarakat dan desa

5. Pertanahan 2.2. Isu-Isu Strategis 2.2.1. Sosial Budaya

1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Kemiskinan 4. Agama

5. Pemuda dan Olah Raga 6. Kebudayaan

7. Perpustakaan

8. Pemberdayaan perempuan dan anak


(9)

9

2.2.2. Ekonomi

1. Ekonomi Makro 2. Penanaman Modal 3. KUKM

4. Ketenagakerjaan 5. Pertanian

6. Pariwisata

7. Kelautan dan Perikanan 8. Perdagangan

9. Perindustrian dan Perdagangan 2.2.3. Infrastruktur

1. Sarana dan Prasarana Umum (Pekerjaan Umum) 2. Perumahan

3. Penataan Ruang 4. Transportasi 5. Kebencanaan

6. Komunikasi dan Informatika 2.2.4. Sumberdaya Alam

1. Lingkungan hidup

2. Energi dan Sumber Daya Mineral 3. Kehutanan

2.2.5. Pemerintahan

1. Perencanaan Pembangunan 2. Kependudukan dan catatan sipil

3. Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 4. Pemberdayaan masyarakat dan desa

5. Pertanahan

BAB III TAHAPAN, TUJUAN DAN SASARAN 3.1. Tahapan

3.2. Tujuan dan Sasaran 3.2.1 Sosial Budaya

1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Kemiskinan 4. Agama

5. Pemuda dan Olah Raga 6. Kebudayaan

7. Perpustakaan

8. Pemberdayaan perempuan dan anak


(10)

10

3.2.2. Ekonomi

1. Ekonomi Makro 2. Penanaman Modal 3. KUKM

4. Ketenagakerjaan 5. Pertanian

6. Pariwisata

7. Kelautan dan Perikanan 8. Perdagangan

9. Perindustrian 3.2.3. Infrastruktur

1. Sarana dan Prasarana Umum (Pekerjaan Umum) 2. Perumahan

3. Penataan Ruang 4. Transportasi 5. Kebencanaan

6. Komunikasi dan Informatika 3.2.4. Sumberdaya Alam

1. Lingkungan hidup

2. Energi dan Sumber Daya Mineral 3. Kehutanan

3.2.5. Pemerintahan

1. Perencanaan Pembangunan 2. Kependudukan dan catatan sipil

3. Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 4. Pemberdayaan masyarakat dan desa

5. Pertanahan

BAB IV STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Sosial Budaya

1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Kemiskinan 4. Agama

5. Pemuda dan Olah Raga 6. Kebudayaan

7. Perpustakaan

8. Pemberdayaan perempuan dan anak, Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga (KKBPK)

4.2. Ekonomi

1. Ekonomi Makro 2. Penanaman Modal


(11)

11

3. KUKM

4. Ketenagakerjaan 5. Pertanian

6. Pariwisata

7. Kelautan dan Perikanan 8. Perdagangan

9. Perindustrian 4.3. Infrastruktur

1. Sarana dan Prasarana Umum (Pekerjaan Umum) 2. Perumahan

3. Penataan Ruang 4. Transportasi 5. Kebencanaan

6. Komunikasi dan Informatika 4.4. Sumberdaya Alam

1. Lingkungan hidup

2. Energi dan Sumber Daya Mineral 3. Kehutanan

4.5. Pemerintahan

1. Perencanaan Pembangunan 2. Kependudukan dan catatan sipil

3. Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 4. Pemberdayaan masyarakat dan desa

5. Pertanahan

BAB V PRIORITAS PROGRAM PEMBANGUNAN 5.1 Kriteria Program Prioritas

5.2 Prioritas Program dan Indikator 5.2.1 Sosial Budaya

1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Kemiskinan 4. Agama

5. Pemuda dan Olah Raga 6. Kebudayaan

7. Perpustakaan

8. Pemberdayaan perempuan dan anak, Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga (KKBPK)

5.2.2. Ekonomi

1. Ekonomi Makro 2. Penanaman Modal


(12)

12

3. KUKM

4. Ketenagakerjaan 5. Pertanian

6. Pariwisata

7. Kelautan dan Perikanan 8. Perdagangan

9. Perindustrian 5.2.3. Infrastruktur

1. Sarana dan Prasarana Umum (Pekerjaan Umum) 2. Perumahan

3. Penataan Ruang 4. Transportasi 5. Kebencanaan

6. Komunikasi dan Informatika 6.2.4. Sumberdaya Alam

1. Lingkungan hidup

2. Energi dan Sumber Daya Mineral 3. Kehutanan

6.2.5. Pemerintahan

1. Perencanaan Pembangunan 2. Kependudukan dan catatan sipil

3. Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 4. Pemberdayaan masyarakat dan desa

5. Pertanahan

BAB VI Analisis Keuangan Daerah dan Kebutuhan Investasi Di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2015-2020.

Lampiran

 Matrik Isu Strategis, Tujuan, Sasaran, Strategi, Kebijakan, Program, Indikator


(13)

13

BAB II

KONDISI SAAT INI DAN ISU STRATEGIS

2.1. KONDISI SAAT INI 2.1.1. SOSIAL BUDAYA

1. PENDIDIKAN

a.

Angka Melek Huruf

Upaya pemerintah Sumatera Barat untuk meningkatkan angka melek huruf terus dilakukan.Tahun 2013 telah mampu mencapai hasil yang cukup menggembirakan, dibuktikan dengan rendahnya angka buta aksara dari jumlah penduduk di Sumatera Barat sebesar 4,486,909 orang (Sumatera Barat dalam Angka tahun 2013). Keberhasilan tersebut antara lain didukung terlaksananya program pendidikan non formal seperti adanya paket belajar A,B, dan C, dan kesadaran masyarakat yang cukup tinggi untuk meningkatkan pendidikannya. Hingga tahun 2013 angka jumlah penduduk yang buta aksara dari usia 10 tahun hingga 44 tahun di bawah 6%.Jumlah buta aksara yang cukup tinggi adalah masyarakat yang usianya 45 tahun ke atas (masih 15,24%). Pada usia ini minat untuk mengikuti pendidikan khusunya untuk belajar Paket A relatif rendah dengan berbagai alasan.

Mengingat lajunya pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat, maka upaya peningkatan jumlah penduduk melek huruf masih perlu diupayakan untuk masa yang akan datang. Berikut ini disajikan kondisi masyarakat yang masih mengalami buta aksara atau buta huruf.

Tabel 2.11

Penduduk yang belum melek huruf ( buta aksara) No Indikator Angka Buta Huruf Tahun (%)

2010 2011 2012 2013 1 Angka Buta Huruf10 th + 6.34 6.44 6.02 5.25 2 Angka Buta Huruf15 th + 7.09 7.19 6.75 5.86 3 Angka Buta Huruf15-44 th 1.71 2.3 2 1.61 4 Angka Buta Huruf45 th + 18.25 17.89 17.2 15.24

Sumber: BPS, Susenas 1994-2013.

Angka buta huruf terbanyak di Provinsi Sumatera Barat adalah di Kep. Mentawai sebanyak 5,43 diikuti Sijunjung 4,88 pada tahun 2013. Untuk angka penduduk buta huruf per kab/kota lihat tabel 2.


(14)

14

Tabel 2.2

Persentase Penduduk Berumur 15 - 64 Tahun ke Atas yang Buta Huruf Menurut Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota Tahun 2013 Kabupaten/Kota Laki-Laki Perempuan Jumlah Kabupaten

01. Kepulauan Mentawai 2,54 8,66 5,43

02. Pesisir Selatan 1,24 1,56 1,40

03. S o l o k 1,93 2,65 2,29

04. Sijunjung 2,90 6,82 4,88

05. Tanah Datar 1,38 2,12 1,76

06. Padang Pariaman 1,52 3,66 2,61

07. A g a m 0,50 1,27 0,89

08. Lima Puluh Kota 0,28 0,71 0,49

09. P a s a m a n 0,77 1,10 0,93

10. Solok Selatan 1,24 2,41 1,83

11. Dharmasraya 2,20 3,55 2,85

12. Pasaman Barat 1,89 3,00 2,44

Kota

71. P a d a n g 0,50 0,72 0,61

72. S o l o k 0,00 1,16 0,59

73. Sawahlunto 0,20 0,16 0,18

74. Padang Panjang 1,11 0,23 0,67

75. Bukittinggi 0,56 0,19 0,37

76. Payakumbuh 0,56 0,48 0,52

77. Pariaman 0,08 0,68 0,39

Jumlah 1,12 1,98 1,56

b.

Rata-Rata lama sekolah

Pada tahun 2013 rata-rata lama sekolah penduduk di Sumatera Barat baru mencapai 10,05 tahun, artinya setara dengan tingkat SLTP. Kenaikan rata-rata lama sekolah pertahun baru mencapai 0,9 s/d 0, 11 persen. Capaian ini lebih tinggi dari capaian rata-rata Lama sekolah untuk tingkat nasional (tahun 2008 baru mencapai 7.5) sedangkan tahun 2010 Sumatera Barat sudah mencapai 8,79. Faktor yang mendukung meningkatnya lama sekolah antara lain dapat ditekannya angka putus sekolah melalui bantuan dari berbagai lembaga seperti bantuan biaya sekolah dari BOS, dan lembaga Beasiswa lainnya. Berikut ini disajikan perkembangan capain lama sekolah dari tahun 2009 hingga tahun 2013.


(15)

15

Tabel 2.3

Kenaikan Rata-rata Lama Sekolah

No Indikator Capaian Tahun

2009 2010 2011 2012 2013 1 Angka rata-rata lama sekolah 8,45 8,79 8,57 8,60 8,63

Sumber: Bappeda Prop. Sumbar,2014.

c.

Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM)

Masalah pemerataan pendidikan ditinjau dari Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk kondisi Sumatera Barat cukup bervariasi. Untuk APK SD/MI/SDLB/PAKET A hingga tahun 2013 sudah

cukup tinggi yaitu 111,94 % kondisi ini lebih tinggi dari capaian tingkat nasional

yaitu 107,62%. Untuk tingkat APK SMP/M/SDLB/PAKET B Kondisi Pendidikan di Sumatera Barat sudah mencapai 92,96 ini juga lebih tinggi dari capaian nasional yaitu 89,71. Demikian pula halnya dengan APK tingkat APK SMA/SMK/MA/SMALB/PAKET C telah mencapai 86,75, sedangkan tingkat nasional adalah 68,01. Dalam hal ini menunjukkan bahwacapaian APK di Sumatera Barat untuk semua jenjang pendidikan telah melampaui target nasional.

Untuk APM umumnya juga lebih tinggi capaiannya dibandingkan dengan capaian tingkat nasional, kecuali untuk jenjang SD/MI/SDLB/PAKET A 94,46% sedangkan capaian tingkat nasional 95,47%. Capaian APM untuk APM SMP/M/SDLB/PAKET B 80,90 ini lebih tinggi dari target capaian nasional yaitu 73,56. Demikian pula halnya dengan APM SMA/SMK/MA/SMALB/ PAKET C yaitu 69,67, ini juga lebih tinggi daripada capaian tingkat nasional sebesar 53,74.

Pencapaian pada Rasio APM perempuan terhadap laki-laki di jenjang pendidikan SMP di tahun 2013 mencapai 110,16%, dan juga berada diatas rata-rata nasional yang sebesar 105.69%. Pencapaian pada indikator ini telah melebihi dari target yang ditetapkan di tahun 2015 sebesar 100%. Untuk pencapaian Rasio APM perempuan terhadap laki-laki di jenjang pendidikan SMA di tahun 2013 di Sumatera Barat sebesar 126,63, dan lebih tinggi daripada rata-rata nasional yang sebesar 100.66 ditahun yang sama, dan untuk pencapaian pada indikator Rasio APM perempuan terhadap laki-laki di Perguruan Tinggi di Sumatera Barat pada tahun 2013 sebesar 161,79, dan capaian ini lebih tinggi daripada rata-rata capaian nasional yang sebesar 109,73.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) berkembang dengan cepat, hal ini berdampak pada meningkatnya APK SD/MI/SDLB, pada tahun 2013telah mencapai 111,94 %. Tingginya angka APK ini ada beberapa kemungkinan faktor penyebabnya, seperti adanya sebagian anak (dilihat dari segi usia) mestinya belum waktunya masuk SD, tetapi kenyataannya


(16)

16

mereka sudah duduk di bangku sekolah SD. Hal ini terjadi karena anak sudah merasa bosan mengikuti pendidikan di PAUD dan kemampuannyasudah mendukung untuk masuk SD. Secara riil APM yang dicapai SD/MI/SDLB/PAKET A 94,46%. Angka APM lebih rendah karena APM ini adalah anak-anak yang berada di sekolah itu sesuai dengan usianya pada jenjang pendidikan tertentu. Untuk APK dan APM capaiannya memang sudah di atas capaian nasional, tetapi untuk Sumatera Barat masih sangat diperlukan upaya untuk meningkatkannya sampai batas optimal. Berikut ini disajikan data tentang APK dan APM secara lebih rinci.

Tabel 2.4

Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) No Indikator

Capaian Tahun

Pertum buhan Realisasi

2010 2011 2012 2013

Capaian Target Capaian Target Capaian Target Capaian

1 Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI/Paket A

112,54 118,48 111,91 119,98 111,94 120,44 115,80 0,97

2 Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/Paket B

98,31 98,92 92,96 100,42 93,51 101,92 103,52 1,95

3

Angka Partisipasi Kasar (APK)

SMA/SMK/MA/Paket C

83,92 84,33 67,42 84,75 86,75 85,16 95,30 6,29

1 Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/Paket A

99,67 99,67 94,46 99,75 94,49 100 99,54 0,05

2 Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs/Paket B

77,25 78,80 75,43 80,35 80,90 82,90 80,75 1,57

3

Angka Partisipasi Murni (APM)

SMA/SMK/MA/Paket C

55,50 62,50 50,34 67,5 69,67 72,5 71,96 10,80

Angka partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) selama 4 tahun terakhir mengalami kenaikan rata-rata 0,33% untuk semua jenjang pendidikan (SD; SLP; SLA). Kenaikan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (a) makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk masa depan anaknya; (b) upaya pemberian bantuan pemerintah (Propinsi, Kabupaten, Kota), memberikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu untuk biaya sekolah; (c) adanya bantuan dana BOS yang telah dikelola dengan baik oleh Pemerintah daerah (Pemda Propinsi Sumatera Barat pernah mendapatkan penghargaan atas suksesnya mengelola dana BOS tersebut); (d) terselenggaranya pelaksanaan pendidikan paket A, B dan C dengan baik oleh semua pihak yang terkait di Propinsi Sumatera Barat.

Tabel 2.5

APK APM kab/kota se Sumatera Barat

No. Kabupaten/ kota APK APM

SD SMP SMA/SMK SD SMP SMA/ SMK

1 Kabupaten Agam 103,96 95,15 84,07 96,62 81,46 70,70

2 Kabupaten Pasaman 108,47 75,22 51,52 93,60 59,09 39,08

3 Kabupaten Lima Puluh Kota 121,38 126,73 50,33 108,16 77,11 37,74

4 Kabupaten Solok 114,13 90,26 58,01 96,72 90,26 52,00


(17)

17

No. Kabupaten/ kota APK APM

SD SMP SMA/SMK SD SMP SMA/ SMK

Pariaman

6 Kabupaten Pesisir Selatan 123,48 99,60 75,02 98,94 99,60 70,11

7 Kabupaten Tanah Datar 104,00 91,28 74,62 94,71 72,52 61,92

8 Kabupaten Sijunjung 112,65 85,25 51,29 99,06 85,25 41,03

9 Kabupaten Kep. Mentawai

92,91 71,33 96,81 80,25 59,28 75,72

10 Kabupaten Solok Selatan

131,05 128,50 100,37 105,95 96,80 86,01

11 Kabupaten Dharmasraya

101,69 73,93 99,52 92,07 54,76 63,02

12 Kabupaten Pasaman Barat 108,41 100,77 73,78 99,99 94,46 69,68

13 Kota Bukittinggi 134,20 126,92 138,49 115,99 92,00 126,43

14 Kota Padang 120,00 103,43 83,25 100,00 65,99 75,00

15 Kota Padang Panjang 103,45 160,43 189,17 97,51 115,16 134,45

16 Kota Sawahlunto 115,98 101,99 78,57 101,08 71,66 74,41

17 Kota Solok 117,30 124,98 168,62 97,88 94,19 89,35

18 Kota Payakumbuh 134,85 123,32 134,60 119,28 104,46 102,62

19 Kota Pariaman 124,39 96,88 147,03 102,03 59,60 58,98

Sumatera Barat 108,64 96,65 86,49 94,15 75,58 67,33

d.

Angka Partisipasi Sekolah, Rasio Ketersediaan Sekolah dan Rasio Guru

Angka partisipasi sekolah menunjukkan perbandingan jumlah anak yang sekolah dengan jumlah anak usia sekolah, yang dihitung untuk pendidikan dasar, menengah selain itu juga perlu diketahui rasio ketersediaan sekolah/jumlah penduduk usia sekolah dan rasio guru/murid.

Upaya penguatan sumberdaya manusia terus dilakukan oleh pemerintah, salah satu cara yang ditempuh yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memberikan pendidikan anak sejak usia dini. Tabel berikut ini menggambarkan jumlah anak usia dini yang mengikuti pendidikan PAUD selama 5 tahun terakhir.

Tabel 2.6

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

No Indikator Capaian Tahun

2010 2011 2012 2013

1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

63,26 63,15 na na

Berdasarkan data pada tabel 7 diatas menunjukkan adanya penurunan jumlah anak usia dini yang mengikuti pendidikan non formal tersebut. Pada tahun 2009 berjumlah 61,91% anak yang mengikuti PAUD, namun pada tahun 2011 menurun menjadi 63,15%, meskipun penurunan tersebut tidak terlalu besar jumlahnya. Penurunan ini disebabkan populasi anak usia dini juga menurun berkat keberhasilan program Keluarga Berencana (KB).


(18)

18

Perkembangan aspek pendidikan dasar selama lima tahun menunjukkan adanya kecenderungan mengalami kenaikan, meskipun tidak terlalu drastis. Aspek pendidikan dasar ini meliputi angka partisipasi sekolah, rasio ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah, rasio guru/muridrata-rataperkelas. Gambaran secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tebel 2.7

Angka partisipasi sekolah, Rasio ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah, Rasio guru/murid rata-rata perkelas.

No Indikator Capaian Tahun

2010 2011 2012 2013

1 Angka partisipasi sekolah (BPS) 98,24 98,10 98,38 99,45

2 Rasio ketersediaan sekolah/penduduk

usia sekolah (D. Pendidikan)

0,36 0,49 0,50 0,53

Berdasarkan tabel 7 di atas menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (BPS) selama lima tahun mengalami kenaikaan rata-rata 0,09 %. Sesuai dengan data tersebut menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah capaiannya fluktuatif dan relatif kecil. Hal ini diperlukan strategi yang lebih efektif untuk meningkatkan BPS tersebut.

Untuk rasio ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah hingga tahun 2013 mencapai 0,53 rasio ini lebih besar dibanding rasio tahun 2009 yang hanya 0,41. Keberhasilan peningkatan ini didukung oleh perhatian pemerintah yang cukup besar untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan sesudah pasca gempa bumi tahun 2009. Dengan demikian perlu upaya untuk membangun sekolah-sekolah khususnya untuk pendidikan dasar.

Angka partisipasi sekolah (pendidikan menengah); Rasio ketersediaan sekolah terhadap penduduk usia sekolah; Rasio guru terhadap murid; dan Rasio guru terhadap murid rata-rata perkelas juga mengalami perubahan yang lebih baik. Data secara rinci disajikan pada tabel 8 berikut ini.

Tabel 2.8

Angka partisipasi sekolah (pendidikan menengah) Rasio ketersediaan sekolah terhadap penduduk usia sekolah, Rasio guru terhadap murid,

Rasio guru terhadap murid per kelas rata- rata

No Indikator Capaian Tahun

2010 2011 2012 2013

1 Angka partisipasi sekolah (APS) SMP 89,51 89,64 90,79 99,11

2 Angka partisipasi sekolah (APS) SMA 65,65 68,12 71,38 -

3 Rasio ketersediaan sekolah terhadap

penduduk usia sekolah (APS) 0,28 0,20 0,25 0,27

4 Rasio guru Bidang study terhadap murid 55 30 30 30

5 Rasio guru terhadap murid per kelas rata-


(19)

19

Angka partisipasi sekolah (APS) untuk tingkat SMP sesuai dengan data pada tabel 5 di atas cenderung mengalami perubahan kearah yang lebih baik lagi, untuk setiap tahunnya selama empat tahun (tahun 2009-2012). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan aspirasi pendidikan bagi masyarakat. Untuk tingkat SMA APS-nya lebih rendah dibanding tingkat SMP yaitu71,38 pada tahun 2012. Pada masa yang akan datang perlu ditingkatkan lagi hingga batas capaian maksimal, baik tingkat SMP maupun SMA.

Rasio guru terhadap murid per kelas rata-rata juga sesuai dengan target yang direncanakan dalam MDGs. Yaitu 1:25. Pertanyaan kembali muncul apakah rasio tersebut merata untuk setiap daerah?. Apabila sudah berarti cukup ideal untuk saat ini, dalam MDGs ditargetkan 1:20 untuk tahun 2015 dan selanjutnya.

e.

Sarana Pendidikan

Setiap tahun pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan fasilitas dan kondisi bangunan sekolah agar tetap layak untuk dipakai. Berikut ini data tentang kondisi bangunan untuk jenjang pendidikan SD/MI.

Tabel 2.9

Ruang kelas layak pakai jenjang pendidikan SD/MI

No Indikator Capaian Tahun

2010 2011 2012 2013

1 Sekolah pendidikan SD/MI kondisi bangunan baik

55,70 66,77 68,1 69,78

2 Sekolah pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA kondisi bangunan baik

90,58 70,00 75,42 85,38

Berdasarkan data pada tabel 9diatas menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun tentang kondisi bangunan yang layak pakai untuk tingkat SD/MI. Lain halnya kondisi bangunan untuk tingkat Sekolah pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA justru terjadi perubahan yang fluktuatif, pada tahun 2009 hingga 2010 bangunan yang layak diatas 90 %, namun tahun 2011 dan 2012 memprihatinkan hanya sekitar 70-75% dengan asumsi dana lebihdikonsentrasikan untuk membangun ruang kelas yang terkena gempa tahun 2009 sehingga rehabilitasi ruang kelas yang tidak gena gempa belum mendapatkan alokasi anggaran untuk direalisasikan.Untuk tahun 2013 ada peningkatan menjadi 85,38% jumlah bangunan yang layak pakai untuk pendidikan. Untuk masa yang akan datang perlu diupayakan agar jumlah bangunan sekolah yang layak pakai mencapai 100%. Peningkatan fasilitas pendidikan yang cukup baik ini didukung oleh perhatian/kebijakan pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana pembangunan yang mencukupi untuk perbaikan/pembangunan gedung sekolah.


(20)

20

f.

Angka Putus Sekolah dan Kelulusan

Jumlah anak yang mengalami putus sekolah ternyata tidak banyak, umumnya di bawah 1% untuk semua jenjang pendidikan. Jumlah yang cukup tinggi adalah siswa pada jenjang SMA/SMK/MA dibanding dengan tingkat SD dan SMP. Namun demikian sejak tahun 2011 hingga tahun 2013 dapat ditekan hingga 0,89%. Upaya ini perlu dilanjutkan agar tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi anak putus sekolah untuk semua jenjang pendidikan.

Tabel 2.10

Angka Putus Sekolah (APS) untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA

No Indikator Capaian Tahun

2010 2011 2012 2013

1 Angka Putus Sekolah (APS) SD/MI (%) 0,18 0,17 0,15 0,21

2 Angka Putus Sekolah (APS) SMP/MTs (%) 0,79 0,49 0,45 0,37

3 Angka Putus Sekolah (APS) SMA/SMK/MA (%) 1,97 0,87 0,88 0,89

Sumber : BPS Tahun 2014

Penurunan angka putus sekolah kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti keberhasilan Pemda menyalurkan/memanfaatkan dana BOS (dalam hal ini Pemda Propinsi Sumatera Barat pernah menerima penghargaan dari pemerintah Pusat); keberhasilan melaksanakan wajib belajar 9 tahun, meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, meningkatnya pembangunan infrastruktur sehingga mempermudah anak-anak untuk ke sekolah. Telah terjadi penurunan jumlah angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan SD dan SLTP rata-rata kurang dari 0,4%. Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (a) pemerintah telah berhasil melaksanakan wajib belajar 9 tahun, sebagai konsekuensinya siswa tidak dibebani biaya sekolah (gratis); (b) meningkatnya pembangunan infrastruktur yang berdampak pada kemudahan-kemudahan bagi siswa untuk akses kesekolah. Untuk jenjang pendidikan SLTA justru bertambah jumlah angka putus sekolah (meskipun kecil jumlahnya), kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti belum terlaksananya secara menyeluruh wajib belajar 12 tahun (karena masih dalam taraf rintisan untuk sekolah negeri) akibatnya orangtua siswa masih harus mananggung biaya pendidikan untuk sekolah anaknya, dan tidak semua orangtua mampu untuk itu.

Angka kelulusan untuk semua jenjang pendidikan selama lima tahun (tahun 2009-2013), cukup menggembirakan yaitu hampir semuanya di atas 95 %. Ini berkat upaya SKPD terkait yang serius meningkatkan jumlah siswa yang lulus Ujian Nasional. Peningkatan kelulusan tersebut seharusnya tidak hanya dari segi kuantitas, tetapi mestinya juga meningkat kualitasnya. Data selengkapnya disajikan dalam tabel 9 berikut ini.


(21)

21

Tabel 2.11

Angka Kelulusan (AL) SD/MI, Angka Kelulusan (AL) SMP/MTs, Angka Kelulusan (AL) SMA/SMK/MA

No Indikator Capaian Tahun

2010 2011 2012 2013

1 Angka Kelulusan (AL) SD/MI (%) 99,80 99,53 96,72 97,99

2 Angka Kelulusan (AL) SMP/MTs (%) 94,20 95,15 97,56 99,06

3 Angka Kelulusan (AL) SMA/SMK/MA (%) 98,77 95,25 90,60 85,39

Angka kelulusan untuk tingkat SD/MI selama lima tahun mendekati 100%, hal ini merupakan suatu prestasi yang sangat bagus. Upaya ini perlu ditingkatkan agar mencapai angka 100% untuk semua jenjang pendidikan. Demikian pula untuk tingkat SMP/MTs tidak jauh berbeda prestasinya dengan tingkat SD/MI, bahkan pada tahun 2013 hampir 100% angka kelulusannya. Untuk jenjang SMA/SMK/MA angka kelulusannya fluktuatif. Pada tahun 2010 meningkat dibanding tahun 2009 yaitu mencapai 98,77%, namun tiga tahun berikutnya mengalami penurunan jumlah kelulusan dan tahun 2013 hanya 85,39%, ini mengalami penurunan yang cukup drastis,disebabkan antara lain oleh adanya perubahan sistem pelaksanaan ujian (soal dibuat bervariasi); meningkatnya standar kelulusan menjadi 5,5 namun tidak disertai dengan kesiapan siswa yang memadai untuk itu.

g.

Angka Melanjutkan Pendidikan

Melihat data yang ada selama lima tahun (tahun 2009-2013) secara umum dapat dikemukanan bahwa angka melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi cukup baik, rata-rata di atas 90% bagi anak-anak usia sekolah melanjutkan pendidikannya. Berikut ini disajikan data tetang jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi

Tabel 2.12

Angka Melanjutkan (AM) dari SD/MI ke SMP/MTs, Angka Melanjutkan (AM) dari SMP/MTs ke SMA/SMK/MA

No Indikator Capaian Tahun

2010 2011 2012 2013 1 Angka Melanjutkan (AM) dari

SD/MI ke SMP/MTs

99,79 97,30 95,28 94,53 2 Angka Melanjutkan (AM) dari

SMP/MTs ke SMA/SMK/MA


(22)

22

Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa angka melanjutkan (AM) dari SD/MI ke SMP/MTs untuk tiga tahun terakhir (tahun 2011-2013) mengalami penurunan, meskipun relatif kecil dan masih diatas 90-an persen. Artinya masih cukup b90-anyak siswa y90-ang berusaha mel90-anjutk90-an pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Hal ini akan berkontribusi pada peningkatan lama sekolah bagi penduduk di Indonesia.

Angka Melanjutkan (AM) dari SMP/MTs ke SMA/SMK/MA juga mengalami perubahan untuk setiap tahunnya. Pada tahun 2009 mencapai 95,30% lalu mengalami penurunan yang cukup besar pada tahun 2011 yaitu 88,90%, namun naik lagi jumlahnya hingga tahun 2013 mencapai 99,13%, ini merupakan jumlah yang cukup besar. Meningkatnya angka melanjutkan ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kebijakan Pemda. Propinsi Sumatera Barat memberikan bantuan beasiswa, meningkatnya ekonomi masyarakat sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya; meningkatnya daya tampung sekolah (sekolah Negeri dan swasta) karena keberhasilan pembangunan fisik sekolah. Untuk masa yang akan datang perlu ditingkatkan hingga 100% sehingga lama sekolah bagi penduduk Indonesia lebih tinggi lagi. Hingga tahun 2013 sudah mencapai 10,05.

h.

Guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV

Upaya peningkatan jumlah guru yang berkualifikasi S1/D-IV terus diupayakan dengan memberikan bantuan biaya untuk melanjutkan studi bagi guru-guru yang belum S1/D-IV, bahkan hingga jenjang pendidikan S2 dan S3. Upaya tersebut cukup berhasil dengan ditandai naiknya jumlah guru yang berkualifikasi S1/D-IV terutama untuk guru SD. Percepatan peningkatan kualifikasi guru ini di samping adanya kebijakan secara nasional untuk standar pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, juga di dukung adanya pemberian bantuan biaya oleh Pemda Kabupaten/Kota serta adanya kemudahan untuk izin belajar dari pihak terkait. Data secara rinci disajikan pada tabel 13 berikut ini.

Tabel 2.13

Guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV

No Guru

Persentase Guru dengan Tingkat Pendidikan S1/D-IV

2010 2011 2012

1 Guru SD 20,00 31,59 31,80

2 Guru SMP 86,63 90,50 90,50

3 Guru SMA 91,01 92,61 92,61


(23)

23

i.

Indek Pembangunan Manusia Propinsi Sumatera Barat

Selama 4 tahun terakhir indek pembangunan manusia (IPM) di Propinsi Sumatera Barat mengalami kenaikan yang cukup berarti,disebabkan oleh beberapa faktor seperti (a) meningkatnya lama sekolah, (b) meningkatnya jumlah masyarakat yang melek huruf, dan (3) meningkatnya angka harapan hidup. Upaya pemerintah daerah memberikan bantuan kepada keluarga miskin untuk sekolah anaknya berkontribusi meningkatnya lama sekolah, upaya mengintensifkan paket belajar A, B, dan C berkontribusi pada menurunnya jumlah masyarakat yang buta aksara, dan pelayanan kesehatan yang makin baik, sosialisasi hidup sehat juga memberikan dampak pada meningkatnya angka harapan hidup masyarakat.

Kriteria IPM diukur atas dasar 3 aspek yaitu (1) hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran; (2) pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa dan kombinasi pendidikan dasar , menengah ; (3) standard kehidupan yang layak. Data lebih rinci dapat disampaikan pada tabel berikut ini.

Tabel 2.14

Indek Pembangunan Manusia Propinsi Sumatera Barat

No Indikator Capaian Tahun

2010 2011 2012 2013

1 Indek pembangunan Manusia (IPM) 73,78 74,24 74,70 75,01

Posisi IPM Propinsi Sumatera Barat yaitu 75,01, ternyata masih rendah dibanding dengan Propinsi Riau yaitu 77,25 dan Propinsi Sumatera Utara 75,55, namun lebih tinggi dibanding dengan Propinsi Bengkulu yaitu 74,41 dan Propinsi Jambi sebesar 74,35.

Untuk melihat sebaran IPM kab/kota se Sumatera Barat lihat Tabel berikut :

Tabel 2.15

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)menurut Kabupaten/Kota Tahun 1910-2013

Kabupaten / Kota 2010 2011 2012 2013

Kabupaten

01. Kep. Mentawai 68.75 69.06 69.26 69.72 02. Pesisir Selatan 71.15 71.77 72.43 72.98

03. S o l o k 70.93 71.73 72.15 72.46

04. Sijunjung 70.92 71.40 71.80 72.15

05.Tanah Datar 74.00 74.58 75.00 75.29

06. Padang Pariaman 71.45 71.98 72.53 72.93

07. A g a m 73.28 73.74 74.11 74.50

08. Lima Puluh Kota 71.22 71.78 72.24 72.54 09. P a s a m a n 72.71 73.19 73.78 74.10


(24)

24

Kabupaten / Kota 2010 2011 2012 2013

10. Solok Selatan 68.98 69.34 69.69 70.23

11. Dharmasraya 69.13 69.89 70.25 70.52

12. Pasaman Barat 70.18 70.62 71.07 71.39 Kota

1. P a d a n g 77.81 78.15 78.55 78.82

2. S o l o k 75.65 76.04 76.54 76.85

3. Sawahlunto 74.96 75.41 75.87 76.11

4. Padang Panjang 77.45 78.12 78.51 78.81

5. Bukittinggi 78.26 78.73 79.07 79.29

6. Payakumbuh 75.81 76.29 76.76 76.99

7. Pariaman 74.46 74.89 75.23 75.46

Sumatera Barat 73.78 74.28 74.70 75.01

Berdasarkan hasil evaluasi kinerja bidang pendidikan selama 4 tahun terakhir (2010-2013) dapat disimpulkan capauan kinerja berikut ini. a. Angka partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM)

selama 4 tahun terakhir mengalami kenaikan rata-rata 0,33% untuk semua jenjang pendidikan (SD; SLP; SLA). Kenaikan tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (a) makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk masa depan anaknya; (b) upaya pemeberian bantuan pemerintah (Propinsi, Kabupaten, Kota) memberikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu untuk biaya sekolah; (c) adanya bantuan dana BOS yang telah dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah (Pemda Provinsi Sumatera Barat pernah mendapatkan penghargaan atas suksesnya mengelola dana BOS tersebut).(d) terselenggaranya pelaksanaan pendidikan paket A, B,dan C oleh semua pihak yang terkait di Propinsi Sumatera Barat.

b. Telah terjadi penurunan jumlah angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan SD dan SLTP rata-rata kurang dari 0,4%. Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (a) pemerintah telah berhasil melaksanakan wajib belajar 9 tahun, sebagai konsekuensinya siswa tidak dibebani biaya sekolah (gratis); (b) meningkatnya pembangunan infrastruktur yang berdampak pada kemudahan-kemudahan bagi siswa untuk akses kesekolah. Untuk jenjang pendidikan SLTA justru bertambah jumlah angka putus sekolah (meskipun kecil jumlahnya), kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti belum terlaksananya secara menyeluruh wajib belajar 12 tahun (karena masih dalam taraf rintisan untuk sekolah negeri) akibatnya orangtua siswa masih harus mananggung biaya pendidikan untuk sekolah anaknya, dan tidak semua orangtua mampun untuk itu.


(25)

25

c. Angka kelulusan untuk siswa jenjang pendidikan SD dan jenjang pendidikan SLTP mengalami kenaikan hingga mencapai di atas 97%, namun untuk jenjang pendidikan SLTA justru mengalami penurunan dan kenaikan fluktuatif dan tahun 2013 hanya mencapai 85,39% tingkat kelulusannya. Penurunan jumlah kelulusan ini kemungkinan disebabkan oleh makin meningkatnya tuntutan angka kelulusan menjadi 5,5 namun tidak disertai kesiapan siswa menghadapi hal itu d. Jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP

mengalami penurunan/makin rendah, sedangkan untuk melanjutkan kejenjang SLTA jumlahnya makin meningkat (tahun 2013 hingga 99,13%).

e. Terjadi peningkatan jumlah guru untuk semua jenjang pendidikan yang telah memenuhi kualifikasi S1/DIV mengalami peningkatan. Hal ini didukung oleh perhatian pemerintah daerah yang banysk memberikan berbagai kemudahan bagi guru yang akan melanjutkan studinya.

f. Indek Pembangunan Manusia (IPM) mengalami peningkatan selama 4 tahun terakhir (2010-2013), kenaikan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti (a) meningkatnya lama sekolah, (b) meningkatnya jumlah masyarakat yang melek huruf, dan (3) meningkatnya angka harapan hidup. Upaya pemerintah daerah memberikan bantuan kepada keluarga miskin untuk sekolah anaknya berkontribusi meningkatnya lama sekolah, upaya mengintensifkan paket belajar A, B, dan C berkontribusi pada menurunnya jumlah masyarakat yang buta aksara, dan pelayanan kesehatan yang makin baik, sosialisasi hidup sehat juga memberikan dampak pada meningkatnya angka harapan hidup masyarakat.

Dari hasil evaluasi, studi literatur, studi lapangan, dan studi banding ke Provinsi tetangga (Propinsi: Riau, Jambi, Bengkulu, dan Medan), dapat diketahui peluang dan tantangan yang ada dalam bidang pendidikan sebagai berikut.

1. Peluang

a. Hingga saat ini Sumatera Barat masih dikenal oleh masyarakat di luar Sumatera Barat sebagai propinsi yang banyak menghasilkan cendekiawan berkaliber nasional bahkan internasional. Banyak negarawan yang berasal dari sumatera barat, kondisi ini menimbulkan kepercayaan bahwa Sumatera Barat dapat melahirkan SDM yang berkualitas dan mampu mengelola pendidikan dengan baik. Hal ini dibuktikan banyaknya orangtua dari luar Propinsi Sumatera Barat yang berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya di Kota Padang khususnya dan Sumatera Barat pada umumnya. Untuk tingkat perguruan tinggi


(26)

26

bahkan ada calon mahasiswa yang berasal dari nagara lain seperti Malaysia, Singapura, dll.

b. Banyak peminat yang ingin masuk pesantren tetapi di Sumatera Barat belum ada sekolah/pesantren yang dikelola secara modern, bahkan daerah Jambi, Bengkulu, Riau, dan Sumatera Utara Bagian Selatan juga belum ada sekolah pesantren yang terkenal, sehingga para peminat yang ingin masuk pesantren modern tersebut umumnya pergi ke daerah lain seperti ke Pulau Jawa. Ini merupakan peluang yang sangat besar bagi Pemerintah Sumatera Barat untuk menampung peminat tersebut.

c. Filosofis masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat) “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” diyakini oleh masyarakat luar Sumatera Barat bahwa nuansa ke-Islaman dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sangat tinggi, dengan demikian berdampak pada kepercayaan mereka akan rasa aman dan damai bilamana anaknya melanjutkan pendidikan di Sumatera Barat. Ditambah lagi masyarakat Minangkabau memiliki kekhususan budaya “Matrilinial” menjadi kajian khusus bagi yang ingin mendalami aspek budaya tersebut.

d. Pada tingkat perguruan tinggi Sumatera Barat memiliki program unggulan khususnya bidang kedokteran (UNAND), pada bidang tersebut kita ketahui bahwa calon mahasiswa/mahasiswi dari Malaysia jumlahnya cukup banyak. Bagaimana Pemerintah daerah Sumatera Barat berkontribusi dalam mengembangkan program-program unggulan itu sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya.

2. Tantangan

a. Belum semua sekolah/pesantren, dan perguruan tinggi, termasuk masyarakat umum, menyediakan fasilitas tempat tinggal yang memadai (representatif) bagi siswa/mahasiswa yang memerlukannya. Sekolah Boarding School (sekolah berasrama) di Sumatera Barat jumlahnya masih sangat terbatas, padahal sekolah ini dapat menyediakan fasilitas yang cukup memadai dan dikelola dengan sistem yang tentunya lebih baik dibanding sekolah yang bukanboarding school. Akibatnya masyarakat dari daerah/Propinsi di luar Sumatera Barat berkurang minatnya untuk menyekolahkan anaknya di daerah kita ini.


(27)

27

b. Lembaga pendidikan khususnya pesantren yang ada di Sumatera Barat ini, pada umumnya masih dikelola secara tradisional (belum semuanya dikelola secara modern), akibatnya cukup banyak masyarakat di Sumatera Barat dan propinsi lainnya di wilayah Sumatera menyekolahkan anaknya ke pesantren yang sudah maju dan dikalola dengan baik terutama di Pulau Jawa yang pendidikan/Pesantrennya dikelola secara lebih baik dan modern.

c. Kemajuan teknologi-informatika yang begitu cepat dan mudah diakses oleh masyarakat pada umumnya berdampak pada perilaku sebagian generasi muda, terjadi pergeseran nilai-nilai yang adakalanya bertentangan dengan norma dan adat-istiadat Minangkabau. Bilamana hal ini tidak diantisipasi secara bijaksana oleh pemerintah daerah Sumatera Barat, maka karakter generasi muda akan mengalami perubahan yang mengarah pada sifat-sifat yang melanggar norma dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau. Pendidikan kembali kesurau dan filosofis “adat basandi syarak, syarak basandi kitabulloh” hanyalah akan menjadi kata-kata indah belaka. Pendidikan karakter tidak bisa diserahkan kepada fihak sekolah saja, melainkan fihak keluarga memegang peranan yang amat penting, pendidikan usia dini merupakan salah satu alternatif yang tepat melalui jalur pendidikan non formal.

d. Sumber daya alam (SDA) yang ada di Sumatera Barat belum dikelola secara optimal, berdampak pada status ekonomi masyarakat tidak berkembang dan tidak merata seperti yang diharapkan, akibatnya masih cukup banyak anak-anak putus sekolah karena kekurangan biaya (meskipun biaya sekolah gratis), dan harus bekerja membantu orangtuanya.

Peta geografis daerah Sumatera Barat cukup luas dan infrastruktur belum dapat diwujudkan dengan baik dan merata, akibatnya masih terdapat sekolah-sekolah yang berada didaerah terpencil dan/atau terbelakang. Hal ini berdampak pada permasalahan pemerataan dan mutu pendidikan di Sumatera Barat

2. KESEHATAN

Berikut disampaikan kajian pencapaian target kinerja program bidang Kesehatan Provinsi Sumatera Barat sebagai unit pelaksana program pemerintah daerah untuk sektor kesehatan merujuk RPJMD dalam menyusun kebijakan dan program, serta kegiatan tahunan tahun 2010- 2014. Penilaian dilakukan dengan index antara target dan realisasi sebagai berikut.


(28)

28

Indek ≥ 1,00 = Klasifikasi A, Target RPJMD tahun 2010- 2013 terlampaui.

Sangat memuaskan, target perlu tetap ditingkatkan.

0,75≤Indek < 1,00 = Klasifikasi B, Target RPJMD tahun 2010- 2013 belum tercapai

(Perlu perhatian dan langkah peningkatan)

0,55< Indeks < 0,75 = Klasifikasi C, Target RPJMD tahun 2010- 2013 belum terpenuhi dan perlu perbaikan terhadap kinerja pencapaian target.

Indeks ≤ 0,55 = Klasifikasi D, Target RPJMD tahun 2010- 2013 masih jauh dari harapan, perlu penanganan dan tindakan khusus terhadap kinerja pencapaian target. Untuk lebih jelasnya mengenai indikator pencapaian derajat Kesehatan selama tahun 2010-2013 dapat dilihat pada Tabel berikut, Pencapaian Target Derajat Kesehatan Propinsi Sumatera Barat 2010-2013 Terhadap target Indikator Kinerja Target RPJMD tahun 2010- 2013.

Tabel 2.16

Target dan Realisasi capaian Indikator Utama Kesehatan tahun 2010 sampai 2013

INDIKATOR UTAMA TAHUN 2010

TAR GET

REA LI SASI INDEX

TAR GET

REALI SASI INDE

X TAR GET

REALI SASI

INDEX

2011 2012 2013

UmurHarapan Hidup (UHH) 69.5 71.12 69.76 0.98 71.48 70.02 0.98 71.84 70.02 0.97

Angka Kematian Ibu Melahirkan

(PER 100.000 KH) 207 190 212 0.88 166 212 0.72 142 212 0.51 Angka Kematian Bayi (PER 1000

KH) 28 22 28 0.73 27 27 1.00 18 27 0.50

Angka Gizi Kurang (BB/TB)

(padaBalita) % 8.2 8.2 8.2 1.00 7.8 7.2 1.08 7.4 6.5 1.12

Akses Air Minum yang berkualitas

(%) 46.68 64 65.02 1.02 65 72.81 1.12 66 78.7 1.19

Kasus baru Tuberculosis (%) 57.05 55 57.77 1.05 60 61 1.02 70 139.05 1.99

Kasus Malaria (Annual Paracite

Index-API)/1000pd 0.24 2 3 0.50 2 0.27 1.87 1 0.25 1.75

ODHA yang diobati (%) 100 90 100 1.11 93 100 1.08 95 100 1.05

Cakupan immunisasi bayi usia 0-11

bulan (%) 95.6 80 89 1.11 85 89 1.05 90 91 1.01

Penduduk menggunakan Jamban


(29)

29

INDIKATOR UTAMA TAHUN

2010 TAR GET

REA LI SASI INDEX

TAR GET

REALI SASI INDE

X TAR GET

REALI SASI

INDEX

2011 2012 2013

Jaminan pemeliharaan kesehatan

(%) 50.08 63.8 61.6 0.97 78.6 72.64 0.92 91.3 73.3 0.80

Bed Occupation Rate (BOR) 65.1 71 74.2 1.05 73 75.9 1.04 75 75.86 1.01

Total 11.41 12.87 12.92

INDEXRERATA/TAHUN 0.95 1.07 1.08

INDEX RERATA 1.03

Sumber : Evaluasi Makro Bidang Kesehatan 2014, Matrix Indikator pencapaian, dan Hasil analisa

Dari hasil Kompilasi data diperoleh indek rata-rata derajat Kesehatan Sumatera Barat secara keseluruhan sebesar 1.03 yang dikelompokkan terhadap Klasifikasi A, sangat memuaskan, dimana target rata-rata dapat dicapai.

Walaupun secara keseluruhan indek rata-rata dikelompokkan dalam klafisikasi sangat memuaskan, namun ada beberapa indikator ysang belum mencapai target dan masih perlu adanya upaya keras. Hal ini seperti terlihat pada tabel diatas, bahwa indikator angka kematian ibu (AKI) belum menunjukkan seperti yang diharapkan, yang mana AKI yang kondisinya pada tahun 2010 adalah 207/100.000 KH tetapi menunjukkan kenaikan yaitu 212/100.000 KH tahun 2011 sampai dengan tahun 2013. Walaupun capaian ini menurut SDKI tahun 2012 lebih baik dari rata-rata nasional (359/100.000 KH), namun jika dilihat dari target yang harus dicapai tahun 2015 (MDGs) adalah sebesar 102/100.000 KH tampaknya akan sulit tercapai. Permasalahan masih tingginya AKI tidak hanya disebabkan dari faktor medis seperti karena perdarahan, keracunan kehamilan dan infeksi pada masa nifas, tetapi juga disebabkan oleh faktor sosial budaya, kondisi pelayanan kesehatan dan akses pelayanan kesehatan, dan khususnyan didaerah pedesaan.

Dari faktor sosial budaya dapat dikemukakan bahwa kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan tenaga dan fasilitas kesehatan khususnya didaerah pedesaan belum optimal. Sebagian masyarakat khususnya didaerah pedesaan masih mempunyai perilaku, kebiasaan, tradisi dan kepercayaan masyarakat yang cenderung untuk memanfaatkan tenaga dukun beranak dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Kondisi ini terkait dengan masih kurang optimalnya upaya prefentif, promotif, dan pemberdayaan masyarakat, terutama didaerah terpencil. Permasalahan lainnya terkait dengan adanya disparitas akses pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak yang mencakup fasilitas, tenaga dan jaminan pelayanan kesehatan. Dari kondisi pelayanan kesehatan tampaknya kualitas pelayanan kesehatan dan kompetensi tenaga kesehatan belum sepenuhnya sesuai dengan standar pelayanan.


(30)

30

Jika dilihat dari indikator ODHA yang diobati memang sudah tercapai, namun jika dilihat dari target MDGs (6a) yaitu mengendalikan penyebaran dan menurunkan jumlah kasus baru masih perlu menjadi perhatian yang serius mengingat penyebaran kasus HIV/AIDS semakin meluas dan sangat mengkhawatirkan. Perkembangan kasus HIV/AIDS semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Permasalahan HIV/AIDS terkait dengan masih rendahnya pengetahuan atau informasi masyarakat tentang HIV/AIDS. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 bahwa proporsi penduduk usia 15 sampai dengan 24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Barat adalah sebesar 9%, sedangkan target tahun 2015 sebesar 100%. Faktor resiko penularan HIV/AIDS saat ini telah bergeser dari penggunaan jarum suntik ke perilaku seksual (sek bebas), baik dari hetero seksual maupun homo seksual). Disamping itu, permasalahan HIV/AIDS juga terkait dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan HIV/AIDS, dan hal ini terkait dengan adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS.

Indikator angka kematian bayi masih memiliki klasifikasi D, yaitu target RPJMD tahun 2010- 2013 masih jauh dari harapan, perlu penanganan dan tindakan khusus terhadap kinerja pencapaian target.

Permasalahan agka kematian Bayi tidak hanya di Provinsi Sumbar saja, permasalahan ini merupakan permasalahan nasional.Dimana Indonesia sulit mencapai angka target indikator yang telah ditetapkan dalam Millenium Development Goals. Yaitu mencapai target AKB 21 per 1000 kelahiran hidup.

Sebenarnya untuk pencapaian pada indikator Angka Kematian Bayi (AKB) per 1.000 kelahiran hidup di Sumatera Barat pada tahun 2012 sebesar 27 per 1.000 kelahiran hidup, dan capaian ini masih lebih baik dari rata-rata capaian nasional sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Namun di akhir tahun 2015, target yang ditetapkan sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup sehingga perlu upaya kerja keras dari semua pihak agar target di 2015 dapat tercapai.

Penetapan target dalam indikator kinerja sebaiknya juga turut mempertimbangkan hasil kinerja RPJMD periode sebelumnya, sehingga tidak melebihi kemampuan yang ditetapkan. Dari hasil kinerja bidang kesehatan 5 tahun sebelumnya menunjukkan prediksi penurunan angka kematian ibu pada tahun 2015 hanya bisa mencapai 181.6 /100.000 kelahiran hidup.Kecepatan laju penurunan per tahun, baru mencapai 2.64%.Artinya dalam 5 tahun kedepan hanya mampu menurunkan sekitar 13.2% saja.Sehingga target MDGs di Tahun 2015 untuk Sumatera Barat sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup dinilai cukup sulit untuk dicapai.

Analisa Pola Pembangunan Kesehatan berbasis wilayah, yang akan dinilai sebagai pola sebaran Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat


(31)

31

menurut IPM dan AKI. AKI merupakan indikator dari pelayanan kesehatan dan IPM sebagai indikator kinerja pemerintah dalam upaya mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera.

Penilaian pola ini akan dibagi menjadi 4 kuadran yang akan mengacu kepada Diagram Kartesius. Dimana terdiri atas 4 kuadran yang dimaknai sebagai berikut:

Kuadran A (attributes to improve) : kondisi kabupaten/kota, dimana IPM masih rendah dan AKI juga tinggi. Sehingga menjadi prioritas untuk perbaikan semua program agar IPM menjadi tinggi

Kuadran B (maintain performance) : merupakan kondisi kabupaten/kota, IPM sudah tinggi akan tetapi AKI masih tinggi, sehingga harus diperbaiki kinerja program pelayanan kesehatan

Kuadran C (attributes to maintain) : kondisi kabupaten/kota, walaupun AKI sudah rendah dan perlu dipertahankan, tapi IPM

masih rendah yang

menunjukkan daerah tersebut belum sejahtera. Berarti rogram diluar bidang kesehatan secara menyeluruh perlu diperbaiki Kuadran D (main priority) : kondisi ini merupakan kondisi

yang diinginkan dimana IPM Tinggi dan AKI rendah


(32)

32

IPM A K I 80 78 76 74 72 70 400 300 200 100 0 73.68 226

Kabupaten Padang Pariaman

Kabupaten A gam Kabupaten Solok Selatan

Kabupaten 50 Kota Kabupaten Solok

Kabupaten Sijunjung

Kabupaten Mentawai Kabupaten Pesisir Selatan

Kabupaten Pasaman Barat

Kabupaten Pasaman Kabupaten Dharmasray a

Kabupaten Tanah Datar Kota Solok Kota Sawahlunto

Kota Padang Kota Pay ak umbuh

Kota Padang Panjang Kota Pariaman

Kota Buk ittinggi

Matrix Plot of AKI vs IPM

Kategori Importance merupakan angka Kematian Ibumengacu pada hasildata Survei FK Unand tahun 2008 menurut kabupaten/ Kotayang merupakan data terakhir didapatkan infonya.Performance

merupakan Indeks Pembangunan Manusia berdasarkan data BPS tahun 2013.

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat (2008)

Gambar 2.1

Angka Kematian Ibu (rasio kematian) di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat (Tahun 2008)

Kuadran A (attributes to improve) : ada 5 daerah yaitu Kabupaten Solok, Dharmasraya, Pasaman Barat, Padang Pariaman dan Pasaman 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 0

116,6 117 119 139,5 145,7 150,3

173,8 176,1 178,6 181,2 198,3 202,3 211,9 225,1 267,5

299,3 335,6 347,7 449,2

Angka…


(33)

33

Kuadran B (maintain performance) : ada 1 yaitu Kota Bukit tinggi Kuadran C (attributes to maintain) : ada 5 yaitu Kabupaten

Mentawai, Solok Selatan, Sijunjung, 50 Kota, Pesisir Selatan

Kuadran D (main priority) : ada 8 daerah yaitu Kota Solok, Padang, Padang Panjang, Sawahlunto, Pariaman,

Payakumbuh, Kabupaten Agam dan Tanah Datar

Daerah daerah pada kuadran A perlu menjadi prioritas untuk dilakukan program akselerasi, dan perlu mendapat perhatian bagi kepala daerah terhadap kondisi IPM yang rendah dan AKI yang tinggi. Sedang kan untuk daerah Kuadran B perlu evaluasi program pelayanan kesehatannya yang belum berdampak dalam menurunkan AKI

Sedangkan untuk daerah kuadran C program pelayanan kesehatan sudah baik, tinggal secara bersama seluruh bidang di pemerintahan untuk melakukan upaya meningkatkan IPM. Kuadran D sudah bagus dan perlu dipertahankan dan ditingkatkan lebih baik lagi.

Terdapat beberapa peluang dan tantangan Bidang Kesehatan:

1. Adanya komitmen kuat dari pemerintah terhadap pencapaian target MDGs 2015 dan keberlanjutan kerjasama dengan masyarakat internasional;

2. Adanya jaminan kesehatan yang menjamin seluruh masyarakat Propinsi Sumatera Barat (universal coverage);

3. Adanya komitmen pemerintah untuk menerapkan jaminan kesehatan secara nasional yang bersifat universal coverage mulai tahun 2014;

4. Adanya kebijakan pemerintah berupa peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 48 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian tujuan MDGs Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2015.

5. Adanya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penanggulangan HIV/AIDS.

6. Instruksi Mendagri Nomor 444.24/2259 Tahun 2013 untuk pemberdayaan kelembagaan dan masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS, memasukkan program HIV/AIDs dalam RPJMD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.


(34)

34

Sedangkan tantangan yang dihadapi meliputi: 1. Masih adanya Wilayah rawan bencana;

2. Sumber daya alam yang semakin terdegradasi; 3. Perubahan iklim global (climate change);

4. Beredarnya produk luar (impor) dan persaingan sumber daya manusia global;

5. Belum optimalnya penguatan keberlangsungan perdamaian;

6. Meningkatnya kasus penyakit menular dan tidak menular yang menyebabkan kematian.

7. Meningkatnya mobilitas penduduk dan kemajuan teknologi

8. Terjadinya perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi.

9. Meningkatnya penyebaran kasus penyakit menular seperti HIV/AIDs yang ditularkan melalui perilaku seksual.

10. Adanya kecenderungan penurunan kualitas udara sebagai akibat dari aktifitas dan perilaku masyarakat, baik dari masyarakat Provinsi Sumatera Barat maupun dari provinsi tetangga, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan penyakit tidak menular seperti ISPA.

3. KEMISKINAN

Kondisi kemiskinan di Sumatera Barat relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi rata-rata kemiskinan secara nasional. Selama periode 2010-2013 angka kemiskinan Sumatera Barat selalu lebih rendah dibandingkan nasional. Fakta ini menjelaskan bahwa kinerja pemerintah Sumatera Barat dalam menurunkan angka kemiskinan cukup baik. Selama periode tersebut angka kemiskinan di Sumatera Barat terus berkurang bahkan tahun 2012 dan 2013, penurunan angka kemiskinan melebihi target yang ditetapkan dalam RPJMD.

Tabel 2.17.

Kondisi Kemiskinan di Sumatra Barat dan Indonesia Tahun 2010-2013

No Indikator Satuan 2010 2011 2012 2013

1 Kemiskinan

Sumbar % 9,50 8,99 8.00 7.56

Indonesia % 13,33 12,49 11,96 11,37

2 Garis Kemiskinan

Sumbar Rp 254.432 276.000 292.784 336.606


(35)

35

Perkembangan Garis kemiskinan di Sumatera Barat menunjukkan kenaikan angka garis kemiskinan setiap tahun. Pada tabel 2.2. terlihat bahwa garis kemiskinan di Sumatera Barat relatif lebih tinggi dari nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk miskin di Sumatera Barat juga relatif lebih tinggi dari nasional. Walaupun garis kemiskinan cendrung meningkat namun tingkat kemiskinan di Sumatera Barat terjadi sebaliknya. Tentu saja kondisi ini berimplikasi yang positif bagi penurunan jumlah penduduk miskin di Sumatera Barat.

Selanjutnya untuk melihat sebaran Kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota se Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.18

Perkembangan Kemiskinan di Kabupaten/Kota di Sumatera Barat Tahun 2010-2013

KABUPATEN/KOTA 2010 2011 2012 2013

KABUPATEN

Mentawai 19,74 18,85 16,70 16,12

Pessel 10,22 9,75 8,68 8,64

Kab. Solok 11,74 11,19 10,03 10,26

Sijunjung 10,45 9,94 8,79 8,53

Tanah Datar 6,90 6,57 5,95 5,77

Padang Pariaman 11,86 11,26 10,12 9,17

Agam 9,84 9,39 8,43 7,68

50 Kota 10,47 9,96 8,89 8,26

Pasaman 10,96 10,42 9,31 8,37

Solok Selatan 11,11 10,61 9,37 8,12

Dharmasraya 10,56 10,09 8,82 7,74

Pasaman Barat 9,59 9,14 8,04 7,86

KOTA

Padang 6,31 6,02 5,30 5,02

Solok 6,99 6,72 5,87 4,60

Sawahlunto 2,47 2,34 2,17 2,28

Padang Panjang 7,60 7,25 6,50 6,66

Bukittinggi 6,82 6,49 5,73 5,36

Payakumbuh 10,58 10,09 9,00 7,81

Pariaman 5,90 5,66 5,02 5,35


(36)

36

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa secara umum terjadi penurunan tingkat kemiskinan di Sumatera Barat dalam kurun waktu 2010-2013. Kabupaten yang masih tinggi tingkat kemiskinannya adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Solok, kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah provinsi untuk berkoordinasi dengan daerah-daerah tersebut sehingga tingkat kemiskinan bisa diturunkan dari dua digit menjadi lebih rendah seperti daerah lainnya di Sumatera Barat. Masih tingginya tingkat kemiskinan di kedua daerah ini tidak terlepas dari status daerah tertinggal yang masih melekat pada daerah ini.

Kemudian jika dikaji lebih jauh bagaimana peran pemerintah terhadap penanggulangan kemiskinan yang terjadi di kota dan kabupaten di Sumatera Barat, maka kondisi ini bisa dilihat dari pola hubungan belanja daerah, yaitu belanja langsung dengan tingkat rata-rata kemiskinan kota dan kabupaten pada periode 2010-2013.

Hubungan yang terjadi antara Belanja Langsung dan Kemiskinan di Sumatera Barat, memperlihatkan pola yang menarik, yaitu ada beberapa

kota dan kabupaten (kuadran III) dimana porsi belanja langsung tidak begitu tinggi ( dibawah 40%) tetapi kemiskinan di daerah tersebut relatif lebih rendah seperti daerah Kabupaten tanah datar dan kota Padang, kondisi ini bisa menjelaskan dua hal, pertama peran serta masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan sudah relatif baik, walaupun dukungan dana dari pemerintah relatif terbatas. Kedua, hal ini menunjukkan kondisi perekonomian daerah yang cukup baik sehingga medorong terjadinya penurunan kemiskinan. Kondisi berlawanan terjadi di kuadran I (ada 4 kota/kabupaten), dimana alokasi belanja langsung yang cukup tinggi tetapi angka kemiskinan masih tinggi. Kota dan kabupaten tersebut adalah Kota Payakumbuh, Kabupaten Solok Selatan, Dharmasraya dan Sijunjung. Kondisi ini menjadi pertanyaan mengapa dana pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah melalui program belum

R a t a - R a t a K e m is k in a n

R a t a -R a t a B e la n ja L a n g s u n g 1 6 1 4 1 2 1 0 8 6 4 2 7 0 6 0 5 0 4 0 3 0

8 . 4

4 2 . 0 1

P a d a n g P a ri a m a n A g a m

S o l o k S e l a t a n

5 0 K o t a

S o l o k S i j u n j u n g

M e n t a w a i

P e si si r S e l a t a n P a sa m a n B a ra t

P a sa m a n D h a rm a sra y a

T a n a h D a t a r K o t a S o l o k

S a w a h l u n t o

P a d a n g

P a y a ku m b u h P a d a n g P a n j a n g

P a ri a m a n B u ki t t i n g g i


(37)

37

mencapai sasaran yang tepat atau tidak terkelola dengan baik. Selanjutnya juga dapat dijelaskan bahwa Kota Sawahlunto merupakan kota yang relatif sangat baik dalam menanggulangi kemiskinan di daerahnya, dimana belanja langsung lebih dari 40% ternyata mempunyai pola hubungan yang positif dengan pengurangan kemiskinan.

Berdasarkan dari uraian di atas dapat dijabarkan potensi dan peluang yang dihadapi Sumatera Barat ke depan terkait dengan kemiskinan adalah:

1. Data kemiskinan menunjukkan bahwa terjadi pengurangan penduduk miskin di Sumatera Barat, hal ini sekaligus memberikan sinyal bahwa program pengentasan kemiskinan berjalan dengan baik. Dan tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah supaya lebih meningkatkan lagi program pengentasan kemiskinan dalam berbagai varian yang lebih baik.

2. Peningkatan garis kemiskinan menunjukkan terjadi peningkatan pengeluaran atau biaya hidup bagi masyarakat miskin. Terutama untuk bahan makanan dan perumahan. Karena kedua faktor tersebut mendominasi peningkatan angka garis kemiskinan. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah bagaimana menyediakan bahan makanan murah (terjangkau daya beli masyarakat) dan perumahan yang layak bagi masyarakat miskin.

3. Perlu sinkronisasi program pengentasan kemiskinan dari provinsi ke kota dan kabupaten yang ada di Sumatera Barat, karena masih ada daerah yang tingkat kemiskinan tinggi padahal pengeluaran pemerintah sudah cukup tinggi, karena itu perlu sinkronisasi dan koordinasi dengan provinsi supaya program pengetasan kemiskinan bisa dilakukan dengan lebih baik.

4. AGAMA

Memperhatikan kondisi riil kehidupan agama, sosial dan budaya, bangsa dan negara Indonesia saat ini adalah sangat memprihatinkan, selain muncul isu-isu gerakan radikal dalam berbagai hal tidak terkecuali kehidupan agama. Setelah kita lakukan studi banding ke daerah tetangga ternyata hal yang sama hampir tak terelakan. Pada satu sisi pembangunan bidang fisik melaju dengan cepatnya, pada sisi lain pembangunan dalam bidang mental spritual agak terabaikan. Maka untuk mengimbangi hal tersebut,diperlukan penanaman nilai-nilai keimanan yang sesungguhnya dan menjadi prioritas bagi pembangunan Sumbar kedepan setidaknya RPJMD 2015 -2019.

Kita tahu bahwa kepribadian seorang muslim dibentuk sejak dini, orang tua sebagai seorang muslim haruslah memiliki keyakinan akidah tauhid yang berkualitas. Nilai nilai ketauhidan tersebut yang akan


(1)

281

Tabel 6.14

Proyeksi Kapasitas Riil Kemampuan Keuangan Daerah

No Uraian Tahun (Rp, Juta)

2015 2016 2017 2018 2019 2020 1. Pendapatan 3.945.428 4.167.587 4.407.569 4.666.998 4.947.661 5.251.529 2. Pencairan dana cadangan

3. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

Total penerimaan 3.945.428 4.167.587 4.407.569 4.666.998 4.947.661 5.251.529 Dikurangi:

4. Belanja dan Pengeluaran Pembiayaan yang Wajib dan Mengikat serta Prioritas Utama

1.158.322 1.263.057 1.377.262 1.501.794 1.637.586 1.785.655

Kapasitas Riil Kemampuan Keuangan Daerah

2.787.106 2.904.530 3.030.307 3.165.204 3.310.075 3.465.874

6.2. Kebutuhan Investasi Di Provinsi Sumatera Barat

Di sampingmempertimbangkan kondisi masa lalu dan pendanaan pembangunan diperkirakan akan terus meningkat untuk mendorong penambahan dan pemupukan modal melalui investasi. Kebutuhan investasi di Provinsi Sumatera Barat memperhitungkan perubahan lingkungan strategis dalam lima tahun mendatang. Perkiraan kebutuhan investasi di Provinsi Sumatera Barattahun 2015-2020 disusun berdasarkan asumsi sebagai berikut:

1. Target pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan realisasi tingkat pertumbuhan 5 tahun terakhir, yang hasilnya menunjukkan peningkatan dari 6,34 persen pada tahun 2015 menjadi 6,60 persen pada tahun 2018 dan 6,78 persen apda tahun 2020;

2. Perubahan Nilai ICOR (incremental capital to output ratio atau rasio penambahan modal terhadap produksi) dihitung berdasarkan penurunan ICOR tahun 2000-2011 dengan tahun 2009-2013 oleh BPS Sumatera Barat, yaitu dari 5,58 menjadi 5,52. Oleh sebab itu, dalam proyeksi tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan nilai ICOR 0,03 point per tahun.

3. Tingkat inflasi diperkirakan berdasarkan analisis pertumbuhan berdasarkan metode moving average data inflasi di Sumatera Barat dalam 5 tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa pada tahun 2015 diperkirakan terjadi inflasi sebesar 6,87%dan pada tahun 2020 diperkirakan terjadi inflasi sebesar 7,47%

4. Kapasitas fiskal di Provinsi Sumatera Barat dihitung berdasarkan jumlah belanja modal Pemerintah di Provinsi Sumatera Barat ditambah belanja modal Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan memperhitungkan kenaikan belanja modal berdasarkan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun dalam 5 tahun terakhir. 5. Investasi Pemerintah Pusat dihitung dari nilai investasi tahun 2015

dengan memperhitungkan pertumbuhan per tahun berdasarkan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 5 persen per tahun.


(2)

282

6. Perkiraan pertumbuhan nilai investasi swasta (Penanaman Modal Dalam negeri dan Penanaman Modal Asing) sebesar 5 persen per tahun.

Dengan memperhitungkan berbagai asumsi tersebut, sampai dengan tahun 2020 diperkirakan akan terjadi kesenjangan investasi. Kebutuhan investasi tersebut hanya akan dapat dipenuhi oleh di Provinsi Sumatera Barat dengan mempertimbangkan potensi dan kemajuan yang telah dicapai selama ini, kondisi sosial yang kondusif, dan kondisi ketertiban dan keamanan yang terjaga dengan baik sehingga menarik investor untuk menanamkan modal di Sumatera Barat.

Tabel 6.1

Perkiraan Kebutuhan Investasi Di Provinsi Sumatera BaratTahun 2015-2020

NO SEKTOR TAHUN

2015 2016 2017 2018 2019 2020 1 Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,34 6,43 6,51 6,60 6,69 6,78

2 ICOR 3,46 3,43 3,40 3,37 3,34 3,34

3 PDRB Konstan Tahun 2000 (Rp. Milyar) 52.705 56.094 59.748 63.692 67.952 72.557 4 Tingkat Inflasi (%) 6,87 7,24 8,01 7,29 7,35 7,47 5 Kebutuhan Investasi (Rp. Milyar) 31.685 33.965 36.568 38.860 41.624 45.049 6 Kapasitas Fiskal (Rp. Milyar) 4.299 4.858 5.490 6.205 7.013 7.928

a. Belanja Modal Pemerintah Provinsi (Rp. Milyar)

845,95 935,67 1.034,90 1.144,66 1.266,07 1.400,34 b. Belanja Modal Pemerintah Kab/Kota

(Rp. Milyar)

3.453,25 3.922,24 4.454,93 5.059,97 5.747,17 6.527,71 7 Kesenjangan Investasi (Rp. Milyar) 27.385 29.107 31.078 32.656 34.611 37.121 8 Perkiraan Investasi Pemerintah (Rp. Milyar) 10.196 11.390 12.723 14.213 15.878 17.737 9 Perkiraan Investasi Sawsta (Rp. Milyar) 17.189 17.717 18.355 18.442 18.734 19.384 10 Perkiraan Investasi Sawsta PMDN (Rp.

Milyar)

963 1.011 1.062 1.115 1.171 1.229 11 Perkiraan Investasi Sawsta PMA (Rp.

Milyar)

1.426 1.497 1.572 1.650 1.733 1.820 12 Kebutuhan Investasi Sawsta (PMDN +

PMA) (Rp. Milyar)

14.800 15.208 15.721 15.677 15.830 16.335 Sumber: Hasil Analisis 2014

6.3.Kebijakan Keuangan Daerah

Analisis kebijakan keuangan daerah dalam bagian ini tidak hanya ditujukan bagi pemerintahan daerah provinsi, tetapi secara umum juga dibutuhkan oleh pemerintahan daerah kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Barat.

6.3.1 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah

Sekalipun penerimaan pendapatan daerah di Provinsi Sumatera Barat mengalami peningkatan yang cukup signifikan, namun peluang untuk meningkatkan penerimaan tersebut masih terbuka lebar. Seperti dijelaskan dalam rencana kerja Tim Korsupgah 2014,bahwa terjadi berbagai kelemahan dalam pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Sumatera Barat, termasuk pengelolaan pendapatan asli daerah dan khususnya lagi adalah tentang pajak daerah. Berdasarkan pertimbangan perkembangan pengelolaan keuangan daerah tersebut, maka kebijakan


(3)

283

pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Sumatera Barat selama periode tahun 2015-2020 diarahkan pada hal-hal berikut.

1 .

Menyusun data base potensi riil pajak daerah dan retribusi daerah melalui analisis perhitungan, analisis statistik, dan survey sehingga perhitungan target penerimaan dapat dan harus berdasarkan data base potensi riil tersebut. Hal ini, diharapkan mampu menghasilkan target penerimaan pendapatan asli daerah lebih realistis.

2 .

Mengoptimalkan penerimaan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik pajak, retribusi dan pendapatan lain yang sah tanpa memberatkan dunia usaha dan masyarakat melalui:

a. Evaluasi dan memantapkan sistem dan prosedur administrasi dalam pemungutan, pencatatan dan pengelolaan pajak dan retribusi daerah, serta diikuti dengan peningkatan kualitas, kemudahan, ketepatan dan kecepatan pelayanan;

b. Evaluasi dan revisi secara berkala terhadap berbagai peraturan daerah yang mengatur pajak dan retribusi daerah, serta sosialisasi dan pelayanan perpajakan untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah; c. Intensifikasi pemungutan pajak daerah melalui pengawasan di

lapangan secara terus-menerus, menggali dan penagihan tunggakan dengan cara persuasif yang ditindaklanjuti dengan penagihan secara paksa sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;

d. Peningkatan hasil pengelolaan kekayaan daerah melalui pengelolaansumber daya daerah secara lebih profesional dan marketable. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan asset daerah seperti gedung, asrama, aula dan asset produktif lainnya yang dimiliki oleh pemerintahan daerah sehingga dapat memberikan layanan yang lebih baik dan meningkatkan retribusi sewa dari pengelolaan asset tersebut;

e. Mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dalam memberikan pelayanan publik dan meningkatkan pendapatan daerah termasuk meningkatkan bagian laba BUMD;

f. Khusus untuk pemerintahan kota dan kabupaten, intensifikasi pemungutan PBB dan BPHTB perlu dilakukan. Utama sekali melakukan penilaian ulang terhadap nilai NJOP sehingga mencerminkan nilai riil dari objek PBB tersebut;


(4)

284

3 .

Mengupayakan peningkatan penerimaaan dari dana perimbangan melalui:

a. Meningkatkan akurasi data kependudukan dan data lain yang dibutuhkan dalam perhitungan dana alokasi umum sehingga penerimaan dana alokasi umum dapat ditingkatkan.

b. Mengembangkan datadasar dan sistem informasi yang akurat dalam pendataan sumber daya alam sebagai dasar perhitungan pembagian dana perimbangan;

6.3.2. Kebijakan Belanja Daerah

Peningkatan kualitas belanja pada masa datang dengan menyusun Analisis Standar Belanja dan penetapan target kinerja yang lebih akurat sehingga setiap kepala SKPD yang telah mendapatkan amanat harus mempertanggungjawabkan kinerjanya berdasarkan minimal indikator outcome, bukan hanya sekedar indikator output. Secara lebih rinci, kebijakan belanja daerah yang diperlukan pada masa datang adalah:

1. Meningkatkan kualitas penyusunan anggaran berbasis kinerja melalui proses penetapan indikator kinerja program dan kegiatan yang tepat, serta menyusun dan menggunakan analisis standar belanja dalam proses penetapan dan penilaian usulan anggaran.

2. Meningkatkan koordinasi alokasi belanja setiap unit satuan kerja sehingga dapat menjamin keselarasan dan kesesuaian dengan RPJPD dan RPJMD.

3. Alokasi anggaran SKPD harus secara jelas menunjukkan keselarasan dan kesesuaian dengan tugas pokok dan fungsi setiap unit satuan kerja, mencegah inefisiensi alokasi yang disebabkan oleh proses kerja yang tumpang tindih, serta secara substansial memberikan kontribusi kepada pencapaian sasaran kebijakan daerah.

Kebijakan belanja daerah di Provinsi Sumatera Barat selama tahun 2015-2020 mengutamakan pada pencapaian hasil program dan kegiatan melalui belanja langsung dengan arah sebagai berikut.

1. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta pelayanan dasar lainnya dengan mengalokasi anggaran sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

2. Mengoptimalkan belanja langsung untuk membiayai belanja modal yang dapat memberikan dampak berganda bagi pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. 3. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi anggaran bantuan

keuangan, bantuan sosial dan belanja hibah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta mempertimbangkan aspek keadilan dan kemampuan keuangan daerah.


(5)

285

6.3.3. Pembiayaan Daerah

Secara umum kebijakan penganggaran di Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang. Hal ini berati pendapatan yang diperoleh dalam tahun berjalan diupayakan dapat dibelanjakan pada tahun yang sama, dan jika terjadi SiLPA maka akan segera digunakan pada tahun berikutnya. Dengan demikian, kebijakan penerimaan pembiayaan pemerintahan daerah di Provinsi Sumatera Barat adalah berusaha menggunakan SiLPA pada tahun berikutnya dengan tetap berpedoman serta menerapkan perencanaan dan penganggaran secara terpadu, konsisten, dan berbasis kinerja.

Sedangkan dalam kebijakan pembiayaan pengeluaran digunakan untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah melalui penyertaan modal pada BUMD yang mampu memberikan imbalan (laba) bukan hanya terhadap pemerintah daerah secara langsung tetapi juga berdampak terhadap pembangunan daerah secara keseluruhan.


(6)