ASSESSMENT DANWAWANCARA DALAM PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL.

(1)

Assessment

dan

wawancara

dalam

PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DAN

KESEJAHTERAAN SOSIAL


(2)

assessment

&

wawancara

dalam

PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DAN

KESEJAHTERAAN SOSIAL


(3)

ISBN: 978-602-9238-51-8

assessment

dan wawancara

dalam PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL dan KESEJAHTERAAN SOSIAL

© 2015 Santoso T. Raharjo

Cetakan Kedua

Hak cipta yang dilindungi ada pada penulis Hak penerbitan ada pada Unpad Press

Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp.(022) 843 88812

Website: lppm.unpad.ac.id Email:lppm.unpad.ac.id Bandung, 2015

1 Jil., 184 hlm., 17,5 cm X 24 cm ISBN: 978-602-9238-51-8 Cetakan kedua Maret 2015

ISBN: 978-602-9238-51-8

9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbillalamin patut penulis panjatkan kehadirat Allah Subhannahuwatala, atas selesainya penulisan buku ini. Buku ini merupakan bagian dari upaya untuk memperkaya tulisan-tulisan dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Buku ini secara khusus memberikan gambaran dan penjelasan mengenai penggunaan teknik wawancara dan asesmen dalam praktek pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial.

Di dalamnya juga menggambarkan mengenai kemampuan pekerja sosial dalam melakukan wawancara atau konseling dalam pelayanan manusia seringkali dianggap kemampuan penting dan utama dalam pekerjaan sosial.

Kehadiran buku ini diharapkan dapat menjawab atas langkanya buku-buku teks pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial, terutama mengenai wawancara dalam praktek pekerjaan sosial. Sekaligus pula, harapan dari penulisan buku ini dapat mendorong para ahli dan praktisi pekerjaan sosial lainnya membuat banyak tulisan yang sejenis, dalam rangka memperbanyak bahan-bahan tulisan.

Mudah-mudahan karya ini dapat memotivasi penulis untuk terus berkarya dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa dan negara, serta agama. Amiin...

Jatinangor, Maret 2015 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

iv

Daftar Tabel

vi

Daftar gambar

vii

1.

Pembuka:Praktik Generalis Pekerjaan Sosial

1

2. Prinsip Dasar dan Prinsip Praktik Pekerjaan Sosial

Mikro 25

3. Assessment Berbasis pada Kekuatan 33

4. Engagement and Tool Assessment dalam Perspektif

Praktek Generalist 89

5. Wawancara dalam Praktek Pekerjaan Sosial 103 6. Komunikasi Verbal dan Non Verbal Dalam

Konseling 123

7. Pencatatan Dalam Praktik Pekerjaan Sosial 151

8. Negosiasi 163


(6)

Daftar Tabel

Tabel 1 Aspek Utama Sistem Mikro dan Makro 4 Tabel 2 Intervensi Utama Mikro-Generalis 5 Tabel 3 Ketiga Intervensi Level Makro 8 Tabel 4 Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual 46 Tabel 5 Indentifikasi Kekuatan: Menggunakan ROPES 48 Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan 49 Tabel 7 Temuan assessment dan Intervensi yang

direkomendasikan 87 Tabel 8 Isyarat Nonverbal dalam Hubungan Komunikasi 124 Tabel 9 Perilaku Peran dan Tanggapan Verbal Sesuai Tahapan


(7)

Daftar Gambar

Gambar 1 Elaborasi dari sistem klien, sistem pelaksana perubahan, sistem sasaran, dan sistem kegiatan menurut model Pincuss-Minahan 67 Gambar 2 Contoh gabungan dan tumpangtindihnya

beragam sistem dalam model Pincuss-Minahan 68 Gambar 3 Tahap pertama dari pendekatan sistem analisis

terhadap kasus Jojo 70

Gambar 4 Assesmen data dalam kasus Jojo 71 Gambar 5 Penentuan. sasaran dan tujuan hasil dalam kasus

Jojo 72

Gambar 6 Penentuan. tujuan strategi/metode dalam kasus


(8)

1 PEMBUKA:

PRAKTIK GENERALIS PEKERJAAN SOSIAL

A. PENDAHULUAN

Bagian awal ini menjelaskan tentang konsep dan prinsip praktik pekerjaan sosial secara umum, yaitu bagaimana hubungan pertolongan yang terbangun dalam pekerjaan sosial generalis baik ketika bekerja dengan sistem klien perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi maupun masyarakat. Kemudian secara umum akan dijelaskan bagaimana praktik generalis melakukan intervensi dalam level mikro dan level makro. Walau demikian pada kenyataannya pekerja sosial generalis akan melakukan praktik/intervensinya secara simultan, yaitu bergerak baik pada level mikro maupun level makro.

Pentingnya peranan ‘diri’ pekerja sosial dalam praktik pekerjaan sosial generalis merupakan hal mendasar; khususnya kemampuan ‘diri’ dalam upaya memberikan dukungan, meningkatkan motivasi, memperkuat komitmen, menggerakkan kekuatan dan meningkatkan pemahaman serta memfasilitasi komunikasi bersama-sama klien.

Juga dijelaskan tipe-tipe klien berdasarkan cirinya dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan


(9)

klien untuk membangun suatu hubungan pertolongan dan terlibat dalam proses pertolongan.

Umumnya praktik pekerjaan sosial berbasiskan-lembaga adalah terpusat pada masalah (problem-focused). Klien cenderung dipandang lemah dan mengalami masalah patologis yang memerlukan pengobatan untuk memperbaiki keberfungsian (Saleebey, 2002). Dalam perkembangan terkini mulai bermunculan suatu pendekatan praktik yang berbasis pada kekuatan pada diri klien. Pendekatan berbasis-kekuatan (the strenghts-based approach) adalah berbeda, fokusnya adalah pada kekuatan-kekuatan, sumber-sumber, dan kemampuan dalam diri klien. Klien dipandang mampu melakukan perubahan. Mereka adalah rekan (partner) dan partisipan aktif dalam perubahan. Pekerja sosial bukan pemecah masalah (problem-solver). Fungsi utama pekerja sosial generalis adalah membantu klien mengenali, mengerahkan dan meningkatkan kekuatan dan kemampuan inheren mereka. (Weick et al., 1989). Dalam pendekatan berbasis-kekuatan, klien adalah ahli

(expert) dengan pengetahuan dan mampu memenuhi

perubahan yang dibutuhkan. Fokus praktik pekerjaan sosial adalah pada memberdayakan klien dan memantapkan hubungan pertolongan (yang) kolaboratif.

Dalam praktik pekerjaan sosial berbasis-kekuatan, suatu hubungan pertolongan kolaboratif dibentuk antara seorang profesional dan seorang individu, atau keluarga, atau kelompok, atau sebuah organisasi, atau suatu masyarakat dengan tujuan memberdayakan dan meningkatkan keadilan sosial dan ekonomi. Hubungan yang terbangun mungkin melibatkan kegiatan secara langsung dengan sistem klien dalam semua ukuran ataupun kegiatan secara tidak langsung pada sistem klien. Kolaborasi profesional dengan klien atau


(10)

sistem klien adalah yang bermanfaat bagi klien, yang seluruhnya berfokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien.

B. JENIS INTERVENSI PEKERJAAN SOSIAL GENERALIS

Klasifikasi intervensi dari praktik pekerjaan sosial generalis dapat dilihat dalam tabel 1. Dengan konseptualisasi ini, tugas-tugas intervensi dikategorisasikan dengan level sistem (individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau masyarakat). Praktik generalis selalu memerlukan intervensi secara simultan pada setiap level (multilevel). Dalam situasi intervensi perubahan kasus tertentu, anda dan klien anda mungkin akan terlibat dengan sejumlah individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau masyarakat.

Praktik pekerjaan sosial mikro adalah intervensi dengan individu-individu, pasangan, dan keluarga (Hepworth, Rooney, and Larsen, 2002). Pratik dengan sistem klien tersebut juga dikenal juga sebagai praktik langsung (direct practice) atau praktik interpersonal (interpersonal practice) (Garvin and Seabury, 1997). Beberapa penulis mengklasifikasi praktik pekerjaan sosial dengan media kelompok kecil sebagai intervensi level-mezo (mezzo-level interventions) (Miley, O’Melia and Dubois, 1998) dan lainnya sebagai praktik langsung level-mikro (level-micro direct practice) (Hepworth, Rooney, and Larsen, 2002; Pinderhughes, 1995; Shulman, 1999). Karena hubungan pertolongan sistem klien individual, keluarga, dan kelompok kecil umumnya memiliki maksud dan tujuan yang sama, sehingga praktik pekerjaan sosial dengan kelompok kecil merupakan bentuk dari praktik mikro. Berkenaan dengan sistem klien, tujuan dari praktik level


(11)

mikro adalah meningkatkan keberfungsian dan keberdayaan klien. Kedua tujuan tersebut saling berkaitan dalam penerapannya dengan klien-klien individu, pasangan, keluarga, dan kelompok kecil.

Tabel 1. Aspek Utama Sistem Mikro dan Makro

Level sistem

Sistem klien Maksud hubungan

Pertolongan Penggunaan Diri Intervensi Mikro Individual Keluarga Kelompok Individu-individu Pasangan Keluarga Kelompok-kelompok kecil Meningkatkan keberfungsian Pemberdayaan Memahami Sensitif Hormat Penerimaan Keinginan bekerjasama Beri harapan Rekanan Dukungan Komitmen Percaya Konseling Konseling dukungan Pendidikan dan pelatihan Manajemen kasus Service linkage Koordinasi pelayanan Negosiasi pelayanan Mobilisasi sumber Advokasi klien Makro Organisasi Masyarakat Pemimpin lembaga (agency) Satuan tugas lembaga Komite lembaga Satuan tugas professional Koalisi masyarakat Kelompok-kelompok ketetanggan Perbaikan organisasi Perbaikan pelayanan Membangun pelayanan Perbaikan kondisi masyarakat Berdayakan penduduk setempat Mengembangkan sumber-sumber pelayanan Meningkatkan kesadaran masyarakat Mobilisasi warga Sama dengan sistem mikro Pendidikan dan pelatihan Perencanaan program Pengembangan masyarakat

Sumber: Zastrow, 2010

Para pekerja sosial generalis akan terlibat dengan aktifitas perubahan sistem klien yang luas, baik individu-individu,


(12)

keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok kecil. Umumnya intervensi level mikro oleh pekerja sosial generalis dibagi menjadi dua kelompok besar, konseling dan manajemen kasus (Tabel 1). Intervensi konseling terdiri dari supportive counseling dan pendidikan-pelatihan. Manajemen kasus terdiri dari hubungan pelayanan (service linkage), kordinasi pelayanan, negosiasi pelayanan, mobilisasi sumber, dan advokasi klien. Tabel 2. menggambarkan secara umum intervensi mikro generalis.

Tabel 2 Intervensi Utama Mikro-Generalis

Intervensi Penjelasan Konseling

Konseling dukungan

Pekerja sosial dan klien terlibat dalam suatu proses terapis dan konseling secara kolaboratif. Tujuan dari intervensi ini adalah membantu klien

mengatasi perhatian dan tantangan, meningkatan kamampuan, memperbaiki keberfungsian. Pendidikan

dan pelatihan

Pekerja sosial membantu klien belajar dan ahli dengan konsep-konsep dan keterapilan baru

Manajemen kasus

Hubungan pelayanan

Pekerja sosial membantu klien mengidentifikasi dan membangun hubungan (contact) dengan program-program dan pelayanan-pelayanan lain. Koordinasi

pelayanan

Pekerja sosial mengkoordinasikan berbagai macam pelayanan dan para profesional yang terlibat dalam kehidupan klien untuk memastikan bahwa

pelayanan terintegrasi dan memiliki tujuan yang sama.


(13)

Lanjutan Tabel 2 Intervensi Utama Mikro - Generalis

Negosiasi pelayanan

Pekerja sosial membantu klien yang mengalami kesulitan berhadapan dengan program-program dan pelayanan-pelayanan lain.

Mobilisasi sumber

Pekerja sosial membantu klien memenuhi sumber-sumber yang dibutuhkan, seperti tempat tinggal, pakaian, makanan, furnitur, dukungan keuangan, atau perawatan kesehatan

Advokasi klien

Pekerja sosial mendidik klien tentang hak-haknya, mengajari mereka keterampilan-keterampilan advokasi, dan melakukan tekanan kepada badan-badan sosial dan sumber-sumber untuk merespon kebutuhan klien

Sumber: Zastrow, 2010

Intervensi level-makro berfokus pada perubahan keorganisasian dan komunitas/ masyarakat. Sejumlah penulis memasukan perubahan kemasyarakatan dalam kategori praktik makro dan menempatkan perubahan keorganisasian dalam pada level-mezzo (Milley, O’Melia and Dubois, 1998). Banyak yang membatasi definisi praktik makro sebagaimana bekerja bersama kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi masyarakat, perencanaan dan pengembangan program, dan implementasi, administrasi, dan evaluasi program (Connaway and Gentry, 1998; Kirst-Ashman and Hull, 1993; Specht, 1988) nampaknya cenderung menggambarkan secara lebih realistik apa yang dilakukan oleh pekerja sosial generalis dalam praktik aktual.

Jenis sistem klien pada level keorganisasian adalah pimpinan-pimpinan keorganisasian, kelompok-kelompok satuan tugas, dan komite-komite. Dalam level sistem para pekerja sosial terlibat dengan para pembuat keputusan dan


(14)

struktur pembuatan keputusan organisasi. Pekerja sosial biasanya berpartisipasi dalam kelompok kerja yang dikelola secara resmi, seperti halnya kelompok-kelompok satuan tugas atau komite-komite. Sistem klien mungkin juga para pembuat keputusan organisasi, yaitu para administrator dan supervisor. Jadi, para pekerja sosial generalis mengupayakan perubahan cara pandang pembuat keputusan organisasi atau struktur pembuatan keputusan sebagai sistem klien.

Pada level keoganisasian, tujuan praktik level-makro adalah meningkatkan keberfungsian organisasi, memperbaiki pelayanan dan penyedian pelayanan, atau membangun pelayanan-pelalayanan baru. Ketiga tujuan tersebut meliputi perubahan organisasi atau badan (agency). Para pekerja sosial generalis cenderung berbasis pada badan-badan dan bekerja dalam suatu kerangka keorganisasian. Ini bukan berarti bahwa perubahan keorganisasian tidak bisa dilakukan dari luar sistem (Chavis, Florin, and Felix, 1993). Sudah merupakan tradisi yang lama atau umum dalam praktik pekerjaan sosial bahwa terjadinya perubahan berasal dari luar. Tradisi tersebut kembali kepada awal permulaan dan pekerjaan sosial dan pembaharu-pembaharu sosial di era progresif (Haynes and Mickelson, 1991: Reeser and Epstein, 1990).

Jenis sistem klien pada level masyarakat adalah satuan-satuan tugas profesional, koalisi masyarakat, dan ketetanggaan atau kelompok-kelompok warga masyarakat. Umumnya tujuan praktik masyarakat adalah meningkatkan kondisi masyarakat atau (lingkungan) ketetanggaan, memberdayakan warga, menumbuhkan sumber-sumber, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap permasalahan sosial dan ekonomi, serta memobilisasi orang-orang guna mendukung (advocate) sumber-sumber dan perubahan yang


(15)

dibutuhkan. Para pekerja sosial generalis yang terlibat dalam perubahan masyarakat biasanya bekerja sama dengan profesional atau kelompok-kelompok masyarakat. Beberapa kelompok terkadang terdiri dari anggota profesional dan warga masyarakat. Para pekerja sosial yang terlibat dalam praktik masayarakat memandang kelompok dimana mereka bekerja bersama sebagai sistem klien. Dengan kata lain, sistem klien adalah satuan tugas profesional, kelompok ketetanggaan, atau koalisi masyarakat yang berupaya melakukan perubahan atau meningkatkan masyarakat.

Para pekerja sosial generalis terlibat dalam suatu intervensi keorganisasian dan kemasyarakatan yang luas. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 3, intervensi makro yang digunakan oleh pekerja sosial generalis terutama terdiri dari pendidikan dan pelatihan, perencanaan program dan pengembangan masyarakat.

Tabel 3 Ketiga Intervensi Level Makro

Intervensi Penjelasan

Pendidikan dan pelatihan

Pekerja sosial melakukan pertemuan-pertemuan pelatihan, lokakarya, dan seminarmengenai keorganisasian dan kemasyarakatan Perencanaan

program

Pekerja sosial membantu dalam mengembangkan, memperluas dan

mengkoordinasikan pelayanan-pelayanan sosial dan kebijakan-kebijakan sosial.

Pengembangan masyarakat

Pekerja sosial membantu meningkatkan kondisi masyarakat dan memberdayakan warga untuk mau & mampu melakukan perubahan

masyarakat Sumber: Zastrow, 2010


(16)

C. MANFAAT DIRI SENDIRI (SELF)

Manfaat diri sendiri merujuk pada keterampilan dan interaksi pekerja sosial dengan sistem klien (Goldstein, 1995; Northen, 1995). Para pekerja sosial mengintervensi dengan cara membangun hubungan dengan cara membantu sistem klien dalam rangka pencapaian tujuan perubahan yang jelas. Hasil penelitian membuktikan secara konsisten terhadap bukti yang kuat dari perubahan klien melalui hubungan pertolongan (Marziali and Alexander, 1991; Russell, 1990). Artinya melalui hubungan pertolongan maka perubahan bisa dilakukan. Karena pekerja sosial berinteraksi dengan sistem klien, kualitas interaksi dalam memfasilitasi (mempermudah) perubahan klien. Pekerja sosial memanfaatkan dirinya untuk berkomunikasi.

- Memahami - Penuh harapan - Sensitifitas - Setiakawan - Menghargai - Dukungan - Penerimaan - Komitmen - Empati - Keyakinan

- Perhatian untuk bekerjasama

Manfaat diri secara tradisional dikaitkan dengan praktik level-mikro, yaitu interaksi pekerja sosial dengan klien individu, pasangan, keluarga dan kelompok. Namun demikian karakteristik yang digambarkan di atas dapat juga diterapkan dalam praktik level-makro. Seorang pekerja sosial generalis dapat memberikan dukungan dan memelihara harapan serta pemahaman melalui interaksi-interaksi pada level keorganisasian bersama dengan kelompok- kelompok satuan tugas dan komite, koalisi masyarakat, dan


(17)

kelompok-kelompok ketetanggaan. Pekerja sosial melakukan berbagai tugas intervensi dengan memanfaatkan diri dan aktifitas-aktifitas perubahan sistem. Efektivitas keterampilan-keterampilan interpersonal dalam praktik pekerjaan sosial generalis diperlukan untuk mempermudah perubahan pada level-level individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat

D. KLIEN-KLIEN PEKERJAAN SOSIAL

Praktik generalis melibatkan kerjasama dengan sistem klien dari semua ukuran (level). Sistem klien utama mungkin seorang individu, sebuah keluarga, sekelompok kecil, suatu organisasi, atau sebuah masyarakat. Sistem klien utama nampaknya tidak hanya menjadi satu-satunya sistem klien yang dibantu atau yang mejadi sasaran perubahan. Secara tipikal, praktik generalis bekerja dengan sejumlah sistem klien yang saling berhubungan.

Praktik pekerjaan sosial generalis yang bertumpu pada kekuatan menggunakan pendekatan ekosistem (a ecosystems perspective). Perspektif ini memusatkan perhatian asesmen dan intervensinya pada transaksi (baca: pertukaran/timbal-balik) masalah antara individu dengan lingkungannya. Permasalahan transaksi tersebut menjadi sistem sasaran yang klien dan pekerja sosial upayakan perubahannya (Pincus and Minahan, 1973). Sistem sasaran bisa berupa sistem klien individu atau individu lainnya, keluarga, kelompok, organisasi, atau masyarakat dimana sistem klien berada (person-in-environment). Beberapa atau semua sistem dalam lingkungan klien potensial menjadi sistem sasaran dalam proses pertolongan.


(18)

1) Jenis-jenis Klien

Seorang klien potensial untuk dapat menjadi klien hanya jika dan ketika terjadi kesepakatan yang jelas antara seseorang dengan pekerja sosial mengenai tujuan kerjasama mereka. Selanjutnya secara ideal, klien adalah seseorang yang sepakat untuk bekerjasama dengan pekerja sosial dalam rangka mencapai suatu hasil yang jelas. Terdapat tiga jenis klien: sukarela (voluntary), bukan sukarela (involuntary), dan tidak sukarela (nonvoluntary) (Garvin and Seabury, 1997). Namun demikian dalam konteks praktik di Indonesia saat sekarang ini masih sulit ditemukan klien yang secara sadar dan sukarela untuk menemui pekerja sosial berkenaan dengan permasalahan yang sedang dihadapinya. Tentunya hal ini masih berkait dengan community sanction (kewenangan dan pengakuan yang diberikan oleh masyarakat) yang belum mewujud sepenuhnya serta pengakuan pemerintah yang terwujud dalam perekrutan dan penghargaan yang diberikan kepada para lulusan sekolah-sekolah pekerjaan sosial.

Selanjutnya, klien sukarela adalah yang mencari pelayanan dari pekerja sosial atau badan-badan sosial atas dasar keinginan sendiri karena mereka memang membutuhkan bantuan yang berhubungan dengan sejumlah aspek kehidupan dirinya. Seorang ibu muda yang menyadari dirinya memiliki masalah suka minum-minuman memabukan dan berupaya mencari pertolongan dari seorang pekerja sosial profesional adalah merupakan contoh dari seorang klien sukarela. Dia membuat keputusan untuk memperoleh bantuan profesional dan secara sukarela masuk dalam hubungan pertolongan dengan pekerja sosial.


(19)

Klien tidak sukarela (nonvoluntary) yaitu yang ditekan atau dipaksa untuk mencari bantuan oleh seseorang yang mereka kenal dekat, bisa anggota keluarga ataupun bukan. Mereka tidak memperoleh mandat dari pengadilan atau hukum atau badan sosial untuk memperoleh bantuan. Seorang teman, kerabat, atau koleganya meyakini bahwa dia atau mereka memiliki masalah; tetapi dia atau mereka sendiri mungkin tidak mengakuinya atau menyadarinya. Bahkan seandainya pun mereka mengakui keberadaan masalah, namun mereka tidak berkeinginan mencari bantuan. Mereka datang ke pekerja sosial karena “they may suffer unpleasant consequences if they refuse” (Garvin and Seabury, 1997, p.132). Seorang ibu muda yang dipaksa oleh suaminya untuk memperoleh bantuan dari pekerja sosial terhadap masalah perilaku kecanduan obat-obatan adalah contoh dari klien yang tidak sukarela (nonvoluntary). Dia datang ke pekerja sosial hanya karena suaminya mengancam untuk meninggalkannya dan perawatan anak mereka. Dia secara esensial telah dipaksa oleh suaminya untuk memperoleh bantuan profesional terhadap masalahnya dan memenuhi harapan suaminya agar dia tidak meninggalkan dirinya dan memungkinkan memperoleh hak perawatan atas anak mereka.

Klien bukan sukarela (involuntary) adalah yang memiliki mandat hukum untuk menerima pelayanan-pelayanan. Mereka tidak memiliki pilihan lain untuk hal tersebut. Jika seorang ibu muda dengan masalah minum-minumannya ditangkap karena mabuk saat mengemudi, bagian dari hukuman tersebut pengadilan memutuskan si ibu untuk mengikuti program konseling sebanyak 20 kali konseling setiap minggu. Dalam situasi ini dia adalah klien bukan atas dasar sukarela (involuntary).


(20)

Namun demikian apakah klien tersebut termasuk kategori sukerela, tidak sukarela atau bukan sukarela, mereka tetap harus membuat semacam kontrak atau kesepakatan dengan pekerja sosial dalam rangka menjadi klien yang siap bekerja sama dengan pekerja sosial untuk mengatasi masalahnya. Mereka harus mengetahui dan menyadari partisipasinya dalam proses pertolongan. Jelas, akan lebih mudah mencapai kesepakatan dengan klien sukarela daripada dengan klien tidak sukarela atau bukan sukarela. Klien sukarela memiliki motivasi untuk mencari pertolongan. Sedangkan yang lainnya, pada kontak awal, mungkin belum mengambil keputusan untuk mencari pertolongan dan terlibat kerjasama dalam proses pertolongan.

Menurut Zastrow (2004) kemajuan klien melalui lima tahap dalam inisiatif diri, dengan bantuan profesional: prakontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, dan pemeliharaan. Prakontemplasi adalah tahapan yang mana belum ada keinginan untuk berubah dimasa depan. Para klien pada tahap ini biasanya tidak menyadari masalahnya dan tidak serius terhadap adanya pertolongan. Mereka tidak memiliki pilihan untuk mencari pertolongan atau mungkin tidak senang dengan pertolongan yang sedang dijalaninya.

Kontemplasi adalah tahap dimana klien menyadari adanya masalah dan mereka mulai serius memikirkan pemecahannya tetapi belum membuat komitmen untuk melakukan tindakan. Kata kuncinya pada tahap ini adalah kurangnya komitmen untuk melakukan perubahan. Banyak klien mengakui kebutuhan untuk mengatasi persoalan atau masalahnya tetapi mereka memerlukan bantuan untuk secara jujur berkomitmen melakukan perubahan. Persiapan (preparasi) merupakan tahap kombinasi dari kriteria perhatian dan perilaku. Para klien pada tahap ini telah mulai mengatasi masalah dan


(21)

memiliki motivasi untuk membuat perubahan yang diperlukan. Aksi adalah pada tahap mana individu-individu melakukan modifikasi perilakunya, pengalamannya, atau lingkungannya dalam rangka mengatasi masalahnya. Selama tahap ini klien telah terlibat dalam proses pertolongan dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mencapai perubahan yang diinginkan. Pemeliharaan adalah tahap dimana orang-orang berupaya mencegah terjadinya kemunduran dan mengkonsolidasikan usaha-usaha yang telah dicapai selama aksi. Dalam hal ini pemeliharaan adalah suatu fase keberlanjutan dari fase kegiatan. Klien secara aktif berusaha mencegah terjadinya kemunduran dan mempertahankan (meningkatkan) kemajuan yang telah dicapai.

Kelima tahap perubahan klien tersebut masing-masing akan berbeda tekanannya ketika mereka terlibat dalam proses pertolongan. Penting untuk dipahami bahwa setiap individu adalah berbeda. Tidak seluruh klien-klien potensial mencapai tahap kontemplasi atau aksi. Banyak klien yang dirujuk atau memperoleh mandat untuk mendapatkan pelayanan saat berada pada tahap prakontemplasi atau kontemplasi. Untuk menjadi klien yang sesungguhnya, mereka harus membuat komitmen untuk berubah. Pada akhirnya, hanya mereka yang memiliki keinginan untuk sepakat bekerjasama dengan pekerja sosial untuk mencapai hasil secara khusus yang dapat terlibat dalam suatu hubungan pertolongan yang kolaboratif. Para klien yang bukan sukarela atau tidak sukarela mungkin masih melalui tahapan tersebut karena mereka juga membutuhkan pertolongan, tetapi mereka belum benar-benar menjadi klien sesungguhnya, hingga mereka memutuskan sendiri untuk terlibat dalam hubungan pertolongan.


(22)

2) Penolakan Klien

Para pekerja sosial biasanya akan bekerja dengan klien-klien yang berada pada tahap prakontemplasi dan tidak berminat memperoleh bantuan. Sebelumnya klien-klien seperti itu dipandang sebagai “penolakan” (reluctant) dan seringkali dituduh tidak dapat bekerjasama dengan pekerja sosial (Anderson and Stewart, 1983). Dalam perspektif kekuatan (strengths) penolakan merupakan hal alami dan dapat dipahami sebagai upaya mekanisme pertahanan (coping). Banyak klien baik, yang akan melakukan penolakan untuk terlibat dalam suatu hubungan pertolongan (Rooney, 1992). Baru pada diskusi/pembicaraan berikutnya dibahas sejumlah faktor yang mempengaruhi kesadaran dan kemampuan klien untuk terus beranjak ke tahap prakontemplasi dalam proses pertolongan.

Klien yang mengikuti proses pertolongan dengan berbagai harapan. Beberapa mungkin memiliki sedikit atau tidak memiliki harapan untuk melakukan perubahan bermakna dalam hidupnya, sementara lainnya berharap keajaiban. Sebagian mungkin menyadari sifat dari proses pertolongan kolaboratif, sebagian lagi menginginkan pekerja sosial dapat menyelesaikan masalahnya. Di awal anda bekerja bersama, meski terkadang tidak perlu, anda perlu membicarakan bagaimana nantinya anda akan bekerjasama dan bagaimana anda saling menghargai masing-masing peran yang akan dilakukan. Klien harus memahami dengan jelas proses yang dijalani baik peran maupun tanggungjawab masing-masing. Ketidaksesuaikan harapan dan kesalahpahaman terhadap proses yang dilakukan akan membawa pada ketidakpuasan dan kekecewaan. Oleh karena itu adalah penting saling


(23)

berbagi visi mengenai proses pertolongan. Dan mungkin akan lebih bijak untuk berasumsi bahwa anda dan klien anda memiliki visi dan harapan yang masing-masing berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut yang perlu dicari kesamaan maknanya (rekonsialiasi) sebelum kegiatan dimulai.

3) Keragaman Budaya dan Etnik

Masyarakat Indonesia dicirikan dengan keragaman budaya dan etnik. Dengan demikian adalah tidak mengherankan apabila klien pekerja sosial memiliki latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda-beda. Nilai-nilai dan keyakinan dari kelompok budaya yang berbeda dapat menimbulkan konflik dengan nilai-nilai budaya dominan atau dengan nilai dan keyakinan pekerja sosial sendiri. Namun demikian pekerja sosial dan klien mesti memiliki kesepakatan bersama, tetap satu dari keragaman dan heteroginitas. Pandang klien sebagai individu yang unik dengan keyakinan dan nilai berbeda, dan memandang mereka memiliki sistem keyakinan yang berbeda dengan anda merupakan hal penting.

Latar belakang budaya dan etnik yang berbeda ini mempengaruhi cara mereka menjadi klien. Kesamaan penerimaan akan mendorong pemahaman, empati dan kepercayaan. Perbedaan penerimaan mungkin agak menghambat terbangunnya pemahaman dan kepercayaan bersama (Miley, O’Melia, dan Du Bois, 1998). Perbedaan penerimaan akan menghambat kesadaran klien untuk membangun hubungan pertolongan. Sebagian besar orang berusaha saling mencari jalan keluar dengan siapa mereka suka, sama, dan dapat berhubungan. Individu cenderung percaya terhadap mereka yang memiliki kasamaan, dan tidak


(24)

percaya dengan penerimaan yang berbeda. Kecenderungan terhadap ketidakpercayaan dari seseorang yang memiliki ragam perbedaan etnik dan budaya merupakan tantangan bagi semua pekerja sosial untuk mengatasinya.

Sejumlah perbedaan potensial antara anda dengan klien anda merupakan hal tidak pernah ada akhirnya. Perbedaan nilai-nilai, perspektif, dan pengalaman menciptakan hambatan komunikasi dan kepercayaan. Hal ini merupakan tanggungjawab anda, sebagai penolong profesional, untuk mengakui sepenuhnya perbedaan dan berkomunikasi dengan menghormati keyakinan dan nilai-nilai klien anda. Daripada memandang perbedaan budaya sebagai ancaman, lebih baik pandang mereka sebagai sumber yang menambah perspektif dan opsi dari keakraban dengan klien anda (Miley, O’Melia, and DuBois, 1998). Upaya mengatasi perbedaan pekerja sosial—klien diperlukan bahwa anda mengakui perbedaan sebagaimana juga mengkomunikasi-kan pemahaman anda terhadap nilai-nilai, persepsi dan keyakinan klien. Nilai klien anda dengan berbeda. Tunjukkan penghargaan dan apresiasi terhadap keragaman. Perbedaan akan tetap ada; yang akan berubah adalah persepsi yang menghambat komunikasi dan kepercayaan mereka. Pengakuan perbedaan secara langsung pada tahap awal dalam proses pertolongan meningkatkan kesesuaian yang mendorong individu menjadi seorang klien. Mengabaikan perbedaan budaya dan etnik cenderung akan memperburuk makna perbedaan dan menghambat terbangunnya kepercayaan.

Dalam bekerja dengan suku minoritas atau sekelompok orang yang marginal lainnya, adalah penting untuk mengakui persepsi mereka dan pengalaman mereka terhakimi oleh budaya dominan. Pahami pengalaman klien, ajukan


(25)

pertanyaan dengan posisi tidak tahu. Selalu bersikap penasaran (serba ingin tahu), dan tunjukkan perhatian anda secara jujur terhadap apa yang klien ucapkan. Klien, yang memang bukan pekerja sosial, adalah expert terhadap persepsi dan pengalaman-pengalamannya sendiri. Keahlian klien juga membawa serta persepsi dan pengalaman-pengalaman budaya, etnik, dan ras.

Jika kita mendengarkan klien kita, bersikaplah terbuka terhadap pengalaman-pengalaman mereka, dan ambil posisi belajar dengan mereka dan bukan yang paling mengetahui, maka peluang mengatasi perbedaan-perbedaan akan meningkat.

Faktor penting lainnya dalam praktik lintas-budaya adalah kesadaran diri dan ciri budaya etnik sendiri. Sadar terhadap identitas etnik dan budaya sendiri akan meningkatkan tingkat keyakinan dalam bekerja dengan klien dari latar belakang budaya dan etnik berbeda. Seseorang yang sadar-budaya sendiri akan mampu mengenali dan mengakui perbedaan. Pekerja sosial yang tidak menyakini nilai-nilai dan keyakinannya sendiri lebih banyak memaksakan nilai-nilai dan keyakinannya terhadap klien mereka dan merasa terancam dengan dengan perbedaan klien mereka. Makin anda ingin mengetahui diri anda sendiri, membuat anda ingin belajar mengenai klien anda.

4) Pengetahuan dan Keterampilan Klien

Klien umumnya akan mecari bantuan profesional hanya setelah mereka telah berupaya sendiri memecahkan masalahya dengan meminta bantuan teman, keluarga atau organisasi kemasyarakatan informal, atau dengan para profesional lainnya. Pertemuan pertama dengan klien


(26)

umumnya terjadi setelah klien melakukan segala upaya untuk mengatasi persoalannya sendiri. Mereka memiliki sejumlah pengalaman menghadapi masalahnya sendiri. Mereka tahu mana yang berhasil dan mana yang tidak. Mereka mungkin memiliki ide mana isyu yang sulit diatasi dan mana yang berhasil diatasi. Bersikap terbukalah, dan manfaatkan pengetahuan tersebut.

Klien membawa-serta keterampilan uniknya dalam hubungan pertolongan. Setiap klien memiliki keterampilan interpersonal dan kompetensi. Klien telah membangun strategi bertahan dan memiliki cara untuk mengatasi tekanan tuntutan hidup dan situasi-situasi tertentu. Mereka telah membangun cara yang unik beradaptasi dengan pegalaman hidupnya. Pada level tertentu, mereka telah berhasil dalam mengatasi kesulitan-kesulitannya. Mereka mungkin telah berjuang dan memperoleh bantuan, atau mungkin mereka telah mampu mengelola untuk bertahan dan menghadapi tantangan situasi. Semua klien membawa-serta kekuatan dan keterampilan untuk hubungan pertolongan.

Klien berdaya jika pekerja sosial mengakui kekuatan, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan klien. Mereka juga terdorong. Klien memperoleh harapan ketika mereka dipandang sebagai individu yang kapabel dan kompeten. Miley, O’Melia dan DuBois menyatakan bahwa klien mampu untuk “articulate thoughts and feelings; skills in thinking, planning, and organizing; competencies in giving and receiving support—all are general skills for living that may have relevance for overcoming any challenging situation” (1998, p.127). Dengan demikian pada dasarnya klien mampu untuk mengartikulasikan seluruh pemikiran dan perasaannya; terampil dalam pemikiran, perencanaan, dan pengelolaan;


(27)

kompeten dalam memberi dan menerima dukungan—semua keterampilan umumnya bagi kehidupan yang mungkin relevan dalam menghadapi tantangan situasi tertentu. Tanpa mengesampingkan level keberfungsian, kondisi kesulitan kehidupan yang dihadapi klien, serta makna persoalan yang harus segera ditangani, pengetahuan dan keterampilan klien dapat mendukung pemecahan situasi masalah yang dihadapinya. Cari kekuatan dan kemampuannya. Ini adalah tugas pekerja sosial dalam membantu klien mengenali dan mengartikulasikan pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang mereka bawa ke dalam proses pertolongan. Mengenali kekuatan-kekuatan tersebut akan membantu terpeliharanya hubungan pekerja sosial-klien yang kolaboratif dengan meningkatkan kesadaran klien untuk terlibat dalam proses pertolongan.

Tidak menjadi masalah apakah seorang klien adalah sukarela, tidak sukarela atau bukan sukarela, serta situasi apapun yang membawa seorang klien bertemu dengan seorang pekerja sosial generalis, klien memiliki pilihan untuk ikut serta dalam proses pertolongan. Dalam hal ini, klien harus memiliki kemajuan paling sedikit ke tahap persiapan dari perubahan. Tantangan bagi pekerja sosial generalis adalah membantu klien untuk bergerak menuju tahap prakontemplasi dan kontemplasi, sehingga klien tidak mundur atau terus bergerak menuju perubahan tanpa benar-benar terlibat dalam proses pertolongan.

Sejumlah faktor mempengaruhi kemampuan klien untuk terlibat dalam hubungan pertolongan. Faktor pertama adalah perasaannya mengenai memperoleh bantuan dan stigma yang mereka rasakan ketika meminta bantuan kepada orang asing bagi mereka. Nilai-nilai budaya dan keyakinan, sebagaimana


(28)

juga pengalaman dengan pertolongan profesional lainnya mempengaruhi perasaan-perasaan tersebut. Hal terbaiknya adalah sebagian besar klien umumnya mampu mengatasi perasaan-perasaannya untuk bekerja sama dengan seorang pekerja sosial. Pekerja sosial harus mengkomunikasikan pemahaman dari perasaan-perasaan tersebut dan menciptakan suatu harapan sehingga memungkinkan perubahan agar klien terlibat dalam proses pertolongan. Sensitif atas harapan-harapan klien dan peran-perannya dalam proses pertolongan dan jelaskan sifat kolaboratif dari kerja bersama anda akan mendukung partisipasi klien.

SIMPULAN

Praktik pekerjaan sosial generalis meliputi keterampilan dan intervensi praktik dalam lingkup luas. Hal ini berkaitan dengan praktik dalam level mikro dan level makro. Fokus intervensi mikro pada individu-individu, pasangan-pasangan, keluarga, dan kelompok kecil. Sedangkan fokus intervensi makro pada satuan tugas dan komite-komite lembaga, satuan tugas profesional, koalisi masyarakat, dan kelompok-kelompok ketetanggaan.

Hubungan pertolongan dalam intervensi mikro diarahkan langsung pada peningkatan keberfungsian dan pemberdayaan sistem klien. Hubungan pertolongan dalam intervensi makro pada level organisasi terfokus pada peningkatan peningkatan organisasi dan pelayanannya seperti mengembangkan pelayanan-pelayanan baru. Pada level masyarakat, fokusnya adalah meningkatan kondisi masyarakat, memberdayaan warga setempat, mengembangkan sumber-sumber, peningkatan kesadaran, dan memobilisasi warga.


(29)

Para pekerja sosial generalis harus terampil dalam memanfaatkan diri berkaitan dengan level sistem intervensi. Pemanfaatan diri secara luas untuk membantu individu, keluarga, dan kelompok kecil merupakan bagian fundamental dari praktik mikro (langsung). Kemampuan untuk memberikan dukungan , meningkatan motivasi, memelihara harapan, memperkuat komitmen, menggerakkan kekuatan, meningkatan pemahaman, dan memfasilitasi komunikasi merupakan hal penting berkenaan dengan ukuran sistem klien. Proses pertolongan perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat membutuhkan para pekerja sosial generalis yang dapat memanfaatkan diri sendiri untuk membantu klien melakukan perubahan.

Praktik generalis dilakukan dengan sistem klien individu, keluarga, kelompok kecil, organisasi, dan masyarakat. Jadi, para pekerja sosial generalis dipersiapkan untuk menangani persoalan-persoalan baik level-mikro maupun level-makro. Selanjutnya untuk bekerja dengan sistem klien dari beragam ukuran, para ahli generalis seringkali bekerja dengan sistem klien berganda. Para ahli generalis bekerja dengan sejumlah sistem klien yang berbeda secara simultan. Contohnya, para ahli generalis yang bekerja dengan sistem klien individu seringkali akan berkaitan dengan sistem klien keluarga seperti halnya juga dengan organisasi dan kelompok-kelompok masyarakat dalam lingkup sistem klien individual. Sistem sasaran tersebut dalam lingkungan sistem klien yang menjadi sasaran untuk perubahan atau intervensi.

Klien bisa yang sukarela, tidak sukarela dan bukan sukarela. Berkenaan dengan situasi yang membawa seorang klien melakukan kontak dengan seorang ahli generalis, klien harus menentukan untuk turutserta dalam proses


(30)

pertolongan. Untuk hal ini, mesti terdapat kemajuan pada diri klien paling tidak hingga tahap persiapan dari perubahan. Tantangan bagi para pekerja sosial generalis adalah membantu klien untuk bergerak ke depan tahap prakontemplasi dan kontemplasi sehingga klien tidak terhenti atau sedikitnya terus mengikuti proses pertolongan.

Sejumlah faktor yang mempengaruhi kemampuan klien untuk terlibat dalam hubungan pertolongan. Salah satu faktor adalah bagaimana perasaan mereka tentang memperoleh pertolongan dan seberapa besar stigma yang mereka rasakan tentang perlunya peranan batuan orang asing. Nilai-nilai budaya dan keyakinan demikian pula pengalaman memperoleh pertolongan sebelumnya berpengaruh terhadap perasaan-perasaan tersebut. Hal yang terbaik adalah sebagian besar klien dapat mengatasi perasaan-perasaan tersebut untuk bekerja dengan seorang pekerja sosial. Mengkomunikasikan pemahaman akan perasaan-perasaan tersebut dan menciptakan harapan perubahan adalah memungkinkan hal kritis agar klien mau terlibat dalam proses pertolongan. Sensitif terhadap harapan-harapan klien dan peranannya dalam proses pertolongan dan mengklarifikasi sifat bekerja sama secara kolaboratif juga membantu partisipasi klien.

Dalam tulisan berikutnya akan dijelaskan secara khusus mengenai apa yang dimaksud dengan assessment, selanjutnya secara singkat akan dikemukakan mengenai prinsip dasar dan praktek pekerjaan sosial mikro; untuk selanjutnya secara khusus memperbincangkan bagaimana proses wawancara (konseling) dalam pekerjaan sosial.


(31)

(32)

2

PRINSIP DASAR PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL MIKRO

A. PENGERTIAN

Konseling dalam pekerjaan sosial seringkali dikaitkan dengan praktik pekerjaan sosial dalam mikro. Sebelum membahas lebih jauh prinsip-prinsip praktik dalam praktik mikro, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa batasan atau definisi dari pekerjaan sosial mikro itu sendiri. Beberapa penulis menyebut praktik mikro itu sendiri dengan istilah bimbingan sosial perorangan atau case work. Mary Richmond, salah seorang perintis case work ilmiah, mendefinisikannya sebagai berikut:

“social casework consist of those processes which develop personality through adjusments consciously effected, individual by individual, between men and their environent” (dalam Skidmore, p.49)

Nampak bahwa definisi tersebut melihat bimbingan sosial perseorangan (social casework) merupakan proses untuk meningkatkan kepribadian seseorang melalui penyesuaian secara sadar, antar individu, antara orang dengan lingkungannya. Proses bimbingan sosial perseorangan tidak dapat dilakukan pada situasi klien tidak sadar, harus dilakukan dalam kondisi pekerja sosial dan klien memahami situasi proses pertolongan yang akan dilakukan.


(33)

Lebih jauh lagi Skidmore (1994) menegaskan bahwa casework merupakan suatu teknik pertolongan, yaitu:

“Social casework is a methode of helping people based knowledge, understanding, and the use of techniques skillfully applied to helping people to solve problem” (p. 50)

Bahkan sebagian praktisi tenaga pengembangan masyarakat menyatakan bahwa semua upaya pekerjaan sosial klinis (mikro) mengupayakan kepada pengayaan/peningkatan dan pemeliharaan keberfungsian psikologis individu, keluarga, dan kelompok-kelompok kecil. Sehingga kemampuan-kemampuan metode mikro ini dalam konteks makro seringkali sangat bermanfaat, bahkan menentukan keberhasilan sebuah kegiatan pengembangan masyarakat. Seringkali para praktisi para pengembangan masyarakat menemui para tokoh-tokoh berpengaruh, dengan memanfaatkan kemampuan teknik mikronya, agar tujuan kegiatan pengembanga masyarakat tersebut dapat tercapai. Sebab, keberhasilan kegiatan pengembangan masyarakat seringkali ditentukan oleh para tokoh berpengaruh yang ada ditengah-tengah masyarakatnya.

B. KERANGKA PRAKTIK

Dalam suatu praktik mikro setidaknya terdapat maksud (tujuan), nilai-nilai, sanksi, pengetahuan, dan metode-metode yang seringkali merupakan jantung dari praktik casework bersama dengan perseorangan, dan keluarga. Kesemua hal tersebut merupakan suatu kerangka praktik mikro. Berikut ini beberapa penjelasan dari elemen-elemen kerangka praktik tersebut.


(34)

1) Maksud/tujuan

Elemen maksud atau tujuan ini mengemukakan mengenai alasan-alasan untuk bertindak; yaitu dapat berupa upaya pencegahan dan perawatan yang ditimbulkan dari keretakan atau gangguan hubungan harmonis antara perorangan dan keluarganya atau kelompoknya. Membantu orang untuk mengenali dan mengatasi permasalahan-permasalahan dalam hubungannya (sosial), paling tidak meminimalisasi akibat-akibat yang diimbulkannya. Kemudian pekerjaan sosial berupaya untuk memperkuat potensi maksimal dari individu, kelompok, dan masyarakat. Pekerja sosial juga membantu klien untuk menemukan sumber-sumber potensial disekitar klien yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh klien. Dengan perspektif kekuatan, maka dalam diri klien dan di lingkungan sekitar klien terdapat sejumlah kekuatan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk memperkuat perbaikan kondisi dan kekuatan klien itu sendiri dalam rangka mengatasi permasalahannya.

2) Nilai dan Prinsip Dasar Pekerjaan Sosial

Nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial, yang tentunya sesuai dengan konteks masyarakat dan persoalan sangat menentukan sikap dan pendekatan para pekerja sosial. Profesi pekerjaan sosial memiliki asumsi akan pentingnya harga diri dan potensi individu serta saling berkaitannya antara individu dan masyarakat lingkungannya. Beberapa nilai dasar umum kemanusiaan yang dapat mempengaruhi praktek pekerjaan sosial antara lain:

1. Penghargaan terhadap martabat dan harga diri manusia;


(35)

2. Penghargaan terhadap hak manusia untuk menentukan ‘nasibnya’ sendiri;

3. Penghargaan terhadap adanya kesempatan yang sama bagi setiap manusia

4. Tanggung jawab sosial.

Nilai-nilai dasar tersebut umumnya hampir terdapat dalam setiap masyarakat di belahan bumi ini, tidak terkecuali di Indonesia. Dari nilai-nilai dasar tersebut memuncul sejumlah asumsi dasar mengenai nilai filosofis (umum) dalam praktek pekerjaan sosial, yaitu:

Nilai dan harga diri (martabat) seseorang adalah penting (terpenting);

Manusia dan masyarakat saling bergantung satu sama lainnya, dan juga memiliki tanggung jawab satu sama lainnya.

Sementara itu juga tetap memandang perbedaan dan keunikan setiap orang begitu penting, setiap orang perlu berbagi dengan lainnya

Potensi setiap orang adalah nyata, dan setiap diri seseorang menerima atau memiliki tanggungjawab sosial yang aktif untuk turut serta dalam urusan kemasyarakatan.

Jika seseorang tidak mampu berfungsi, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengatasi hambatan-hambatan yang membatasi tumbuh-kembang seseorang tersebut.

Dari dasar asumsi tersebut dapat diturunkan secara lebih rinci lagi menjadi beberapa asumsi yang melandasi praktik pekerjaan sosial mikro, yaitu;


(36)

1. Asumsi nilai terhadap martabat dan kapasitas individu Martabat manusia menempatkan setiap individu dalam posisi yang unggul/ utama

Nilai martabat menunjukkan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk mengendalikan tindakannya, dan berpotensi untuk meraih tujuan dan kemajuannya.

Berdasarkan hal tersebut pekerjaan sosial berupaya memperkuat –kapasitas, potensi martabat, serta sumber-sumber-- manusia

2. Nilai keunikan

Keyakinan akan keunikan individu dan menunjukkan suatu pendekatan penerimaan pekerjaan sosial dan memandang perbedaan sebagai suatu asset.

Secara individu baik pekerja sosial dan klien individu atau keluarga saling menegaskan akan engagement (perjanjian keikutsertaan untuk terlibat), dimana tenaga pekerja sosial dan klien akan saling berkomunikasi untuk membangun hubungan yang bermakna, dan proses pekerjaan sosial diterapkan. Dalam bimbingan sosial persorangan (casework) individualitas menempati posisi yang utama; berbeda dengan keseragaman.

3. Postulat nilai penentuan nasib sendiri (self-determination) Sebagai penerapan dalam proses pekerjaan sosial konsep nilai tersebut secara jelas mengakui bahwa klien adalah manusia yang berdiri ‘sendiri’. Apakah akan diterima atau tidaknya suatu pelayanan (dalam batas tertentu) merupakan keputusan klien.

Self-determination berarti bahwa klien akan

memutuskan apakah ya atau tidak mengikuti proses bimbingan sosial perorangan (casework)


(37)

Para pekerja sosial secara perasaan dan mental tetap harus bersikap netral, tetapi dapat membagi pemikiran (gagasan), perasaan, pengalaman, sepanjang dilakukan secara menarik, penuh perhatian, simpati dan empati. Pengalihan kebebasan memilih dan self – determination akan merusak hubungan dan mengurangi pemecahan masalah klien dan kapasitasnya. .

3) Sanksi

Sanksi merupakan kewenangan dan penghargaan masyarakat terhadap kegiatan (setiap ekspresi) pekerjaan sosial dalam pengaturan struktural, hukum, dan pernyataan kebijakan. Kewenangan terhadap pelayanan adalah diberikan oleh hukum, atau seperangkat pembuatan kebijakan dalam aturan dan perundang-undangan badan-badan sosial yang mencerminkan harapan-harapan masyarakat yang mendukung pelayanan sosial dijalankan badan-badan sosial.

4) Pengetahuan

Pengetahuan di sini adalah yang memberikan dasar pengetahuan mengenai fakta, konsep, dan prinsip-prinsip praktik; yaitu teori yang mendasari pekerjaan sosial secara mendasar yang berasal dari profesi pekerjaan sosial dan dari praktik pekerjaan sosial.

Beberapa sumbangan pengetahuan penting yang berasal dari disiplin tertentu, diantaranya: psikologi dinamik, psikologi ego, dan berbagai pengembangan teoritis dalam sosiologi, piskologi sosial, psikiatri, dan antropologi budaya.

Meski pekerjaan sosial “meminjam” teori-teori dari psikologi, sosiologi dan bidang ilmu lainnya, keprofesian


(38)

pekerjaan sosial itu sendiri menata, mengatur, menyesuaikan dan menentukan tekanan mana yang akan digunakan berkait dengan praktek pekerjaan sosial.

Selain nilai-nilai dasar dan pengetahuan yang mendasar praktik pekerjaan sosial mikro, dalam bab-bab selanjutnya akan dikemukakan beberapa teknik dan keterampilan dalam pekerjaan sosial mikro.


(39)

(40)

3

ASSESSMENT

BERBASIS YANG PADA KEKUATAN

A. PENDAHULUAN

Dalam praktek pekerjaan sosial terdapat sebuah paradigma sederhana mengenai proses pemecahan masalah yang dalam profesi pekerjaan sosial dikenal dengan pola :

assessment intervention termination and evaluation. Dalam proses tersebut seringkali proses assessment dipahami sebagai tahapan yang secara prosedural harus dilalui saja. Padahal assessment merupakan tahap yang penting (mungkin terpenting) dalam proses pekerjaan sosial.

Asesmen merupakan proses kritis dalam praktik pekerjaan sosial. Penentuan tujuan dan intervensi amat tergantung pada asesmen. Sehingga proses ini merupakan proses penting bahkan krusial dalam praktek pekerjaan sosial, sebab assessment yang tidak tepat atau tidak lengkap mungkin akan berakibat pada penetapan tujuan yang tidak tepat dan penetapan intervensi yang tidak tepat. Karena assessment yang dibuat tidak tepat atau tidak lengkap, perubahan positif yang diharapkan dari klien nampaknya tidak akan terjadi.

Hepworth and Larsen (1986) mengemukakan asesmen sebagai berikut:


(41)

Asesmen adalah proses pengumpulan, penganalisaan dan mensistesakan data kedalam suatu formulasi yang menekankan dimensi vital sebagai berikut: (1) sifat permasalahan klien, termasuk perhatian khusus terhadap peran-peran yang klien dan hal penting lainnya yang sulit dijalankan; (2) keberfungsian klien (kekuatan, keterbatasan, aset pribadi dan kekurangan) serta hal penting lainnya; (3) motivasi klien untuk mengatasi masalah; (4) relevansi faktor lingkungan yang turut mendukung timbulnya masalah; dan (5) sumber-sumber yang tersedian atau dibutuhkan untuk mengurangi/ menghilangkan kesulitan klien. (p.165)

Asesmen terkadang menunjukkan sebagai suatu psychosocial diagnosis (Hollis, 1972). Namun istilah diagnosis terlalu fokus pada apa kesalahan-kesalahan klien, keluarga, atau kelompok yang didiagnosis—seperti dianggap mengidap penyakit, mengalami masalah disfungsional dan mental. Karena diagnosis cenderung memiliki konotasi negatif, banyak para pendidik pekerjaan sosial, termasuk saya, lebih suka menggunakan istilah assessment. Asesmen tidak hanya mempertanyakan apa persoalan klien tetapi juga sumber-sumber, kekuatan-kekuatan, motivasi, komponen fungsional, dan faktor positif lainnya yang dapat digunakan dalam mengatasi kesulitan, meningkatkan keberfungsian, dan mendukung pertumbuhan. Dalam kenyataannya, asesmen memiliki arti yang lebih luas bagi pengembangan rencana intervensi.

Sifat dari tugas-tugas assessment amat beragam sesuai dengan tipe seting dimana pekerjaan sosial berpraktik, meskipun seting berbeda tetapi proses yang digunakannya


(42)

tetap serupa. Seorang pekerja sosial yang bekerja pada sebuah rumah perawatan (nursing home) yang melakukan asesmen pada klien potensial akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan pekerja sosial dalam seting pelayanan perlindungan yang melakukan asesmen pemeliharaan anak-anak korban kekerasan.

Dalam sejumlah seting (seperti halnya dalam lembaga pelayanan perlindungan), pekerja sosial melakukan suatu asesmen independent. Dengan kebebasan ber-assessment, para pekerja sosial akan berkonsultasi dengan kolega atau profesional disiplin lainnya berkaitan dengan kasus tersebut. Dalam seting lainnya (misalkan, klinik kesehatan mental, sekolah, dan rumah sakit), pekerja sosial mungkin bertindak sebagai anggota team klinis yang melakukan asesmen. Anggota tim lainnya mungkin terdiri dari psikolog, psikiater, dan mungkin profesional dari disiplin lainnya. Bersama tim klinis ini, setiap anggota mempunyai peranan yang saling melengkapi dalam proses asesmen, berdasarkan pada masing-masing keahlian profesionalnya. Seorang psikolog, misalnya, akan memfokuskan pada keberfungsian psikologis dan mungkin akan melakukan serangkaian pengujian-pengujian (test) psikologis (termasuk test kepribadian dan kecerdasan). Seorang pekerja sosial akan mengkompilasi suatu sejarah sosial yang mengkaji latar belakang keluarga, dinamika pernikahan, faktor lingkungan, serta latar belakang pekerjaan dan pendidikan. Dalam suatu seting dimana pekerja sosial sebagai asesor utama, maka asesmen umumnya dapat dipenuhi dalam satu, dua atau tiga sesi. Dengan pendekatan suatu tim klinis, kasus biasanya lebih pelik lagi, dan asesmen dengan berbagai profesional mungkin memakan waktu sedikitnya seminggu.


(43)

Asesmen terkadang merupakan suatu hasil (product) atau terkadang merupakan proses berjalan (an ongoing process). Sebagai suatu produk/hasil, aseemen merupakan suatu formulasi berdasarkan waktu berkenaan dengan sifat kesulitan dan sumber-sumber potensial klien. Sebagai ilustrasinya adalah hasil dari status asesmen mental pada rumah sakit jiwa. Misalkan pertama-tama asesmen terfokus pada penentuan apakah klien sehat jiwa atau psikotik. Jika klien dinilai psikotik, seorang psikiater memberinya label dan merekomendasikan suatu pendekatan pengobatan tertentu. Bahkan saat suatu assessment merupakan suatu produk, assessment biasanya akan selalu diperbarui dan direvisi perbulan atau terkadang tiap tahun. Esensinya, assessment adalah suatu hipotesa kerja (proposisi) mengenai kesulitan-kesulitan dan sumber-sumber klien berdasarkan pada data terkini. Seiring dengan waktu, klien akan berubah dan selanjutnya faktor-faktor lingkungan sosial mempengaruhinya. Berdasarkan perubahan tersebut, assessment harus diperbarui dan direvisi secara periodik.

Assessment juga dapat dilihat sebagai proses yang berjalan dari sejak mulai wawancara hingga fase terminasi kasus. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menerima klien mungkin seminggu, sebulan, atau setahun. Selama waktu tersebut, profesional bekerja dengan kasus yang secara terus-menerus menerima dan menganalisis informasi baru yang secara gradual muncul. Dalam tahap awal kontak dengan klien, fokus utamanya adalah mengumpulkan informasi untuk menilai (to assess) masalah dan sumber-sumber klien. Pada suatu tentatif waktu tertentu, fase pemecahan (problem solving) memiliki penekanan yang lebih besar---sebagai strategi penyelesaian yang dianjurkan, dianalisis, dan


(44)

kemudian satu atau lebih strategi yang terpilih dan diimplementasikan. Namun apabila dalam fase pemecahan masalah, informasi baru berkaitan dengan kesulitan dan sumber-sumber klien yang sesuai muncul, maka perlu dilakukan revisi terhadap assessment. Dalam kenyataannya, seiring kontak antara profesional dan klien yang terus berjalan, klien mungkin membuka tambahan permasalahan yang perlu dinilai dan diperbaiki. Biasanya dalam kontak awal umumnya klien akan menahan informasi penting karena takut atau khawatir menerima kritikan dari profesional. Misalkan sorang tua yang melakukan kekerasan anak di awal nampaknya akan menyangkal kejadian tindak kekerasan tersebut. Seiring berjalannya waktu, jika orang tua mulai percaya kepada pekerja sosial, orang tua tersebut mungkin akan membuka diri bahwa terkadang ia lepas kendali dan kemudian memukul anaknya. Sesuai informasi yang baru tersedia, assessment di awal perlu direvisi.

Hepworth dan Larsen (1986) mencatat bahwa asesmen terus dilakukan bahkan hingga fase terminasi.

Proses asesmen berlanjut hingga fase akhir pelayanan. Selama akhir wawancara, praktisi secara hati-hati mengevaluasi kesiapan klien untuk mengakhiri pelayanan, menilai kesulitan-kesulitan yang mash tersisa yang di masa depan mungkin menyebabkan kesulitan, serta mengidentifiasi reaksi emosional yang mungkin muncul terhadap terminasi pelayanan. Praktisi juga mempertimbangkan kemungkinan strategi untuk membantu klien mempertahankan kemajuan fungsional atau mengupayakan tambahan perbaikan setelah pelayanan resmi pekerjaan sosial diakhiri.


(45)

B. PERSPEKTIF PADA KEKUATAN (STRENGTHS PERSPECTIVE)

Selama beberapa dekade terakhir, pekerjaan sosial dan profesi pertolongan lainnya telah memusatkan fokus utamanya pada pendiagnosaan pathology, shortcomings, dan dysfunctions klien. Salah satu alasannya mungkin bahwa psikologi Freud digunakan sebagai teori utama dalam menganalisis perilaku manusia. Psikologi Freud didasarkan pada model medis dan dengan demikian memiliki konsep yang berupaya mengidentifikasi kesakitan atau pathology. Sebagaimana diuraikan dalam tulisan sebelumnya, pekerjaan sosial saat ini telah beralih pada model sistem dalam menilai perilaku manusia. Model tersebut memfokuskan diri pada pengidentifikasian baik kekuatan maupun kelemahan.

Hal terpenting bahwa para pekerja sosial memasukan kekuatan atau kelebihan klien dalam proses asesmen. Dalam bekerja bersama dengan klien, para pekerja sosial fokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien guna membantu mereka mengatasi permasalahannya sendiri. Untuk memanfaatkan kekuatan atau kelebihan klien secara efektif, para pekerja sosial pertama-tama harus mengidentifikasi kekuatan-kekuatan tersebut.

Sayangnya, Maluccio (1979) menemukan bahwa banyak para pekerja sosial fokus perhatiannya terlalu banyak pada kelemahan-kelemahan klien dan memandang rendah atau buta dengan kekuatan-kekuatannya. Maluccio menyimpulkan bahwa terdapat suatu tuntutan untuk mengubah fokus perhatian pendidikan dan praktik pekerjaan sosial dari masalah atau patologi beralih kepada kekuatan,


(46)

sumber-sumber, dan potensi-potensi dalam kehidupan manusia dan lingkungannya.

Terlalu focus pada kelemahan dapat memperburuk kapasitas seorang pekerja sosial untuk mengetahui potensi pertumbuhan klien. Para pekerja sosial berkeyakinan kuat bahwa klien memiliki hak (dan sebaiknya digali) untuk mengembangkan potensialitas dirinya secara penuh. Memfokuskan pada penyakit (pathology) selalu melemahkan nilai tanggung jawab tersebut.

Alasan lainnya adalah untuk memelihara kekuatan-kekuatan (kelebihan-kelebihan) klien yaitu bahwa banyak klien perlu dibantu meningkatkan harga dirinya. Banyak yang merasa tak berdaya, merasa tidak adil, merasa bersalah, dan tidak memiliki kepercayaan serta harga diri. Glasser (1972) mencatat bahwa harga diri yang rendah seringkali mengarah atau menimbulkan kesulitan emosional, mudah menyerah, atau bertindak kriminal. Bantulah klien untuk memandang dirinya lebih positif, pekerja sosial pertama-tama harus memandang kliennya sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya. Berwick (1980) menilai rendah poin ini dalam bekerja bersama orang tua yang mengabaikan anak-anak yang sulit berkembang:

Harga-diri yang menyurut rendah di orang tua anak-anak tersebut, dan keberhasilan rumah sakit memelihara seorang anak saat si ibu gagal yang hanya meratapi penderitaan….Bahkan dalam beberapa kasus yang membutuhkan layanan perawatan, tugas perawatan kesehatan berupaya mencari kekuatan dan mengembangkan pemikiran kompetensi baik orang


(47)

tua dan anak yang akan memungkinkan hubungan pemeliharaan yang sinkron terus tumbuh.

Perspektif kekuatan sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan (empowerment). Empowerment sebagaimana didefinisikan oleh Barker (1995) sebagai “the process of helping individuals, families, groups, and communities to increase their personal, interpersonal, socioeconomic, and political strength and to develop influence toward improving their circumstances” (p.20). Perspektif ini berupaya mengidentifikasi, memanfaatkan, membangun, dan memperkuat kekuatan dan kemampuan yang mereka punya. Hal tersebut berlawanan dengan perspektif patologis, yang cenderung fokus pada kelemahan dan ketidakmampuan mereka. Perspektif kekuatan berguna untuk melihat lingkaran kehidupan dan melintasi seluruh tahap proses pertolongan—assessment, intervention, and evaluation. Fokus tersebut menekan pada kemampuan orang, nilai-nilai, minat, keyakinan, sumber-sumber, prestasi dan aspirasi seseorang (Weick, Rapp, Sulivan, & Kisthardt, 1989)

Menurut Saleebey (1997, pp. 12-15), terdapat lima prinsip yang mengarahkan asumsi perspektif kekuatan tersebut:

Pertama. Setiap individu, kelompok, keluarga dan masyarakat memiliki kekuatan. Perspektif kekuatan melihat sumber-sumber tersebut. Saleebey mencatat bahwa di tahap akhir, klien ingin mengetahui bahwa anda benar-benar membantu mereka, bahwa bagaimana melihat diri anda berbeda, bahwa anda akan mendengarkan mereka, bahwa anda akan menghargai diri mereka tidak perduli latar belakang mereka, dan bahwa anda yakin bahwa mereka dapat


(48)

membangun sesuatu yang bernilai dengan sumber-sumber yang ada dalam diri dan di sekitar mereka. Tetapi yang terpenting, klien ingin mengetahui bahwa anda yakin bahwa mereka dapat mengatasi kemalangan dan mulai menapaki ke arah perubahan dan pertumbuhan (p.12)

Kedua. Trauma, siksaan, sakit, dan perjuangan dapat membuat luka, tetapi hal tersebut dapat dijadikan sumber tantangan dan kesempatan/peluang. Klien yang telah menjadi korban dipandang sebagai individu aktif dan berkembang, melalui trauma, mereka belajar keterampilan dan atribut pengembangan diri yang membantu mereka menghadapi persoalan yang sama di masa mendatang. Kehormatan akan ditemui ketika mampu mengatasi hambatan-hambatan. Kita akan cepat tumbuh berkembang apabila kita mampu melewati krisis dan mampu mengatasi situasi secara efektif di setiap periode kehidupan.

Ketiga. Diasumsikan bahwa anda sama sekali tidak mengetahui batas atas dari kapasitas untuk terus tumbuh dan berubah, dan melakukan aspirasi individu, kelompok dan masyarakat secara serius. Prinsip ini berarti bahwa pekerja social harus memegang harapan yang tinggi terhadap klien dan mengikatnya dengan visi, impian, dan nilai-nilainya. Individu, keluarga, dan masyarakat memeiliki kapasitas untuk memantulkan dan memulihkan persoalan. Ketika pekerja sosial menghubungkannya dengan harapan dan impian klien, klien secara tepat memiliki keyakinan yang lebih besar. Sehingga seterusnya mereka mampu menempatkan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk memenuhi harapan dan impian mereka sendiri.

Keempat. Kita lakukan pelayanan terbaik kepada klien dengan berkolaborasi dengannya, yang lebih besar akan dirinya sendiri. Seorang pekerja sosial akan lebih efektif jika


(49)

dilihat oleh klien sebagai kolaborator atau konsultan daripada sebagai seorang ahli atau seorang professional. Sikap mental kolaboratif oleh seorang pekerja sosial membuat dia lebih rentan dengan beragam akibat kelemahan dari hubungan expert-inferior, termasuk pemolaan, victim-blaming, dan pesolek pandangan klien.

Kelima. Setiap lingkungan penuh dengan sumber-sumber. Dalam setiap lingkungan (tidak perduli seberapa kerasnya) terdapat individu-individu, kelompok-kelompok, asosiasi, dan institusi dengan sesuatu untuk pemberian, dan dengan sesuatu kebutuhan lainnya mungkin menyedihkan. Perspektif kekuatan berupaya mengidentifikasi sumber-sumber tersebut dan membuat mereka keberadaannya bermanfaat bagi individu, keluarga, dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Prinsip-prinsip tersebut begitu esensial penerapannya, khususnya berkaitan dengan proses awal pertolongan pekerjaan sosial, yaitu assessment. Hasil dari assessment ini akan ditentukan bersama (antara pekerja sosial dan klien) mengenai rencana kegiatan (plan of treatment) yang sekiranya tepat sesuai dengan sumber—sumber dan potensi yang dimiliki klien dan yang ada di sekitar klien. Namun, sebelum berlanjut perlu pula untuk melihat suatu kerangka assessment, yang telah ada dan berkembang baik yaitu asesmen dengan kerangka bio-psiko-sosio-spiritual’; yang mencoba untuk secara menyeluruh melihat beragam dimensi dalam asesmen.

Kerangka Bio-Psiko-Sosio-Spiritual

Langkah pertama untuk melakukan asesmen yang bermakna adalah dengan memperluas cara pandangnya. Kebanyakan orang melihat diri mereka sebagai gabungan dari


(50)

berbagai kualitas yang kompleks, dengan berbagai dimensi, yang sebagian diketahui orang lain, sebagian lagi tidak diketahui. Semua manusia dipengaruhi oleh dan berdiri paling sedikit dalam 4 dimensi utama, biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Kebanyakan teori-teori praktik, bahkan dalam pekerjaan sosial, menekankan pada dua dimensi pertama, dan praktik asesmen tradisional, terutama DSM, sedikit atau bahkan tidak menghiraukan dua dimensi terakhir. Yang menarik adalah bahwa dalam dimensi sosial dan spiritual tersebutlah substansi dari kehidupan individu itu ditampilkan. Yaitu dimana makna dikonstruksi dan hubungan dikembangkan. Terutama dimensi sosiallah dimana individual dapat berinteraksi dengan lingkungannya, dan menemukan lingkungan tersebut sebagai sumber yang berlimpah atau meningkatkan perkembangan atau penuh tekanan dan melemahkan.

Kapan seorang klien menjadi bukan seorang klien?

Akan membantu untuk memahami bahwa tidak setiap orang menyebut klien adalah seorang klien. Sebagai contoh, saya bertaruh bahwa tidak ada itu kasus klien yang tidak kooperatif atau klien yang mendapatkan mandat, dan dengan anggapan tersebut menyarankan bahwa ada pemikiran delusional di sisi praktisi dan menjamin munculnya perilaku “tidak kooperatif” (de Shazer, 1985; Walter & Peller, 1992). Hal tersebut lebih masuk akal lagi ketika seseorang memahami bahwa banyak individu yang dilihat oleh seorang pekerja sosial bukan sebagai klien, tapi sesuatu atau seseorang lain.


(51)

Ada 5 tipe individu yang dipandang pekerja sosial sebagai klien: pengeluh, pengunjung, sasaran, pasien dan klien (de Shazer, 1985; Pincus & Minahan, 1973).

Pengeluh adalah orang dengan sebuah keluhan, dan mereka ingin sesuatu atau lebih umum, seseorang untuk berubah. Terapi perkawinan dan keluarga seringkali menemukan mereka memiliki satu atau lebih keluhan, individu yang ingin pasangan atau anak mereka berubah.

Pengunjung adalah orang yang pada intinya sedang melewati; mereka tidak mengeluh maupun tertarik pada sesuatu. Pekerja sosial sekolah melihat banyak anak yang paling tidak, diawalnya adalah sebagai pengunjung.

Sasaran adalah orang-orang yang diinginkan berubah oleh orang lain. Banyak anak-anak yang diterapi adalah sasaran, begitu juga dengan banyak pasangan, dan klien yang disebut tidak kooperatif, menolak dan dimandatkan.

Pasien adalah penerima perawatan medis. Pekerja sosial tidak memberikan pelayanan medis, dan menyebut klien sebagai pasien menciptakan ruang epistemologi dan prasangka yang tidak sesuai dengan etika.

Klien didefinisikan oleh dua kriteria yang sangat penting: a) mereka mempunyai keluhan, dan b) mereka masuk ke dalam kontrak dengan pekerja sosial untuk melakukan sesuatu dengan keluhan mereka.


(52)

Memahami siapa yang ditemui mengubah keseluruhan pengalaman dan hasil dari proses asesmen. Sebagai contoh, memahami seseorang sebagai sebuah sasaran secara lengkap akan mengubah makna interaksi yang dikonstruksikan secara sosial, dan ekspektasi yang dimiliki seseorang atas interaksi tersebut. “melawan” atau kurang kooperatif dipandang sebagai cara sasaran untuk mengajarkan pemberi pelayanan bagaimana bekerja dengan sasaran tersebut (O’Hanlon & Wilk, 1987).

Identitas, Atribut Dan Perilaku: Atau Menjadi, Memiliki Dan Melakukan

Perspektif berdasarkan kekuatan tidak menghiraukan atau meminimalisasi diagnosa atau keterampilan-keterampilan diagnosa, tapi menekankan bahwa mereka harus dipandang kontekstual dan sebagai bagian dari proses yang lebih besar. “Setelah melakukan asesmen, dampaknya pekerja sosial perlu meyakinkan bahwa diagnosis tidak menjadi sudut identitas diri” (Saleebey, 1996, hal. 303). Sehingga, pertimbangan penting lainnya dalam proses asesmen adalah memahami perbedaan antara identitas, atribut, dan perilaku. Sebagai contoh, pertimbangkan bagaimana ketiga pernyataan berikut memiliki dampak kepada persepsi diri klien dan persepsi pekerja sosial terhadap mereka: “dia adalah rata-rata”. “dia memiliki disorder kepribadian borderline”. Dan “kadang-kadang dia sangat baik, kadang-kadang dia sangat kritis”. Atau contoh lainnya: “Saya seorang alkoholik”, “saya memiliki penyakit yang disebut alkoholisme”, dan “Kebiasaan


(53)

minum saya menciptakan masalah dalam kehidupan saya”. Di setiap contoh, ketiga pernyataan berasal dari asumsi epistemologi dan ontologi yang berbeda, dan dampaknya terhadap persepsi sedikit tapi sangat besar signifikansinya, dan sangat beragam dengan individu yang terkena. Mendeklarasikan seseorang sebagai seorang alkoholik adalah perubahan yang sangat kritis untuk sebagian orang, sementara menyebutkan seseorang itu rata-rata mungkin akan mendapatkan reaksi diskriminasi dari pemberi pelayanan, dan juga berbahaya bagi perasaan diri indvidu tersebut.

Pekerja sosial harus memahami bagaimana perbedaan ini mempengaruhi cara mereka melihat dan berhubungan dengan orang-orang yang memerlukan pelayanan, dan bagaimana klien-klien tersebut melihat dirinya sendiri dalam dunia ini. Label memiliki kekuatan tidak saja menjelaskan, namun juga mempenjarakan dan mempersempit serta memperberat klien dengan cara mengurangi fakta-fakta berarti dari kehidupan mereka menjadi fakta tidak penting.

Tabel 4. Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual Biological Basic need—food, clothing, shelter

Comprehensive health

Physical attributes and abilities Physical environment

Psychological Individual history

Personality style and makeup Intelligence and mental abilities Self-concept and identity


(54)

Lanjutan:Tabel 4 Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual Sociocultural Family (through biology, choice, or

circumstance) Community Ethnicity

Social environment Political environment Economic environment

Spiritual Sense of self, in relation to the world Sense of meaning and purpose Value base

Religious life

Sumber: Graybeal, 2001

Graybeal (2001;p237-238) mengusulkan penggunaan Model ROPES (resources, options, possibilities, exceptions, solutions) dalam melakukan asesmen yang berbasis pada kekuatan. Model ini digunakan sebagai alat praktis untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber-sumber dan kekuatan-kekuatan personal dan lingkungan. Kerangka model tersebut digunakan untuk memandu baik perspektif secara umum maupun pertanyaan khusus bagi para praktisi. Yaitu ketika para praktisi mengalami kebuntuan, kurang inspirasi, atau tidak mampu menentukan pemanfaatan kekuatan. Maka ROPES, dapat dipahami sebagai alat mnemonic yang dapat memberi arah panduan bertindak.


(55)

Tabel 5 Indentifikasi Kekuatan: Menggunakan ROPES

Resources Pribadi (personal) Keluarga (family)

Lingkungan sosial (social environment) Keorganisasian (organizational)

Komunitas (community) Options Fokus saat ini (present focus)

Penentuan pilihan (Emphasis on choice) Apa yang dapat diakses saat ini? (what can be accessed now?)

Apa yang tersedia dan belum dicoba atau digunakan? (what is available and hasn’t been or tried or utilized?) Possibilities Fokus masa depan(future fokus)

Imaginasi (imagination) Kreativitas (creativity)

Visi masa depan (Vision of the future) Lakukan (play)

Apa yang anda berfikir dicobakan tapi belum dilakukan

Exceptions Saat masalahnya tidak juga terjadi? Saat permasalahan berbeda?

Saat bagian dari hipotesis di masa depan terjadi? Bagaimana anda selamat, bertahan, dan terus berjuang?

Solutions Fokus pada konstruksi solusi bukan pada pemecahan masalah

Apanya yang dapat berjalan? Apa keberhasilan anda?

Apa yang anda lakukan ketika anda ingin terus melanjutkan ?

Mukjizat apa yang terjadi?

Apa yang akan anda lakukan sekarang untuk membuat potongan mukjizat tersebut? Sumber: Graybeal, 2001


(56)

Tantangannya bagi para pekerja sosial adalah bagaimana memasukan perspektif kekuatan tersebut, bahkan dalam sebuah setting dimana hanya terdapat sedikit relevansi pemahaman, pengakuan, atau penerimaan. Pada sisi inilah nilai-nilai dasar dan etika pekerjaan sosial seharusnya melandasi pilihan bertindak, karena hati, pemikiran, gagasan dan perilaku tindakan tersebut dapat memperkuat dan mempertahankan paradigma berfikir tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya advokasi agar mempercepat perubahan paradgima tersebut baik dalam level kebijakan maupun praktik.

Menghadapi form isian asesmen yang tradisional, adalah memungkinkan untuk menggeser cara penulisannya, melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada klien, dan memberi ruang khusus pada respon-respon pengecualian, harapan, dan kemungkinannya. Dalam bagian berikut Graybeal (2001) juga memperlihatkan contoh bagaimana pergeseran yang dapat dilakukan dari asesmen tradisional kemudian bergeser pada asesmen berbasis pada kekuatan dengan menambahkan informasi tambahan.

Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan

Jenis Area

Informasi Informasi tradisional Informasi tambahan

Keberadaan masalah

Gambaran detail permasalahan Daftar simpton Status msental Strategi koping

Menekankan pada bahasanya klien Pengecualian permasalahan Eksplorasi sumber Menekankan pada solusinya klien Pertanyaan mukjizat


(57)

Lanjutan: Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan

Jenis Area Informasi

Informasi

tradisional Informasi tambahan

Sejarah masalah Onset and duration Course of development Interactional sequences Previous teratment history

Exceptions: When was the probem not happening, orhappening differently?

Include “future history” ---vision of when problem is solved Sejarah pribadi Developmental

miletones Medical history Pshysical, emotional, sexual abuse Diet, exercise Physical, psychological, social, spiritual, enviromental assets. “how did you do that?” “how have you

managed to overcome your adversities?” “what have you learned that you would want others to know?” Substance Abuse

History

Patterns of use: onset, frequency, quantity Drugs/habits of choice: alcohol, drugs, caffeine, nicotine, gambling Consequences: physical, social, psychological

“How does using help?” Periods of using less (difference)

Periodes of abstinence (exceptions)

Persosn and family rituals---what has endured despite use/abuse? Sumber: Graybeal, 2001


(58)

Lanjutan: Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan

Jenis Area Informasi

Informasi

tradisional Informasi tambahan

Sejaran keluarga Age and health of parents, siblings Descriptions of relationships Cultural and ethic influences

History of illness, mental illness

Family rituals (mealtimes/holidays) Role models---nuclear and extended

Strategies for enduring Important family stories Pekerjaan dan Pendidikan Educational history Employment history Achievements, patterns, and problems

List of skill and interests Homemaking, parenting skills

Community involment Spiritual and ritual involment Ringkasan dan rekomendasi treatment Summary and prioritization of concern Diagonis: DSM-IV, PIE Recomended treatment strategies Expanded narrative-reduce focus on

diagnosis and problems Summary of resources, options, possibilities, exceptions, and solutions.

Recommendations to other professionals for how to utilize strengths in work with client Sumber: Graybeal, 2001


(1)

dalam mengambil keputusan dalam menegosiasikan sumber-sumber kesejahteraan sosial.

The Exchange of Proposals

Saling mempertukarkan usulan merupakan ‘jantung’ nya negosiasi. Proses mengajukan dan mengembalikan ajuan dilakukan hingga tercapai kesepakatan.

Information Exchange and a Common Definition of the Situation

Pertukaran informasi dalam negosiasi mejadi media utama untuk membenarkan (memperjelas) posisi kita sendiri dan pihak lain, dan bahkan dalam membuat suatu konsesi (kelonggaran).

Winners and Losers

Dalam suatu negosiasi terkadang kita berupaya memperoleh hasil yang maksimal. Selama proses berlangsung yang terpikir di benak kita adalah akhir yang baik buat kita sendiri dengan mengabaikan kepentingan atau kebutuhan pihak lain. Inilah yang kita sering sebut dengan ‘kemenangan’ bernegoasiasi. Namun begitu kasus tersebut tidak perlu terjadi. Karena situasi menang atau kalah tersebut secara terpaksa diterima oleh orang lain yang mengalami kekalahan, dan ini sebenarnya akan menimbulkan permasalahan baru. Berikut


(2)

2. Ingat bahwa sebagian besar negosiasi akan berlangsung dalam suatu hubungan yang berjangka waktu lama yang harus dipelihara;

3. Ingat bahwa penyelesaian yang paling memuaskan dan langgeng adalah sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan keduabelah pihak.

Tangibles and Intangibles

Jika memahami secara lebih mendalam maka nampaklah bahwa negosiasi seperti sebuah “permainan psikologis” sebagai sebuah proses pembuatan-keputusan secara rasional. Suatu proses negosiasi pada akhirnya setiap pihak harus memutuskan pada akhir negosiasi apakah mereka ‘menang’ atau ‘kalah’ , apakah tercapai atau tidak tujuannya, atau apakah puas atau tidak. Kesemuanya itu merupakan faktor psikologis ---menang atau kalah, percaya atau tidak percaya, berkonflik atau menghindar, suka atau tidak suka terhadap lawan, terlihat bagus atau bodoh – sepertinya merupakan pusatnya bernegosiasi sebagai substansi aktual permasalahan negosiasi. Kita menyebut elemen tersebut sebagai intangibles. Intangibles merupakan faktor psikologis kita yang mepengaruhi proses negosiasi.

Sebaliknya yang dimaksud dengan tangibles adalah sesuatu yang secara formal ada dalam agenda kita: harga atau besarnya gaji, ‘terms’ atau ‘conditions’ ideal, kata-kata kesepatakan, bahasa kontrak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Dubois, B., and Miley, K. K. (1999). Social Work: An empowering profession (3rd ed.) Boston: Allyn and Bacon.

Garvin, C.D., and Seabury, B. A. (1997). Interpersonal Practice in Social Work: Promoting competence and social justice (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Graybeal, Clay. (2001). Strengths-Based Social Work Assessment: Transforming in The Dominant Paradigm. Families in Society: The Journal of Contemporary Human Services. Families International Inc.

Hepworth, D., Rooney, R., and Larsen, J. (2002). Direct Social Work Practice: Theory and Skills (6th ed.). Pasific Grove, CA: Brooks/Cole.

Kirs-Ashman, K., and Hull, G. (1993). Understanding Generalist Practice. Chicago:Nelson-Hall.

______________, 1999. Understanding Generalist Practice 2nd Edition.

Nelson-Hall Pub. : Chicago

Kirst-Ashman, Hull, Vogel. 1999. Student Manual of Classroom Exercises and Study Guide for Understanding Generalist Practice 2nd Edition. Nelson-Hall Pub. : Chicago

Miley, K., O’Melia, M., and DuBois, B. L., (1998). Generalist Social Work Practice: An Enpowering approach (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Pincus, A., and Minahan, A. (1973). Social Work Practice: Model and Method. Itasca, IL: Peacock Publishers, Inc.


(4)

Saleebey, D. (2002). The Strengths Prespective in Social Work Practice (3rd ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Shulman, L. (1999). The Skill of Helping Individuals, Families, Groups, ang Organizatios (4th ed.). Itasca, IL: F. E. Peacock Publishers.

Zastrow, Charles, 1995. The Practice of Social work. 4th Edition. Brooks/Cole Publishing Company, California.


(5)

BIODATA PENULIS

Santoso Tri Raharjo, lahir di Bandung Jumat 5 Februari 1971 dari pasangan Mishan dan Marinah. Penulis beragama Islam, dan memiliki istri bernama Nurliana Cipta Apsari, dengan dikaruniai dua orang putra Arya Muhammad Rafi Raharjo dan Aslam Aulia Raharjo. Penulis beralamat di Puri Cipageran Indah I Blok A-277, RT.01/RW.26 Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi

Utara, Kota Cimahi. Alamat email:

santosotriraharjo@gmail.com.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN Angkasa V Lanud Sulaiman Bandung lulus tahun 1984, SMPN 8 (SMPN 1) Margahayu Bandung lulus tahun tahun 1987, SMAN 4 Bandung lulus tahun 1990. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan S-1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-Univeristas Padjadjaran, kemudian melanjutkan studi S-2 Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia lulus tahun 2003, dan pada tahun 2013 menyelesaikan studi S-3 Sosiologi Universitas Padjadjaran.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1998 diterima menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tahun 2007-2011 pernah menjabat Kepala Laboratorium Kesejahteraan Sosial, dan sejak tahun 2011 dipercaya sebagai sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD. Selain itu penulis juga aktif sebagai anggota Dewan Pembina di LSM Bahana Karya Insani. Penulis pernah memperoleh penghargaan ‘Satyalencana Kesetiaan 10 tahun’ dari Presiden RI tahun 2012

Beberapa karya penulis lainnya antara lain ‘No Nganggur No Cry’, tahun 2009 (menulis bersama), Penerbit Oase Bandung; ‘Dasar-dasar Pekerjaan Sosial’, tahun 2010 (menulis bersama), Penerbit: Mitra Padjadjaran Bandung; ‘Social Enterprise, Social Entrepreneurship, and Corporate Social Responsibility’, tahun 2011 (menulis bersama), Penerbit Mitra Padjadjaran; ‘Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal’, tahun 2013 Penerbit Unpad Press; ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’(menulis bersama), tahun 2013 Unpad Press. ‘Dasar Pengetahuan Pekerjaan Sosial”, tahun 2014 Penerbit Unpad Press. “Pekerjaan Sosial Generalis, Suatu Pengantar Bekerja


(6)

2015 ISBN:978-602-9238-51-8