Political Acts Pay for Person Pay for Performance

208 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 interaksi komunikasi politik-nya Dryzek, 2000, p.15, sehingga memiliki nilai legitimasi demokrasi yang kuat. Model Komunikasi Deliberasi tidaklah sama dengan model partisipan yang selama ini lebih dikenal dan digunakan dalam tatanan diskusi antara masyarakat dan pemerintah Indonesia melalui Forum Msyawarah Rencana Pembangunan Musrenbang. Untuk itu perlu diklarifikasikan terlebih dahulu terminologi antara model partisipan dan deliberasi. Berdasarkan pemikiran Lorenzo Cini dalam disertasi-nya Between Participatory and Deliberation Model 2011, yang menjelaskan bahwa Model Participatory Democracy disebut juga sebagai “New Social Movement” Della Porta e Diani, 1997, memiliki dua tujuan spesifik Lynd, 1965, yaitu: 1. Mengambil bagian dalam semua keputusan yang memberi dampak bagi kualitas dan arah hidup mereka 2. Masyarakat dikonstruksikan untuk mempromosikan kemerdekaan atas hak-hak asasi dan untuk menunjukkan rata-rata keterlibatan dalam hal yang sama. Yang seringkali diinterpretasikan sebagai “sebuah desain dari bentuk keterlibatan sosial didalam” dengan dimensi kuantitatif yang menekankan pada peran serta politik dalam lingkungan masyarakat sipil – bagaimana orang mengambil bagian didalamnya yang dilihat dari berapa kali ia mengikuti kegiatanacara politik yang ada dan terlibat didalam pengambilan keputusan Citroni, 2010:41. Sedangkan pada model Deliberative Democracy , yang disebut sebagai “ Global Justice Movement” Della Porta, 2005, 2007 menginterpretasikan bahwa sebuah pilihan politik yang terlegitimasi, haruslah berasal dari deliberasi akhir yang muncul dari proses sebuah elemen kebebasan, kesamaan dan rasionalitas secara adil dan wajar untuk diargumentasikan. Singkatnya, Model Deliberasi dibangun dari proses komunikasi yang terkondisikan secara retorik untuk diinformasikan kedalam sebuah proses diskursus, dengan menggunakan kekuatan komunikasi yang didesain secara favorouble and unique . Melalui bentuk narrative yang terstuktur dan terpolakan, yang bertujuan membangun Awareness, Interest, Desire, Decision and Action AIDDA para stakeholders yang menjadi target audience dari proses diskursus ini. Tujuan dari proses diskursus yang dijalankan, diharapkan dapat membangun positioning kuat didalam ruang pikir target audience , akan manfaat dari Alga Hijau sebagai ‘energi alternatif’. Ketika tahap positioning dicapai, dapat dikatakan, proses Komunikasi Deliberasi telah mencapai ekuitas-nya. Pencapaian ini dapat diukur dari terbentuknya ‘Society Resonance’ yang terjadi di wilayah yang menjadi target audience . Dibawah ini, adalah gambar dari Hierarki Proses Komunikasi Deliberasi Ekuitas Kellar, Kevin 2000; Sari, Novieta H., 2014: Gambar 1.1. Hierarki Proses Komunikasi Deliberasi Ekuitas

2.1. Komunikasi Deliberasi

Model Komunikasi Deliberasi berakar dari teori konsep Deliberative Democracy, dimana berdasarkan buku “Liberal, Constitutional dan Discursive”-Dryzek, 2000 , proses deliberasi demokrasi berjalan berdasarkan tindakan komunikasi yang dijalankan melalui “debat argumentasi” Elster, 1998, sebagai satu-satunya bentuk legitimasi dari komunikasi demokrasi dan ide rasional konsensus yang menjadi arah tujuan demokrasi yang terlegitimasi, melalui rata-rata diskursus rasional yang dilakukan Rawls 1993. Perspektif ini menunjukkan faham-faham yang terdiri atas pandangan public sphere Habermas, 1992, masyarakat sipil Young, 2000 dan gerakan sosial Dryzek, 1990, 2000, yang dilingkupi oleh keinginan untuk memperoleh kekuasaan Mansbridge, 1996, konflik Foucault, 1977, kebimbangan Moufee, 2000 dan faham-faham aktivis publik Young, 2001; Fung, 2005. Untuk itu perlu dibuat sebuah skema konseptual yang merangkum features dari setiap model yang didasari pada enam6 dimensi spesifik, yaitu: 1. Site of Politics : Where does politics take place?

2. Political Acts

: What acts are regarded as political? 209 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015

3. Forms of Communication

: How do the styles of communication manifest themselves? 4. Ends of Democracy : What are the ideals of democracy? 5. Public Outcomes : What results does the democratic process bring about? 6. Democratic Legitimacy : What’s the source of ‘ideal validity’ Habermas, 1992 of democractic order? Sehingga dapat dikatakan bahwa Teori partisipan mengarah pada dimensi kuantitatif, dimana proses demokrasi yang terjadi didasarkan pada jumlah masyarakat secara kolektif dan langsung ambil bagian dalam setiap permasalahan yang secara langsung mempengaruhi hidupnya, sedangkan Teori deliberasasi bicara dalam dimensi kualitatif, dimana rekomendasi-rekomendasi yang merupakan hasil keputusan, didasari pada argumentasi dengan orientasi pemikiran rasional, yang diperdebatkan antar publik yang terlibat, termasuk argumentasi yang bertujuan untuk mempengaruhi satu sama lain dalam membuat keputusan – proses diskursus sesi panel Citroni, 2010: 34-45. Karenanya dalam demokrasi deliberatif, kebijakan-kebijakan penting, misalkan saja perundang-undangan, amat dipengaruhi oleh diskursus-diskursus bebas yang terjadi dalam masyarakat. Perlu ditegaskan, dalam sebuah komunitas, selain terdapat kekuasaan administratif yang dijalankan negara dan kekuasaan ekonomis dipegang oleh kaum kapital terbentuk suatu kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil. Inilah yang menjadi inti dari demokrasi deliberatif F. Budi Hardiman, 2009 : 56. Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau dapat dipahami sebagai “diskursus publik” F. Budi Hardiman, 2009 : 22. Karenanya perlu adanya pemberdayaan masyarakat yang menerapkan yang menekankan pada penyadaran moderinisasi, kritikal dan pembebasan dengan tetap mengacu pada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang menjadi penyatu visi solidaritas sosial yang terkonstruksi dalam sebuah kerangka pemikiran persuasive marketing , yang dibuat untuk membangun penyadaran Awareness, ketertarikan Interest , keinginan Desire dan tindakan Action akan peran serta mereka untuk terlibat dan turut bertanggung jawab dalam pembuatan rencana pembangunan kedepannya. Sehingga nantinya, dalam konteks keterwakilan politik misalnya, masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang utama tidak lagi dikalahkan dalam proses pengambilan kebijakan publik, yang jika sebelumnya kebijakan publik yang terbentuk, hanya akan dimaknai sebagai kepentingan politik dari pihak legislatif dan eksekutif, kedepannya pola tersebut perlu dirubah. Karena jika tidak segera dijalankan, bukan tidak mungkin akan terjadi adalah sebuah revolusi, karena suka tidak suka pengikisaran peran negara dalam pembuatan kebijakan akan terus berjalan Habermas, 1992, dan jika itu terjadi akan lebih banyak merugikan daripada menguntungkannya. Sehingga perlu penyadaran oleh semua pihak-pihak masyarakat, eksekutif dan legislatif untuk berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan ini, tanpa perlu menghilangkan ideologi dan nilai-nilai budaya yang menjadi landasan pijak politik praktisnya. Idealnya keterlibatan aktif masyarakat dalam proses itu, bisa menjadi mediator bagi perwujudan harmonisasi di antara pihak eksekutif dan legislatif dalam proses tersebut. Dalam membuat sebuah produk politik proses sosiologi komunikasi dan komunikasi politik menjadi bagian penting, karena kita harus bisa memetakan persoalan sosial yang memiliki tingkatan-tingkatan urgensi yang berbeda-beda penanganannya, yang juga menjadi tolak ukur pembuat kebijakan dalan mengeluarkan peraturan-peraturan kebijakan publik. Idea penerapan demokrasi deliberatif Fishkin, J., 2013 ditujukan untuk melihat titik-titik masuk yang mungkin dapat di eksplorasi didalam sistem politik yang dijalankan melalui desain-desain demokrasi deliberatif yang melibatkan masyarakat umum dalam memberi suara secara poling maupun melalui sesi panel yang menfokuskan pada empat titik masuk berikut ini, yaitu: a Evaluasi dan atau terhadap kandidat-kandidat yang terseleksi di tahap nominasi; b Evaluasi danatau penetapan formulasi proposisi ‘ballot’; c masukan publik yang terkait dengan kebijakan dan perundang-undangan; dan d masukan publik atas proses perubahan konstitusional reformasi birokrasi. Pengembangan pola komunikasi dalam demokrasi deliberasi, menjadi pemikiran dasar akan diperlukan sebuah manajemen komunikasi strategik frame work yang diimplementasikan secara informatif dan produktif, yang memerlukan kemampuan berimprovisasi dalam menyikapimenganalisa perubahan kondisi lingkungan yang ada, baik internal maupun eksternal. Dasar pemikiran ini, yang menjadi acuan 210 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 dari penulis untuk menajamkan proses deliberasi yang berfokus pada kekuatan komunikasi, yang dikenalkan dalam Model Komunikasi Deliberasi. Dalam paradigma sosiologi, interaksi komunikasi yang berjalan berjalan secara simbolik, penuh retorika bahkan propaganda dalam padanan budaya dunia intersubjektif serta proses pelembagaan realitas baru. Sebagaimana dikatakan Parera, bahwa terciptanya sebuah konstruksi sosial melalui tiga momen dialektis, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi . Pendekatan strategis yang dapat menciptakan pola komunikasi dialektis ini adalah melalui analisa perilaku masyarakat, pemetaan sosial dalam menemukan kebutuhan yang tepat, ter-segmentasi, ter- positioning dan ekuitas menemukan pencitraan yang positif. Keempat aspek tersebut diatas yang akan mendukung konsep komunikasi strategik dengan menempatkan model komunikasi deliberasi sebagai salah satu perangkatnya Dhakidae, Daniel, 2004; Sari, Novieta H. 2014. 2.2. Manajemen Komunikasi Strategik Seperti yang disebutkan diatas, dalam menerapkan Model Komunikasi Deliberasi, diperlukan manajemen komunikasi strategik framework yang dalam penerapannya, menerapkan beberapa key action plan , yang diantaranya adalah: 1. Desain Komunikasi, yang melakukan pendekatan komunikasi berbasis local wisdomlocal context secara berlapis dan bervariasi mulai dari: komunikasi massa cetak, elektronik maupun sosial media, entertainment education , interpersonal communication , participatory development communication, advokasi, dan sosial mobilisasi ⇨ untuk menciptakan perubahan sosial yang bernilai lebih bagi masyarakat Manoncourt, E., Scandlen, G., 2004. 2. Resourses Management Framework, mengidentifikasikan stakeholder yang memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan sosial tersebut. Mulai dari lapisan pemerintah lokal, Industri, Lembaga Swadaya Masyarakat, hingga lapisan masyarakat itu sendiri, yang menjadi pelaku maupun yang menerima dampak dari perubahan sosial tersebut. 3. Struktur Narasi , dalam menciptakan ‘pesan; yang kuat, bernilai dan unik, yang disampaikan baik melalui tulisan; verbal: retorika, truthful propaganda ; non verbal: simbol, gambar, yang dipromosikan seperti iklan secara simultan dan berkesinambungan. 4. Toolkit, sebagai penunjang interaksi komunikasi itu sendiri, yang diberikan melalui: buku panduan, brosur, agenda kerja time table , alat bantu. Penerapan perencanaan pola komunikasi yang selalu berubah berjalan searah, mengikuti perubahan lingkungan yang ada baik secara internal maupun eksternal. Hal ini tergambar pada bagan dibawah ini: Gambar 1.2. Pola Komunikasi 2.3. Internal Reflection dalam Diskursus Politik deliberasi akan selalu melibatkan internal reflection dan diskusi publik Diskursus didalam setiap kegiatan diskursus yang dijalankannya Niemeyer, Dryzek, 2007. Karenanya bentuk atau pola diskursus yang ideal jauh lebih penting dari penerapan demokrasi deliberasi itu sendiri, hal tersebut ditunjukkan - berdasarkan beberapa hasil temuan dari penelitian sebelumnya, bahwa terjadi perubahan sikap partisipan yang menjadi lebih responsif setelah menerima fase informasi didalam proses diskusi yang berjalan. Deliberasi itu sendiri didalam filosofi politik kontemporer melihat bahwa terdapat dua elemen konstitusi yang digabung menjadi satu, pertama secara teori demokratis, penerapan deliberasi jauh dari model “aggregative jumlah perolehan suara atau vote-centric pemusatan pada pengambilan suara ”, dengan menempatkan nilai bangga yang didasari atas alasan diadakannya diskusi itu sendiri, dibanding hanya sebagai nilai tambah dari suara yang ada Miller, 1992; Dryzek, 2000, h.1-30. Hal kedua , yang disebut sebagai refleksi kedalam internal reflections , yang mengarah kepada pemberian rasa bangga terhadap ikatan antar pribadi yang aktual actual interpersonal engagement – Ackerman, 1989. Secara hipotesa, proses diskursus dimaksudkan untuk mewadahi aspirasi jujur dari setiap orang yang berpartisipasi didalamnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa didalam sebuah proses diskursus 211 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 yang berjalan, ada sebuah bentuk pelatihan yang di atur berdasarkan pemikiran-pemikiran mandiri dari orang-orang yang terlibat didalamnya Dryzek, 2000, h.15. Singkatnya, diskursus adalah retorik demokrasi deliberasi kontemporer yang bersandar pada bobot argumentasi yang dipresentasikan dari hasil pemikiran masing-masing individu yang melakukan interaksi komunikasi politik-nya Dryzek, 2000, p.15, sehingga memiliki nilai legitimasi demokrasi yang kuat. Deliberasi secara umum menuntut keberadaan demokrasi yang berkualitas untuk me mbangunmenciptakan “masyarakat yang lebih baik”; “masyarakat yang berkualitas” Mansbridge, 1999. Melalui deliberasi, masyarakat menjalani proses belajar, berpikir, dan berbicara tentang kebijakan dan pilihan-pilihan electoral choices . Masyarakat deliberasi adalah masyarakat yang sadar informasi yang relevan, mengacu pada isu yang berkembang, dan melakukan tukar pendapatpikiran dengan yang lain. Nilai berharga utama dari deliberasi adalah keseimbangan, mengandalkan informasi dari sisi yang mendukung dan tidak untuk memberikan argumentasi dan pilihan-pilihan, sekalipun secara alami, deliberasi memiliki tingkat ketidakseimbangan yang tinggi. Karena seringkali orang dalam mencari informasi melakukannya secara tidak proposional dan konsisten dan hanya mengandalkan sudut pandang yang ada didalam pikirannya sendiri atau orang lain yang memiliki pandangan yang sama. Dasar dari “deliberasi” adalah panggilan untuk memberi “bobot” yang sudah ada. Sehingga argumentasi yang berlangsung, akan memberikan pilihan-pilihan yang terbaik bagi masyarakatnya.

2.4. Konstruksi Sosial

Dalam berbicara tentang pilihan-pilihan politik, utamanya kita harus memahami masyarakat beserta sistem sosialnya, guna menentukan strategi yang tepat dalam mengembangkan sebuah logical framework pemasarannya. Talcott Parsons mengembangkan sebuah analisis fungsional secara rinci dalam buku The Social System . Teori fungsionalisme struktural dapat dikaji melalui beberapa asumsi-asumsi dasar berikut ini Bungin, Burhan, 2007: 1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain; 2. Dengan demikian hubungan pengaruh- 3. mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut bersifat timbal balik; 4. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan baik, namun, secara fundamental, sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis; 5. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi, sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi, dan penyimpangan; 6. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial terjadi secara bertahap melalui penyesuaian- penyesuaian dan bersifat evolutif; 7. Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial ialah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai. Kemudian Talcott Parsons menjelaskan teori sistem sosial, bahwa setiap masyarakat memiliki sistem sosial yang bisa digambarkan dengan AGIL serta mengenai fungsi struktur untuk memecahkan empat masalah, yaitu: adaptation adaptasi, goal attainment pencapaian tujuan, integration integrasi, dan latency pattern maintenance pemeliharaan pola. Berikut penjelasannya: 1. Adaptation adaptasi, di mana, sistem harus beradaptasi dengan lingkungannya; 2. Goal Attainment pencapaian tujuan, di mana, sistem memiliki tujuan-tujuan yang akan dicapai; 3. Integration integrasi, di mana, setiap bagian sistem berhubungan antara satu dengan lainnya secara erat dan saling mendukung fungsi masing-masing; 4. Latency pattern maintenance pemeliharaan pola, di mana, sistem juga memiliki kemampuan untuk mempertahankan pola-pola, aturan-aturan, dan bahkan memiliki kemampuan untuk memperbaiki sistem yang rusak apabila ada serangan dari luar sistem. Di samping itu, Talcott Parsons juga menilai, keberlanjutan sebuah sistem sosial bergantung pada persyaratan: a Sistem harus terstruktur agar bisa menjaga keberlangsungan hidupnya dan juga harus mampu harmonis dengan sistem lain; b Sistem harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem lain; c Sistem harus mampu mengakomodasi para aktornya secara proporsional; d Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para aktornya; e Sistem harus mampu untuk mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu; f Bila terjadi konflik menimbulkan kekacauan harus dapat dikendalikan; g Sistem harus memiliki bahasa aktor dan sistem sosial. 212 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Dalam membangun sikap dan perubahan sosial, yang dapat menciptakan perubahan sistem sosial secara laten Parera, Talcott, megungkap fenomena dan implikasi dari sebuah pencapaian akhir dari demokrasi yang berkualitas. Mengacu pada hal tersebut, evolusi dan gambaran metaframework yang mungkin terjadi, dapat di idenifikasi berdasarkan elemen-elemen berikut ini Haferkamp Smelser, 1992: 4-5: 1. Meknisme Pemicu Perubahan Triggering Mechanisms . Yang diantaranya, secara internal mekanisme, dapat dipicu oleh keberadaan teknologi yang ada – seperti social media: facebook, twitter; faktor budaya culture lags , dan juga, timbulnya internal kontradiksi didalam diri individu yang bersangkutan. Smelser , menyebutkannya sebagai ‘ intersocietal relations”. Eder , menamakannya sebagai internal kontradiksi dan ancaman, sebagai mekanisme yang meng- inisiasi ‘komunikasi yang terjalin’. Eisentadt mengidentifikasikannya sebagai “Structural Variety” didalam kehidupan bermasyarakat, yang menjadi dasar dari kemunculan dan berkembangnya konflik-konflik didalamnya. 2. Mekanisme Berkelanjutan dari Perubahan. Hondrich , memahami perbedaan dan segmentasi sebagai “dua hal yang berkolaborasi dan menimbulkan evolusi, yang tampil dalam bentuk dinamika yang beraspek pada inovasi, meluas dan beresiko, yang mengarah pada pencegahan, stabilitas dan pencegahan resiko. Eder , melakukan pengujian dengan menggabungkan beberapa klasifikasi mekanisme yang dibagi dalam tiga tahapan variasi, seleksi, dan stabilisasi, yang melibatkan proses pembelajaran melalui groups, classification struggles, dan konflik antara masyarakat dan lingkungan. 3. Direktori, menghargai determinasi pernyataan akhir dari perubahan. Eder , menyatakan “untuk memproduksi kembali komunikasi”. Konstituen realitas komunikasi sosial yang menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang ada, pada tingkat moral ideas . Eder , berasumsi, bahwa perubahan evolusioner dalam kesadaran moral, dipengaruhi oleh initial dissolution yang berbasis pada moralitas agama pada abad ke- enambelas 1985,10. Eisenstadt , berargumen terhadap posisi direktori yang berasal dari modernisasi, dimana intervensi kaum elit dutujukan untuk menciptakan struktur sosial modern. 4. Proses secara keseluruhan. Satu dari teori kontemporer evolusioner adalah sebuah pekerjaan yang diawali dengan patologi, paradoks, decay , dan dissolution yang berjalan searah dengan pertumbuhannya Elias, 1985. Hondrich , melihat adanya peningkatan homoginitas didalam masyarakat yang menunjukan beberapa variasi ancaman yang muncul melalui fungsi differensiasi. Eder , juga melihat, bahwa patologi yang ada didalam proses evolusioner, secara umum mengarah ketingkat moralitas yang lebih tinggi. Proses ini akan menjadi bagian penting dari perkembangan yang perlu diperhatikan didalam proses diskusi publik diskursus yang dijalankan, hingga tercapai perubahan sosial seperti yang diharapkan, peningkatan kualitas hidup berbasis ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Perubahan sikap dan aksi sosial yang diharapkan terjadi dalam proses penerapan komunikasi deliberasi ini akan melewati empat tahap, dimulai dari: 1 Tahap identifikasi, yang diawali o leh sebuah ‘kesadaran’; 2 Penciptaan makna melalui asosiasi diskursus yang berjalan paralel dengan kampanye media yang atraktif; 3 Tumbuh kearah positif, dimana respon mulai muncul, dan; 4 Hubungan dengan masyarakat menuju kearah berhasil, yang terbaca melalui tingginya intensitas dan loyalitas masyarakatnya. 2.5. Green Social Capital Sosial kapital yang disebut juga sebagai “relationship to others” merupakan sebuah aset produktif yang dijadikan sebagai sebuah pengganti sekaligus pelengkap dari aset produktif lainnya, yang terhubung secara kontinen, dalam bentuk penanaman modal perorangan maupun kolektif, yang bertujuan membangun atau mereproduksi hubungan sosial yang berlangsung dalam jangka pendek maupun panjang, yang dilakukan di lingkungan tempat kerja, rumah, kesuku-an, maupun kekerabatan Schmid, A. Allan and Robison, Linden J.. Tiga komponen dalam sosial kapital, yaitu: 1 Social Networks Interaction dan sociability – pengalaman berinteraksi tatap muka dengan orang- orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dimana kita belajar untuk saling percaya; 2 trust and reciprocity – berkembang sepenuhnya didalam masyarakat; dan 3 sense of belongingplace attachment – disebut sebagai civic engagement , yang lebih lanjut, mendorong kemampuan setiap anggotanya mempengaruhi bentuk pelayanan 213 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 publiknya - public affairs Putnam, Robert et al. 1993; 1995a; 1995b; 2000. Proses uji partisipasi ini, dilakukan dengan menggunakan 3 dimensi: intensity ke-partisipasi-an secara aktif vs. pasif; scope luas-besar Vs. Beberapa afiliansi and type bertujuan non-politik Vs. Politik. Dalam konteks ini, Putnam mengasosiasikan sumber utama dari terbentuknya sosial kapital adalah kepercayaan sosial yang sejalan dengan terbentuknya social networks dan civic engagement . Dikatakan sebagai green social capital , dikarenakan aktifitas yang dilakukan bertujuan untuk membangun sebuah nilai ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

3. METODE PENELITIAN

Sesuai dengan tujuan penelitian mengenai efektifitas komunikasi politik strategik dalam menerapkan model demokrasi deliberasi guna menciptakan produk kebijakan publik yang berkualitas dan aplikatif, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang menfokuskan pada proses pengkonstruksian realitas dengan pendekatan ontologis dalam memahami maknanya. 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan suatu tipe penelitian grounded research approach Barney Glaser Anselm Strauss karena sifat penelitiannya yang menemukan teori dari kajian empiris. Dalam hal ini, kemampuan membuat kerangka kerja konseptual dalam komunikasi strategik secara efektif dianggap sebagai yang krusial, kritis, dan spesifik. Ini dikarenakan peneliti ingin menemukan mekanisme komunikasi strategik yang tepat dan efektif dalam memberdayaan aktor-aktor politik didalamnya masyarakat, eksekutif dan legislatif dalam meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab yang sama dalam memutuskan sebuah rancangan kebijakan yang menjadi tujuan politik bersama bagi peningkatan kesejahteraan berbangsa dan bernegara. Akhirnya tentu saja akan berdampak pada kepedulian dan integrasi kehidupan mereka pada nilai-nilai ideologi, budaya, integritas, kehidupan perpolitikan di Indonesia. Metode ini bertujuan untuk mempersempit fokus penelitian sehingga penelitian dapat berjalan dengan kondusif dan lancar. Misalnya, untuk meneliti efektifitas komunikasi strategik yang dijalankan dalam menghasilkan kesepahaman yang sama dalam penerapan model demokrasi deliberasi yang terkonstruksi. Sebuah teknik komunikasi dalam konteks apapun, tentu saja harus dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan need dari masyarakatnya, yang akan menjadi landasan content isi dalam menentukan langkah pemasaran yang tepat untuk meningkatkan pemberdayaan di tiap pelaku politik didalamnya. Untuk itu tentu saja harus dilakukan observasi untuk mengenal lebih dekat kondisi dan situasi atau latar alamiah perilaku masyarakat tersebut. Penelitian yang deskriptif ditujukan untuk membuat gambaran secara terperinci mengenai situasi, perilaku, aktivitas, dan pekerjaan manusia. Dalam hal ini yang akan dideskripsikan adalah aktivitas program kerja frame work dari kegiatan Komunikasi Strategik yang akan diterapkan nantinya. Hasil penelitian tersebut dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk kepentingan para pendidik, masyarakat, pelaku politik di masa datang. Metode riset dikemukakan jelas dan sistematis sesuai keperluan. Dalam metode riset, dikemukakan pula peran masing-masing aktor yang sedang diteliti, baik dari pihak pemerintahah maupun pasar yang memiliki dampak dari program ini. Jelaskan adanya peningkatan internal reflection didalam diskursus-diskursus publik yang dijalankan. Dalam hal ini, kemampuan membuat kerangka kerja dari program pemasaran produk politik Kebijakan Publik secara efektif dianggap sebagai yang krusial, kritis, dan spesifik. Ada pun penelitian akan memfokuskan pada analisa dan mengobservasi pola-pola argumentasi yang terjadi dialamnya yang dilakukan dalam bentuk sesi panel dan diterapkan kedalam empat proses tahapan, yang didasari atas Mefalopulos, Paolo, 2008: 83-85:

3.2. Limitasi

studi kasus dan cara mengatasinya Hal yang berkaitan dengan masalah generalisability atau transferability dari sebuah studi kasus tunggal dapat diatasi dengan mengutamakan desain penelitian dan seleksi metodologi yang dilandasi dasar yang kuat. Salah satu cara untuk memastikan hal tersebut adalah dengan melakukan tes validasi dengan metodologi triangulation Johnson and Christensen, 2004; Patton, 2002.

3.3. Metodologi triangulasi dalam data analisis kualitatif

Analisis penelitian akan dilaksanakan menggunakan pendekatan: Kualitatif: 1 language, object, act analysis, 2 network analysis, and 3 stakeholder analysis. 214 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Metode analisis diatas dikombinasikan berdasarkan kerangka kerja dan urutan langkah sebagaimana berikut ini: 1. Tahapan Communication – Based Assement CBA : a. Didasari atas penerapan model deliberative , untuk mendukung proses inovasi diffusi pada perubahan sikap sosial, perubahan sosial, yang dilakukan melalui Sesi panel Diskursus dan pelatihan dengan sejumlah rangkaian pemberdayaan yang difasilitasi atas isu kesejahteraan sosial. b. Pastikan bahwa masyarakat yang diberdayakan monitoring evaluation memutuskan kapan dan apa yang perlu dirubah action . CBA membantu mengidentifikasi stakeholder utama dalam project ini. 2. Tahapan Desain Komunikasi Strategik, mengarahkan proses transformasi yang ditemukan pada CBA sebagai masukan dalam membuat desain strategisnya a. Tahapan Komunikasi untuk Terapan implementation , aktivitas pelaksanaan rencana kerja yang dibuat sebelumnya yang perlu diatur dan dimonitoring penerapannya. b. Tahapan Komunikasi untuk Monitoring dan Evaluasi, untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari intervensi komunikasi yang diterapkan. 3. Pada Tahapan Penelitian kualitatif tahapan akhir dapat bergerak ke depan dan ke belakang selama prosesnya berlangsung, tapi bisa juga bergerak menuju pada sebuah akhir, membangun langkah menuju ke sebuah kesimpulan di setiap tingkatnya Kegiatan penelitian ini dimulai dengan sebuah perluasan dari sesuatu yang menarik bagi peneliti yaitu efektifitas social political marketing nya, kemudian mempersempit hal tersebut yaitu pada isi pesan, media yang digunakan, dan respon komunikannya sampai peneliti dapat mencapai fokus penelitian yang ketat yaitu pada bagaimana lembaga mengemas teori-teori manajemen komunikasi dan sosiologi secara efektif dan efisien untuk merubah sikap dan sosial masyarakatnya. Tujuan utama dalam penggunaan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Dengan tersedianya identifikasi masalah tersebut, dilakukan analisis. Dengan cara kerja di atas, awal proses metode kajian ini mengadopsi proses induktif guna melengkapi fakta dan data yang ada. Kemudian dilanjutkan dengan proses deduktif guna membuat pemaknaan atas fakta-fakta dan data, berkaitan dengan digunakannya perspektif strategik Komunikasi, yang bertumpu pada Teori Empiris bercorak kekayaan data yang dianalisa melalui pendekatan komprehensif yang melihat dari pemanfaatan teori dalam mendukung pelaksanaan kerja secara efektif dan effisien, yang mengacu pada hasil. Hasil yang diperoleh dipetakan kedalam kategori problematikanya dalam perspektif Strategik Komunikasi, yang di narasikan dan visualisasikan dalam bentuk laporan, untuk kemudian di sosialisasikan secara simultan antara pemerintah dan pasar industri dan masyarakat, sehingga dapat membentuk sebuah konsensus dan solidaritas.

3.4. Rancangan Penelitian Kualitatif

Pada tahapan penelitian kualitatif dapat bergerak ke depan dan ke belakang selama prosesnya berlangsung, tapi bisa juga bergerak menuju pada sebuah akhir, membangun langkah menuju ke sebuah kesimpulan di setiap tingkatnya. Kegiatan penelitian ini dimulai dengan sebuah perluasan dari sesuatu yang menarik bagi peneliti yaitu efektifitas komunikasi strategik, kemudian mempersempit hal tersebut yaitu pada isi pesan, media yang digunakan, dan respon komunikannya sampai peneliti dapat mencapai fokus penelitian yang ketat yaitu pada bagaimana konsep pemberdayaan ini dikemas dalam teori-teori manajemen komunikasi dan sosiologi secara efektif dan efisien untuk memperoleh dukungan suara dari masyarakatnya. Sedangkan, secara latar fisik, peneliti mengobservasi aktivitas dialog yang terbangun dalam ruang publik mereka.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.1. Diagram Kerangka Berpikir. 215 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Hasil pengukuran volume H2 yang dihasilkan dari tiga metode yakni pencahayaan lampu, matahari, dan lampu dengan matahari ditunjukkan pada Gambar 4.2. Kondisi pencahayaan pada larutan algae diperlakukan sama yakni fase gelap selama 36 jam dan waktu pencahayaan fase terang untuk setiap larutan selama 0 – 36 jam. Volume H2 yang dihasilkan dari metode pencahayaan lampu berkisar antara 2.5 – 3.75 mL untuk intensitas cahaya sebesar 2900 – 3680 Lux. Untuk metode matahari dihasilkan volume H2 0.5 – 5.5 mL untuk intensitas cahaya pada rentang 5000 – 40000 Lux. Dan volume H2 0.5 – 5.2 mL untuk intensitas cahaya pada rentang 5000 – 40000 Lux. Gambar 4.2. Pengukuran volume H2 mL sebagai fungsi intensitas cahaya dengan metode pencahayaan lampu, matahari, dan lampu dengan matahari. Berdasarkan tren yang diperoleh dari hasil pengukuran Gambar 4.2 dapat diketahui bahwa dengan intensitas cahaya yang kecil metode lampu relatif algae menghasilkan volume H2 yang lebih efisien dibandingkan dengan metode pencahayaan matahari dan lampu dengan matahari. Hal tersebut membuktikan adanya penyerapan intensitas foton yang optimal pada fase PS-1 dan PS-2 dibandingkan kedua metode tersebut. Metode pencahayaan matahari dengan lampu menghasilkan tren yang relatif paling tinggi diantara ketiga metode tersebut. Pencahayaan yang efisien pada metode lampu dengan intensitas yang kecil lebih mudah diserap oleh algae pada larutan. Kondisi tersebut mengakibatkan proses hidrogenase lebih berjalan optimal.

4.1. Implikasi dari proses Komunikasi

Deliberasi Internal Reflection yang terbangun dari proses interaksi dan sociability didalam social network yang terjadi, mendorong tumbunya kesadaran dan keyakinan didalam diri masing-masing individu yang terlibat, untuk secara kolektif mereproduksi dan membudi daya algae hijau, hingga dapat memberi nilai tambah didalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan sosial di komunitas lokal, yang terkait didalamnya stakeholders . Berikut workflow , pada diagram 4.2, yang perlu diterapkan didalam mencapai objektivitas yang ingin dicapai. Diagram 4.2. Formulasi Rencana Kerja Komunikasi Deliberasi PENUTUP Pertumbuhan perekonomian suatu daerah selalu diikuti oleh peningkatan kapasitas sumber daya yang ada. Komunikasi deliberasi dengan kekuatan pesan dapat membangun sosial kapital disuatu daerah yang diharapkan dapat menjaga kelangsungan hidup lingkungan dan sosialnya. Kebebasan yang setara dan rasional, yang dibangun secara kolektif dapat meningkatkan 216 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 keterlibatan masyarakat, sehingga program-program kerja dapat tercapai secara efektif dan effisien. DAFTAR PUSTAKA Albaran, Alan B., Alanis 1966. Media Economic: Understanding Markets, Industries Concept. University Press of America, Iowa. Allyne .D., Mark 1995. International Power and International Communication. McMillian Press, London. Berlson, Bernard Jonowitz, M 1950. Reader in Public Opinion and Communication. Free Press, U.S. Berger, Peter Thomas Lukman 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, Anchor Books. NY, U.S. Best and Keller 2003. Post Modern Theory, Critical Interrogations. Boyan Press, UK. Bungin, Burhan 2007. Konstruksi Sosial Media Massa. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Bungin, Burhan 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Butler, P.and N. Collins 1999. A Conceptual Framework for Political Marketing. Sage, London. Cini, Lorenzo 2011. Between Participation and Deliberation: Towards a New Standard for Assessing Democracy. European University Institute Press, Italy. Citroni, Giulio 2010. Democracy Participant, Bonanno Press, Roma. Dayakisni, Tri Hudaniah 2009. Psikologi Sosial. UMM Press, Malang. De Lozier, M. Wayne 1976. Marketing Communication Process. McGraw Hill Inc., U.S. Dayan, D., Katz.E 1992. Media Event: The Broadcasting of History, U.S: Havard University Press. Della Porta e Diani 2005. Making the Polls: Social Forum and Democracy in Global Justice Movements, UK: Paradigm Press. Della Porta e Diani 2006. Social Movements: An Introduction 2 nd Ed. U.S: Blackwell Publishing. Della Porta e Diani 2007. The Global Justice Movement in Cross-National and Transnational Perspective. Paradigm Press, UK. Dhakidae, Daniel 2004. Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009. Kompas, Jakarta. Dryzek, J 2000. Deliberative Democracy and Beyond Liberals, Critics, Constellations, UK: Oxford University Press, Oxford. Daniel Wong 1982. Primary Process of Oxygen- Evolving Photosynthesis, Biological Events Probed by Ultrafast Laser Spectroscopy, New York: Academic Press, pp.3-25. Effendy, Onong Uchjana 1994. Ilmu, Komunikasi, Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya, Bandung. Elster, J. 1998. Deliberative Democracy. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Fletcher, Mark, 1999. Managing Communication. Kogan Page, London Firmanzah 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Yayasan Obor, Jakarta Goldhaber, Gerarld 1990. Organization Communication. Wm. C. Brown Publisher Habermas, Jurgen 1992. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, Translated by William Rehg, 1996, The MIT Press, Cambridge, Massachussetts. Habermas, Jurgen 1984. The Theory of Communicative Action. Beacon Press, Boston. Hardiman, F.Budiman 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang negara hukum dan ruang publik dalam teori diskursus Jurgen Habermas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Ivanovich, Agusta 2008. Jurnal Transdisplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol.2, Solidaty., p. 268-269. J. Phillipe Marck 1992. Political Communication. Sage, USA. Jauch, Lawrence R., Glueck 1995. Manajemen Strategis Kebijakkan Perusahaan. Erlangga, Jakarta. Juliet Brodie Jane Lewis 2007. Unraveling the algae;the past, present, and future of algal systematics, New York: CRC Press. Gary A. Anderson 2002, et al., Photobioreactor Design, ASAECSAE North-Central Intersectional Meeting Sponsored by ASAE and CSAE, CANADA, September 27-28. Maria L. Ghirardi 2000, et al., TWO-PHASE PHOTOBIOLOGICAL ALGAL H2- PRODUCTION SYSTEM, Proceedings of the 2000 DOE Hydrogen Program Review. Ronald Steffen. Time-resolved spectroscopic investigations of photosystem II, Dissertation,Von der Fakultät II – Mathematik und Naturwissenschaften der Technischen Universität Berlin, December 2003, Berlin. 217 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Sebastian Steigenberger 2004. Frank Terjung, Hans-Peter Grossart and Rainer Reuter, “Blue Fluorescence of NADPH as an Indicator of Marine Primary Production,EARSeL eProceedings, 3, 1, pp.18-24. Robert C. Dunn et al. 1994 , ”Near Field Fluorescence Imaging and Lifetime Measurements of Light Scattering Harvesting Complexes in Intact Photosintetic Memranes”, Journal of Phys.Chem., 98, pp. 3094-3098. S. Patsayeva, V. et al. “Variation of The UV to Blue Fluorescence Ratio For Organic Matter in Water Under Conditions of Fluorescence Saturation”, DresdenFRG, June 16 – 17, 2000. Proceedings of EARSeL-SIG-Workshop LIDAR. Jeffrey John Cosgrove 2007. Marine Phytoplankton Primary Production and Ecophysiology Using Chlorophyll-A Fluorescence, Dissertation, S. Murdoch University. Yuzeir Zeinalov Liliana Maslenkova 2000. On The Action Spectra of Photosynthesis And Spectral Dependence of The Quantum Efficiency, Bulg. J. Plant Physiol., 261 –2, pp.58 –69. Vashista, B.R. 1979. Botany for Degree Students: New Delhi, Algae, S.Chand Company Ltd. Ucuk Darusalam dkk. Karakterisasi Sifat Optis Chlorella sp., Scenedesmus sp., dan Chlamydomonas sp. untuk Perancangan Detektor Fitoplankton dengan Teknik Laser Induced Fluorescence LIF, Proceeding Seminar Nasional Aplikasi Fotonika 2008 SNAF-08, Teknik Fisika ITS, Surabaya. Reith, J.H., Van Doorn, J., Mur, L.R., Kalwij R., Bakema,G. and G. van der Lee 2000. Sustainable co-production of natural fine chemicals and biofuels from microalgae. Conference Biomass for Energy and Industry, Sevilla, June. Food and Agriculture Organization of the United Nations FAO 2009, ALGAEBASED BIOFUELS: A Review of Challenges and Opportunities for Developing Countries. Anatoly Tsygankova et al. 2002. Hydrogen photoproduction under continuous illumination by sulfur-deprived, synchronous Chlamydomonas reinhardtii cultures, International Journal of Hydrogen Energy, Vol. 27 1239 – 1244. Kim, Jun Pyo et al. 2005. Cell Algae Optimization for Hydrogen Production Induced Sulfur Deprivation Using Green Algae Chlamydomonas reinharditii UTEX 90, J. Microbiol. Biotech., Vol. 15 No.1, pp. 131- 135. Yingfu Guana et. al. 2004, Two-stage photo- biological production of hydrogen by marine green alga Platymonas subcordiformis, Biochemical Engineering Journal Vol. 19, pp. 69 –73. Pulz, O. et al. 2001. Photobioreactors: production systems for phototrophic microorganisms. Appl. Microbiol. Biotechnol. 573: 287-293. Sarah J. Adams 2008. The Utilization of a Photobioreactor to Optimize the Growth Rate of Lipids in Microalga for Use in Biofuels, CALIFORNIA STATE SCIENCE FAIR. G. Najafpour et. Al 2003. Continous Hydrogen Production via Fermentation of Synthesis Process, Pteroleum and Coal, Vol. 45, 3-4, pp. 154-158. J. Yu and P., Takahashi 2007. Biophotolysis- based Hydrogen Production by Cyanobacteria and Green Microalgae, Communicating Current Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiology. Matthew Timmins 2009. Phylogenetic and molecular analysis of hydrogen-producing green algae, Journal of Experimental Botany Advance. Kiki Rezki Lestari, Fitria Hidayanti, dan Ucuk Darusalam 2013. Optimalisasi Produksi Gas Hidrogen Melalui Perekayasaan Fotosintesis Alga SCENEDESMUS Sp. Dengan Variasi Metode Penyinaran, Tugas Akhir Teknik Fisika, Universitas Nasional. Kotler, Phillip L. Roberto, E. 1989. Social Marketing Strategies for Changing Public Behaviour. Free Press. Kelley, H.H 1976. Atribution theory in Social Psychology. Lagerwey, Fr. Cornelio 1990. Monographs on Development Communication, The Communication Foundation for Asia, Manila. Maletzke, Gerhard 1976. Evaluating of Change Through Communications: Communication Rural Change. Asian Mass Communication Research and Information Centre. Mefalopulos, Paolo 2008. Development Communication Sourcebook: Brodening the Boundaries of Communication. World Bank, U.S. Mills, C. Wright 1956. The Power Elite. Oxford Press, London. Rawls, J. 1993. Liberal Political. Journal of Edizioni di Comunita, Milano. Sears, David O., Freedman, Jonathan L. Peplau, 218 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 L. Ann 1988. Psikologi Sosial. Erlangga, Jakarta. Olson, J. M. 2000. Social Psychology. Wadsworth Thomson Learning, U.S. Reeves, Geoffery 1993. Communication and The Third World. Routledge, London. Trade, Gabriel 1969. Opinion and Social Influence. University of Chicago Press. Walker, David 1997. Public Relatins in Local Government: Strategic Approaches to Better Communications. Pitman Publising. Worchel, S., Cooper, R., Goethals, G.R, Olson, J.M. 2000. Social Psychology. USA: Wadsworth Thomson Learning. Young I.M. 2000. Inclusion and Democracy. Oxford University Press, Oxford. 219 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Berbasis Socio-Edu-Eco-Tourism di Kabupaten Purworejo Developing a Purworejo Beach Region Based on Socio-Edu-Eco-Tourism Aulia Nur Mustaqiman, Tushy Octafadiola, Agat Ardinugroho, Kurniawan, Yuliana Farkhah Universitas Gadjah Mada, Jl. Sekip Utara , Yogyakarta, Kode pos 55281 Keyword A B S T R A C T tourism shore purworejo socio-edu-eco-tourism Purworejo District has tourism potential along coastline which cross by Jalan Deandels. Tourists in Purworejo beach still dominated by Purworejo ’s people local tourists. The least number of visitors in Purworejo beaches due to minimum information and condition of Jalan Deandels, which is in pretty bad condition. Purworejo has a lot of unique things such as sand playground and horse race. Purposes of this research is to identificated beach tourism potential based on socio-edu-eco-tourism and give alternative strategy about developing tourism area. Research method in this research was quantity description with probability sampling, using spatial analysis, financial analysis, and SWOT analysis. Result of this resea rch showed that Purworejo beaches have many natural beautiful landscape, local wisdom, and education. Recommendation for this place were by give understanding to local people by opening job with local value, uniqueness, and attractive product which undirectly to promote Purworejo Tourism Area. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N wisata pantai purworejo socio-edu-eco-tourism Kabupaten Purworejo memiliki potensi wisata di sepanjang garis pantai yang dilalui oleh Jalan Deandels. Pengunjung didominasi oleh masyarakat lokal pada musim liburan. Minimnya pengunjung dari luar Purworejo diakibatkan oleh kondisi jalan yang tidak baik dan sedikitnya informasi, padahal pantai di Purworejo memiliki keunikan seperti ombak yang besar tetapi masih bisa digunakan untuk bermain, kondisi pantai yang masih alami menjadikan banyak lahan yang belum dimanfaatkan serta adanya lomba pacuan kuda. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi potensi wisata pantai berbasis socio-edu-eco- tourism dan memberikan alternatif pengembangan kawasan wisata. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Teknik pengambilan sampel adalah probability sampling. Analisis yang digunakan adalah spasial, finansial, dan SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pantai di Purworejo memiliki potensi keindahan bentangalam, budaya, dan edukasi. Rekomendasi diberikan melalui pemahaman kepada masyarakat lewat pembukaan peluang sumber mata pencaharian yang memiliki nilai tambah, tepat guna, unik, dan menarik yang secara tidak langsung mempopulerkan wisata pantai di Purworejo. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. E-mail address: aulia.nur.mustaqimangmail.com 220 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Keunikan Pantai di Purworejo terletak pada panjang pantainya yang membentang luas, berpasir kehitam-hitaman, serta dilalui oleh Jalan Dandels yang memanjang dari barat ke timur. Pantai ini memiliki keunggulan dan keistimewaan bentang alam, tetapi tidak banyak dikunjungi oleh wisatawan. Pengunjung yang datang ke pantai masih didominasi oleh wisatawan lokal dan hanya ramai pada hari-hari tertentu khususnya liburan akhir pekan dan hari libur nasional. Hal ini menjadi tantangan bersama bagi peneliti untuk merumuskan strategi alternatif dalam rangka pengembangan kawasan pantai di Purworejo. Strategi alternatif yang digunakan berbasis socio- edu-eco-tourism yaitu melalui pengembangan kawasan wisata dengan pendekatan lingkungan ekologi, pendekatan edukasi bagi akademisi dan masyarakat, dan pendekatan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Nugroho 2011 berpendapat bahwa ekowisata adalah perjalanan wisata yang dikemas secara professional, terlatih dan memuat unsur pendidikan Edu, sebagai suatu sektorusaha ekonomi yang mempertimbangkan warisan budaya, parisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal Socio serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan Eco. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi potensi wisata pantai berbasis socio-edu-eco- tourism dan memberikan strategi alternatif pengembangan kawasan wisata. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Kerangka konsep pada penelitian ini dapat dilihat pada diagram dibawah ini. Gambar 1. Diagram Kerangka Konsep Sumber : Hasil Penelitian 2015 METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif menggunakan kuesioner berdasarkan analisis finansial dan spasial yang dipadukan dalam analisis SWOT. Analisis finansial yang digunakan adalah analisis perhitungan NPV, BCR, dan IRR. Analisis SWOT digunakan untuk membuat perencanaan strategi pengelolaan wisata. Pengumpulan data dilakukan dengan cara Cluster Random Sampling berupa kuesioner. Kuesiner dan wawacara dibagikan kepada pengunjung, pengelola, dan masyarakat. Mu ta’ali 2015 mengatakan bahwa Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam suatu kegiatan pembangunan dan bisnis. Gambar 2. Diagram Metode Penelitian Sumber : hasil penelitian 2015 HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Guna Langsung Nilai guna langsung berupa retribusi pengunjung, parkir, toilet umum, kios atau warung. Berdasarkan hasil perhitungan finansial, dengan mempertimbangkan discount rate sebesar 6 serta pajak yang berlaku, maka diperoleh BCR sebesar 1.24 Discount Benefit Discount Cost nilai tersebut diatas 1 satu yang artinya pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran. IRR diperoleh 9.91 artinya secara finansial pengelolaan wisata pantai di Purworejo layak secara finansial dengan pengembalian modal Payback Period selama 14 tahun. Kawasan Pantai di Purworejo Aspek Pengembangan Lingkungan Edukasi Partisipasi Masyarakat Persepsi Masyarakat dan Wisatawan Analisis SWOT Strategi Pengembangan Analisis Ekonomi dan Spasial Pengemb angan Wisata Pantai Purworej o Pot ens i Ko nse p Ter pad u Kondisi Lahan Fasilitas Estetika Masyarak at Finansial Kerjasama Pemerintah dengan : - Masyarakat Lokal dan Pengunjung Nilai Guna, IRR, dan Payback Periode Sarana dan Prasarana Kesesuaian Lahan Questioner Wawancara Analis is Spasia l Regio nal Anali sis Finas ial Quest ioner Wawa ncara SW OT 221 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Nilai Guna Tidak Langsung Pasir pantai memiliki porositas tinggi sehingga mampu menyerap air hujan dalam jumlah besar. Berdasarkan hasil survey kepada masyarakat di sekitar pantai di Purworejo, diketahui bahwa masyarakat menggunakan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari sehingga masyarakat tidak perlu membuat SR Sambungan Rumah PDAM. Kemampuan pantai sebagai daerah resapan air diasumsikan menjadi biaya pemakaian air PDAM oleh masyarakat, untuk mengetahui nominal fungsi pantai sebagai Nilai Guna Tidak Langsung Resapan Air. Biaya pemakaian air PDAM di Kabupaten Purworejo diatur dalam Peraturan Bupati Purworejo No. 5 A Tahun 2007 tentang Tarif Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Perwitasari Kabupaten Purworejo. Tarif air minum yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga dasar Rumah Tangga IIA. Pertimbangan menggunakan kelas Rumah Tangga IIA, karena umumnya penduduk bermatapencaharian sebagai petani yang umumnya berpenghasilan rendah. Rumah Tangga IIA adalah pelanggan golongan rumah tangga yang hanya berfungsi sebagai tempat tinggal dan berpenghasilan rendah. Kebutuhan air bersih per orang untuk kebutuhan rumah tangga adalah 160 - 250 Loranghari Noerbambang Morimura, 2000, diambil nilai rata-rata yaitu 170 Loranghari. Sehingga pemakaian air per bulan per rumah warga Desa Ketawangrejo adalah 4 orang x 170 Loranghari x 30 hari = 20,4 L = 20,4 m3bulan. Asumsi dalam tiap rumah terdapat 4 anggota keluarga sehingga terdapat 917 rumah di Desa Ketawangrejo. Harga dasar penggunaan air sebesar 11-20 m 3 adalah Rp. 2.090m 3 . Oleh sebab itu nilai ekonomi resapan air Pantai Ketawang, Pantai Jetis, dan Pantai Jatimalang selama satu tahun adalah Rp 894.332.736tahun. Pantai-pantai di Kabupaten Purworejo memiliki potensi angin yang besar dan dapat digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Angin. Kemampuan angin di pantai-pantai Kabupaten Purworejo sebagai sumber energi dikonversi menjadi biaya pemakaian listrik masyarakat Desa Ketawangrejo, masyarakat Desa Jetis dan masyarakat Desa Jatimalang. Biaya pemakaian listrik masyarakat didasarkan dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 31 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan Persero PT Perusahaan Listrik Negara. Tarif tenaga listrik untuk keperluan rumah tangga diasumsi termasuk dalam Golongan R-1TR menggunakan daya 450 VA dengan pertimbangan kondisi rumah dan mata pencaharian masyarakat desa yang umumnya sebagai petani. Golongan tarif R-1TR dikenai biaya beban Rp 11.000kVAbulan dan biaya pemakaian untuk blok I 0 sampai 30 kWh sebesar Rp Rp 169kWh, untuk blok II 30 – 60 kWh sebesar Rp 360kWh dan untuk blok III pemakaian diatas 60 kWh sebesar Rp 495kWh. Rata-rata pemakaian listrik untuk skala rumah tangga dengan kapasitas daya 450 VA adalah 75 kWhbulan. Biaya pemakaian listrik per bulan masyarakat Desa Ketawangrejo, masyarakat Desa Jetis, dan masyarakat Desa Jatimalang per bulan adalah Rp 73.547.100,00 sehingga biaya pemakaian listrik per tahun adalah sebesar Rp 882.565.200,00. Gambar 3. Foto Pantai Jatimalang di Purworejo Sumber : Hasil Foto 2015 Strategi Pengembangan Wisata Pantai Strategi pengembangan menggunakan analisis SWOT dan analisis spasial pada Gambar 4 menunjukkan bahwa melalui hasil kuisioner dan wawancara yang dilakukan kepada pengunjung, pedagang, dan pengelola. Strategi pengembangan wisata yang dikembangkan berbasis socio-edu-eco tourism berdasarkan analisis spasial pada Gambar 4 menunjukkan bahwa pengembangan berbasis Eco Tourism didasarkan kepada pengembangan wisata yang memprioritaskan aspek-aspek ekologi lingkungan di kawasan pantai, yaitu menekan dan mengevaluasi segala bangunan termasuk pemasangan papan reklame di kawasan pantai secara berlebihan. Hal ini dimaksudkan untuk mengutamakan nilai estetika, guna melestarikan pemandangan yang indah dan bagus sehingga pengunjung dapat menikmati tempat wisata dengan baik dan arif, tentunya dengan memperbanyak fasilitas pengadaan gazebo Rest Zone di sekitar pantai. Rekomendasi Pariwisata berbasis ekologi seperti reklamasi lahan pasca tambang pasir besi, menjaga kelestarian barrier pantai berupa pohon, 222 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 pemanfaatan tambak secara ekologi, dan pertanian di lahan pasir. Strategi pengelolaan berikutnya melalui prinsip 3R Reduce, Reuse, dan Recycle khususnya pengelolaan terhadap limbah terutama sampah makanan dan minuman yang dibawa oleh pengunjung. Strategi pengelolaan sampah berupa mengevaluasi ketersediaan tempat sampah, menarik semua tempat sampah dan mengganti dengan tempat sampah 3 in 1 Three in One yang secara tidak langsung mendidik dan mengajarkan Edu kepada pengunjung maupun masyarakat lokal akan budaya bersih. Guna mewujudkan sanitasi yang bersih, sehat, dan nyaman. Kios, toko, dan warung yang berada di pantai dibekali dengan pemahaman penggunaan biodegradable plastics yang ramah lingkungan untuk mengurangi pemanfaatan plastik yang beredar di kawasan pantai. Kemudian menambah pengadaan kran-kran air yang dilengkapi dengan standar pemanfaatan air yang baik dan hemat di area sekitar pantai, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi limbah tissue . Pengelola perlu diberikan pemahaman melalui penyuluhan serta pembekalan terkait usaha daur ulang sampah Recycle , hal ini perlu selain sebagai edukasi Edu juga sebagai upaya pembukaan lapangan pekerjaan baru di kawasan pantai. Pembekalan usaha daur ulang dikhususkan kepada kelompok ibu-ibu PKK untuk turut juga membantu meningkatkan kesejahteraan perekonomian rumahtangga masyarakat Pantai di Purworejo. Strategi Edu-Tourism meliputi evaluasi penunjuk jalan dan arah menuju Pantai di Purworejo, kemudian melakukan pengadaan penunjuk-penunjuk jalan yang informatif serta komunikatif dilengakapi dengan atribut-atribut promosi tempat wisata. Selanjutnya dipromosikan dengan media elektronik melalui Social Media . Guna upaya promosi wisata maka pengelola perlu dibekali pelatihan pemasaran media elektronik berbasis Internet Marketing. Strategi edukasi selanjutnya adalah pengenalan kepada masyarakat tentang pengetahuan keasrian pantai, serta pengetahuan tentang mitigasi bencana tsunami yang terjadi di pantai berdasarkan karakteristik tempat dan ombak Pantai di Purworejo. Pantai di Purworejo selain untuk pariwisata bisa juga untuk pengembangan daerah tambak, guna menambah penghasilan masyarakat sekitar. Strategi pengembangan Socio Tourism meliputi perluasan dan perbaikan area parkir yang diadakan oleh masyarakat, yang mana kondisi eksisting berupa pasir, harus diganti Paving agar lebih ekologis. Selanjutnya upaya promosi hasil produk lokal masyarakat berupa semangka, papaya, dan produk hasil panen lokal lainya di area wisata pantai. Rekomendasi variasi buah Gambar 4. Peta Pantai di Purworejo Sumber : hasil penelitian 2015 223 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 berdasarkan karakteristik daerah Purworejo dapat meliputi buah naga, bawang merah, melon, tanaman kacang-kacangan, umbi-umbian, dan blewah. Rekomendasi lainnya adalah upaya pemanfaatan limbah semangka produk lokal untuk Bio-Shampoo untuk kesehatan guna penelitian dan kepentingan akademis edukasi. Rekomendasi lainnya berupa pemanfaatan limbah papaya guna Bio-Activator, dan Bio-Ethanol. Rekomendasi lain Sosio Tourism secara kuliner bisa berupa promosi sate ambal dan jenang clorot. Rekomendasi budaya berupa promosi upacara larungan sesaji sebagai pengenalan kearifan lokal serta penyediaan jasa larung doa kepada masyarakat umum. Rekomendasi Festival Layang- Layang untuk hiburan upaya memeperkenalkan permainan masyarakat lokal. Rekomendasi studio foto untuk mengabadikan momen istimewa pengunjung. Gambar 5. Grafik SWOT Sumber : Hasil Penelitian 2015 Gambar 5 menunjukkan bahwa posisi garis terletak pada kuadran 1 yang mengindikasikan sebuah pengelolaan wisata yang kuat sekaligus berpeluang. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah progresif dominan Stregth Growth Oriented Strategy , artinya institusi wisata dalam kondisi prima dan mantap oleh sebab itu maka sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan pengebangan secara maksimal baik secara infrastruktur maupun sistem. PENUTUP Kesimpulan 1. Nilai Guna Langsung didapat berdasarkan Cash Flow aktivitas ekonomi wisata Pantai di Purworejo diperoleh sebesar 1,495,425,000 rupiah per tahun. NPV diperoleh lebih besar dari 0 Nol artinya wisata Pantai di Purworejo layak untuk dilanjutkan. IRR didapat sebesar 9.9 lebih besar dari 6 artinya pengelolaan wisata ini layak secara finansial. Nilai Guna Tidak Langsung diperoleh berdasarkan sumber listrik dan resapan dengan total sebesar 1,776,897,936 Rupiah per tahun. 2. Strategi pengelolaan yang tepat secara Socio- Edu-Eco Tourism adalah evaluasi infrastruktur dan reklame yang dapat mengganggu estetika pemandangan. Pengembangan wisata area reklamasi pasca tambang. Pelatihan dan Penerapan Prinsip 3R Reduce, Reuse, Recycle kepada masyarakat lokal, juga dengan mempromosikan kantong bio-degradable plastic ramah lingkungan. Pelatihan Internet Marketing untuk masyarakat guna pemasaran wisata berbasis Media elektronik. Pelatihan pemanfaat limbah produk lokal semangka dan pepaya serta promosi budaya dan kuliner masyarakat Purworejo sate ambal. Saran Penulis merekomendasikan saran dalam penelitian ini untuk diadakan penelitian lanjutan mengenai regulasi yang berlaku di Kabupaten Purworejo, khususnya kawasan pantai. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Kepala Dusun Jatimalang dan Tyas Kusuma Ningrum atas informasi dan bantuan dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Muta’ali, L. 2015. Teknik analisis regional. Badan Penerbit Fakultas Geografi : Yogyakarta. Nugroho, I. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Noerbambang, S. M. dan Morimura, T. 2000. Perancangan dan Pemeliharaan Sistim Plambing .Jakarta: Pradnya Paramita. Postma, A. 2002. An approach for integrated development of quality tourism. Inflanagan, s., ruddy, j., andrews, n. 2002. innovation tourism planning. dublin : Dublin Institute of Technology: sage. 224 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Peran Kebijakan Sains dalam Mewujudkan Industri Basis Berkelanjutan Berbasis Morfokonservasi Lingkungan Studi Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo Science Policy Role in Realizing a Sustainable Seed Industry based on Environmental Morfoconservation Study Case in Gunungkidul Regency, Bantul Regency, and Kulonprogo Regency Fajar Sugiarto, Garda Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM, Sekip Utara, Sleman, 55281 Keyword A B S T R A C T industrial base pattern of industrial base morvoconservation enforcement of regulation the involvement of academia sustainable industrial base This research was conducted in Gunung Kidul Regency, Bantul Regency, and Gunung Kidul Regency. The aim of the research is to provide recommendations in the form of morfokonservasi academic environment in the region spread of industrial base. Data used in the form of secondary data from the Central Statistics Agency BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. The method used includes literature studies, analysis of LQ, nearest neighbor analysis, and interpretation of the landscape. The results of academic research in the form of recommendations as follows: 1 Distribution of the location seed industry is clustered and random, which may affect on the cost of transportation of waste to be processed, 2 Morfoconservation applied mechanically, chemically, and vegetatif to reduce pollution load of the waste in order below the threshold, and 3 be a supporter of science policy laws and regulations; UU No. 23 Tahun 1997, PP No. 18 Tahun 1999, Permenkes No. 1405MENKESSKXI2002, UU No. 32 Tahun 2009, dan Permenlh No. 05 Tahun 2012, with the involvement of academia include study and practical work through course- related field, join from the stage of development of waste management installations, implementation of waste management, waste management oversight, and research. Thus a sustaninable industrial base to be realized. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N industri basis pola persebaran industri basis morfokonservasi penegakan regulasi keterlibatan akademisi keberlanjutan industry basis Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul. Tujuan dari penelitian adalah memberikan rekomendasi akademis berupa morfokonservasi lingkungan di wilayah persebaran industri basis. Data yang digunakan berupa data sekunder dari Badan Pusat Statistik BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan mencakup studi pustaka, analisis indeks LQ, analisis tetangga terdekat, dan interpretasi bentanglahan. Hasil penelitian berupa rekomendasi akademis sebagai berikut : 1 Persebaran lokasi industri basis adalah mengelompok dan random, yang dapat mempengaruhi terhadap biaya transportasi limbah yang akan diolah, 2 Morfokonservasi diterapkan secara mekanik, kimia, dan vegetatif untuk menurunkan beban pencemaran dari limbah agar dibawah ambang batas, dan 3 Kebijakan sains dijadikan pendukung dari regulasi ; UU No. 23 Tahun 1997, PP No. 18 Tahun 1999, Permenkes No. 1405MENKESSKXI2002, UU No. 32 Tahun 2009, dan Permenlh No. 05 Tahun 2012, dengan upaya keterlibatan akademisi berupa kerja praktek lapangan melalui matakuliah terkait, keterlibatan dari tahap pembangunan instalasi pengelolaan limbah, pelaksanaan pengelolaan limbah, pengawasan pengelolaan limbah, dan penelitian. Dengan demikian industri basis yang berkelanjutan dapat terwujud. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. Email address: sugiartofajar78yahoo.com , gardaardiangmail.com 225 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Pembangunan nasional didukung oleh pembangunan daerah. Perlu diketahui bahwa peran pertumbuhan pembangunan juga didukung oleh sektor industri. Industri merupakan suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan untuk mengubah suatu barang dasar mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang setengah jadi dan atau barang jadi, kemudian barang yang bernilai kurang menjadi barang yang bernilai lebih dan sifatnya lebih kepada pemakaian akhir BPS, 2015. Adanya industri dapat memberikan nilai tambah dari hasil yang diperoleh dan lebih bermanfaat. Sektor industri tersebar di beberapa wilayah, termasuk di kawasan dataran, pegunungan, dan kepesisiran. Industri yang menjadi tumpuan utama wilayah disebut industri unggulan atau industri basis. Aktivitas perindustrian memunculkan masalah baru berupa limbah dan polutan sisa hasil industri. Limbah dan polutan sisa hasil industri dipandang oleh masyarakat umum dan golongan pemerhati lingkungan sebagai pemicu kerusakan lingkungan Sitorus, 2004. Menyikapi kondisi tersebut, diperlukan kebijakan sains. Kebijakan sains yang dipandang sesuai dengan karakteristik geografis adalah morfokonservasi lingkungan. Morfokonservasi lingkungan diperlukan dalam mewujudkan amanat UU No 3 Tahun 2015 tentang Perindustrian, yakni industri hijau dan strategis. Industri yang berkembang di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo termasuk dalam wilayah yang beragam. Keberagaman wilayah mulai dari perbukitan, dataran, hingga pesisir yang tercerminkan dari bentanglahan. Bentanglahan di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo berbeda. Mengacu laporan hasil penelitian Worosuprojo 1989, Kabupaten Gunungkidul didominasi oleh bentanglahan karst, pegunungan vulkanik Baturagung, dan kawasan ledok Wonosari. Kabupaten Bantul didominasi oleh bentanglahan dataran kaki Gunungapi Merapi dataran alluvial, dan dataran alluvial pesisir yang tersusun dalam graben Bantul. Kabupaten Kulonprogo didominasi oleh oleh bentanglahan pesisir dan perbukitan vulkanik Menoreh dengan dominasi proses denudasional. Sektor industri yang berkembang pada setiap bentanglahan meliputi bahan pangan dan makanan, percetakan, jasa, bahan kimia, bahan galian, minyak bumi dan gas, kerajinan kayu dan kulit, perkebunan, dan pengelolaan lainnya BPS, 2015. Terdapat kesamaan jenis industri pada bentanglahan berbeda. Kerentanan pencemaran limbah dan polutan hasil industri di setiap lokasi industri pada bentanglahan berbeda tentunya akan berbeda pula. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah memberikan rekomendasi akademis berupa morfokonservasi lingkungan di wilayah persebaran industri basis. Harapan dari tujuan tersebut adalah agar industri sektoral tetap mendukung pembangunan daerah dengan tetap memperhatikan lingkungan, sehingga dapat mewujudkan industri yang berkelanjutan. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Sektor industri merupakan sektor yang memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan ekonomi suatu daerah. Penentuan industri pada suatu daerah melalui pendekatan sektoral memberikan keuntungan, diantaranya pengembangan industri akan fokus kepada industri sektor atau industri basis. Atas dasar ini pengembangan teknologi, pembiayaan dan perkembangan jenis industri akan lebih baik Tippichai, 2009. Kebijakan sains melalui upaya morfokonservasi dilakukan karena pada umumnya aktivitas industri di berbagai sektor menimbulkan pencemaran dan mengganggu lingkungan hidup. Suharto 2008 menjelaskan bahwa kebijakan merupakan prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Prinsip yang diterapkan dalam kasus ini adalah morfokonservasi. Konsep morfokonservasi didasarkan atas pelestarian alam berdasarkan parameter bentuklahan. Parameter ini berdasarkan komplek fisik permukaan bumi ataupun dekat permukaan bumi suatu daratan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia SNI 13-6185, 1999. Teknik konservasi dapat diterapkan secara mekanik, khemik, vegetatif, dan kombinasi dari ketiganya Sartohadi dkk ., 2013. Penerapan morfokonservasi dimaksudkan untuk mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan hidup dari pencemaran sisa aktivitas industri. Lingkungan hidup penting bagi keberlanjutan dan kelestarian umat manusia dan makhluk hidup lainnya, sedangkan industri bermanfaat untuk menyokong perokonomian, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat. Lingkungan hidup dan industri perlu disinergikan melalui kebijakan sains berbasis morfokonservasi agar dapat tercipta pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Mengingat UU No. 23 Tahun 1997 telah mengamanatkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, yakni upaya sadar dan terncana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, 226 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo. Lokasi tersebut dipilih karena ketiga lokasi tersebut memilik perbedaan bentuklahan secara spasial dengan potensi yang berbeda meskipun lokasi ketigaya berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data utama yang digunakan yaitu data jumlah industri berdasarkan unit usaha yang berada di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo tahun 2012 beserta letak administratif masing-masing industri. Data tersebut diperoleh melalui Badan Pusat Statistik Provinsi D.I Yogyakartadan. Data pendukung yang digunakan adalah data kondisi geomorfologi ketiga wilayah kajian. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan meliputi: Metode analisis Location Quotient LQ Metode ini digunakan untuk menentukan jenis unit usaha yang menjadi usaha sektoral pada suatu daerah. Apabila nilai LQ 1 maka sebagai unit usaha sektoral. Secara umum metode analisis LQ dapat diformulasikan sebagai berikut Widodo, 2006. LQ = VikVk VipVp Keterangan:  Vik : nilai output PDRB sektor i daerah studi k kabupatenkota misalnya dalam pembentukan Produk Domestik Regional Riil PDRR daerah studi k.  Vk : produk Domestik Regional Bruto total semua sector di daerah studi k  Vip : nilai output PDRB sektor i daerah referensi p provinsi misalnya dalam pembentukan PDRR daerah referensi p.  Vp : produk Domestik Regional Bruto total semua sector di daerah referensi p. Metode Analisis Tetangga Terdekat Metode ini digunakan untuk menentukan pola persebaran suatu industri. Persamaan yang digunakan adalah  T : indeks penyebaran tetangga terdekat  Ju : jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan tetangga yang terdekat  Jh : jarak rata-rata yang diperoleh andai kata semua titik mempunyai pola random.  p : kepadatan titik dalam tiap kilometer per segi yaitu jumlah titik N dibagi luas wilayah A Hasil nilai T dibagi menjadi tiga kelas yaitu: 1. Pola Clustered mengelompok, dengan nilai T = 0 – 0,99 2. Pola Random tersebar tidak merata atau acak, dengan nilai T = 1 3. Pola Uniform tersebar merata atau seragam, dengan nilai T 1, hingga 2,15 Bintarto, 1991 Interpretasi Bentanglahan Cara ini digunakan untuk menentukan konservasi yang sesuai di lingkungan industri. Teknik konservasi didasarkan atas karakteristik bentanglahan di lingkungan industri. Karakteristik bentanglahan yang diamati meliputi bentuklahan dan karakteristik wilayah setempat ditinjau dari aspek desa atau kota. HASIL DAN PEMBAHASAN Industri Basis Indeks LQ Hasil analisis indeks LQ berupa industri basis disetiap wilayah. Industri basis disajikan dalam peta industri basis daerah kajian terlampir. Kabupaten Gunungkidul memiliki kencenderungan industri basis dengan kecenderungan hasil aktivitas agrikultural dan tambang. Kabupaten Bantul memiliki kecenderungan industri basis hasil pengolahan seperti kulit, furniture, pakaian jadi, kayu, makanan, pengelolaan lainnya, dan barang galian bukan logam. Industri basis di Kabupaten Kulonprogo cenderung berupa industri pengolahan seperti makanan, barang galian, furniture dan kayu. Industri basis tersebut merupakan industri unggulan di masing-masing daerah kajian. Hasil dari industri basis tentunya memberikan sumbangan 227 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 berarti terhadap pendapatan asli daerah PAD. Pendapatan yang diperoleh dari industri basis memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi pembangunan di masing- masing daerah kajian. Dampak yang perlu diperhatikan adalah limbah sisa hasil industri agar tidak mencemari lingkungan. Penanggulangan limbah sisa hasil industri harus memperhatikan karakteristik lingkungan secara geomorfologi. Pola Persebaran Industri Basis Analisis tetangga terdekat dilakukan menggunakan data persebaran industri dalam peta terlampir. Hasil analisis tetangga terdekat ditunjukkan dalam tabel . No Jenis Sektor Industri Pola 1 Makanan Mengelompok 2 Pakaian Jadi Random 3 Tekstil Mengelompok 4 Furniture Mengelompok 5 Logam Bukan Mesin Mengelompok 6 Bahan Kimia Mengelompok 7 Pengolahan Lainnya Random 8 Produk Batubara dan Migas Random 9 Meubel Mengelompok 10 Kerajinan Kulit Random 11 Barang Galian Bukan Logam Mengelompok Tabel 1. Hasil analisis tetangga terdekat sumber data : Hasil analisis, 2015 Ketiga daerah kajian pola persebaran mengelompok, random, dan seragam, namun di setiap daerah kajian memiliki kecenderungan yang berbeda. Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo memiliki kecenderungan pola persebaran industri basis random atau secara acak. Hanya Kabupaten Bantul yang memiliki kecenderungan pola persebaran industri basis yang mengelompok. Pola persebaran industri basis bermanfaat dalam kemudahan pengelolaan instalasi pengelolaan limbah. Pola persebaran yang mengelompok akan mempermudah pengelolaan limbah dan efisiensi biaya transportasi limbah. Pola persebaran yang menyebar secara acak atau random memerlukan biaya lebih dalam hal biaya transportasi limbah. Karakteristik Geomorfologi Kabupaten Gunungkidul memiliki topografi wilayah yang datar, bergelombang, dan perbukitan. Bentuklahan yang menyusun Kabupaten Gunungkidul meliputi bentukan asal proses solusional karst, vulkanik tua Baturagung, struktural, fluvial, marin, organik, dan denudasional Worosuprojo, 1989. Konfigurasi dari bentuklahan tersebut dapat terlihat dari citra LANDSAT 7 ETM terlampir. Wilayah Kabupaten Gunungkidul tergolong beragam, seperti terdapatnya gua-gua di wilayah karst selatan K, escarpment Baturagung EA di bagian barat ke arah timur, ledok Wonosari LW, Sungai Oyo yang terkontrol oleh patahan, dan kenampakan mikro yang komplek. Karakteristik ini menjadikan sebagian wilayah Gunungkidul rentan terhadap pencemaran airtanah, jika industri yang ada tidak memperhatikan pengelolaan limbah yang benar. Airtanah mudah tercemar karena terdapat diaklas atau rekahan-rekahan batuan yang dapat mempercepat rembesan air ke dalam sistem airtanah. Disamping itu banyak sungai bawah tanah yang terdapat di wilayah ini. Kabupaten Bantul didominasi oleh dataran alluvial DA yang luas. Dataran ini merupakan asosiasi dataran kaki Gunungapi Merapi. Topografi perbukitan terletak di bagian barat dan timur Kabupaten Bantul, yang berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul dibagian timur dan Kabupaten Kulonprogo dibagian barat. Bentuklahan yang ada di Kabupaten Bantul meliputi asal proses kombinasi fluvial, vulkanik, struktural, aeolian, marin, solusional, dan denudasional Worosuprojo, 1989. Konfigurasi bentuklahan di Kabupaten Bantul menjadikan karakteristik wilayah berupa dataran yang mendominasi. Dataran alluvial sesuai digunakan sebagai lahan pertanian. Di bagian selatan terdapat pesisir bergisik PG dan gumuk pasir. Aliran sungai permukaan menjadikan wilayah ini berpotensi terhadap sumber air permukaan. Sungai besar yang melalui adalah Sungi Opak dan Sungai Progo. Akuifer di wilayah ini juga baik dalam menjaga ketersediaan airtanah, karena hasil dari pengendapan material vulkanik yang baik dalam menyimpan dan melalukan airtanah Santosa dan Adji, 2014. Karakteristik ini menyebabkan aliran airtanah disebagian besar bersifat isotropis atau dapat mengalir disegala arah secara gravitasional. Kabupaten Kulonprogo didominasi oleh topografi perbukitan. Bentuklahan yang terdapat meliputi vulkanik, struktural, denudasional, fluvial, marin dan solusional Worosuprojo, 1989. Perbukitan Menoreh VS yang terbentuk oleh aktivitas vulkanik tua dan struktural patahan. Karakteristik tersebut disertai curah hujan yang 228 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 tinggi menyebabkan wilayah Kabupaten Kulonprogo yang didominasi perbukitan menjadi rawan erosi dan longsor. Bentuklahan berupa dataran koluvial DK terbentuk sebagai akumulasi material yang tererosi. Di bagian selatan terdapat pesisir bergisik PG yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam pengembangan industri skala besar. Morfokonservasi Karakteristik geomorfologi menjadi pertimbangan utama dalam penentuan morfokonservasi untuk mewujudkan industri basis yang berkelanjutan. Hal penting yang dipertimbangkan adalah karakteristik sosial masayarakat disekitar industri basis. Berdasarkan data BPS 2015 menunjukkan bahwa di ketiga daerah kajian didominasi oleh perdesaan yang berarti sebagian besar masyarakat masih memiliki budaya perdesaan yang identik dengan sektor ekonomi primer. Instalasi pengelolaan limbah yang baik diterapkan di daerah kajian adalah pengelolaan limbah secara komunal atau bersama-sama di setiap kawasan industri basis. Tujuannya adalah untuk menekan biaya operasional pengelolaan limbah yang besar apabila dilakukan oleh setiap pengusaha. Dengan adanya sistem pengelolaan limbah komunal di kawasan industri basis akan menjadikan biaya lebih murah. Bentuk instalasi pengelolaan limbah didasarkan karakteristik geomorfologi serta melibatkan kerjasama penduduk setempat agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Karakteristik Kabupaten Gunungkidul yang rentan terhadap pencemaran airtanah harus dipertimbangkan. Bentuk instalasi yang sesuai adalah dengan jalur perpipaan. Instalasi pusat pengelolaan limbah dapat menerapkan pengelolaan limbah yang dilakukan PT. Pupuk Sriwijaya PUSRI dengan memanfaatkan tumbuhan enceng gondok yang dapat mereduksi zat-zat kimia pencemar http:pusri.co.id , 2015. Kemudian sisa limbah dapat diuapkan di lingkungan yang bervegetasi lebat. Sehingga bentuk konservasi yang diterapkan adalah secara mekanik dan vegetatif. Karakteristik Kabupaten Bantul yang memiliki akuifer sebagian besar wilayah bersifat isotropis perlu dipertimbangkan. Bentuk instalasi pengelolaan limbah dapat dilakukan secara mekanik untuk proses transportasinya, dapat berbentuk pipa atau saluran beton yang kedap air sebagai penyalur ke pusat pengelolaan limbah. Perlu diketahui, bahwa Kabupaten Bantul sudah memiliki instalasi pengelolaan air limbah IPAL yang terletak di Kecamatan Sewon. Sehingga upaya kedepannya adalah menjadikan IPAL tersebut sebagai pusat pengelolaan limbah secara komunal. Hanya saja perlu ditingkatkan proses treatment limbah agar beban pencemar berkurang. Karakteristik Kabupaten Kulonprogo yang rawan erosi dan longsor harus memperkuat upaya konservasi mekanik yang diimbangi vegetatif. Bentuk instalasi pengelolaan limbah sama halnya dengan Kabupaten Gunungkidul, dengan pertimbangan banyaknya mata air di Kulonprogo Pemkab Kulonprogo, 2015. Sehingga proses transportasi limbah menggunakan pipa. Konservasi mekanik yang baik dimaksudkan untuk melindungi saluran pipa apabila terjadi longsor dan dampaknya di kawasan industri basis. Konservasi mekanik dapat dilakukan dengan membangun talaud yang diberi jalur resapan air agar beban air dapat dikeluarkan dari dalam talud. Regulasi Terkait UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Permenkes No. 1405MENKESSKXI2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Permenlh No. 05 Tahun 2012 Tentang Jenis Rencana Usaha danatau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup telah mengamanatkan kepada masyarakat akan perlunya kelestarian lingkungan hidup. Industri basis harus mempertimbangkan hal ini, mengingat sumber pencemar lingkungan yang dianggap besar berkontribusi atas pencemaran lingkungan adalah sektor industri. PENUTUP Kebijakan sains berupa morfokonservasi untuk mewujudkan industri basis berkelanjutan perlu dimasukkan dalam regulasi sebagai syarat detail. Lokasi industri memiliki karakteristik wilayah yang tidak sama. Sehingga diperlukan pengelolaan limbah yang tepat, salah satunya dengan pengelolaan limbah berbasis morfokonservasi. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada Ibu Sri Rahayu Budiani, S.Si, M.Si. yang telah membimbing peneliti dalam kuliah BLOK Analisis Sumberdaya Manusia dan Ekonomi. Rekan –rekan kami seperjuangan, Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM angkatan 2012 BLOK 1, yang terdiri atas tim geomorfologi, tim 229 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 hidrologi, tim sosial, dan tim ekonomi. Tidak lupa peneliti sampaikan terima kasih kepada Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta atas ketulusannya dalam memberikan informasi data. DAFTAR PUSTAKA Arbor, C.F. 1995. Early intervention strategies for adolescents. Unpublished doctoral dissertation, University of Massachusetts at Amherst. Badan Pusat Statistik BPS. 2015. Daerah Istimewa Yogyakarta. Bintarto, R. 1991. Metode Analisa Geografi. Jakarta : LP3ES. Hendrayana, R. 2013. Aplikasi Metode Location Quotient LQ dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian 12 1: 658-675. http:pusri.co.id , diakses pada 7 April, 2015. Permenkes No. 1405MENKESSKXI2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Republik Indonesia. Permenlh No. 05 Tahun 2012 Tentang Jenis Rencana Usaha danatau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Republik Indonesia. PP No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Republik Indonesia. Sartohadi, J,. dkk. 2013. Pengantar Geografi Tanah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sitorus, H. 2004. Kerusakan Lingkungan oleh Limbah Industri Adalah Masalah Itikad. Repository. Medan : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Suharto, E. 2005. Pekerjaan Sosial Industri, CSR yang Efektif. Bandung : Alfabeta. Suharto, E. 2008. Paradigma Ilmu Kesejahteraan Sosial. Makalah Seminar. Bandung. Tippichai, A. 2009. Introduction of a Sectoral Approach to Transport Sector For Post-Curves. Thesis. Graduate School od Science and Technology, Nihon UnVersity Chiba, Japan. Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Republik Indonesia. Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 3 Tahun 2015 Tentang Perindustrian. Republik Indonesia. UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Republik Indonesia. Worosuprojo, S. 1989. Laporan Penelitian Pemetaan Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya Ilmiah Hasil Penelitian. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM. 230 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Lampiran 231 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 CITRA LOKASI KAJIAN Sumber : Citra LANDSAT 7 ETM Tahun 2014 232 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Inovasi Berbasis Sumber Daya Alam dan Lingkungan dalam Pengembangan Sektor Pariwisata di Kabupaten Banyuwangi Innovation in Tourism Sector Development Based on Natural Resources and Environment in Banyuwangi Puji Wahono FiSIP Universitas Jember, Jalan Kalimantan No 37, Tegal Boto, Jember 68121 Telepon: 0331.330224 Keyword A B S T R A C T innovation tourism cluster area natural reources Banyuwangi The Great Bali, Great Batam, Great Jakarta are the icons created by the ministry of tourism Indonesia to market tourism potential areas around these icons. Banyuwangi is part of the Great Bali cluster and can take advantage of the fame of Bali to attract foreign tourists to visit Banyuwangi. Innovations on natural resource- based tourism and the environment is a strategy choosen by Banyuwangi Local Government by minimizing environmental degradation and increasing citizen participations. This research is descriptive, using in-depth interviews with stakeholders. Obyektive of this research is to uncover the reasons behind the chosen strategy. The informants are numbers of heads from relevant agencies and tourism businesses. In conclusion, innovation strategy involving community participation affect the increase of foreign and domestic tourists visits sharply, increasing public revenue and per capita income . Kata Kunci S A R I K A R A N G A N inovasi turisme area cluster sumber daya alam Banyuwangi Great Bali, Great, Batam, Great Jakarta adalah ikon yang dibuat Kementerian pariwisata untuk memasarkan daerah-daerah potensial di sekitar pusat-pusat kunjungan wisatawan asing ini. Banyuwangi yg berbatasan dengan Bali, masuk kluster Great Bali dapat memanfaatkan ketenaran Bali untuk menarik wisatawan asing ke Banyuwangi. Inovasi pariwisata berbasis sumberdaya alam dan lingkungan dilakukan untuk menarik kunjungan wisatawan dengan meminimalkan degradasi lingkungan, meningkatkan partisipasi warga. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, menggunakan metode wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan, tujuannya untuk mengungkap alasan dibalik strategi yang dipilih. Informan sejumlah kepala dinas terkait dan pelaku usaha pariwisata. Kesimpulannya, inovasi pariwisata yang melibatkan partisipasi masyarakat berdampak kepada peningkatan kunjungan wisatawan asing dan domestik secara tajam, meningkatkan PAD dan pendapatan perkapita masyarakat. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. E-mail address: pujiwahonoyahoo.com 233 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Pariwisata belakangan ini menjadi salah satu sumber pemasukan devisa negara yang besar. Bahkan di sejumlah negara pariwisata menjadi andalan dalam mengisi kas negara. Caranya terutama adalah dengan mendatangkan sebanyak mungkin wisatawan dari manca negara wisman untuk masuk ke negaranya. Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan dengan ribuan pulau, berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa, keanekaragaman budaya, seharusnya mampu mengkapitalisasi kekayaan alam dan budaya nya tersebut melalui pariwisata. Di lingkungan ASEAN, Singapura, Thailand, Malaysia sejauh ini berhasil menjaring wisman. Tahun 2013 Thailand dikunjungi 26,5 juta wisman dan ini masih akan terus naik lagi rata-rata 27,5 per tahun sampai 2018. Malaysia mencatat 26,3 juta wisman, dan Singapaura mencatat 15,6 juta wisman. Sedang Indonesia hanya mencatat 8,3 juta wisman. Indonesia tahun 2019 menargetkan kunjungan wisman 20 juta orang. Target yang tidak ringan bila melihat data-data sebelumnya, tapi bukan tugas yang berat apabila melihat potensi pariwisata yang dimiliki Indonesia. Kementerian pariwisata untuk itu telah merancang strategi yang sesuai dengan tupoksi-nya, mengkordinasikan dan mempromosikan potensi wisata Indonesia. Berdasarkan data resmi pemerintah, masuknya wisman ke Indonesia 2014 tercatat yang melalui pintu Bali adalah sejumlah 3.507.310 wisman 40, Jakarta 2.305.729 wisman 26 , Batam 2.154.697 wisman 24. Melalui tiga pintu gerbang utama ini 90 wisman masuk ke Indonesia. Untuk menyederhanakan pesan kepada pasar, Kementerian Pariwisata Kemenpar menyiapkan strategi Clustering . Destinasi dibuat sistem cluster, dengan mengikutsertakan daerah-daerah potensial sekitarnya, berdasar banyaknya jumlah kunjungan wisman, kesiapan produk, infrastruktur, dan potensi kekuatan produk. Istilah Great Bal i, Great Jakarta , Great Batam digunakan untuk menjadikan daerah- daerah tersebut sebagai hub masuknya wisman ke dalam kluster tersebut. Wisman selanjutnya akan diarahkan menuju daerah-daerah sekitar yang menjadi destinasi alternatif yang mungkin tidak kalah menariknya. Untuk Great Bali , wisman diharapkan akan diarahkan juga ke daerah potensial sekitarnya, baik di sebelah timur Bali yakni Nusa Tenggara Barat NTB maupun di sebelah barat Bali yakni Jawa Timur Jatim dimana Banyuwangi adalah pintu gerbang masuk ke Great Bali ini. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang sejak empat tahun lalu menjadikan pariwisata sebagai penghela utama perekonomian daerah selain sektor pertanian terus berupaya mengembangkan pariwisata yang inovatif, pariwisata yang berbasis konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Tujuan kajian ini untuk mengungkap mengapa dan bagaimana inovasi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di Banyuwangi tersebut dilakukan. KERANGKA TEORI KERANGKA KONSEP Inovasi berbasis sumberdaya dan lingkungan di bidang pariwisata ini tidak lepas dari pilihan strategi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Johnson dan Scholes 2002 menyebut strategi sebagai arah dan cakupan organisasi jangka panjang untuk mencapai keunggulan bersaing melalui konfigurasi sumberdaya internal yang dimiliki dan lingkungan sekitar yang menantang dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dan harapan pemangku kepentingan stakeholders . Bila diamati, strategi pembangunan yang umum dianut berbagai bangsa meminjam istilah Porter 1985 menggunakan perspektif lingkungan eksternal. Para perancang strategi pada umumnya menganalisis lingkungan terlebih dahulu sebelum menentukan posisi mereka dalam mempertahankan keunggulan bersaing, perspektif ini banyak disebut sebagai strategi berbasis pasar market-based view . Selain berdampak positif, strategi ini ternyata juga banyak berdampak negatif, antara lain tersedotnya kekayaan dari sumberdaya alam daerah ke pusat-pusat kekuasaan, peran masyarakat daerah sebagai subyek pembangungan kian termarjinalkan, dan degradasi lingkungan di daerah semakin tak terhindarkan. 234 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Perspektif itu, sekarang mulai ditinggalkan dan digantikan dengan perspektif yang lebih ramah lingkungan, yakni lebih melihat potensi sumberdaya internal daerah yang ada. Ini sejalan dengan pemikiran Prahalad 1984 untuk menciptakan keunggulan bersaing berdasarkan inovasi berbasis pendayagunaan sumberdaya internal yang dimiliki melalui penciptaan kompetensi inti. Pemikiran ini juga didukung Chamberlain 1933 dan Robinson 1933 yang menyatakan pentingnya sumberdaya unik guna menciptakan adanya persaingan tidak sempurna, sehingga bisa didapat keuntungan yang lebih tinggi seperti misal technical know- how , reputasi, paten, trade-merk , dan brand- awareness . Terkait dengan itu Schumpeter 1934 lebih lanjut memberikan tekanan kemampuan organisasi dalam rangka mengendalikan peluang kompetitif, dengan jalan menciptakan atau mengadopsi inovasi guna mengalahkan posisi strategis pesaing. Perspektif sumberdaya ini semakin lengkap ketika Penrose 1959 mengemukakan temuannya, bahwa organisasi bukan sekadar sebuah unit administratif semata, akan tetapi berupa sekumpulan sumberdaya produktif, yang dalam penggunaanya ditentukan keputusan administratif. Jalan tengah coba diambil oleh Chandler 1962 dan sebelumnya Selznick 1957 yang lebih menyarankan perlunya keselarasan kondisi internal dengan kondisi ekternal, sehingga kapabilitas baik internal maupun eksternal akan dapat menghasilkan keunggulan organisasi. Pandangan internal-eksternal ini disepakati oleh Andrew 1971 yang menekankan pentingnya kondisi internal dan eksternal untuk melihat posisi daya saing organisasi, dengan menggunakan analisis SWOT Strength, Weaknesses, Opportunities, and Threats untuk melihat kekuatan dan kelehaman organisasi dalam posisi bersaing. Terkait dengan kondisi internal organisasi, Coase 1937 dalam bukunya the nature of the fim dan juga Williamson 1975, 1979 keduanya tertarik mengembangkan teori ekonomi biaya transaksi, dimana mereka bermaksud menjawab pertanyaan tentang mengapa sebuah organisasi itu terbentuk. Selanjutnya Combs dan Ketchen 1999 kemudian menyebutkan teori di atas sejalan dengan pandangan resource-based view RBV karena teori di atas memfokuskan pada asset specificity , atau aset yang spesfik dan sulit ditiru dalam menciptakan keunggulan bersaing. Teori sumberdaya internal organisasi ini kemudian dikembangkan secara lebih komprehensif oleh Barney 1991. Menurutnya, sumberdaya itu mencakup keseluruhan aset, baik berupa kapabilitas, proses, organisasi, informasi, pengetahuan, yang dikendalikan organisasi dan yang memungkinkan organisasi menciptakan dan menerapkan strategi secara efektif. Pemikiran itu disempurnakan Wernerfelt 2004 dengan menggunakan alat- alat analisis ekonomi yang sederhana untuk melihat posisi sumberdaya, untuk menentukan strategi yang tepat guna menciptakan keunggulan bersaing suatu organisasi. Sementara itu terkait inovasi, Komisi Eropa 2004 mendefinisikan sebagai pembaruan dan perluasan jangkauan produk- produk dan jasa-jasa serta pasar-pasar yang berkaitan, menyangkut; penggunaan metode baru berproduksi, cara baru memasok dan mendistribusikan produk dan jasa; perubahan- perubahan dalam manajemen, kerja organisasi, dan kondisi kerja serta keahlian-keahlian ketenagakerjaan. Munculnya inovasi ini secara teoritis dapat disebabkan beberapa faktor pemicunya, yakni sains technology push , kebutuhan pasar market pull , keterkaitan antar para aktor dalam pasar, jaringan yang terhubung teknologi, dan jaringan sosial. Sedangkan pakar lainnya seperti Cooper dan Kleinschmidt 1987, Damanpour dan Evan 1984, Subramanian dan Nilakanta 1996, dalam Valencia et al ., 2010 melihat adanya inovasi yang mulai dipertimbangkan sebagai kunci dalam meraih keunggulan bersaing berkelanjutan di pasar. Alasan inovasi dilakukan, menurut Drucker 1985; Miles dan Snow, 1978, Damanpour dan Evan 1984 dalam Valencia et al ., 2010 agar organisasi menjadi lebih fleksibel dan memiliki kemampuan lebih besar 235 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Inovatif dapat melindungi mereka dari iklim usaha yang tidak stabil. Mereka dapat merespons perubahan lebih cepat dengan cara menciptakan peluang baru dalam persaingan. Arti iovasi itu sendiri didefinisikan oleh Fontana 2011 sebagai keberhasilan ekonomi dan sosial akibt dikenalkannya cara- cara baru atau kombinasi baru dari cara-cara lama untuk mengubah input menjadi output sehingga dapat menghasilkan perubahan besar dari nilai guna produk menurut persepsi pengguna dan harga yang ditetapkan produsen. Prinsip dasar dari inovasi itu sendiri adalah harus berhasil menciptakan nilai yang dipersepsikan konsumen atau masyarakat lebih tinggi daripada harga yang harus mereka bayar. Inilah yang dicoba diterapkan di bidang pariwisata di Banyuwangi. Berikutnya terkait dengan apa itu yang disebut pariwisata, Kodhyat 1983 mendefinisikan sebagai perjalanan dari satu tempat ke tempat lain bersifat sementara, dilakukan perseorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Tidak berbeda dengan itu, Yoeti 1996 mengartikan pariwisata sebagai perjalanan yang dilakukan sementara waktu dari suatu tempat ke tempat yang lain, dengan maksud semata-mata untuk menikmati perjalanan guna bertamasya atau rekreasi dan untuk menutupi kebutuhan yang beraneka ragam. Adapun untuk mengembangkan pariwisata yang berbasis sumberdaya alan dan lingkungan, Lim MacAller 2003, harus dikelola dalam skema berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan sustainable development , yakni pembangunan yang tidak berdampak merusak terhadap lingkungan alam dan sosial. Agar konsep pembangunan tersebut dapat terlaksana maka masyarakat terutama yang berada dalam obyek wisata itu harus diikutsertakan dan dberikan peran utama dalam mendukung suksesnya pengembangan pariwisata tersebut. Dalam konsep ini sangat penting melibatkan parisipasi masyarakat sejak perencanaan, pengelolaan, pemantauan, dan juga penilaian atas keberhasilan program ini. METODE PENELITIAN Ini adalah hasil penelitian kualitatif, dimana data dan informasi diperoleh dengan menggunakan metode observasi dan wawancara secara mendalam indepth interview dengan sejumlah obyek dan informan yang ditetapkan dengan sengaja dan teknik snowbolling . Informasi primer diperoleh dari para informan yang terdiri para pembuat kebijakan di Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, antara lain Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Pertambangan, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM, serta sejumlah pelaku usaha di industri pariwisata. Analisis dilakukan secara deskriptif, dan pendekatan yang digunakan menurut Cresswell 2010 adalah konstruktivisme. Artinya di sini informasi dan data yang telah diperoleh kemudian dikonstruksikan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang kondisi dan kejadian yang sebenarnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan dan kajian yang dilakukan maka berikut dijelaskan potensi sumberdaya alam dan lingkungan, strategi yang dipilih serta alasan dibalik pilihan strategi pengembangan pariwisata di Banyuwangi tersebut. Sumberdaya Pariwisata Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi, wilayah yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa dan berbatasan langsung dengan Selat Bali. Memiliki wilayah seluas 5.782,50 km dan 24 kecamatan, serta dihuni 1,6 juta penduduk. Banyuwangi juga merupakan kabupaten dengan daerah terluas di Provinsi Jawa Timur. Karena itu daerah ini kaya sumberdaya alam dan keindahan lingkungan alamnya. Di bidang kependudukan, suku Using Osing disebut-sebut sebagai penduduk aseli wilayah ini. Pada beberapa kecamatan jumlah mereka cukup dominan. Dalam konteks budaya, keberadaan suku Using merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi yang multi kultur terutama Jawa, 236 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Madura, dan Bali. Stereotipe karakter Banyuwangi sangat unik. Keunikan itu dibentuk dari dua elemen masyarakat yang dominan yakni Suku Jawa Mataraman, yang banyak berdomisili di wilayah dataran tinggi dan subur serta ditumbuhi tanaman dan hutan seperti daerah- daerah Tegaldelimo, Purwoharjo, Bangorejo, dan Tegalsari. Selanjutnya Suku Madura- Pendalungan, mereka banyak tinggal di daerah pantai dan daerah perbatasan dengan Kabupaten Jember di sebelah barat dan Kabupaten Situbondo yang berada di sebelah utara. Daerah-daerah itu seperti Glenmore, Kalibaru, Muncar, Wongsorejo. Suku Using sendiri lebih banyak tinggal di dataran subur sekitar Kota Banyuwangi, seperti Kecamatan Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring Genteng. Sebagai gambaran kasar, disebutkan jumlah mereka sekitar 20 persen dari total populasi yang mencapai 1,6 juta jiwa. Kompas 2008 melaporkan mayoritas penduduk Banyuwangi atau 60 persen lebih Suku Jawa, disusul suku Using 20 persen, Suku Madura 12 persen, dan lebihnya etnis Cina, Sulawesi, Bali. Suku Using memiliki keunggulan dalam bidang sosial, terbuka dan sangat adaptif, kreatif terhadap pengaruh unsur kebudayaan lain. Karakter egaliter menjadi ciri dominan dalam masyarakat Using. Ini tampak dalam bahasa Using yang tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Dikatakan oleh Saputra dan Shrintil 2007 struktur masyarakat Using pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali. Agama yang dianut mayoritas masyarakat di Banyuwangi Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budayapun cukup kental. Ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang Banyuwangi itu sendiri yang dapat ditelusuri sampai pada zaman Majapahit. Kepercayaan utama suku Using adalah Hindu - Budha. Berkembangnya kerajaan Islam di pesisir utara Jawa membuka jalan penyebaran agama Islam dengan cepat di kalangan suku Using. Berkembangnya Islam dan masuknya VOC untuk menguasai daerah Blambangan Banyuwangi menambah pengaruh luar yang lain ke dalam budaya masyarakat Using Wikipedia, 2013. Masyarakat Banyuwangi terus berkembang secara dinamis memasuki era reformasi, otonomi daerah dan globalisasi. Pada era ini Banyuwangi semakin otonom dalam mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya, menembus batas-batas wilayah geografis dan budaya. Kabupaten Banyuwangi berpotensi besar mengembangkan wisata berbasis budaya dan alamnya. Budaya suku Using yang sangat unik dan banyak mengandung unsur-unsur mistik seperti budaya tetangganya di seberang timur yakni masyarakat suku Bali. Potensi kesenian sangat beragam dan beberapa diantaranya yang sangat dikenal adalah Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor. Keindahan alamnya juga dikenal luas seantero dunia seperti Taman Nasional Alas Purwo, Meru Betiri, Gunung Ijen, Taman Nasional Baluran. Besarnya potensi itu menjadikan pariwisata di Kabupaten Banyuwangi berkembang sangat pesat. Dari batas wilayah selatan, timur, sampai utara membentang lautan dan pantai yang indah laut selatan, selat Bali, sampai laut Jawa. Di bagian barat yang berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso membentang jajaran pegunungan Raung dan Ijen. Seperti diberikatakan Antara Jatim 2013 Secara ekonomi wilayah ini mampu tumbuh di atas rata-rata yakni 6,0 persen. Banyuwangi dalam tiga tahun terakhir ini mampu menempatkan diri pada ranking ke-3 tujuan investasi dari 38 kabupatenkota yang ada di provinsi Jawa Timur. Melompat dari dari urutan ke 31 akibat pesatnya pembangunan infrastruktur di kawasan ini. Jalan raya lintas utara pantai dan selatan pegunungan menghubungkan kota Banyuwangi dengan Surabaya. Lapangan terbang Belimbingsari di Kecamatan 237 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Rogojampi membuka jalur Surabaya dan Denpasar-Bali. KA menghubungkan dengan Jember, Probolinggo, Pasuruan, Surabaya, dan Malang serta kota-kota lainnya, jalur KA jalur ganda double track dari Banyuwangi-Surabaya direncanakan akan segera dibangun. Layanan kapal laut dengan penumpang dan barang. Di sektor keuangan, penyaluran kredit kepada masyarakat mencapai angka Rp5,3 triliun hingga pertengahan 2012, tumbuh sekitar 33 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sektor UMKM menyerap hampir Rp2,2 triliun, sisanya untuk sektor lain, termasuk KUR sekitar Rp400 miliar. Agar UMKM berkembang pemerintah daerah melarang pembukaan retail modern dan menutup yang izinnya habis atau tidak berizin. Ini diberlakukan sampai IPM Indek Pembangunan Manusia Kabupaten Banyuwangi mencapai angka 73. Tahun 2014 menurut Bupati Banyuwangi angka IPM Kabupaten Banyuwangi baru 68. Dari aspek geografis, letaknya di sepanjang garis pantai menjadikan Banyuwangi memiliki potensi wisata alam sangat mempesona, yakni jajaran pegunungan yang banyak didatangi wisman, seperti Gunung Ijen yang dengan kawah belerang dan api biru blue fire . Di dunia bahkan hanya ada dua, satunya di Islandia. Di sisi timur, utara, dan selatan, yang merupakan wilayah pantai banyak potensi wisata yang juga sangat indah. Pantai watu dodol, Boom, Belimbingsari, Muncar pelabuhan ikan, Pulau Merah, Plengkung, dan banyak lagi lainnya. Semua daerah tujuan wisata DTW ini belum sepenuhnya dilengkapi fasilitas yang memadai namun berpotensi besar sebagai daya tarik wisatawan. Seni dan budaya Banyuwangi juga telah menjadi daya pikat tersendiri, dan secara khusus budaya suku Using menjadi daya pikat tersendiri bagi wistawan baik domestik maupun manca Negara. Tidak kurang dari 23- 36 festival digelar sepanjang tahun mulai tingkat lokal sampai internasional, sehingga rata-rata ada dua festival setiap bulannya. Berbagai kompetisi berbasis kreativitas dan inovasi seperti seni tari, lukis, batik, makanan, dan lainnya diadakan secara periodik menggunggah semangat kreativitas penduduknya untuk terus berinovasi tiada henti yang juga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar untuk berkunjung ke Banyuwangi. Potensi objektif berupa besarnya kekayaan sumberdaya alam, laut, darat, dan sumberdaya manusia nampaknya sudah disadari pemerintah daerah untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan guna peningkatan kesejahteraan penduduk Banyuwangi melalui berbagai instrumen guna melahirkan inovasi-inovasi tiada henti. Berdasarkan kondisi obyektif geografis, skala prioritas pembangunan Banyuwangi secara konvensional diarahkan ke sektor pertanian dan yang berhubungan dengan sektor tersebut, seperti perkebunan, perikanan dan setor-sektor lainnya yang mendukung. Namun secara kreatif dan inovatif sektor pariwisata lebih menonjol dan mendapat respons yang positif dari masyarakat. Pemerintah Daerah Sebagai Pelopor Inovasi Sumberdaya alam dan lingkungan serta masyarakat menjadi modal dasar yang penting bagi pengembangan pariwisata Banyuwangi. pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam berbagai kesempatan mengajak masyarakat baik di pemerintahan, dunia usaha, perguruan tinggi, pelaku usaha, untuk terus bekerja keras dan cerdas memanfaatkan semua potensi yang telah dituangkan dalam RTRW Banyuwangi 2012-2032 secara maksimal melalui berbagai inovasi yang dilakukan dengan tidak merusak alam, menjaga prinsip lestari dan berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan hidup bersama. Pemerintah daerah untuk itu menggerakkan seluruh struktur pemerintahan yang ada sampai tingkat desa untuk mewujudkan “visi dan “misi” nya melalui perencanaan strategis pembangunan dengan diterbitkannya Peraturan Daerah nomor 17 tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD 2010- 2015. Dokumen strategis ini memuat perenanaan pembangunan lima tahun dengan target-target yang hendak dicapai berbagai 238 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 sektor seperti pertanian, pariwisata, perkebunan, kehutanan, perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Pemerintah daerah memfasilitasi berbagai inovasi lewat berbagai peraturan daerah yang diterbitkan, dokumen strategis dan teknis yang disusun sehingga perannya sangat strategis sebagai fasilitator inovasi bahkan terkadang bertindak sebagai innovator untuk mewujudkan kesejahteraan hidup atau kualitas hidup penduduk Banyuwangi. Jajaran SKPD yang berhadapan langsung dengan masyarakat demikian halnya. Bappekab, dan Dinas-Dinas di bawah pimpinan Bupati bahu-membahu dengan dunia usaha dan perguruan tinggi untuk bersama- sama menggerakkan potensi daerah. Diyakini inovasi tidak dapat dilakukan sendiri tapi harus kerja kolektif. Gambaran kerjasama yang rapi antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan dunia usaha tampak dalam pelaksanaan “Banyuwangi Festival” yang digelar. Untuk Tahun 2014 agenda yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: Event Pariwisata Skala Internasional: Kegiatan pariwisata yang melibatkan keikutsertaan peserta dari sejumlah negara dan juga dalam negeri. berbagai beberarapa diantaranya adalah:  International surfing competition . Ini diadakan di pulau merah, kawasan pantai selatan di Banyuwangi. Ini merupakan kawasan pantai dengan ombak yang besar pada musim-musim tertentu dan cocok kegiatan olahraga surfing. Dinamakan pulau merah red island konon karena kalau sore hari ketika matahari akan terbenam sunset pulau yang berbentuk gunung di sekitar kawasan pantai ini warnanya memerah akibat sinar matahari. Kompetisi ini diiukuti oleh para peserta dari berbagai negara termasuk para peselancar dari Indonesia terutama Bali, daerah-daerah lainnya, dan juga Banyuwangi. Kegiatan ini selain mendatangkan para wisman ke Banyuwangi juga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk menonton berbagai atraksi menarik yang ditampilkan dalam kompetisi tersebut. Selian itu sudah barang tentu masayarakat dan terutama para pelaku usaha juga diuntungkan dengan adanya kompetisi tahunan ini. Selain infrasttuktur jalan menuju ke tempat surving terus dilakukan perbaikan, masyarakat juga tampak membuka berbagai usaha baik di lokasi maupun di sepanjang jalan-jalan menuju ke tempat lokasi pulau merah tersebut.  International Tour de Banyuwangi Ijen. Ini merupakan balapan sepeda tingkat internasional yang digelar di Banyuwangi. Para peserta berasal dari tidak kurang dari 25 negara dan merupakan salah satu tour yang sangat menarik. Para pembalap sepeda tidak saja berasal dari negara-negara sekitar ASEAN tetapi juga dari Eropa dan Amerika Serikat. Rute balapan sepeda ini adalah hampir seluruh jalan raya di Kabupaten Banyuwangi yang kemudian finish di kaki Gunung Ijen. Balap sepeda skala internasional ini berlangsung selama tiga hari dan mendapat dukungan dari berbagai komponen masyarakat di Banyuwangi . Kegiatan ini tentu juga berdampak terhadap perekonomian masyarakat, terutama rute-rute yang dilewati dan juga yang menjadi pos-pos pemberhentian. Ekonomi kreatif berkembang dalam bentuk penjualan souvenir dan lain sebagainya.  International Adventure Traill Kegaiatan ini tidak kalah menarik dari kegiatan internasional lainnya karena juga melibatkan para seniman motocross dari berbagai negara. Atraksi yang biasanya hanya dapat dilihat melalui televisi kini dapat disaksikan secara langsung masyarakat dan terutama kaum muda yang menggemari atraksi motor traill ini. Kegiatan yang berlangsung sampai tiga hari ini juga menyedot banyak penonton dan mampu memicu bergeraknya ekonomi kreatif di Banyuwangi. Selain para pedagang kecil juga banyak dijual souvenir yang terkait dengan kegiatan maupun yang tidak langsung terkait dengan kegiatan tingkat internasional ini. Para peserta tentu saja tidak hanya dari negara-negara lain tetapi juga berasal dari dalam negeri dan bahkan juga dari Banyuwangi yang juga tidak mau melewatkan ajang kompetisi tingkat internasional ini. 239 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Tabuhan Island Pro-Kite Boarding Pulau Tabuhan terletak di desa Bangsring bagian utara Banyuwangi dekat TN Baluran yang dijuluki Little Africa . Lokasi ini tepatnya di selat Bali mengarah ke laut Jawa. Ini adalah pulau tidak berpenghuni tetapi memiliki pasir putih. Pulau ini tampak dari pantai tetapi harus dijangkau dengan menggunakan transportasi speed boad atau perahu tradisional yang secara komersial disediakan masyarakat nelayan setempat. Kegiatan pariwisata ini melibatkan para atlet peselancar yang mana papan luncur mereka digerakkan ditarik oleh semacam payung terjun. Angin yang kuat dan kelincahan memanfaatkan dorongan angin menjadi faktor penentu kemenangan para atlet. Pariwisata ini biasanya digabung dengan kegiatan Summer Kite surfe Camp . Mereka para peselancar layang-layang ini menginap di pulau tanpa penghuni tersebut, sehingga menarik bagi para peserta yang rata-rata berasal berasal dari manca negara. Para peselancar tingkat nasional nasional dan lokal jumlahnya kalah banyak dibanding dengan para peselancar manca negara.  Blue F ire Kawah Gunung Ijen Gunung ijen terletak sejajar dengan Gunung Raung dan berada di wilayah bagian barat Banyuwangi. Gunung ini memiliki keunikan selain kawah yang cukup besar juga menghasilkan belerang sekaligus juga menyemburkan api berwana biru blue fire yang begitu menawan bila disaksikan pada malam hari. Fenomena alam ini ada dua di dunia, selain di Ijen satunya lagi ada di negara Islandia. Mungkin karena itu pula banyak wisman Eropa yang datang dan menyaksikan blue fire ini, terutama antara bulan April sampai Agustus. Selain itu dapat disaksikan juga para penambang belerang yang hilir mudik dari kawah menuju kaki gunung ijen dengan memikul beban 50kg-100kg. Letak gunung ijen sekitar 30 km barat Banyuwangi dapat ditempuh dengan mobil dan kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 5km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam karena tanjakan. Trek untuk jalan kaki cukup bagus dan lebar sehingga lalu lalang para pendaki terjamin. Para pendaki juga tidak khawarir tersesat karena jalannya jelas dan aman karena banyak pendaki lalu lalang meskipun di malam hari. Pendakian ke kawah ijen biasanya dilakukan pada tengah malah dan sekitar jam 03.00 wib ke kawah menyaksikan blue fire . Selanjutnya sekitar jam 05.00 wib para pendaki umumnya naik lagi untuk menyaksikan matahari terbit yang indah dari ufuk timur. Sekitar jam 07.00 wib para pendaki umumnya turun kembali ke kaki ijen dan disana pos parkir ada juga tempat-tempat wisata menarik yang tidak jauh yakni pemandian air panas dan juga kawah wurung kawah tidak jadi dalam bahasa setempat. Selain itu dari sini juga dapat disaksikan pesona Gunung Raung yang berada sejajar dengan Gunung Ijen. Bila hendak kembali akan menuju kota Banyuwangi para wisatawan jug adimanjakan dengan berbagai wisata kuliner lokal disamping buah-buahan lokal seperti jeruk, durian, manggis, bahkan bila beruntung mendapat durian merah yang konon non-kolesterol. Di kaki gunung ijen ini juga tempat digelarnya acara Mountain Jazz Festival selain juga ada Beach Jazz Festival di Pantai Boom kota Banyuwangi.  F estival Ngopi Sepuluh Ewu Bila lima kegiatan pariwisata internasional sebelumnya lebih bersifat olahraga petualangan adventure , maka festival ngopi sepuluh ewu ini merupakan kegiatan wisata kuliner yang melibatkan para peserta dari manca negara. Sangat menarik karena kegiatan yang didukung oleh perkebunan kopi di Banyuwangi juga melibatkan para penikmat kopi mancanegara, dalam negeri, para pakar kopi, dan juga masyarakat umum pencinta kopi. Selama kegiatan berlangsung masyarakat diajak terlibat dalam proses pembuatan kopi dari mulai pemilihan kopi, menggoreng kopi secara tradisional, sampai menyeduh dan kemudian menyajikan kopi secara benar dari aspek kesehatan. Istilah “sepuluh ewu” sepuluh ribu adalah bahwa kegitan ini melibatkan ribuan orang pencinta kopi dari berbagai daerah termasuk dari manca negara. Event Pariwisata Skala Nasional dan Lokal Selain event pariwisata skala internasional digelar juga event pariwisata masuk kategori nasional yakni yang biasanya melibatkan para 240 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 pelaku di tingkat nasional dan lokal. Berbagai event tersebut antara lain adalah:  Banyuwangi Ethno Carnival BEC Kegiatan pariwisata ini melibatkan segenap komponen masyarakat Banyuwangi dan juga para pesaerta dari daerah-daerah lain. Berbeda dengan carnifal di tempat lain, di Banyuwangi mengusung tema khusus yang bersifat lokal dan berasal dari budaya masyarakat setempat misal “Kebo-Keboan” tema ini menggambarkan kesenian masyarakat aseli suku Using Banyuwangi ketika bersyukur kepada Tuhan YME karena hasil panen padi dan palawija yang melimpah. BEC ini digelar melewati jalan-jalan utama di sekitar kota Banyuwangi. Festival ini sangat menarik bagi masyarakat yang ingin menjadi peserta langsung maupun yang hanya ingin menjadi penontong.  Parade Gandrung Sewu Parade ini seperti namanya melibatkan penari Gandrung sejumlah seribu lebih yang berasal dari pelajar SD-SMA, 200 di antaranya adalah penari profesional pelaku sendratari pertunjukan sejarah Gandrung. Parade ini digelar di pantai Boom Marina Bay pusat kota Banyuwangi. Pagelaran tari yang bersifat kolosal ini sebagaimana tema pada festival lainnya adalah berbeda-beda setiap tahunnya. Pada kesempatan ini selain ada sedikit sambutan bupati juga dibacakan sebagai pelajaran kepada generasi muda dan masyarakat tentang sejarah Banyuwangi. Parade ini juga diikuti dengan atraksi-atraksi yang terkait misalnya Barong, misik tradisional, Macan Wuto dan sebagainya.  Indonesia F ashion Week Batik Banyuwangi Ini merupakan kelanjutan dari Banyuwangi Batik Festival BBF yang digelar secara lokal di Banyuwangi. Sebagaimana diketahui Banyuwangi adalah salah satu dari daerah- daerah yang batiknya memiliki makna. Motif Batik khas Banyuwangi memang banyak tetapi yang paling dikenal adalah motif “Gajah Oling” Maknanya ElingIngat kepada yang Maha BesarKuasa. Motif Lain adalah Paras Gempal, Kangkung Setingkes dan masih banyak lagi. Berbagai motif ini setiap tahun di festivalkan dan dikompetisikan pada tingkat Kabupaten untuk merangsang masyarakat mengembangkan motif-motif baru dan sekaligus ekonomi kreatif dan juga meningkatakan pendapatan tanpa harus keluar dari Banyuwangi. Hasil BBF di tingkat Banyuwangi ini kemudian diperkenalkan di tingkat nasional seperti melalui Indonesia Fashion Week Batik Banyuwangi di JCC Jakarta. Pada acara ini dilibatkan para pakar batik dan perancang busana serta model tingkat nasional sehingga batik Banyuwangi dikenal luas di tingkat nasional bahkan internasional. Dampaknya di tingkat lokal dapat disaksikan para pengrajin batik semakin banyak ditemukan di sudut-sudut kota dan desa di Banyuwangi mulai dari yang sudah mahir dan halus sampai pada yang masih taraf belajar. BBF dan jug Indonesia Fashion Week tentu menjadi daya tarik sendiri bagi para wisatawan untuk datang ke Banyuwangi.  Green and Recycle F ashion Week Saya yakin kita akan terkejuta bila tiba-tiba mendapat undangan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan DKP untuk ikut fashion week atau sekadar manyaksikannya. Ini memang terjadi dalam Green dan Recycle Fashion Week . Tujuannya tidak lain untuk mengenalkan lebih jauh tentang fungsi dan arti daur ulang sampah kepada warga Banyuwangi. Kegiatan ini, dibagi beberapa ketegori yaitu pelajar, mahasiswa dan umum. Untuk kategori pelajar terdiri dari tingkat TK B, SDMI, SMPMTs, dan SMASMKPonpes. Syarat- syarat khusus di antaranya, harus mempunyai pretasi akademik, dan memiliki talenta lebih dari satu, serta diutamakan yang memiliki piagam penghargaan. Sedangkan untuk kategori mahasiswaumum, syarat-syaratnya yaitu usia 19-35 tahun, memiliki talenta lebih dari satu, diutamakan memiliki piagam penghargaan, tinggi badan minimal 160 cm untuk putri dan 165 cm untuk putra. Kegiatan ini secara resmi juga masuk dalam agenda Banyuwangi Festival. Tujuan lainnya adalah yakni nilai tambah pada penanganan sampah sehingga menjadi kegiatan yang menanam dan kepedulian terhadap lingkungan, mengurangi global warming pemanasan global, menghemat sumber daya alam, memanfaatkan kembali sampah sehingga mempunyai nilai seni dan menghasilkan produk baru yang 241 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 kreatif, inovatif, menarik dan bernilai jual. “Peserta wajib mendesign sendiri baju fashion- nya dengan bahan-bahan dari kertas dan plastik”.  Banyuwangi Beach Jazz F estival Banyuwangi Beach Jazz Festival digelar tiap tahun dan merupakan bagian Festival Banyuwangi. Beach Jazz atau yang dikenal dengan sebutan Jazz Pantai itu biasanya digelar di Pantai Boom Marina Bay di Kota Banyuwangi. Tahun 2014 mengambil tema Gulung Ombak, Jazz Bersemarak, festival lebih menonjolkan keberagaman, keterbukaan dan kejujuran dalam bermusik. Tiga hal tersebut yang dicoba diselaraskan dengan keindahan debur ombak Pantai Boom, Bayuwangi. Beberapa musisi ternama pun tampil di perhelatan dari Trie Utami bersama Kua Etnika, Tohpati dan Kahitna dan yang lainnya. Acara ini umumnya mengejutkan para penyanyi itu sendiri yang tidak menyangka animo masyarakat untuk ikut menonton dan bernyanyi bersama dengan para penyanyi dan musisi jazz nasional. Lagu-lagu jazz dipadukan dengan lagu dan musik serta alat musik lokal dalam kesempatan tersebut sehingga semakin mengundang decak kagum para penonton yang rela merogoh koceknya cukup mahal. Mereka umumnya puas dengan sajian jazz pantai yang dianggap menghibur dan menjadi daya tarik sendiri untuk wisata di Banyuwangi.  F estival Toilet Bersih Nuansa lain dari Banyuwangi Festival adalah juga menyentuh aspek kesehatan dan kebersihan lingkungan. Festival Toilet Bersih contohnya, ini diawali dengan praktik membersihkan toilet di salah satu sekolah oleh Bupati Banyuwangi, dilanjutkan dengan pemberian bantuan alat-alat kebersihan toilet kepada sekolah, pondok pesantren ponpes, dan sejumlah elemen masyarakat. Festival Toilet ini melibatkan partisipasi langsung dari seluruh warga, pengelola tempat wisata, perhotelan, pondok pesantren, sekolah, tempat ibadah, kantor swasta, hingga instansi publik. Even ini berlangsung selama enam bulan dengan lomba kebersihan toilet di mana profil dan kedatangan juri dirahasiakan. Gerakan ini tidak lepas dari ikhtiar kabupaten berjuluk The Sunrise of Java untuk menjadi destinasi wisata yang digemari wisatawan. Toilet adalah salah satu fasilitas penunjang pariwisata yang sangat penting yang juga ikut menentukan daya saing wisata.  Aneka Event Banyuwangi F estival Festival Banyuwangi sebagai agenda pariwisata dikemas sangat beragam dan berupaya melibatkan sebanyak mungkin kompinen masyarakat dan juga mengundang peserta tingkat internasional seperti tour de Ijen yang melibatkan lebih 100 negara dalam balap tersebut. Sejumlah event baru dimasukkan dari tahun ke tahun untuk mengakomodasi berbagai potensi lokal yang belum terangkat skaligus untuk menumbuhkan peranserta dan kepedulian warga dan masyarakat Banyuwangi akan daerahnya. Menurut Anas 2014 Bupati Banyuwangi festival ini bukan sekadar pariwisata konvensional akan tetapi juga mengajak, mendidik, dan sekalgus juga membangun spirit kemanusiaan. Inilah inovasi yang dilakukan Banyuwangi dalam pengelolaan pariwisata. Inovasi yang berbasis kepada pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang mereka miliki. Karena itu tema festival sangat beragam mulai dari festival toilet bersih, festival bernuansa agama, bernuansa kebersihan dan kesehatan, nuansa seni musik, tari, nyanyi, dan pendidikan semua dicakup dalam tema Banyuwangi Festival. Tiada Hari Tanpa Festival Apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam pengelolaan pariwisata adalah bak pepatah “tiada hari tanpa festival”. Tahun 2012 sebanyak sembilan acara Banyuwangi Festival digelar. Kemudian untuk tahun 2015 sebanyak 36 Festival dijadwalkan secara resmi digelar. Untuk itu rata-rata tiap bulan kurang lebih terdapat dua sampai tiga festival digelar. Pola ini mengingatkan kita kepada destinasi wisata Bali, dimana berbagai festival dan upacara keagamaan maupun budaya, adat istiadat, yang bisa menjadi daya tarik orang atau juga wisatawan dari luar bali, termasuk manca negara berlangung tiap hari dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. 242 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Sebagaimana dikatakan Amirudin Hidayat 2014 Kabid Data Bappekab Banyuwangi dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada, maka prioritas pembangunan di Kabupaten Banyuwangi sekarang adalah: Sektor pertanian, sektor pariwisata, kemudian sektor penunjang yakni infrastruktur. Terkait dengan sektor wisata, secara umum konsep wisata di Banyuwangi mengambil tema Eco Tourism , bukan Mass Tourism , sehingga tidak harus mengundang banyak tapi berkualitas seperti konsep Desa Wisata di Kemiren. Untuk menjaga budaya dan kelestarian alam dan budaya, maka dijadikan prioritas wisata di Kabupaten Banyuwangi. Kemudian untuk Kawah Gunung Ijen konsepnya adalah bagaimana agar Ijen sebagai penyangga alam utuh, fungsi lingkungan jalan sehingga kunjungan wisatawan tetap peduli pada keutuhan lingkungan tapi wisata dapat terus berkembang. Semangat yang tidak jauh beda disampaikan oleh Harry Cahyo Purnomo 2014 Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Pertambangan Disperindagtam, jika Pariwisata memang menjadi jangkar dalam pembangunan di Banyuwangi. Meski dirinya memimpin Disperindagtam, tapi semua out put binaan Dinasnya diarahkan untuk menopang berkembangnya pariwisata di Banyuwangi seperti industri kecil dan menengah yang ada. Disperindagtam yang salah satu tupoksinya adalah membina industri mulai yang kecil sampai yang besar diarahkan untuk menghasilkan luaran atau produk-produk yang bisa membaca ciri khas Banyuwangi. Demikian halnya yang disampaikan Alif Rachman Kartiono 2014 Kepala Dinas UMKM bahwa sektor UMKM kerajinan bambu, batik Gajah Oling, souvenir, juga terus dikembangkan dan dikemas menjadi bagian dari Banyuwangi Festival. Sekitar 80 kerajinan ini dipasarkan di Bali sebagai implementasi strategi Clustering dan Great Bali . Untuk batik pengembangan produk batik khas Banyuwangi “Gajah Oling” terus didorong. Sejumlah kecamatan menghasilkan batik khas itu dan dikompetisikan tiap tahun dalam festival Banyuwangi. Festival buah lokal misalnya ini memberi peluang kepada pada petani untuk giat menanam buah-buahan. Manggis yang banyak dihasilkan di Kabupaten banyuwangi seperti di Kecamatan Songgon yang ekspor ke Thailand dan Malaysia. Durian merah khas Banyuwangi dan sudah mendapat penelitian dari luar negeri, terutama China yang juga ingin mengembangkan durian merah tersebut. Di dalam negeri durian merah ini sudah dikembangkan para peneliti dari Institut Pertanian Bogor IPB di Bogor dan sebagian ditanam di Jawa Barat. Menurut Hidayat, konsep inovasi penting tinggal bagaimana mengaitkan hulu- hilirnya agar tercipta lingkages dan mengghasilkan nilai tambah berkesinambungan. Contohnya Kecamatan Muncar dimana penangkapan ikan, pengalengan, dan jasa kuliner akan dikembangkan. Dampaknya adalah, sektor pariwisata yang mencakup juga hotel dan restoran PHR selama ini terus meningkat dan mendongkrak Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB secara signifikan mendekatai sumbangan sektor pertanian yang bisa menyumbang Rp 32 triliun atau sebesar 45. Begitu pula jika 2010 PAD Banyuwangi tercatat Rp22 triliun maka 2014 Rp40,8 triliun melampaui target Rp35 triliun. Pendapatan per kapita meningkat dari RP15 juta 2010 menjadi Rp25,8 juta 2015. Salah satunya karena sumbangan industri kreatif dan pariwisata yang kian dikenal di tingkat internasional akibat inovasi pengelolaan pariwisata. Untuk itu Banyuwangi Fstival akan terus digelar dimasa-masa yang akan datang dan untuk tahun 2015 Jadwalnya adalah sebagai berikut: PENUTUP Pengelolaan pariwisata secara inovatif, upaya kreatif pemerintah daerah, partisipasi aktif segenap lapisan masyarakat, telah menjadikan pengembangan pariwisata berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di Kabupaten Banyuwangi ini berbasil memajukan masyarakat dalam berbagai bidang, dan ini diharapkan terus dapat 243 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 diterapkan agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Untuk itu, inovasi yang berdampak paling minim terhadap degradasi sumberdaya alam dan lingkungan serta melibatkan masyarakat luas perlu dicarikan cara pelembagaannya agar terus dapat dilanjutkan pada masa-masa mendatang. DAFTAR PUSTAKA Andrews, 1971. K. The Concept of Corporate Strategy. Homewood, IL: R.D. Irwin. Barney, Jay B., Clark, Delwyn N., 2007, Resource-Based Theory: Creating and Sustaining Competitive Advantage , Oxford University Press. Creswell, John. W. 2013. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. University of Nebraska, Lincoln. SAGE Washington. Johnson, Gerry and Kevan Scholes. 2002. Exploring Corporate Strategy: Text and Cases Sixth edition. London. Person Publication. Khodyat, H. 1983. Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia . Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Lim, Christine Michael MacAleer, 2003. “Ecologically Sustainable Tourism Management”. A Discussion Paper . Melbourne: School of Tourism and Hotel Management Griffith University. Penrose, E. T. 1959. The Theory of the Growth of the Firm. New York: John WileyYoeti, H. Oka. 2014. Pengantar Ilmu Priwisata. Angkasa . Jakarta. Wernerfelt, Birger. 1984. “A Resource-Based View of The Firm”, Strategic Management Journal , Vol. 5, No. 2. Apr. - Jun., 1984. Williamson, O. E. 1975. Markets and Hierarchies. New York: Free Press. Sumber Lain: Wawancara dengan Ka. Dinas Perindagtam, Da.Dinas UMKM, Kabid Data Bappekab. Laporan Khusus Kompas, 25072008. Antara Jatim, 07092-13 2013. Wikipedia, 2013. Heru SP Saputra Srinthil. 2007. Dalam https: hendicitranovia.wordpress.com 20100202budaya-bayuwangi-lare- oseng 02 Februari 2010. 244 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Model Akselerasi Inovasi Industri Kreatif di Jawa Timur Innovation Acceleration Model for Creative Industries in East Java 1 Edy Wahyudi Program Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember, Jl. Kalimantan 37, Jember, 68121 Keyword A B S T R A C T creative industries small businesses innovation acceleration This research tried to find an innovation acceleration model for creative industries in East Java. The research attempted to analyze the efforts of small businesses that belong to creative industries to ma ke innovation acceleration in terms of internal resources, culture, system and process, leadership, market orientation and maturity. The research examined the market pull and technology push of the success of creative industries to accelerate innovation from the external side. The role of government in every area in this process will also be such kind of comparison on how this acceleration can be promoted by the local government and can increase local revenue. The research used qualitative descriptive approach to see the innovation acceleration that can be made either from the side of creative industries actors or from the local government support. The research was conducted in East Java in four regencies: Trenggalek, Tulungagung, Blitar and Banyuwangi. The results showed that not all small businesses in all research areas could have competitiveness and accelerate innovation. The research also found that potential synergy between local government and creative industries in the region could not simply be accelerated to be regional competitiveness. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N industri kreatif usaha kecil akselerasi inovasi Penelitian ini berupaya menemukan model akselerasi inovasi industri kreatif di Jawa Timur. Penelitian ini mengurai upaya usaha kecil yang menjadi bagian dari industri kreatif melakukan akselerasi inovasi dari sisi internal yaitu resources, culture, system and process, leadership, market orientation dan maturity . Penelitian ini juga akan meneliti dari market pull dan technology push keberhasilan industri kreatif melakukan akselerasi inovasi dari sisi eksternal. Peran pemerintah di setiap daerah dalam proses ini juga akan menjadi semacam perbandingan, bagaimana akselerasi ini dapat dipromotori oleh pemerintah daerah dan mampu meningkatkan pendapatan daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk dapat melihat akselerasi inovasi yang dapat dilakukan baik dari sisi pelaku industri kreatif maupun dukungan dari pemerintah daerah. Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur di empat Kabupaten yaitu di Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil penelitian, tidak semua usaha kecil di semua daerah penelitian mampu memilki daya saing dan melakukan akselerasi inovasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa potensi sinergi antara pemerintah daerah dengan industri kreatif di daerah tidak begitu saja dapat diakselerasi menjadi keunggulan daya saing daerah. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. Email address :edydata75gmail.com, HP.08125200230 245 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Akhir tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami peningkatan 6,67. Besarnya pertumbuhan ini melebihi nasional yang hanya 6,10 pada 2010. Jawa Timur saat ini menduduki posisi kedua penyumbang Produk Domestik Regional Bruto sebesar 15,41 pada 2010 setelah DKI Jakarta sebesar 17,81. Jatim juga memiliki jumlah industri kecil yang sangat dominan 97,80, sementara industri menengah 2,09 dan usaha besar 0,10. Dominasi industri kecil ini ternyata juga mampu menyerap tenaga kerja 60,12, sementara industri menengah 31,73 dan industri besar hanya 8,15. Pengembangan industri unggulan di Jawa Timur dilakukan dengan pengembangan kompetensi daerah, OVOP One Village One Product , industri kreatif dan industri agro. Berdasarkan data potensi produk unggulan kabupaten kota se-Jawa Timur, nampak bahwa semua daerah memiliki produk unggulan dan industri kreatif yang dikembangkan. Berdasarkan pengamatan awal peneliti, nampak bahwa hanya beberapa daerah yang memiliki industri kreatif yang unik dan ditunjang dengan sektor kepariwisataan yang juga unik. Keberadaan sektor industri kreatif dan kepariwisataan memiliki sinergisitas yang kuat, sehingga dibutuhkan akselerasi inovasi untuk dapat mengoptimalkan kedua hal tersebut. Kabupaten Banyuwangi memiliki produk unggulan barupa batik, tari gandrung, kaos, olahan buah dan wisata pantai yang ada di berbagai tempat di Banyuwangi. Kabupaten Tulungagung memiliki produk unggulan konveksi, onyx, logam, makanan dan minuman dan wisata pantai popoh. Kabupaten Blitar memiliki produk unggulan emping blinjo, gula kelapa, gendang dan usaha sapi perah. Kabupaten Trenggalek memiliki produk unggulan meubel kayu, genteng, batik dan kripik tempe. Penelitian ini menetapkan Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung, dan Kabupaten Trenggalek dengan pertimbangan memiliki potensi produk unggulan bervariasi dan karakteristik kepariwisataan yang masih memungkinkan untuk dilakukan akselerasi. Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi dan Julianto 2013 berhasil mengungkap bahwa usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah non High tech dapat melakukan inovasi dan kreatifitas berdasarkan keunikan produk yang mereka buat, dan mampu meredusir biaya produksi dengan menggunakan alat-alat sederhana yang digunakan. Akses pasar juga menjadi faktor kunci dalam kelancaran produksi, meskipun pelaku usaha mengakui bahwa dengan adanya teknologi yang lebih canggih akan mampu mempercepat kapasitas produksi dan mampu melayani pasar yang lebih luas. Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena industri kreatif yang sudah dicanangkan di Indonesia sejak 2008 masih menemui banyak kendala terkait kendala teknologi, akses pasar, dan keberlanjutan dalam program pembinaan dan pengembangan. Penelitian ini berupaya menemukan model akselerasi inovasi industri kreatif di Jawa Timur. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan deskriptif, agar dapat menggambarkan secara natural lanskap industri kreatif yang ada di masing- masing daerah penelitian dan menemukan akselerasi inovasi yang dapat dilakukan. Objek penelitian ini adalah berbagai jenis industri kreatif yang dapat berupa usaha kecil dan menengah yang secara kontinyu mampu berproduksi dan mempunyai peluang pasar dan akses pasar potensial, seperti makanan dan minuman khas mamin khas, logam, konveksi, batik dan kerajinan craft . Lokasi penelitian ini adalah di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini mengurai upaya usaha kecil yang menjadi bagian dari industri kreatif melakukan akselerasi inovasi dari sisi internal yaitu resources, culture, system and process, leadership, market orientation dan maturity. Penelitian ini juga akan meneliti dari market pull dan technology push keberhasilan industri kreatif melakukan akselerasi inovasi dari sisi eksternal. Proses kedalaman informasi didapatkan peneliti melalui indepth interview dengan key informan kepala dinas UMKM atau yang relevan di instansi pemerintahan terkait dan pemilik perusahaan untuk mendapatkan informasi langsung dan alamiah. Peneliti juga melakukan observasi dan penelitian dilapangan dengan melakukan pengamatan langsung proses pengolahan produk, alat teknologi yang digunakan, proses packaging , dan mencermati akses pasar dan pemasaran di lapangan. KERANGKA TEORITIK Akselerasi inovasi secara konseptual sangat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah kepemimpinan leadership, strategi, budaya, sumberdaya, teknologi yang digunakan, proses dan sistem dan orientasi pasar Goyal and Pitt, 2007. 246 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Gambar 1. Daya dukung inovasi Goyal and Pitt, 2007 Perubahan internal meliputi siklus atau kematangan perusahaan dan perubahan eksternal adalah kemampuan bertahan dan kestabilan dalam pasar. Perubahan yang terjadi dalam berjalannya siklus atau kematangan perusahaan membuat perusahaan harus beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Perubahan perubahan adaptasi yang dilakukan melibatkan manajerial secara internal, dan inilah yang seringkali tergantung dari kekuatan internal perusahaan, dan sulit diprediksi. Kondisi ini juga dipengaruhi daya serap perusahaan. Daya serap memegang peranan penting dalam pertumbuhan mereka. Hal ini didukung pendapat Zahra and George 2002 yang mengatakan daya serap perusahaan meningkatkan daya saing perusahaan. Perubahan eksternal mengarah pada teknologi push dan market pull Andries and Debachere, 2006. P ush Technology dimaknai bahwa inovasi yang dapat dikembangkan dan memiliki tekanan daya serap yang kuat untuk memanfaatkan teknologi. Disisi lain, ma rket pull lebih kepada kebutuhan sosial dimana pengembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan. Seringkali mar ket pull dilakukan oleh innovator atau pemain baru dalam pasar Landon and Landon, 2007. Mar ket pull juga memberikan kepastian penyusunan standar oleh industri. Kerjasama eksternal dapat meningkatkan pengembangan pengetahuan usaha kecil, sehingga pengetahuan dapat di transfer dan mendukung inovasi. Keunggulan bersaing terkait dengan kemampuan perusahaan belajar dari pengalaman yang diperolehnya. Hal ini membutuhkan konsentrasi penciptaan dan keberlanjutan kemampuan usaha kecil agar mampu selalu di depan Jones, 2003. Faktor eksternal seperti kolaborasi interfir m mempengaruhi kemampuan meningkatkan daya saing usaha kecil, atau dipengaruhi oleh berbagai kondisi lainnya. Strategi bersaing dapat dilihat dari 3 dimensi: potensial kondisi internal dan eksternal, proses kompetensi entr epreneurial dan kinerja fir m perfor mance dan empat karakteristik kualifikasi: orientasi jangka panjang, controllability , r elativity , dan dinamisasi. Model ini lebih fokus pada jangka panjang dari pada jangka pendek seperti usia, pendidikan, pengalaman dan latar belakang. HASIL DAN PEMBAHASAN Lanskap Inovasi Usaha Kecil Berdasar penelitian yang telah dilakukan di empat Kabupaten di beberapa lokasi usaha dan melakukan wawancara dengan instansi pemerintah terkait, inovasi industri kreatif yang tercermin dari usaha kecil yang ada secara umum masih mengandalkan kreativitas. Kreativitas tersebut dapat dipilah dalam berbagai bentuk dari yang inovatif, imajinatif, intuitif hingga inspiratif. Kreatifitas yang dihasilkan memang tidak selalu baru, orisinal namun juga didasari kemampuan meniru imitasi. Proses Inovatif dapat dimulai dengan menemukan hal hal baru invention, proses menemukan hal baru tersebut tentunya tidak selalu orisinal, namun dapat melalui proses imitasi. Imitasi menjadi proses kreatifitas. Hasil penelitian membuktikan bahwa usaha kecil di lokasi penelitian dapat eksis karena dominasi proses inovasi. Perusahaan batik Gajah Mada di Tulungagung misalkan, dapat berkembang karena desain yang mengikuti trendsetter yaitu Solo, Yogjakarta, dan Pekalongan. Pelaku usaha menuturkan bahwa pada awalnya memang meniru, namun dalam perkembangannya pelaku usaha batik Tulungagung mengembangkan desain sendiri, dengan perspektif batik modern dan mengembangkan jaringan pemasaran untuk tetap eksis. Penelitian yang dilakukan Wahyudi dan Djulianto 2013 menemukan bahwa setidaknya ada 22 jenis batik khas Tulungagung, dan masih akan terus berkembang. Saat ini sudah berkembang hingga 200 lebih motif batik. Upaya desain baru dan akses pasar dilakukan dengan memasukkan produk mereka ke Batik Keris di Solo dan Jogja Mirota yang merupakan pusat pusat perbelanjaan batik terbesar disana. Upaya tersebut dilakukan untuk dapat memperluas akses pasar, karena pelaku usaha beranggapan bahwa Jogja dan Solo adalah pusat batik yang sudah dikenal masyarakat lokal dan dunia, sehingga jika sudah dapat masuk ke pusat pusat belanja di Jogja dan Solo, akan dapat dengan mudah memajukan usaha batik mereka. Demikian juga untuk pelaku usaha marmer. Riset membuktikan bahwa perusahaan marmer dalam melayani pasar ekspor, didasari atas permintaan pelanggan dengan menunjukkan contoh desain yang 247 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 ada. Sebuah contoh, terdapat desain westafel dan bathup untuk pasar Eropa, maka pelaku usaha di tuntut untuk dapat membuat desain sesuai pesanan. Orisinalitas muncul dalam proses perkembangannya, disebabkan pelaku usaha sudah mulai berimajinasi, menggunakan intuisinya dengan mengembangkan model-model baru. Hal tersebut nampak dari proses pembuatan patung, dalam berbagai bentuk yang mengandalkan sisi orisinalitas desain. Pelaku usaha marmer mulai sadar bahwa orisinalitas desain dalam proses pembuatan patung memiliki harga jual tinggi. Proses Imajinatif dimaknai bahwa pelaku usaha harus memiliki mimpi, merancang mimpi agar berhasil, membayangkan sesuatu yang belum ada, dan mewujudkan supaya ada. Tidak puas dengan kondisi yang ada, dan selalu mengangankan yang lebih baik lagi. Dalam perkembangan proses imajinatif ini, nampak bagaimana pengajin marmer di tuntut berimajinatif dalam menghasilkan produk. Segumpal batu harus dijadikan apa, menjadi keahlian yang tidak ternilai bagi perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin marmer, tidak semua batu dapat dibentuk sesuai pesanan, harus dilihat kontur batu, dan kecenderungan batu tersebut dapat dibentuk menjadi bentuk apa. Peran imajinatif dari pengrajin sangat menentukan dalam menghasilkan produk, termasuk kualitas produk itu sendiri. Proses imajinatif ini juga nampak dari usaha konveksi. Proses menghasilkan ide dapat dilakukan dengan melihat lingkungan sekitar, peristiwa alam, ataupun secara serius melihat trend motif konveksi yang ada. Proses Intuitif dimaknai bahwa dalam proses kreatif, sangat mengandalkan rasa, fell , peka terhadap lingkungan dan tidak selalu berdasarkan data. Penelitian membuktikan pelaku usaha kerajinan logam di wilayah Kaliwungu, kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung. Pelaku usaha kerajinan logam di wilayah itu mengandalkan aspek intuitif dalam menangkap peluang pasar. Dimulai dari penggunaan bahan baku berupa logam bekas berkualitas tinggi perusahaan besar di Surabaya, usaha kerajinan logam mampu membuat beraneka alat dapur dengan harga bervariatif. Tingkat persaingan yang tinggi membuat pelaku usaha logam harus memiliki intuisi yang tinggi dalam proses pembuatan aneka alat kebutuhan dapur dengan harga bersaing. Hasil penelitian ke beberapa pelaku usaha logam menemukan bahwa sebagai pelaku usaha logam, upaya menekan harga jual produknya dapat dilakukan dengan berbagai macam: pertama , menekan harga bahan baku, karena menggunakan limbah pabrik industri logam semacam Sinar Mas dan beberapa perusahaan berbahan baku logam lain di Surabaya, maka harga bahan baku dapat ditekan. Kedua , menjual limbah sisa produksi. Dalam proses produksinya, usaha kerajinan logam masih memungkinkan menghasilkan limbah yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi sebagai produk baru. Limbah itu bisa merupakan potongan logam kecil, atau bulatan kecil yang memang sudah tidak dapat dipergunakan untuk menghasilkan produk baru. Limbah tersebut kemudian di jual, agar dapat memberi pemasukan sampingan, yang berupa keuntungan dari penjualan limbah logam. Intuisi dibutuhkan dalam proses ini. Ketiga, semua permintaan konsumen terhadap desain baru, harus dapat dikerjakan sendiri. Hal tersebut dilakukan agar dapat menekan harga jual produk itu sendiri. Keempat, mendesain alat untuk produksi dan proses penentuan harga jual produk juga mengandalkan intuisi. Proses intuisi tersebut sangat di butuhkan dalam menangkap peluang pasar, proses imitasi tingkat tinggi dan pengalaman yang memadai, sehingga intuisi tersebut sangat minim terhadap kesalahan dan kerugian. Proses Inspiratif dimaknai sebagai proses kreatif yang dapat dijadikan contoh, panutan, dengan memberikan keterbukaan ide, membagi visi share vision dengan karyawan. Berdasar hasil riset terhadap usaha konveksi di Tulungagung, pelaku usaha tidak mampu menampung besarnya order sendirian. Mereka membentuk kemitraan dengan karyawan agar order dapat dikerjakan di rumah. Pelaku usaha memberikan modal berupa mesin jahit, obras dan juga bahan baku setiap pagi untuk di bawa pulang karyawan. Hal ini menciptakan proses sinergisitas antara pelaku usaha terhadap karyawannya. Karyawan tinggal kembali lagi sore harinya untuk menyetor hasil jadi dan kemudian di catat oleh pemilik. Hasil penelitian menemukan bahwa model kemitraan ini sebagai alternatif keterbatasan perusahaan, sehingga karyawan dapat mengerjakannya di rumah. Produktifitas tetap tidak terganggu, karena semuanya tercatat dan karyawan dapat mengambil bahan baku berapapun senyampang mereka sanggup mengerjakannya. Proses ini juga memungkinkan ide ide karyawan mengalir, karena usaha ini berbasis ide, sehingga biasanya perusahaan menghargai ide karyawan dengan memberi reward untuk setiap ide. Lebih inspiratif karena proses itu sangat memungkinkan karyawan untuk berproduksi sesuai kemampuannya, beride seluas mungkin dan tetap tidak kehilangan waktu dengan keluarga, karena mereka mengerjakannya di rumah . Secara teoritik, hal ini selaras dengan pendapat Das and He 2006 yang mengatakan bahwa kreativitas adalah langkah pertama yang 248 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 penting dalam inovasi, di mana hal tersebut vital bagi keberhasilan organisasional dalam jangka panjang. Orang-orang kreatif sering dikenal karena originalitas, memiliki pikiran yang terbuka open mindedness , keingintahuan, pendekatan terfokus untuk memecahkan masalah, ketekunan, tingkah laku yang rileks dan suka bermain-main, serta penerimaan terhadap ide-ide baru Das and He, 2006. Sementara Zuhal 2010 menyatakan bahwa seseorang disebut melakukan kerja kreatif jika ia menghasilkan sesuatu yang bukan kelanjutan dari solusi yang pernah ada. Nilai kreativitasnya ditimbang dari seberapa jauh sesuatu itu berbeda dari pengalaman atau solusi terdahulu. Proses kreatif melahirkan inovasi itu sendiri terbentuk melalui tahapan mencari search, memutuskan decision , dan mencoba trial . Kepemimpinan sebagai Aktor Kunci Meskipun banyak faktor internal yang memungkinkan akselerasi, penelitian ini menemukan fakta bahwa faktor kepemimpinan memegang peranan paling penting dalam akselerasi inovasi. Pengaruh internal lain seperti sumberdaya, akuisisi teknologi, budaya kerja, proses dan sistem, dan orientasi pasar sangat tergantung kepada kematangan pemimpin dan aspek kepemimpinannya. Berdasarkan hasil penelitian memang nampak bahwa pelaku usaha usia muda lebih agresif dalam melakukan inovasi. Mereka lebih berani mencoba hal baru, berkalkulasi dengan risiko dan berani melakukan perubahan perubahan mendasar pada organisasi bisnis yang mereka kelola. Keberanian pemimpin dalam meningkatkan kapabilitas organisasi dan melakukan inovasi akan berdampak pada perubahan manajemen dan organisasinya, implikasinya tentu akan membentuk budaya kerja pada karyawan yang berbeda. Keinginan yang kuat dalam menggunakan teknologi juga akan meningkatkan kapabilitas karyawan, karena mereka dituntut untuk segera belajar dan beradaptasi dengan alat yang baru. Kematangan organisasi dalam hal ini sangat ditentukan oleh kekuatan akses pasar dan kontinyuitas produksi. Berdasarkan penelitian dilapangan, keberanian melakukan akselerasi inovasi selalu dengan basis permintaan pasar yang kuat. Hal tersebut terjadi pada pelaku usaha mamin khas, kerajinan bedug, genteng, pisau, alat musik, dan alat dapur. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa pelaku usaha menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksi dan pemasaran produk mereka. Penggunaan teknologi tinggi itu ditandai dengan menggunakan mesin otomatis, yang mampu mengontrol kualitas mulai dari tingkat presisi ukuran produk, kualitas rasa jika itu terkait dengan mamin, dan juga dari produktivitas kecepatan produksi. Berdasarkan hal tersebut, ditemukan bahwa pelaku usaha yang menggunakan teknologi tinggi adalah perusahaan yang mampu secara kontinyu melakukan produksi dan melayani permintaan pasar. Beberapa perusahaan adalah berorientasi ekspor, sehingga menuntut mereka menjaga kualitas produk dan pemasaran dengan website. Penelitian ini menemukan fakta bahwa faktor kepemimpinan menjadi kunci penting dalam mengadopsi teknologi. Dampak dari penggunaan teknologi tinggi tersebut juga berdampak dalam budaya organisasi. Tidak semua pelaku usaha, memiliki keinginan yang kuat untuk mengadopsi teknologi tinggi dalam proses produksi mereka. Keberanian menanggung risiko dengan berinvestasi melalui teknologi membawa keberhasilan terhadap kemampuan berinovasi. Kecepatan dan kontinyuitas dalam melahirkan produk baru dengan inovasi juga menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian karakterisitik usaha kecil dalam mengakuisisi teknologi sangat beragam. Faktor kematangan maturity usaha kecil dalam akses pasar dan stabilnya permintaan pasar menjadi dasar kuat proses akuisisi teknologi dilakukan. Hal ini terjadi pada usaha genteng Uye Kayen di Trenggalek, Batik Gajah Mada dan krupuk rambak di Tulungagung, dan juga olahan blimbing di Kota Blitar. Meskipun tidak full high tech , namun upaya usaha kecil dalam menginvestasikan teknologi merupakan keputusan strategis untuk dapat meningkatkan kinerja bisnis. Kemampuan mengakuisisi teknologi juga dipengaruhi bagaimana manajer pemilik berfikir untuk mengembangkan bisnisnya. Kemampuan belajar baik dari lingkungan internal maupun eksternal juga mempengaruhi akusisi teknologi. Batik Gajah Mada di Tulungagung adalah salah satu contoh bagaimana menggabungkan kreativitas dengan teknologi tepat guna yang dimiliki, pelaku usaha mampu meningkatkan akses pasar hingga ke Solo dan Jogja. Usaha keluarga ini tidak segan melakukan inovasi desain batik mulai dari kombinasi warna, hingga desain modern yang keluar dari pakem batik asli. Batik tulis masih di produksi, dengan segmen premium sementara batik cap melayani segmen menengah hingga sekolah sekolah lokal Tulungagung. Kendala akuisisi teknologi juga terjadi karena keengganan manajer pemilik untuk melakukan inovasi. Inovasi identik dengan inspirasi, ide baru untuk meningkatkan pertumbuhan dan profitabilitas. Berdasarkan hasil 249 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 penelitian, nampak usaha kecil dengan teknologi sederhana, hanya menjalankan kegiatan usaha apa adanya, tidak termotivasi untuk berkembang. Sehingga hal ini berdampak terhadap kemampuan berinovasi. Akuisisi teknologi baru tidak terjadi pada usaha kecil yang secara mindset hanya menjalankan usaha apa adanya. Berdasarkan hasil penelitian, sentra pengarajin genteng di trenggalek misalkan, hanya satu pengusaha yang menggunakan inovasi produk dengan dilapisi keramik, sehingga mampu menetapkan harga premium dan disukai konsumen, sementara pengrajin genteng lain masih lebih suka memproduksi genteng konvensional karena permintaan pasar. Nampak bahwa market created yang dilakukan salah satu pengusaha dapat menjadi pembeda dalam menciptakan pasar baru, keluar dari jalur persaingan yang ketat. Faktor organisasi juga berdampak dalam proses akuisisi teknologi. Berdasar hasil penelitian, sebagian besar usaha kecil masih dikelola secara tradisional, dan faktor pemimpin usaha yang dalam hal ini adalah pemilik sangat mendominasi dalam hal pola manajerial, model pengembangan, termasuk investasi teknologi produksi maupun administrasi bisnis. Liu et al. 2012 dan Wahyudi 2013 juga mengatakan bahwa dalam skala industri tradisional, mengakuisisi teknologi untuk meningkatkan dan merevitalisasi efisiensi produksi. Beberapa kasus, akuisisi teknologi mendukung terhadap perkembangan dan kematangan mereka. Akuisisi dapat berdampak terhadap perencanaan inovasi, implementasi inovasi, platform inovasi dan kinerja inovasi. Market Pull dan Technology push Berdasarkan hasil penelitian, faktor market pull dan technology push masih menjadi faktor kunci dalam mengembangkan pasar dan melakukan inovasi. Pelaku usaha tidak gegabah melakukan market created tanpa melakukan penelitian pasar. Penelitian pasar tersebut bukan seperti yang dilakukan perusahaan besar, namun setidaknya pelaku usaha melakukan inovasi dengan melakukan produk baru, harus dilandasi dengan pertimbangan yang matang, seperti kestabilan permintaan produk yang sudah ada secara kontinyu. Artinya, inovasi produk yang dilakukan tidak akan berdampak terhadap pesanan yang sudah ada, sehingga kalaupun inovasi produk baru tersebut gagal, tidak berdampak pada pesanan produk yang sudah berjalan sebelumnya. Inovasi yang saat ini sudah dilakukan pelaku usaha adalah berdasarkan pesanan by order. Hal tersebut terjadi pada usaha beberapa usaha batik di Tulungagung, mamin khas di seluruh lokasi penelitian, usaha logam di Tulungagung, pengrajin pisau di Blitar dan Banyuwangi. Tidak semua usaha kecil mampu meraih akses pasar secara berkelanjutan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor: 1 jenis produk dan jangkauan produk scoope product tidak memungkinkan akses pasar yang lebih luas. 2 mudah rusak daya tahan rendah. Produk mamin khas tidak mampu meningkatkan akses pasar kecuali mampu memodifikasi produk sehingga lebih awet, dan dapat di jadikan oleh-oleh ke luar daerah. Semisal krupuk rambak di Sembung Tulungagung yang dapat dijual mentah siap goreng, sehingga lebih praktis dibawa keluar kota, ataupun olahan blimbing dan coklat di Blitar 3 tingkat persaingan yang tinggi. Klaster atau daerah sentra industri kecil memang memberikan keuntungan bagi pengrajin karena daerahnya akan lebih mudah di kenal masyarakat luas dan mendapat dukungan pemerintah, baik dalam proses pemberian bantuan alat, promosi maupun akses pasar. Namun di satu sisi, hal ini juga menimbulkan tingkat persaingan yang tinggi. Meskipun persaingan yang ada tidak seperti perusahaan besar dalam hal promosi ke berbagai media, namun berdampak terhadap daya saing perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian, persaingan harga dan akses pasar terjadi pada sentra usaha genteng di Trenggalek, krupuk rambak di Kecamatan Sembung dan sentra usaha alat alat dapur di Kecamatan Ngunut Tulungagung memberikan efek yang besar dalam memenangkan arus persaingan. Merujuk pada penelitian yang dilakukan Wahyudi dan Julianto 2013 bahwa usaha kecil non-high tech yang mampu memiliki networking yang kuat adalah usaha krupuk rambak di Tulungagung, olahan Blimbing di Blitar, pengusaha pisau komando Nisoku di Blitar, dan beberapa pengusaha alat alat dapur di Tulungagung. Usaha kecil dengan teknologi tinggi high tech lebih kuat akses pasar dan networking mereka. Hal ini dapat dipahami, dimana mereka tidak akan mengadopsi teknologi tinggi tanpa akses pasar dan permintaan yang kontinyu. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa contoh usaha kecil high tech yang kuat akses pasarnya adalah pengusaha logam LOIND, dan pengusaha marmer Mutiara Onyx. Networking usaha kecil dapat dilakukan lebih terbuka terhadap inovasi open innovation dengan menjalin networking dengan universitas terkait penelitian dan pengembangan, perusahaan besar terkait dengan pa rtner ship produk dan 250 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 standardisasi kualitas produk, antar usaha kecil sendiri dalam berkolaborasi untuk dapat mereduksi biaya pengadaan bahan baku atau melayani permintaan yang lebih luas, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat atau kelompok- kelompok pemberdayaan masyarakat lainnya. Networking yang dilakukan harus disertai dengan strategi pengembangan kapabilitas yang jelas, sehingga networking yang dilakukan dapat lebih sustainable dan meningkatkan daya saing usaha kecil itu sendiri. Beberapa alternatif tujuan dari networking yang dapat dilakukan adalah 1 network data base ; hal ini terkait kerjasama penggunaan teknologi sebagai akses informasi, promosi, trend pasar, dan perluasan jaringan. Networking ini dijalankan bekerjasama dengan lembaga penelitian, universitas ataupun pemerintah lokal 2 network management ; ditujukan sebagai media konsultasi, problem solving , pendampingan terkait pengembangan usaha, permodalan, pajak, ataupun terkait manajerial lainnya, 3 networking fasilitas; dimaknai bahwa perlu kerjasama dalam pengembangan pasar secara kolektif, bersama sama mengakuisisi teknologi untuk perbaikan kualitas produk, atau mengembangkan pasar secara bersama. Tujuan networ king diatas dapat dilakukan dengan dilandasi semangat kebersamaan untuk berkolaborasi meningkatkan daya saing. Faktor pendukungnya adalah kejujuran, saling percaya dan berusaha transparan sejak proses kolaborasi dan networking itu dilakukan. Implikasi dari proses pengembangan networking dan kolaborasi dari berbagai daya dukung yang ada membuat informasi peluang pasar, permintaan pasar, trend pasar menjadi lebih luas dan ada kekuatan bagi usaha kecil untuk merespon pasar secara agresif. Berdasar hasil penelitian, beberapa usaha kecil mengalami kesulitan akses pasar, tidak memiliki modal, permintaan pasar yang tidak stabil, dan kesulitan mencari sumberdaya. Namun disisi lain ada usaha kecil yang kewalahan dalam melayani permintaan pasar, namun enggan berkolaborasi karena khawatir akan merusak akses pasar yang sudah mapan. Agresifitas Pemerintah sebagai Akselerator Peran pemerintah tidak cukup hanya memberikan dukungan dalam bentuk regulating support, namun juga dituntut lebih sebagai lembaga yang layak dipercaya masyarakat menjalankan program yang telah disusunnya. Keberadaan Pemerintah yang seringkali hanya sebagai legal formal, seperti pemberi legalitas usaha, harusnya mulai lebih ditingkatkan dengan peran yang lebih nyata. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku usaha sebenarnya berharap bahwa pemerintah daerah mampu memberikan kontribusi pada perintisan usaha, bukan intervensi ketika pelaku usaha sudah sukses. Industri kreatif di daerah saat ini sudah berkembang sedemikian rupa, memungkinkan aktivitas kegiatan ekonomi yang lebih mengandalkan ide ide kreatif yang dapat di konversi kepada produk. Pemerintah daerah saat ini sering mengadakan even atau kegiatan kreatif yang mampu mendatangkan turis lokal ataupun asing dan berharap keuntungan investasi bagi daerah mereka. Penelitian ini juga mencermati upaya pemerintah daerah di lokasi penelitian dalam mengadakan kegiatan yang mampu bersinergi dengan UMKM atau industri kreatif lain. Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa Kabupaten Banyuwangi memiliki aktivitas yang paling menonjol dibanding dengan daerah lain dalam menggandeng usaha kecil memajukan daerah sekaligus terlibat dalam setiap kegiatan yang diprogramkan pemerintah. Kabupaten Banyuwangi sudah sejak 2011 mampu membuat agenda setiap awal tahun berbagai program kegiatan yang akan dilakukan dan mampu mem br a nding kegiatan tersebut menjadi kegiatan yang menarik perhatian masyarakat lokal dan luar Banyuwangi. Menurut penuturan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Banyuwangi, upaya pemerintah Melalui Bapak Anas sebagai Bupati cukup menonjol dalam meningkatkan daya saing dengan mempromosikan setiap keunggulan yang di miliki Banyuwangi, mulai dari wisata yang ada hingga produk produk usaha kecil menengah yang ada di Banyuwangi. Keseriusan tersebut juga nampak dari website banyuwangikab.go.id, produkukm- banyuwangi.com, klinikumkm. banyuwangikab dan banyuwangitourism.com yang secara aktif upload informasi seputar banyuwangi. Setiap even reguler yang dilaksanakan selalu melibatkan UMKM lokal sehingga mampu meningkatkan akses pasar dan kesempatan memperluas jaringan kerjasama networking. Upaya tersebut secara langsung memberikan kenaikan Pendapatan Asli Daerah yang cukup signifikan. Ikon wisata yang bermunculan, hotel hotel yang baru, merangsang peningkatan investasi lokal maupun asing. Sentuhan pemerintah daerah Banyuwangi mampu memberikan rangsangan bagi industri kreatif Banyuwangi meningkatkan daya saingnya. Berbeda dengan daerah lainnya, seperti di Blitar, meskipun ikon kepariwisataan nasional 251 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 seperti makam bung Karno ada di sana, dukungan pemerintahan lokal hanya pada fasilitas berjualan disekitar makam, sehingga tidak ada bedanya dengan menyediakan toko atau stand disekitar makam dan silakan menyewa. Kalaupun ada even even kesenian, maka sifatnya hanya karena memfasilitasi, bukan dengan tujuan jangka panjang yang disusun dengan matang untuk memajukan industri kreatif di Kabupaten Blitar. Hal yang sama terjadi di Kabupaten Tulungagung dan Trenggalek. Meskipun di Kabupaten Tulungagung adalah daerah industri kecil yang paling dinamis, namun upaya pemerintah daerah dalam memajukan industri kreatif tidak terencana dengan baik. Program pembinaan kepada pelaku usaha kecil seringkali tumpang tindih antara SKPD. Setiap SKPD memiliki program pembinaan kepada usaha kecil. Menurut penuturan beberapa pelaku usaha, mereka bisa di bina beberapa SKPD. Seperti usaha kuliner di daerah Tulungagung, mereka sering menjadi binaan dinas UMKM dan Koperasi dan juga dinas Pariwisata. Hal tersebut sebenarnya baik, jika dilakukan pembinaan secara kontinyu dan terukur, namun seringkali pembinaan yang dilakukan hanya temporer dan berkesan formalitas saja. Hal tersebut dirasakan pelaku usaha, mereka mengatakan bahwa hanya pelaku usaha yang sudah sukses saja yang justru dilakukan pembinaan dan pemberian dana kredit, namun bagi pelaku usaha yang baru berdiri, tidak mendapat perhatian serius. Pelaku usaha menyadari bahwa kepariwisataan daerah yang berkembang akan memberikan dampak bagi perkembangan usaha kecil termasuk di dalamnya mamin khas, kuliner, jasa transportasi dan kegiatan kreatif lain sebagai daya dukung. Namun pemerintah daerah Blitar, Trenggalek dan Tulungagung nampaknya tidak memprioritaskan pengembangan kepariwisataan sebagai pemicu trigger bagi pengembangan sektor lain. Banyuwangi mampu mewujudkan even even yang bernuansa kepariwisataan. Apabila di cermati, even even sosial keagamaanpun dapat dikemas dengan nuansa wisata religi, kesenian yang spektakuler, pemecahan rekor MURI, dan even lain yang secara kreatif dilakukan. Memang membutuhkan waktu relatif lama untuk membranding daerah. Banyuwangi saja, setidaknya membutuhkan waktu 3 tahun untuk memberikan dampak signifikan terhadap PAD. Saat ini sudah banyak investor asing maupun domestik yang menanamkan investasinya di Banyuwangi dalam bentuk pabrik, hotel ataupun dukungan langsung terhadap sektor kepariwisataan. Impact jangka panjangnya, usaha kecil dan industri kreatif lain akan merasakan dampak positifnya juga. Berdasarkan hal tersebut, peran pemimpin dalam hal ini adalah Kepala Daerah Bupati dalam mengembangkan industri kreatif merupakan faktor penting yang tidak bisa diabaikan. Kemampuan Bupati dalam mendesain akselerasi inovasi industri kreatif menjadi penentu. Apabila diperbandingkan, sebenarnya keempat wilayah tersebut memiliki potensi wisata yang sangat beragam dan menarik, namun pengelolaan dan agresifitas daerah dalam mem br a nding ikon kepariwisataan membuatnya berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten Banyuwangi paling agresif memberi ruang kepada industri kreatif untuk berkembang dan meningkatkan network dan akses pasar. Model Akselerasi Inovasi Berdasar hasil penelitian , akselerasi inovasi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor pendukung inovasi. Diantaranya adalah 1. Laboratorium penelitian reseach Labolatory. Laboratorium penelitian yang fokus terhadap pengembangan usaha kecil meliputi pengembangan teknologi, manajerial administrasi UMKM dan penelitian tentang pemberdayaan potensi UMKM. Keterkaitan antara laboratorium dengan UMKM membutuhkan beberapa dukungan, antara lain : 1 pemerintah daerah, 2 pekerja penyuluh yang menjadi prototype inovasi, 3 manajerial keuangan sederhana UMKM, 4 tahapan terhadap inovasi yang dilakukan. Klinik UMKM yang ada di Dinkop UMKM sebenarnya dapat menjadi labolatorium penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, hanya Kabupaten Banyuwangi dan Tulungagung yang dapat memaksimalkan Klinik UMKM, itupun masih sebatas gelar produk ataupun konsultasi. Peran klinik belum sampai kepada penelitian ataupun pengembangan teknologi. Laboratorium yang ada dapat merupakan kolaborasi antar SKPD, sehingga program dari berbagai kementrian dapat masuk dan lebih efektif 2. Peningkatan Kapabilitas manajerial. Tidak hanya inovasi teknik yang mendapat perhatian, namun juga mempertimbangkan kapabilitas manajerial. Peningkatan kapabilitas manajerial dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak perbankan ataupun CSR dari perusahaan besar yang concern terhadap pengembangan usaha kecil dan industri kreatif. Berdasarkan hasil 252 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 penelitian, Kabupaten yang paling agresif menggandeng perusahaan untuk CSR adalah Banyuwangi, meskipun penekanan kerjasama tersebut lebih menekankan pada fasilitasi seperti sarana dan prasarana berjualan, booth booth untuk gelar produk, ataupun wifi di tempat pariwisata. Beberapa daerah lain secara konvensional melibatkan CSR dalam pelatihan pelatihan yang sifatnya temporer saja. Pelaku usaha perlu mempertimbangkan peningkatan kapabilitas manajerial, agar mereka mampu out of the box dari sisi manajerial, maupun kemampuan meningkatkan akses pasar dan networking. Perbankan ataupun perusahaan swasta juga seharusnya memandang bahwa usaha kecil atau industri kreatif adalah sebagai pengungkit gairah ekonomi potensial, yang apabila CSR mereka gulirkan kepada industri kreatif yang ada, secara tidak langsung akan meningkatkan kehidupan ekonomi secara luas. 3. Innovation center pusat inovasi. Lembaga yang berfungsi sebagai pusat inovasi sangat penting untuk ada. Hal ini berkonsekuensi pada dibutuhkannya penyelenggara inovasi yang dapat di pelopori oleh swasta, universitas dilingkungan sekitar ataupun oleh pemerintah melalui SKPD yang ada. Swasta dapat berperan dalam proses penyelenggaraan inovasi dimana secara langsung akan berdampak pada kepentingan produk atau layanan yang dihasilkannya. Artinya, peran swasta dalam hal ini perusahaan besar atau menengah yang memungkinkan bekerjasama partnership dengan pelaku usaha kecil dapat menyelenggarakan pusat inovasi untuk melanggengkan kerjasama tersebut. Peran universitas dilingkungandaerah tersebut, dapat diposisikan sebagai mitra dalam hal penelitian dan pengabdian, sehingga dapat fokus menciptakan pusat inovasi. Peran pemerintah dapat dilakukan secara lebih konkrit, dengan dukungan perencanaan dan dana akan dapat sekaligus menggandeng pihak swasta, universitas dan pemerintah sendiri sehingga pembagian peran tersebut dirasa sebagai simbiosis mutualisme dan sesuai kompetensi dan wewenang yang dimiliki. 4. Dinamisasi penyelenggara inovasi. Dinamisasi implementatif dibutuhkan, antara lain dengan melakukan :a pilot project transfer inovasi. Hal ini dibutuhkan untuk menentukan inovasi apa yang sebenarnya dibutuhkan usaha kecil dan memberikan aspek kepercayaan dari manajemen bahwa inovasi yang dilakukan akan berdampak terhadap kinerja usaha kecil mereka. Hal ini secara motivasional akan mempengaruhi keinginan pelaku usaha untuk melakukan inovasi karena dari pilot project dapat diketahui bahwa inovasi yang dilakukan menguntungkan. Hal ini juga sekaligus dapat membuat pelaku usaha menentukan kemampuankapabilitas inovasi yang akan dilakukan, b pilot project inovasi secara global. Ditujukan untuk mengenalkan perubahan radikal, baik dari aspek teknologi ataupun manajerial, karena perubahaninovasi yang dilakukan akan sangat berisiko dan hanya dapat diimplementasikan hanya untuk usaha kecil. Pilot project global dibutuhkan untuk mengurangi kesenjangangap dari perubahan kultur kerja akibat perubahan teknologi yang di gunakan ataupun perubahan manajerial yang fundamental Model akselerasi inovasi industri kreatif Kesimpulan Kharakteristik usaha kecil yang berbeda beda membuat akselerasi inovasi tidak mudah dilakukan. Faktor pemimpin dan kepemimpinan menjadi aktor penting dalam akselerasi inovasi, yang akan berdampak terhadap budaya kerja, sumberdaya, orientasi pasar, akuisisi teknologi dan akses pasar. Proses inovatif, imajinatif, intutitif, dan inspiratif mampu dilakukan industri kreatif, meskipun pada awalnya tidak harus selalu orisinal, tapi melalui proses imitasi. Market pull dan technology push masih menjadi faktor kunci dalam mengembangkan pasar dan melakukan inovasi. Agresifitas pemerintah daerah sebagai akselerator inovasi dan tumbuh kembangnya usaha kecil dan industri kreatif menjadi pembeda. Hal ini nampak dari upaya pemerintah daerah melibatkan even even yang berhubungan langsung dengan sektor ekonomi ataupun kepariwisataan. Model akselerasi inovasi yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan laboratorium penelitian, peningkatan kapabilitas manajerial, innovation center, dan dinamisasi penyelenggara inovasi. Innovation acceleration Kapabilitas manajerial Dinamisasi Penyelenggara Inovasi Innovation center Laboratorium riset 253 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 DAFTAR PUSTAKA Andries, P and Debachere, K. 2006. Adaptation in new technology-based ventures: insight at the company level. International Journal of Management Review , Vol. 8 No. 2, pp. 91-112. Das, T.K. and He, I.Y. 2006. Entreprenurial firms in search of established partners: review and recommendations . International Journal of entrepreneurial behaviour and research, Vol. 12, No. 3, pp. 114-43 Goyal , S. And Pitt, M. 2007. Determining The Role Of Innovation Management In Facilities Management. Facilities , Vol. 25. No. 1 2, Pp. 48-60 Jones, O. 2003. Competitive Advantage in SMEs: towards a conseptual frame work, in Jones, O. and Tilley, F Eds, Competitive Advantage in SMEs, Willey, chichester, pp. 15-33. Landon , K. and Landon, J. 2007. Essential of Business Information System , 7 th ed, Prentice-Hall, Eaglewood Cliff, NJ. Liu, M., Li, M., And Zhang, T. 2012. Empirical Research On China Smes Technology Innovation Engineering Strategy. System Engineering Procedia 5, Pp. 372-378 Wahyudi, E Dan Julianto, D. E. 2013. Model Sistemik Inovasi Berkelanjutan Dan Kapabilitas Daya Saing Usaha Kecil Teknologi Rendah Non high tech Di Jawa Timur. Tahun ke dua. Hibah Strategis Nasional. Dikti, DP2M Wahyudi, Edy. 2013. Model akselerasi Inovasi dan Daya Saing Usaha Kecil Non high tech Kajian Empiris Usaha Kecil di Jawa Timur. Seminar Nasional “Networking dan Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Mikro Berbasis Kreativitas”. FISIP, Universitas Jember Zahra, S. and George, G. 2002. International entrepreneurship: the current status of the field and future research agenda. In Hitt, M.A., Ireland, R.D. Camp, S.M., Sexton, D.L Eds. Strategic Entrepreneurship. Blackwell, Malden, M.A, pp. 255-288. Zuhal, M. 2010. Knowledge Management and Innovation. Gramedia, Jakarta 254 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Upaya Mempopulerkan Gumuk Pasir Sebagai Studio Alam Untuk Pengembangan Industri Pariwisata Berbasis Eco-Socio-Tourism An Eco-Socio-Tourism Based on Tourism Industry : To Promote Sand Dunes as Natural Studio Yuliana Farkhah, Aulia Nur Mustaqiman, Kurniawan, Agat Ardinugroho, Tushy Octafadiola Magister Pengelolaan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Jl Barek Sekip Utara,Yogyakarta, 55281 Keyword A B S T R A C T sand dunes natural studio tourism eco-socio-tourism Sand dunes is a natural forma tion of sand mounds form resembling a hill due to the movement of the wind aeolian. Sand dunes located in the southern Daerah Istimewa Yogyakarta which formed over thousands of years. Sand dunes included in the UNESCO World Heritage list because that is a natural aeolian phenomenon in Southeast Asia. Sand dunes has potential for a natural studio because its beauty landscape as tourism destination and places for research. This paper aims to analyze financial feasibility and to study environmental management strategies of tourism destination based on eco-socio-tourism. This study used descriptive quantitative research method. Sampling was done random sampling. financial feasibility analysis with IRR, NPV, and Payback Period. Data analysis used spatial and GIS analysis techniques and SWOT analysis. These results were recommendation of business opportunities for local community with recommendation of business opportunities for local community with utilize sand dunes as a natural studio without ruin his beauty and environmental management strategies like zonation of sustainable spatial planning which is supported local community. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N gumuk pasir studio alam pariwisata eco-socio-tourism Gumuk pasir merupakan bentukan alam berupa gundukan-gundukan pasir menyerupai bukit akibat pergerakan angin aeolian. Gumuk pasir terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan yang terbentuk selama ribuan tahun. Gumuk pasir dimasukkan dalam daftar UNESCO World Heritage karena merupakan fenomena alam aeolian di Asia Tenggara. Gumuk pasir berpotensi menjadi studio alam karena keindahan bentangalamnya sebagai tempat wisata dan penelitian. Tujuan penelitian yaitu menganalisis kelayakan finansial dan mengkaji strategi pengelolaan lingkungan kawasan wisata berbasis eco-socio- tourism. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan sampel dilakukan secara random sampling. Analisis kelayakan finansial dengan analisis IRR, NPV, dan Payback Period. Analisis data menggunakan analisis spasial berbasis GIS dan analisis SWOT. Hasil penelitian ini adalah rekomendasi peluang usaha bagi masyarakat lokal dengan memanfaatkan gumuk pasir sebagai studio alam tanpa merusak keindahannya dan strategi pengelolaan lingkungan berupa zonasi penataan ruang berkelanjutan yang ditunjang oleh partisipasi masyarakat. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014  Corresponding author. E-mail address: yulianafarkhah.mplgmail.com 255 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Lingkungan pantai merupakan kawasan yang spesifik, dinamik, memiliki kakayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antar habitat. Daya tarik di Pantai Parangtritis ini adalah adanya fenomena alam yang sangat langka dan unik berupa gumuk pasir tipe barchan , yang terbentuk sebagai akibat adanya suplai pasir, bentuk tebing di sebelah timur, angin serta ombak laut yang dinamis Widodo, 2003. Gumuk pasir terbentuk karena adanya pergerakan angin yang membawa pasir dan membentuk gundukan pasir Pye Soar,2009. Gumuk pasir memiliki karakteristik lingkungan yang unik dari gundukan pasir pantai yang biasa Jianjun et al .,2013. Gumuk pasir berfungsi melindungi pantai dari abrasi Hanley et al ., 2014. Degradasi lingkungan fisik gumuk pasir dapat menghilangkan kekhasan morfologi gumuk bila tidak ada upaya manajemen pengelolaan gumuk pasir. Manajemen pelestarian gumuk pasir meliputi; mempertahankan dan mengembalikan suplai pasir, mengurangi tanaman yang bukan asli, serta destabilisasi lokal Rhind Jones, 2009. Gumuk pasir memberikan manfaat untuk pengembangan industri pariwisata dengan pemandangan yang indah, keanekaragaman flora dan fauna serta suasana asri dapat mendorong wisatawan untuk mengunjunginya Carmo et al ., 2010. Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1999 menyebutkan definisi pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha yang terkait dibidang tersebut. Pariwisata merupakan salah satu industri yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal penyediaan lapangan kerja, pendapatan, tarif hidup, dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di daerah wisata Salma Susilowati, 2004. Ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berbasiskan alam sehingga lingkungan, ekosistem, dan kearifan-kearifan lokal yang ada di dalamnya harus dilestarikan keberadaannya Nadiasa dkk, 2010. Pada Gambar 1, gumuk pasir juga memiliki peranan penting dalam ekosistem pesisir dan dapat dijadikan daerah pemodelan untuk penelitian. Pemanfaatan potensi gumuk pasir sebagai daerah tujuan wisata juga mendukung pengembangan industri pariwisata di Pantai Parangtritis. Pariwisata merupakan salah satu sektor andalan pemerintah untuk menaikkan pendapatan daerah. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis kelayakan finansial dan mengkaji strategi pengelolaan lingkungan kawasan wisata berbasis eco-socio- tourism . Gambar 1. Lokasi Sand dunes Sumber: Yuliana Farkhah diambil tanggal 26 Juni 2015 KERANGKA KONSEP Menurut Putra dan Setiawan 2013 pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan tercepat dan terbesar di dunia dalam enam dekade terakhir, terutama wisata berbasis alam atau wisata alam ecotourism . Indonesia sebagai negara yang kaya akan wisata alam dan budaya, apabila dikembangkan secara benar, akan menjadi andalan sumber pemasukan devisa. Eco-socio-tourism merupakan pengembangan konsep dari ekowisata yang melibatkan aktivitas stakeholders . Menurut Read 2013 pariwisata merupakan sektor industri jasa terbesar di dunia yang secara langsung mempekerjakan 98 juta orang di seluruh dunia. Pariwisata dapat mendukung konservasi lingkungan ekowisata, pengembangan kegiatan sosial dan peningkatan perekonomian. Menurut Jalani 2012 masyarakat lokal di Palawan, Filipina eco- tourism ekowisata memberikan dampak positif terhadap masyarakat lokal seperti membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, sehingga sangat penting untuk 256 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 mempertahankan sumber daya alam untuk keberlangsungan industri pariwisata. Menurut Romão et al . 2014 pengembangan ekowisata berkelanjutan melindungi ekologi kawasan wisata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan memberikan manfaat sosial untuk masyarakat di Shiretoko Peninsula, Jepang. Variable konsep ecosociotourism yang dikaji adalah meliputi pengembangan dari konsep ecotourism menjadi eco-socio-tourism . Aktivitas sosial tidak terlepas dari manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini saling berkaitan satu dengan lainnya. METODE PENELITIAN Analisis data menggunakan analisis spasial berbasis GIS Geographical Information System yang berasal dari overlay Peta RBI dengan hasil analisis SWOT Strength, Weakness, Opportunity dan Threat , sedangkan dalam pembuatan strategi pengelolaan lingkungan menggunakan analisis SWOT. Menurut Tahir dkk 2002 tahapan yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah identifikasi unsur-unsur SWOT, pemberian bobot dan skor serta penyusunan kebijakan alternatif. Menurut Nadiasa dkk 2010 beberapa metode yang dipergunakan dalam menganalisis kelayakan investasi, yaitu: Metode Net Present Value NPV, Metode Internal Rate of Return IRR, Metode Benefit Cost Ratio BCR. Kriteria NPV didasarkan pada konsep mendiskonto seluruh aliran kas ke nilai sekarang. Dengan mendiskonto semua aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek investasi ke nilai sekarang, kemudian menghitung angka neto maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama, yaitu harga pasar saat ini. NPV menunjukkan berapa besar nilai usaha saat ini pada tingkat bunga tertentu. Dalam penelitian ini digunakan tingkat bunga 12. Formulasi matematis NPV sebagai berikut Gittinger, 1986 Dimana : NPV = nilai neto sekarang B t = nilai produksi pada tahun ke-t C t = biaya produksi tahun ke-t n = umur ekonomis kegiatan investasi i = tingkat bunga diskonto t = waktu Kriteria BC ratio menunjukkan perbandingan manfaat terhadap biaya. Formulasi matematis BC sebagai berikut Gittinger, 1986: Kriteria pengujian : BC1 investasi dapat dijalankan, BC1 investasi tidak dapat dijalankan. Kriteria IRR mencerminkan tingkat balikan internal sewaktu nilai sekarang biaya sama dengan nilai sekarang penerimaan atau pada saat NPV = 0. Kriteria kelayakan adalah IRR tingkat bunga Ardana dkk, 2008. Kerangka pemikiran penelitian ditunjukkan oleh Gambar 2. Gambar 2. Kerangka pemikiran Sumber : Hasil Analisis 2015 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Spasial Berbasis GIS Analisis spasial dilakukan untuk membuat kawasan pengembangan dari analisis SWOT. Hasil dari analisis ini berupa informasi penempatan area pengembangan kawasan 257 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 gumuk pasir berdasarkan fasilitas penunjang pariwisata untuk diperoleh pola arah pengembangan tanpa menghilangkan konservasi gumuk pasir. Gambar 3. Peta Lokasi Pengembangan Sand dunes Sumber : Hasil Analisis 2015 Dari analisis pengembangan lahan bagi peruntukan kawasan konservasi dan industri wisata Gambar 3, diperoleh hasil sebagai berikut: menjelaskan persebaran fasilitas untuk pengembangan areal gumuk pasir seperti mini rest area dan daerah konservasi. Analisis Kelayakan Finansial Analisis finansial dilakukan dengan cara valuasi ekonomi kawasan gumuk pasir dan analisis kelayakan finasial. Valuasi ekonomi berupa nilai guna langsung dan nilai tidak langsung. Nilai guna langsung yaitu retribusi, biaya parkir, biaya penggunaan toilet. Nilai guna tidak langsung yaitu nilai guna gumuk pasir sebagai daerah resapan air seperti biaya pemakaian air PDAM di Kabupaten Bantul diatur dalam Peraturan Bupati Bantul No. 75 tahun 2007 tentang Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Bantul. Tarif air minum yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga dasar Rumah Tangga A1 Golongan Non Niaga. Pertimbangan menggunakan kelas Rumah Tangga A1 Golongan Non Niaga karena umumnya penduduk dikenakan tarif tersebut. Rumah Tangga 2A Golongan Non Niaga adalah pelanggan yang dalam rumah tangga tersebut hanya berfungsi sebagai tempat tinggal dan masuk kategori bangunan rumah sederhana RS atau kategori di bawahnya. Kebutuhan air bersih per orang untuk kebutuhan rumah tangga adalah 160 - 250 Loranghari Noerbambang Morimura, 2000, diambil nilai rata-rata yaitu 200 Loranghari. Sehingga pemakaian air per bulan per rumah warga Desa Parangtritis adalah 4 orang x 200 Loranghari x 30 hari = 24.000 L = 24 m 3 per bulan. Asumsi dalam tiap rumah terdapat 4 anggota keluarga sehingga terdapat 2.055 rumah di Desa Parangtritis. Untuk harga dasar air penggunaan sebesar 20 m 3 adalah Rp. 2.250m 3 . Dengan demikian nilai ekonomi resapan air gumuk pasir selama satu tahun adalah sebagai berikut: NGTL Nilai Guna Tidak Langsung resapan air gumuk pasir = Rp. 2.250m³ x 24 m³bulan x 12 bulan x 2.055 rumah = Rp 1.331.640.000,00tahun NGTL gumuk pasir selanjutnya adalah NGTL gumuk pasir sebagai studio alam yang didapat dari biaya sewa studio, luas gumuk pasir, dan waktu pemakaian. Rata-rata biaya sewa studio adalah Rp. 400,00 m 2 jam. Luas gumuk pasir yang aktif masih berupa pasir, bukan yang telah dialihfungsikan sebagai tambak udang atau penggunaan lainnya seluas 450.000 m 2 . Waktu pemakaian rata-rata studio adalah 7 jamhari. Dari data-data tersebut, didapatkan NGTL gumuk pasir sebagai studio alam adalah sebesar Rp 459.900.000.000,00tahun. Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk memperoleh nilai NPV, Payback Period , BCR, dan IRR. Total NPV diperoleh dengan tingkat suku bunga discount rate 6, sebesar Rp 16.587.602.509,00. BCR diperoleh sebesar 4,56 artinya kawasan wisata gumuk pasir layak secara finansial berdasarkan kalkulasi perhitungan Discount Benefit dan Discount Cost . Payback Period diperoleh pada tahun ke-5 yang artinya pengembalian modal usaha kawasan gumuk pasir ini sangat cepat secara kelayakan finansial. IRR diperoleh 51,28 artinya pada tingkat suku bunga sebesar 51,28 diperoleh kawasan gumuk pasir memiliki NPV sebesar nol. 258 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Arahan Kebijakan Pengelolaan Suatu kebijakan yang baik hendaknya disusun melalui penelaahan tentang kondisi dan kenyataan di lapangan, untuk menggali unsur- unsur kekuatan, kelemahan dan peluang serta ancaman yang ada. Selain itu, perlu pula mencermati unsur-unsur tersebut yang mungkin atau diperkirakan akan muncul di kemudian hari. Dengan demikian, kebijakan yang diformulasikan bersifat antisipatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu Tahir dkk, 2002. Pada Gambar 4 disajikan hasil identifikasi peluang, ancaman, kekuatan, dan kelemahan yang dijadikan acuan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan gumuk pesisir. Gambar 4. Grafik Analisis SWOT Sumber : Hasil Analisis 2015 Strategi pengelolaan kawasan wisata gumuk pasir diperoleh nilai Strength lebih banyak dari nilai Weakness . Kemudian nilai Opportunity lebih banyak dari nilai Treat . Sehingga diperoleh pola grafik SWOT berupa dominan sudut terletak pada kuadran 1 yang berarti layak berkembang. Kuadran 1 mengambarkan gumuk pasir memiliki peluang untuk melakukan ekspansi dan dikembang sebagai daerah wisata maupun konservasi. Rekomendasi strategi pengelolaan yang berbasis eco-socio-tourism di bidang ekologi seperti pelestarian gumuk pasir dengan penaataan area gumuk dari tambak udang liar serta kegiatan lain yang mengganggu pembentukan gumuk pasir. Bidang sosial dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap aktivitas ekonomi perdagangan, persewaan sand boarding dan parkir. Bidang institusional, BLH Kabupaten Bantul dapat melakukan sosialisasi dan berkoordinasi dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul mengenai penanaman vegetasi di gumuk pasir karena seharusnya gumuk pasir bebas dari tanaman apapun. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul berkoordinasi dan bekerjasama dengan karang taruna setempat dalam memajukan pariwisata gumuk pasir. Rekomendasi penataan gumuk pasir seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. PENUTUP Kesimpulan pada penelitian ini adalah kawasan wisata gumuk pasir layak secara finansial dan valuasi ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan nilai BCR senilai 4,56 serta NPV sebesar Rp 16.587.602.509,00. Payback period diperoleh selama 5 tahun, dan IRR didapat 51,28. Berdasarkan analisis SWOT dan Spasial diperoleh hasil bahwa kawasan gumuk pasir adalah kawasan pengembangan, maka strategi pengelolaan yang cocok yaitu memperluas areal gumuk pasir, menambah papan informasi edukasi dan mini rest area di area sekitar gumuk pasir dengan jarak tertentu. Membuka peluang usaha baru berupa tempat penginapan, memperbanyak tempat makan dengan fasilitas tempat penginapan, lahan parkir bus dan mobil, membuka peluang kerja baru berupa tour guide , dan memperbanyak alat transportasi lokal. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Pengelola Pantai Parangtritis dan Depok, dr. Hendrik Oen, dan C. Natalis Ziljstra, S.I.Kom. DAFTAR PUSTAKA Ardana, I Ketut., Pramudya, B., Hasanah, M., Tambunan., A. H. 2008. Pengembangan tanaman jarak pagar Jatropha curcas L mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida, Bali. Jurnal Littri. 144. Carmo, J. A. do., Reis, C. S., Freitas, H. 2010. Working with nature by protecting Kuadran 1 Progresif Opportunities Strengths Threats Weakness Kuadran 2 Diversifikasi Strategi Kuadran 4 Strategi Bertahan Kuadran 3 Ubah Strategi O,4 O,8 259 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 and dunes: lessons learned. Journal of Coastal Research. 26 6. pp. 1068-1078. Hanley, M.E., Hoggart, S.P.G., Simmonds, D.J., Bichot, A., Colangelo, M.A., Bozzeda, F., Heurtefeux, H., Ondiviela, B., Ostrowski, R., Recioe, M., Trude, R., Zawadzka-Kahlau, E., Thompson, R.C. 2014. Shifting sands? coastal protection by sand banks, beaches and dunes. Coastal Engineering. 87: 136 –146 Jalani, J.O. 2012. Local peoples perception on the impacts and importance of ecotourism in Sabang, Palawan, Philippines. Procedia - Social and Behavioral Sciences. 57: 247 – 254 Jianjun, Q., Qingjie, H., Guangrong, D., Kecun, Z., Ruiping, Z. 2013. A study of the characteristics of aeolian sand activity and the effects of a comprehensive protective system in a coastal dune area in southern China. Coastal Engineering. 77 : 28 –39 Nadiasa, M., Maya, D. N. K. W., Norken, I N. 2010. Analisis investasi pengembangan potensi pariwisata pada pembangunan waduk jehem di kabupaten bangli. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil 14 2. Noerbambang, S. M. Morimura, T. 2000. Perancangan dan Pemeliharaan Sistem Plambing. Jakarta : PT. Pradya Paramita. Putra, A.C.D Setiawan, R. P. 2013. Faktor penentu pengembangan kawasan wisata air terjun dlundung berbasis partisipasi masyarakat. Jurnal Teknik Pomits. 21 : 2337-3520 Pye, K. Tsoar, H. 2009. Aeolian sand and sand dunes. Heidelberg : Springer-Verlag. Read, M. 2013. Socio-economic and environmental cost –benefit analysis for tourism products - A prototype tool to make holidays more sustainable. Tourism Management Perspectives 8: 114 –125 Rhind, P Jones, R. 2009 A framework for the management of sand dune systems in Wales. J Coast Conserv. 13:15 –23 Romãoa, J., Neutsc, B., Nijkampa, P., Shikida, A. 2014. Determinants of trip choice, satisfaction and loyalty in an eco- tourism destination: a modelling study on the Shiretoko Peninsula, Japan. Ecological Economics. 107: 195 –205 Salma, I. A. Susilowati, I. 2004 Analisis permintaan objek wisata alam curug sewu, kabupaten kendal dengan pendekatan travel cost. Jurnal Dinamika Pembangunan JDP, 1 2. Pp. 153-165. Tahir, A., Bengen, D. G., Susilo, S.B. 2002. Analisis kesesuaian lahan dan kebijakan pemanfaatan ruang kawasan pesisir teluk Balikpapan. Jurnal Pesisir Lautan. 43: 1-16 Widodo, L. 2003. Gumuk pasir parangtritis konversi versus konservasi sebuah tinjauan penggunaan lahan dengan model dinamik. J.Tek.Ling. P3TL-BPPT. 4 1: 21-26 260 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Inovasi Pengawet Nira Alami Instan TANGKIS Generasi-1 pada Produksi Gula Kelapa Organik Inovation of Natural Sap Preservative TANGKIS Generation-1 on Organic Coconut Sugar Production Karseno , Mujiono, Pepita Haryanti, dan Retno Setyawati Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 53123 Keyword A B S T R A C T coconut sugar neera natural preservation functional foods tangkis Natural preservative of neera TANGKIS is powdered form products formulated from natural ingredients such as mangosteen rind, jackfruit wood, guava leave, betel leave, and lime powder that used to maintain quality of neera to produce good quality of sugar. This innovation is greatly help sugar farmers that many face constratint of their neera due to microbial contamination. The product as well as replace the used synthetic preservation of neera called sodium metabisulfite. Evaluation of TANGKIS Generation-1 was carried out on coconut sugar farmers in Banyumas regency. Coconut sugar was analyzed for physical, chemical and sensory characteristics. The research was done in several step. The results showed that proportion of mangosteen rind powder and jackfruit wood powder on 1:1 and 5 in total TANGKIS produce neera and coconut sugar in good quality. In addition, concentration of TANGKIS solution on 6 was recomended for application. Application of TANGKIS is expected not only produce a good sugar on physical, chemical and organoleptic properties, also produces sugar which is rich in antioxidants, so that the sugar prospectively for the development of functional food products today. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N gula kelapa nira pengawet nira alami pangan fungional tangkis Pengawet nira alami TANGKIS adalah produk berbentuk serbuk yang diformulasikan dari bahan alami yaitu kulit buah manggis, kayu nangka, dan kapur tohor yang digunakan untuk mempertahankan mutu nira sehingga dihasilkan gula yang berkualitas. Inovasi TANGKIS ini ditujukan untuk membantu perajin gula kelapa yang banyak menghadapi kendala karena niranya mudah terkontaminasi mikrobia. Produk ini diharapkan dapat menggantikan penggunaan pengawet nira sintetis sodium metabisulfit. Pengujian TANGKIS Generasi-1 dilakukan terhadap perajin gula kelapa di wilayah Banyumas. Gula kelapa yang dihasilkan dianalisis karakteristik fisik, kimia dan sensorisnya. Penelitian dilakukan secara bertahap. Hasil penelitian TANGKIS Generasi-1 ditemukan bahwa perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis 1:1 pada persentase campuran keduanya pada total bahan 5 menghasilkan mutu nira dan gula kelapa yang terbaik. Selanjutnya dari formula tersebut konsentrasi larutan TANGKIS 6 adalah yang direkomendasikan untuk diaplikasikan. Aplikasi TANGKIS diharapkan tidak hanya menghasilkan gula yang berkualitas secara fisik, kimia dan sensori, juga menghasilkan gula kelapa yang kaya antioksidan. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. E-mail address: karseno_m71yahoo.com 261 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Pengawet nira alami instan TANGKIS adalah sebuah pengawet nira yang dibuat dengan memformulasikan bahan alami yang umum digunakan perajin gula kelapa seperti kulit buah manggis Garcinia mangostana , kayu nangka Arthocarpus heterophylus dan kapur. Produk ini digunakan untuk mengendalikan mikrobia perusak nira baik nira kelapa, aren, nipah, siwalan maupun jenir nira lainnya sehingga kualitas nira dapat dipertahankan dan nira dapat diolah menjadi gula yang berkualitas. Inovasi ini adalah upaya untuk membantu para perajin gula khususnya gula kelapa yang menghadapi kendala karena nira yang mudah mengalami kerusakan akibat kontaminasi mikrobia. Produk ini sekaligus juga untuk menggantikan penggunaan pengawet nira sintetis yaitu sodium metabisulfit C 6 H 18 NNaSi 2 atau sulfit Na 2 S 2 O 5 yang di kalangan perajin gula kelapa dikenal dengan istilah obat gula. Penggunaan obat gula yang kurang terkontrol dosis atau takarannya oleh petani, menjadikan produk gula kelapa yang dihasilkan berdampak kurang baik bagi kesehatan konsumen. Inovasi pengawet nira alami instan sudah dilakukan dengan memformulasikan bahan-bahan alami yang kaya komponen antimikrobia dan antioksidan dan produknya diberi nama TANGKIS. Produk ini telah melalui serangkaian tahapan penelitian pada skala laboratorium dan pengujian aplikasi di tingkat petani. Aplikasi pengawet nira alami instan TANGKIS ini diharapkan akan menghasilkan gula kelapa organik yang berkualitas secara fisik, kimia dan organoleptik. Selain itu gula kelapa yang dihasilkan juga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi sehingga berpotensi sebagai produk pangan fungsional. Pengembangan produk pangan dengan menggunakan gula kelapa yang dihasilkan ini akan sangat prospektif dalam mendukung pengembangan industri pangan fungsional dewasa ini. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Permasalahan krusial yang dihadapi petani dalam aspek produksi gula kelapa adalah terjadinya fermentasi nira akibat kontaminasi mikrobia yang dapat berlangsung sejak nira menetes sampai siap diolah. Kontaminasi mikrobia menyebabkan nira mengalami perubahan sifat karena terjadi proses fermentasi gula yang akan menghasilkan alkohol dan asam. Apabila gula invert dalam nira lebih dari 8 maka nira tidak dapat diolah lagi menjadi gula yang baik, karena gula yang dihasilkan akan mudah rusak atau bahkan tidak dapat dicetak karena gula tidak dapat mengeras dan memadat. Selain itu nira yang telah mengalami fermentasi mengandung asam dan gula reduksi yang relatif tinggi sehingga menyebabkan cepat gosong selama pemanasan . Kondisi tersebut menyebabkan kerugian yang besar secara ekonomi bagi perajin gula dan mengurangi jumlah produksi gula palma secara keseluruhan. Oleh karena itu terjadinya kontaminasi mikrobia harus diusahakan seminimal mungkin. Untuk mencegah kerusakan nira akibat kontaminasi mikrobia, para perajin gula biasanya menambahkan bahan pengawet yang berasal dari bahan alami maupun sintetis. Pengawet sintetis yang banyak digunakan perajin gula adalah sodium metabisulfit C 6 H 18 NNaSi 2 atau sulfit Na 2 S 2 O 5 yang sering mereka sebut dengan istilah obat gula. Penggunaan pengawet sintetis di kalangan perajin gula dikarenakan sulfit efektif sebagai antimikrobia, mudah didapat di pasaran, harganya terjangkau dan menghasilkan gula dengan warna yang menarik. Data di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar perajin gula masih menggunakan sulfit sebagai pengawet nira. Kefektifan sulfit sebagai antimikrobia karena molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba, dan bereaksi dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfida enzim dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksisulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernapasan. Selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan mengikat melanoidin komponen yang berperan terhadap pembentukan warna coklat pada gula palma, sehingga akan mencegah timbulnya warna coklat di gula Cahyadi, 2008. Pengunaan sulfit sebagai pengawet nira perlu dihindari karena bahan ini diketahui berdampak kurang baik bagi kesehatan manusia. Natrium metabisulfit dapat digunakan apabila kadarnya di bawah batas ambang yang ditentukan. Menurut Muchtadi dan Sugiono 1992, dosis penggunaan natrium metabisufit, yaitu 0,2 – 0,25. Batas normal residu sulfit yang boleh dikonsumsi oleh manusia adalah 300 ppm, sedangkan menurut Standar Nasional Indonesia SNI, maksimal kandungan sulfit hanya 200 ppm 200 mgkg. Namun cara ini akan sulit dikontrol, sebab pada faktanya ada kecenderungan penggunaan yang berlebihan oleh para perajin gula kelapa. Penggunaan sulfit sebagai pengawet nira juga mempercepat kerusakan peralatan yang digunakan seperti “pongkor” dan “wajan” karena sulfit bersifat korosif. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut perlu dicarikan alternatif pengawet alami sebagai pengganti pengawet sintetis. Ketersediaan pengawet alami nira yang efektif dalam menghambat kerusakan nira, praktis penggunaannya, murah, mudah didapat dan 262 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 menghasilkan gula yang aman dan berkualitas akan sangat membantu para perajin gula. Berdasarkan kondisi tersebut, telah dilakukan penelitian dan inovasi pembuatan pengawet nira alami dengan nama TANGKIS. Penelitian TANGKIS Generasi-1 diawali dengan melakukan eksplorasi dan seleksi bahan alami lokal yang berpotensi sebagai sumber TANGKIS seperti kulit buah manggis, kayu nangka, dan kapur yang sudah banyak digunakan oleh perajin gula kelapa. Kulit buah manggis pericarp terdapat komponen yang bersifat antioksidan. Zat ini disebut dengan xanthones . Meskipun daging buah manggis mengandung vitamin C yang juga merupakan sumber antioksidan alami, tetapi jumlahnya sangat sedikit Paramawati, 2010. Menurut Qosim 2007 dalam Mardawati et al. 2008, kulit buah manggis mengandung senyawa xanthone sebagai antioksidan, antiproliferativ, dan antimikrobial yang tidak ditemui pada buah-buahan lainnya. Selain itu, menurut Pitojo dan Hesti 2007, kulit buah manggis juga mengandung saponin dan tanin. Ekstrak kulit buah yang larut dalam petroleum eter ditemukan dua senyawa alkaloid. Kulit buah dan lateks kering Garcinia mangostana mengandung sejumlah zat warna kuning yang berasal dari dua metabolit yaitu mangostin dan β-mangostin. Xanthones pada kulit buah manggis merupakan senyawa keton siklik polipenol dengan rumus molekul C 13 H 8 O 2 . Struktur dasar xanthones terdiri dari tiga benzena dengan satu benzena di tengahnya yang merupakan keton. Hampir semua molekul turunan xanthones mempunyai gugus penol. Oleh karena itu, xanthones sering disebut polipenol. Xanthones memiliki 200 jenis zat turunan dan 40 di antaranya terdapat dalam kulit manggis Paramawati, 2010. Menurut Anastasia 2010, berdasarkan penelitian sebelumnya membuktikan bahwa senyawa alfa mangostin mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus resisten penisilin Farnsworth dan Bunyapraphatsara, 1992, Enterococci resisten penisilin dengan MIC 6,25 μgml, dan Staphylococcus aureus resisten metisilin dengan MIC 6,25-12,5 μgml Sakagami, et al., 2005. Alfa mangostin, beta mangostin, dan garsinon B mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Mycobacterium tuberculosis dengan MIC 6,25 μgml Suksamrarn et al , 2002. Ekstrak kulit buah manggis mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acne dengan MBC 0,039 mgml dan Staphylococcus epidermidis dengan MBC 0,156 mgml Chomnawang et al, 2005. Inovasi TANGKIS dilakukan dengan memformulasikan bahan-bahan tersebut dan dibuat dalam bentuk tepung sehingga produk lebih awet dan lebih mudah dikemas. Selain itu aplikasi TANGKIS mirip dengan aplikasi pengawet sintetis sulfit yang sudah banyak dipakai perajin gula, sehingga cara penggunaan TANGKIS tidak akan banyak merubah kebiasaan perajin gula kelapa. Makalah ini menjelaskan sebagian tahapan penelitian pengawet nira alami instan TANGKIS. Inovasi penelitian TANGKIS akan terus berlangsung sampai diperoleh TANGKIS yang teruji dapat menghasilkan nira dan gula kelapa dengan kualitas stabil di lapangan dan dapat diproduksi secara komersial. METODE PENELITIAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan untuk pembuatan TANGKIS sperti kulit buah manggis, kayu nangka, kapur dan bahan-bahan kimia untuk analisis gula kelapa. Penelitian aplikasi TANGKIS Generasi-1 dilakukan pada perajin gula kelapa di Desa Sikapat, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas. Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Pangan dan Gizi, Laboratorium Teknologi Pengolahan, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Penelitian dilakukan dengan tahapan pengujian formulasi bahan-bahan, pengujian konsentrasi yang digunakan dan pengujian produk gula yang dihasilkan. Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi pH nira kelapa, o brix nira kelapa dan pengukuran pada gula kelapa cetak seperti kadar air, kadar abu, kadar gula reduksi, total padatan tidak terlarut, dan kadar sukrosa dan analisis sensori gula kelapa cetak yaitu warna, tekstur, aroma, kemanisan, dan kesukaan. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk

kulit buah manggis Tahap pertama penelitian adalah mencari perbandingan bubuk kayu dan bubuk kulit buah manggis dan pengaruhnya terhadap mutu nira dan gula kelapa. Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis yang diuji adalah 1:1, 1: 3 dan 3:1. brix nira, pH nira, kadar air, gula reduksi, sukrosa, kadar abu dan total padatan tidak terlarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis berpengaruh terhadap pH nira kelapa, kadar sukrosa, kadar air, dan total padatan tidak terlarut dan tidak berpengaruh terhadap kadar gula reduksi dan kadar abu. Nilai rata-rata pH nira yang diperoleh dari perlakuan perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa pH nira kelapa yang dihasilkan baik dan memenuhi syarat untuk 263 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 dibuat gula kelapa. Nira kelapa kualitas baik adalah nira dengan pH berkisar 6-7,5 Law, 2011. Kayu nangka dan kulit buah manggis memiliki senyawa aktif tannin yang berfungsi menghambat aktivitas khamir dengan cara menghambat adsorbsi permukaan yang dilakukan oleh khamir terhadap substrat pada nira kelapa. Keterangan : Angka diikuti huruf yang sama enunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5 Gambar 1. pH nira kelapa pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis. Nilai rata-rata kadar sukrosa gula kelapa cetak pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis disajikan dalam Gambar 2. Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis 1:1 menghasilkan gula kelapa cetak dengan kadar sukrosa tertinggi. Tingginya kadar sukrosa gula kelapa cetak dikarenakan sukrosa yang terkandung dalam nira hasil sadapan tidak banyak yang terhidrolisis menjadi gula reduksi. Secara umum, total gula dan gula pereduksi adalah zat utama dalam reaksi karamelisasi selama pemanasan Martins et al ., 2001. Keterangan : Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5 Gambar 2. Kadar sukrosa gula kelapa cetak pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis. Nilai rata-rata kadar air gula kelapa cetak pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis disajikan Gambar 3. Keterangan : Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5 Gambar 3. Kadar air gula kelapa cetak pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis. Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar air gula kelapa cetak terendah dihasilkan oleh perlakuan perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis 1:1 yaitu dengan nilai kadar air gula kelapa cetak 7,75 bb, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis 3:1 yaitu 8,76 bb. Nilai kadar air yang rendah pada perlakuan perbandingan 1:1 bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis yang sama memungkinkan adanya sinergisme antara kayu nangka dan kulit buah manggis dalam penghambatan mikroba. Ekstrak kayu nangka memiliki daya antimikroba terhadap Saccharomyce cerevisiae , Leuconostoc mesenteroides dan Leuconostoc plantarum , sedangkan pada ekstrak kulit buah manggis menunjukkan daya antimikroba terhadap Leuconostoc mesenteroides dan Leuconostoc plantarum sehingga kerusakan pada nira baik yang disebabkan oleh khamir maupun bakteri dapat terhambat dan inversi sukrosa yang terjadi rendah. Hasil pengujian perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis yang menghasilkan gula kelapa cetak dengan kualitas terbaik berdasarkan variabel brix nira, pH nira, kadar air, gula reduksi, sukrosa, kadar abu, dan total padatan tidak terlarut adalah 1:1.

B. Persentase campuran bubuk kayu nangka

dan bubuk kulit buah manggis Tahap penelitian kedua adalah mencari pengaruh presentase campuran bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis pada total laru dari setiap perbandingan yang sudah diuji pada penelitian tahap pertama terhadap mutu nira dan 6,36 b 7,34 a 6,31 b 2 4 6 8 10 1:1 1:3 3:1 pH ni ra Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis bb 83,1 a 77,99 b 82,44 a 15 30 45 60 75 90 1:1 1:3 3:1 Suk rosa bk Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis bb 7,75 a 9,28 b 8,76 ab 2 4 6 8 10 12 1:1 1:3 3:1 K ada r ai r bb Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis bb 264 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 gula kelapa. Persentase yang diuji adalah 5, 10 dan 15 bb Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase campuran bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis berpengaruh terhadap kadar sukrosa dan total padatan tidak terlarut dan tidak berpengaruh terhadap pH nira, brix nira, kadar air, kadar gula reduksi, kadar abu. Semakin tinggi persentase campuran bubuk kayu nangka dan kulit buah manggis terhadap total laru alami menghasilkan kadar sukrosa yang semakin tinggi Gambar 4. Keterangan : Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5 Gambar 4. Kadar sukrosa gula kelapa cetak pada variasi persentase campuran bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis terhadap TANGKIS. Hal ini disebabkan semakin tinggi persentase campuran bahan, maka semakin tinggi konsentrasi zat aktif dalam TANGKIS, sehingga penghambatan aktivitas antimikroba pada nira kelapa semakin tinggi dan kandungan sukrosa pada nira tidak banyak yang terhidrolisis. Nira mengalami hirolisis sukrosa apabila terdapat asam atau enzim di dalam nira. Peristiwa inversi terjadi karena sukrosa terhidrolisa menjadi D-glukosa dan D-fruktosa, hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim fruktoforanosidase -h-fruktosidase, invertase yang dihasilkan mikroba. Namun demikian sukrosa yang dihasilkan dari perlakuan 5, 10 dan 15 semuanya memenuhi standar SNI gula kelapa cetak. Berdasarkan hasil tersebut persentase campuran bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis terhadap total TANGKIS yang dipilih adalah 5. C. Penentuan konsentrasi larutan TANGKIS Tahap penelitian ketiga adalah menentukan konsentrasi larutan TANGKIS dan pengaruhnya terhadap mutu nira dan gula kelapa yang dihasilkan. Formula TANGKIS yang digunakan ditentukan dari hasil penelitian pertama dan kedua yaitu perbandingan bubuk kayu nangka:kulit buah manggis 1:1 dengan persentase campuran keduanya terhadap total laru adalah 5. Konsentrasi larutan yang diuji dari formula tersebut adalah 2, 4, 6, 8, 10 bv. TANGKIS dengan berat 20 gram, 40 gram, 60 gram, 80 gram, dan 100 gram masing-masing dilarutkan menggunakan air hangat sebanyak 1 liter. Setelah itu larutan sebanyak 20 ml dari masing-masing konsentrasi tersebut dimasukkan ke dalam pongkor yang akan digunakan untuk menyadap nira kelapa setara 2 tiap liter nira. Nira yang dihasilkan kemudian diolah menjadi gula kelapa cetak. Selanjutnya nira dan gula kelapa yang dihasilkan dianalisis mutunya. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi larutan laru berpengaruh terhadap kadar abu, gula reduksi dan sukrosa gula kelapa yang dihasilkan. Nilai rata-rata kadar abu gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi larutan TANGKIS disajikan pada Gambar 5. Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5. Gambar 5. Nilai rata-rata kadar abu gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi larutan TANGKIS Semakin tinggi konsentrasi larutan TANGKIS yang digunakan terdapat kecenderungan bahwa kadar abu yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini diduga karena adanya zat anorganik bubuk kapur dalam TANGKIS yang berbeda jumlahnya pada setiap konsentrasi, sehingga semakin tinggi konsentrasi larutan TANGKIS menyebabkan kadar abu yang semakin tinggi. Sesuai dengan pernyataan Kusnandar 2010, bahwa zat kapur merupakan salah satu jenis mineral makro anorganik. Hal ini pun sejalan dengan penelitian Asriningtias 2011 menyatakan bahwa penambahan kapur yang lebih banyak akan menyebabkan tingginya kadar abu gula kelapa cetak. Nilai rata-rata kadar gula reduksi gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi larutan TANGKIS disajikan pada Gambar 6. 77,93 c 80,05 b 82,55 a 12 24 36 48 60 72 84 96 5 10 15 Su k ro sa b k Persentase campuran bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis terhadap total laru 2,56 ab 2,23 b 2,69 a 2,68 a 2,7 a 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 2 4 6 8 10 Kad ar A b u b k Konsentrasi Larutan TANGKIS 265 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5. Gambar 6. Nilai rata-rata kadar gula reduksi gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi larutan TANGKIS. Semakin tinggi konsentrasi larutan TANGKIS yang digunakan kadar gula reduksi yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini diduga karena adanya kandungan tanin yang terkandung di dalam bubuk kulit manggis dan kapur di dalam larutan TANGKIS yang digunakan. Konsentrasi larutan TANGKIS yang tinggi menghasilkan nira dengan pH yang lebih tinggi, aktivitas mikroba untuk menghidrolisis gula akan terhambat, sehingga sukrosa tidak banyak yang terhidrolisis menjadi gula reduksi. Nilai rata-rata kadar sukrosa gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi laru alami instan disajikan pada Gambar 7.Kadar sukrosa gula kelapa cetak pada perlakuan konsentrasi larutan TANGKIS 10 berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi laru alami instan 2, 4, 6, dan 8. Hal ini diduga karena adanya jumlah kandungan zat kapur, bubuk kulit buah manggis, dan bubuk kayu nangka yang berbeda pada setiap konsentrasi larutan TANGKIS yang digunakan. Perbedaan jumlah kandungan tersebut mengakibatkan pH nira pada konsentrasi larutan TANGKIS 10 paling tinggi data tidak dipublikasikan. Kadar sukrosa sangat erat kaitannya dengan kadar gula reduksi, karena sukrosa memiliki sifat mudah mengalami proses inversi menjadi gula reduksi yang diantaranya disebabkan oleh pH. Sukrosa akan mudah terinversi menjadi glukosa dan fruktosa pada kondisi asam Suparmo, 1990. Inversi sukrosa yang rendah pada konsentrasi larutan TANGKIS 10 disebabkan pula oleh adanya senyawa antimikroba pada kayu nangka dan kulit buah manggis yang lebih tinggi dibanding konsentrasi lainnya. Menurut Poeloengan dan Praptiwi 2010, kulit buah manggis dan kayu nangka mengandung alkaloid, saponin, triterpenoid, tanin, fenolik, flavonoid, glikosida dan steroid yang terbukti sebagai antibakteri dan antivirus Ersam, 2001. Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5. Gambar 7. Nilai rata-rata kadar sukrosa gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi laru alami instan. Hasil uji spider web variabel sensoris gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi larutan TANGKIS menunjukkan semakin tinggi skor yang dihasilkan pada setiap parameter maka semakin baik sifat sifat sensoris gula kelapa cetak yang dihasilkan. Secara keseluruhan sifat sensoris gula kelapa cetak pada konsentrasi larutan TANGKIS 6 memiliki nilai rata-rata sensoris yang lebih baik dibandingkan konsentrasi larutan TANGKIS lainnya. Berdasarkan hasil tersebut ditemukan bahwa konsentrasi larutan TANGKIS yang menghasilkan mutu nira dan gula kelapa serta sensoris terbaik adalah 6. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa formula TANGKIS yang menghasilkan mutu nira dan gula kelapa yang baik diperoleh dari perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis 1:1 dan persentase terhadap total laru 5. Sementara untuk aplikasi di lapangan konsentrasi larutan TANGKIS 6 dari formula tersebut menghasilkan mutu nira dan gula kelapa yang lebih baik dibanding lainnya. Tersedianya TANGKIS yang menghasilkan mutu nira dan gula kelapa yang baik akan sangat membantu perajin gula kelapa. Kebijakan dan dukungan pemerintah agar perajin menggunakan TANGKIS dan beralih dari penggunaan sodium metabisulfit sangat dibutuhkan sehingga produk gula yang dihasilkan lebih baik dan lebih sehat. Pengembangan dan pengujian TANGKIS sedang terus dilakukan untuk mendapatkan produk TANGKIS yang teruji dapat menghasilkan nira dan gula kelapa dengan kualitas stabil di lapangan dan dapat diproduksi secara komersial. 15,76 a 11,29 b 10,48 b 8,44 b 9,46 b 5 10 15 20 2 4 6 8 10 Kad ar Gu la R ed u k si b k Konsentrasi Larutan TANGKIS 77,58 b 81,39 b 76,36 b 82,20 b 95,11 a 20 40 60 80 100 2 4 6 8 10 Kad ar Su k ro sa b k Konsentrasi Larutan TANGKIS 266 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada DP2M Dikti yang telah menyediakan biaya penelitian melalui Hibah skim penelitian MP3EI Tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Amin, N. A. M., W. A. W. Mustapha, M. Y. Maskat, dan H. C. Wai. 2010. Antioxidative activities of palm sugar-like flavouring. The Open Food Science Journal 4: 23-29. Annex J. 2013. Summary of Current Food Standards: Minimum Requirement for Analysis of Finished Product on-line . http:www.fda.gov.phattachmentsarticle71 149Annex20J2020FOOD20STAND ARDS.pdf diakses pada 29 Maret 2015. Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI Gula Palma. Baharuddin, M. Muin, dan H. Bandaso. 2007. Pemanfaatan nira aren Arenga pinnata Merr sebagai bahan pembuatan gula putih kristal. Jurnal Perennial 22:40-43. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Banyumas. Data Produk Industri Unggulan on-line .http:dinperindagkop- banyumaskab.netindex.php?route=informatio nbidangid=4 diakses pada 12 April 2015. Dungir, S. G., D. G. Katja, dan v. S. Kamu. 2012. Aktivitas antioksidan ekstrak fenolik dari kulit buah manggis Garciana mangostana L.. Jurnal MIPA USRAT ONLINE 1 1: 11-15. Erwinda, M. E., dan W. H. Susanto. 2014. Pengaruh pH nira tebu Saccharum officinarum dan konsentrasi penambahan kapur terhadap kualitas gula merah. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2 3: 54-64. Hidayah, R. N. 2010. Standardisasi Ekstrak Metanol Kulit Kayu Nangka Artocarpus heterophylla Lamk.. Skripsi . Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta. Karseno, R. Setyawati, dan P. Haryanti. 2013. Penggunaan bubuk kulit buah manggis sebagai laru alami nira terhadap karakteristik fisik dan kimia gula kelapa. Jurnal Pembangunan Pedesaan 13 1: 27-38. Mardawati, E., C. S. Achyar, H. Marta. 2008. Kajian aktivitas antioksidan ekstrak manggis Garcinia mangostana L. dalam rangka pemanfaatan limbah kulit manggis di Kecamatan Puspahaning Kabupaten Tasikmalaya. Laporan Akhir Penelitian: Penelitian Muda UNPAD. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Marsigit, W. 2005. Penggunaan bahan tambahan pada nira dan mutu gula aren yang dihasilkan di beberapa sentra produksi di bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB 11 1: 42-48. Mau, J. L., P. N. Huang, S. J. Huang, dan C. C. Chen. 2004. Antioxidant properties of methanolic extracts from two kinds of Anthrodia camphorate Mycelia. Food Chemistry 86: 25-31. Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicryl-hydrazyl DPPH for estimating antioxidant activity. Songklanakarim Journal Science Technology 26 2: 211-219. Naufalin, R., T. Yanto, dan A. Sulistyaningrum. 2013. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengawet alami terhadap mutu gula kelapa. Jurnal Teknologi Pertanian 14 3: 165-174. Nordberg, J. dan E. S. J. Arner. 2001. Reactive oxygen species, antioxidants, and the mammalian thioredoxin system. Free Radical Biology and Medicine 3 11: 1287-132. Permana, A. W., S. M. Widayanti, S. Prabawati, D. A. Setyabudi. 2012. Sifat antioksidan bubuk kulit buah manggis Garcinia mangostana L. instan dan aplikasinya untuk minuman fungsional berkarbonasi. Jurnal Pascapanen 20 9: 88-95. Puspitaningrum, J. D. 2014. Pengaruh Campuran Bubuk Kayu Nangka, Bubuk Kulit Buang Manggis, dan Bubuk Kapur terhadap Kualitas Gula Kelapa Cetak. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Putra, A.E. dan A. Halim. 2009. Pembuatan Bioetanol Dari Nira Siwalan Secara Fermentasi Fase Cair Menggunakan Fermipan. Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang. Rahman, F. 2009. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit Na2s2o5 Dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Pati Biji Alpukat Persea americana Mill.. Skripsi . Universitas Sumatera Utara, Medan. Rohmatussolihat. 2009. Antioksidan, penyelamat sel-sel tubuh manusia. BioTrends 4 1: 5-9. Septiana, A. T., D. Muchtadi, F. R. Zakaria. 2002. Aktivitas antioksidan dikhlorometana dan air jahe Ziniber officinale Roscoe pada asam linoleat. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Nomor 8 2: 105-110. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 2010. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian . Liberty, Yogyakarta . 267 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Pemanfaatan Limbah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sebagai Pupuk Slow Release Utilization of Geothermal Power Plant Waste as Slow Release Fertilizer Solihin , B. D. Erlangga, Eki N. Dida, Yusianita, A.Saepulloh, E.B. Santoso, Widodo Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Geoteknologi, Komplek LIPI Jl. Sangkuriang, Bandung, 40135 Keyword A B S T R A C T geothermal silica amorphous waste material fertilizer slow release Geothermal power plant that has been developed in Indonesia is the alternatve environmental friendly power plant. Hot water vapour is pumped from rock layer of upper earth cxrust and streamed to turbine installation unit to generate electricity. But along with water vapour some of other minerals is a lso lifted to the earth surface and this material is still treated as waste material. One of them is non crystalline silica. This mineral can be used as raw material to synthesis slow release fertilizer. Slow release fertilizer is a newly type of fertilizer that can increase fertilizer utilization efficiency and also decrease the environmental impact caused by fertilizer utilization. The silica is processed through conventional mineral dressing operation and mixed with other reagent prior to campaction at 250 kPa. The r elease test shows that this material possess slow release property. With this slow release property, this material is one of the candidate materials that can used as slow release fertilizer. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N panas bumi silika amorph limbah pupuk slow release Pembangkit listrik tenaga panas bumi yang sedang berlembang di Indonesia merupakan alternatif pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Uap air panas dipompa dari lapisan batuan pada kerak bumi atas dan dialirkan ke unit instalasi turbin pembangkit listrik. Tetapi bersamaan dengan uap panas tersebut beberapa mineral terangkat dan menjadi mineral sampingan yang belum termanfaatkan secara optimal. Salah satunya adalah mineral silika non kristalin. Mineral ini dapat dimanfaatkan menjadi pupuk slow release yang sangat berperan dalam menaikan efisiensi. Mineral silica yang telah dibenefisiasi dicampurkan dengan berbagai bahan pengikat dan dicetak dengan tekanan 250 kPa. Hasil uji pelarutan menunjukan bahwa tablet hasil kompaksi tersebut tersebut memiliki karakteristik material slow release. Dengan adanya karakteristik slow release tersebut maka tablet hasil tersebut merupakan kandidat material yang dapat digunakan sebagai pupuk slow release. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. E-mail address: solihinlipi.go.id 268 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Populasi dunia menurut Bank Dunia akan terus meningkat dan mencapai 9.22 milyar pada tahun 2075 Department of Economic and Social Affairs United Nations 2004. Peningkatan populasi ini akan memerlukan peningkatan produktivitas pangan. Peningkatan produktivitas pangan ini dapat dicapai dengan meningkatan produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas pertanian dapat dicapai dengan cara memperluas lahan pertanian ekstensifikasi atau meningkatkan produksi panen pada lahan yang tetap intensifikasi. Tetapi bersamaan dengan peningkatan populasi tersebut, lahan untuk pertanian juga menurun karena digunakan sebagai lahan untuk perumahan atau industry Adachi 1999, Wasilewski 2004. Oleh karena itu cara yang dapat digunakan adalah dengan meningkatkan hasil tanaman pada lahan yang tetap. Peningkatan hasil tanaman ini bisa dilakukan melalui penggunaan pupuk untuk memperkaya tanah akan zat yang diperlukan tanaman. Pupuk adalah material yang digunakan untuk membantu pertumbuhan tanaman.Terdapat dua jenis pupuk yakni pupuk organic dan non-organik. Pupuk organic kadang tidak mencukupi jika diperlukan dalam jumlah yang besar International Fertilizer Association 2000. Kekurangan itu diisi oleh pupuk inorganic. Oleh karena itu sampai sekarang telah banyak dibuat pupuk inorganic dengan berbagai variasi komposisi. Pupuk yang digunakan dalam pertanian umumnya menganding unsur elementer dan unsur sekunder seperti potassium K, posfor P, dan magnesium Mg untuk membantu pertumbuhan tanaman. Pupuk telah diketahui sangat handal dalam meningkatkan hasil tanaman tetapi ternyata tidak semua unsur dalam pupuk diserap tanaman selama penggunaannya. Kecepatan akan tanaman dalam menyerap unsur-unsur yang berasal dari pupuk lebih rendah dari pelepasan unsur-unsur tersebut dari pupuk. Unsur-unsur yang tidak sempat diserap tanaman akan merembet ke bawah dan pada akhirnya akan mencemari air tanah Adetunji 1994. Untuk mengatasi hal ini diperlukan pupuk jenis lain dengan pepelasan unsur yang lebih lambat atau dapat dikendalikan, yang lazim disebut sebagai pupuk slow release . Di sisi lain, energi panas bumi telah lama dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik. Uap panas dari bumi dialirkan ke permukaan dan digunakan sebagai penggerak turbin untuk pembangkit tenaga listrik. Tetapi bersamaan dengan uap panas tersebut terikutkan juga mineral-mineral lainnya seperti silika yang memiliki struktur non- kristalin. Sebenarnya mineral ikutan ini dapat digunakan sebagai bahan baku industri, diantaranya adalah sebagai bahan baku pupuk slow release. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan percobaan pembuatan pupuk slow release yang salah satu bahan-bakunya adalah silika tersebut. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Pupuk slow release adalah pupuk dengan pelepasan unsur nutrisi terkendali. Pengendalian atau pelambatan pelepasan usnur dari pupuk perlu dilakukan karena umumnya unsur dalam pupuk adalah kation atau anion yang mudah larut dalam air. Terdapat berbagai cara untuk mengendalikan atau memperlambat pelepasan unsur dari pupuk. Diantaranya adalah dengan membungkus pupuk dengan senyawa yang dapat memperlambat keluarnya unsur dari pupuk, menempatkan pupuk dalam matriks dengan kerapatan tinggi dan membuat senyawa yang secara natural memiliki sifat tidak mudah larut. Salah satu metode yang akan dicoba adalah dengan menempatkan pupuk tersebut dalam matriks silika, yang merupakan mineral ikutan limbah dari pembangkit listrik tenaga panas bumi. METODE PENELITIAN Bahan baku inti yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk komersial atau senyawa yang mengandung unsur potassium, posfor, dan nitrogen. Bahan material penyanggamatriks yang digunakan adalah silika SiO 2 yang merupakan mineral ikutan limbah dari PLT panas bumi Dieng, Wonosobo. Silika terlebih dahulu dicuci bersih dengan aquades untuk menghilangkan senyawa garam yang menyertai limbah tersebut. Kemudain silika tersebut dikeringkan dan dihancurkan dengan proses milling hingga ukuran sekitar 100 mesh 74 mikron. Silika yang telah halus kemudian dicampur dengan pupuk konvensional dengan perbandingan 10 pupuk dan sisanya adalah silika. Bahan campuran tersebut kemudian dilakukan pengepresan pada tekanan 250 kgcm 2 . Jenis senyawa dalam silika limbah PLT panas bumi, pupuk dan pellet ditentukan melalui analisa X-Ray Diffraction menggunakan radiasi CuK- α. Unsur-unsur dalam silika ditentukan melalui analisa X-Ray Flourescence XRF. Sifat slow release ditentukan melalui uji pelarutan. Pellet dibenamkan dalam larutan aquadest 200 ml dan dalam setiap interval rentang waktu tertentu 5 ml larutan diambil sebagai sampel untuk dianalisa. Analisa unsur- unsur yang larut dalam air dilakukan melalui Atomic Absorption Spectrometry AAS. 269 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukan hasil analisa XRD terhadap silika limbah PLT Dieng. Terlihat bahwa bentuk kristal silika tersebut adalah non-kristalin amorphous . Kelihatannya silika yang terbentuk di dalam situs geothermal adalah silika yang terbentuk bersamaan dengan batuan beku dan belum mengalami proses-proses bertekanan tinggi sehingga bentuk kristalnya masih amorphous. Senyawa dengan bentuk kristal amorphous umumnya lebih reaktif dibanding senyawa dengan bentuk kristal definitif kristalin. Tetapi reaksi kimia yang melibatkan silika tersebut tetap memerlukan energi yang tinggi. Oleh karena itu dalam hal ini silika hanya digunakan sebagai matriks atau hanya direaksikan secara fisik. Gambar 1. Pola XRD silika yang merupakan mineral ikutan pada PLT panas bumi Dieng Sampel material hasil pencampuran dan pengepresan silika dan pupuk ditujukan pada Gambar 2. Sampel tersebut terlihat cukup masih dan dalam keadaan tanpa gaya dari luar tidak mengalami aberasi selama penanganan. Gambar 2. Sampel hasil pencampuran dan pengepresan silika dan pupuk Gambar 4. Morfologi permukaan sampel hasil pencampuran dan press pembesaran 30 x Analisa mikroskop optik terhadap sampel dipelihatkan pada Gambar 3. Morfologi permukaan sampel terdiri komponen pupuk yang terdistribusi dalam matriks silika. Diharapkan bahwa dengan terdikstribusinya pupuk dalan matriks silika tersebut, pelepasan berbagai senyawa dalam pupuk dapat diperlambat. Pola XRD dari pupuk diperlihatkan pada Gambar 3A. Komponen utama dari pupuk tersebut adalah kalium oksida KO 3 dan K 2 O 2 , kalsium posfat hidroksida Ca 10 PO 4 6 .OH 3 , dan Mg 3 PO 4 2 . Senyawa-senyawa tersebut adalah senyawa yang lazim digunakan sebagai pupuk. Gambar 3. Pola XRD dari A Pupuk, B Silika Dieng dan C Hasil proses antara silika limbah PLT Dieng dan pupuk Pola XRD dari campuran pupuk dan silika Dieng yang telah dipress diperlihatkan pada Gambar 3C. Setelah proses pencampuran dan pengepresan ternyata hanya ditemukan pola yang sama dengan silika Dieng pola amorphous , sedangkan senyawa-senyawa dalam pupuk tersebut tidak ditemukan. Hal ini kemungkinan disebabkan rendahnya konsentrasi pupuk dalam campuran. Kadar pupuk dibuat rendah dalam matiks silika agar penurunan kecepatan pelarutan pupuk selama 270 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 berada dalam air dapat dengan drastis diturunkan. Terjebaknya senyawa-senyawa pupuk dalam matriks siliuka tersebut dapat menyebabkan hambatan pada pengeluaran senyawa pupuk tersebut. Senyawa-senyawa pupuk tersebut harus berdifusi melewati matrks atau struktur mikro silika, dan dengan demikian kecepatan pelarutannya dalam air akan jauh lebih lambat. Hambatan pelarutan senyawa pupuk ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan efek slow release pada pupuk. Pola pelarutan antara pupuk biasa dan pupuk yang telah mengalami proses pencampuran dan pengepresan sangat berbeda. Sebagai perbandingan, dalam waktu kurang dari 1 jam kalium yang terdapat dalam pupuk yang tidak mengalami proses pencampuran dan pengepresan akan terlarut 100 . Sedangkan pupuk yang telah mengalami proses pencampuran dan pengepresan akan memiliki kurva pelarutan polynomial seperti yang ditunjukan pada Gambar 4. Pada 2 jam pertama hanya sekitar 40 kalium akan terlarutkan dan selanjutnya laju pelarutan akan menurun sesuai dengan kurva polynomial tersebut. Gambar 4. Kurva uji pelepasan kalium dari pupuk yang telah diproses melalui metode matriks Penambahan waktu penempatan sampel pupuk dalam air menambah konsentrasi pupuk dalam air dengan pola penambahan eksponensial. Pola ini eksponensial ini merupakan pola yang lazim ditemukan dalam uji pelepasan elemen dalam pupuk jenis slow release Liang 2007, Solihin 2012, Solihin 2013, Solihin 2010 sehingga dengan demikian sampel yang disintesa dengan metode pengepresan ini termasuk jenis pupuk slow release. KESIMPULAN Silika non-kristalin adalah mineral ikutan limbah hasil proses geothermal Dieng. Mineral tersebut dapat dimanfaatkan sebagai material matriks dalam pembuatan pupuk slow release. Proses pencampuran pupuk dan silika yang diikuti dengan pengepresan menghasilkan komposit dengan senyawa pupuk yang terjebak dalam struktur matriks silika non-kristalin Dieng. Uji pelepasan unsur kalium dari sampel hasil proses menunjukan pola pelepasan eksponensial seperti lazimnya pupuk slow release DAFTAR PUSTAKA Adachi M, Kanak P 1999 Agricultural land conversion and inheritance tax in Japan, RURDS Vol.11 No.2 pp. 127-140 Adetunji MT 1994 Nitrogen application and underground water contamination in some agricultural soils of South Western Nigeria, Fertilizer Research 37 pp. 159-163 Department of Economic and Social Affairs United Nations 2004, World Population to 2300, United Nations New York . International Fertilizer Association 2000 Fertilizer and their use , Food Agriculture Organization, pp.1-5 Liang R, Liu M, Wu L 2007 Controlled release NPK compound fertilizer with the function of water retention, Reactive Functional Polymers Vol. 67 pp. 769 –779 Wasilewski A, Krukowski K 2004, Land conversion for suburban housing, Environmental Management Vol. 34 No.2 pp. 291 –303 2004 Solihin, Tongamp W, Zhang Q, Saito F, Mechanochemical Route for Synthesizing KMgPO4 and NH 4 MgPO 4 for Application as Slow-Release Fertilizers , Ind. Eng. Chem. Res. 2010, 49, 2213 –2216 Solihin 2012, Sintesa Material Slow Release Dengan Teknik Mekano-kimia, Proceeding of Seminar Metalurgi dan Material Solihin 2013, Mechanochemical Synthesis of Potassium Magnesium Phosphate For Application as a Slow Release Fertilizer Material, Metalurgi, Metalurgi Vol 28 No 1 271 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Pembenah Tanah Dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Ishak Juarsah Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentera Pelajar No. 12, Cimanggu Bogor, 16114 Keyword A B S T R A C T soil conditioner perspective agriculture suistanable One alternative to improve the quality of degraded wetland is applying rectification soil combined with organic matter management and site- specific system of balanced fertilization based on soil testing and crop needs. The direct benefits of use of land for agricultural development rectification is changing wasteland into productive, so uptake of fertilizer can be improved, the production of rice plants can be increased, eventually import rice commodity dependence can be reduced gradually. Based on the Regulation of the Minister of Agriculture Number: 02 Pert HK.060 22006 is a ground rectification are synthetic materials or natural, organic or mineral solid or liquid form that can improve the physical, chemical, and biological. This paper is aimed at presenting the results of research related to the development of agriculture perspective rectification wetland and increase sustainable production of rice plants. Among experts rectification ground soil material known as a soil conditioner which is more specifically defined as synthetic materials or natural, organic or mineral, solid or liquid form that can improve soil structure, can alter the capacity of the soil hold and pull through the water, and can improve ability of soil to hold nutrients, so nutrients are not easily lost, and the plants are still able to absorb nutrients in the soil Kata Kunci S A R I K A R A N G A N pembenah tanah perspektif pertanian berkelanjutan Salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas lahan sawah yang telah terdegradasi adalah mengaplikasikan pembenah tanah yang dikombinasi dengan pengelolaan bahan organik serta sistem pemupukan berimbang spesifik lokasi berdasarkan uji tanah dan kebutuhan tanaman. Manfaat langsung penggunaan pembenah tanah bagi pembangunan pertanian adalah merubah lahan kritis menjadi produktif, sehingga serapan hara pupuk dapat ditingkatkan, produksi tanaman padi dapat ditingkatkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 02PertHk.06022006 yang dimaksud dengan pembenah tanah adalah bahan-bahan sintetis atau alami, organik atau mineral yang berbentuk padat atau cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi. Dalam tulisan ini akan dibahas pembenah tanah Zeolit.Tulisan ini ini bertujuan menyajikan hasil-hasil penelitian terkait perpspektif pembenah untuk pembangunan pertanian lahan sawah dan peningkatan produksi tanaman padi berkelanjutan. Di kalangan ahli tanah bahan pembenah tanah dikenal sebagai soil conditioner yang secara lebih spesifik diartikan sebagai bahan-bahan sintetis atau alami, organik atau mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki struktur tanah, dapat merubah kapasitas tanah menahan dan melalukan air, serta dapat memperbaiki kemampuan tanah dalam memegang hara, sehingga hara tidak mudah hilang, dan tanaman masih mampu menyerap unsur-unsur hara dalam tanah. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. email addres : juarsahyahoo.com. hp. 085885708467 272 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Bahan pembenah tanah dapat digolongkan menjadi dua yaitu bahan pembenah tanah alami dan sintetis. Bahan pembenah tanah alami yang banyak digunakan oleh petani adalah kapur pertanian, fosfat alam, zeolit, bahan organik yang mempunyai CN rasio 7-12, blotong, sari kering limbah SKL, emulsi aspal bitumen, lateks atau skim lateks. Sedangkan bahan pembenah tanah sintetis yang sudah dipasarkan adalah VAMA, HPAN, SPA, PAAmPAM, Poly-DADMAC, dan Hydrostock. Jenis-jenis pembenah tanah tersebut telah beredar di pasaran dan banyak digunakan petani, namun hingga saat ini masih sangat sedikit informasi yang menjelaskan sejauh mana pembenah tanah tersebut digunakan baik menyangkut jenis, dosisnya dan pengaruhnya terhadap produksi pertanian. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 02PertHk.06022006 yang dimaksud dengan pembenah tanah adalah bahan-bahan sintetis atau alami, organik atau mineral yang berbentuk padat atau cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi. Di kalangan ahli tanah bahan pembenah tanah dikenal sebagai soil conditioner yang secara lebih spesifik diartikan sebagai bahan- bahan sintetis atau alami, organik atau mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki struktur tanah, dapat merubah kapasitas tanah menahan dan melalukan air, serta dapat memperbaiki kemampuan tanah dalam memegang hara, sehingga hara tidak mudah hilang, dan tanaman masih mampu memanfaatkannya. Penggunaan pembenah tanah zeolit, kapur atau dolomit dan pupuk organik telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan suboptimal lahan kering masam dan mampu meningkatkan efisiensi pemupukan Mempertahankan kandungan bahan organik dalam tanah adalah merupakan tindakan yang harus dijalankan, sebab dapat meningkatkan indek stabilitas agregat tanah, memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, sehingga mengurangi aliran permukaan dan erosi, memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, menambah unsur hara, dan meningkatkan aktivitas mikroflora dan fauna tanah karena terbentuknya struktur tanah yang lebih baik Power dan Papendick, 1985. Pada kondisi jumlah koloid organik relatif konstan baik yang berasal dari pupuk kandang dan kompos dengan C-organik 7-12 .berperan sebagai pembenah tanah, sehingga berat jenis tanah turun, kadar air naik, ruang pori total naik, dan indek stabilitas agregat naik, aktivitas Al 3+ tanah mineral masam turun sampai akhirnya dicapai keseimbangan baru dari konsentrasi bahan organik tanah Tate, 1987. Penggunaan tanaman penutup tanah sebagai penghasil bahan organik dapat meningkatkan kualitas lahan melalui daun yang jatuh dan pangkasan bahan hijaunya. Salah satu upaya alternatif untuk meningkatkan kualitas lahan yang telah terdegradasimengalami kemerosotan adalah mengaplikasikan pembenah tanah zeolit yang dikombinasikan dengan pengelolaan bahan organik serta sistem pemupukan berimbang spesifik lokasi berdasarkan hasil uji tanah dan kebutuhan tanaman. Manfaat langsung penggunaan pembenah tanah bagi pembangunan pertanian adalah merubah lahan kritis menjadi produktif, sehingga produksi tanaman dapat ditingkatkan. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan diperoleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Balai Penelitian Tanah Bogor, Badan Litbang Pertanian terhadap pembenah tanah dalam perspektif pembangunan pertanian berkelanjutan. Bahan pembenah tanah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Zeolit dan dolomite dipadukan dengan pengelolaan bahan organik. Penelitian ini bertujuan 1 menyajikan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan penggunaan pembenah tanah untuk peningkatan kualitas lahan berkelanjutan 2 menyampaikan informasi kepada pengguna terhadap hasil-hasil penelitian yang diperoleh terhadapa penggunaan pembenah tanah dalam perspektif pembangunan pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan 3 menyelaraskan antara program pemerintah terhadap penggunaan pembenah tanah terhadap pembangunan pertanian spesifik lokasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatn pembenah tanah Penelitian pemanfaatan bahan pembenah tanah untuk meningkatkan kualitas tanah di Indonesia sudah dirintis oleh Lembaga Penelitian Tanah saat ini namanya berubah jadi Balai Penelitian Tanah sejak tahun 1970, di antaranya dengan memanfaatkan emulsi bitumen, polyacrylamine PAM, dan lateks untuk perbaikan sifat fisik tanah. Meskipun menunjukkan hasil yang positif, namun penggunaan bahan-bahan tersebut tidak bisa dikembangkan pada level petani karena bahan tersebut sulit didapat dan relatif mahal. Selanjutnya bahan mineral alami seperti zeolit juga telah banyak dibuktikan manfaatnya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah jika mempunyai KTK yang relatif tinggi. Sumber zeolit di Indonesia relatif banyak, berdasarkan hasil penyelidikan Direktorat Sumberdaya Mineral, jumlah cadangan 273 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 sumberdaya zeolit di Indonesia tidak kurang dari 205.825.080 ton Husaini, 2007. Bahan pembenah tanah dibedakan menjadi 2 yaitu : alami dan sintetis buatan pabrik, dan berdasarkan senyawa pembentukannya juga dapat dibedakan dalam 2 kategori yakni pembenah organik termasuk hayati dan pembenah tanah an organik. Konsep penggunaan bahan pembenah tanah adalah : 1 Pemantapan agregat tanah untuk mencegah erosi dan pencemaran, 2 merubah sifat hidrophobic dan hidrofilik, sehingga merubah kapasitas tanah menahan air water holding capacity , 3 meningkatkan kapasitas tukar kation KTK tanah. Beberapa bahan pembenah, juga mampu menyuplai unsur hara tertentu, meskipun jumlahnya relatif kecil dan seringkali tidak semua unsur hara yang terkandung dalam bahan pembenah tanah dapat segera digunakan untuk tanaman. Lahan yang mengalami degradasi penurunan kualitas semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi luasan maupun tingkat degradasinya. Hasil Penelitian Puslitbangtanak 1997 menunjukkan di 11 propinsi di Indonesia terdapat 10,94 juta ha lahan kritis. Berdasarkan data di 11 propinsi tersebut, diperkirakan luas lahan kritis di seluruh wilayah Indonesia akan lebih besar lagi. Oleh karena itu dibedakan suatu usaha untuk mempercepat laju pemulihan lahan-lahan tersebut. Jika bahan pembenah tanah akan dijadikan salah satu alternatif pemulihan lahan-lahan terdegradasi. Bahan organik tanah baik dalam bentuk pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, sisa tanaman, dan lain sebagainya, merupakan bahan pembenah tanah yang sudah banyak dibuktikan efektivitasnya baik dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah. Limbah pertanian seperti blotong, skim lateks, dan lain-lain juga dapat dimanfaatkan sebagai pembenah tanah. Tabel 1 Tabel 1. Beberapa Contoh Bahan Pembenah Tanah Nama pembenah tanah Jenis Sintetis Vama maleik anhydride-vinyl acetate copolimers Organik HPAN Party hidrozed polyacrillonitril An-organik SPA sodium polycryl An-organik PAAMPAM Polyacrylamine 0rganik Poly –DADMAC Poly-deallyi dimethylammonium clorida An-organik Hydrostock An-organik Alami Emulsi Aspal Bitumen: hidrophobik dan hidrofilik An –organik Lateks, skim lateks Organik Kapur pertanian An-organik Fosfat alam An-organik Blotong Organik Sari kering limbah SKL Organik Zeolit An-organik Bahan organic dengan CN ratio = 7- 12 Permentan No. 02PertHK 06022003 0rganik Sumber : Sinar Tani Edisi 16-22 Mei 2007. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahan penggunaan bahan pembenah tanah mineral seperti zeolit berpengaruh lebih baik terhadap sifat-sifat tanah jika disertai dengan pemberian bahan organik. Oleh karena itu, bila bahan pembenah tanah akan dijadikan suatu kebijakan dalam usaha peningkatan produktivitas lahan pertanian di Indonesia, maka pemilihan bahan pembenah tanah tetap diprioritaskan pada bahan- bahan yang murah, bersifat insitu, dan terbarukan, bahan organik sebenarnya dapat memenuhi persyaratan tersebut. Pengadaan bahan organik baik yang bersifat insitu maupun dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada seperti sampah kota harus digalakkan. Pemanfaatan limbah pertanian dan lain sebagainya juga dapat dilakukan, namun perhatikan kemungkinan adanya kandungan unsur-unsur pencemar dan berbahaya seperti logam berat. Penggunaan bahan pembenah mineral harus diperhatikan dampak negatifnya terhadap lingkungan, perhatikan pula faktor ketersediaan, dan jaminan mutu, serta harga. Pemanfaatan bahan pembenah tanah yang bersifat sintetis, sebaiknya dihindari karena selain dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap lingkungan, harganya juga seringkali terlalu mahal. Pengaruh pembenah tanah terhadap sifat-sifat tanah Perbaikan struktur tanah dan daya pegang tanah terhadap air karena sifat fisik zeolit yang berongga, sehingga pemberian Zeolit pada tanah bertekstur liat dapat memperbaiki struktur tanah, pori-pori udara tanah ditingkatkan, sedangkan Zeolit yang diberikan pada tanah berpasir dapat meningkatkan daya pegang tanah terhadap air. Sifat-sifat tanah yang dipengaruhi zeolit antara lain adalah: 1 meningkatkan KTK tanah selama KTK zeolit diatas 100 cmol + kg -1 , jumlah Zeolit yang diberikan  5 tonha untuk tanah mineral masam yang didominasi mineral liat 1:1, 2 meningkatkan kalium tanah, hal ini disebabkan kandungan K 2 O dalam Zeolit klinoptilolite sekitar 3, sehingga pemberian 5 ton Zeolit klinoptilolite ha dapat mengkontribusi 150 kg K 2 O jika semua 274 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 kalium tersedia. Namun tidak semua K yang berada dalam Zeolit dapat digunakan dengan segera oleh tanaman, sehingga masih perlu diberi tambahan pupuk K dengan takaran yang lebih kecil, 3 meningkatkan ketersediaan P, dari hasil percobaan bahwa pemberian Zeolit pada tanah Podsolik meningkatkn P dari 5.28 menjadi 20.1 mg P 2 O 5 kg Suwardi, 1997, dimana mekanisme peningkatan P diduga karena Ca dalam Zeolit mengikat P dalam tanah yang semula diikat oleh Fe dan Al, dan karena Ca dalam Zeolit mudah dilepaskan dalam bentuk dapat dipertukarkan, maka P yang diikat Ca menjadi tersedia, 4 memperbaiki sifat-sifat fisik tanah seperti struktur tanah dan daya pegang tanah terhadap air. Persen kejenuhan Al dapat digunakan sebagai parameter untuk menetapkan rekomendai pengapuran. Tanaman padi sawah, jagung, dan kedelai tidak harus diberi kapur jika persen kejenuhan Al tanahnya masing-masing  60,  40, dan  20. Pembenah tanah kapur pertanian terdiri atas Kalsit CaCO 3 dan Dolomit CO 3 .MgCO 3 berperan untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman padi selama pH tanah di bawah 4.25 , kandungan Ca dapat ditukar 400 mg Ca kg -1 atau 20 mg Ca100 g atau 2 cmol + kg -1 Ca, kejenuhan Ca terhadap KTK 25 Melsted, 1953. Meskipun persentase kejenuhan Ca pada tanah yang ideal sekitar 65, tetapi bukan berarti takaran kapur yang diberikan untuk tanaman padi harus mencapai kejenuhan Ca pada nilai 65, sebab dengan penggenangan tanah masam dapat meningkatkan pH tanah. Meskipun kebutuhan kapur KK dapat ditentukan melalui pendekatan formulasi: KK = faktor [Al-dd+H-dd – batas kritis kejenuhan Al x KTKefektif] untuk lahan kering Wade et al ., 1986, tetapi tidak menutup kemungkinan formulasi tersebut digunakan untuk lahan basah. Pembenah tanah Dolomit CaCO 3 .MgCO 3 berperan untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman padi selama pH di bawah 4.50, kandungan Mg dapat ditukar 25 mg Mg kg -1 atau 0.21 cmol + kg -1 , kejenuhan Mg 5 Melsted, 1953. Namun suatu jenis tanaman yang ditanam pada suatu tanah tertentu dengan kandungan Mg relatif rendah mungkin saja tidak respons terhadap pemupukan Mg, hal ini disebabkan oleh karena ion H + yang berasal dari akar melalui proses pertukaran kation sangat efektif melepaskan bentuk Mg tidak dapat ditukar menjadi bentuk Mg dapat ditukar sehingga dengan mudah diserap akar tanaman Christenson dan Doll, 1973. Magnesium dapat ditukar sangat nyata berkorelasi dengan persentase kejenuhan Mg dan secara konsensus bahwa persentase kejenuhan Mg sekitar 5 dari KTK tanah sudah cukup untuk hasil optimum dari berbagai jenis tanaman. Namun untuk tanaman-tanaman tertentu yang memerlukan konsentrasi kation-kation basa yang lebih tinggi dimana jeraminya dijadikan pakan untuk pencegahan penyakit hypomagnesaemia dari binatang memamah biak, maka persentase kejenuhan Mg sekitar 10 dari KTK adalah sangat dianjurkan untuk mempertahankan konsentrasi Mg dalam pakan ternak kering  0.2. Perbaikan sifat-sifat fisika dan kimia tanah ini akan meningkatkan keanekaragaman mikroflora dan fauna tanah yang penting dalam menjaga keseimbangan dinamis ekosistem tanah Pankhurst dan Lynch, 1993; Gupta, 1993. Pemberian pupuk kandang jangka dalam panjang dapat meningkatkan kadar humus 0.8-3; meningkatkan N-total dan N tersedia, P-tersedia, dan Si; meningkatkan kapasitas penyangga tanah, KTK, kation-kation dapat ditukar terutama Ca dan K di tanah sawah Yamashita, 1967. Pemberian 5 ton pupuk kandang, 1 ton kapur, serta pemupukan 45 kg N, 45 kg P 2 O 5 , dan 60 kg K 2 O ha -1 meningkatkan hasil padi 1-2 ton ha -1 dibandingkan kontrol pada lahan sawah bukaan baru di Bangkinang, Riau Jolid dan Herwan, 1987. Pupuk kandang mengandung: unsur hara yang dibutuhkan tanaman, asam humat, fulvat, hormon yang dapat memacu pertumbuhan tanaman sehingga serapan hara dapat ditingkatkan Tan, 1993. Asam organik utama yang dijumpai dalam tanah anaerobik adalah volatile aliphatic acids seperti asam format, asam asetat yang paling berlimpah, dan asam propionat Tsutsuki, 1983; Watanabe, 1984.. Pada saat tanah digenangi, konsentrasi asam meningkat 10-40 mMliter tergantung pada jenis tanah, jenis dan kandungan bahan organik, temperatur, dan konsentrasinya turun sampai 1 mmliter setelah 4 minggu penggenangan. Tanah berpasir dengan kandungan bahan organik tinggi menciptakan konsentrasi asam-asam organik tinggi, terutama pada temperatur di bawah 20 C. Pada tanah netral, konsentrasi asam-asam organik tidak melebihi 10 mMliter pada setiap periode penggenangan. Aplikasi jerami atau green manure meningkatkan konsentrasi asam-asam organik Tsutsuki, 1983. Kualitas pembenah tanah zeolit Pemberian Zeolit sebagai pembenah tanah sebaiknya diberikan dalam bentuk campuran antara ukuran halus dan kasar agar pengaruhnya dapat bertahan untuk beberapa tahun, sebab jika semua Zeolit yang diberikan 100 berukuran halus, akan memberikan pengaruh yang semakin baik akan tetapi daya tahannya lebih pendek. Takaran Zeolit yang diberikan tergantung pada tingkat degradasi lahan. Pada tingkat degradasi 275 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 ringan dapat diberikan ≤ 5 tonha, tingkat degradasi sedang antara 5-10 tonha dan untuk tingkat degradasi berat antara 10-20 tonha. Efektivitas pembenah tanah dapat lebih ditingkatkan melalui pemberiannya di zone perakaran, sehingga penggunaannya akan lebih efisien dan lebih praktis. Efisiensi pemupukan sangat ditentukan oleh kualitas pembenah tanah yang digunakan. Hasil analisis KTK, contoh Zeolit Agro 2000, ZP.30 dan Zeolit produk PT Minatama masing-masing adalah: 25, 64, dan 35 cmol + kg -1 Tabel 2, namun masih di bawah kriteria Permentan Nomor: 02PertHK.06022006 yakni ≥ 80 cmol + kg –1 . Tabel 2 Hasil analisis KTK, kandungan unsur P, K contoh Zeolit Agro 2000, ZP.30 dan Zeolit asal PT. Minatama Lampung Jenis analisis Jenis Zeolit Zeolit Agro 2000 PT. Jaya Sakti ZP.30 PT. Jaya Sakti Zeolit PT. Minatama Lampung KTK cmol + kg -1 25 64 35 pH 1:5 8.4 8.7 5.9 P 2 O 5 0.01 0.13 0.11 K 2 O 0.01 0.01 0.03 Ca 21 8 1.16 Mg 0.21 0.24 0.27 Sumber : Aljabri dan Ishak Juarsah, 2007 Kandungan KTK contoh ZP.30 adalah 64 cmol + kg -1 yang dinilai sudah cukup tinggi, namun masih berada dibawah kriteria Permentan No. 02PertHK.06022006.  80 cmol + kg -1 . Perbedaan nilai KTK Zeolit yang ditetapkan berdasarkan prosedur penetapan KTK sebagaimana yang diberlakukan untuk contoh tanah selalu lebih rendah dibandingkan dengan prosedur penetapan KTK Zeolit yang ditetapkan dengan prosedur SNI, hal ini disebabkan oleh ukuran besar butir Zeolit dan nisbah Zeolit terhadap larutan amonium asetat. Semakin halus ukuran besar butir dan semakin lebar nisbah Zeolit terhadap larutan amonium asetat maka semakin tinggi nilai KTK Zeolit. Pembenah tanah terhadap efisiensi dan produktivitas lahan Efisiensi pemupukan sebagai dampak penggunaan pembenah tanah terhadap penggunaan pupuk SP-36, karena zeolit dapat menagkap sementara hara pupuk sehingga tidak hilang tercuci dan akan dilepaskan kembali untuk diserap akar tanaman. Prakoso 2006 memperoleh bahwa kehilangan N pupuk dalam tanah dapat ditekan dengan pembuatan pupuk slow release fertilizer SRF yang dibuat dari campuran urea dan Zeolit dengan perbandingan urea:Zeolit 50:50 memiliki nilai efisiensi yang lebih tinggi dari pupuk SRF dengan perbandingan urea: Zeolit 70:30. Pupuk SRF dengan perbandingan urea:Zeolit 50:50 mampu menghemat 30 penggunaan pupuk urea. Hasil penelitian di Lampung Tengah bahwa peningkatan produksi GKP sebagai dampak penggunaan pembenah tanah disebabkan takaran pupuk anorganik yang diberikan sesuai dengan dosis anjuran, sebaliknya jika penurunan produksi GKP disebabkan takaran pupuk anorganik yang diberikan lebih rendah dari dosis anjuran. Takaran pembenah tanah yang dianjurkan 100 kg Zeolit Agro 2000 50 kg pada lahan siap tanam dan 50 kg sebagai susulan dan 200 kg ZP.30 100 kg pada lahan siap tanam dan 100 kg sebagai susulan. Kemudian pupuk Urea diberikan sebanyak 200 kgha dan pupuk KCl sebanyak 50 kgha disesuaikan dengan kebiasaan dan pengalaman petani. Sedangkan pupuk SP-36 sama sekali tidak diberikan dengan alasan ZP.30 sudah diperkaya dengan hara P. Peningkatan produksi GKP meningkat sebesar 9.52 – 25 0.80 – 1.60 tonha adalah disebabkan bukan hanya karena pengaruh pembenah tanah Zeolit Agro 2000+ZP.30 saja, tetapi juga disebabkan oleh pemberian pupuk kandang, sehingga hara NH 4 + dari pupuk Urea dan K + dari pupuk KCl terperangkap didalam struktur Zeolit dan secara lambat dilepaskan kembali untuk dimanfaatkan tanaman. Sedangkan hasil penelitian peningkatan produksi GKP di Lampung Timur sebesar 4.76 –16.67 0.30 – 1.20 tonha adalah disebabkan pengaruh pembenah tanah Zeolit dan Dolomit, serta pupuk anorganik Urea, SP-36, dan KCl diberikan sesuai dengan dosis anjuran. Penggunaan pembenah meningkatkan produksi GKP dan tongkol jagung, hal ini disebabkan tanah sawah didominasi mineral 1:1 tipe kaolinit yang dicirikan antara lain: pH + 4.50 masam, KTK + 5 cmol + kg -1 rendah, Mg dapat ditukar 0.18 cmol + kg -1 sangat rendah, kejenuhan Mg 5 Al-Jabri dan Ishak, 2007. Kandungan Mg dapat ditukar 0.18 cmol + kg -1 sangat rendah, dan jika tidak diberi Dolomit maka dipastikan tanaman kahat Mg. Hasil penelitian menunjukan bahwa tanaman padi yang rusak akibat konsentrasi asam- asam organik yang tinggi, dan penurunan konsentrasi asam organik pada tanah masam mineral 2-4 minggu setelah penggenangan karena proses dekomposisi dan pembebasan gas methan CH 4 , akan mengganggu pertumbuhan akar, respirasi, dan serapan hara Yoshida, 1981, jika diberi pembenah tanah dari pupuk kandang takaran 276 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 tinggi dengan dosis 100 kg SP-36 ha -1 + kompos jerami + 5 ton pupuk kandang kerbau ha -1 meningkatkan bobot kering gabah dan serapan hara K, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik Suriadikarta et al ., 2003. Kandungan C-organik tanah sawah umumnya 1 adalah merupakan salah satu ciri bahwa kualitas lahan sawah menurun yang mengakibatkan penurunan efisiensi serapan hara, sehingga tidak hanya bahan organik saja, tetapi juga pembenah tanah zeolit sebaiknya diberikan untuk meningkatkan KTK tanah sehingga efisiensi pemupukan dapat ditingkatkan. Aplikasi zeolit tidak sama dengan pembenah tanah lainnya kapur pertanian dan gypsum, sebab zeolit tidak mengalami break down dan jumlahnya masih tetap dalam tanah untuk meretensi unsur hara. Aplikasi zeolit berikutnya akan lebih memperbaiki kemampuan tanah untuk menahan unsur hara dan memperbaiki hasil. Zeolit tidak asam dan penggunaannya dengan pupuk dapat menyangga pH tanah, sehingga dapat mengurangi takaran kapur. Pemberian zeolit tidak hanya digunakan sebagai carriers hara tanaman, tetapi juga sebagai perangkap logam berat Cu, Cd, Pb, Zn sehingga uptake kedalam rantai makanan atau food chain dicegah atau berkurang Fuji, 1974. Namun kualitas zeolit baru terlihat jika pada proses produksinya dilakukan aktivasi sampai suhu 300 o C. Astiana, 1993. Meskipun mutu Zeolit alam dapat ditingkatkan setelah melalui proses aktifasi, tetapi tindakan aktifasi yang berlebihan baik dengan cara pemanasan, penambahan asam atau basa akan mengakibatkan kemampuan pertukarannya menurun, sebab terjadinya kerusakan struktur yang dapat diidentifikasi dari hilangnya intensitas puncak difraksinya pada hasil diffraktogram Astiana, 1993. Hal ini ditunjukkan setelah aktifasi pemanasan 255 C Zeolit Cikalong memiliki KTK 135.06 cmol + kg -1 , Bayah 121.78 cmol + kg -1 , dan Cikembar 79.70 cmol + kg -1 , sedang setelah pengasaman HCl 0.25 N, Zeolit Cikalong memiliki KTK 138.67 cmol + kg -1 , Bayah 115.77 cmol + kg -1 , dan Cikembar 90.34 cmol + kg -1 . Kemudian penambahan NaOH 0.5 mengakibatkan Zeolit Cikalong memiliki KTK 130.21 cmol + kg -1 , Bayah 119.01 cmol + kg -1 , dan Cikembar 84.85 cmol + kg -1 . Kristal zeolit adalah paling efektif sebagai penukar kation. KTK Zeolit 100 cmol + kg -1 mampu menyerap air, mengadsorpsi NH 4 + dan K + , sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Prihatini et al ., 1987 melaporkan bahwa Zeolit sebagai pembenah tanah dengan takaran  1.000 ppm atau  2 tonha dapat meningkatkan KTK tanah mineral masam. Manfaat dan permasalahan Kandungan C-organik tanah yang cenderung terus menurun yang diikuti dengan penurunan kualitas lahan. Kualitas lahan sawah yang sudah menurun dapat diperbaiki dengan pemberian pembenah tanah, pupuk organik dan anorganik, sehingga produksi gabah dapat ditingkatkan. Zeolit sebagai pembenah tanah adalah mineral dari senyawa aluminosilikat terhidrasi dengan struktur berongga dan mengandung kation- kation alkali yang dapat dipertukarkan yang diberikan ke dalam tanah dengan jumlah relatif banyak dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga produksi pertanian dapat ditingkatkan Pond dan Mumpton, 1984; Torii et al ., 1979; Townsend, 1979; Suwardi dan Goto, 1996; Simanjutak, 2002; Suwardi, 2007; Yamagata. 1967. Sifat khas dari Zeolit sebagai mineral yang berstruktur tiga demensi, bermuatan negatif, dan memiliki pori-pori yang terisi ion-ion: K, Na, Ca, Mg dan molekul H 2 O, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran ion dan pelepasan air secara bolak-balik. Pupuk Urea dan KCl yang diberikan ke tanah yang sebelumnya sudah diberi zeolit, maka kation NH 4 + -Urea dan kation K + -KCl dapat terperangkap sementara dalam pori-pori zeolit yang sewaktu-waktu dilepaskan secara perlahan-lahan untuk diserap tanaman. Zeolit mempunyai kerangka terbuka dengan jaringan pori-pori yang mempunyai permukaan bermuatan negatif dapat mencegah pencucian unsur hara NH 4 + -Urea dan kation K + -KCl keluar dari daerah perakaran. Zeolit berperanan untuk menahan sementara unsur hara di daerah perakaran, sehingga pupuk Urea dan KCl yang diberikan lebih efisien. Jika takaran pupuk yang diberikan sesuai anjuran maka residu pupuk berakhir lebih lama dengan peningkatan hasil yang lebih tinggi. Pembenah tanah baik dalam bentuk organik maupun mineral dapat diaplikasikan tidak hanya pada tanah kering, tetapi juga pada tanah sawah. Menurut Wade et al ., 1986, pembenah tanah kapur pertanian tidak perlu diberikan apabila kejenuhan Al dalam tanah:  40 jagung, dan  20 kedelai, dan  60 untuk padi sawah, sebab penggenangan sudah merupakan self-liming effect , kecuali jika Mg-dd 0.5 cmol + kg -1 dan kejenuhan Mg terhadap KTK efektif 5 maka Dolomit dapat diberikan untuk tanaman pangan. Sedangkan Zeolit dapat digunakan pada tanah-tanah dengan KTK sangat rendah 0.5 cmol + kg -1 seperti pada tanah-tanah Regosol atau Inceptisols yang belum berkembang bertekstur pasir; Podsolik Merah Kuning atau UltisolsOxisols; dan Latosol Coklat atau InceptisolsUltisols Simanjuntak, 2002. Sebaliknya Zeolit tidak dianjurkan pemberiannya pada jenis tanah yang mempunyai mineral liat alofan, sebab tidak dapat meningkatkan 277 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 KTK tanah Suwardi, 1997. Masalah utama yang ditemukan pada tanah mineral masam di Indonesia adalah rendahnya kesuburan tanah serta tingginya kandungan Al dapat ditukar Al-dd, ternyata dapat diperbaiki dengan pemberian Zeolit. Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam pemanfaatan zeolit sebagai bahan pembenah tanah adalah kualitas zeolit yang beredar di pasaran kualitasnya sangat beragam, dan sulit bagi pengguna untuk membedakan mana zeolit yang mempunyai KTK tinggi dan mana yang tidak. Masalah harga juga seringkali menjadi hambatan untuk memanfaatkan bahan ini pada level petani. Aplikasi pembenah tanah tidak sulit, tetapi karena jumlah yang diberikan dapat mencapai 500 – 1.000 kgha, sehingga membutuhkan tambahan biaya untuk tenaga kerja. Meskipun tambahan tenaga kerja yang banyak diikuti dengan peningkatan biaya tenaga kerja, tetapi peningkatan biaya produksi dapat ditutup dengan peningkatan produksi. Kendala eksternal ketersediaan bahan pembenah terutama Zeolit, sulit diperoleh di kios-kios saprodi pertanian, hal ini disebabkan maju dan mundurnya bisnis pembenah tanah sangat ditentukan oleh dampak positif dari penggunaan pembenah tanah. Jika pembenah tanah berdampak positif terhadap peningkatan hasil, maka petani dipastikan akan membeli pembenah tanah. Namun dengan semakin ramainya bisnis pembenah tanah terutama kaptanDolomit dan Zeolit, yang diikuti dengan maraknya penjualan pembenah tanah palsu, sehingga produksi tanaman menurun dan petani selalu dirugikan. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penggunaan pembenah tanah bermanfaat untuk meningkatkan produksi tanaman padi sekitar 10- 30, juga meningkatkan kesuburan tanah dan meningkatkan efisiensi serapan hara pupuk anorganik. 2. Penggunaan pembenah meningkatkan produksi GKP dan tongkol jagung, hal ini disebabkan tanah sawah didominasi mineral 1:1 tipe kaolinit yang dicirikan antara lain: pH + 4.50 masam, KTK + 5 cmol + kg -1 rendah, Mg dapat ditukar 0.18 cmol + kg -1 sangat rendah, kejenuhan Mg 5 3. Kebijakan nasional ke depan adalah menyusun strategi ”revitalisasi pembenah tanah” antara lain: i pengawalan teknologi pembenah tanah tentang uji mutu dan uji efektivitasnya, serta pengawasan kualitasnya yang beredar di pasar hendaknya dilakukan secara berkelanjutan, ii penyuluhan inovasi teknologi pembenah tanah dengan cara melakukan demonstrasi plot, sehingga petani cepat memahami perananan pembenah tanah terhadap peningkatan produksi. 4. Rekomendasi pembenah tanah untuk berbagai tipologi lahan dan komoditas belum banyak dilakukan, maka perlu dilakukan penelitian terhadap teknik blending yakni pencampuran Zeolit dengan pupuk Urea untuk menentukan nisbah N dengan Zeolit yang paling baik; DAFTAR PUSTAKA Al-Jabri, M. dan Ishak Juarsa. 2007. Produktivitas tanaman padi sawah pada tanah mineral masam di Lampung Timur. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional HITI, Buku 1, halaman 301-309, 5-7 Desember 2007, UPN “VETERAN” YOGYAKARTA Astiana, S. 1993. Perilaku mineral Zeolit dan pengaruhnya terhadap perkembangan Tanah. Program Pascasarjana. IPB. Christenson, D.R., and E. C. Doll. 1973. Release of magnesium from soil clay and silt fractions during cropping. Soil Sci. 116:59-63. Fuji, Shigeharu. 1974. Heavy metal adsorption by pulverized Zeolites: Japan. Kokai 74,079, 849, Aug. 1, 1974, 2 pp. Gupta, V. V. S. R. 1993. The impacts of soil fauna and crop management practices on the dynamics of soil microfauna and mesofauna. P 107-124 In C. E. Pankhurst, B. M. Doube, V. V. S. R.. Gupta, and P. R. Grace Eds.. Soil Biota: Management in Sustainable Farming System. CSIRO. Press, Melbourne, Australia. Husaini. 2007. Karakteristik dan deposit pembenah tanah Zeolit di Indonesia. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Bandung. Dipresentasikan pada Semiloka Pembenah Tanah Menghemat Pupuk, Mendukung Peningkatan Produksi Beras, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Deptan. Bekerjasama dengan konsorsium Pembenah Tanah Indonesia pada 5 April 2007 di Jakarta. Tidak dipublikasian. Jolid, N. Dan Herwan. 1987. Pengaruh pemupukan NPK, kapur, bahan organik, dan hara mikro terhadap padi sawah bukaan baru. Laporan Hasil Penelitian tahun 19871988. Tidak dipublikasikan. Melsted, S. W. 1953. Some observed calcium deficiencies in corn under field condition. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 17:52-54. 278 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Pankhurst, C. E. and J. M. Lynch. 1993. The role of soil biota in sustainable agriculture. P 3-9 In C. E. Pankhurst, B. M. Doube, V. V. S. R. Gupta, and P. R. Grace Eds.. Soil Biota: Management in Sustainable Farming System. CSIRO. Press, Melbourne, Australia. Pond, W. G., and F. A. Mumpton Ed. 1984. Zeo- agriculture: Use natural Zeolites in agriculture and aquaculture. International Committee on Natural Zeolite, Westview Press, Boulder, CO. Power, J. F., dan R. I. Papendick. 1985. Sumber- sumber organik hara. Dalam Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Edisi Ketiga. Penerjemah D. H. Goenadi. Gadjah Mada University Press. Prakoso, T. G. 2006. Studi slow release SRF: Uji efisiensi formula pupuk tersedia lambat campuran urea dengan Zeolit. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. IPB. Prihatini, T, S. Moersidi, dan A. Hamid. 1987. Pengaruh Zeolit terhadap sifat tanah dan hasil tanaman. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. No. 7: 5-8. Pusat Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Statistik Sumberdaya LahanTanah Indonesia. Pusat Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Simanjuntak, M. 2002. Penggunaan Zeolit dalam bidang pertanian. Program Studi Ilmu Tanah S-1. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Suriadikarta, D. A., W. Hartatik, dan G. Syamsidi. 2003. Penerapan pengelolaan hara terpadu pada lahan sawah irigasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional PERHIMPI. Biotrop, 9- 10 September 2003. Suwardi and Goto, I. 1996. Utilization of Indonesian Natural Zeolite in Agriculture. Proceedings of the International Seminar on Development of Agribusiness and Its Impact on Agricultural Production in South East Asia DABIA, November 11-16, 1996 at Tokyo. Suwardi. 1997. Studies on agricultural utilization of natural Zeolites in Indonesia. Ph. D. Dissertation. Tokyo University of Agriculture. Suwardi. 2007. Pemanfaatan Zeolit untuk Perbaikan Sifat-sifat Tanah dan Peningkatan Produksi Pertanian. Disampaikan pada Semiloka Pembenah Tanah Menghemat Pupuk Mendukung Peningkatan Produksi Beras, di Departemen Pertanian, Jakarta 5 April 2007. Tidak dipublikasikan. Tan, K. H. 1993. Environmental Soil Science. Marcel Dekker. Inc. New York. Tate, R. L. 1987. Soil Organic Matter. Biological and Ecological Effects. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley Sons. New York. Chichester. Brisbane. Toronto Torii, K. M., M. Hotta, and M. Asaka. 1979. Quantitative Estimation of Mordenite and Clinoptilolite In Sedimentary Rock II. Journal Japan Association Mineral Economic Geology 74 8. Townsend, R. P. 1979. The properties and application of Zeolites. The Proceeding of A Conference Organized Jointly by the Inorganic Cehemicals Group of the Chemical Society and the Chemical Industry. The City University, London, April 18 th – 20 th . Tsutsuki, K. 1983. Anaerobic decomposition of organic matter in submerged soils. A terminal report submitted to the International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Wade, M. K., M. Al-Jabri, and M. Sudjadi. 1986. The effect of liming on soybean yield and soil acidity parameters of three red yellow podzolic soils of West Sumatera. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. 6:1-8. Pusat Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Watanabe, I. 1984. Anaerobic decomposition of organic matter in flooded rice soils. Page 237-258 in Organic matter and rice. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Yamagata. 1967. Effect of Zeolite as soil conditioners: Internal Report of Agricultural Improvement Section, Yamagata Prefectural Government. Yamashita, K. 1967. The effects of prolonged application of farmyard manure on the nature of soil organic matter and chemical and physical properties of paddy soils. Bull. Kyushu Agric. Exp. Stn. 23: 11-156. 279 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. 269 p. 280 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Analisis Finansial Agribisnis Terpadu Serei Wangi, Sawi dan Sapi Potong Financial Analysis of Agribusiness Integration of Citronella, Collards and Beef Cattle Hermanto 1 , Nugrahapsari, RA 2 1 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jl. Tentara Pelajar No 3, Bogor 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jl. Ragunan No 29A, Jakarta Keyword A B S T R A C T citronella collards beef cattle feasibility study The aim of this study was to analyze the feasibility of intercropping citronella and collards, and to analyze the feasibility of beef cattle fattening and citronella distillation. The research was conducted on May 2015. The research used feasibility study methods with investment criteria including Net P resent Value NPV, Benefit Cost Ratio BCR, Internal Rate of Return IRR, dan Payback Period. The results showed that intercropping citronella and collards feasible to be implemented on discount factor 14 . The results showed that values being obtained for NPV was 159,04 millionha, BCR was 2,04, IRR was 30, and payback period was 10 month 2 day. The results showed that beef cattle fattening and citronella distillation feasible to be implemented on discount factor 14 . The results showed that values being obtained for NPV was 5,50 billion, BCR was 1,30, IRR was 72, and payback period was 22 month 7 day. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N serai wangi sapi sawi kelayakan studi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha tumpang sari sawi dan serai wangi, serta kelayakan usaha penyulingan minyak serai wangi dan penggemukan sapi.Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2015. Metode análisis yang digunakan adalah análisis kelayakan dengan kriteria investasi meliputi Net Present Value NPV, Benefit Cost Ratio BCR, Internal Rate of Return IRR, dan Payback Period. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha tumpangsari sawi dan serai wangi yang dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun layak untuk diusahakan. Pada tingkat discount factor 14 dihasilkan NPV sebesar Rp.159,04 juta per ha, BCR sebesar 2,04, IRR 30, dan payback period 10 bulan 2 hari. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa usaha penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi potong yang dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun layak untuk diusahakan. Pada tingkat discount factor 14 dihasilkan NPV sebesar 5,50 Milyar, BCR sebesar 1,30, IRR 72, dan payback period 22 bulan 7 hari © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 email address: 1 hermantodjunedyahoo.com, 2 nugra_hapsariyahoo.co.id 281 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Serai wangi merupakan salah satu jenis tanaman minyak atsiri yang dikenal dengan nama Citronella Oil. Hasil penyulingan dari komoditas ini adalah minyak serai wangi yang merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Sebagai salah satu komoditas lokal Indonesia, pengembangan agribisnis minyak atsiri diharapkan akan berkontribusi besar dalam meningkatkan pendapatan petani dan pembukaan lapangan kerja. Feriyanto et al 2013 menjelaskan bahwa kebutuhan minyak atsiri dunia akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya industri modern seperti parfum, kosmetik, makanan, aroma terapi dan obat obatan. Namun pengembangan agribisnis minyak atsiri ini menghadapi berbagai permasalahan yang mencakup pengadaan bahan baku, respon petani, penanganan pasca panen, proses produksi, tataniaga, teknologi pengolahan dan peralatan penyulingan Damanik, 2007. Oleh karena itu diperlukan model agribisnis minyak serai wangi yang menguntungkan sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk berinvestasi pada pengembangan komoditas ini. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menerapkan sistem pertanian terpadu yang mengintegrasikan antara ternak dan tanaman. Sistem pertanian terpadu telah diterapkan di Kabupaten Bandung yang merupakan lokasi penelitian dilakukan. Model agribisnis ini merupakan perpaduan antara budidaya serai wangi dan sawi secara tumpangsari yang terintegrasi dengan agribisnis penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi potong. Usaha penggemukan sapi potong merupakan usaha dengan prospek menjanjikan, mengingat kebutuhan sapi di dalam negeri masih belum mampu dicukupi oleh peternak di Indonesia. Permasalahan ini disebabkan oleh populasi dan produksi yang masih rendah Sugeng, 2007. Sementara sawi merupakan jenis sayuran yang memiliki nilai komersial cukup baik, memiliki konsumen yang terdistribusi merata mulai dari konsumen menengah ke bawah hingga kelas atas, budidaya nya cukup sederhana dan menjanjikan keuntungan yang baik Haryanto et al, 2007. Perpaduan dari ketiga komoditas tersebut diharapkan dapat menciptakan sistem pertanian berorientasi zero waste farming yang menguntungkan dan menciptakan insentif berproduksi bagi petani. Hal ini sangat penting mengingat Indonesia akan menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asia MEA, yaitu suatu model integrasi ekonomi di kawasan ASEAN melalui pembentukan pasar tunggal dan basis produksi bersama dengan tujuan untuk membangun kawasan ekonomi yang kompetitif, adil dan terintegrasi dalam ekonomi global Austria 2011 dan Chia 2013. Dengan disepakatinya MEA blueprint , maka Indonesia harus bersiap menghadapi liberalisasi perdagangan baik antar negara ASEAN maupun negara di luar ASEAN. Keterbukaan aliran modal, barang, jasa, investasi dan tenaga kerja memberikan tantangan bagi Indonesia untuk berproduksi secara efisien dan kompetitif, salah satunya dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal. Kebijakan di sektor pertanian Indonesia harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan harapan dapat menarik minat masyarakat luas untuk memanfaatkan potensi sumberdaya lokal melalui investasi di sektor pertanian. Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan, yaitu mengetahui sejauh mana sistem pertanian terpadu sereh wangi, sawi dan sapi potong memberikan keuntungan bagi para pelaku yang terlibat. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelayakan finansial integrasi agribisnis sereh wangi, sawi hijau dan sapi potong di Kabupaten Bandung. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja purposive . Pertimbangan yang digunakan adalah lokasi penelitian merupakan salah satu contoh agribisnis terpadu antara tanaman dan ternak dengan sistem plasma. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dan observasi langsung, serta wawancara menggunakan kuisioner. Data yang dikumpulkan merupakan data primer yaitu data biaya tetap, biaya variabel dan data produksi. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kauntitatif. Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kelayakan investasi. 282 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis dilakukan pada tingkat suku bunga 14 persen. Tingkat suku tersebut merupakan tingkat suku bunga pinjaman rata-rata Bank Umum yang didekati selama penelitian dilaksanakan Mei 2015. 2. Evaluasi kelayakan usaha pada penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu sepuluh tahun sesuai dengan umur investasi terbesar dalam usaha penyulingan serai wangi yaitu alat penyulingan. 3. Analisis finansial akan dibedakan berdasarkan dua tipe pengusahaan yaitu dari sisi petani tumpangsari serai wangi dan sawi dan dari sisi pabrik penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi. 4. Tumpangsari serai wangi dan sawi memiliki proporsi 23 serai wangi dan 13 sawi. 5. Petani serai wangi merupakan petani plasma yang mendapatkan pinjaman modal untuk pengolahan tanah, pupuk kandang, pupuk buatan NPK dan bibit. Pinjaman tersebut akan dibayarkan pada saat panen sesuai dengan harga pasar. 6. Petani plasma wajib menyetorkan hasil panen kepada pabrik penyulingan minyak dengan membayar biaya penyulingan. Penerimaan dari penjualan minyak serai wangi yang telah dikurangi dengan pembayaran pinjaman dan biaya menyulingan menjadi penerimaan bersih petani dan pabrik dengan sistem bagi hasil 60 untuk petani dan 40 untuk pabrik. 7. Pabrik penyulingan minyak tidak memiliki lahan sendiri, sehingga bahan terna serai wangi didapatkan dari petani plasma dan petani lain di daerah sekitar. Pabrik menerima penyulingan serai wangi dari petani plasma dan petani lain, serta pembelian bahan terna serai wangi dari petani sekitar. Jika petani menjual bahan terna serai wangi kepada pabrik artinya hasil minyak menjadi milik pabrik, sedangkan jika petani membayar biaya penyulingan artinya minyak menjadi milik petani. Untuk mengetahui kelayakan usaha dilakukan perhitungan metode discounted cashflow arus kas terdiskonto yang meliputi net present value NPV, benefit cost ratio BCR, internal rate of return IRR dan payback period. Net Present Value NPV, yaitu present value arus manfaat dengan present value arus biaya. Rumus yang digunakan dalam perhitungan NPV adalah sebagai berikut:        n t t t t i C B NPV 1 1 Dimana: B t = Penerimaan Benefit pada tahun ke-t i = Discout Rate C t = Biaya Cost pada tahun ke-t n = Umur proyek tahun Internal Rate of Return IRR, yaitu nilai discount rate social yang membuat NPV proyek sama dengan nol, dapat dinyatakan dengan rumus:   1 2 2 1 1 i i X NPV NPV NPV i IRR t     Dimana: i 1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif i 2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif NPV 1 = NPV yang bernilai positif NPV 2 = NPV yang bernilai negative Benefit-Cost Ratio BCR, yaitu angka perbandingan antara jumlah present value yang positif dengan jumlah present value yang negatif, dapat dinyatakan dengan rumus:          n i t t t n t i t i C i B BCR 1 1 Tingkat pengembalian investasi payback period merupakan m etode ini mengukur lamanya waktu yang harus dialami sebelum suatu investasi menghasilkan sejumlah modal yang ditanam. Rumus metode ini adalah sebagai berikut: 283 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 I V P  Dimana: P = Jumlah waktu tahun atau periode yang diperlukan untuk mengembalikan modal investasi V = Jumlah modal investasi I = Hasil bersih per tahunperiode atau hasil bersih rata-rata per tahunperiode HASIL DAN PEMBAHASAN Outflow dan Inflow Tumpangsari Sawi dan Serai Wangi Biaya yang dikeluarkan oleh petani yaitu biaya investasi dan biaya produksi. Investasi yang dikeluarkan petani yaitu pembelian sprayer Rp 500.000 berumur 5 tahun, sehingga pada tahun keenam dikeluarkan biaya reinvestasi pada peralatan tersebut. Pada awal budidaya, petani mengeluarkan biaya pengolahan tanah untuk usahatani sawi sebesar Rp 500.000 per ha, sedangkan pada usahatani serai wangi biaya awal yang dikeluarkan petani adalah sebesar Rp 12.500.000 per ha, yang terdiri dari upah tenaga kerja untuk persiapan penanaman sebesar Rp 6.500.000 per ha dan biaya bibit sebesar Rp 6.000.000 per ha. Kegiatan persiapan penanaman terdiri dari kegiatan pengolahan tanah, garit lubang, pemupukan dasar, penanaman, memupuk dasar dan penyiangan. Tanaman serai wangi memiliki umur lima tahun, sehingga pada awal tahun keenam biaya tersebut akan kembali dikeluarkan. Biaya operasional usahatani sawi pada setiap musim tanam terdiri dari biaya pembelian bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya tak terduga. Bahan yang diperlukan antara lain pupuk urea, SP36, KCL. Sedangkan upah tenaga kerja dikeluarkan pada kegiatan persemaian, penanaman, penyiangan dan pemupukan, penyemprotan dan penyiraman, panen Tabel 1. Biaya operasional usahatani serai wangi terdiri dari biaya pembelian pupuk kandang sebesar Rp 450.000 dan pupuk buatan sebesar Rp 520.000. Biaya panen dan upah penyulingan besarnya akan bervariasi tergantung dari hasil panen dan rendemen, dimana hasil panen pada tahun pertama berbeda dengan hasil panen pada tahun kedua hingga kelima. Dalam penelitian ini besarnya rendemen adalah 6 persen. Tabel 1. Biaya Operasional Usahatani Sawi Per Musim Tanam No Biaya Operasional Jumlah Biaya RpPer Ha 1 Bahan - Urea 465.000 - SP36 800.000 - KCL 937.500 2 Upah - Pengolahan tanah 500.000 - Persemaian 50.000 - Penanaman 240.000 - Penyiangan dan pemupukan 180.000 - Penyemprotan dan penyiraman 90.000 - Panen 90.000 3 Biaya tak terduga 250.000 3.102.500 Penerimaan usaha budidaya serai wangi berasal dari keuntungan penyulingan minyak serai wangi dengan pembagian keuntungan untuk pabrik 40 dan petani 60. Panen pertama pada umur 6 bulan sebanyak 1.000 Kgha, umur 9 bulan sebanyak 1.000 KgHa, umur 12 bulan sebanyak 1.500 KgHa, selanjutnya tanaman serai wangi panen setiap tiga bulan sekali dengan jumlah produksi 2.000 KgHa hingga tahun kelima. Rendemen tanaman serai wangi sebesar 6 dengan harga jual Rp 170.000Kg. Penerimaan usaha budidaya sawi berasal dari penjualan sawi sebanyak Rp 14.000 Kg per musim tanam dengan harga jual Rp 1.100Kg. Dalam setahun terdapat dua kali musim tanam Analisis Finansial Tumpangsari Sawi dan Serai Wangi Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial dapat dilihat bahwa usaha tumpangsari sawi dan serai wangi memiliki NPV sebesar 159,04 juta rupiah per ha yang menunjukkan bahwa nilai sekarang present value dari pendapatan yang diterima bernilai positif sebesar 159,04 juta rupiah per ha selama sepuluh tahun pada tingkat discount rate 14 persen. Nilai BCR sebesar 2,04 menunjukkan bahwa usaha tumpangsari sawi dan serai wangi layak untuk dijalankan karena petani mendapatkan keuntungan dari usaha tersebut. Selain itu diperoleh nilai IRR sebesar 30 persen 284 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 yang menunjukkan bahwa kemampuan proyek untuk mengembalikan modal yang digunakan lebih besar dari tingkat discount rate yang digunakan. Sementara payback period yang didapatkan yaitu sebesar 0,84 yang artinya usaha tumpangsari sawi dan serai wangi mampu untuk mengembalikan modal investasi pada saat proyek berumur 10 bulan 2 hari. Dari keempat kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa secara finansial usaha tumpangsari sawi dan serai wangi yang dilakukan oleh petani layak untuk dilaksanakan. Inflow dan Outflow Penyulingan Serai Wangi dan Penggemukan Sapi Biaya yang dikeluarkan oleh pabrik yaitu biaya investasi dan biaya produksi. Investasi yang dikeluarkan pabrik untuk usaha penggemukan sapi meliputi pembelian kandang untuk 40 ekor sapi dengan harga Rp 800.000 per kandang. Kandang sapi ini memiliki umur 10 tahun. Biaya investasi lainnya yaitu pembelian mesin pencampur konsentrat senilai Rp 64 juta berumur 10 tahun, mesin pencacah hijauan pakan ternak senilai Rp 20 juta berumur 4 tahun, dan peralatan kandang senilai Rp 3 juta berumur 3 tahun. Bakalan sapi yang dibeli oleh petani sebanyak 40 ekor per siklus 4 bulan dengan bobot Rp 400 kgekor dan harga Rp 50.000 per Kg. Investasi yang dikeluarkan pabrik untuk usaha penyulingan serai wangi meliputi pembangunan tempat produksi senilai Rp 50 juta berumur 10 tahun, pembelian mesin dan peralatan suling senilai Rp 60 juta berumur 10 tahun, dan pembelian perlengkapan pabrik senilai Rp 30 juta berumur 4 tahun. Biaya operasional usaha penggemukan sapi per siklus terdiri dari pembelian hijauan pakan ternak senilai Rp 9,6 juta, konsentrat senilai 100,8 juta, obat obatan senilai 4 juta, tenaga kerja dan keamanan senilai Rp 16 juta, listrik senilai 1,2 juta, biaya lain lain senilai Rp 1 juta, dan biaya transportasi penjualan senilai Rp 6 juta. usahatani sawi pada setiap musim tanam terdiri dari biaya pembelian bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya tak terduga. Bahan yang diperlukan antara lain pupuk urea, SP36, KCL. Biaya operasional usahatani penyulingan serai wangi per tahun terdiri dari pembayaran gaji karyawan senilai Rp 72 juta dan biaya untuk memberikan modal kepada petani plasma sebesar Rp 13.470.000 per ha. Bantuan modal tersebut digunakan untuk membiayai pengolahan tanah dan pembelian bibit sebasar Rp 12,5 jutaha pada awal tahun pertama dan awal tahun keenam. Bantuan modal lainnya yaitu sebesar Rp 970.000ha digunakan untuk pengeluaran yang bersifat rutin yaitu pembelian pupuk kandang dan pupuk buatan NPK senilai Rp 970.000ha. Bantuan modal tersebut mengikat petani untuk menyulingkan serai wangi ke pabrik tersebut. Hasil penjualan serai wangi petani akan dipotong untuk membayar pinjaman dan biaya penyulingan. Penerimaan usaha budidaya serai wangi berasal dari keuntungan penyulingan minyak serai wangi dikurangi dengan pembayaran pinjaman dan biaya penyulingan. Penerimaan bersih dari penjualan minyak serai wangi akan dibagi 40 untuk pabrik dan 60 untuk petani. Analisis Finansial Penyulingan Serai Wangi dan Penggemukan Sapi Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial dapat dilihat bahwa usaha penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi potong memiliki NPV sebesar 5,50 Milyar yang menunjukkan bahwa nilai sekarang present value dari pendapatan yang diterima bernilai positif sebesar 5,50 Milyar selama sepuluh tahun pada tingkat discount rate 14 persen. Nilai BCR sebesar 1,30 menunjukkan bahwa usaha penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi layak untuk dijalankan karena petani mendapatkan keuntungan dari usaha tersebut. Selain itu diperoleh nilai IRR sebesar 72 persen yang menunjukkan bahwa kemampuan proyek untuk mengembalikan modal yang digunakan lebih besar dari tingkat discount rate yang digunakan. Sementara payback period yang didapatkan yaitu sebesar 1,85 yang artinya usaha penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi mampu untuk mengembalikan modal investasi pada saat proyek berumur 22 bulan 7 hari. Dari keempat kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa secara finansial usaha penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi yang dilakukan oleh petani layak untuk dilaksanakan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha tumpangsari sawi dan serai wangi yang dilakukan dalam jangka 285 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 waktu 10 tahun layak untuk diusahakan. Pada tingkat discount factor 14 dihasilkan NPV sebesar 159,04 juta per ha, BCR sebesar 2,04, IRR 30, dan payback period 10 bulan 2 hari. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa usaha penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi potong yang dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun layak untuk diusahakan. Pada tingkat discount factor 14 dihasilkan NPV sebesar 5,50 Milyar, BCR sebesar 1,30, IRR 72, dan payback period 22 bulan 7 hari. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada pabrik untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah serai wangi dan sawi untuk pakan ternak sapi. Pabrik juga disarankan umemperluas petani plasma untuk menjamin kepastian pasokan, sehingga idle capacity dapat diminimalkan. DAFTAR PUSTAKA Austria, MS. 2011. “ Moving Towards an ASEAN Economic Community ”. Filipina: Springer Science+Business Media, East Asia 2012 29, Hlm.141 –156. Chia, SY. 2013. ASEAN Economic Community: Progress, Challenges, and Prospects . Jepang: Asian Development Bank Institute. Damanik, S. 2007. Analisis Ekonomi Usahatani Serai Wangi Studi Kasus Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Selatan. Bul. Littro . XVIII2. 203-221. Feriyanto, YE, PJ. Sipahutar, Mahfud, P. Prihatini. 2013. Pengambilan Minyak Atsiri dari Daun dan Batang Serai Wangi Cymbopogan winterianus Menggunakan Metode Distilasi Uap dan Air dengan Pemanasan Microwave. Jurnal Teknik Pomits . 21. 93-97. Haryanto, E, T. Suhartini, E. Rahayu, H. Sunarjono. 2007. Sawi dan Selada . Penebar Swadaya. Jakarta. Sugeng, YB. 2007. Beternak Sapi Potong . Penebar Swadaya. Jakarta. 286 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Pemetaan Peluang Pasar dari Penelitian Botani LIPI: Pendekatan Consumer Insight Mapping of Market Opportunities of LIPI’s Botanical Researches: A Consumer Insight Approach Diah Anggraeni Jatraningrum, Ragil Yoga Edi Pusat Inovasi LIPI, Gedung Inovasi LIPI Jl. Raya Jakarta -Bogor KM 47 Cibinong, Kab. Bogor, 16912 Keyword A B S T R A C T botanical research botanical market consumer insight quadrant analysis Attention to external conditions of RD institution by using patent data mining is one of the methods to review their position. In rapid changes of world, this study should be extended to consumer insight, which is output of the consumer research. Usually, consumer insight is used by fast moving consumer goods industries to attract customers in the open market as much as possible through products that have been produced. Botanical research outcomes are very closely associated with fast moving consumer goods. In the market, botanical products are known as food supplements or herbals to support health and fitness. From 2002 to 2014, LIPI as a government research institute, has collected 44 researches related to the botanical research topics that have been registered for patent by Center for Innovation, LIPI to the Directorate General of Intellectual Property. The outcome of LIPI’s botanical researches are similar with occurred in the market. Mapping studies for botanical researches in LIPI analyzed by using ‘quadrant analysis’ for condition specific opportunities which is consumer concern and perceived effectiveness in botanical market. The primary opportunity comes from the conditions wherein the effectiveness available supplement is ‘not very’ but the consumer concern abou t their health condition is ‘high’, and 19 outcome from botanical researches in LIPI is part of this area. Secondary, tertiary and quaternary opportunity from botanical researches in LIPI outcome to botanical market successively are 25, 31 and 25. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N penelitian botani pasar produk botani consumer insight quadrant analysis Memperhatikan kondisi eksternal dari institusi RD dengan menggunakan patent data mining merupakan salah satu metode untuk melihat posisi institusi tersebut. Dengan perubahan dunia yang sangat cepat, metode ini harus diperluas sampai consumer insight , yang merupakan hasil kegiatan riset konsumen. Biasanya, consumer insight ini digunakan oleh industri fast moving consumer goods untuk menarik konsumen di pasar terbuka sebanyak mungkin melalui produk yang dihasilkan. Hasil penelitian terkait botani sangat erat berhubungan dengan fast moving consumer goods . Di pasar, produk-produk botani dikenal sebagai suplemen makanan atau herbal untuk mendukung kesehatan dan kebugaran. Dari tahun 2002 sampai dengan 2014, LIPI sebagai lembaga penelitian pemerintah, telah mengumpulkan 44 penelitian yang berhubungan dengan topik botani yang telah didaftarkan paten oleh Pusat Inovasi LIPI ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Hasil penelitian LIPI di bidang botani tersebut sama seperti yang terjadi di pasar. Pemetaan untuk penelitian botani di LIPI dianalisis menggunakan ‘quadrant analysis’ untuk kondisi peluang khusus dari consumer concern dan perceived effectiveness di pasar produk botani. Peluang yang paling utama berasal dari kondisi di mana ketersediaan barangnya di pasar terbatas tetapi tingkat perhatian dari konsumen mengenai kondisi kesehatan mereka tinggi, dan 19 hasil dari penelitian botani di LIPI adalah bagian dari area ini. Untuk peluang-peluang sekunder, tersier dan kuarter dari penelitian botani di LIPI berturut-turut adalah 25, 31 dan 25. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. E-mail address: diah.anggraeni.jatraningrumlipi.go.id 287 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Selama beberapa dekade sebelumnya, kegiatan penelitian dan pengembangan research development – RD identik dengan orientasi penelitian yang berbasis kapasitas internal inward looking dari lembaga litbang tersebut. Kondisi ini hampir terjadi pada semua RD di perusahaan- perusahaan dan entitas komersial lainnya, lembaga- lembaga litbang milik pemerintah, baik militer maupun sispil, perguruan tinggi dan sebagainya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir focus perhatian pada factor eksternal RD outward looking menjadi begitu signifikan, terutama dalam hubungannya dengan kebutuhan pasar market , daya saing competitiveness dan tingkat keunggulan advantageous , yang kemudian lebih dikenal dengan competitive technical intelligent – CTI. Perusahaan-perusahaan komersial, lembaga- lembaga pemerintah, lembaga-lembaga militer dan pertahanan maupun masyarakat memiliki kebutuhan untuk mengetahui teknologi dari pesaing utama mereka dalam mengejar competitive technical intelligent – CTI tersebut. Mengingat bahwa meningkatnya hak kekayaan intelektual HKI menjadi salah satu indikator kemajuan teknologi, maka analisis HKI, khususnya paten, menjadi sangat penting untuk mengetahui perkembangan teknologi yang sedang terjadi di dunia sebelum satu organisasi melakukan investasi untuk RD Porter dan Newman, 2011. Membuat keputusan dalam mengambil topik penelitian dalam kondisi dunia yang cepat berubah merupakan suatu perpaduan antara seni dan ilmu. Untuk memberikan konteks, wawasan, dan inspirasi untuk pengambilan keputusan penelitian, RD penguasaan informasi yang komprehensif dan mutakhir tentang kondisi makro, serta tentang efek mikro ke dalam internal organisasi, khususnya untuk penelitian yang akan diputuskan tersebut pengolahan informasi teknologi memerlukan pendekatan yang memadai. Peneliti yang holistik mengakui bahwa lingkungan makro terus menyajikan peluang dan ancaman baru, dan mereka memahami bagaimana pentingnya untuk terus memantau, meramalkan, dan beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, eksternal RD telah berkembang dan meningkat secara signifikan. Seperti apa yang dilakukan oleh Chesbrough 2003; 2006, dengan mengembangkan sebuah organisasi RD dengan inovasi terbuka - Open Innovation . Inovasi terbuka ini memberikan manfaat dua arah dalam pertukaran kekayaan intelektual untuk meningkatkan inovasi teknologi. Dua arah manfaat bi-directional tersebut adalah ke dalam dan ke luar. Ke dalam, perusahaan mengambil keuntungan dari eksternal RD untuk berinovasi dalam produk dan layanan mereka. Sebaliknya, manfaat ke luar, bekerja secara proaktif untuk mengembangkan lisensi sendiri untuk orang lain berbasis pengetahuan dan penelitian Porter, 2007. Metode ini telah terbukti dalam berbagai proyek- proyek pengembangan produk, terutama produk dari industri untuk pemenuhan kebutuhan konsumen yang biasa disebut fast moving consumer goods - FMCG. Huston dan Sakkab 2006 menggambarkan bagaimana Procter Gamble – PG telah menempatkan eksternal RD ini ke dalam praktek RD sehari-hari untuk menciptakan setidaknya 35 dari berbagai elemen produk mereka sebagai produk inovatif baru. Ini merupakan hasil yang sangat menguntungkan dan mengambil manfaat dari inovasi terbuka Di dalam suatu perusahaan komersial, seseorang yang bekerja sebagai RD maupun pemasaran marketing yang baik, perlu memiliki wawasan insight yang luas untuk membantu mereka menginterpretasikan kinerja masa lalu serta memikirkan rencana kegiatan di masa depan. Untuk membuat kemungkinan keputusan taktis terbaik dalam jangka pendek dan keputusan strategis dalam jangka panjang, mereka membutuhkan informasi yang tepat, akurat, dan dapat ditindaklanjuti. Informasi ini dapat berupa semua wawasan tentang konsumen, persaingan, dan merek mereka di pasar. Menemukan wawasan terhadapat apa yang terjadi pada tingkat konsumen consumer insight dan memahami implikasinya pada strategi pemasaran dapat menghasilkan peluncuran produk yang sukses dan memacu pertumbuhan merek Kotler, 2012. Untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang bermakna dengan mereka, pemasar harus terlebih dahulu mendapatkan informasi yang segar dan aktual, wawasan jauh ke dalam apa yang dibutuhkan dan inginkan oleh pelanggan, di mana dalam bahasa manajemen pemasaran sering dikenal dengan consumer insight tersebut. Perusahaan menggunakan wawasan pelanggan tersebut untuk mengembangkan keunggulan kompetitif. Semua ahli pemasaran akan sepakat, bahwa dalam dunia yang kompetitif seperti sekarang ini, perlombaan untuk keunggulan kompetitif adalah benar-benar sebuah perlombaan untuk pelanggan dan kemampuan dalam memperoleh wawasan dan pasar. Wawasan tersebut berasal dari tenaga pemasaran maupun informasi dari tenaga ahli pemasaran yang benar-benar melakukan survei di tingkat pasar dan konsumen. Data consumer insight biasanya disajikan dalam kuadran analisis grafik untuk menentukan peluang khusus dari berbagai kondisi yang diteliti, terdiri dari perhatian konsumen consumer concern dan efektivitas yang dirasakan perceived effectiveness . Beberapa perusahaan bidang riset pasar market 288 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 research yang melakukan survei langsung ke konsumen untuk memahami apa yang terjadi dengan perhatian konsumen consumen concern dan efektivitas yang dirasakan perceived effectiveness tersebut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI adalah salah satu lembaga RD pemerintah yang menghabiskan jutaan rupiah untuk melakukan penelitian produk-produk botani. Sejak tahun 2002, berdasarkan database paten Pusat Inovasi LIPI, ada 44 penelitian yang diidentifikasi sebagai penelitian botani. Produk-produk botani sangat dekat dengan konsumen sebagai consumer goods . Sebagian besar konsumen menunjukkan informasi yang sangat penting teutama dalam cara bagaimana mereka mempertahankan gaya hidup sehat dan seimbang, yang berasal dari botani atau herbal sebagai suplemen makanan. KERANGKA TEORITIS Berbagai lembaga dan perusahaan yang kegiatan litbangnya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar seringkali memperoleh consumer insight antara lain dengan mengamati perilaku konsumen. Perilaku konsumen consumer behaviour adalah kegiatan mengamati apa yang orang lakukan ketika mendapatkan, mengkonsumsi dan membuang produk dan jasa Blackwell, 2001. Dari sudut pandang penelitian akademis, perilaku konsumen mungkin dianggap sebagai bidang studi yang berkonsentrasi pada kegiatan konsumsi. Di masa lalu studi perilaku konsumen telah difokuskan terutama pada mengapa orang membeli. Baru-baru ini, fokus telah pindah ke menyertakan melihat perilaku konsumsi - dengan kata lain, bagaimana dan mengapa orang mengkonsumsi. Kumpulan perilaku tersebut memberikan consumer insight yang dapat dijadikan peluang bisnis dalam menciptakan produk yang disukai oleh konsumen. Dalam kajian ini, penulis mengambil hasil dari penelitian perilaku konsumen atas penggunaan produk-produk botani, supaya bisa dibandingkan dengan kondisi penelitian botani yang sudah dilakukan pada selang waktu tertentu. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi literatur dan analisis deskriptif. Salah satu analisis deskriptif yang dilakukan adalah menggunakan kuadran grafik untuk membaca peluang dari kondisi tertentu sebagai salah satu cara pemetaan grafis dan teoritis dari RD. Analisis sejauh ini memberikan beberapa hasil awal yang menarik, namun sebagian besar yang bersifat deskriptif. Kami akan menunjukkan bagaimana pemetaan grafis dan teoritis dapat dijabarkan lebih lanjut untuk tujuan analisis lebih lanjut dan estimasi ekonometrik yang dapat memberikan wawasan yang berguna pada topik-topik penelitian botani merujuk kepada wawasan konsumen. Data consumer insight untuk penelitian ini, terutama produk-produk botani, didasarkan pada riset pasar yang telah dilakukan oleh perusahaan riset pasar untuk konsumen untuk perhatian tertentu dan efektivitas produk botani yang dirasakan pada tahun 2011 Natural Marketing Institute, 2011. Meskipun laporan dari consumer insight yang digunakan dalam kajian ini diperuntukkan bagi pasar Amerika Serikat, tetapi dengan mengasumsikan perhatian dan perilaku konsumen dan efektivitas diyakini mengindikasikan tren konsumen yang mirip dengan konsumen di sebagian besar orang di dunia. Kekuatan komunikasi pasar Amerika Serikat memberikan adovokasi dalam penggunaan produk terutama botani dan suplemen makanan. Data consumer insight biasanya disajikan dalam kuadran analisis grafik untuk peluang kondisi tertentu, terdiri dari perhatian konsumen dan efektivitas dirasakan. Beberapa perusahaan riset pasar selalu melakukan survei ke konsumen untuk memahami apa yang terjadi dengan perhatian konsumen dan efektivitas dirasakan tersebut. Jadi, kita akan melihat pemetaan peluang dalam penelitian botani ini berdasarkan perilaku konsumen berdasarkan grafik-teoritis ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Consumer insight adalah salah satu hasil dari riset konsumen yang biasanya digunakan oleh perusahaan industri pembuatan barang-barang kebutuhan masyarakat – fast moving consumer goods FMCG untuk menarik pelanggan di pasar terbuka sebanyak mungkin melalui produk yang telah dibuat. Produk ini kemudian disampaikan kepada konsumen melalui komunikasi pasar. Komunikasi ini dapat secara besar-besaran dan intensif sehingga konsumen akan dengan senang untuk membeli produk tesebut. Consumer insight adalah tren konsumen makro dan berlangsung dalam jangka panjang. Pembuat produk harus mempertahankan keberadaan produk di pasar dan selalu memperlakukan mereka dengan cara yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada konsumen. RD di perusahaan yang membuat produk harus mencari peluang pasar melalui wawasan yang telah dikeluarkan oleh riset pemasaran. Data ini dapat dilakukan oleh perusahaan itu sendiri atau oleh perusahaan survei eksternal yang telah dipercaya keakuratan dan akuntabilitasnya. Seperti halnya dengan fast moving consumer goods , topik penelitian RD milik pemerintahan juga bisa menggunakan data dari consumer insight untuk mengevaluasi kinerja dari penelitian yang telah dicapai. Apakah topik-topik penelitian yang 289 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 dilakukan sama atau mendukung perilaku konsumen dan dengan semua yang terjadi di pasar. RD milik pemerintah semestinya bisa menjadi motor penggerak tren konsumsi dari masyarakat sehingga bisa mengangkat kekuatan sumber daya alam dalam negeri. Dengan mengetahui tren yang sedang berlangsung akan apa yang dibutuhkan oleh konsumen, akan mempertahankan penelitian- penelitian yang sedang berlangsung menjadi sangat inovatif karena memiliki pasar yang besar. Hasil penelitian botani ini sangat erat berhubungan dengan fast moving consumer goods . Di pasar, produk botani lebih dikenal sebagai suplemen makanan atau herbal untuk mendukung kesehatan dan kebugaran. Dari tahun 2002, LIPI sebagai organisasi RD milik pemerintah, telah mengumpulkan 44 penelitian yang berhubungan dengan topik-topik botani yang telah didaftarkan untuk paten oleh Pusat Inovasi LIPI kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kemenkumham RI. Hasil penelitian juga merujuk pada tren yang sama seperti yang terjadi di pasar dalam jangka suplemen makanan dan herbal untuk menunjang kesehatan dan kebugaran. Tabel berikut adalah hasil penelitian di lingkungan LIPI dengan topik botani dari berbagai pusat penelitian dari 2002-2014 yang telah terdaftar paten ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Republik Indonesia. Tabel 1. Penelitian-penelitian Botani LIPI Tahun 2002-2014 No Penelitian Objek Tujuan P2 Tahun 1 Proses Pembuatan Antibiotik Mikroba tanah Antibiotik P2 Kimia 24-Jul- 02 2 Lidah Buaya Celup Lidah buaya Minuman kesehatan UPT BPPTK 7-Sep- 05 3 Bunga Rosela Seduh Rosela Minuman kesehatan UPT BPPTK 27-Jul- 06 4 Biskuit untuk Penyandang Autis Dekstrin garut dan tepung pisang Biskuit untuk penyandang autis Pusbang TTG Subang 5-Sep- 06 Selengkapnya dilanjutkan di bagian akhir tulisan ini Data ini kemudian dilakukan pemetaan berdasarkan hasil riset pasar yang sudah dilakukan pada tempat dan waktu tertentu untuk mendapatkan consumer insight berupa informasi dan tren yang terjadi di pasar berkaitan dengan produk botani. Data consumer insight diambil dari data yang dirilis oleh Natural Marketing Institute pada tahun 2011, yang diterbitkan oleh American Herbal Product Association www.ahpa.org. Untuk keperluan analisis, consumer insight ini sudah dalam bentuk grafik deskriptif dari kuadran analisis consumer perceived yang ada di pasar, yang akan menginformasikan peluang dari masing-masing topik, sebagai gambaran tentang apa yang sedang terjadi di pasar. Gambar 1 adalah analisis kuadran untuk peluang kondisi tertentu: Consumer Concern Perceived Effectiveness . Ada dua hal yang dilakukan pengukuran dan pembobotan, yaitu efektivitas suplemen yang tersedia di pasar dan perhatian konsumen dari kondisi kesehatan mereka. Terdapat empat kuadran dalam matriks, kuadran I, II, III dan IV, di mana dari deskripsi masing-masing deskripsinya, kuadran yang paling disukai adalah kuadran IV. Kuadran IV ini adalah berisikan jenis- jenis kondisi kesehatan dengan tingkat responsif dari konsumen tinggi sementara ketersedian produk- produk botani untuk pemenuhan kebutuhan konsumen akan kondisi tersebut sangat terbatas. Ini menjadi peluang opportunity primer. Karena di sinilah topik-topik penelitian yang akan menghasilkan bisnis baru yang produk-produknya sangat dibutuhkan oleh konsumen. Peluang primer terdiri dari kekhawatiran konsumen tentang kondisi kesehatannya yang terdiri dari: kanker cancer , penurunan daya ingat memory loss , stress stress , depresi depression , serangan jantung heart disease, kelebihan berat badan weight , radang sendi arthritis , dan nyeri sendi joint pain . Kuadran III adalah peluang sekunder, terdiri dari kondisi kesehatan konsumen berupa penuaan kulit aging skin , masalah konsentrasi concentration , aterosklerosis atherosclerosis , kesehatan kulit skin health , gelisah anxiety , masalah penglihatan vision , gangguan tidur sleep disorder , dan peradangan dalam tubuh inflammation in body . Berikutnya, kuadran I dan II diklasifikasikan sebagai daerah yang mempunyai peluang kurang menarik, di mana kuadran I yang paling tidak menarik. Kuadran II dikualifikasikan sebagai peluang tersier dan kuadran I sebagai peluang kuarter. Produk-produk botani di kuadran I dan II sudah banyak beredar di pasar. Artinya sudah banyak pemasoknya, sehingga secara bisnis, persaingan sangat ketat. Sementara konsumen tidak begitu khawatir dengan kondisi kesehatannya. Kuadran II terdiri dari pernernaan digestive , asam lambung acid reflux , demam dan pilek c o ld and flu , tekanan darah tinggi high blood pressure , kolesterol tinggi high cholesterol , letih lesu lack of energy . Sementara kuadran I terdiri dari pencernaan tidak teratur intestinal irregularly , meningkatkan kekebalan tubuh boost immunity, indigestion dan ketidakseimbangan gula darah blood sugar imbalance . 290 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Gambar 1. Kuadran Analisis Produk Botani untuk Peluang Kondisi Tertentu: Consumer Concern Perceived Effectiveness . Ada dua peluang yang mungkin menjadi pasar potensial dalam produk botani, yaitu peluang primer dan peluang sekunder. Peluang primer berasal dari kondisi di mana efektivitas tersedianya suplemen tidak banyak tetapi tingkat perhatian konsumen tentang kondisi kesehatan mereka tinggi. Suplemen disini berarti produk botani di pasar. Konsumen sangat sensitif dengan jenis kondisi yang disebutkan dalam peluang primer, tapi produk di pasar jarang didapatkan. Konsumen respek dengan suatu kondisi kesehatan tertentu dan berupaya untuk menggunakan bahan-bahan alami untuk penyembuhannya. Akan tetapi, pilihan akan produk-produk alami sangat terbatas. Peluang sekunder berasal dari kondisi di mana efektivitas tersedia suplemen ‘sedikit’ tetapi perhatian konsumen tentang kondisi kesehatan mereka juga rendah. Konsumen tidak terlalu banyak sensitif dengan jenis kondisi yang disebutkan dalam peluang primer, tapi produk di pasar jarang terjadi. Namun demikian, ini tetap menjadi peluang dalam penelitian botani, karena memang terbatasnya produk-produk dalam pemenuhan kebutuhan konsumen untuk peluang sekunder ini. Gambar 2 adalah pemetaan penelitian botani LIPI, berdasarkan hasil grafik deskriptif dari kuadran analisis consumer perceived yang ada di pasar. Dari pemetaan, topik penelitian yang paling banyak yang dilakukan oleh LIPI terkait botani berada di kuadran II sebagai peluang tersier. Kuadran II adalah area yang memiliki kompetisi yang tinggi, di mana banyak produk yang tersedia di daerah tersebut. Pada kuadran II ini, kondisi efektivitas tersedianya suplemen banyak tetapi tingkat perhatian konsumen tentang kondisi kesehatan mereka tinggi. Para produsen yang memiliki produk pada kuadran II, mereka akan saling berebut konsumen, berebut pasar, dan berebut brand image . RD perusahaan biasanya bekerja keras untuk menjaga kontinuitas dan sustainabilitas dari produk-produk mereka di pasar. Tidak jarang juga terjadi perang harga price war dari masing-masing perusahaan. Sebenarnya kegiatan penelitian dengan topik kuadran II tidak cocok untuk LIPI sebagai lembaga RD pemerintah. Ini cocok untuk RD perusahaan-perusahaan FMCG yang harus memperjuangkan produknya menang dalam perebutan konsumen. Jika dianalisis kuadran I, yang bisa dikatakan sebagai kuadran dengan peluang terendah, ada beberapa penelitian LIPI yang masuk ke dalam kuadran ini. Kondisi ini harus menjadi umpan balik ke internal peneliti, karena kalau mengembangkan kuadran I sudah bisa dipastikan peluang pasarnya kecil. Semestinya LIPI sudah meninggalkan area ini, karena secara pasar, melakukan penelitian ini sudah pasti tidak ekonomis dan jauh dari inovasi. LIPI akan kalah bersaing dengan industri pembuat produk- produknya langsung. Kuadran I adalah area yang memiliki kompetisi yang tertinggi, di mana banyak produk yang tersedia di daerah tersebut. Sementara jumlah konsumennya terendah. Gambar 2. Pemetaan Penelitian-penelitian Botani LIPI Berdasarkan Kuadran Analisis untuk Peluang Kondisi Tertentu: Consumer Concern Perceived Effectiveness . Sama dengan kuadran II, LIPI memiliki beberapa penelitian di kuadran III yang dikategorikan sebagai peluang sekunder. Topik ini sebenarnya lebih cocok untuk LIPI dibandingkan dengan kuadran II, karena produk-produk yang dikembangkan untuk pemenuhan kebutuhan konsumen masih sangat sedikit. Walaupun tingkat perhatian konsumen ’rendah’, tetapi dengan komunikasi pasar, tingkat perhatian ini bisa ditingkatkan. 291 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Peluang primer berasal dari kuadran IV yaitu kondisi di mana efektivitas tersedia suplemen tidak terlalu tetapi perhatian konsumen tentang kondisi kesehatan mereka tinggi. Ini sangat cocok dijadikan penelitian di lingkungan LIPI sebagai penggerak penyediaan hasil penelitian-penelitian botani. Dengan jumlah sumber daya manusia sebagai peneliti, dan dengan dukungan teknologi, ditambah lagi dengan kondisi pasarnya yang potensial, maka fokus utama LIPI harus berada pada kuadran IV. Industri mungkin belum masuk ke area ini, karena kalau dilihat dari jenis-jenis kondisi kesehatan yang terdapat di dalamnya bisa digolongkan kepada kondisi kesehatan yang ditakuti oleh konsumen, tetapi kasus kesehatannya sering dialami oleh konsumen. Tabel 2. Penelitian Botani LIPI 2002-2014 Berdasarkan Hasil Kuadran Analisis untuk Peluang Kondisi Tertentu: Consumer Concern Perceived Effectiveness . Peluang Penelitian LIPI Kuadran Persentase Penelitian Primer IV 19 Sekunder III 25 Tersier II 31 Kuarter I 25 Tabel 2 menjelaskan persentase penelitian- penelitian botani. Jika diurutkan dari penjelasan di atas maka terdapat 19 hasil dari penelitian botani di LIPI berpotensi secara pasar dan inovasi sebagai peluang primer. Terdapat 25 berada pada peluang sekunder di mana jenis produk terbatas walaupun tingkat tingkat perhatian konsumen ’rendah’. Tetapi dengan komunikasi pasar, tingkat perhatian ini bisa ditingkatkan. Peluang tersier dan kuarter secara berturut-turut terdapat 31 dan 25 dari penelitian- penelitian botani LIPI. Untuk selanjutnya, untuk mendapatkan consumer insight ini menjadi bagian dari kegiatan penelitian-penelitian LIPI dalam mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di tingkat pasar dan konsumen. Karena inovasi hanya bisa dinilai jika hasil-hasil penelitian memiliki dampak secara ekonomi, memiliki peluang bisnis dan mendapatkan pasar. PENUTUP Peluang utama berasal dari kondisi di mana efektivitas tersedia suplemen tidak terlalu tetapi kekhawatiran konsumen tentang kondisi kesehatan mereka tinggi, dan 19 hasil dari penelitian botani di LIPI adalah bagian dari daerah ini. Peluang sekunder, tersier dan kuarter dari penelitian botani di LIPI hasil untuk pasar berturut-turut adalah 25, 31 dan 25. Sekarang, setelah kita mengetahui kondisi penelitian-penelitian botani LIPI dibandingkan dengan kuadran analisis, maka, untuk proyek-proyek penelitian botani selanjutnya, kuadran IV harus menjadi prioritas. LIPI semestinya bisa menjadi motor penggerak tren konsumsi dari masyarakat sehingga bisa mengangkat kekuatan sumber daya alam dalam negeri. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Inovasi LIPI yang telah mendorong dan memotivasi sehingga dihasilkannya tulisan ini serta perkenan untuk mengakses dan menggunakan data- data Paten yang dikelola sebagai data utama. DAFTAR PUSTAKA Blackwell, R. D. 2001. Consumer Behaviour, 9 Ed. Orlando: Harcourt College Publishers. Chesbrough, H. W. 2003. The Era of Open Innovation. MIT Sloan Management Review, Volume 44, Issue 9 , 35-41. Chesbrough, H. W. 2006. Open Innovation: The New Imperative for Creating and Profiting from Technology. Cambridge: Harvard Business School. Huston, L. S. 2006. Connect and Develop. Harvard Business Review, March Ed. , 58-66. Kotler, P. K. 2012. Marketing Management, 14 Ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall, Inc. Natural Marketing Institute. 2011. The US Botanical Market: Latest Consumer Insight. New York: American Herbal Product Association www.ahpa.com. Porter, A. L. 2007. Technology Mining to Drive Open Innovation. International Conference on Technology Innovation, Risk Management and Supply Chain Management TIRMSCM pp. 1-13. Beijing: Universe Academic Press Toronto. Porter, A. L. 2011. Mining external RD. Technovation, Volume 31, Issue 4 , 171-176. 292 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Tabel 1. Penelitian-penelitian Botani LIPI tahun 2002-2014 lanjutan No. Penelitian Objek Tujuan Pusat Penelitian Tahun 1 Proses Pembuatan Antibiotik dan Antibiotik yang Diperoleh dari Proses Tersebut Mikroba tanah Pseudomonas pycocyane Antibiotik P2 Kimia 24-Jul-02 2 Lidah Buaya Celup Lidah buaya Minuman kesehatan UPT BPPTK 7-Sep-05 3 Bunga Rosela Seduh Rosela Minuman kesehatan UPT BPPTK 27-Jul-06 4 Biskuit untuk Penyandang Autis Campuran dekstrin garut dan tepung pisang Biskuit untuk penyandang autis Pusbang TTG Subang 5-Sep-06 5 Ekstrak, Total Flavonoid dan B- Sitosterol pada Tanaman Sukun Artocarpus altilis sebagai Obat Kardiovaskular Sukun Artocarpus altili s Kardiovaskular P2 Kimia 12-Dec-07 6 Penggunaan dan Dosis Pemberian Ekstrak Daun Jamblang untuk Terapi Penyakit Diabetes Jamblang Diabetes P2 Kimia 7-Oct-09 7 Enzim Inulinfruktotransferase dari Aktinomiset dan Proses Pembuatan Difruktosa Anhidrida III yang Melibatkannya Aktinomiset Difruktosa anhidrida III P2 Kimia 23-Nov-09 8 Proses Pembuatan Oligosakarida dengan Kultur Sel Aspergillus oryzae dan Produk yang Dihasilkannya Aspergillus oryzae Oligosakarida P2 Biologi 16-Dec-09 9 Senyawa Fenilbutanoid dari Rimpang Zingiber cassumunar Roxb sebagai Imunostimulan dan Proses untuk Menghasilkannya Zingiber cassumunar Roxb. Imunostimulan P2 Biologi 16-Dec-09 10 Ekstrak Alkohol dan Fraksi Turunan dari Empon-Empon sebagai Imunomodulator dan Proses untuk Memperolehnya Empon-empon Imunomodulator P2 Biologi 16-Dec-09 11 Penggunaan Ekstrak Etanol Daun Sukun Artocarpus communis untuk Pembuatan Obat Antidiabetes Tipe II Sukun Artocarpus communis Antidiabetes Tipe II P2 Kimia 22-Dec-09 12 Metoda Pembuatan Produk Probiotik Berbasis Non-susu sebagai Agen Antimikroba dan Penggunaan Produk yang Dihasilkannya Mikroba yang diisolasi dari sumber non-susu berupa buah-buahan dan sayuran Antimikroba P2 Biologi 3-Jun-10 13 Ekstrak dan Fraksi Aktif Hasil Fermentasi Streptomyces malaysiensis Strain TT41 sebagai Agen Anti Jamur dan Anti Virus Streptomyces malaysiensis strain TT41 Anti jamur dan Anti virus P2 Kimia 29-Jul-10 14 Proses Pembuatan Minuman Fungsional Sari Jagung Manis Probiotik dan Produk yang Dihasilkannya Jagung Minuman fungsional Pusbang TTG Subang 29-Jul-10 15 Senyawa Baru dari Streptomyces Malaysiensis Strain TT41 sebagai Obat Anti Virus RNA Streptomyces malaysiensis strain TT41 Anti virus RNA P2 Kimia 13-Aug-10 16 Proses Pembuatan Oligosakarida Berbahan Baku Bungkil Kelapa Sawit dan Produk yang Dihasilkannya Bungkil kelapa sawit Oligosakarida P2 Bioteknologi 2-Sep-10 17 Sediaan Farmasi danatau Kosmetik Nano-Emulsi yang Mengandung Asiatikosida dari Pegagan dan Ekstrak Jahe sebagai Bahan Anti Selulit Pegagan dan ekstrak jahe Anti selulit topikal P2 Kimia 13-Oct-10 18 Mikrokapsul Sediaan Farmasi danatau Kosmetik untuk Anti Selulit yang Mengandung Asiatikosida dan Ekstrak Jahe untuk Penggunaan Oral Pegagan dan ekstrak jahe Anti selulit oral P2 Kimia 12-May-11 19 Minuman Fungsional Diet Serat Berbasis Nanas dan Proses Pembuatannya Nanas Minuman fungsional Pusbang TTG Subang 29-Jul-11 293 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 No. Penelitian Objek Tujuan Pusat Penelitian Tahun 20 Makanan Padat Berbahan Dasar Buah- Buahan dan Proses Pembuatannya Buah-buahan Makanan Pusbang TTG Subang 11-Aug-11 21 Minuman Sereal Siap Saji Berbahan Dasar Edamame dan Proses Pembuatannya Edamame Minuman sereal siap saji UPT BPPTK 21-Oct-11 22 Senyawa +-2,2-episitoskirin A sebagai Bahan Obat Antibakteri dan Antikanker Jamur Antibakteri dan antikanker P2 Biologi 21-Oct-11 23 Penggunaan Ekstrak Etanol Daun Brucea javanica untuk Pembuatan Obat Antikanker Brucea javanica Antikanker P2 Kimia 21-Oct-11 24 Metode Kokultur Bacillus megaterium dengan Monascus purpureus untuk Menghasilkan Produk Fermentasi Tanpa Sitrinin Bacillus megaterium dan Monascus purpureus Produk fermentasi tanpa sitrinin P2 Biologi 15-Dec-11 25 Metoda Pembuatan Sediaan Mikroenkapsulasi Probiotik yang Tahan Hidup pada Suhu Ruang Probiotik P2 Biologi 26-Jan-12 26 Penggunaan Senyawa Asperulosida sebagai Bahan Obat Antikanker Senyawa Asperulosida Antikanker P2 Kimia 24-Feb-12 27 Makanan Padat Siap Saji yang Mengandung Inulin Berbahan Dasar Buah-buahan dan Proses Pembuatannya Buah-buahan Makanan fungsional Pusbang TTG Subang 13-Apr-12 28 Ekstrak dan Fraksi untuk Bahan Obat Antidiabetes dari Tumbuhan Kalanchoe Kalanchoe Antidiabetes P2 Kimia 29-May-12 29 Pembuatan Oligosakarida dari Umbi Porang Amorphophallus muelleri blume Umbi Porang Amorphophallus muelleri blume Oligosakarida P2 Bioteknologi 8-Jun-12 30 Proses Pembuatan DFA III dari Umbi Dahlia Menggunakan Enzim Inulin Fruktotransferase dari Nonomurae sp ID06-A0189 Umbi Dahlia DFA III P2 Kimia 8-Jun-12 31 Ekstrak Hasil Fermentasi Kapang Endofilik Eupenicillium javanicum dari Tanaman Keladi Tikus Thyponium divaricatum L. sebagai Bahan Obat Kanker Keladi tikus Thyponium divaricatum L. Bahan obat kanker P2 Kimia 30-Aug-12 32 Formula Nutrisi Tambahan yang Mengandung Cincau Hitam Mesona palustris dan Proses Pembuatannya Cincau hitam Mesona palustris Formula nutrisi tambahan UPT BPPTK 30-Nov-12 33 Cincau Hitam Seduh dan Proses Pembuatannya Cincau hitam UPT BPPTK 12-Dec-12 34 Senyawa C 12 H 9 NO 6 dan Ekstrak n- Butanol Kapang Endofitik Eupenicillium javanicum Strain yang Mengandung Senyawa Dimaksud sebagai Obat Antikanker Kapang endofitik Eupenicillium javanicum strain Antikanker P2 Kimia 23-Apr-13 35 Makanan Padat Berprotein Tinggi Berbasis Kacang-kacangan Kacang-kacangan Makanan fungsional Pusbang TTG Subang 22-Oct-13 36 Biskuit dari Ubi Jalar Putih dan Beras Merah untuk Penderita Diabetes Ubi jalar putih dan beras merah Biskuit untuk penderita diabetes UPT BPPTK 10-Dec-13 37 Penggunaan Ekstrak Etanolik Peperomia pellucida L.Kunth sebagai Antiviral Dengue Peperomia pellucida L.Kunth Antiviral Dengue P2 Kimia 23-May-14 38 Penggunaan Ekstrak Daun Jengkol Archidendron pauciflorum sebagai Calon Obat Alami Antiviral Hepatitis C Daun jengkol Archidendron pauciflorum Antiviral Hepatitis C P2 Kimia 18-Jun-14 39 Biskuit Mengandung Antioksidan dan Trigliserida Rantai Sedang Berbahan Dasar Tepung Pisang dan Kelapa serta Proses Pembuatannya Pisang dan kelapa Antioksidan dan trigliserida Pusbang TTG Subang 23-Jul-14 40 Biskuit Sumber Kalium Berbahan Dasar Tepung Pisang dan Proses Pembuatannya Pisang Kalium Pusbang TTG Subang 26-Sep-14 294 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 No. Penelitian Objek Tujuan Pusat Penelitian Tahun 41 Metode Pembuatan Starter Monascus purpureus untuk Menghasilkan Produk Fermentasi Tanpa Sitrinin Monascus purpureus Produk fermentasi tanpa sitrinin P2 Biologi 20-Nov-14 42 Penggunaan Senyawa Apigenin dan 6- Prenil Apigenin dari Daun Benda Artocapus elasticus sebagai Anti Kanker Payudara Benda Artocapus elasticus Anti kanker payudara P2 Kimia 28-Nov-14 43 Penggunaan Vaticanol B dari Kayu Kapur Dryobalanops aromatica sebagai Antiviral Hepatitis C dan Dengue Kayu kapur Dryobalanops aromatica Antiviral Hepatitis C dan Dengue P2 Kimia 23-Des-14 44 Penggunaan Butirolakton dari Kapang Aspergillus Terreus sebagai Antivirus Hepatitis Kapang Aspergillus terreus Antivirus Hepatitis P2 Kimia 23 -Des-14 295 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Peran Social Marketing Untuk Mencapai Sustainable Consumption Role Of Social Marketing To Achieve Sustainable Consumption Ayu Ekasari Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa Grogol, Jakarta, 11440 Keyword A B S T R A C T consumer innovativeness attitude subjective norm, trust revealed information perceived knowledge purchase intention Sustainable Development is one of the agenda many countries, including Indonesia, would like to achieve should be approached by understanding consumption from individual perspective as a player. Marketing discipline can contribute through social marketing implementation by changing consumption pattern that leads to sustainable development. One of the sustainable consumption practices is using a reusable bag while shopping. Hopefully, this will eliminate negative impact of disposable plastic bag commonly used by consumer. A series of hypotheses were tested to find out whether consumer is willing to use a reusable bag. The main variables that drive purchase intention which are attitude, subjective norm , trust, perceived knowledge , and consumer innovativeness play significant role in forming positive consumers’ attitude towards reusable bag and their purchase intention . However, there is no significant influence of revealed information on attitude towards reusable bag. Results of this research can help social marketers e.g retailers to design social marketing campaign and educate consumers about the benefits of reusable bag. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N inovasi konsumen sikap norma subjektif kepercayaan informasi pengetahuan yang dirasakan niat beli Sustainable Development sebagai salah satu agenda yang ingin dicapai banyak Negara di dunia termasuk Indonesia selayaknya didekati juga dari aspek konsumsi di level paling bawah, yaitu menyangkut individu sebagai pelaku langsung. Disiplin ilmu pemasaran dapat berperan melalui pemasaran social social marketing agar terjadi perubahan pola perilaku konsumsi yang mengarah pada tercapainya sustainable development. Salah satu praktek sustainable consumption adalah menggunakan kembali reuse tas yang digunakan untuk berbelanja. Praktek ini dilakukan untuk mengurangi dampak berbahaya limbah tas plastik yang dibuang begitu saja Serangkaian hipotesis diuji untuk mengetahui sejauh mana intensi konsumen untuk membeli resusable bag.Variabel-variabel utama pembentuk intensi pembelian yaitu attitude, subjectivenorm , trust, dan perceived knowledge dan consumer innovativeness benar mendorong konsumen membeli reusable bag. Disamping itu, tingkat innovativeness seseorangpun membuat sikap nya positif terhadap pembelian reusable bag. Demikian pula informasi yang tertera dalam reusable bag serta pengetahuan tentangnya bisa meningkatkan intensi pembelian reusable bag. Namun, tidak ada pengaruh signifikan informasi revealed information di kemasan reusable bag terhadap peningkatan sikap positif konsumen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengambil kebijakan yang membawahi usaha eceran serta pengecer pada khususnya untuk mengedukasi konsumen tentang manfaat reusable bag © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Corresponding authorayuekasari3gmail.com 296 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Cepatnya pertumbuhan ekonomi di tiga dekade terakhir abad 20 ini telah mendorong konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Dampak yang kini dirasakan adalah kerusakan lingkungan, seperti meningkatnya gas rumah kaca, menipisnya lapizan ozon di atmosfer, sumber daya tanah dan air yang tercemar serta rusaknya ekosistem. Hal-hal tersebut menyadarkan akademisi, pecinta lingkungan maupun pemerintah untuk menjaga keseimbangan alam dengan berproduksi dan berkonsumsi yang sehat. Di tingkat global, banyak negara dan perusahaan besar di dunia mulai peduli pada konsep berkelanjutan sustainability dan menjadikannya sebagai agenda besar untuk dilaksanakan, seperti tertuang dalam Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992 Peattie dan Charter, 2005; Schaefer dan Crane, 2005. PBB membentuk organisasi independen pada tahun 1983, World Commision on Environment and Development yang ditugasi mengidentifikasi masalah pembangunan dan ekonomi serta mencari solusinya. Badan ini juga dikenal dengan nama Brundtland Commision , diambil dari nama pimpinannya, Gro Harlem Brundtland, yang merupakan perdana menteri Norwegia. Salah satu anggota komisi adalah Emil Salim, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Pada tahun 1987, Brundtland Commision menerbitkan sebuah laporan berjudul “Our Common Future” yang merupakan respons atas konflik yang muncul antara mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan di skala global. Dalam laporan tersebut, dicetuskan konsep sustainable development yang menitikberatkan pada keadilan antar generasi, yang berarti pemenuhan kebutuhan masa kini tidak boleh mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut laporan tersebut, antara lingkungan dan pembangunan tidak bisa dipisahkan. http:www.hks.harvard.edu . Di ranah akademi, Brundtland Report memunculkan perdebatan yang menarik, apakah pemasaran berperan dalam memicu peningkatan konsumsi atau bisa memberi kontribusi terhadap pemecahan masalah lingkungan Peattie dan Peattie, 2008. Bahkan pemasaran sering disebut antithesis dari keberlanjutan, karena pemasaran mendorong orang melakukan konsumsi, sedangkan keberlanjutan justru mendorong orang untuk memenuhi kebutuhan mereka konsumsi tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang Jones et.al, 2008; Her Majesty’s Government , 2005. Dari telaah para akademisi, pemasaran juga dapat berperan dalam mencapai sustainable development melalui sustainable consumption yaitu merubah perilaku individu di level individu agar mengarah pada keberlanjutan , seperti melakukan daur ulang, mengonsumsi makanan organik, maupun menjalankan pola hidup sehat serta berkonsumsi yang bisa melestarikan lingkungan demi generasi mendatang . Untuk mewujudkan sustainable consumption , diperlukan kesadaran individu untuk merubah pola konsumsinya agar mempertahankan kelestarian lingkungan. Melihat kritik terhadap pemasaran di atas, muncul pemikiran untuk memanfaatkan social marketing agar perilaku individu dapat diubah menuju gaya hidup berkelanjutan yang tidak merugikan lingkungan alam Peattie dan Peattie,2008. Sesuai perkembangannya sejak diperkenalkan oleh Zaltman dan Kotler 1971 hingga saat ini, makna social marketing tidak mengalami banyak pergeseran, yaitu penggunaan teknik-teknik pemasaran agar target audience secara sukarela bersedia menerima, menolak, mengabaikan dan memodifikasi suatu perilaku untuk mencapai manfaat bagi individu, kelompok maupun masyarakat Andreassen, 1995, Kotler et.al, 2002,. Social marketing bisa dipraktekkan oleh berbagai pihak, antara lain pemerintah, lembaga non profit maupun perusahaan manufacturingjasa. Salah satu konsumsi berlebihan adalah penggunaan tas plastik yang apabila dibuang sembarangan, akan mencemari tanah, karena plastik sukar terurai, sehingga dapat meracuni tanah, padahal tanah adalah salah satu sumber daya alam yang perlu dijaga kelestariannya. Penggunaan tas plastic paling banyak terjadi di perdagangan eceran retailing. 297 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Akhir-akhir ini retailers sudah menyadari dampak berbahaya tas plastic sehingga mereka mulai menawarkan tas belanja yang dapat digunakan kembali reusable bag , bukan sekedar tas plastik yang diklaim bisa didaur ulang dan cepat terurai. Fenomena baru ini cukup menggembirakan, karena retailer bisa dikatakan telah menerapkan social marketing, yaitu mengajak konsumen merubah perilakunya dengan menggunakan reusable bag untuk berbelanja . Di dalam Undang Undang Nomor 182008 yang mengatur tentang pengelolaan sampah juga disebutkan agar pelaku bisnis membatasi penggunaan kantong plastik dan mendorong konsumennya untuk mengurangi penggunaan kantong plastik saat berbelanja. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meluncurkan gerakan ‘diet kantong plastik’ pada periode 1 Juni-14 Juli 2013 dalam rangka memperingati HUT Jakarta ke 468. Kampanye tersebut diberi tema “Satu Bulan Tanpa Kantong Plastik” dan diadakan selama Jakarta Great Sale . Disamping konsumen, retailers yang berpartisipasi dalam Jakarta Great Sale juga dihimbau untuk tidak menyediakan kantong plastik bagi konsumen. www.jakarta.go.id . Oleh karena reusable bag adalah sesuatu yang baru, tentu diperlukan kampanye social marketing untuk mendorong konsumen mau menggunakannya. Pemasar, dalam hal ini retailer , harus mengetahui terlebih dahulu faktor-faktor yang bisa mempengaruhi intensi konsumen untuk merubah perilakunya, yaitu menggunakan tas yang sama dan dapat digunakan kembali reusable bag saat berbelanja. Untuk itu diperlukan sikap attitude positif konsumen bahwa reusable bag benar-benar lebih baik dan bermanfaat dibanding konsumen. Penelitian-penelitian terbaru meng- indikasikan bahwa berperilaku peduli lingkungan yang mengarah pada sustainable consumption banyak dipengaruhi oleh aspek psikologis yang ada dalam diri manusia Park dan Ha, 2012; Lao,2014; Shih, 2014; Chih dan Yu,2015, antara lain consumer innovativeness, attitude, subjective norm yang semuanya mengarah pada intensi melakukan perilaku peduli linngkungan . Beberapa peneliti menemukan bahwa untuk membangun sikap attitude positif konsumen dalam perilaku peduli lingkungan, perlu adanya kepercayaan trust, revealed information serta perceived knowledge yang ada dalam diri konsumen tentang perilaku peduli lingkungan yang dikampanyekan O’Fallon, 2007;Kim et.al, 2008; Garcia dan Margitris, 2008;Chih dan Yu, 2015. Seberapa paham seseorang akan informasi yang terkandung dalam perilaku peduli lingkungan misalnya kemasan serta pengetahuan yang dimiliki seseorang juga mempengaruhi sikap dan intensinya berperilaku peduli lingkungan. Consumer innovativeness merupakan salah satu aspek kepribadian yang merujuk pada kesediaan seseorang untuk menerima inovasi dan mengadopsinya mendahului orang lain Rogers dalam Lao, 2014. Beberapa peneliti menemukan bahwa consumer innovativeness mempengaruhi perilaku konsumen dalam hal inovasi dalam pemasaran, seperti online shopping dan e-banking Lassar et,al, 2005; Chang, 2007. Disamping itu secara psikologis terbukti bahwa pengaruh luar yang bisa berasal dari keluarga maupun teman subjective norm juga mendorong seseorang untuk menerima inovasi dalam perilaku peduli lingkungan seperti membeli makanan organic serta produk ramah lingkungan dan membuatnya berniat membeli purchase intention produk organik tersebut Kalafatis dan Pollard, 1999; Luo, 2010; Kim dan Chung,2011; Lao, 2014. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan menganalisa bagaimana berbagai antecedent sikap attitude terhadap perilaku peduli lingkungan yang relative baru ,yakni penggunaan reusable bag , dapat mengarah pada niat konsumen untuk menggunakan reusable bagpurchase intention demi terca- painya konsumsi berkelanjutan sustainable consumption. KERANGKA TEORI Sikap attitude adalah komponen penting dalam Theory-of-Reasoned Action Ajzen, 2001 yang sudah kokoh dan banyak dipakai untuk memahami perilaku konsumen dan merupakan predictor untuk purchase intention dalam TRA. Penelitian tentang perilaku peduli lingkungan banyak menggunakan TRA dan terbukti bahwa makin positif sikap seseorang terhadap perilaku 298 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 peduli lingkungan, maka ia berniat melaksanakannya Magnuson et.al, 2003; Park dan Ha, 2012; Padel dan Foster, 2005; Honkanen et.al, 2006; Chih dan Yu, 2015; Lao, 2014. Subjective norm juga merupakan komponen TRA yang menggambarkan pengaruh dan tekanan sosial dari luar agar seseorang melakukan suatu tindakan Ajzen, 1991 dan banyak dipakai untuk memahami perilaku peduli lingkungan. Ajzen 1991 menyatakan bahwa subjective norm ditentukan oleh harapan orang lain bahwa seseorang sebaiknya mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam hal penggunaan reusable bag , tekanan sosial ini bisa berupa pendapat orang, berita dari media, kampanye sosial dari pemerintah dan lembaga non-profit. Adapun norma yang berlaku dan trend yang berlaku saat ini adalah sebaiknya orang melakukan konsumsi secara berkelanjutan, salah satunya adalah tidak mencemari lingkungan. Beberapa penelitian telah membuktikan pengaruh positif subjective norm terhadap intensi melakukan perilaku peduli lingkungan Chan, 2007; Dean et.al, 2008; Chih Yu, 2015. H1 : Attitude pada reusable bag berpenga- ruh positif terhadap purchase intention H2 : Subjective norm tentang reusable bag berpengaruh positif terhadap purchase intention Morgan dan Hunt 1994 menyatakan bahwa kepercayaan trust akan muncul jika salah satu pihak yakin akan integritas pihak lain yang menjadi partner dalam pertukaran. Selanjutnya trust juga menjadi faktor penentu timbulnya sikap positif dan intensi pembelian dalam konteks pemasaran Garbarino dan Johnson, 1999; Wu dan Chen, 2005; Gifford dan Bernard, 2006. Salah satu perilaku yang sustainable adalah konsumsi makanan organik, dan beberapa penelitian membuktikan bahwa makin percaya orang terhadap manfaat makanan organic akan mendorong mereka bersikap positif dan bersedia membelinya Wu dan Chen, 2005; Jannsen dan Hamm, 2012; Chih dan Yu, 2015. H3 : Trust berpengaruh positif terhadap attitude pada reusable bag H4 : Trust berpengaruh positif terhadap purchase intention Di sisi lain, informasi yang jelas adalah sangat penting bagi konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian. Terlebih dalam memutuskan untuk menjalankan perilaku yang sustainable , misalnya membeli makanan organik, dibutuhkan informasi jelas dan kredibel sehingga tercipta trust dan attitude positif tentang makanan organic Gracia dan Margitris, 2008. Khusus untuk makanan organik, logo dan pelabelan berperan penting dalam menyampaikan informasi kepada konsumen karena dapat meningkatkan sikap positif dan intensi pembelian Zakowska-Biemans, 2011 serta membantu konsumen berpikir rasional terkait makanan organic O’Fallon et.al, 2007. Oleh karena penggunaan reusable bag merupakan salah satu jenis sustainable consumption juga , sama dengan konsumsi makanan organik, maka logo dan label yang memberi informasi tentang reusable bag juga diduga dapat meningkatkan sikap positif dan kepercayaan terhadap tas tersebut. H5 : Revealed information berpengaruh positif terhadap trust pada reusable bag H6 : Revealed information berpengaruh positif terhadap attitude pada reusable bag Pengetahuan yang dimiliki konsumen terkait suatu perilaku konsumsi dapat mempengaruhi sikap dan kepercayaan untuk melaksanakan perilaku tersebut. Beberapa penelitian terkait salah satu perilaku sustainable yaitu konsumsi makanan organik membuktikan bahwa pengetahuan konsumen tentang manfaat makanan organik meningkatkan sikap positif mereka terhadap makanan organik Gifford dan Bernard, 2006; Padel dan Foster, 2005. Terlebih lagi, makanan organik adalah sesuatu yang baru bagi konsumen, sehingga pengetahuan yang memadai tentang makanan organik, dapat meningkatkan kepercayaan mereka yang pada akhirnya mendorong mereka untuk membelinya Vermeir dan Verbeke, 2006;Hughner et.al, 2007, O’Fallon et.al, 2007; Gracia dan Margitris, 2008. 299 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Analog dengan pembahasan tentang makanan organik, konsumen perlu mempunyai pengetahuan yang cukup tentang mengapa mereka sebaiknya menggunakan reusable bag agar timbul kepercayaan dan sikap positif terhadap reusable bag . H7 : Perceived knowledge berpengaruh positif terhadap trust pada reusable bag H8 : Perceived knowledge berpengaruh positif terhadap attitude pada reusable bag Sebagai salah satu karakter dalam kepribadian, innovativeness menggambarkan derajat penerimaan seseorang akan sesuatu yang baru dan bisa dijadikan faktor untuk dieksploitir pemasar dalam mengampanyekan inovasi nya kepada konsumen Schifman dan Kanuk, 2011. Dalam konteks pemasaran, berbagai perilaku peduli lingkungan perlu dikampanyekan dan dengan memahami innovativeness yang ada dalam diri konsumen, pemasar bisa menerapkan strategi pemasaran yang tepat dengan menonjolkan innovativeness tersebut. Im et.al 2008 , Bartels dan Reinders 2010, Chang dan Zu 2007 dan Lao 2014 menemukan bahwa consumer innovativeness mendorong konsumen bersikap positif dan berniat membeli makanan organik serta pendingin ruangan hemat energi, dua diantara berbagai perilaku peduli lingkungan yang merupakan inovasi produsennya. Jika seseorang mempunyai sisi innovativeness tinggi dalam dirinya, ia cenderung bersedia menerima norma dan pengaruh yang berasal dari lingkungan eksternalnya. Diduga individu yang bersedia menerima hal-hal baru akan lebih toleran dan modern dalam menghadapi tekanan dari pihak lain untuk menerima suatu perilaku yang baru Lao, 2014. H9 : Consumer innovativeness berpengaruh positif terhadap attitude pada reusable bag H10 : Consumer innovativeness berpengaruh positif terhadap subjective norm Gambar 1. Rerangka Konseptual METODE PENELITIAN Rancangan penelitian ini berupa uji hipotesis dan dilakukan secara cross-sectional serta menggunakan konsumen individu sebagai unit analisis. Sebanyak 150 orang individu yang mengunjungi supermarket Carrefour, Hero dan Superindo minimal tiga kali dalam enam bulan terakhir ini . Construct Attitude, Subjective Norm, Trust, Revealed Information, Perceived Knowledge dan Purchase Intention berikut instrument- instrumennya diadopsi dari Chih dan Yu 2015, sedangkan construct Consumer Innovativeness dan intrumen-instrumennya menggunakan pengukuran dari Lao 2014. Kesemua instrument diukur menggunakan skala Likert 1-5, dimulai dari sangat tudak setuju 1 hingga 5 sangat setuju. Dari loading factor , dapat dilihat bahwa semua instrument lebih besar daripada 0.4, sehingga memenuhi persyaratan seperti dikemukakan Hair et.al 2006. Demikian pula semua construct mempunyai koefisien Cronbach Alpha di atas 0.6 seperti disyaratkan oleh Sekaran dan Bougie 2013. Analisis data dilakukan menggunakan software AMOS versi 19.1. Consumer Innovativen essss Revealed Information Perceived Knowledge Subjective Norm Attitude Trust Purchase Intention 300 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Table 1 Hasil Uji Validitas and Reliabilitas Variable Loading Factor Reliability Cronbach Alpha Revealed Information 0,8746 1. Menurut saya, label Reusable Bag gambar daun, simbol daur ulang memberikan informasi yang benar tentang Reusable Bag 2. Menurut saya, label Reusable Bag gambar daun, simbol daur ulang memberikan informasi yang akurat tentang Reusable Bag 3. Menurut saya, label Reusable Bag gambar daun, simbol daur ulang memberikan informasi yang memadai tentang Reusable Bag 4. Saya puas dengan informasi yang disediakan pada label Reusable Bag gambar daun, simbol daur ulang Perceived Knowledge 0,784 0,872 0,872 0,784 0,7615 1. Saya memiliki banyak pengetahuan tentang Reusable Bag 2. Menurut pendapat saya, rata-rata orang Indonesia memiliki banyak pengetahuan tentang Reusable Bag 3. Menurut pendapat saya, pemerintah memiliki banyak pengetahuan tentang Reusable Bag 4. Menurut pendapat saya, ilmu pengetahuan juga menyediakan banyak pengetahuan tentang Reusable Bag. 5. Menurut pendapat saya, industri retailereceran Supermarket dan Hypermarket juga menyediakan banyak pengetahuan tentang Reusable Bag. Subjective Norm 0,682 0,551 0,641 0,604 0,655 1. Menurut saya, keluarga saya berfikir saya sebaiknya membeli Reusable Bag. 2. Menurut saya, teman-teman saya berfikir saya sebaiknya membeli Reusable Bag. 3. Menurut saya, berita dan majalah mempengaruhi keputusan saya membeli Reusable Bag. 4. Menurut saya, dukungan pemerintah terhadap Reusable Bag mempengaruhi keputusan saya membeli Reusable Bag. Attitudes 0,711 0,769 0,734 0,652 0,7911 1. Menurut saya, Reusable Bag mengandung lebih sedikit bahan kimia di bandingkan tas plastik 2. Menurut saya, Reusable Bag lebih aman untuk digunakan dibandingkan tas plastik. 3. Menurut saya, Reusable Bag lebih sehat untuk digunakan dibandingkan tas plastik. 4. Menurut saya, Reusable Bag lebih nyaman digunakan dibandingkan tas plastik. 5. Menurut saya, Reusable Bag memiliki kualitas lebih unggul dibandingkan tas plastik. 6. Menurut saya, harga Reusable Bag lebih mahal dibandingkan tas plastik. 7. Menurut saya, Reusable Bag lebih menarik untuk digunakan dibandingkan tas plastik. Trust 0,478 0,776 0,805 0,637 0,720 0,455 0,498 0,8210 1. Saya berfikir retailereceranSupermarket dan Hypermarket menyadari tanggung jawab mereka tentang menyediakan Reusable Bag 2. Saya percaya retailereceran Supermarket dan Hypermarket yang menjual Reusable Bag benar-benar menjual tas yang berkualitas 3. Saya percaya pada label yang tertera di Reusable Bag gambar daun, simbol daur ulang 4. Saya percaya kepada retailereceran yang menjual Reusable Bag. 0,633 0,753 0,833 0,681 301 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Purchase Intention 0,8692 1. Jika Reusable Bag tersedia di retailereceranSupermarket dan Hypermarket, saya akan membelinya. 2. Saya bersedia untuk membeli Reusable Bag meskipun harganya mahal. 3. Kemungkinan saya membeli Reusable Bag sangat tinggi. 0,784 0,853 0,840 Consumer Innovativeness 0,8043 1. Saya suka menggunakan produk dengan desain dan fungsi yang baru. 2. Saya suka membaca berbagai informasi dan berita baru tentang produk baru 3. Saya suka mempelajari dan menguasai perubahan dan karakteristik dari produk baru 0,722 0,706 0,779 Sumber: Data diolah Mayoritas responden adalah perempuan berusia 19-23 tahun dengan jumlah seluruh responden perempuan sebesar 93 orang, dan responden laki-laki sebanyak 57 orang. Dari 150 responden yang terjaring, 148 orang pernah melihat reusable bag serta mayoritas mereka mengunjungi ketiga supermarket besar Carrefour, Hero dan Superindo 3-6 kali selama enam bulan terakhir ini. 1 49 50 ,7 32,7 33,3 39 39 ,0 26,0 26,0 1 60 61 ,7 40,0 40,7 2 148 150 1,3 98,7 100,0 Count of Total Count of Total Count of Total Count of Total 3 kali 6 kali 3 - 6 kali INTNSTS Total Tidak Ya PRNHLHT Total 46 9 2 57 ,0 30,7 6,0 1,3 38,0 2 75 11 5 93 1,3 50,0 7,3 3,3 62,0 2 121 20 7 150 1,3 80,7 13,3 4,7 100,0 Count of Total Count of Total Count of Total laki-laki perempuan JENKEL Total 18 tahun 19 - 23 tahun 24 - 27 tahun 28 tahun USIA Total Tabel 2 Jenis Kelamin Dan Usia Tabel 3 Intensitas Pernah melihat 302 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa ada 22 orang responden yang mengetahui kegunaan resusable bag namun tidak memilikinya, sedangkan 124 orang mengetahui kegunaan dan memiliki reusable bag. Tabel 5 Hasil Uji Kesesuaian Model Jenis Pengukuran Goodness of Fit Index Nilai Cut-Off Kesimpulan Absolute Fit Measures Chi square 834.02 Diharapkan dalam nilai kecil Tidak goodness- of-fit ρ-value 0.000 ≥0.05 Tidak goodness- of-fit Normed chi-square CMINDF 2.129 Batas bawah 1, batas atas 5 Goodness-of-fit RMSEA 0.087 ≤0.10 Goodness-of-fit Incremental Fit Measures NFI 0.717 ≥0.90 Marginal fit CFI 0.824 ≥0.90 Marginal fit Sumber : Data diolah Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa uji keseuaian model goodness-of-fit menunjukkan bahwa model penelitian bisa diterima, karena ada beberapa kriteria yang mencapai goodness- of-fit maupun marginal fit. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengujian hipotesis, hanya satu hipotesis yang tidak didukung, yaitu hipotesis 6 dengan ρ -value sebesar 0.207. Sedangkan kesembilan hipotesis lainnya dengan ρ -value di bawah 0.05 didukung seperti dapat dilihat pada tabel berikut: 2 2 1,3 ,0 1,3 22 126 148 14,7 84,0 98,7 24 126 150 16,0 84,0 100,0 Count of Total Count of Total Count of Total Tidak Ya TAHU Total Tidak Ya PNYREBAG Total Tabel 4 Mengetahui Mempunyai 303 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Tabel 6 Hasil Uji Hipotesis Hipotesis Coeffiecient p-value Keputusan H1 : Attitudes → Purchase Intention 0,338 0,026 H1: Didukung H2 : Subjective Norm→ Purchase Intentions 0,568 0,000 H2 : Didukung H3 : Trust → Attitudes 0,736 0,003 H3: Didukung H4 : Trust → Purchase Intentions 0,810 0,000 H4 : Didukung H5 : Revealed Information → Trust 0,171 0,008 H5 : Didukung H6 Revealed Information→ Attitudes 0,067 0,207 H6: Tidak didukung H7: Didukung H7 : Perceived Knowledge → Attitudes 0,467 0,018 H8 : Perceived Knowledge → Trust 0,625 0,000 H8 : Didukung H9 : Consumer Innovativeness → Subjective Norm 0,892 0,000 H9 : Didukung H10 : Consumer Innovativeness → Attitudes 0,311 0,009 H10 : Didukung Sumber: Data diolah 304 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Adanya pengaruh positif sikap attitude dan subjective norm terhadap intensi membeli reusable bag membuktikan Theory-of-Reasoned Action yang dikemukakan oleh Fishbein 1991 dan beberapa penelitian sebelumnya terkait perilaku peduli lingkungan Magnuson et.al, 2003; Park dan Ha, 2012; Padel dan Foster, 2005; Honkanen et.al, 2006; Chih dan Yu, 2015; Lao, 2013; Chan, 2007; Dean et.al, 2008. Hal ini memperlihatkan bahwa jika seseorang merasa reusable bag aman lebih aman, mengandung lebih sedikit bahan kimia, lebih sehat, lebih menarik dan nyaman untuk digunakan, maka ia terdorong untuk membeli dan menggunakannya untuk berbelanja. Adanya pengaruh positif kepercayaan trust terhadap sikap attitude pada reusable bag dan intensi membelinya juga menguatkan penelitian sebelumnya dalam konteks perilaku peduli lingkungan Wu dan Chen, 2005; Jannsen dan Hamm, 2012; Chih dan Yu, 2015. Pembuktian kedua hipotesis ini menunjukkan kepercayaan konsumen terutama terhadap retailer pengecersupermarket yang menjual reusable bag sehingga mereka berniat membeli dan menggunakannya. Yang menarik adalah walaupun informasi yang tertera pada reusable bag revealed information meningkatkan kepercayaan konsumen, namun tidak berpengaruh positif terhadap sikap akan reusable bag . Kedua hasil ini selain mendukung juga bertentangan dengan penelitian Chih dan Yu 2015 yang menyatakan revealed information berpengaruh positif terhadap sikap dan kepercayaan pada perilaku peduli lingkungan. Diduga walaupun informasi yang tertera pada reusable bag berupa gambar daun dan symbol daur ulang baru cukup membuat konsumen mempercayai bahwa supermarket tempat mereka berbelanja sudah bertanggung jawab akan perlunya menjaga kelestarian lingkungan, namun tidak cukup kuat membentuk sikap positif mereka terhadap reusable bag . Informasi yang tertera di tas belum bisa membuat konsumen yakin bahwa tas tersebut benar-benar lebih nyaman, sehat , aman , tidak mengandung bahan kimia serta nyaman digunakan. Keterangan yang ada di tas juga tidak memberi informasi tentang manfaat reusable bag , sehingga konsumen tidak merasa perlu membelinya. Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa untuk meningkatkan sikap positif diperlukan terlebih dahulu kepercayaan sebagai variabel intervening seperti dikemukakan oleh Janssen dan Hamm, 2012; Vermeir dan Verbeke, 2006; Zakowska-Biemans, 2011. Dengan demikian seperti pembuktian penelitian- penelitian lalu, informasi yang tertera dalam reusable bag adalah predictor kuat untuk menimbulkan kepercayaan yang pada akhirnya akan meningkatkan sikap positif dan niat membelinya. Di sisi lain, pengetahuan yang dimiliki konsumen tentang reusable bag ternyata bisa memberi pengaruh positif terhadap sikap dan kepercayaan terhadap reusable bag seperti telah dibuktikan oleh beberapa peneliti sebelumnya Vermeir dan Verbeke, 2006;Hughner e t.al, 2007, O’Fallon et.al, 2007; Gracia dan Margitris, 2008 . Hasil ini memperlihatkan bahwa konsumen sudah mempunyai pengetahuan cukup tentang reusable bag, disamping mereka juga mengetahui bahwa pemerintah dan pengecer retailer sudah memberikan pengetahuan yang memadai tentang manfaat reusable bag . Tingkat innovativeness konsumen ternyata terbukti meningkatkan sikap positif mereka terhadap penggunaan reusable bag dan intensi untuk membelinya seperti dibuktikan oleh Lao 2014 tentang pengaruh consumer innovativeness terhadap sikap dan intensi melakukan perilaku peduli lingkungan. Mereka yang suka menggunakan produk dengan disain dan fungsi baru, gemar membaca informasi tentang produk baru serta suka mempelajari perubahan dan karakteristik produk baru, cenderung menganggap reusable bag memang lebih aman, sehat dan berkualitas serta bersedia membelinya. 305 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENUTUP Penelitian ini merupakan pionir dalam memahami perilaku peduli lingkungan terkait penggunaan tas untuk berbelanja yang bukan terbuat dari plastik. Dengan menggunakan model penelitian yang menggabungkan beberapa variabel untuk melengkapi Theory-of-Reasoned Action yang sudah terbukti , penelitian ini mencoba menjelaskan faktor-faktor yang mendorong sikap positif dan intensi pembelian reusable bag , salah satu perilaku peduli lingkungan yang amat jarang diteliti. Oleh karena masyarakat Indonesia masih terbiasa menggunakan tas plastik saat berbelanja, beberapa saran bisa dilaksanakan oleh retailer dalam mengembangkan kampanye social marketing untuk merubah perilaku konsumen. Pertama, diperlukan informasi yang memadai di kemasan tas untuk mendorong konsumen mempercayainya dan bersikap positif akan pemakaian reusable bag . Saat ini beberapa reusable bag sudah menyantumkan simbol daur ulang dan kalimat tentang penyelamatan lingkungan, antara lain: “selamatkan lingkungan untuk hari esok yang lebih baik”, “sahabat lingkungan”, “lindungi lingkungan kita”, “ reduce, reuse, go green ”. Namun kalimat-kalimat tersebut masih terlalu abstrak dan normatif , sehingga perlu penjelasan lebih konkrit. Sebaiknya ditambahkan kaitan penggunaan reusable bag dengan penyelamatan lingkungan serta bahaya tas plastic bagi lingkungan terutama tanah. Kalimat-kalimat tersebut bisa dibuat dengan ringkas, padat dan diletakkan secara propo sional , misalnya: “hindari tas plastik sekali pakai yang bisa mencemari tanah, gunakan tas yang bisa digunakan kembali”. Oleh karena tidak ada pengaruh positif revealed information terhadap attitude , maka diperlukan informasi yang tepat dan konkrit untuk membangun kepercayaan konsumen terlebih dahulu . Kedua, retailer juga dapat meningkatkan pengetahuan konsumen melalui komunikasi pemasaran, yaitu banner yang terpasang di beberapa tempat di dalam supermarket terutama di pintu masuk dan tempat pembayaran, serta penempelan tulisan di sudut-sudut tertentu yang strategis agar konsumen mudah membacanya. Selain itu, dalam pencetakan brosur flyer yang sering dilakukan retailer saat ada promosi, juga dicantumkan pengetahuan tentang manfaat menggunakan reusable bag . Retailer juga perlu mengadakan kampanye khusus dengan memberi reward berupa hadiah atau potongan harga bagi konsumen yang berbelanja menggunakan reusable bag . Untuk mengomunikasikan manfaat reusable bag dapat juga dilakukan melalui website perusahaan , dengan menampilkan foto tas yang dijual serta pengetahuan terkait bahaya menggunakan tas plastik bagi lingkungan. Demikian pula, kasir yang melayani konsumen dilatih agar menawarkan reusable bag kepada konsumen dan secara singkat menjelaskan manfaatnya saat sedang melayani konsumen, disamping reusable bag itu sendiri diletakkan di dekat kasir untuk memudahkan konsumen melihatnya. Ketiga, seiring temuan penelitian bahwa ciri kepribadian innovativeness terbukti berpengaruh positif terhadap attitude dan subjective norm , maka dalam kampanye sosial juga perlu dicantumkan bahwa mereka yang menggunakan reusable bag adalah innovator . Diharapkan, hal ini dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kebanggaan mereka yang menggunakan reusable bag . Retailer juga harus merancang reusable bag secara inovatif, seperti tas yang bisa dilipat kecil serta menggunakan bahan baku yang berasal dari bahan daur ulang. Dalam kampanyenya, retailer sebaiknya menyampaikan bahwa dengan menggunakan reusable bag sebagai salah satu inovasi perilaku peduli lingkungan , maka dampak positifnya akan dirasakan oleh masyarakat luas,termasuk orang-orang dekat konsumen, seperti keluarga dan teman, yaitu tanah tidak tercemar oleh tas plastik sekali pakai yang langsung dibuang. Keempat, penelitian membuktikan bahwa subjective norm berpengaruh positif terhadap intensi membeli reusable bag , serta adanya pengaruh positif innovativeness terhadap subjective norm . Jika konsumen 306 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 percaya bahwa orang-orang dekat mereka berpikir bahwa menggunakan reusable bag adalah bermanfaat, retailer dapat menyampaikan kegunaan reusable bag bagi masyarakat secara umum misalnya: mengurangi penggunaan tas plastik yang bisa mencemari sumber daya alam yaitu tanah, ramah lingkungan karena dibuat dari bahan baku hasil daur ulangyang tidak mengandung zat kimia untuk meningkatkan sikap positif konsumen . Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain jumlah responden yang relatif sedikit serta tidak dibedakan antara mereka yang belum mengetahui reusable bag dan sudah mengetahuinya. Disamping itu, penelitian ini juga tidak meneliti jenis reusable bag lain yaitu tas plastik yang diklaim bersifat mudah terurai biodegradable sehingga tidak mencemari tanah dan biasanya diberikan langsung oleh kasir saat konsumen membayar. Penelitian ini juga tidak memasukkan peran variabel trust sebagai mediator antara perceivedknowledge dan revealed information terhadap attitude seperti yang dinyatakan olehJanssen dan Hamm, 2012, Vermeir dan Verbeke 2006, Zakowska- Biemans 2011 tentang pentingnya faktor trust dalam membangun sikap positif. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan Theory- of-Reasoned Action untuk memahami intensi berperilaku yang sebenarnya teori ini telah dikembangkan lagi menjadi Theory of Planned Behavior oleh Ajzen 1991 dengan memasukkan variabel perceived behavioral control untuk lebih tepat memprediksi behavioral intention . Untuk peneliti selanjutnya, hendaknya memperbesar jumlah sampel serta melakukan uji beda antara konsumen yang sudahbelum mengetahui manfaat reusable bag sehingga bisa diketahui bagaimana cara yang tepat untuk mengampanyekan reusable bag kepada dua kelompok tersebut. Akan menarik jika peneliti berikutnya melakukan perbandingan sikap dan intensi konsumen terkait dua jenis reusable bag , yaitu yang terbuat dari plastik mudah terurai biodegradable dan yang terbuat dari kainbahan daur ulang. Perbedaan dua jenis reusable bag tersebut adalah tas plastik biodegradable sudah digunakan untuk menempatkan barang belanjaan dan gratis karena langsung diberikan oleh kasir, sedangkan reusable bag dari kain harus dibeli. Untuk menambah kontribusi teoritis, peneliti yang akan datang juga sebaiknya mengembangkan model penelitian dengan memasukkan variabel trust sebagai mediator yang menghubungkan variabel revealed information dan perceived knowledge terhadap attitude. Penggunaan Theory-of- Planned Behavior dengan memasukkan variabel Perceived Behavioral Control juga bisa diterapkan untuk meneliti lebih lanjut bagaimana sikap dan intensi membeli konsumen terkait reusable bag , suatu perilaku peduli lingkungan yang relatif masih baru sehingga perlu dikampanyekan. DAFTAR PUSTAKA Ajzen, Icek. 1991. From Intentiosn to Actions: A Theory of Planned Behavior. Downloaded from www.d.umn.edulibcopyright . …………………. The Theory of Planned Behavior. 1991. Organizational and Human Decision Process, 50, p. 179- 211. Andreassen Alan R. 1994. Social Marketing: Its Definition and Domain. Journal of PublicPolicy Marketing , Vol.13 1, p. 108-114. ……………………..2002. Marketing Social Marketing in the Social Change Marketplace. Journal of PublicPolicy Marketing, Vol 211, p. 3-13 . ……………………. 2003. The Life Trajectory of Social Marketing Some Implications. Marketing Theory Vol 3 3, p.293-303. Bartels, J. and Reinders, M. 2010, Social identification, social representations, and consumerinnovativeness in 307 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 organic food context, Food Quality and Preference , Vol. 21 No. 4,pp. 347-352. Chang, Y.P. and Zhu, D.H. 2007, Factors influencing consumers’ intention of online-shopping:an empirical study from the angle of consumer innovativeness, China Journal ofManagement , Vol. 4 No. 6, pp. 820-523. Chen, W.P. 2011, An empirical study on the relationship among consumer lifestyle, consumerinnovativeness and new product buying behavior, Economic Management , Vol. 33 No. 2,pp. 94-101 . Chih-Ching and Teng Yu Mei-Wang 2015. Decisional Factors Driving Organic Food Consumption. British Food Journal Vol.117 Iss 3. Pp 1066-1081 Dean, M., Raats, M.M. and Shepherd, R. 2008, Moral concerns and consumer choice for freshand processed organic foods, Journal of Applied Social Psychology , Vol. 38 No. 8,pp. 2088- 2107. Garbarino, E. and Johnson, M.S. 1999, The different roles of satisfaction, trust, and commitment in customer relationships, Journal of Marketing , Vol. 63 No. 2, pp. 70-87. Gifford, K. and Bernard, J.C. 2006, Influencing consumer purchase likelihood of organic food, International Journal of Consumer Studies , Vol. 30 No. 2, pp. 155-163 . Gracia, A. and Magistris, T.D. 2008, The demand for organic foods in the south of Italy: adiscrete choice model, Food Policy , Vol. 33 No. 5, pp. 386-396. Hair, Joseph . et.al. 2006. Multivariate Data Analysis . Sixth Edition. Pearson International Edition. Her Majesty’s Government. 2005. Securing the Future. Vol. 6467, cm. 6467, available at: www.sustainable- development.gov.ukpublicationsuk- strategyindex.htm Honkanen, P., Verplanken, B. and Olsen, S.O. 2006, Ethical values and motives driving organicfood choice, Journal of Consumer Behaviour , Vol. 5 No. 5, pp. 420-430. Hughner, R.S., McDonagh, P., Prothero, A., Shultz, C.J. II and Stanton, J. 2007, Who are organicfood consumers? A complication and review of why people purchase organic food, Journal of Consumer Behaviour , Vol. 6 Nos 2-3, pp. 94-110. Im, S., Bayues, B. and Mason, C. 2003. An empirical study of consumer innovativeness, personalcharacteristics, and new- product adoption behavior, Academy of Marketing Science ,Vol. 31 No. 1, pp. 61-73. Janssen, M. and Hamm, U. 2012, Product labelling in the market for organic food: consumerpreferences and willingness-to-pay for different organic certification logos, Food Qualityand Preference , Vol. 25 No. 1, pp. 9-22. Kalafatis, S. and Pollard, M. 1999, Green marketing and Adjen’s theory of planned behavior: across-market examination, Journal of Consumer Marketing , Vol. 16 No. 5, pp. 441- 460. Kim, H. and Chung, J. 2011, Consumer purchase intention for organic personal care product, Journal of Consumer Marketing , Vol. 28 No. 1, pp. 40-47. Kotler, Philip and Levy, Sidney. 1969. Broadening the Concept of Marketing. Journal ofMarketing , vol. 33, No. 1, p. 1-15. Kotler, Philip and Zaltman, Gerard. 1971. An Approach to Planned Social Change. Journal ofMarketing 35, p. 3-12. Lao, Kefu 2014, Research on mechanism of consumer innovativeness influencing green consumption behavior, Nankai 308 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Business Review , Vol. 5 No. 2, pp 211-224 Lassar, W., Manolis, C. and Lassar, S. 2005. The relationship between consumer innovativeness, personal characteristics, and online banking adoption, International Journal of BankingMarketing , Vol. 23 No. 2, pp. 176-199. Luo, C. 2010, Influencing factors analysis of consumers’ willingness to pay for safe food, ChinaRural Survey , No. 6, pp. 22-34. Magistris, T.D. and Gracia, A. 2008, The decision to buy organic food products in SouthernItaly, British Food Journal , Vol. 110 No. 9, pp. 929-947. Magnusson, M.K., Arvola, A., Hursti, U.K.K., Aberg, L. and Sjoden, P.O. 2003, Choice of organicfood is related to perceived consequences for human health and to environmentallyfriendly behavior, Appetite , Vol. 40 No. 2, pp. 109-117 Morgan, R.M. and Hunt, S.D. 1994, The commitment-trust theory of relationship marketing, Journal of Marketing , Vol. 58 No. 3, pp. 20-38. O’Fallon, M.J., Gursoy, D. and Swanger, N. 2007, To buy or not to buy: impact of labelling onpurchasing intentions of genetically modified foods, International Journal of HospitalityManagement, Vol. 26 No. 1, pp. 117-130. Padel, S. and Foster, C. 2005, Exploring the gap between attitudes and behavior understandingwhy consumers buy or do not buy organic food, British Food Journal ,Vol. 107 No. 8, pp. 606-625. Park, Joohjung and Ha Sejin. 2012. Understanding pro-environmental behavior: A comparison of sustainable consumers and apathetic consumers. International Journal of Retail and Distribution Management , Vol 40, Iss 5, p. 388-403. Peattie, K. 2001. Golden goose or wild goose? The hunt for the green consumer. Business Strategy and the Environment , Vol. 10, n0. 4, p. 187- 199. …………. and Crane, A. 2005. Green Marketing: legend, myth farce or prophecy? Qualitative Market Research, Vol. 8, No. 4, p. 357-370. ………….. and Peattie, Sue 2008. Social Marketing: a Pathway to Consumption Reduction? Journal of Business Research, xx, p. 1-9. Peattie, Sue and Peattie, K. 2003. Ready to fly solo? Reducing Social Marketing’s Dependence on Commercial Marketing Theory. Marketing Theory , 33, p. 363-385. Schiffman, Leon G and Leslie Lazar Kanuk 2009. Consumer Behavior Prentice Hall, Inc. Vermeir, I. and Verbeke, W. 2006, Sustainable food consumption: exploring the con- sumer‘attitude- behavioural intention’ gap, Journal of Agricultural and Environmental Ethics ,Vol. 19 No. 2, pp. 169-194. Wu, I.L. and Chen, J.L. 2005, An extension of trust and TAM model with TPB in the initialadoption of on-line tax: an empirical study, International Journal of Human-ComputerStudies, Vol. 62 No. 6, pp. 784-808. Zakowska-Biemans, S. 2011, Polish consumer food choices and beliefs about organic food, British Food Journal , Vol. 113 No. 1, pp. 122-137. 309 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Analisis Ekspor Impor Komoditas Prioritas Hortikultura di Indonesia Export Import Analysis of Horticulture Priority Commodity in Indonesia Nurahapsari, RA 1 , Khaririyatun, N 2 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura , Jl. Ragunan No 29A, Jakarta 2 Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu No. 517, Bandung Keyword A B S T R A C T fluctuation hot pepper potatoes shallot This research have two aims, 1 to analyze the export import development of horticulture priority commodities in Indonesia 2 to identify the factors that influenced the instability of the value of exports and imports priority commodities of horticulture. The horticulture priority commodities in Indonesia are hot pepper, shallots and potatoes. The data used export import data of hot pepper, shallots and potatoes period 2009 – 2013 from Data and System of Agriculture Information Center at Ministry of Agriculture Indonesia. Research methode by deskriptif analized. The results showed that 1 During the period 2009 – 2013 occurs the deficit trade balance which caused by the total volume of imports bigger than the total volume of exports. Export volume growth in the period 2009- 2013 is -0.53year. The lowest growth rate shown by the export of seed potatoes - 70.82 per year, followed by fresh potatoes -3.88 year, hot peppers 10,16 per year and shallots 54,05 per year. Growth in the volume of imports vegetables priority in the period 2009-2013 is 31,42year. The highest growth rates shown by fresh potatoes 76,08 per year, hot peppers 65.49 per year, shallots 20,66 per year, and potato seedlings -4.91 per year. 2 The growth of export and import expenditure receipts caused by the growth of the volume of exports and imports. The decomposition analysis results indicate that the fluctuation of exports and imports value caused by fluctuation of export and imports volume. Therefore, It is necessary to maintain the supply continuity of three priority commodities to keep the stability of export and import value. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N fluktuasi cabai kentang bawang merah Penelitian ini bertujuan mengkaji perkembangan ekspor impor komoditas prioritas hortikultura Indonesia dan mengidentifikasi faktor faktor yang menyebabkan ketidakstabilan nilai ekspor dan impor komoditas tersebut. Komoditas yang dianalisis adalah cabai, bawang merah dan kentang. Data yang digunakan adalah data ekspor impor cabai, bawang merah dan kentang periode 2009 – 2013 dari Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 2009 – 2013 terjadi defisit neraca perdagangan yang disebabkan oleh total volume impor yang lebih besar dari total volume ekspor. Pertumbuhan volume ekspor pada periode 2009 – 2013 adalah -0,53 tahun. Tingkat pertumbuhan terendah diperlihatkan oleh ekspor kentang bibit -70.82 tahun, diikuti oleh kentang segar -3,88 tahun, cabai 10,16 tahun dan bawang merah 54,05 tahun. Pertumbuhan volume impor sayuran prioritas pada periode 2009 – 2013 adalah 31,42 tahun. Tingkat pertumbuhan tertinggi diperlihatkan oleh kentang segar 76,08 tahun, diikuti oleh cabai 65,49 tahun, bawang merah segar 20,66 tahun, dan kentang bibit -4,91 tahun. Pertumbuhan penerimaan ekspor dan pengeluaran impor disebabkan oleh pertumbuhan volume ekspor dan impor. Hasil analisis dekomposisi menunjukkan bahwa fluktuasi nilai ekspor dan impor disebabkan oleh fluktuasi volume ekpor dan impor. Oleh karena itu diperlukan upaya menjaga kontinuitas pasokan ketiga komoditas prioritas tersebut untuk menjaga stabilitas penerimaan ekspor dan impor. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. E-mail address: nugra_hapsariyahoo.co.id 310 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akan berpengaruh ganda terhadap daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional. Melemahnya nilai tukar rupiah dapat berdampak negatif bagi industri dalam negeri melalui 2 cara, yaitu 1 memberatkan industri dalam negeri dalam mengembalikan pinjaman dana asing, dan 2 memberatkan industri dalam negeri yang bahan bakunya mengandung komponen impor. Namun disisi lain melemahnya nilai tukar rupiah akan menguntungkan bagi industri yang berorientasi ekspor. Huda 2006 menjelaskan bahwa salah satu upaya pemerintah untuk mendapatkan devisa luar negeri adalah dengan jalan mengekspor hasil hasil sumberdaya alam ke luar negeri. Hasil devisa ini dapat digunakan untuk menambah dana pembangunan dalam negeri. Oleh karena itu kegiatan ekspor memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Hortikultura merupakan salah satu subsektor yang memiliki kontribusi dalam keseimbangan volume dan nilai ekspor impor sayuran Indonesia. Subsektor hortikultura menempati posisi strategis dalam pembangunan sektor pertanian Kementan, 2012. Sayuran merupakan komoditas cash crop yang secara nyata mendatangkan keuntungan bagi petani di Indonesia Anwar et al., 2005 dan memiliki peranan penting dalam mendukung ketahanan pangan Taufik, 2012. Terdapat tiga jenis sayuran yang ditetapkan sebagai komoditas prioritas hortikultura, yaitu cabai, bawang merah dan kentang. Posisi ketiga komoditas tersebut dalam keseimbangan ekspor impor sangat dipengaruhi oleh fluktuasi produksi. Cabai merupakan komoditas hortikultura dengan fluktuasi harga yang tinggi dan menjadi penyebab inflasi. Hal ini dikarenakan belum adanya keseragaman kuantitas, kualitas dan kesinambungan pasokan yang sesuai preferensi konsumen. Sementara itu bawang merah menghadapi permasalahan intensitas tanaman sudah maksimal, bersifat musiman, mudah rusak, dan penanganan belum optimal. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga relatif tinggi terutama saat off season . Disamping kuantitas produksi, keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan ekspor sayuran sangat tergantung kepada kemampuan memproduksi sayuran yang sesuai dengan standar mutu internasional Anwar et al., 2005. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan penduduk perkotaan telah mengubah pola konsumsi, produksi dan distribusi pangan Reardon et al., 2009, dimana masyarakat menuntut kualitas produk pada tingkat tertentu yang lebih baik Ditjen Horti, 2008. Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan menyebabkan perubahan pola konsumsi penduduk dari makanan pokok ke produk buah buahan dan sayuran bernilai tinggi. Oleh karena itu upaya peningkatan ekspor dapat dilakukan melalui pengembangan komoditas sayuran yang berorientasi pada pemenuhan standar mutu hasil, salah satunya melalui cara budidaya yang benar Taufik, 2012. Pemenuhan standar mutu hasil yang baik harus diimbangi dengan manajemen produksi dan stok yang baik untuk mencegah ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan. Namun demikian peningkatan impor tidak selalu berdampak negatif jika barang yang diimpor merupakan input yang digunakan untuk memproduksi barang yang diekspor. Surplus atau defisit neraca perdagangan yang masih berada dalam batas kewajaran merupakan gejala umum dalam dinamika sistem perekonomian yang sedang berkembang. Witono, 2010. Analisis ekspor impor ini penting dilakukan untuk mengetahui keseimbangan ekspor impor dan penyebab ketidakseimbangan ekspor impor komoditas hortikultura prioritas. Hasil analisis dapat menjadi masukan dalam merumuskan kebijakan pembatasan laju impor, khususnya untuk cabai, kentang dan bawang. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Teori Permintaan dan Penawaran Kurva permintaan merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diminta oleh konsumen pada berbagai tingkat harga, sedangkan harga barang terkait, pendapatan, iklan dan variabel lain dianggap konstan. Kurva penawaran merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diproduksi oleh produsen pada berbagai tingkat harga, sementara harga input, teknologi dan variabel lain dianggap konstan Baye 2006. Faktor faktor yang menentukan jumlah kuantitas yang diminta antara lain harga komoditi itu sendiri, rata rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi pendapatan diantara rumah tangga dan populasi. Sedangkan Faktor faktor yang menentukan jumlah yang ditawarkan antara lain harga komoditi itu sendiri, harga input, tujuan perusahaan dan perkembangan teknologi Lipsey et al. 1995. Perubahan jumlah barang yang diminta atau ditawarkan akibat perubahan harga dengan asumsi variabel lain konstan akan mengakibatkan pergerakan di sepanjang kurva permintaan atau penawaran Lipsey et al. 1995 dan Baye 2006. Sementara pergeseran kurva permintaan atau 311 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 penawaran terjadi akibat perubahan faktor lain pada harga yang sama Baye 2006. Teori Perdagangan Internasional Teori klasik perdagangan internasional mengacu pada publikasi Adam Smith yang berjudul wealth of nation dan David Ricardo yang berjudul principles of economics Sen, 2010. Dalam teori keunggulan absolut, negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional gains from trade karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang yang merupakan keunggulan mutlak negara tersebut dan akan mengimpor barang yang merupakan ketidakunggulan mutlak negara tersebut Safitri, 2011. Teori Klasik Comparative advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam productivity of labor faktor produksi yang secara eksplisit dinyatakan antar negara Salvatore, 2004. Kelemahan teori ini adalah tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab perbedaan produktivitas tersebut. Perbedaan produktivitas tersebut kemudiaan dijelaskan oleh teori Hechser-Ohlin. Menurut teori H-O, perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi produksi yang dimiliki endowment factors masing – masing negara. Perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan terjadinya perdagangan Internasional Safitri, 2011. Oleh karena itu teori modern H- O ini dikenal sebagai ‘ The Proportional Factor Theory”. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya. Dalam teori perdagangan internasional, faktor faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi penawaran supply side dan permintaan demand side Krugmann dan Obstfeld, 2005; Salvatore, 1996. Dari sisi permintaan, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan dunia dan kebijakan deregulasi. Sedangkan dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi yang bisa diproduksi melalui investasi, impor bahan baku dan kebijakan deregulasi Sari et al., 2013. Teori Ekspor Impor Perdagangan luar negeri menyebabkan terjadinya perubahan dari beberapa variabel dalam sektor ekonomi yang akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi negara tersebut Masrizal, 2004. Ketergantungan Indonesia pada perdagangan internasional sebagai mesin penggerak perekonomian nasional ini cukup besar Safitriani, 2014. Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi berarti tersediaannya lapangan kerja yang lebih luas dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi Rachman, 2013. Berdasarkan teori ekonomi, variabel yang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor. Ekspor adalah upaya menjalankan atau melakukan penjualan komoditas yang kita miliki kepada bangsa lain atau negara asing sesuai dengan ketentuan pemerintah dengan mengharapkan pembayaran dalam valuta asing, serta melakukan komunikasi dengan bahasa asing Amir, 2004. Ekspor mencerminkan aktivitas perdagangan antarbangsa yang dapat memberikan dorongan dalam dinamika pertumbuhan perdagangan internasional Todaro, 2002. Kegiatan ekspor dapat memberikan sebuah competitive advantage bagi perusahan individual, meningkatkan posisi finansial perusahaan, meningkatkan kegunaan kapasitas, dan menaikan standar teknologi Hamdy 2009. Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan Safitri, 2011. Impor juga bisa dikatakan sebagai perdagangan dengan cara memasukkan barang dari luar negeri ke wilayah Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku Hutabarat, 1996. Perdagangan internasional ekspor dan impor dan Foreign Direct Investment merupakan dua aktivitas penting bagi perekonomian Indonesia yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya Safitriani, 2014. Hasil penelitian Benny 2013 menunjukkan bahwa secara simultan maupun secara parsial variabel ekspor dan impor berpengaruh signifikan terhadap cadangan devisa di Indonesia. Artinya, jika ekspor naik maka posisi cadangan devisa akan naik dan jika impor naik maka posisi cadangan devisa akan turun. Kegiatan ekspor impor akan mengakibatkan terjadinya perpindahan faktor faktor produksi dari negara eksportir ke negara importer yang disebabkan oleh perbedaan biaya dalam proses perdagangan internasional Salvatore, 2007. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa data ekspor impor sayuran selama periode 2009 – 2013 dari Badan Pusat Statistik. Analisis terbatas pada tiga 312 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 komoditas prioritas hortikultura, yaitu cabai, bawang dan kentang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil survei ke lokasi sentra komoditas prioritas di Indonesia, yaitu Brebes, Tasikmalaya dan Garut. Neraca Perdagangan Neraca perdagangan sayuran dianalisis dengan membandingkan besaran volume atau nilai ekspor dengan volume atau nilai impor secara serial waktu. Hasil perbandingan dapat memberikan gambaran sebagai berikut: 1 jika volumenilai ekspor lebih besar dibandingkan dengan volume atau nilai impor, maka negara bersangkutan dikategorikan sebagai net exporter , 2 jika volumenilai impor lebih besar dibandingkan dengan volumenilai ekspor, maka negara yang bersangkutan dikategorikan sebagai net importer. HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Perdagangan Cabai, Bawang dan Kentang Nilai ekspor impor cabai, bawang dan kentang selama priode 2009 – 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan pada ketiga komoditas tersebut Gambar 1. Defisit neraca perdagangan tersebut disebabkan karena defisit volume perdagangan. Gambar 2 menunjukkan adanya fluktuasi volume impor dengan trend yang meningkat sebesar 31,42 persen per tahun, sedangkan volume ekspor berfluktuasi dengan tren yang menurun sebesar 0,53 persen per tahun. Faktor lain yang mempengaruhi fluktuasi nilai impor cabai, bawang dan kentang selama 2009 – 2013 adalah fluktuasi harga. Kenaikan nilai impor selama periode 2009 – 2012 disebabkan oleh peningkatan volume impor dan harga impor. Sementara pada periode 2012-2013 terjadi penurunan nilai impor yang disebabkan oleh penurunan volume impor. Adapun penurunan volume impor pada tahun 2012-2013 disebabkan oleh peningkatan harga impor yang cukup besar pada periode tersebut Gambar 2. Penurunan volume impor ini juga merupakan dari pembatasan pintu masuk untuk produk hortikultura sejak 28 September 2012. Melalui kebijakan ini pemerintah menutup beberapa pelabuhan impor untuk produk hortikultura, sehingga impor hanya boleh masuk melalui pelabuhan Belawan Tanjung Perak, Makasar dan bandara Soekarno-Hatta Winardi, 2013. Sementara fluktuasi nilai ekspor cabai, bawang dan kentang lebih banyak dipengaruhi oleh volume ekspor ketiga komoditas tersebut. Adapun fluktuasi ekspor mengikuti hukum permintaan dimana saat harga ekspor naik, maka volume ekspor turun. Namun hal yang berbeda terjadi pada periode 2010 – 2011 dimana kenaikan nilai ekspor disebabkan oleh kenaikan volume dan harga secara bersama sama Gambar 2. Neraca Perdagangan Kentang Nilai ekspor impor kentang selama priode 2009 – 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan pada komoditas tersebut. Nilai impor kentang menunjukkan tren yang meningkat dengan laju pertumbuhan 65,79 persen per tahun. Sementara itu meskipun nilai ekspor kentang masih di bawah nilai impornya, akan tetapi nilai ekspor kentang juga menunjukkan tren meningkat dengan laju pertumbuhan 11,52 persen per tahun. Hal ini berarti ekspor kentang masih memiliki peluang untuk terus ditingkatkan. Gambar 3. Nilai Ekspor Impor Kentang 2009 – 2013 Gambar 1. Nilai Ekspor-Impor Cabai, Bawang dan Kentang 2009 – 2013 Gambar 2. Neraca Perdagangan Cabai, Bawang dan Kentang 2009 – 2013 313 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Gambar 4. Volume dan Harga Ekspor Kentang 2009 – 2013 Peningkatan nilai ekspor kentang selama periode 2009 – 2013 disebabkan karena adanya peningkatan harga sebesar 18,47 persen per tahun untuk kentang segar dan 9,02 persen per tahun untuk kentang bibit, sedangkan volume ekspor justru mengalami penurunan sebesar 3,88 persen per tahun untuk kentang segar dan 70,82 persen per tahun untuk kentang bibit Gambar 4. Peningkatan nilai impor kentang selama periode 2009 -2013 disebabkan karena adanya peningkatan volume impor kentang segar sebesar 76,08 persen per tahun, sedangkan volume impor kentang bibit mengalami penurunan sebesar 4,91 persen per tahun. Faktor lain yang menyebabkan peningkatan nilai impor kentang adalah peningkatan harga impor kentang sebesar 2,92 persen per tahun untuk kentang segar dan 18,15 persen per tahun untuk kentang bibit Gambar 5. Gambar 5. Volume dan Harga Impor Kentang 2009 – 2013 Bibit kentang yang diimpor adalah varietas atlantik yang diperuntukkan untuk industri keripik yaitu memenuhi kebutuhan PT Indofood. Kentang diimpor dalam bentuk segar dan bekusetengah olah untuk baked potato, mashed potato dan french fries . Sebagian besar bibit kentang diimpor dari Australia. Hal ini dikarenakan varietas G0 untuk kentang jenis ini belum diproduksi di Indonesia. Kerjasama produksi G0 ini pernah diusahakan, akan tetapi terdapat ketidaksepakatan masalah royalty lisensinya. Adiyoga 2000 menjelaskan bahwa tingginya konsumsi masyarakat Indonesia pada produk kentang olahan membuka peluang bagi kegiatan penelitian dan pengembangan varietas kentang untuk keperluan prosessing agar laju impor dapat ditekan. Neraca Perdagangan Cabai Nilai ekspor impor cabai selama priode 2009 – 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan cabai Gambar 6. Defisit neraca perdagangan tersebut disebabkan karena adanya peningkatan volume impor cabai sebesar 65,49 persen per tahun dan harga impor cabai sebesar 9,68 persen per tahun. Sementara volume dan harga ekspor mengalami peningkatan dengan nilai yang lebih kecil yaitu sebesar 10,16 persen per tahun untuk volume ekspor cabai dan 11,40 persen per tahun untuk harga ekspor cabai. Defisit volume perdagangan cabai terjadi selama periode 2009 - 2012. Surplus perdagangan cabai baru terjadi pada tahun 2013 Gambar 7. Gambar 6. Nilai Ekspor-Impor Cabai 2009 – 2013 Gambar 7. Neraca Perdagangan Cabai 2009 – 2013 Tingginya volume impor cabai disebabkan tingkat konsumsi cabai yang tinggi di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pelarangan impor 314 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 memacu pemerintah meningkatkan produksi cabai guna memenuhi kebutuhan dan menjaga stabilitas harga Hudayya dan Yufdy, 2015. Hal ini cukup efektif menurunkan volume ekspor cabai dan meningkatkan volume impor cabai pada tahun 2013 Gambar 7. Neraca Perdagangan Bawang Merah Nilai ekspor impor bawang selama priode 2009 – 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan bawang Gambar 8. Defisit neraca perdagangan tersebut disebabkan karena volume impor bawang yang jauh lebih besar dibandingkan volume ekspor bawang. Namun demikian peningkatan volume ekspor bawang selama periode 2009 – 2013 54.05 thn lebih besar dibandingkan peningkatan volume impor bawang 20.66 thn. Demikian juga dengan peningkatan harga ekspor bawang 15.74 thn yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan harga impor bawang 1.44 thn. Hal ini menunjukkan adanya potensi nilai ekspor bawang melebihi nilai impor bawang di masa yang akan datang Gambar 9. Hasil survey di Brebes menunjukkan bahwa bibit bawang yang diimpor adalah varietas ilokos yang berasal dari Filipina. Varietas tersebut ditanam dengan metode kemitraan di Brebes. Hasil produksinya kemudian diekspor kembali ke Filipina. Gambar 8. Nilai Ekspor-Impor Bawang 2009 – 2013 Gambar 9. Neraca Perdagangan Bawang 2009 – 2013 Peningkatan volume ekspor bawang merah salah satunya ditunjang oleh adanya peningkatan produksi bawang merah. Selama periode 2009 – 2013 terjadi peningkatan produksi bawang merah sebesar 1,65 persen per tahun. Produksi bawang merah sebetulnya sudah mampu mencukupi kebutuhan. Namun produksinya yang tidak merata di sepanjang tahun menyebabkan produksi melimpah di saat panen raya dan kekurangan produksi di saat musim paceklik. Oleh karena itu untuk dapat menurunkan impor bawang merah maka diperlukan upaya upaya untuk menjaga produksi bawang merah merata di sepanjang tahun PENUTUP Nilai ekspor impor cabai, bawang dan kentang selama priode 2009 – 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan pada ketiga komoditas tersebut. Defisit neraca perdagangan tersebut disebabkan karena defisit volume perdagangan. Faktor lain yang mempengaruhi fluktuasi nilai impor cabai, bawang dan kentang selama 2009 – 2013 adalah fluktuasi harga. Kenaikan nilai impor selama periode 2009 – 2012 disebabkan oleh peningkatan volume impor dan harga impor. Sementara pada periode 2012-2013 terjadi penurunan nilai impor yang disebabkan oleh penurunan volume impor. Adapun penurunan volume impor pada tahun 2012-2013 disebabkan oleh peningkatan harga impor yang cukup besar pada periode tersebut. Sementara fluktuasi nilai ekspor cabai, bawang dan kentang lebih banyak dipengaruhi oleh volume ekspor ketiga komoditas tersebut. Adapun fluktuasi ekspor mengikuti hukum permintaan dimana saat harga ekspor naik, maka volume ekspor turun. Namun hal yang berbeda terjadi pada periode 2010 – 2011 dimana kenaikan nilai ekspor disebabkan oleh kenaikan volume dan harga secara bersama sama. Kontinuitas pasokan ketiga komoditas prioritas tersebut perlu dijaga untuk menjamin stabilitas penerimaan ekspor dan impor. Oleh karena itu diperlukan UU yang mengatur kebijakan impor produk hortikultura. DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W. 2000. Perkembangan Ekspor-Impor dan Ketidak-stabilan Penerimaan Ekspor Komoditas Sayuran di Indonesia. Jurnal Hortikultura. Vol. 10, No.1, 2010. Benny, J. 2013. Ekspor dan Impor Pengaruhnya Terhadap Posisi Cadangan Devisa di Indonesia. Jurnal EMBA, Vol.1, No.4, Desember 2013, hal 1406 – 1415. Hamdy, Hady. 2009. Teori dan Kebijakan 315 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Perdagangan Internasional Ghalia Indonesia, Jakarta. Huda, S. 2006. Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang. Jurnal Ilmu-Ilmu Ekonomi Vol.6 No 2. September 2006: 117 – 124. Hudayya, A. dan Prama Y. 2015. Dinamika Produksi Cabai: Dahulu dan Sekarang. Pendekatan Dinamika Sistem Dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Hutabarat, R. 1996. Transaksi Ekspor Impor. Erlangga. Jakarta. Krugman, P.R., and Obstfeld, 2005. Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. Jakarta: PT. Indek Kelompok Gramedia. Masrizal,2004. Ekspor, Dana Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi : Kasus Indonesia , Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang. Rachman, I. 2013. Analisis Kinerja Ekspor Komoditi Perkebunan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sulawesi Utara. Jurnal EMBA, Vol. 1, No.3, September 2013, Hal. 401 – 410. Reardon, T., Barret, C. B., Berdegue, J.A. and Swinnen, J.F.M. 2009.Agrifood Industry Tranformation and Small Farmers in Developing Countries, World Development 37 11: 1717 -1727. Safitri, Luthfi. 2011. Analisis Kinerja Ekspor dan Impor Tembakau Indonesia Periode 2000 – 2009. Media Ekonomi, Vol. 19, No.2, Agustus 2011. Safitriani, S. 2014. Perdagangan Internasional dan Foreign Direct Investment di Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 8, No. 1, Juli 2014: 93 – 116. Salvatore, D., 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke 5. Bandung: PT. Gelora Aksara Pratama Salvatore, D. 2004, International Economics, Eight Edition, Wiley. Salvatore, D. 2007. International Economics. Prentice-Hall. Sari, D.N. 2013. Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Kopi Arabika Aceh. Jurnal Ilmu Ekonomi. Vol 1, No.1, Februari 2013: 11 – 21. Sen, S. 2010. International Trade Theory and Policy: A Review of The Literature. Working Paper No. 635. Levy Economics Institute of Bard College. Taufik, M. 2012. Strategi Pengembangan Agribisnis Sayuran di Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang Pertanian, 31, 2. Todaro, P. 2002. Pembangunan Ekonomi Dunia ke Tiga, Edisi 7. Erlangga. Jakarta. Winardi, W. 2013. Dampak Pembatasan Impor Hortikultura Terhadap Aktivitas Perekonomian, Tingkat Harga dan Kesejahteraan. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2013. 316 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 Analisis Kompensasi pada UKM Komoditi Susu di Kota Bogor Compensation Analysis Milk SMEs in Bogor City Arinindya Retnaningtyas, Departemen Manajemen FEM, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 16680 Keyword A B S T R A C T compensation qualitative descriptive analysis small and medium enterprises Small and Medium Enterprises SMEs has a big role for economic growth in Indonesia. SMEs ca n reveal the creativity of the society as well as an effort to promote the countrys natural resources, causing a lot of the people hang their lives in SMEs. Although it’s called small and medium enterprises, doesn’t mean the owner can refuse to provide welfare for employees. One way that can be done is to give the right compensation in order to maintain the loyalty of employees with effective and efficient expenses. The purpose of this research are: 1 To determine the compensation system applied by milk SMEs in Bogor city; 2 To analyze the suitability of the application of the compensation with coincident method and overlapping method for milk SMEs in Bogor city 3 To analyze the properness of the system of compensation based on the minimum wage standard in Bogor. The author uses a non-probability sampling technique, that is convenient sampling in selecting sample of SMEs, as well as surveying the business owners and employees of SMEs. The analytical method used is descriptive qualitative analysis. This research resulted the idea of the appropriate system of compensation to apply in SMEs in order to improve employee productivity and to streamline business expenses. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N kompensasi analisis deskriptif kualitatif usaha kecil dan menengah Berkembangnya peran UKM bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang memiliki berbagai macam kreativitas anak bangsa dan juga sebagai salah satu upaya mempromosikan sumberdaya alam negeri, menyebabkan banyak sekali masyarakat kita menggantungkan hidup mereka dalam usaha tersebut. Meski terbilang UKM, bukan berarti pemilik usaha bisa menolak untuk memberikan kesejahteraan bagi para pegawainya. Salah satu cara yang bisa dilakukan pemilik adalah dengan memberikan kompensasi yang tepat guna menjaga loyalitas para pegawai dengan pengeluaran yang tetap efektif dan efisien bagi usahanya. Tujuan dari hasil penelitian ini adalah: 1 Untuk mengetahui sistem kompensasi yang diterapkan oleh UKM komoditi susu di Kota Bogor ; 2 Untuk menganalisis ketepatan penerapan sistem kompensasi dengan Metode Berimpitan dan Metode Tumpang Tindih bagi UKM komoditi susu di Kota Bogor; 3 Untuk menganalisis kelayakan sistem kompensasi dengan penetapan standar UMR Kota Bogor. Penulis menggunakan Teknik non- probability sampling, yaitu dengan convenient sampling dalam pemilihan sampel UKM, serta melakukan survey langsung pada pemilik usaha dan karyawan UKM. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Kesimpulan penelitian ini menghasilkan gagasan sistem pemberian kompensasi yang tepat untuk diaplikasikan pada UKM guna meningkatkan produktivitas kerja karyawan serta mengefisiensikan pengeluaran usaha. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015  Corresponding author. E-mail address: arinindya25gmail.com , amaliaaviliani10gmail.com 317 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan penduduk nomor empat terbanyak di dunia, dengan jumlah penduduk 253.609.643 jiwa menurut Departemen Perdagangan AS melalui biro sensusnya pada tahun 2014. Dan menurut Badan Pusat Statistik BPS secara fantastis menunjukkan bahwa, dari 253.609.643 penduduk Indonesia, tercatat ada 121,87 juta penduduk Indonesia berada pada usia angkatan kerja. Dengan jumlah angkatan kerja sebanyak itu, seharusnya dapat membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Namun sayangnya, menurut hasil survei IMD terhadap 59 negara pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat 58 mengenai produktivitas pegawai yang bekerja di Indonesia. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh IMD terhadap 59 negara pada tahun 2012. Tercatat Indonesia menempati urutan ke 10 sebagai negara dengan jumlah jam kerja terbanyak yaitu sebanyak 2100 jamtahun, seperti yang dapat kita lihat pada gambar di bawah ini: Gambar 1. Kondisi SDM Indonesia Hasil Survey IMD tahun 2012 dari 59 Negara Terkemuka sumber : Laporan RENSTRA KEMENAKERTRANS 2015-2019 Jika kita lihat lebih lanjut, sebenarnya kondisi tersebut sungguh ironis apabila kita coba membandingkan antara perolehan peringkat ke-10 untuk jam kerja terbanyak, dengan produktivitas tenaga kerja yang berada jauh di bawah, yaitu pada urutan ke 58. Banyak faktor yang bisa menyebabkan produktivitas kinerja pekerja tidak sesuai atau tidak berkembang sebagaimana seharusnya, bisa dari faktor lingkungan perusahaan ataupun faktor individu pegawai itu sendiri. Apabila dari faktor lingkungan perusahaan, salah satu penyebabnya bisa dikarenakan oleh cara perusahaan tersebut menyejahterakan para pekerjanya, misalnya dari pemberian penghargaan atau pemberian insentif dan kompensasi yang layak. Namun pada prakteknya, sistem kompensasi di Indonesia belum berjalan sebagaimana mesti dan baiknya. Pemerintah sudah menerapkan upah minimum regional UMR untuk tiap-tiap daerah untuk digunakan sebagai acuan pemberian upah bagi buruh. Kenyataannya banyak pengusaha yang masih memberikan gaji dibawah UMR yang sudah ditetaki masih terapkan pemerintah. Praktek kompensasi seperti ini banyak ditemui di lingkungan usaha kecil dan menengah. Sebagian besar angkatan kerja yang ada di Indonesia turut berkontribusi dalam mengembangkan usaha kecil dan menengah. Berdasarkan data Kementrian Koperasi dan UKM pada tahun 2012, tercatatat sebanyak 7.797.993 orang bekerja untuk UKM. Data ini menunjukkan bahwa sebenarnya begitu banyak rakyat yang menggantungkan hidupnya pada usaha kecil dan menengah ini. Oleh karena itu, sesungguhnya UKM ini memegang peranan yang sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. UKM di Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke, masing-masing mencoba meeksplor kekayaan alam yang dimiliki untuk dapatnya bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Mulai dari bidang fashion hingga kuliner yang tidak pernah mati oleh waktu. Salah satu wilayah yang terkenal akan berbagai macam jenis UKMnya adalah wilayah Kota Bogor, Jawa Barat. Kota yang cukup dekat dengan daerah ibukota ini dikenal dengan bermacam-macam sajian kuliner yang didominasi oleh UKM. Saat ini yang lebih gencar dipromosikan adalah produk komoditi susu. Susu merupakan salah satu sumber daya alam yang bisa divariasikandimanfaatkan dalam berbagai bentuk kuliner. Mulai dari minuman murni hingga pendamping bahan pembuat kue. Di daerah Bogor sendiri, UKM komoditi susu sudah semakin ramai menjadi perbincangan anak-anak muda, khususnya para mahasiswa yang tengah menimba ilmu di kota tersebut. Para pegawai dan owner nyapun tak jarang dijumpai merupakan anak- anak usia muda yang produktif bekerja, seperti mahasiswa ataupun pelajar untuk menambah uang jajan mereka. Melihat hal tersebut, meski tergolong jenis usaha yang masih kecil, namun bukan berarti karyawan yang bekerja dalam UKM tidak berhak mendapatkan fasilitas dan hak yang layak dari perusahaan UKM yang menaunginya, contohnya pemberian kompensasi yang layak dari atassan UKM. Untuk melakukan hal tersebut, ada beberapa sistem pemberian insentif atau kompensasi yang bisa UKM gunakan untuk lebih menyejahterakan para pekerjanya, sehingga diharapkan pekerja dapat lebih giat dalam menjalankan tugas dan bisa mempromosikan produk-produk dalam negeri yang 318 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 didominasi oleh hasil kekayaan alam kita sendiri melalui kreativitas yang dimiliki para UKM tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah; 1 Untuk menganalisis prinsip kompensasi ideal bagi UKM komoditi susu di Kota Bogor ; 2 Mengidentifikasi sistem kompensasi yang lebih efektif untuk diterapkan pada UKM komoditi susu di Kota Bogor ; 3 Untuk menganalisis strategi implementasi sistem kompensasi ideal bagi UKM komoditi susu di Kota Bogor Ruang Lingkup penelitian ini terbatas pada usaha kecil berdasarkan jumlah tenaga kerja dengan produk utama susu di wilayah Kota Bogor. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Usaha Kecil dan Menengah UKM Badan Pusat Statistik BPS memberikan definisi UMKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 orang samapai dengan 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 20 orang sampai dengan 99 orang. Menurut UU. No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM definisi dari usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan danatau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang- undang ini. Sedangkan pengertian usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kriteria-kriteria UMKM yang dimaksud dalam UU. No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah UMKM dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 1. Kriteria UKM menurut UU. No.20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM No Uraian Kriteria Asset Omset 1 Usaha Mikro Maks 50jt Maks 300jt 2 Usaha Kecil 50 – 500jt 300jt-2,5 M 3 Usaha Menengah 500jt-10M 2,5M –50M Bisa kita lihat dalam tabel 1, bahwa kriteria yang dimaksud dalam undang-undang ini mencakup perihal asset dan omset. Kriteria yang termasuk dalam golongan usaha mikro adalah usaha yang memiliki asset maksimal Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan omset maksimal Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. Untuk usaha yang tergolong kecil memiliki kriteria asset lebih dari Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah, tetapi tidak lebih dari Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah dan memiliki omset lebih dari Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah hingga Rp2.500.000.000,00 dua setengah milyar rupiah, sedangkan untuk usaha yang tergolong usaha menengah memiliki kriteria asset lebih dari Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah hingga Rp10.000.000.000 sepuluh milyar rupiah serta omset lebih dari Rp2.5000.000.000,00 dua setengah milyar rupiah hingga maksimal Rp50.000.000.000,00 lima puluh milyar rupiah. Kompensasi Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan Malayu S.P. Hasibuan 2002. Kompensasi dengan Konsep 3P 1. Pay for Position Membayar untuk posisi adalah hal yang pertama dalam konsep 3P, dan hal inilah yang merupakan dasar bagi kebijakan dan praktek pembayaran gaji di suatu organisasi, dimana perusahaan mengacu pada standar yang diberlakukan untuk sebuah posisi yang akan ditempati oleh karyawan Malthis 2003

2. Pay for Person

Pay for Person merupakan pembayaran dimana perusahaan mengacu pada budaya organisasi serta adaptabilitas yang tinggi dari karyawan untuk bisa nyaman bekerja.. Evaluasi yang dilakukan terhadap seseorang adalah membandingkan antara kapabilitas dan 319 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015 pengalamannya dengan tuntutan posisi yang didudukinya.

3. Pay for Performance

Menurut Byars et al. 2006 memberikan statement mengenai performance : “ Performance refers to the degree of accomplishment of the tasks that make up an employee’s job”. Pada dasarnya, dalam unsur pay for performance besaran kompensasi yang diberikan perusahaan mengacu pada hasil dari penyelesaian-penyelesaian tugas yang diberikan perusahaan terhadap karyawan. Semakin bagus kinerja karyawan, semakin besar pula nilai kompensasi yang diberikan perusahaan terhadap karyawan tersebut. Point Factor Analysis Method Dalam metode analisis Point Factor dari evaluasi kerja, perusahaan mengidentifikasi faktor- faktor yang dapat dikompensasikan lalu memisahkan menjadi tingkatan-tingkatan. Dalam mengidentifikasi, perusahaan juga harus memberikan bobot terhadap masing-masing faktor, menentukan tingkat kompleksitas untuk tiap faktor dan menentukan angkanya. Hasilnya evaluator menentukan nilai tiap pekerjaan untuk tiap faktor berdasar seberapa besar pengaruh faktor tersebut terhadap pekerjaan. Nilai total pekerjaan ditentukan dengan cara menjumlahkan semua nilai faktor. Prosedur seperti ini, ketika diterapkan kepada semua pekerjaan akan mengasilkan urutan pekerjaan sesuai dengan jumlah angka yang didapat dari pekerjaan tersebut. Pandey, Leelashree 2012 Kerangka Pemikiran Berikut merupakan kerangka pemikiran sebagai landasan pemikiran dalam penelitian ini : Gambar 2. Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN

1. Metode Penarikan Sampel