208
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
interaksi komunikasi politik-nya Dryzek, 2000, p.15, sehingga memiliki nilai legitimasi demokrasi
yang kuat. Model Komunikasi Deliberasi tidaklah sama
dengan model partisipan yang selama ini lebih dikenal dan digunakan dalam tatanan diskusi antara
masyarakat dan pemerintah Indonesia melalui Forum
Msyawarah Rencana
Pembangunan Musrenbang. Untuk itu perlu diklarifikasikan
terlebih dahulu terminologi antara model partisipan dan deliberasi. Berdasarkan pemikiran Lorenzo Cini
dalam disertasi-nya
Between Participatory and Deliberation Model 2011,
yang menjelaskan bahwa Model
Participatory Democracy
disebut juga sebagai
“New Social Movement” Della Porta e Diani, 1997, memiliki dua tujuan spesifik Lynd,
1965, yaitu: 1.
Mengambil bagian dalam semua keputusan yang memberi dampak bagi kualitas dan
arah hidup mereka 2.
Masyarakat dikonstruksikan
untuk mempromosikan kemerdekaan atas hak-hak
asasi dan untuk menunjukkan rata-rata keterlibatan dalam hal yang sama.
Yang seringkali diinterpretasikan sebagai “sebuah
desain dari bentuk keterlibatan sosial didalam” dengan dimensi kuantitatif yang menekankan pada
peran serta politik dalam lingkungan masyarakat sipil
– bagaimana orang mengambil bagian didalamnya yang dilihat dari berapa kali ia
mengikuti kegiatanacara politik yang ada dan terlibat didalam pengambilan keputusan Citroni,
2010:41.
Sedangkan pada
model
Deliberative Democracy
, yang disebut sebagai “
Global Justice
Movement” Della
Porta, 2005,
2007 menginterpretasikan bahwa sebuah pilihan politik
yang terlegitimasi, haruslah berasal dari deliberasi akhir yang muncul dari proses sebuah elemen
kebebasan, kesamaan dan rasionalitas secara adil dan wajar untuk diargumentasikan.
Singkatnya, Model Deliberasi dibangun dari proses komunikasi yang terkondisikan secara
retorik untuk diinformasikan kedalam sebuah proses diskursus,
dengan menggunakan
kekuatan komunikasi yang didesain secara
favorouble and unique
. Melalui bentuk
narrative
yang terstuktur dan terpolakan, yang bertujuan membangun
Awareness, Interest, Desire, Decision and Action AIDDA
para
stakeholders
yang menjadi
target audience
dari proses diskursus ini. Tujuan
dari proses
diskursus yang
dijalankan, diharapkan
dapat membangun
positioning
kuat didalam ruang pikir
target audience
, akan manfaat dari Alga Hijau sebagai ‘energi alternatif’. Ketika tahap
positioning
dicapai, dapat dikatakan, proses Komunikasi Deliberasi
telah mencapai ekuitas-nya. Pencapaian ini dapat diukur dari terbentuknya ‘Society Resonance’ yang
terjadi di wilayah yang menjadi
target audience
. Dibawah ini, adalah gambar dari Hierarki Proses
Komunikasi Deliberasi Ekuitas Kellar, Kevin 2000; Sari, Novieta H., 2014:
Gambar 1.1. Hierarki Proses Komunikasi Deliberasi Ekuitas
2.1. Komunikasi Deliberasi
Model Komunikasi Deliberasi berakar dari teori konsep
Deliberative Democracy,
dimana berdasarkan buku
“Liberal, Constitutional dan Discursive”-Dryzek, 2000
, proses deliberasi demokrasi
berjalan berdasarkan
tindakan komunikasi yang dijalankan melalui
“debat argumentasi” Elster, 1998, sebagai satu-satunya
bentuk legitimasi dari komunikasi demokrasi dan ide rasional konsensus yang menjadi arah tujuan
demokrasi yang terlegitimasi, melalui rata-rata diskursus rasional yang dilakukan Rawls 1993.
Perspektif ini menunjukkan faham-faham yang terdiri atas pandangan
public sphere
Habermas, 1992, masyarakat sipil Young, 2000 dan gerakan
sosial Dryzek, 1990, 2000, yang dilingkupi oleh keinginan
untuk memperoleh
kekuasaan Mansbridge, 1996, konflik Foucault, 1977,
kebimbangan Moufee, 2000 dan faham-faham aktivis publik Young, 2001; Fung, 2005. Untuk itu
perlu dibuat sebuah skema konseptual yang merangkum
features
dari setiap model yang didasari pada enam6 dimensi spesifik, yaitu:
1. Site of Politics
: Where does politics take place?
2. Political Acts
: What acts are regarded as
political?
209
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
3. Forms of Communication
: How do the styles
of communication
manifest
themselves? 4.
Ends of Democracy : What are the ideals of
democracy? 5.
Public Outcomes : What results does the
democratic process bring about? 6.
Democratic Legitimacy
: What’s the source of ‘ideal validity’ Habermas, 1992 of
democractic order?
Sehingga dapat dikatakan bahwa Teori partisipan mengarah pada dimensi kuantitatif,
dimana proses demokrasi yang terjadi didasarkan pada jumlah masyarakat secara kolektif dan
langsung ambil bagian dalam setiap permasalahan yang secara langsung mempengaruhi hidupnya,
sedangkan Teori deliberasasi bicara dalam dimensi kualitatif, dimana rekomendasi-rekomendasi yang
merupakan
hasil keputusan,
didasari pada
argumentasi dengan orientasi pemikiran rasional, yang diperdebatkan antar publik yang terlibat,
termasuk argumentasi yang bertujuan untuk mempengaruhi satu sama lain dalam membuat
keputusan
– proses diskursus sesi panel Citroni,
2010: 34-45. Karenanya dalam demokrasi deliberatif,
kebijakan-kebijakan penting,
misalkan saja
perundang-undangan, amat
dipengaruhi oleh
diskursus-diskursus bebas yang terjadi dalam masyarakat. Perlu ditegaskan, dalam sebuah
komunitas, selain terdapat kekuasaan administratif yang dijalankan negara dan kekuasaan ekonomis
dipegang oleh kaum kapital terbentuk suatu kekuasaan
komunikatif melalui
jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil. Inilah yang
menjadi inti dari demokrasi deliberatif F. Budi Hardiman, 2009 : 56.
Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya “musyawarah”. Demokrasi
bersifat deliberatif, jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan publik diuji lebih
dahulu lewat konsultasi publik atau dapat dipahami
sebagai “diskursus publik” F. Budi Hardiman, 2009 : 22.
Karenanya perlu adanya pemberdayaan masyarakat yang menerapkan yang menekankan
pada penyadaran
moderinisasi, kritikal
dan pembebasan dengan tetap mengacu pada nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal yang menjadi penyatu visi solidaritas sosial yang terkonstruksi dalam
sebuah kerangka pemikiran
persuasive marketing
, yang
dibuat untuk
membangun penyadaran
Awareness,
ketertarikan
Interest
, keinginan
Desire
dan tindakan
Action
akan peran serta mereka untuk terlibat dan turut bertanggung jawab
dalam pembuatan
rencana pembangunan
kedepannya. Sehingga
nantinya, dalam
konteks keterwakilan politik misalnya, masyarakat sebagai
pemangku kepentingan yang utama tidak lagi dikalahkan dalam proses pengambilan kebijakan
publik, yang jika sebelumnya kebijakan publik yang terbentuk,
hanya akan
dimaknai sebagai
kepentingan politik dari pihak legislatif dan eksekutif, kedepannya pola tersebut perlu dirubah.
Karena jika tidak segera dijalankan, bukan tidak mungkin akan terjadi adalah sebuah revolusi,
karena suka tidak suka pengikisaran peran negara dalam pembuatan kebijakan akan terus berjalan
Habermas, 1992, dan jika itu terjadi akan lebih banyak merugikan daripada menguntungkannya.
Sehingga perlu penyadaran oleh semua pihak-pihak masyarakat,
eksekutif dan
legislatif untuk
berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan ini, tanpa perlu menghilangkan ideologi dan nilai-nilai
budaya yang menjadi landasan pijak politik praktisnya.
Idealnya keterlibatan aktif masyarakat dalam proses itu, bisa menjadi mediator bagi
perwujudan harmonisasi di antara pihak eksekutif dan legislatif dalam proses tersebut. Dalam
membuat sebuah produk politik proses sosiologi komunikasi dan komunikasi politik menjadi bagian
penting, karena kita harus bisa memetakan persoalan sosial yang memiliki tingkatan-tingkatan
urgensi yang berbeda-beda penanganannya, yang juga menjadi tolak ukur pembuat kebijakan dalan
mengeluarkan peraturan-peraturan kebijakan publik.
Idea penerapan
demokrasi deliberatif
Fishkin, J., 2013 ditujukan untuk melihat titik-titik masuk yang mungkin dapat di eksplorasi didalam
sistem politik yang dijalankan melalui desain-desain demokrasi deliberatif yang melibatkan masyarakat
umum dalam memberi suara secara poling maupun melalui sesi panel yang menfokuskan pada empat
titik masuk berikut ini, yaitu: a Evaluasi dan atau terhadap kandidat-kandidat yang terseleksi di tahap
nominasi; b Evaluasi danatau penetapan formulasi proposisi
‘ballot’; c masukan publik yang terkait dengan kebijakan dan perundang-undangan; dan d
masukan publik
atas proses
perubahan konstitusional reformasi birokrasi.
Pengembangan pola komunikasi dalam demokrasi deliberasi, menjadi pemikiran dasar akan
diperlukan sebuah manajemen komunikasi strategik
frame work
yang diimplementasikan
secara informatif dan produktif, yang
memerlukan kemampuan
berimprovisasi dalam
menyikapimenganalisa perubahan
kondisi lingkungan yang ada, baik internal maupun
eksternal. Dasar pemikiran ini, yang menjadi acuan
210
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
dari penulis untuk menajamkan proses deliberasi yang berfokus pada kekuatan komunikasi, yang
dikenalkan dalam Model Komunikasi Deliberasi. Dalam
paradigma sosiologi,
interaksi komunikasi yang berjalan berjalan secara simbolik,
penuh retorika bahkan propaganda dalam padanan budaya
dunia intersubjektif
serta proses
pelembagaan realitas baru. Sebagaimana dikatakan Parera, bahwa terciptanya sebuah konstruksi sosial
melalui tiga momen dialektis, yakni
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi
. Pendekatan strategis yang dapat menciptakan pola komunikasi dialektis
ini adalah melalui analisa perilaku masyarakat, pemetaan sosial dalam menemukan kebutuhan yang
tepat, ter-segmentasi, ter-
positioning
dan ekuitas menemukan pencitraan yang positif. Keempat aspek
tersebut diatas yang akan mendukung konsep komunikasi strategik dengan menempatkan model
komunikasi deliberasi
sebagai salah
satu perangkatnya Dhakidae, Daniel, 2004; Sari,
Novieta H. 2014. 2.2. Manajemen Komunikasi Strategik
Seperti yang disebutkan diatas, dalam menerapkan
Model Komunikasi
Deliberasi, diperlukan
manajemen komunikasi
strategik
framework
yang dalam penerapannya, menerapkan beberapa
key action plan
, yang diantaranya adalah: 1.
Desain Komunikasi,
yang melakukan
pendekatan komunikasi
berbasis
local wisdomlocal context
secara berlapis dan bervariasi mulai dari: komunikasi massa cetak,
elektronik maupun sosial media,
entertainment education
,
interpersonal communication
,
participatory development
communication,
advokasi, dan sosial mobilisasi ⇨ untuk
menciptakan perubahan sosial yang bernilai lebih
bagi masyarakat
Manoncourt, E.,
Scandlen, G., 2004. 2.
Resourses Management
Framework,
mengidentifikasikan stakeholder yang memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan sosial
tersebut. Mulai dari lapisan pemerintah lokal, Industri, Lembaga Swadaya Masyarakat, hingga
lapisan masyarakat itu sendiri, yang menjadi pelaku maupun yang menerima dampak dari
perubahan sosial tersebut.
3.
Struktur Narasi
, dalam menciptakan ‘pesan; yang kuat, bernilai dan unik, yang disampaikan
baik melalui tulisan; verbal: retorika,
truthful propaganda
; non verbal: simbol, gambar, yang dipromosikan seperti iklan secara simultan dan
berkesinambungan. 4.
Toolkit, sebagai penunjang interaksi komunikasi
itu sendiri, yang diberikan melalui: buku panduan, brosur, agenda kerja
time table
, alat bantu.
Penerapan perencanaan pola komunikasi yang selalu
berubah berjalan
searah, mengikuti
perubahan lingkungan yang ada baik secara internal maupun eksternal. Hal ini tergambar pada bagan
dibawah ini:
Gambar 1.2. Pola Komunikasi
2.3.
Internal Reflection
dalam Diskursus
Politik deliberasi
akan selalu
melibatkan
internal reflection
dan diskusi publik Diskursus didalam setiap kegiatan diskursus yang
dijalankannya Niemeyer,
Dryzek, 2007.
Karenanya bentuk atau pola diskursus yang ideal jauh lebih penting dari penerapan demokrasi
deliberasi itu sendiri, hal tersebut ditunjukkan - berdasarkan beberapa hasil temuan dari penelitian
sebelumnya, bahwa terjadi perubahan sikap partisipan yang menjadi lebih responsif setelah
menerima fase informasi didalam proses diskusi yang berjalan.
Deliberasi itu sendiri didalam filosofi politik kontemporer melihat bahwa terdapat dua
elemen konstitusi yang digabung menjadi satu,
pertama
secara teori demokratis, penerapan deliberasi jauh dari model
“aggregative jumlah perolehan suara atau
vote-centric
pemusatan pada pengambilan suara
”, dengan menempatkan nilai bangga yang didasari atas alasan diadakannya
diskusi itu sendiri, dibanding hanya sebagai nilai tambah dari suara yang ada Miller, 1992; Dryzek,
2000, h.1-30. Hal
kedua
, yang disebut sebagai refleksi kedalam
internal reflections
, yang mengarah kepada pemberian rasa bangga terhadap
ikatan antar
pribadi yang
aktual
actual interpersonal engagement
– Ackerman, 1989. Secara hipotesa, proses diskursus dimaksudkan
untuk mewadahi aspirasi jujur dari setiap orang yang berpartisipasi didalamnya. Sehingga bisa
dikatakan bahwa didalam sebuah proses diskursus
211
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
yang berjalan, ada sebuah bentuk pelatihan yang di atur berdasarkan pemikiran-pemikiran mandiri dari
orang-orang yang terlibat didalamnya Dryzek, 2000, h.15. Singkatnya, diskursus adalah retorik
demokrasi
deliberasi kontemporer
yang bersandar
pada bobot
argumentasi yang
dipresentasikan dari hasil pemikiran masing-masing individu yang melakukan interaksi komunikasi
politik-nya Dryzek, 2000, p.15, sehingga memiliki nilai legitimasi demokrasi yang kuat.
Deliberasi secara umum menuntut keberadaan demokrasi yang berkualitas untuk
me mbangunmenciptakan “masyarakat yang lebih
baik”; “masyarakat yang berkualitas” Mansbridge, 1999. Melalui deliberasi, masyarakat menjalani
proses belajar, berpikir, dan berbicara tentang kebijakan dan pilihan-pilihan
electoral choices
. Masyarakat deliberasi adalah masyarakat yang
sadar informasi yang relevan, mengacu pada isu yang
berkembang, dan
melakukan tukar
pendapatpikiran dengan yang lain. Nilai berharga utama dari deliberasi adalah keseimbangan,
mengandalkan informasi dari sisi yang mendukung dan tidak untuk memberikan argumentasi dan
pilihan-pilihan, sekalipun secara alami, deliberasi memiliki tingkat ketidakseimbangan yang tinggi.
Karena seringkali orang dalam mencari informasi melakukannya secara tidak proposional dan
konsisten dan hanya mengandalkan sudut pandang yang ada didalam pikirannya sendiri atau orang lain
yang memiliki pandangan yang sama. Dasar dari
“deliberasi” adalah panggilan untuk memberi “bobot” yang sudah ada. Sehingga argumentasi
yang berlangsung, akan memberikan pilihan-pilihan yang terbaik bagi masyarakatnya.
2.4. Konstruksi Sosial
Dalam berbicara tentang pilihan-pilihan politik, utamanya kita harus memahami masyarakat
beserta sistem sosialnya, guna menentukan strategi yang tepat dalam mengembangkan sebuah
logical framework
pemasarannya. Talcott
Parsons mengembangkan sebuah analisis fungsional secara
rinci dalam buku
The Social System
. Teori fungsionalisme struktural dapat dikaji melalui
beberapa asumsi-asumsi dasar berikut ini Bungin, Burhan, 2007:
1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem
dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain;
2. Dengan demikian hubungan pengaruh-
3. mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut
bersifat timbal balik; 4.
Sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan baik, namun, secara fundamental, sistem
sosial selalu cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis;
5. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah
integrasi, sekalipun
terjadi ketegangan,
disfungsi, dan penyimpangan; 6.
Perubahan-perubahan dalam sistem sosial terjadi secara
bertahap melalui
penyesuaian- penyesuaian dan bersifat evolutif;
7. Faktor paling penting yang memiliki daya
integrasi suatu sistem sosial ialah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat
mengenai nilai-nilai.
Kemudian Talcott Parsons menjelaskan teori sistem sosial, bahwa setiap masyarakat
memiliki sistem sosial yang bisa digambarkan dengan AGIL serta mengenai fungsi struktur untuk
memecahkan empat masalah, yaitu:
adaptation
adaptasi,
goal attainment
pencapaian tujuan,
integration
integrasi, dan
latency pattern
maintenance
pemeliharaan pola.
Berikut penjelasannya:
1.
Adaptation
adaptasi, di mana, sistem harus beradaptasi dengan lingkungannya;
2.
Goal Attainment
pencapaian tujuan, di mana, sistem memiliki tujuan-tujuan yang akan
dicapai; 3.
Integration
integrasi, di mana, setiap bagian sistem berhubungan antara satu dengan lainnya
secara erat dan saling mendukung fungsi masing-masing;
4.
Latency pattern maintenance
pemeliharaan pola,
di mana,
sistem juga
memiliki kemampuan untuk mempertahankan pola-pola,
aturan-aturan, dan
bahkan memiliki
kemampuan untuk memperbaiki sistem yang rusak apabila ada serangan dari luar sistem.
Di samping itu, Talcott Parsons juga menilai, keberlanjutan sebuah sistem sosial
bergantung pada persyaratan: a Sistem harus terstruktur agar bisa menjaga
keberlangsungan hidupnya dan juga harus mampu harmonis dengan sistem lain;
b Sistem harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem lain;
c Sistem harus mampu mengakomodasi para aktornya secara proporsional;
d Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para aktornya;
e Sistem harus mampu untuk mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu;
f Bila terjadi konflik menimbulkan kekacauan harus dapat dikendalikan;
g Sistem harus memiliki bahasa aktor dan sistem sosial.
212
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Dalam membangun sikap dan perubahan sosial, yang dapat menciptakan perubahan sistem
sosial secara laten Parera, Talcott, megungkap fenomena dan implikasi dari sebuah pencapaian
akhir dari demokrasi yang berkualitas. Mengacu pada
hal tersebut,
evolusi dan
gambaran
metaframework
yang mungkin terjadi, dapat di idenifikasi berdasarkan elemen-elemen berikut ini
Haferkamp Smelser, 1992: 4-5: 1.
Meknisme Pemicu Perubahan
Triggering Mechanisms
. Yang diantaranya, secara internal mekanisme, dapat dipicu oleh keberadaan
teknologi yang ada – seperti social media:
facebook, twitter; faktor budaya
culture lags
, dan juga, timbulnya internal kontradiksi didalam
diri individu yang bersangkutan.
Smelser
, menyebutkannya
sebagai ‘
intersocietal
relations”.
Eder
, menamakannya
sebagai internal kontradiksi dan ancaman, sebagai
mekanisme yang meng- inisiasi ‘komunikasi
yang terjalin’.
Eisentadt
mengidentifikasikannya sebagai
“Structural Variety” didalam kehidupan bermasyarakat,
yang menjadi
dasar dari
kemunculan dan berkembangnya konflik-konflik didalamnya.
2.
Mekanisme Berkelanjutan dari Perubahan.
Hondrich
, memahami perbedaan dan segmentasi sebagai “dua hal yang berkolaborasi dan
menimbulkan evolusi, yang tampil dalam bentuk dinamika yang beraspek pada inovasi, meluas
dan beresiko, yang mengarah pada pencegahan, stabilitas
dan pencegahan
resiko.
Eder
, melakukan pengujian dengan menggabungkan
beberapa klasifikasi mekanisme yang dibagi dalam tiga tahapan variasi, seleksi, dan
stabilisasi, yang
melibatkan proses
pembelajaran melalui
groups, classification struggles,
dan konflik antara masyarakat dan lingkungan.
3.
Direktori, menghargai determinasi pernyataan
akhir dari perubahan.
Eder
, menyatakan “untuk memproduksi kembali komunikasi”. Konstituen
realitas komunikasi sosial yang menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang ada, pada
tingkat
moral ideas
.
Eder
, berasumsi, bahwa perubahan evolusioner dalam kesadaran moral,
dipengaruhi oleh
initial dissolution
yang berbasis pada moralitas agama pada abad ke-
enambelas 1985,10.
Eisenstadt
, berargumen terhadap posisi direktori yang berasal dari
modernisasi, dimana intervensi kaum elit dutujukan untuk menciptakan struktur sosial
modern. 4.
Proses secara keseluruhan. Satu dari teori
kontemporer evolusioner
adalah sebuah
pekerjaan yang diawali dengan patologi, paradoks,
decay
, dan
dissolution
yang berjalan searah dengan pertumbuhannya Elias, 1985.
Hondrich
, melihat
adanya peningkatan
homoginitas didalam
masyarakat yang
menunjukan beberapa variasi ancaman yang muncul melalui fungsi differensiasi.
Eder
, juga melihat, bahwa patologi yang ada didalam
proses evolusioner, secara umum mengarah ketingkat moralitas yang lebih tinggi.
Proses ini akan menjadi bagian penting dari perkembangan yang perlu diperhatikan didalam
proses diskusi publik diskursus yang dijalankan, hingga tercapai perubahan sosial seperti yang
diharapkan, peningkatan kualitas hidup berbasis ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Perubahan
sikap dan aksi sosial yang diharapkan terjadi dalam proses penerapan komunikasi deliberasi ini akan
melewati empat tahap, dimulai dari: 1 Tahap identifikasi, yang diawali o
leh sebuah ‘kesadaran’; 2 Penciptaan makna melalui asosiasi diskursus
yang berjalan paralel dengan kampanye media yang atraktif; 3 Tumbuh kearah positif, dimana respon
mulai muncul, dan; 4 Hubungan dengan masyarakat menuju kearah berhasil, yang terbaca
melalui
tingginya intensitas
dan loyalitas
masyarakatnya. 2.5.
Green Social Capital
Sosial kapital yang disebut juga sebagai “relationship to others” merupakan sebuah aset
produktif yang dijadikan sebagai sebuah pengganti sekaligus pelengkap dari aset produktif lainnya,
yang terhubung secara kontinen, dalam bentuk penanaman modal perorangan maupun kolektif,
yang bertujuan membangun atau mereproduksi hubungan sosial yang berlangsung dalam jangka
pendek maupun panjang, yang dilakukan di lingkungan tempat kerja, rumah, kesuku-an,
maupun kekerabatan Schmid, A. Allan and Robison, Linden J..
Tiga komponen dalam sosial kapital, yaitu: 1
Social Networks Interaction
dan
sociability
– pengalaman berinteraksi tatap muka dengan orang-
orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dimana kita belajar untuk saling percaya; 2
trust and reciprocity
– berkembang sepenuhnya didalam masyarakat; dan 3
sense of belongingplace attachment
– disebut sebagai
civic engagement
, yang lebih lanjut, mendorong kemampuan setiap
anggotanya mempengaruhi
bentuk pelayanan
213
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
publiknya -
public affairs
Putnam, Robert et al. 1993; 1995a; 1995b; 2000.
Proses uji partisipasi ini, dilakukan dengan menggunakan 3 dimensi:
intensity
ke-partisipasi-an secara aktif vs. pasif;
scope
luas-besar Vs. Beberapa afiliansi and
type
bertujuan non-politik Vs.
Politik. Dalam
konteks ini,
Putnam mengasosiasikan sumber utama dari terbentuknya
sosial kapital adalah kepercayaan sosial yang sejalan dengan terbentuknya
social networks
dan
civic engagement
. Dikatakan sebagai
green social capital
, dikarenakan aktifitas yang dilakukan bertujuan untuk membangun sebuah nilai ekonomi
yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
3. METODE PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan penelitian mengenai efektifitas komunikasi politik strategik dalam
menerapkan model demokrasi deliberasi guna menciptakan
produk kebijakan
publik yang
berkualitas dan aplikatif, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif
yang menfokuskan pada proses pengkonstruksian realitas dengan pendekatan ontologis dalam
memahami maknanya. 3.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan suatu tipe penelitian
grounded research approach
Barney Glaser Anselm Strauss karena sifat penelitiannya
yang menemukan teori dari kajian empiris. Dalam hal ini, kemampuan membuat kerangka kerja
konseptual dalam komunikasi strategik secara efektif dianggap sebagai yang krusial, kritis, dan
spesifik. Ini dikarenakan peneliti ingin menemukan mekanisme komunikasi strategik yang tepat dan
efektif dalam memberdayaan aktor-aktor politik didalamnya masyarakat, eksekutif dan legislatif
dalam meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab yang sama dalam memutuskan sebuah
rancangan kebijakan yang menjadi tujuan politik bersama bagi peningkatan kesejahteraan berbangsa
dan bernegara. Akhirnya tentu saja akan berdampak pada kepedulian dan integrasi kehidupan mereka
pada nilai-nilai ideologi, budaya, integritas, kehidupan perpolitikan di Indonesia.
Metode ini bertujuan untuk mempersempit fokus penelitian sehingga penelitian dapat berjalan
dengan kondusif dan lancar. Misalnya, untuk meneliti efektifitas komunikasi strategik yang
dijalankan dalam menghasilkan kesepahaman yang sama dalam penerapan model demokrasi deliberasi
yang terkonstruksi. Sebuah teknik komunikasi dalam konteks
apapun, tentu saja harus dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan
need
dari masyarakatnya, yang akan menjadi landasan
content
isi dalam menentukan langkah pemasaran yang tepat untuk
meningkatkan pemberdayaan di tiap pelaku politik didalamnya. Untuk itu tentu saja harus dilakukan
observasi untuk mengenal lebih dekat kondisi dan situasi atau latar alamiah perilaku masyarakat
tersebut. Penelitian yang deskriptif ditujukan untuk membuat gambaran secara terperinci mengenai
situasi, perilaku, aktivitas, dan pekerjaan manusia. Dalam hal ini yang akan dideskripsikan adalah
aktivitas program kerja
frame work
dari kegiatan Komunikasi Strategik yang akan diterapkan
nantinya. Hasil
penelitian tersebut
dapat memberikan
rekomendasi-rekomendasi untuk
kepentingan para pendidik, masyarakat, pelaku politik di masa datang.
Metode riset
dikemukakan jelas
dan sistematis sesuai keperluan. Dalam metode riset,
dikemukakan pula peran masing-masing aktor yang sedang diteliti, baik dari pihak pemerintahah
maupun pasar yang memiliki dampak dari program ini. Jelaskan adanya peningkatan
internal reflection
didalam diskursus-diskursus
publik yang
dijalankan. Dalam hal ini, kemampuan membuat kerangka kerja dari program pemasaran produk
politik Kebijakan Publik secara efektif dianggap sebagai yang krusial, kritis, dan spesifik.
Ada pun penelitian akan memfokuskan pada analisa dan mengobservasi pola-pola argumentasi yang
terjadi dialamnya yang dilakukan dalam bentuk sesi panel dan diterapkan kedalam empat proses
tahapan, yang didasari atas Mefalopulos, Paolo, 2008: 83-85:
3.2. Limitasi
studi kasus
dan cara
mengatasinya
Hal yang berkaitan dengan masalah
generalisability
atau
transferability
dari sebuah studi kasus tunggal dapat
diatasi dengan
mengutamakan desain
penelitian dan seleksi metodologi yang dilandasi dasar yang kuat. Salah satu cara untuk memastikan
hal tersebut adalah dengan melakukan tes validasi dengan metodologi
triangulation
Johnson and Christensen, 2004; Patton, 2002.
3.3. Metodologi triangulasi dalam data analisis kualitatif
Analisis penelitian akan dilaksanakan menggunakan pendekatan:
Kualitatif:
1 language, object, act analysis, 2 network analysis, and 3 stakeholder analysis.
214
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Metode analisis diatas dikombinasikan berdasarkan kerangka kerja dan urutan langkah sebagaimana
berikut ini: 1.
Tahapan
Communication
–
Based Assement CBA
: a.
Didasari atas penerapan model
deliberative
, untuk mendukung proses inovasi diffusi
pada perubahan sikap sosial, perubahan sosial, yang dilakukan melalui Sesi panel
Diskursus dan pelatihan dengan sejumlah rangkaian pemberdayaan yang difasilitasi
atas isu kesejahteraan sosial.
b. Pastikan
bahwa masyarakat
yang diberdayakan
monitoring evaluation
memutuskan kapan dan apa yang perlu dirubah
action
.
CBA
membantu mengidentifikasi
stakeholder
utama dalam
project
ini. 2.
Tahapan Desain
Komunikasi Strategik,
mengarahkan proses
transformasi yang
ditemukan pada
CBA
sebagai masukan dalam membuat desain strategisnya
a. Tahapan
Komunikasi untuk
Terapan
implementation
, aktivitas
pelaksanaan rencana kerja yang dibuat sebelumnya yang
perlu diatur
dan dimonitoring
penerapannya. b.
Tahapan Komunikasi untuk Monitoring dan Evaluasi, untuk mengetahui dampak yang
ditimbulkan dari intervensi komunikasi yang diterapkan.
3. Pada Tahapan Penelitian kualitatif tahapan
akhir dapat bergerak ke depan dan ke belakang selama prosesnya berlangsung, tapi
bisa juga bergerak menuju pada sebuah akhir, membangun langkah menuju ke sebuah
kesimpulan di setiap tingkatnya
Kegiatan penelitian ini dimulai dengan sebuah perluasan dari sesuatu yang menarik bagi peneliti
yaitu efektifitas
social political marketing
nya, kemudian mempersempit hal tersebut yaitu pada isi
pesan, media yang digunakan, dan respon komunikannya sampai peneliti dapat mencapai
fokus penelitian yang ketat yaitu pada bagaimana lembaga
mengemas teori-teori
manajemen komunikasi dan sosiologi secara efektif dan efisien
untuk merubah sikap dan sosial masyarakatnya. Tujuan utama dalam penggunaan penelitian
deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat
penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Dengan tersedianya
identifikasi masalah tersebut, dilakukan analisis. Dengan cara kerja di atas, awal proses metode
kajian ini mengadopsi proses induktif guna melengkapi fakta dan data yang ada. Kemudian
dilanjutkan dengan proses deduktif guna membuat pemaknaan atas fakta-fakta dan data, berkaitan
dengan digunakannya
perspektif strategik
Komunikasi, yang bertumpu pada Teori Empiris bercorak kekayaan data yang dianalisa melalui
pendekatan komprehensif yang melihat dari pemanfaatan teori dalam mendukung pelaksanaan
kerja secara efektif dan effisien, yang mengacu pada hasil.
Hasil yang diperoleh dipetakan kedalam kategori
problematikanya dalam
perspektif Strategik Komunikasi, yang di narasikan dan
visualisasikan dalam
bentuk laporan,
untuk kemudian di sosialisasikan secara simultan antara
pemerintah dan pasar industri dan masyarakat, sehingga dapat membentuk sebuah konsensus dan
solidaritas.
3.4. Rancangan Penelitian Kualitatif
Pada tahapan penelitian kualitatif dapat bergerak ke depan dan ke belakang selama
prosesnya berlangsung, tapi bisa juga bergerak menuju pada sebuah akhir, membangun langkah
menuju ke sebuah kesimpulan di setiap tingkatnya.
Kegiatan penelitian ini dimulai dengan sebuah perluasan dari sesuatu yang menarik bagi
peneliti yaitu efektifitas komunikasi strategik, kemudian mempersempit hal tersebut yaitu pada isi
pesan, media yang digunakan, dan respon komunikannya sampai peneliti dapat mencapai
fokus penelitian yang ketat yaitu pada bagaimana konsep pemberdayaan ini dikemas dalam teori-teori
manajemen komunikasi dan sosiologi secara efektif dan efisien untuk memperoleh dukungan suara dari
masyarakatnya. Sedangkan, secara latar fisik, peneliti mengobservasi aktivitas dialog yang
terbangun dalam ruang publik mereka.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1. Diagram Kerangka Berpikir.
215
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Hasil pengukuran volume H2 yang dihasilkan dari tiga metode yakni pencahayaan lampu, matahari,
dan lampu dengan matahari ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Kondisi pencahayaan pada larutan algae diperlakukan sama yakni fase gelap selama 36 jam
dan waktu pencahayaan fase terang untuk setiap larutan selama 0
– 36 jam. Volume H2 yang dihasilkan dari metode pencahayaan lampu berkisar
antara 2.5 – 3.75 mL untuk intensitas cahaya
sebesar 2900 – 3680 Lux. Untuk metode matahari
dihasilkan volume H2 0.5 – 5.5 mL untuk intensitas
cahaya pada rentang 5000 – 40000 Lux. Dan
volume H2 0.5 – 5.2 mL untuk intensitas cahaya
pada rentang 5000 – 40000 Lux.
Gambar 4.2. Pengukuran volume H2 mL sebagai fungsi
intensitas cahaya
dengan metode
pencahayaan lampu, matahari, dan lampu dengan matahari.
Berdasarkan tren yang diperoleh dari hasil pengukuran Gambar 4.2 dapat diketahui bahwa
dengan intensitas cahaya yang kecil metode lampu relatif algae menghasilkan volume H2 yang lebih
efisien dibandingkan dengan metode pencahayaan matahari dan lampu dengan matahari. Hal tersebut
membuktikan adanya penyerapan intensitas foton yang
optimal pada
fase PS-1
dan PS-2
dibandingkan kedua metode tersebut. Metode pencahayaan matahari dengan lampu menghasilkan
tren yang relatif paling tinggi diantara ketiga metode tersebut.
Pencahayaan yang efisien pada metode lampu dengan intensitas yang kecil lebih mudah
diserap oleh algae pada larutan. Kondisi tersebut mengakibatkan proses hidrogenase lebih berjalan
optimal.
4.1. Implikasi dari proses Komunikasi
Deliberasi
Internal Reflection
yang terbangun dari proses interaksi dan
sociability
didalam
social network
yang terjadi, mendorong tumbunya kesadaran dan keyakinan didalam diri masing-masing individu
yang terlibat, untuk secara kolektif mereproduksi dan membudi daya algae hijau, hingga dapat
memberi nilai tambah didalam meningkatkan perekonomian
dan kesejahteraan
sosial di
komunitas lokal,
yang terkait
didalamnya
stakeholders
. Berikut
workflow
, pada diagram 4.2, yang perlu
diterapkan didalam mencapai objektivitas yang ingin dicapai.
Diagram 4.2. Formulasi Rencana Kerja Komunikasi Deliberasi
PENUTUP
Pertumbuhan perekonomian suatu daerah selalu diikuti oleh peningkatan kapasitas sumber
daya yang ada. Komunikasi deliberasi dengan kekuatan pesan dapat membangun sosial kapital
disuatu daerah yang diharapkan dapat menjaga kelangsungan hidup lingkungan dan sosialnya.
Kebebasan yang setara dan rasional, yang dibangun secara kolektif dapat meningkatkan
216
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
keterlibatan masyarakat, sehingga program-program kerja dapat tercapai secara efektif dan effisien.
DAFTAR PUSTAKA
Albaran, Alan B., Alanis 1966. Media Economic: Understanding Markets, Industries Concept.
University Press of America, Iowa. Allyne .D., Mark 1995. International Power and
International Communication.
McMillian Press, London.
Berlson, Bernard Jonowitz, M 1950. Reader in Public Opinion and Communication. Free
Press, U.S. Berger, Peter Thomas Lukman 1966. The
Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, Anchor Books.
NY, U.S. Best and Keller 2003. Post Modern Theory,
Critical Interrogations. Boyan Press, UK. Bungin, Burhan 2007. Konstruksi Sosial Media
Massa. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Bungin, Burhan 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Butler, P.and N. Collins 1999. A Conceptual Framework for Political Marketing. Sage,
London. Cini, Lorenzo 2011. Between Participation and
Deliberation: Towards a New Standard for Assessing Democracy. European University
Institute Press, Italy. Citroni, Giulio 2010. Democracy Participant,
Bonanno Press, Roma. Dayakisni, Tri Hudaniah 2009. Psikologi
Sosial. UMM Press, Malang. De Lozier, M. Wayne 1976. Marketing
Communication Process. McGraw Hill Inc., U.S.
Dayan, D., Katz.E 1992. Media Event: The Broadcasting
of History,
U.S: Havard
University Press. Della Porta e Diani 2005. Making the Polls:
Social Forum and Democracy in Global Justice Movements, UK: Paradigm Press.
Della Porta e Diani 2006. Social Movements: An Introduction
2
nd
Ed. U.S:
Blackwell Publishing.
Della Porta e Diani 2007. The Global Justice Movement
in Cross-National
and Transnational Perspective. Paradigm Press,
UK. Dhakidae, Daniel 2004. Partai-Partai Politik
Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009. Kompas, Jakarta.
Dryzek, J 2000. Deliberative Democracy and Beyond Liberals, Critics, Constellations, UK:
Oxford University Press, Oxford. Daniel Wong 1982. Primary Process of Oxygen-
Evolving Photosynthesis, Biological Events Probed by Ultrafast Laser Spectroscopy, New
York: Academic Press, pp.3-25. Effendy, Onong Uchjana 1994. Ilmu, Komunikasi,
Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Elster, J. 1998. Deliberative Democracy. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Fletcher, Mark, 1999. Managing Communication.
Kogan Page, London Firmanzah 2007. Marketing Politik: Antara
Pemahaman dan Realitas. Yayasan Obor, Jakarta
Goldhaber, Gerarld 1990. Organization Communication. Wm. C. Brown Publisher
Habermas, Jurgen 1992. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of
Law and Democracy, Translated by William Rehg, 1996, The MIT Press, Cambridge,
Massachussetts.
Habermas, Jurgen 1984. The Theory of
Communicative Action. Beacon Press, Boston. Hardiman, F.Budiman 2009. Demokrasi
Deliberatif: Menimbang negara hukum dan ruang publik dalam teori diskursus Jurgen
Habermas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Ivanovich, Agusta 2008. Jurnal Transdisplin
Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol.2, Solidaty., p. 268-269.
J. Phillipe Marck 1992. Political Communication. Sage, USA.
Jauch, Lawrence R., Glueck 1995. Manajemen Strategis Kebijakkan Perusahaan. Erlangga,
Jakarta. Juliet Brodie Jane Lewis 2007. Unraveling the
algae;the past, present, and future of algal systematics, New York: CRC Press.
Gary A. Anderson 2002, et al., Photobioreactor Design,
ASAECSAE North-Central
Intersectional Meeting Sponsored by ASAE and CSAE, CANADA, September 27-28.
Maria L. Ghirardi 2000, et al., TWO-PHASE PHOTOBIOLOGICAL ALGAL H2-
PRODUCTION SYSTEM, Proceedings of the 2000 DOE Hydrogen Program Review.
Ronald Steffen. Time-resolved spectroscopic investigations
of photosystem
II, Dissertation,Von der Fakultät II
– Mathematik und Naturwissenschaften der Technischen
Universität Berlin, December 2003, Berlin.
217
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Sebastian Steigenberger 2004. Frank Terjung, Hans-Peter Grossart and Rainer Reuter,
“Blue Fluorescence of NADPH as an Indicator of
Marine Primary
Production,EARSeL eProceedings, 3, 1, pp.18-24.
Robert C. Dunn et al. 1994 , ”Near Field
Fluorescence Imaging
and Lifetime
Measurements of Light Scattering Harvesting Complexes in Intact Photosintetic
Memranes”, Journal of Phys.Chem., 98, pp. 3094-3098.
S. Patsayeva, V. et al. “Variation of The UV
to Blue Fluorescence Ratio For Organic Matter in Water Under Conditions of Fluorescence
Saturation”, DresdenFRG, June 16 – 17, 2000. Proceedings
of EARSeL-SIG-Workshop
LIDAR. Jeffrey John Cosgrove 2007. Marine
Phytoplankton Primary
Production and
Ecophysiology Using
Chlorophyll-A Fluorescence,
Dissertation, S.
Murdoch University.
Yuzeir Zeinalov Liliana Maslenkova 2000. On The Action Spectra of Photosynthesis And
Spectral Dependence
of The
Quantum Efficiency, Bulg. J. Plant Physiol., 261
–2, pp.58
–69. Vashista, B.R. 1979. Botany for Degree Students:
New Delhi, Algae, S.Chand Company Ltd. Ucuk Darusalam dkk. Karakterisasi Sifat
Optis Chlorella sp., Scenedesmus sp., dan Chlamydomonas
sp. untuk
Perancangan Detektor Fitoplankton dengan Teknik Laser
Induced Fluorescence LIF, Proceeding Seminar Nasional Aplikasi Fotonika 2008
SNAF-08, Teknik Fisika ITS, Surabaya.
Reith, J.H., Van Doorn, J., Mur, L.R., Kalwij R., Bakema,G. and G. van der Lee 2000.
Sustainable co-production of natural fine chemicals and biofuels from microalgae.
Conference Biomass for Energy and Industry, Sevilla, June.
Food and Agriculture Organization of the United Nations
FAO 2009,
ALGAEBASED BIOFUELS: A Review of Challenges and
Opportunities for Developing Countries. Anatoly Tsygankova et al. 2002. Hydrogen
photoproduction under continuous illumination by
sulfur-deprived, synchronous
Chlamydomonas reinhardtii
cultures, International Journal of Hydrogen Energy, Vol.
27 1239 – 1244.
Kim, Jun Pyo et al. 2005. Cell Algae Optimization for Hydrogen Production Induced Sulfur
Deprivation Using
Green Algae
Chlamydomonas reinharditii UTEX 90, J. Microbiol. Biotech., Vol. 15 No.1, pp. 131-
135. Yingfu Guana et. al. 2004, Two-stage photo-
biological production of hydrogen by marine green
alga Platymonas
subcordiformis, Biochemical Engineering Journal Vol. 19, pp.
69 –73.
Pulz, O. et al. 2001. Photobioreactors: production systems for phototrophic microorganisms.
Appl. Microbiol. Biotechnol. 573: 287-293. Sarah J. Adams 2008. The Utilization of a
Photobioreactor to Optimize the Growth Rate of Lipids in Microalga for Use in Biofuels,
CALIFORNIA STATE SCIENCE FAIR. G. Najafpour et. Al 2003. Continous Hydrogen
Production via Fermentation of Synthesis Process, Pteroleum and Coal, Vol. 45, 3-4, pp.
154-158. J. Yu and P., Takahashi 2007. Biophotolysis-
based Hydrogen Production by Cyanobacteria and
Green Microalgae, Communicating Current Research and Educational Topics and Trends
in Applied Microbiology.
Matthew Timmins 2009. Phylogenetic and molecular analysis of hydrogen-producing
green algae, Journal of Experimental Botany Advance.
Kiki Rezki Lestari, Fitria Hidayanti, dan Ucuk Darusalam 2013. Optimalisasi Produksi Gas
Hidrogen Melalui Perekayasaan Fotosintesis Alga SCENEDESMUS Sp. Dengan Variasi
Metode Penyinaran, Tugas Akhir Teknik Fisika, Universitas Nasional.
Kotler, Phillip L. Roberto, E. 1989. Social Marketing Strategies for Changing Public
Behaviour. Free Press. Kelley, H.H 1976. Atribution theory in Social
Psychology. Lagerwey, Fr. Cornelio 1990. Monographs on
Development Communication,
The Communication Foundation for Asia, Manila.
Maletzke, Gerhard 1976. Evaluating of Change Through Communications: Communication
Rural Change. Asian Mass Communication Research and Information Centre.
Mefalopulos, Paolo 2008. Development Communication Sourcebook: Brodening the
Boundaries of Communication. World Bank, U.S.
Mills, C. Wright 1956. The Power Elite. Oxford Press, London.
Rawls, J. 1993. Liberal Political. Journal of Edizioni di Comunita, Milano.
Sears, David O., Freedman, Jonathan L. Peplau,
218
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
L. Ann 1988. Psikologi Sosial. Erlangga, Jakarta.
Olson, J. M. 2000. Social Psychology. Wadsworth Thomson Learning, U.S.
Reeves, Geoffery 1993. Communication and The Third World. Routledge, London.
Trade, Gabriel 1969. Opinion and Social
Influence. University of Chicago Press. Walker, David 1997. Public Relatins in Local
Government: Strategic Approaches to Better Communications. Pitman Publising.
Worchel, S., Cooper, R., Goethals, G.R, Olson, J.M.
2000. Social
Psychology. USA:
Wadsworth Thomson Learning.
Young I.M. 2000. Inclusion and Democracy.
Oxford University Press, Oxford.
219
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Berbasis Socio-Edu-Eco-Tourism
di Kabupaten Purworejo
Developing a Purworejo Beach Region Based on Socio-Edu-Eco-Tourism
Aulia Nur Mustaqiman, Tushy Octafadiola, Agat Ardinugroho, Kurniawan, Yuliana Farkhah
Universitas Gadjah Mada, Jl. Sekip Utara , Yogyakarta, Kode pos 55281
Keyword A B S T R A C T
tourism shore
purworejo socio-edu-eco-tourism
Purworejo District has tourism potential along coastline which cross by Jalan Deandels. Tourists in Purworejo beach still
dominated by Purworejo ’s people local tourists. The least number
of visitors in Purworejo beaches due to minimum information and condition of Jalan Deandels, which is in pretty bad condition.
Purworejo has a lot of unique things such as sand playground and horse race. Purposes of this research is to identificated beach
tourism potential based on socio-edu-eco-tourism and give alternative strategy about developing tourism area. Research
method in this research was quantity description with probability sampling, using spatial analysis, financial analysis, and SWOT
analysis. Result of this resea rch showed that Purworejo beaches have many natural beautiful landscape, local wisdom, and
education. Recommendation for this place were by give understanding to local people by opening job with local value,
uniqueness, and attractive product which undirectly to promote Purworejo Tourism Area.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
wisata pantai
purworejo socio-edu-eco-tourism
Kabupaten Purworejo memiliki potensi wisata di sepanjang garis pantai yang dilalui oleh Jalan Deandels. Pengunjung didominasi
oleh masyarakat lokal pada musim liburan. Minimnya pengunjung dari luar Purworejo diakibatkan oleh kondisi jalan
yang tidak baik dan sedikitnya informasi, padahal pantai di Purworejo memiliki keunikan seperti ombak yang besar tetapi
masih bisa digunakan untuk bermain, kondisi pantai yang masih alami menjadikan banyak lahan yang belum dimanfaatkan serta
adanya lomba pacuan kuda. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi potensi wisata pantai berbasis socio-edu-eco-
tourism
dan memberikan alternatif pengembangan kawasan wisata. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif.
Teknik pengambilan sampel adalah probability sampling. Analisis yang digunakan adalah spasial, finansial, dan SWOT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pantai di Purworejo memiliki potensi keindahan bentangalam, budaya, dan edukasi.
Rekomendasi diberikan melalui pemahaman kepada masyarakat lewat pembukaan peluang sumber mata pencaharian yang
memiliki nilai tambah, tepat guna, unik, dan menarik yang secara tidak langsung mempopulerkan wisata pantai di Purworejo.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. E-mail address:
aulia.nur.mustaqimangmail.com
220
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Keunikan Pantai di Purworejo terletak pada panjang pantainya yang membentang luas, berpasir
kehitam-hitaman, serta dilalui oleh Jalan Dandels yang memanjang dari barat ke timur. Pantai ini
memiliki keunggulan dan keistimewaan bentang alam, tetapi tidak banyak dikunjungi oleh
wisatawan. Pengunjung yang datang ke pantai masih didominasi oleh wisatawan lokal dan hanya
ramai pada hari-hari tertentu khususnya liburan akhir pekan dan hari libur nasional. Hal ini
menjadi tantangan bersama bagi peneliti untuk merumuskan strategi alternatif dalam rangka
pengembangan kawasan pantai di Purworejo. Strategi alternatif yang digunakan berbasis
socio- edu-eco-tourism
yaitu melalui pengembangan kawasan wisata dengan pendekatan lingkungan
ekologi, pendekatan edukasi bagi akademisi dan masyarakat, dan pendekatan pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat.
Nugroho 2011
berpendapat bahwa ekowisata adalah perjalanan wisata yang dikemas secara professional, terlatih
dan memuat unsur pendidikan
Edu,
sebagai suatu sektorusaha ekonomi yang mempertimbangkan
warisan budaya, parisipasi dan kesejahteraan penduduk
lokal
Socio
serta upaya-upaya
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan
Eco.
Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi potensi wisata pantai berbasis
socio-edu-eco- tourism
dan memberikan strategi alternatif pengembangan kawasan wisata.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Kerangka konsep pada penelitian ini dapat dilihat
pada diagram dibawah ini.
Gambar 1. Diagram Kerangka Konsep Sumber : Hasil Penelitian 2015
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif menggunakan kuesioner berdasarkan
analisis finansial dan spasial yang dipadukan dalam analisis SWOT. Analisis finansial yang
digunakan adalah analisis perhitungan NPV, BCR, dan IRR. Analisis SWOT digunakan untuk
membuat perencanaan strategi pengelolaan wisata.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
Cluster Random Sampling
berupa kuesioner. Kuesiner
dan wawacara
dibagikan kepada
pengunjung, pengelola, dan masyarakat. Mu ta’ali
2015 mengatakan bahwa Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan
untuk mengevaluasi
kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancaman dalam suatu kegiatan pembangunan dan bisnis.
Gambar 2. Diagram Metode Penelitian Sumber : hasil penelitian 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Guna Langsung
Nilai guna langsung berupa retribusi pengunjung, parkir, toilet umum, kios atau warung.
Berdasarkan hasil perhitungan finansial, dengan mempertimbangkan
discount rate
sebesar 6 serta pajak yang berlaku, maka diperoleh BCR sebesar
1.24
Discount Benefit Discount Cost
nilai tersebut diatas 1 satu yang artinya pendapatan
yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran. IRR diperoleh
9.91 artinya
secara finansial
pengelolaan wisata pantai di Purworejo layak secara finansial dengan pengembalian modal
Payback Period
selama 14 tahun.
Kawasan Pantai di Purworejo Aspek Pengembangan
Lingkungan Edukasi
Partisipasi Masyarakat Persepsi Masyarakat dan Wisatawan
Analisis SWOT Strategi Pengembangan
Analisis Ekonomi dan Spasial
Pengemb angan
Wisata Pantai
Purworej o
Pot ens
i
Ko nse
p Ter
pad u
Kondisi Lahan
Fasilitas Estetika
Masyarak at
Finansial
Kerjasama Pemerintah
dengan : -
Masyarakat Lokal dan
Pengunjung Nilai Guna,
IRR, dan Payback
Periode Sarana dan
Prasarana Kesesuaian
Lahan
Questioner Wawancara
Analis is
Spasia l
Regio nal
Anali sis
Finas ial
Quest ioner
Wawa ncara
SW OT
221
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Nilai Guna Tidak Langsung
Pasir pantai memiliki porositas tinggi sehingga mampu menyerap air hujan dalam jumlah
besar. Berdasarkan hasil survey kepada masyarakat di sekitar pantai di Purworejo, diketahui bahwa
masyarakat menggunakan
air tanah
untuk kebutuhan sehari-hari sehingga masyarakat tidak
perlu membuat SR Sambungan Rumah PDAM. Kemampuan pantai sebagai daerah resapan air
diasumsikan menjadi biaya pemakaian air PDAM oleh masyarakat, untuk mengetahui nominal fungsi
pantai sebagai Nilai Guna Tidak Langsung Resapan Air.
Biaya pemakaian air PDAM di Kabupaten Purworejo
diatur dalam
Peraturan Bupati
Purworejo No. 5 A Tahun 2007 tentang Tarif Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum Tirta
Perwitasari Kabupaten Purworejo. Tarif air minum yang digunakan dalam perhitungan ini adalah
harga dasar Rumah Tangga IIA. Pertimbangan menggunakan kelas Rumah Tangga IIA, karena
umumnya penduduk bermatapencaharian sebagai petani yang umumnya berpenghasilan rendah.
Rumah Tangga IIA adalah pelanggan golongan rumah tangga yang hanya berfungsi sebagai tempat
tinggal dan berpenghasilan rendah.
Kebutuhan air bersih per orang untuk kebutuhan rumah tangga adalah 160 - 250
Loranghari Noerbambang Morimura, 2000, diambil nilai rata-rata yaitu 170 Loranghari.
Sehingga pemakaian air per bulan per rumah warga Desa Ketawangrejo adalah 4 orang x 170
Loranghari x 30 hari = 20,4 L = 20,4 m3bulan. Asumsi dalam tiap rumah terdapat 4 anggota
keluarga sehingga terdapat 917 rumah di Desa Ketawangrejo. Harga dasar penggunaan air sebesar
11-20 m
3
adalah Rp. 2.090m
3
.
Oleh sebab itu nilai ekonomi resapan air Pantai Ketawang,
Pantai Jetis, dan Pantai Jatimalang selama satu tahun adalah
Rp 894.332.736tahun. Pantai-pantai di Kabupaten Purworejo
memiliki potensi angin yang besar dan dapat digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga
Angin. Kemampuan angin di pantai-pantai Kabupaten Purworejo sebagai sumber energi
dikonversi menjadi biaya pemakaian listrik masyarakat Desa Ketawangrejo, masyarakat Desa
Jetis dan masyarakat Desa Jatimalang. Biaya pemakaian listrik masyarakat didasarkan dari
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 31 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga
Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan Persero PT Perusahaan Listrik Negara. Tarif
tenaga listrik untuk keperluan rumah tangga diasumsi termasuk dalam Golongan R-1TR
menggunakan daya 450 VA dengan pertimbangan kondisi rumah dan mata pencaharian masyarakat
desa yang umumnya sebagai petani. Golongan tarif R-1TR dikenai biaya beban Rp 11.000kVAbulan
dan biaya pemakaian untuk blok I 0 sampai 30 kWh sebesar Rp Rp 169kWh, untuk blok II 30
– 60 kWh sebesar Rp 360kWh dan untuk blok III
pemakaian diatas 60 kWh sebesar Rp 495kWh. Rata-rata pemakaian listrik untuk skala rumah
tangga dengan kapasitas daya 450 VA adalah 75 kWhbulan. Biaya pemakaian listrik per bulan
masyarakat Desa Ketawangrejo, masyarakat Desa Jetis, dan masyarakat Desa Jatimalang per bulan
adalah
Rp 73.547.100,00
sehingga biaya
pemakaian listrik per tahun adalah sebesar Rp 882.565.200,00.
Gambar 3. Foto Pantai Jatimalang di Purworejo Sumber : Hasil Foto 2015
Strategi Pengembangan Wisata Pantai Strategi
pengembangan menggunakan
analisis SWOT dan analisis spasial pada Gambar 4 menunjukkan bahwa melalui hasil kuisioner dan
wawancara yang dilakukan kepada pengunjung, pedagang, dan pengelola. Strategi pengembangan
wisata yang dikembangkan berbasis
socio-edu-eco tourism
berdasarkan analisis spasial pada Gambar 4 menunjukkan bahwa
pengembangan berbasis
Eco Tourism
didasarkan kepada pengembangan wisata yang memprioritaskan aspek-aspek ekologi
lingkungan di kawasan pantai, yaitu menekan dan mengevaluasi
segala bangunan
termasuk pemasangan papan reklame di kawasan pantai
secara berlebihan. Hal ini dimaksudkan untuk mengutamakan nilai estetika, guna melestarikan
pemandangan yang indah dan bagus sehingga pengunjung dapat menikmati tempat wisata dengan
baik dan arif, tentunya dengan memperbanyak fasilitas pengadaan gazebo
Rest Zone
di sekitar pantai. Rekomendasi Pariwisata berbasis ekologi
seperti reklamasi lahan pasca tambang pasir besi, menjaga kelestarian
barrier
pantai berupa pohon,
222
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
pemanfaatan tambak secara ekologi, dan pertanian di lahan pasir.
Strategi pengelolaan berikutnya melalui prinsip 3R
Reduce, Reuse,
dan
Recycle
khususnya pengelolaan terhadap limbah terutama sampah makanan dan minuman yang dibawa oleh
pengunjung. Strategi pengelolaan sampah berupa mengevaluasi
ketersediaan tempat
sampah, menarik semua tempat sampah dan mengganti
dengan tempat sampah 3
in
1
Three in One
yang secara tidak langsung mendidik dan mengajarkan
Edu
kepada pengunjung maupun masyarakat lokal akan budaya bersih. Guna mewujudkan
sanitasi yang bersih, sehat, dan nyaman. Kios, toko, dan warung yang berada di pantai dibekali
dengan pemahaman penggunaan
biodegradable plastics
yang ramah lingkungan untuk mengurangi pemanfaatan plastik yang beredar di kawasan
pantai. Kemudian menambah pengadaan kran-kran air yang dilengkapi dengan standar pemanfaatan
air yang baik dan hemat di area sekitar pantai, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi limbah
tissue
. Pengelola perlu diberikan pemahaman melalui
penyuluhan serta pembekalan terkait usaha daur ulang sampah
Recycle
, hal ini perlu selain sebagai edukasi
Edu
juga sebagai upaya pembukaan lapangan pekerjaan baru di kawasan
pantai. Pembekalan usaha daur ulang dikhususkan kepada kelompok ibu-ibu PKK untuk turut juga
membantu meningkatkan
kesejahteraan perekonomian rumahtangga masyarakat Pantai di
Purworejo. Strategi
Edu-Tourism
meliputi evaluasi penunjuk jalan dan arah menuju Pantai di
Purworejo, kemudian
melakukan pengadaan
penunjuk-penunjuk jalan yang informatif serta komunikatif dilengakapi dengan atribut-atribut
promosi tempat wisata. Selanjutnya dipromosikan dengan media elektronik melalui
Social Media
. Guna upaya promosi wisata maka pengelola perlu
dibekali pelatihan pemasaran media elektronik berbasis
Internet Marketing.
Strategi edukasi selanjutnya adalah pengenalan kepada masyarakat
tentang pengetahuan
keasrian pantai,
serta
pengetahuan tentang mitigasi bencana tsunami yang terjadi di pantai berdasarkan karakteristik
tempat dan ombak Pantai di Purworejo. Pantai di Purworejo selain untuk pariwisata bisa juga untuk
pengembangan daerah tambak, guna menambah penghasilan masyarakat sekitar.
Strategi pengembangan
Socio Tourism
meliputi perluasan dan perbaikan area parkir yang diadakan oleh masyarakat, yang mana kondisi
eksisting berupa pasir, harus diganti
Paving
agar lebih ekologis. Selanjutnya upaya promosi hasil
produk lokal masyarakat berupa semangka, papaya, dan produk hasil panen lokal lainya di
area wisata pantai. Rekomendasi variasi buah
Gambar 4. Peta Pantai di Purworejo Sumber : hasil penelitian 2015
223
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
berdasarkan karakteristik daerah Purworejo dapat meliputi buah naga, bawang merah, melon,
tanaman kacang-kacangan, umbi-umbian, dan blewah. Rekomendasi lainnya adalah upaya
pemanfaatan limbah semangka produk lokal untuk
Bio-Shampoo
untuk kesehatan guna penelitian dan kepentingan akademis edukasi.
Rekomendasi lainnya berupa pemanfaatan limbah papaya guna
Bio-Activator,
dan
Bio-Ethanol.
Rekomendasi lain
Sosio Tourism
secara kuliner bisa berupa promosi sate ambal dan jenang clorot.
Rekomendasi budaya berupa promosi upacara larungan sesaji sebagai pengenalan kearifan lokal
serta penyediaan jasa larung doa kepada masyarakat umum. Rekomendasi Festival Layang-
Layang untuk hiburan upaya memeperkenalkan permainan masyarakat lokal. Rekomendasi studio
foto untuk mengabadikan momen istimewa pengunjung.
Gambar 5. Grafik SWOT Sumber : Hasil Penelitian 2015
Gambar 5 menunjukkan bahwa posisi garis terletak pada kuadran 1 yang mengindikasikan
sebuah pengelolaan wisata yang kuat sekaligus berpeluang. Rekomendasi strategi yang diberikan
adalah progresif dominan
Stregth Growth
Oriented Strategy
, artinya institusi wisata dalam kondisi prima dan mantap oleh sebab itu maka
sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi,
memperbesar pertumbuhan
dan pengebangan
secara maksimal
baik secara
infrastruktur maupun sistem.
PENUTUP Kesimpulan
1. Nilai Guna Langsung didapat berdasarkan
Cash Flow
aktivitas ekonomi wisata Pantai di Purworejo diperoleh sebesar 1,495,425,000
rupiah per tahun. NPV diperoleh lebih besar dari 0 Nol artinya wisata Pantai di Purworejo
layak untuk dilanjutkan. IRR didapat sebesar 9.9 lebih besar dari 6 artinya pengelolaan
wisata ini layak secara finansial. Nilai Guna Tidak Langsung diperoleh berdasarkan sumber
listrik dan resapan dengan total sebesar 1,776,897,936 Rupiah per tahun.
2. Strategi pengelolaan yang tepat secara Socio-
Edu-Eco Tourism
adalah evaluasi infrastruktur dan reklame yang dapat mengganggu estetika
pemandangan. Pengembangan wisata area reklamasi pasca tambang. Pelatihan dan
Penerapan Prinsip 3R
Reduce, Reuse, Recycle
kepada masyarakat
lokal, juga
dengan mempromosikan
kantong
bio-degradable
plastic ramah lingkungan. Pelatihan
Internet Marketing
untuk masyarakat guna pemasaran wisata berbasis Media elektronik. Pelatihan
pemanfaat limbah produk lokal semangka dan pepaya serta promosi budaya dan kuliner
masyarakat Purworejo sate ambal.
Saran
Penulis merekomendasikan
saran dalam
penelitian ini untuk diadakan penelitian lanjutan mengenai regulasi yang berlaku di Kabupaten
Purworejo, khususnya kawasan pantai. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Kepala Dusun Jatimalang dan Tyas
Kusuma Ningrum atas informasi dan bantuan dalam penyelesaian penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muta’ali, L. 2015. Teknik analisis regional. Badan Penerbit Fakultas Geografi :
Yogyakarta.
Nugroho, I.
2011. Ekowisata
dan Pembangunan
Berkelanjutan. Pustaka
Pelajar : Yogyakarta. Noerbambang,
S. M.
dan Morimura,
T. 2000.
Perancangan dan Pemeliharaan Sistim
Plambing
.Jakarta: Pradnya
Paramita. Postma, A. 2002. An approach for
integrated development of quality tourism.
Inflanagan, s.,
ruddy, j., andrews, n. 2002. innovation
tourism planning. dublin : Dublin Institute of Technology:
sage.
224
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Peran Kebijakan Sains dalam Mewujudkan Industri Basis Berkelanjutan Berbasis Morfokonservasi Lingkungan
Studi Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo
Science Policy Role in Realizing a Sustainable Seed Industry based on Environmental Morfoconservation Study Case in Gunungkidul Regency, Bantul
Regency, and Kulonprogo Regency
Fajar Sugiarto, Garda
Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM, Sekip Utara, Sleman, 55281
Keyword A B S T R A C T
industrial base pattern of industrial base
morvoconservation enforcement of regulation
the involvement of academia sustainable industrial base
This research was conducted in Gunung Kidul Regency, Bantul Regency, and Gunung Kidul Regency. The aim of the research is to provide
recommendations in the form of morfokonservasi academic environment in the region spread of industrial base. Data used in the form of secondary
data from the Central Statistics Agency BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. The method used includes literature studies, analysis of LQ,
nearest neighbor analysis, and interpretation of the landscape. The results of academic research in the form of recommendations as follows: 1
Distribution of the location seed industry is clustered and random, which may affect on the cost of transportation of waste to be processed, 2
Morfoconservation applied mechanically, chemically, and vegetatif to reduce pollution load of the waste in order below the threshold, and 3 be
a supporter of science policy laws and regulations; UU No. 23 Tahun 1997, PP No. 18 Tahun 1999, Permenkes No. 1405MENKESSKXI2002,
UU No. 32 Tahun 2009, dan Permenlh No. 05 Tahun 2012, with the involvement of academia include study and practical work through course-
related field, join from the stage of development of waste management installations, implementation of waste management, waste management
oversight, and research. Thus a sustaninable industrial base to be realized.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
industri basis pola persebaran industri basis
morfokonservasi penegakan regulasi
keterlibatan akademisi keberlanjutan industry basis
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul. Tujuan dari penelitian adalah memberikan
rekomendasi akademis berupa morfokonservasi lingkungan di wilayah persebaran industri basis. Data yang digunakan berupa data sekunder dari
Badan Pusat Statistik BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan mencakup studi pustaka, analisis indeks LQ,
analisis tetangga terdekat, dan interpretasi bentanglahan. Hasil penelitian berupa rekomendasi akademis sebagai berikut : 1 Persebaran lokasi
industri basis adalah mengelompok dan random, yang dapat mempengaruhi terhadap biaya transportasi limbah yang akan diolah, 2 Morfokonservasi
diterapkan secara mekanik, kimia, dan vegetatif untuk menurunkan beban pencemaran dari limbah agar dibawah ambang batas, dan 3 Kebijakan
sains dijadikan pendukung dari regulasi ; UU No. 23 Tahun 1997, PP No. 18 Tahun 1999, Permenkes No. 1405MENKESSKXI2002, UU No. 32
Tahun 2009, dan Permenlh No. 05 Tahun 2012, dengan upaya keterlibatan akademisi berupa kerja praktek lapangan melalui matakuliah terkait,
keterlibatan dari tahap pembangunan instalasi pengelolaan limbah, pelaksanaan pengelolaan limbah, pengawasan pengelolaan limbah, dan
penelitian. Dengan demikian industri basis yang berkelanjutan dapat terwujud.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. Email address:
sugiartofajar78yahoo.com ,
gardaardiangmail.com
225
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Pembangunan nasional
didukung oleh
pembangunan daerah. Perlu diketahui bahwa peran pertumbuhan pembangunan juga didukung oleh
sektor industri. Industri merupakan suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan untuk mengubah
suatu barang dasar mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang setengah jadi dan
atau barang jadi, kemudian barang yang bernilai kurang menjadi barang yang bernilai lebih dan
sifatnya lebih kepada pemakaian akhir BPS, 2015. Adanya industri dapat memberikan nilai tambah dari
hasil yang diperoleh dan lebih bermanfaat.
Sektor industri tersebar di beberapa wilayah, termasuk di kawasan dataran, pegunungan, dan
kepesisiran. Industri yang menjadi tumpuan utama wilayah disebut industri unggulan atau industri
basis. Aktivitas
perindustrian memunculkan
masalah baru berupa limbah dan polutan sisa hasil industri. Limbah dan polutan sisa hasil industri
dipandang oleh masyarakat umum dan golongan pemerhati lingkungan sebagai pemicu kerusakan
lingkungan Sitorus, 2004. Menyikapi kondisi tersebut, diperlukan kebijakan sains. Kebijakan
sains yang dipandang sesuai dengan karakteristik geografis adalah morfokonservasi lingkungan.
Morfokonservasi lingkungan diperlukan dalam mewujudkan amanat UU No 3 Tahun 2015 tentang
Perindustrian, yakni industri hijau dan strategis.
Industri yang berkembang di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten
Kulonprogo termasuk dalam wilayah yang beragam. Keberagaman wilayah mulai dari perbukitan,
dataran, hingga pesisir yang tercerminkan dari bentanglahan.
Bentanglahan di
Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten
Kulonprogo berbeda. Mengacu laporan hasil penelitian
Worosuprojo 1989,
Kabupaten Gunungkidul didominasi oleh bentanglahan karst,
pegunungan vulkanik Baturagung, dan kawasan ledok Wonosari. Kabupaten Bantul didominasi oleh
bentanglahan dataran kaki Gunungapi Merapi dataran alluvial, dan dataran alluvial pesisir yang
tersusun
dalam graben
Bantul. Kabupaten
Kulonprogo didominasi oleh oleh bentanglahan pesisir dan perbukitan vulkanik Menoreh dengan
dominasi proses denudasional. Sektor industri yang berkembang pada setiap
bentanglahan meliputi bahan pangan dan makanan, percetakan, jasa, bahan kimia, bahan galian, minyak
bumi dan gas, kerajinan kayu dan kulit, perkebunan, dan pengelolaan lainnya BPS, 2015. Terdapat
kesamaan jenis industri pada bentanglahan berbeda. Kerentanan pencemaran limbah dan polutan hasil
industri di setiap lokasi industri pada bentanglahan berbeda tentunya akan berbeda pula.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah memberikan rekomendasi
akademis berupa morfokonservasi lingkungan di wilayah persebaran industri basis. Harapan dari
tujuan tersebut adalah agar industri sektoral tetap mendukung pembangunan daerah dengan tetap
memperhatikan
lingkungan, sehingga
dapat mewujudkan industri yang berkelanjutan.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP
Sektor industri merupakan sektor yang memiliki
pengaruh besar
terhadap pembangunan ekonomi suatu daerah. Penentuan
industri pada suatu daerah melalui pendekatan sektoral memberikan keuntungan, diantaranya
pengembangan industri akan fokus kepada industri sektor atau industri basis. Atas dasar ini
pengembangan teknologi, pembiayaan dan perkembangan jenis industri akan lebih baik
Tippichai, 2009.
Kebijakan sains
melalui upaya
morfokonservasi dilakukan karena pada umumnya aktivitas industri di berbagai sektor menimbulkan
pencemaran dan mengganggu lingkungan hidup. Suharto 2008 menjelaskan bahwa kebijakan
merupakan prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Prinsip yang diterapkan dalam kasus ini adalah morfokonservasi.
Konsep morfokonservasi
didasarkan atas pelestarian alam berdasarkan parameter bentuklahan. Parameter ini berdasarkan
komplek fisik permukaan bumi ataupun dekat permukaan bumi suatu daratan yang dipengaruhi
oleh kegiatan manusia SNI 13-6185, 1999.
Teknik konservasi dapat diterapkan secara mekanik, khemik, vegetatif, dan kombinasi dari
ketiganya Sartohadi
dkk
., 2013. Penerapan morfokonservasi dimaksudkan untuk mengelola dan
menjaga kelestarian
lingkungan hidup
dari pencemaran sisa aktivitas industri. Lingkungan
hidup penting bagi keberlanjutan dan kelestarian umat manusia dan makhluk hidup lainnya,
sedangkan industri bermanfaat untuk menyokong perokonomian, pembangunan, dan kesejahteraan
masyarakat. Lingkungan hidup dan industri perlu disinergikan melalui kebijakan sains berbasis
morfokonservasi agar dapat tercipta pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan
lingkungan. Mengingat UU No. 23 Tahun 1997 telah
mengamanatkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, yakni upaya sadar
dan terncana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumberdaya ke
dalam proses
pembangunan untuk
menjamin kemampuan,
226
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu
Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo. Lokasi tersebut dipilih
karena ketiga lokasi tersebut memilik perbedaan bentuklahan secara spasial dengan potensi yang
berbeda meskipun lokasi ketigaya berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.
Pengumpulan Data
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data
sekunder. Data utama yang digunakan yaitu data jumlah industri berdasarkan unit usaha yang berada
di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo tahun 2012 beserta letak
administratif masing-masing industri. Data tersebut diperoleh melalui Badan Pusat Statistik Provinsi D.I
Yogyakartadan. Data pendukung yang digunakan adalah data kondisi geomorfologi ketiga wilayah
kajian.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan meliputi:
Metode analisis Location Quotient LQ
Metode ini digunakan untuk menentukan jenis unit usaha yang menjadi usaha sektoral pada suatu
daerah. Apabila nilai LQ 1 maka sebagai unit usaha sektoral. Secara umum metode analisis LQ
dapat diformulasikan sebagai berikut Widodo, 2006.
LQ = VikVk VipVp
Keterangan:
Vik : nilai output PDRB sektor i daerah studi k kabupatenkota misalnya dalam
pembentukan Produk Domestik Regional Riil PDRR daerah studi k.
Vk : produk Domestik Regional Bruto total semua sector di daerah studi k
Vip : nilai output PDRB sektor i daerah referensi p provinsi misalnya dalam
pembentukan PDRR daerah referensi p.
Vp : produk Domestik Regional Bruto total semua sector di daerah referensi p.
Metode Analisis Tetangga Terdekat
Metode ini digunakan untuk menentukan pola persebaran
suatu industri.
Persamaan yang
digunakan adalah
T : indeks penyebaran tetangga terdekat Ju : jarak rata-rata yang diukur antara satu
titik dengan tetangga yang terdekat Jh : jarak rata-rata yang diperoleh andai kata
semua titik mempunyai pola random.
p : kepadatan titik dalam tiap kilometer per segi yaitu jumlah titik N dibagi luas
wilayah A Hasil nilai T dibagi menjadi tiga kelas yaitu:
1. Pola Clustered mengelompok, dengan
nilai T = 0 – 0,99
2. Pola Random tersebar tidak merata atau
acak, dengan nilai T = 1 3.
Pola Uniform tersebar merata atau seragam, dengan nilai T 1, hingga 2,15
Bintarto, 1991
Interpretasi Bentanglahan
Cara ini digunakan untuk menentukan konservasi yang sesuai di lingkungan industri. Teknik
konservasi didasarkan
atas karakteristik
bentanglahan di lingkungan industri. Karakteristik bentanglahan yang diamati meliputi bentuklahan
dan karakteristik wilayah setempat ditinjau dari aspek desa atau kota.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Industri Basis Indeks LQ
Hasil analisis indeks LQ berupa industri basis disetiap wilayah. Industri basis disajikan
dalam peta industri basis daerah kajian terlampir. Kabupaten Gunungkidul memiliki kencenderungan
industri basis dengan kecenderungan hasil aktivitas agrikultural dan tambang. Kabupaten Bantul
memiliki kecenderungan industri basis hasil pengolahan seperti kulit, furniture, pakaian jadi,
kayu, makanan, pengelolaan lainnya, dan barang galian bukan logam. Industri basis di Kabupaten
Kulonprogo cenderung berupa industri pengolahan seperti makanan, barang galian, furniture dan kayu.
Industri basis tersebut merupakan industri unggulan di masing-masing daerah kajian. Hasil
dari industri basis tentunya memberikan sumbangan
227
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
berarti terhadap pendapatan asli daerah PAD. Pendapatan yang diperoleh dari industri basis
memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi pembangunan di masing-
masing daerah kajian. Dampak yang perlu diperhatikan adalah limbah sisa hasil industri agar
tidak mencemari lingkungan. Penanggulangan limbah sisa hasil industri harus memperhatikan
karakteristik lingkungan secara geomorfologi.
Pola Persebaran Industri Basis
Analisis tetangga
terdekat dilakukan
menggunakan data persebaran industri dalam peta terlampir.
Hasil analisis
tetangga terdekat
ditunjukkan dalam tabel .
No Jenis Sektor Industri
Pola
1 Makanan
Mengelompok 2
Pakaian Jadi Random
3 Tekstil
Mengelompok 4
Furniture Mengelompok
5 Logam Bukan Mesin
Mengelompok 6
Bahan Kimia Mengelompok
7 Pengolahan Lainnya
Random 8
Produk Batubara dan Migas
Random 9
Meubel Mengelompok
10 Kerajinan Kulit
Random 11
Barang Galian Bukan Logam
Mengelompok
Tabel 1. Hasil analisis tetangga terdekat
sumber data : Hasil analisis, 2015
Ketiga daerah kajian pola persebaran mengelompok, random, dan seragam, namun di setiap daerah kajian
memiliki kecenderungan yang berbeda. Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo memiliki
kecenderungan pola persebaran industri basis random atau secara acak. Hanya Kabupaten Bantul
yang memiliki kecenderungan pola persebaran industri basis yang mengelompok.
Pola persebaran industri basis bermanfaat dalam kemudahan pengelolaan instalasi pengelolaan
limbah. Pola persebaran yang mengelompok akan mempermudah pengelolaan limbah dan efisiensi
biaya transportasi limbah. Pola persebaran yang menyebar secara acak atau random memerlukan
biaya lebih dalam hal biaya transportasi limbah.
Karakteristik Geomorfologi
Kabupaten Gunungkidul memiliki topografi wilayah yang datar, bergelombang, dan perbukitan.
Bentuklahan yang
menyusun Kabupaten
Gunungkidul meliputi
bentukan asal
proses solusional karst, vulkanik tua Baturagung,
struktural, fluvial, marin, organik, dan denudasional Worosuprojo, 1989. Konfigurasi dari bentuklahan
tersebut dapat terlihat dari citra LANDSAT 7 ETM terlampir.
Wilayah Kabupaten
Gunungkidul tergolong beragam, seperti terdapatnya gua-gua di
wilayah karst selatan K,
escarpment
Baturagung EA di bagian barat ke arah timur, ledok Wonosari
LW, Sungai Oyo yang terkontrol oleh patahan, dan kenampakan mikro yang komplek. Karakteristik
ini menjadikan sebagian wilayah Gunungkidul rentan terhadap pencemaran airtanah, jika industri
yang ada tidak memperhatikan pengelolaan limbah yang benar. Airtanah mudah tercemar karena
terdapat
diaklas
atau rekahan-rekahan batuan yang dapat mempercepat rembesan air ke dalam sistem
airtanah. Disamping itu banyak sungai bawah tanah yang terdapat di wilayah ini.
Kabupaten Bantul didominasi oleh dataran alluvial DA yang luas. Dataran ini merupakan
asosiasi dataran kaki Gunungapi Merapi. Topografi perbukitan terletak di bagian barat dan timur
Kabupaten Bantul,
yang berbatasan
dengan Kabupaten Gunungkidul dibagian timur dan
Kabupaten Kulonprogo dibagian barat. Bentuklahan yang ada di Kabupaten Bantul meliputi asal proses
kombinasi fluvial, vulkanik, struktural, aeolian, marin, solusional, dan denudasional Worosuprojo,
1989. Konfigurasi bentuklahan di Kabupaten Bantul menjadikan karakteristik wilayah berupa
dataran yang mendominasi. Dataran alluvial sesuai digunakan sebagai lahan pertanian. Di bagian
selatan terdapat pesisir bergisik PG dan gumuk pasir. Aliran sungai permukaan menjadikan wilayah
ini berpotensi terhadap sumber air permukaan. Sungai besar yang melalui adalah Sungi Opak dan
Sungai Progo. Akuifer di wilayah ini juga baik dalam menjaga ketersediaan airtanah, karena hasil
dari pengendapan material vulkanik yang baik dalam menyimpan dan melalukan airtanah Santosa
dan Adji, 2014. Karakteristik ini menyebabkan aliran airtanah disebagian besar bersifat isotropis
atau
dapat mengalir
disegala arah
secara gravitasional.
Kabupaten Kulonprogo didominasi oleh topografi perbukitan. Bentuklahan yang terdapat
meliputi vulkanik, struktural, denudasional, fluvial, marin
dan solusional
Worosuprojo, 1989.
Perbukitan Menoreh VS yang terbentuk oleh aktivitas vulkanik tua dan struktural patahan.
Karakteristik tersebut disertai curah hujan yang
228
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
tinggi menyebabkan
wilayah Kabupaten
Kulonprogo yang didominasi perbukitan menjadi rawan erosi dan longsor. Bentuklahan berupa
dataran koluvial DK terbentuk sebagai akumulasi material yang tererosi. Di bagian selatan terdapat
pesisir bergisik PG yang berbatasan langsung dengan
Samudra Hindia.
Hal ini
perlu dipertimbangkan dalam pengembangan industri
skala besar.
Morfokonservasi
Karakteristik geomorfologi
menjadi pertimbangan
utama dalam
penentuan morfokonservasi untuk mewujudkan industri basis
yang berkelanjutan.
Hal penting
yang dipertimbangkan
adalah karakteristik
sosial masayarakat disekitar industri basis. Berdasarkan
data BPS 2015 menunjukkan bahwa di ketiga daerah kajian didominasi oleh perdesaan yang
berarti sebagian besar masyarakat masih memiliki budaya perdesaan yang identik dengan sektor
ekonomi primer.
Instalasi pengelolaan limbah yang baik diterapkan di daerah kajian adalah pengelolaan
limbah secara komunal atau bersama-sama di setiap kawasan industri basis. Tujuannya adalah untuk
menekan biaya operasional pengelolaan limbah yang besar apabila dilakukan oleh setiap pengusaha.
Dengan adanya sistem pengelolaan limbah komunal di kawasan industri basis akan menjadikan biaya
lebih murah. Bentuk instalasi pengelolaan limbah didasarkan
karakteristik geomorfologi
serta melibatkan kerjasama penduduk setempat agar tidak
menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Karakteristik Kabupaten Gunungkidul yang
rentan terhadap
pencemaran airtanah
harus dipertimbangkan. Bentuk instalasi yang sesuai
adalah dengan jalur perpipaan. Instalasi pusat pengelolaan limbah dapat menerapkan pengelolaan
limbah yang dilakukan PT. Pupuk Sriwijaya PUSRI dengan memanfaatkan tumbuhan enceng
gondok yang dapat mereduksi zat-zat kimia pencemar
http:pusri.co.id
, 2015. Kemudian sisa limbah dapat diuapkan di lingkungan yang
bervegetasi lebat. Sehingga bentuk konservasi yang diterapkan adalah secara mekanik dan vegetatif.
Karakteristik Kabupaten
Bantul yang
memiliki akuifer sebagian besar wilayah bersifat isotropis perlu dipertimbangkan. Bentuk instalasi
pengelolaan limbah dapat dilakukan secara mekanik untuk proses transportasinya, dapat berbentuk pipa
atau saluran beton yang kedap air sebagai penyalur ke pusat pengelolaan limbah. Perlu diketahui, bahwa
Kabupaten
Bantul sudah
memiliki instalasi
pengelolaan air limbah IPAL yang terletak di Kecamatan Sewon. Sehingga upaya kedepannya
adalah menjadikan IPAL tersebut sebagai pusat pengelolaan limbah secara komunal. Hanya saja
perlu ditingkatkan proses
treatment
limbah agar beban pencemar berkurang.
Karakteristik Kabupaten Kulonprogo yang rawan erosi dan longsor harus memperkuat upaya
konservasi mekanik yang diimbangi vegetatif. Bentuk instalasi pengelolaan limbah sama halnya
dengan Kabupaten
Gunungkidul, dengan
pertimbangan banyaknya mata air di Kulonprogo Pemkab Kulonprogo, 2015. Sehingga proses
transportasi limbah menggunakan pipa. Konservasi mekanik yang baik dimaksudkan untuk melindungi
saluran pipa apabila terjadi longsor dan dampaknya di kawasan industri basis. Konservasi mekanik
dapat dilakukan dengan membangun talaud yang diberi jalur resapan air agar beban air dapat
dikeluarkan dari dalam talud.
Regulasi Terkait
UU No.
23 Tahun
1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 18 Tahun 1999
Tentang Pengelolaan
Limbah Bahan
Berbahaya dan
Beracun, Permenkes
No. 1405MENKESSKXI2002 Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Permenlh No. 05 Tahun 2012 Tentang Jenis
Rencana Usaha danatau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup telah mengamanatkan kepada masyarakat akan perlunya kelestarian lingkungan hidup. Industri
basis harus mempertimbangkan hal ini, mengingat sumber pencemar lingkungan yang dianggap besar
berkontribusi atas pencemaran lingkungan adalah sektor industri.
PENUTUP
Kebijakan sains berupa morfokonservasi untuk mewujudkan industri basis berkelanjutan
perlu dimasukkan dalam regulasi sebagai syarat detail. Lokasi industri memiliki karakteristik
wilayah yang tidak sama. Sehingga diperlukan pengelolaan limbah yang tepat, salah satunya
dengan
pengelolaan limbah
berbasis morfokonservasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada Ibu Sri Rahayu Budiani, S.Si, M.Si. yang
telah membimbing peneliti dalam kuliah BLOK Analisis Sumberdaya Manusia dan Ekonomi.
Rekan –rekan
kami seperjuangan,
Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM angkatan 2012
BLOK 1, yang terdiri atas tim geomorfologi, tim
229
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
hidrologi, tim sosial, dan tim ekonomi. Tidak lupa peneliti sampaikan terima kasih kepada Badan Pusat
Statistik Daerah
Istimewa Yogyakarta
atas ketulusannya dalam memberikan informasi data.
DAFTAR PUSTAKA Arbor, C.F. 1995. Early intervention strategies for
adolescents. Unpublished doctoral dissertation, University of Massachusetts at Amherst.
Badan Pusat Statistik BPS. 2015. Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bintarto, R. 1991. Metode Analisa Geografi. Jakarta : LP3ES.
Hendrayana, R. 2013. Aplikasi Metode Location Quotient LQ dalam Penentuan Komoditas
Unggulan Nasional.
Jurnal Informatika
Pertanian 12 1: 658-675.
http:pusri.co.id
, diakses pada 7 April, 2015. Permenkes
No. 1405MENKESSKXI2002
Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Republik
Indonesia. Permenlh No. 05 Tahun 2012 Tentang Jenis
Rencana Usaha danatau Kegiatan yang Wajib Memiliki
Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup. Republik Indonesia.
PP No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Republik Indonesia. Sartohadi, J,.
dkk.
2013. Pengantar Geografi Tanah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sitorus, H. 2004. Kerusakan Lingkungan oleh Limbah Industri Adalah Masalah Itikad.
Repository. Medan : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Suharto, E. 2005. Pekerjaan Sosial Industri, CSR yang Efektif. Bandung : Alfabeta.
Suharto, E. 2008. Paradigma Ilmu Kesejahteraan Sosial. Makalah Seminar. Bandung.
Tippichai, A. 2009. Introduction of a Sectoral Approach to Transport Sector For Post-Curves.
Thesis. Graduate School od Science and Technology, Nihon UnVersity Chiba, Japan.
Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Republik Indonesia. Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 3
Tahun 2015 Tentang Perindustrian. Republik Indonesia.
UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Republik
Indonesia. Worosuprojo, S. 1989. Laporan Penelitian Pemetaan
Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya Ilmiah Hasil Penelitian. Yogyakarta :
Fakultas Geografi UGM.
230
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Lampiran
231
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
CITRA LOKASI KAJIAN
Sumber : Citra LANDSAT 7 ETM Tahun 2014
232
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Inovasi Berbasis Sumber Daya Alam dan Lingkungan dalam Pengembangan Sektor Pariwisata
di Kabupaten Banyuwangi
Innovation in Tourism Sector Development Based on Natural Resources and Environment in Banyuwangi
Puji Wahono
FiSIP Universitas Jember, Jalan Kalimantan No 37, Tegal Boto, Jember 68121 Telepon: 0331.330224
Keyword A B S T R A C T
innovation tourism
cluster area natural reources
Banyuwangi
The Great Bali, Great Batam, Great Jakarta are the icons created by the ministry of tourism Indonesia to market tourism
potential areas around these icons. Banyuwangi is part of the Great Bali cluster and can take advantage of the fame of Bali to attract
foreign tourists to visit Banyuwangi. Innovations on natural resource- based tourism and the environment is a strategy choosen by
Banyuwangi Local Government by minimizing environmental degradation and increasing citizen participations. This research is
descriptive, using in-depth interviews with stakeholders. Obyektive of this research is to uncover the reasons behind the chosen strategy.
The informants are numbers of heads from relevant agencies and tourism businesses. In conclusion, innovation strategy involving
community participation affect the increase of foreign and domestic tourists visits sharply, increasing public revenue and per capita
income .
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
inovasi turisme
area cluster sumber daya alam
Banyuwangi Great Bali, Great, Batam, Great Jakarta adalah ikon yang dibuat
Kementerian pariwisata untuk memasarkan daerah-daerah potensial di sekitar pusat-pusat kunjungan wisatawan asing ini. Banyuwangi yg
berbatasan dengan Bali, masuk kluster Great Bali dapat memanfaatkan ketenaran Bali untuk menarik wisatawan asing ke
Banyuwangi. Inovasi pariwisata berbasis sumberdaya alam dan lingkungan dilakukan untuk menarik kunjungan wisatawan dengan
meminimalkan degradasi lingkungan, meningkatkan partisipasi warga. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, menggunakan metode
wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan, tujuannya untuk mengungkap alasan dibalik strategi yang dipilih. Informan
sejumlah kepala dinas terkait dan pelaku usaha pariwisata. Kesimpulannya, inovasi pariwisata yang melibatkan partisipasi
masyarakat berdampak kepada peningkatan kunjungan wisatawan asing dan domestik secara tajam, meningkatkan PAD dan pendapatan
perkapita masyarakat.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. E-mail address: pujiwahonoyahoo.com
233
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN Pariwisata belakangan ini menjadi salah satu
sumber pemasukan devisa negara yang besar. Bahkan di sejumlah negara pariwisata menjadi
andalan dalam mengisi kas negara. Caranya terutama
adalah dengan
mendatangkan sebanyak mungkin wisatawan dari manca
negara wisman untuk masuk ke negaranya. Indonesia sebagai negara terbesar di
Asia Tenggara dan dengan ribuan pulau, berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa,
keanekaragaman budaya, seharusnya mampu mengkapitalisasi kekayaan alam dan budaya
nya tersebut melalui pariwisata.
Di lingkungan ASEAN, Singapura, Thailand, Malaysia sejauh ini berhasil
menjaring wisman. Tahun 2013 Thailand dikunjungi 26,5 juta wisman dan ini masih
akan terus naik lagi rata-rata 27,5 per tahun sampai 2018. Malaysia mencatat 26,3 juta
wisman, dan Singapaura mencatat 15,6 juta wisman. Sedang Indonesia hanya mencatat 8,3
juta wisman.
Indonesia tahun 2019 menargetkan kunjungan wisman 20 juta orang. Target yang
tidak ringan
bila melihat
data-data sebelumnya, tapi bukan tugas yang berat
apabila melihat potensi pariwisata yang dimiliki Indonesia. Kementerian pariwisata
untuk itu telah merancang strategi yang sesuai dengan tupoksi-nya, mengkordinasikan dan
mempromosikan potensi wisata Indonesia.
Berdasarkan data resmi pemerintah, masuknya wisman ke Indonesia 2014 tercatat
yang melalui pintu Bali adalah sejumlah 3.507.310 wisman 40, Jakarta 2.305.729
wisman 26 , Batam 2.154.697 wisman 24. Melalui tiga pintu gerbang utama ini 90
wisman masuk ke Indonesia.
Untuk menyederhanakan pesan kepada pasar, Kementerian Pariwisata Kemenpar
menyiapkan strategi
Clustering
. Destinasi dibuat
sistem cluster,
dengan mengikutsertakan
daerah-daerah potensial
sekitarnya, berdasar
banyaknya jumlah
kunjungan wisman,
kesiapan produk,
infrastruktur, dan potensi kekuatan produk. Istilah
Great Bal
i,
Great Jakarta
,
Great Batam
digunakan untuk menjadikan daerah- daerah tersebut sebagai
hub
masuknya wisman ke dalam kluster tersebut. Wisman selanjutnya
akan diarahkan menuju daerah-daerah sekitar yang
menjadi destinasi
alternatif yang
mungkin tidak kalah menariknya. Untuk
Great Bali
, wisman diharapkan akan diarahkan juga ke daerah potensial
sekitarnya, baik di sebelah timur Bali yakni Nusa Tenggara Barat NTB maupun di
sebelah barat Bali yakni Jawa Timur Jatim dimana Banyuwangi adalah pintu gerbang
masuk ke
Great Bali
ini. Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi
yang sejak empat tahun lalu menjadikan pariwisata
sebagai penghela
utama perekonomian daerah selain sektor pertanian
terus berupaya mengembangkan pariwisata yang inovatif, pariwisata yang berbasis
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Tujuan kajian ini untuk mengungkap mengapa
dan bagaimana inovasi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di Banyuwangi tersebut
dilakukan. KERANGKA TEORI KERANGKA
KONSEP Inovasi berbasis sumberdaya dan lingkungan
di bidang pariwisata ini tidak lepas dari pilihan strategi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi. Johnson dan Scholes 2002 menyebut strategi sebagai arah dan cakupan
organisasi jangka panjang untuk mencapai keunggulan bersaing melalui konfigurasi
sumberdaya internal yang dimiliki dan lingkungan sekitar yang menantang dalam
rangka memenuhi kebutuhan pasar dan harapan
pemangku kepentingan
stakeholders
. Bila diamati, strategi pembangunan
yang umum dianut berbagai bangsa meminjam istilah Porter 1985 menggunakan perspektif
lingkungan eksternal. Para perancang strategi pada umumnya menganalisis lingkungan
terlebih dahulu sebelum menentukan posisi mereka dalam mempertahankan keunggulan
bersaing, perspektif ini banyak disebut sebagai strategi berbasis pasar
market-based view
. Selain berdampak positif, strategi ini
ternyata juga banyak berdampak negatif, antara
lain tersedotnya
kekayaan dari
sumberdaya alam daerah ke pusat-pusat kekuasaan, peran masyarakat daerah sebagai
subyek pembangungan kian termarjinalkan, dan degradasi lingkungan di daerah semakin
tak terhindarkan.
234
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Perspektif itu,
sekarang mulai
ditinggalkan dan digantikan dengan perspektif yang lebih ramah lingkungan, yakni lebih
melihat potensi sumberdaya internal daerah yang ada. Ini sejalan dengan pemikiran
Prahalad
1984 untuk
menciptakan keunggulan bersaing berdasarkan inovasi
berbasis pendayagunaan sumberdaya internal yang dimiliki melalui penciptaan kompetensi
inti.
Pemikiran ini
juga didukung
Chamberlain 1933 dan Robinson 1933 yang menyatakan pentingnya sumberdaya unik
guna menciptakan adanya persaingan tidak sempurna, sehingga bisa didapat keuntungan
yang lebih tinggi seperti misal
technical know- how
, reputasi, paten,
trade-merk
, dan
brand- awareness
. Terkait dengan itu Schumpeter 1934
lebih lanjut memberikan tekanan kemampuan organisasi
dalam rangka
mengendalikan peluang kompetitif, dengan jalan menciptakan
atau mengadopsi inovasi guna mengalahkan posisi strategis pesaing.
Perspektif sumberdaya ini semakin lengkap ketika Penrose 1959 mengemukakan
temuannya, bahwa organisasi bukan sekadar sebuah unit administratif semata, akan tetapi
berupa sekumpulan sumberdaya produktif, yang
dalam penggunaanya
ditentukan keputusan administratif.
Jalan tengah coba diambil oleh Chandler 1962 dan sebelumnya Selznick
1957 yang lebih menyarankan perlunya keselarasan kondisi internal dengan kondisi
ekternal, sehingga kapabilitas baik internal maupun eksternal akan dapat menghasilkan
keunggulan organisasi.
Pandangan internal-eksternal
ini disepakati
oleh Andrew
1971 yang
menekankan pentingnya kondisi internal dan eksternal untuk melihat posisi daya saing
organisasi, dengan menggunakan analisis SWOT
Strength, Weaknesses, Opportunities, and Threats
untuk melihat kekuatan dan kelehaman organisasi dalam posisi bersaing.
Terkait dengan
kondisi internal
organisasi, Coase 1937 dalam bukunya
the nature of the fim
dan juga Williamson 1975, 1979 keduanya tertarik mengembangkan teori
ekonomi biaya transaksi, dimana mereka bermaksud menjawab pertanyaan tentang
mengapa sebuah organisasi itu terbentuk. Selanjutnya
Combs dan
Ketchen 1999 kemudian menyebutkan teori di atas
sejalan dengan pandangan
resource-based view RBV
karena teori di atas memfokuskan pada
asset specificity
, atau aset yang spesfik dan sulit ditiru dalam menciptakan keunggulan
bersaing. Teori sumberdaya internal organisasi
ini kemudian dikembangkan secara lebih komprehensif
oleh Barney
1991. Menurutnya,
sumberdaya itu
mencakup keseluruhan aset, baik berupa kapabilitas,
proses, organisasi, informasi, pengetahuan, yang dikendalikan organisasi dan yang
memungkinkan organisasi menciptakan dan menerapkan strategi secara efektif.
Pemikiran itu
disempurnakan Wernerfelt 2004 dengan menggunakan alat-
alat analisis ekonomi yang sederhana untuk melihat posisi sumberdaya, untuk menentukan
strategi
yang tepat
guna menciptakan
keunggulan bersaing suatu organisasi. Sementara itu terkait inovasi, Komisi
Eropa 2004
mendefinisikan sebagai
pembaruan dan perluasan jangkauan produk- produk dan jasa-jasa serta pasar-pasar yang
berkaitan, menyangkut; penggunaan metode baru berproduksi, cara baru memasok dan
mendistribusikan produk dan jasa; perubahan- perubahan dalam manajemen, kerja organisasi,
dan kondisi kerja serta keahlian-keahlian ketenagakerjaan.
Munculnya inovasi ini secara teoritis dapat disebabkan beberapa faktor pemicunya,
yakni sains
technology push
, kebutuhan pasar
market pull
, keterkaitan antar para aktor dalam pasar, jaringan yang terhubung
teknologi, dan jaringan sosial. Sedangkan
pakar lainnya
seperti Cooper dan Kleinschmidt 1987, Damanpour
dan Evan 1984, Subramanian dan Nilakanta 1996, dalam Valencia
et al
., 2010 melihat adanya inovasi yang mulai dipertimbangkan
sebagai kunci dalam meraih keunggulan bersaing berkelanjutan di pasar.
Alasan inovasi dilakukan, menurut Drucker 1985; Miles dan Snow, 1978,
Damanpour dan Evan 1984 dalam Valencia
et al
., 2010 agar organisasi menjadi lebih fleksibel dan memiliki kemampuan lebih besar
235
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
dalam beradaptasi
dengan perubahan
lingkungan. Inovatif dapat melindungi mereka dari iklim usaha yang tidak stabil. Mereka
dapat merespons perubahan lebih cepat dengan cara
menciptakan peluang
baru dalam
persaingan. Arti iovasi itu sendiri didefinisikan
oleh Fontana 2011 sebagai keberhasilan ekonomi dan sosial akibt dikenalkannya cara-
cara baru atau kombinasi baru dari cara-cara lama untuk mengubah
input
menjadi
output
sehingga dapat menghasilkan perubahan besar dari nilai guna produk menurut persepsi
pengguna dan harga yang ditetapkan produsen.
Prinsip dasar dari inovasi itu sendiri adalah harus berhasil menciptakan nilai yang
dipersepsikan konsumen atau masyarakat lebih tinggi daripada harga yang harus mereka
bayar. Inilah yang dicoba diterapkan di bidang pariwisata di Banyuwangi.
Berikutnya terkait dengan apa itu yang disebut
pariwisata, Kodhyat
1983 mendefinisikan sebagai perjalanan dari satu
tempat ke tempat lain bersifat sementara, dilakukan perseorangan maupun kelompok,
sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian
dan kebahagiaan
dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial,
budaya, alam dan ilmu. Tidak berbeda dengan itu, Yoeti 1996
mengartikan pariwisata sebagai perjalanan
yang dilakukan sementara waktu dari suatu tempat ke tempat yang lain, dengan maksud
semata-mata untuk menikmati perjalanan guna bertamasya atau rekreasi dan untuk menutupi
kebutuhan yang beraneka ragam.
Adapun untuk
mengembangkan pariwisata yang berbasis sumberdaya alan dan
lingkungan, Lim MacAller 2003, harus dikelola dalam skema berdasarkan konsep
pembangunan
berkelanjutan
sustainable development
, yakni pembangunan yang tidak berdampak merusak terhadap lingkungan alam
dan sosial. Agar konsep pembangunan tersebut
dapat terlaksana maka masyarakat terutama yang berada dalam obyek wisata itu harus
diikutsertakan dan dberikan peran utama dalam mendukung suksesnya pengembangan
pariwisata tersebut. Dalam konsep ini sangat penting melibatkan parisipasi masyarakat sejak
perencanaan, pengelolaan, pemantauan, dan juga penilaian atas keberhasilan program ini.
METODE PENELITIAN
Ini adalah hasil penelitian kualitatif, dimana data dan informasi diperoleh dengan
menggunakan metode
observasi dan
wawancara secara
mendalam
indepth interview
dengan sejumlah obyek dan informan yang ditetapkan dengan sengaja dan
teknik
snowbolling
. Informasi primer diperoleh dari para
informan yang terdiri para pembuat kebijakan di Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi,
antara lain Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta
Pertambangan, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM, serta sejumlah pelaku usaha di
industri pariwisata.
Analisis dilakukan secara deskriptif, dan pendekatan
yang digunakan
menurut Cresswell 2010 adalah konstruktivisme.
Artinya di sini informasi dan data yang telah diperoleh kemudian dikonstruksikan untuk
memperoleh gambaran yang utuh tentang kondisi dan kejadian yang sebenarnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan dan kajian yang
dilakukan maka berikut dijelaskan potensi sumberdaya alam dan lingkungan, strategi
yang dipilih serta alasan dibalik pilihan strategi
pengembangan pariwisata
di Banyuwangi tersebut.
Sumberdaya Pariwisata Banyuwangi
Kabupaten Banyuwangi, wilayah yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa dan
berbatasan langsung dengan Selat Bali. Memiliki wilayah seluas 5.782,50 km
dan 24 kecamatan, serta dihuni 1,6 juta penduduk.
Banyuwangi juga
merupakan kabupaten
dengan daerah terluas di Provinsi Jawa Timur. Karena itu daerah ini kaya sumberdaya alam
dan keindahan lingkungan alamnya.
Di bidang kependudukan, suku Using Osing disebut-sebut sebagai penduduk aseli
wilayah ini. Pada beberapa kecamatan jumlah mereka cukup dominan. Dalam konteks
budaya, keberadaan suku Using merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di
Banyuwangi yang multi kultur terutama Jawa,
236
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Madura, dan Bali. Stereotipe karakter Banyuwangi sangat
unik. Keunikan itu dibentuk dari dua elemen masyarakat yang dominan yakni Suku Jawa
Mataraman, yang banyak berdomisili di wilayah dataran tinggi dan subur serta
ditumbuhi tanaman dan hutan seperti daerah- daerah Tegaldelimo, Purwoharjo, Bangorejo,
dan Tegalsari.
Selanjutnya Suku
Madura- Pendalungan, mereka banyak tinggal di daerah
pantai dan
daerah perbatasan
dengan Kabupaten Jember di sebelah barat dan
Kabupaten Situbondo yang berada di sebelah utara. Daerah-daerah itu seperti Glenmore,
Kalibaru, Muncar, Wongsorejo.
Suku Using sendiri lebih banyak tinggal di dataran subur sekitar Kota
Banyuwangi, seperti Kecamatan Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh,
Cluring Genteng. Sebagai gambaran kasar, disebutkan jumlah mereka sekitar 20 persen
dari total populasi yang mencapai 1,6 juta jiwa.
Kompas 2008 melaporkan mayoritas penduduk Banyuwangi atau 60 persen lebih
Suku Jawa, disusul suku Using 20 persen, Suku Madura 12 persen, dan lebihnya etnis
Cina, Sulawesi, Bali.
Suku Using memiliki keunggulan dalam bidang sosial, terbuka dan sangat
adaptif, kreatif terhadap pengaruh unsur kebudayaan lain. Karakter egaliter menjadi ciri
dominan dalam masyarakat Using. Ini tampak dalam bahasa Using yang tidak mengenal
tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura.
Dikatakan oleh Saputra dan Shrintil 2007 struktur masyarakat Using pun tidak
berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan
tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali.
Agama yang
dianut mayoritas
masyarakat di Banyuwangi Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budayapun
cukup kental. Ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang Banyuwangi itu sendiri
yang dapat ditelusuri sampai pada zaman Majapahit.
Kepercayaan utama suku Using adalah Hindu - Budha. Berkembangnya kerajaan
Islam di pesisir utara Jawa membuka jalan penyebaran agama Islam dengan cepat di
kalangan suku Using. Berkembangnya Islam dan masuknya VOC untuk menguasai daerah
Blambangan
Banyuwangi menambah
pengaruh luar yang lain ke dalam budaya masyarakat Using Wikipedia, 2013.
Masyarakat Banyuwangi
terus berkembang secara dinamis memasuki era
reformasi, otonomi daerah dan globalisasi. Pada era ini Banyuwangi semakin otonom
dalam mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya,
menembus batas-batas
wilayah geografis dan budaya. Kabupaten
Banyuwangi berpotensi
besar mengembangkan
wisata berbasis
budaya dan alamnya. Budaya suku Using yang sangat unik dan banyak mengandung
unsur-unsur mistik
seperti budaya
tetangganya di
seberang timur
yakni masyarakat suku Bali.
Potensi kesenian sangat beragam dan beberapa diantaranya yang sangat dikenal
adalah Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger,
Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor.
Keindahan alamnya juga dikenal luas seantero dunia seperti Taman Nasional Alas
Purwo, Meru Betiri, Gunung Ijen, Taman Nasional Baluran. Besarnya potensi itu
menjadikan
pariwisata di
Kabupaten Banyuwangi berkembang sangat pesat.
Dari batas wilayah selatan, timur, sampai utara membentang lautan dan pantai
yang indah laut selatan, selat Bali, sampai laut Jawa. Di bagian barat yang berbatasan dengan
Kabupaten Bondowoso membentang jajaran pegunungan Raung dan Ijen.
Seperti diberikatakan Antara Jatim 2013 Secara ekonomi wilayah ini mampu
tumbuh di atas rata-rata yakni 6,0 persen. Banyuwangi dalam tiga tahun terakhir ini
mampu menempatkan diri pada ranking ke-3 tujuan investasi dari 38 kabupatenkota yang
ada di provinsi Jawa Timur. Melompat dari dari
urutan ke
31 akibat
pesatnya pembangunan infrastruktur di kawasan ini.
Jalan raya lintas utara pantai dan selatan pegunungan menghubungkan kota
Banyuwangi dengan Surabaya. Lapangan terbang
Belimbingsari di
Kecamatan
237
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Rogojampi membuka jalur Surabaya dan Denpasar-Bali. KA menghubungkan dengan
Jember, Probolinggo, Pasuruan, Surabaya, dan Malang serta kota-kota lainnya, jalur
KA
jalur ganda
double track
dari Banyuwangi-Surabaya
direncanakan akan
segera dibangun. Layanan kapal laut dengan penumpang dan barang.
Di sektor keuangan, penyaluran kredit kepada masyarakat mencapai angka Rp5,3
triliun hingga pertengahan 2012, tumbuh sekitar 33 persen dibanding periode sama
tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sektor UMKM menyerap hampir Rp2,2
triliun, sisanya untuk sektor lain, termasuk KUR sekitar Rp400 miliar.
Agar UMKM berkembang pemerintah daerah melarang pembukaan retail modern dan
menutup yang izinnya habis atau tidak berizin. Ini
diberlakukan sampai
IPM Indek
Pembangunan Manusia
Kabupaten Banyuwangi mencapai angka 73. Tahun 2014
menurut Bupati Banyuwangi angka IPM Kabupaten Banyuwangi baru 68.
Dari aspek geografis, letaknya di sepanjang
garis pantai
menjadikan Banyuwangi memiliki potensi wisata alam
sangat mempesona, yakni jajaran pegunungan yang banyak didatangi wisman, seperti
Gunung Ijen yang dengan kawah belerang dan api biru
blue fire
. Di dunia bahkan hanya ada dua, satunya di Islandia.
Di sisi timur, utara, dan selatan, yang merupakan wilayah pantai banyak potensi
wisata yang juga sangat indah. Pantai watu dodol,
Boom, Belimbingsari,
Muncar pelabuhan ikan, Pulau Merah, Plengkung,
dan banyak lagi lainnya. Semua daerah tujuan wisata
DTW ini
belum sepenuhnya
dilengkapi fasilitas yang memadai namun berpotensi besar sebagai daya tarik wisatawan.
Seni dan budaya Banyuwangi juga telah menjadi daya pikat tersendiri, dan secara
khusus budaya suku Using menjadi daya pikat tersendiri bagi wistawan baik domestik
maupun manca Negara. Tidak kurang dari 23- 36 festival digelar sepanjang tahun mulai
tingkat lokal sampai internasional, sehingga rata-rata ada dua festival setiap bulannya.
Berbagai kompetisi berbasis kreativitas dan inovasi seperti seni tari, lukis, batik,
makanan, dan lainnya diadakan secara periodik menggunggah semangat kreativitas
penduduknya untuk terus berinovasi tiada henti yang juga menjadi daya tarik tersendiri
bagi masyarakat luar untuk berkunjung ke Banyuwangi.
Potensi objektif
berupa besarnya
kekayaan sumberdaya alam, laut, darat, dan sumberdaya
manusia nampaknya
sudah disadari pemerintah daerah untuk dikelola
secara optimal dan berkelanjutan guna peningkatan
kesejahteraan penduduk
Banyuwangi melalui berbagai instrumen guna melahirkan inovasi-inovasi tiada henti.
Berdasarkan kondisi
obyektif geografis,
skala prioritas
pembangunan Banyuwangi secara konvensional diarahkan ke
sektor pertanian dan yang berhubungan dengan sektor tersebut, seperti perkebunan,
perikanan dan setor-sektor lainnya yang mendukung. Namun secara kreatif dan inovatif
sektor
pariwisata lebih
menonjol dan
mendapat respons
yang positif
dari masyarakat.
Pemerintah Daerah
Sebagai Pelopor
Inovasi Sumberdaya alam dan lingkungan serta
masyarakat menjadi modal dasar yang penting bagi pengembangan pariwisata Banyuwangi.
pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam berbagai kesempatan mengajak masyarakat
baik di pemerintahan, dunia usaha, perguruan tinggi, pelaku usaha, untuk terus bekerja keras
dan cerdas memanfaatkan semua potensi yang telah dituangkan dalam RTRW Banyuwangi
2012-2032 secara maksimal melalui berbagai inovasi yang dilakukan dengan tidak merusak
alam,
menjaga prinsip
lestari dan
berkelanjutan guna
meningkatkan kesejahteraan hidup bersama.
Pemerintah daerah
untuk itu
menggerakkan seluruh struktur pemerintahan yang
ada sampai
tingkat desa
untuk mewujudkan
“visi dan “misi” nya melalui perencanaan strategis pembangunan dengan
diterbitkannya Peraturan Daerah nomor 17 tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah RPJMD 2010- 2015.
Dokumen strategis
ini memuat
perenanaan pembangunan lima tahun dengan target-target yang hendak dicapai berbagai
238
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
sektor seperti
pertanian, pariwisata,
perkebunan, kehutanan,
perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Pemerintah daerah
memfasilitasi berbagai inovasi lewat berbagai peraturan
daerah yang diterbitkan, dokumen strategis dan teknis yang disusun sehingga perannya
sangat strategis sebagai fasilitator inovasi bahkan
terkadang bertindak
sebagai innovator untuk mewujudkan kesejahteraan
hidup atau
kualitas hidup
penduduk Banyuwangi.
Jajaran SKPD
yang berhadapan
langsung dengan masyarakat demikian halnya. Bappekab,
dan Dinas-Dinas
di bawah
pimpinan Bupati bahu-membahu dengan dunia usaha dan perguruan tinggi untuk bersama-
sama menggerakkan potensi daerah. Diyakini inovasi tidak dapat dilakukan sendiri tapi harus
kerja kolektif.
Gambaran kerjasama yang rapi antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan
dunia usaha tampak dalam pelaksanaan “Banyuwangi Festival” yang digelar. Untuk
Tahun 2014 agenda yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Event Pariwisata Skala Internasional: Kegiatan
pariwisata yang
melibatkan keikutsertaan peserta dari sejumlah negara dan
juga dalam negeri. berbagai beberarapa diantaranya adalah:
International surfing competition .
Ini diadakan di pulau merah, kawasan pantai selatan di Banyuwangi. Ini merupakan
kawasan pantai dengan ombak yang besar pada musim-musim tertentu dan cocok
kegiatan olahraga surfing. Dinamakan pulau merah
red island
konon karena kalau sore hari ketika matahari akan terbenam
sunset
pulau yang berbentuk gunung di sekitar kawasan pantai ini warnanya memerah akibat
sinar matahari. Kompetisi ini diiukuti oleh para peserta dari berbagai negara termasuk
para peselancar dari Indonesia terutama Bali, daerah-daerah lainnya, dan juga Banyuwangi.
Kegiatan ini selain mendatangkan para wisman ke Banyuwangi juga menjadi daya
tarik
tersendiri bagi
masyarakat untuk
menonton berbagai atraksi menarik yang ditampilkan dalam kompetisi tersebut. Selian
itu sudah barang tentu masayarakat dan terutama para pelaku usaha juga diuntungkan
dengan adanya kompetisi tahunan ini. Selain infrasttuktur jalan menuju ke tempat surving
terus dilakukan perbaikan, masyarakat juga tampak membuka berbagai usaha baik di
lokasi maupun di sepanjang jalan-jalan menuju ke tempat lokasi pulau merah tersebut.
International Tour de Banyuwangi Ijen.
Ini merupakan
balapan sepeda
tingkat internasional yang digelar di Banyuwangi.
Para peserta berasal dari tidak kurang dari 25 negara dan merupakan salah satu
tour
yang sangat menarik. Para pembalap sepeda tidak
saja berasal dari negara-negara sekitar ASEAN tetapi juga dari Eropa dan Amerika Serikat.
Rute balapan sepeda ini adalah hampir seluruh jalan raya di Kabupaten Banyuwangi yang
kemudian finish di kaki Gunung Ijen. Balap sepeda skala internasional ini berlangsung
selama tiga hari dan mendapat dukungan dari berbagai
komponen masyarakat
di Banyuwangi . Kegiatan ini tentu juga
berdampak terhadap
perekonomian masyarakat, terutama rute-rute yang dilewati
dan juga yang menjadi pos-pos pemberhentian. Ekonomi kreatif berkembang dalam bentuk
penjualan souvenir dan lain sebagainya.
International Adventure Traill
Kegaiatan ini tidak kalah menarik dari kegiatan internasional lainnya karena juga
melibatkan para seniman motocross dari berbagai negara. Atraksi yang biasanya hanya
dapat dilihat melalui televisi kini dapat disaksikan secara langsung masyarakat dan
terutama kaum muda yang menggemari atraksi motor traill ini. Kegiatan yang berlangsung
sampai tiga hari ini juga menyedot banyak penonton dan mampu memicu bergeraknya
ekonomi kreatif di Banyuwangi. Selain para pedagang kecil juga banyak dijual souvenir
yang terkait dengan kegiatan maupun yang tidak langsung terkait dengan kegiatan tingkat
internasional ini. Para peserta tentu saja tidak hanya dari negara-negara lain tetapi juga
berasal dari dalam negeri dan bahkan juga dari Banyuwangi yang juga tidak mau melewatkan
ajang kompetisi tingkat internasional ini.
239
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Tabuhan Island Pro-Kite Boarding
Pulau Tabuhan terletak di desa Bangsring bagian utara Banyuwangi dekat TN Baluran
yang dijuluki
Little Africa
. Lokasi ini tepatnya di selat Bali mengarah ke laut Jawa. Ini adalah
pulau tidak berpenghuni tetapi memiliki pasir putih. Pulau ini tampak dari pantai tetapi harus
dijangkau dengan menggunakan transportasi
speed boad
atau perahu tradisional yang secara komersial disediakan masyarakat nelayan
setempat. Kegiatan pariwisata ini melibatkan para atlet peselancar yang mana papan luncur
mereka digerakkan ditarik oleh semacam payung terjun.
Angin yang
kuat dan
kelincahan memanfaatkan dorongan angin menjadi faktor penentu kemenangan para atlet.
Pariwisata ini biasanya digabung dengan kegiatan
Summer Kite surfe Camp
. Mereka para peselancar layang-layang ini menginap di
pulau tanpa penghuni tersebut, sehingga menarik bagi para peserta yang rata-rata
berasal berasal dari manca negara. Para peselancar tingkat nasional nasional dan lokal
jumlahnya kalah banyak dibanding dengan para peselancar manca negara.
Blue F ire Kawah Gunung Ijen
Gunung ijen terletak sejajar dengan Gunung Raung dan berada di wilayah bagian barat
Banyuwangi. Gunung ini memiliki keunikan selain kawah
yang cukup
besar juga menghasilkan
belerang sekaligus
juga menyemburkan api berwana biru
blue fire
yang begitu menawan bila disaksikan pada malam hari. Fenomena alam ini ada dua di
dunia, selain di Ijen satunya lagi ada di negara Islandia. Mungkin karena itu pula banyak
wisman Eropa yang datang dan menyaksikan
blue fire
ini, terutama antara bulan April sampai Agustus. Selain itu dapat disaksikan
juga para penambang belerang yang hilir mudik dari kawah menuju kaki gunung ijen
dengan memikul beban 50kg-100kg. Letak gunung ijen sekitar 30 km barat Banyuwangi
dapat ditempuh dengan mobil dan kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 5km
dengan waktu tempuh sekitar 3 jam karena tanjakan. Trek untuk jalan kaki cukup bagus
dan lebar sehingga lalu lalang para pendaki terjamin. Para pendaki juga tidak khawarir
tersesat karena jalannya jelas dan aman karena banyak pendaki lalu lalang meskipun di malam
hari. Pendakian ke kawah ijen biasanya dilakukan pada tengah malah dan sekitar jam
03.00 wib ke kawah menyaksikan
blue fire
. Selanjutnya sekitar jam 05.00 wib para
pendaki umumnya
naik lagi
untuk menyaksikan matahari terbit yang indah dari
ufuk timur. Sekitar jam 07.00 wib para pendaki umumnya turun kembali ke kaki ijen
dan disana pos parkir ada juga tempat-tempat wisata menarik yang tidak jauh yakni
pemandian air panas dan juga kawah wurung kawah tidak jadi dalam bahasa setempat.
Selain itu dari sini juga dapat disaksikan pesona Gunung Raung yang berada sejajar
dengan Gunung Ijen. Bila hendak kembali akan menuju kota Banyuwangi para wisatawan
jug adimanjakan dengan berbagai wisata kuliner lokal disamping buah-buahan lokal
seperti jeruk, durian, manggis, bahkan bila beruntung mendapat durian merah yang konon
non-kolesterol. Di kaki gunung ijen ini juga tempat digelarnya acara Mountain Jazz
Festival selain juga ada Beach Jazz Festival di Pantai Boom kota Banyuwangi.
F estival Ngopi Sepuluh Ewu
Bila lima kegiatan pariwisata internasional sebelumnya
lebih bersifat
olahraga petualangan
adventure
, maka festival ngopi sepuluh ewu ini merupakan kegiatan wisata
kuliner yang melibatkan para peserta dari manca negara. Sangat menarik karena kegiatan
yang didukung oleh perkebunan kopi di Banyuwangi juga melibatkan para penikmat
kopi mancanegara, dalam negeri, para pakar kopi, dan juga masyarakat umum pencinta
kopi. Selama kegiatan berlangsung masyarakat diajak terlibat dalam proses pembuatan kopi
dari mulai pemilihan kopi, menggoreng kopi secara tradisional, sampai menyeduh dan
kemudian menyajikan kopi secara benar dari aspek kesehatan. Istilah
“sepuluh ewu” sepuluh ribu adalah bahwa kegitan ini
melibatkan ribuan orang pencinta kopi dari berbagai daerah termasuk dari manca negara.
Event Pariwisata Skala Nasional dan Lokal Selain event pariwisata skala internasional
digelar juga event pariwisata masuk kategori nasional yakni yang biasanya melibatkan para
240
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
pelaku di tingkat nasional dan lokal. Berbagai event tersebut antara lain adalah:
Banyuwangi Ethno Carnival BEC
Kegiatan pariwisata
ini melibatkan
segenap komponen masyarakat Banyuwangi dan juga para pesaerta dari daerah-daerah lain.
Berbeda dengan carnifal di tempat lain, di Banyuwangi mengusung tema khusus yang
bersifat lokal dan berasal dari budaya masyarakat setempat misal
“Kebo-Keboan” tema ini menggambarkan kesenian masyarakat
aseli suku
Using Banyuwangi
ketika bersyukur kepada Tuhan YME karena hasil
panen padi dan palawija yang melimpah. BEC ini digelar melewati jalan-jalan utama di
sekitar kota Banyuwangi. Festival ini sangat menarik bagi masyarakat yang ingin menjadi
peserta langsung maupun yang hanya ingin menjadi penontong.
Parade Gandrung Sewu
Parade ini seperti namanya melibatkan penari Gandrung sejumlah seribu lebih yang
berasal dari pelajar SD-SMA, 200 di antaranya adalah penari profesional pelaku
sendratari pertunjukan sejarah Gandrung. Parade ini digelar di pantai Boom Marina
Bay pusat kota Banyuwangi. Pagelaran tari yang bersifat kolosal ini sebagaimana tema
pada festival lainnya adalah berbeda-beda setiap tahunnya. Pada kesempatan ini selain
ada sedikit sambutan bupati juga dibacakan sebagai pelajaran kepada generasi muda dan
masyarakat tentang sejarah Banyuwangi. Parade ini juga diikuti dengan atraksi-atraksi
yang
terkait misalnya
Barong, misik
tradisional, Macan Wuto dan sebagainya.
Indonesia F ashion
Week Batik
Banyuwangi
Ini merupakan kelanjutan dari Banyuwangi Batik Festival BBF yang digelar secara lokal
di Banyuwangi.
Sebagaimana diketahui
Banyuwangi adalah salah satu dari daerah- daerah yang batiknya memiliki makna. Motif
Batik khas Banyuwangi memang banyak tetapi yang paling dikenal adalah motif “Gajah
Oling” Maknanya ElingIngat kepada yang Maha BesarKuasa. Motif Lain adalah Paras
Gempal, Kangkung Setingkes dan masih banyak lagi. Berbagai motif ini setiap tahun di
festivalkan dan dikompetisikan pada tingkat Kabupaten untuk merangsang masyarakat
mengembangkan motif-motif
baru dan
sekaligus ekonomi
kreatif dan
juga meningkatakan pendapatan tanpa harus keluar
dari Banyuwangi. Hasil BBF di tingkat Banyuwangi ini kemudian diperkenalkan di
tingkat nasional seperti melalui Indonesia Fashion Week Batik Banyuwangi di JCC
Jakarta. Pada acara ini dilibatkan para pakar batik dan perancang busana serta model
tingkat nasional sehingga batik Banyuwangi dikenal luas di tingkat nasional bahkan
internasional. Dampaknya di tingkat lokal dapat disaksikan para pengrajin batik semakin
banyak ditemukan di sudut-sudut kota dan desa di Banyuwangi mulai dari yang sudah
mahir dan halus sampai pada yang masih taraf belajar. BBF dan jug Indonesia Fashion Week
tentu menjadi daya tarik sendiri bagi para wisatawan untuk datang ke Banyuwangi.
Green and Recycle F ashion Week
Saya yakin kita akan terkejuta bila tiba-tiba mendapat undangan dari Dinas Kebersihan
dan Pertamanan DKP untuk ikut fashion week atau sekadar manyaksikannya. Ini
memang terjadi dalam
Green dan Recycle Fashion Week
. Tujuannya tidak lain untuk mengenalkan lebih jauh tentang fungsi dan arti
daur ulang sampah kepada warga Banyuwangi. Kegiatan ini, dibagi beberapa ketegori yaitu
pelajar, mahasiswa dan umum. Untuk kategori pelajar terdiri dari tingkat TK B, SDMI,
SMPMTs, dan SMASMKPonpes. Syarat- syarat khusus di antaranya, harus mempunyai
pretasi akademik, dan memiliki talenta lebih dari satu, serta diutamakan yang memiliki
piagam
penghargaan. Sedangkan
untuk kategori mahasiswaumum, syarat-syaratnya
yaitu usia 19-35 tahun, memiliki talenta lebih dari satu, diutamakan memiliki piagam
penghargaan, tinggi badan minimal 160 cm untuk putri dan 165 cm untuk putra. Kegiatan
ini secara resmi juga masuk dalam agenda Banyuwangi Festival. Tujuan lainnya adalah
yakni nilai tambah pada penanganan sampah sehingga menjadi kegiatan yang menanam dan
kepedulian terhadap lingkungan, mengurangi global
warming pemanasan
global, menghemat sumber daya alam, memanfaatkan
kembali sampah sehingga mempunyai nilai seni dan menghasilkan produk baru yang
241
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
kreatif, inovatif, menarik dan bernilai jual. “Peserta wajib mendesign sendiri baju fashion-
nya dengan bahan-bahan dari kertas dan plastik”.
Banyuwangi Beach Jazz F estival
Banyuwangi Beach Jazz Festival digelar tiap tahun dan merupakan bagian Festival
Banyuwangi.
Beach Jazz
atau yang dikenal dengan sebutan Jazz Pantai itu biasanya
digelar di Pantai Boom Marina Bay di Kota Banyuwangi. Tahun 2014 mengambil tema
Gulung Ombak, Jazz Bersemarak, festival lebih menonjolkan keberagaman, keterbukaan
dan kejujuran dalam bermusik. Tiga hal tersebut yang dicoba diselaraskan dengan
keindahan debur ombak Pantai Boom, Bayuwangi. Beberapa musisi ternama pun
tampil di perhelatan dari Trie Utami bersama Kua Etnika, Tohpati dan Kahitna dan yang
lainnya. Acara ini umumnya mengejutkan para penyanyi itu sendiri yang tidak menyangka
animo masyarakat untuk ikut menonton dan bernyanyi bersama dengan para penyanyi dan
musisi
jazz nasional.
Lagu-lagu jazz
dipadukan dengan lagu dan musik serta alat musik lokal dalam kesempatan tersebut
sehingga semakin mengundang decak kagum para penonton yang rela merogoh koceknya
cukup mahal. Mereka umumnya puas dengan sajian jazz pantai yang dianggap menghibur
dan menjadi daya tarik sendiri untuk wisata di Banyuwangi.
F estival Toilet Bersih
Nuansa lain dari Banyuwangi Festival adalah juga menyentuh aspek kesehatan dan
kebersihan lingkungan. Festival Toilet Bersih contohnya,
ini diawali
dengan praktik
membersihkan toilet di salah satu sekolah oleh Bupati
Banyuwangi, dilanjutkan
dengan pemberian bantuan alat-alat kebersihan toilet
kepada sekolah, pondok pesantren ponpes, dan sejumlah elemen masyarakat. Festival
Toilet ini melibatkan partisipasi langsung dari seluruh warga, pengelola tempat wisata,
perhotelan, pondok pesantren, sekolah, tempat ibadah, kantor swasta, hingga instansi publik.
Even ini berlangsung selama enam bulan dengan lomba kebersihan toilet di mana profil
dan kedatangan juri dirahasiakan. Gerakan ini tidak lepas dari ikhtiar kabupaten berjuluk
The Sunrise of Java untuk menjadi destinasi wisata yang digemari wisatawan. Toilet adalah
salah satu fasilitas penunjang pariwisata yang sangat penting yang juga ikut menentukan
daya saing wisata.
Aneka Event Banyuwangi F estival
Festival Banyuwangi sebagai agenda pariwisata dikemas sangat beragam dan
berupaya melibatkan
sebanyak mungkin
kompinen masyarakat dan juga mengundang peserta tingkat internasional seperti tour de
Ijen yang melibatkan lebih 100 negara dalam balap
tersebut. Sejumlah
event baru
dimasukkan dari tahun ke tahun untuk mengakomodasi berbagai potensi lokal yang
belum terangkat skaligus untuk menumbuhkan peranserta
dan kepedulian
warga dan
masyarakat Banyuwangi akan daerahnya. Menurut Anas 2014 Bupati Banyuwangi
festival ini
bukan sekadar
pariwisata konvensional akan tetapi juga mengajak,
mendidik, dan sekalgus juga membangun spirit kemanusiaan. Inilah inovasi yang dilakukan
Banyuwangi dalam pengelolaan pariwisata. Inovasi yang berbasis kepada pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan yang mereka miliki. Karena itu tema festival sangat
beragam mulai dari festival toilet bersih, festival
bernuansa agama,
bernuansa kebersihan dan kesehatan, nuansa seni musik,
tari, nyanyi, dan pendidikan semua dicakup dalam tema Banyuwangi Festival.
Tiada Hari Tanpa Festival Apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi dalam pengelolaan pariwisata adalah bak pepatah
“tiada hari tanpa festival”. Tahun
2012 sebanyak
sembilan acara
Banyuwangi Festival digelar. Kemudian untuk tahun 2015 sebanyak 36 Festival dijadwalkan
secara resmi digelar. Untuk itu rata-rata tiap bulan kurang lebih terdapat dua sampai tiga
festival digelar.
Pola ini mengingatkan kita kepada destinasi wisata Bali, dimana berbagai festival
dan upacara keagamaan maupun budaya, adat istiadat, yang bisa menjadi daya tarik orang
atau juga wisatawan dari luar bali, termasuk manca negara berlangung tiap hari dan
menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
242
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Sebagaimana dikatakan
Amirudin Hidayat
2014 Kabid
Data Bappekab
Banyuwangi dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada, maka
prioritas pembangunan
di Kabupaten
Banyuwangi sekarang
adalah: Sektor
pertanian, sektor pariwisata, kemudian sektor penunjang yakni infrastruktur. Terkait dengan
sektor wisata, secara umum konsep wisata di Banyuwangi mengambil tema
Eco Tourism
, bukan
Mass Tourism
, sehingga tidak harus mengundang banyak tapi berkualitas seperti
konsep Desa Wisata di Kemiren. Untuk menjaga budaya dan kelestarian
alam dan budaya, maka dijadikan prioritas wisata di Kabupaten Banyuwangi. Kemudian
untuk Kawah Gunung Ijen konsepnya adalah bagaimana agar Ijen sebagai penyangga alam
utuh, fungsi lingkungan jalan sehingga kunjungan wisatawan tetap peduli pada
keutuhan lingkungan tapi wisata dapat terus berkembang.
Semangat yang tidak jauh beda disampaikan oleh Harry Cahyo Purnomo
2014 Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan
serta Pertambangan
Disperindagtam, jika Pariwisata memang menjadi jangkar dalam pembangunan di
Banyuwangi. Meski
dirinya memimpin
Disperindagtam, tapi semua
out put
binaan Dinasnya
diarahkan untuk
menopang berkembangnya pariwisata di Banyuwangi
seperti industri kecil dan menengah yang ada. Disperindagtam
yang salah
satu tupoksinya adalah membina industri mulai
yang kecil sampai yang besar diarahkan untuk menghasilkan luaran atau produk-produk yang
bisa membaca ciri khas Banyuwangi.
Demikian halnya yang disampaikan Alif Rachman Kartiono 2014 Kepala Dinas
UMKM bahwa sektor UMKM kerajinan bambu, batik Gajah Oling, souvenir, juga terus
dikembangkan dan dikemas menjadi bagian dari Banyuwangi Festival. Sekitar 80
kerajinan ini dipasarkan di Bali sebagai implementasi strategi
Clustering
dan
Great Bali
. Untuk batik pengembangan produk
batik khas Banyuwangi “Gajah Oling” terus
didorong. Sejumlah kecamatan menghasilkan batik khas itu dan dikompetisikan tiap tahun
dalam festival Banyuwangi. Festival buah lokal misalnya ini
memberi peluang kepada pada petani untuk giat menanam buah-buahan. Manggis yang
banyak dihasilkan di Kabupaten banyuwangi seperti di Kecamatan Songgon yang ekspor ke
Thailand dan Malaysia.
Durian merah khas Banyuwangi dan sudah mendapat penelitian dari luar negeri,
terutama China
yang juga
ingin mengembangkan durian merah tersebut. Di
dalam negeri durian merah ini sudah dikembangkan para peneliti dari Institut
Pertanian Bogor IPB di Bogor dan sebagian ditanam di Jawa Barat.
Menurut Hidayat, konsep inovasi penting tinggal bagaimana mengaitkan hulu-
hilirnya agar
tercipta
lingkages
dan mengghasilkan
nilai tambah
berkesinambungan. Contohnya Kecamatan Muncar
dimana penangkapan
ikan, pengalengan,
dan jasa
kuliner akan
dikembangkan. Dampaknya adalah, sektor pariwisata
yang mencakup juga hotel dan restoran PHR selama ini terus meningkat dan mendongkrak
Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB secara signifikan mendekatai sumbangan
sektor pertanian yang bisa menyumbang Rp 32 triliun atau sebesar 45.
Begitu pula
jika 2010
PAD Banyuwangi tercatat Rp22 triliun maka 2014
Rp40,8 triliun melampaui target Rp35 triliun. Pendapatan per kapita meningkat dari RP15
juta 2010 menjadi Rp25,8 juta 2015. Salah satunya karena sumbangan industri kreatif dan
pariwisata yang kian dikenal di tingkat internasional
akibat inovasi
pengelolaan pariwisata.
Untuk itu Banyuwangi Fstival akan terus digelar dimasa-masa yang akan datang
dan untuk tahun 2015 Jadwalnya adalah sebagai berikut:
PENUTUP
Pengelolaan pariwisata secara inovatif, upaya kreatif pemerintah daerah, partisipasi
aktif segenap lapisan masyarakat, telah menjadikan pengembangan pariwisata berbasis
sumberdaya
alam dan
lingkungan di
Kabupaten Banyuwangi
ini berbasil
memajukan masyarakat
dalam berbagai
bidang, dan ini diharapkan terus dapat
243
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
diterapkan agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Untuk itu, inovasi yang berdampak paling minim terhadap degradasi sumberdaya
alam dan
lingkungan serta
melibatkan masyarakat
luas perlu
dicarikan cara
pelembagaannya agar terus dapat dilanjutkan pada masa-masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Andrews, 1971. K.
The Concept of Corporate Strategy.
Homewood, IL: R.D. Irwin. Barney, Jay B., Clark, Delwyn N., 2007,
Resource-Based Theory: Creating and Sustaining
Competitive Advantage
, Oxford University Press.
Creswell, John. W. 2013. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches.
University of
Nebraska, Lincoln. SAGE Washington. Johnson, Gerry and Kevan Scholes. 2002.
Exploring Corporate Strategy: Text and Cases Sixth edition. London. Person
Publication.
Khodyat, H. 1983.
Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya
di Indonesia
. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Lim, Christine Michael MacAleer, 2003. “Ecologically
Sustainable Tourism
Management”.
A Discussion
Paper
. Melbourne: School of Tourism and Hotel
Management Griffith University. Penrose, E. T. 1959. The Theory of the
Growth of the Firm. New York: John WileyYoeti, H. Oka. 2014.
Pengantar Ilmu Priwisata. Angkasa
. Jakarta. Wernerfelt, Birger.
1984. “A Resource-Based View
of The
Firm”,
Strategic Management Journal
, Vol. 5, No. 2. Apr. - Jun., 1984.
Williamson, O. E. 1975. Markets and Hierarchies. New York: Free Press.
Sumber Lain: Wawancara dengan Ka. Dinas Perindagtam,
Da.Dinas UMKM, Kabid Data Bappekab. Laporan Khusus Kompas, 25072008.
Antara Jatim, 07092-13 2013. Wikipedia, 2013.
Heru SP Saputra Srinthil. 2007. Dalam
https: hendicitranovia.wordpress.com
20100202budaya-bayuwangi-lare- oseng 02 Februari 2010.
244
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Model Akselerasi Inovasi Industri Kreatif di Jawa Timur
Innovation Acceleration Model for Creative Industries in East Java
1
Edy Wahyudi
Program Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember, Jl. Kalimantan 37, Jember, 68121
Keyword A B S T R A C T
creative industries small businesses
innovation acceleration This research tried to find an innovation acceleration model for creative
industries in East Java. The research attempted to analyze the efforts of small businesses that belong to creative industries to ma ke innovation
acceleration in terms of internal resources, culture, system and process, leadership, market orientation and maturity. The research examined the
market pull and technology push of the success of creative industries to accelerate innovation from the external side. The role of government in
every area in this process will also be such kind of comparison on how this acceleration can be promoted by the local government and can
increase local revenue. The research used qualitative descriptive approach to see the innovation acceleration that can be made either from
the side of creative industries actors or from the local government support. The research was conducted in East Java in four regencies:
Trenggalek, Tulungagung, Blitar and Banyuwangi. The results showed that not all small businesses in all research areas could have
competitiveness and accelerate innovation. The research also found that potential synergy between local government and creative industries in the
region could not simply be accelerated to be regional competitiveness.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
industri kreatif usaha kecil
akselerasi inovasi Penelitian ini berupaya menemukan model akselerasi inovasi industri
kreatif di Jawa Timur. Penelitian ini mengurai upaya usaha kecil yang menjadi bagian dari industri kreatif melakukan akselerasi inovasi dari sisi
internal yaitu resources, culture, system and process, leadership, market orientation dan maturity
. Penelitian ini juga akan meneliti dari market pull
dan technology push keberhasilan industri kreatif melakukan akselerasi inovasi dari sisi eksternal. Peran pemerintah di setiap daerah
dalam proses ini juga akan menjadi semacam perbandingan, bagaimana akselerasi ini dapat dipromotori oleh pemerintah daerah dan mampu
meningkatkan pendapatan
daerah. Penelitian
ini menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif untuk dapat melihat akselerasi inovasi yang dapat dilakukan baik dari sisi pelaku industri kreatif maupun
dukungan dari pemerintah daerah. Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur di empat Kabupaten yaitu di Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan
Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil penelitian, tidak semua usaha kecil di semua daerah penelitian mampu memilki daya saing dan
melakukan akselerasi inovasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa potensi sinergi antara pemerintah daerah dengan industri kreatif di daerah
tidak begitu saja dapat diakselerasi menjadi keunggulan daya saing daerah.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. Email address :edydata75gmail.com, HP.08125200230
245
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Akhir tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami peningkatan 6,67.
Besarnya pertumbuhan ini melebihi nasional yang hanya 6,10 pada 2010. Jawa Timur saat ini
menduduki posisi kedua penyumbang Produk Domestik Regional Bruto sebesar 15,41 pada
2010 setelah DKI Jakarta sebesar 17,81.
Jatim juga memiliki jumlah industri kecil yang sangat dominan 97,80, sementara industri
menengah 2,09 dan usaha besar 0,10. Dominasi industri kecil ini ternyata juga mampu menyerap
tenaga kerja 60,12, sementara industri menengah 31,73 dan industri besar hanya 8,15.
Pengembangan industri unggulan di Jawa Timur dilakukan dengan pengembangan kompetensi
daerah, OVOP
One Village One Product
, industri kreatif dan industri agro. Berdasarkan data potensi
produk unggulan kabupaten kota se-Jawa Timur, nampak bahwa semua daerah memiliki produk
unggulan dan industri kreatif yang dikembangkan. Berdasarkan pengamatan awal peneliti, nampak
bahwa hanya beberapa daerah yang memiliki industri kreatif yang unik dan ditunjang dengan
sektor kepariwisataan yang juga unik. Keberadaan sektor industri kreatif dan kepariwisataan memiliki
sinergisitas yang kuat, sehingga dibutuhkan akselerasi inovasi untuk dapat mengoptimalkan
kedua hal tersebut.
Kabupaten Banyuwangi memiliki produk unggulan barupa batik, tari gandrung, kaos, olahan
buah dan wisata pantai yang ada di berbagai tempat di Banyuwangi. Kabupaten Tulungagung memiliki
produk unggulan konveksi, onyx, logam, makanan dan minuman dan wisata pantai popoh. Kabupaten
Blitar memiliki produk unggulan emping blinjo, gula kelapa, gendang dan usaha sapi perah.
Kabupaten Trenggalek memiliki produk unggulan meubel kayu, genteng, batik dan kripik tempe.
Penelitian ini menetapkan Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung, dan
Kabupaten
Trenggalek dengan
pertimbangan memiliki potensi produk unggulan bervariasi dan
karakteristik kepariwisataan
yang masih
memungkinkan untuk
dilakukan akselerasi.
Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi dan Julianto 2013 berhasil mengungkap bahwa usaha kecil
yang menggunakan teknologi rendah
non High tech
dapat melakukan inovasi dan kreatifitas berdasarkan keunikan produk yang mereka buat,
dan mampu meredusir biaya produksi dengan menggunakan alat-alat sederhana yang digunakan.
Akses pasar juga menjadi faktor kunci dalam kelancaran produksi, meskipun pelaku usaha
mengakui bahwa dengan adanya teknologi yang lebih canggih akan mampu mempercepat kapasitas
produksi dan mampu melayani pasar yang lebih luas.
Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena industri kreatif yang sudah
dicanangkan di Indonesia sejak 2008 masih menemui banyak kendala terkait kendala teknologi,
akses pasar, dan keberlanjutan dalam program pembinaan dan pengembangan. Penelitian ini
berupaya menemukan model akselerasi inovasi industri kreatif di Jawa Timur.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan
deskriptif, agar dapat menggambarkan secara natural lanskap industri kreatif yang ada di masing-
masing daerah
penelitian dan
menemukan akselerasi inovasi yang dapat dilakukan. Objek
penelitian ini adalah berbagai jenis industri kreatif yang dapat berupa usaha kecil dan menengah yang
secara kontinyu
mampu berproduksi
dan mempunyai peluang pasar dan akses pasar
potensial, seperti makanan dan minuman khas mamin khas, logam, konveksi, batik dan kerajinan
craft
. Lokasi penelitian ini adalah di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Trenggalek, Tulungagung,
Blitar dan Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini mengurai upaya usaha kecil yang menjadi bagian
dari industri kreatif melakukan akselerasi inovasi dari sisi internal yaitu
resources, culture, system and process, leadership, market orientation dan
maturity.
Penelitian ini juga akan meneliti dari
market pull
dan
technology push
keberhasilan industri kreatif melakukan akselerasi inovasi dari
sisi eksternal.
Proses kedalaman
informasi didapatkan peneliti melalui
indepth interview
dengan key informan kepala dinas UMKM atau yang relevan di instansi pemerintahan terkait dan
pemilik perusahaan untuk mendapatkan informasi langsung dan alamiah. Peneliti juga melakukan
observasi dan penelitian dilapangan dengan melakukan pengamatan langsung proses pengolahan
produk, alat teknologi yang digunakan, proses
packaging
, dan mencermati akses pasar dan pemasaran di lapangan.
KERANGKA TEORITIK Akselerasi inovasi secara konseptual sangat
dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah kepemimpinan
leadership, strategi,
budaya, sumberdaya, teknologi yang digunakan, proses dan
sistem dan orientasi pasar Goyal and Pitt, 2007.
246
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Gambar 1. Daya dukung inovasi Goyal and Pitt, 2007
Perubahan internal meliputi siklus atau kematangan perusahaan dan perubahan eksternal
adalah kemampuan bertahan dan kestabilan dalam pasar. Perubahan yang terjadi dalam berjalannya
siklus atau kematangan perusahaan membuat perusahaan harus beradaptasi terhadap perubahan
tersebut. Perubahan perubahan adaptasi yang dilakukan melibatkan manajerial secara internal,
dan inilah yang seringkali tergantung dari kekuatan internal perusahaan, dan sulit diprediksi.
Kondisi ini juga dipengaruhi daya serap perusahaan. Daya serap memegang peranan
penting dalam pertumbuhan mereka. Hal ini didukung pendapat Zahra and George 2002
yang
mengatakan daya
serap perusahaan
meningkatkan daya saing perusahaan. Perubahan
eksternal mengarah
pada teknologi
push
dan
market pull
Andries and Debachere, 2006.
P ush Technology
dimaknai bahwa inovasi yang dapat dikembangkan dan
memiliki tekanan daya serap yang kuat untuk memanfaatkan teknologi. Disisi lain,
ma rket pull
lebih kepada
kebutuhan sosial
dimana pengembangan
teknologi untuk
memenuhi kebutuhan. Seringkali
mar ket pull
dilakukan oleh innovator atau pemain baru dalam pasar Landon
and Landon, 2007.
Mar ket pull
juga memberikan kepastian penyusunan standar oleh industri.
Kerjasama eksternal dapat meningkatkan pengembangan pengetahuan usaha kecil, sehingga
pengetahuan dapat di transfer dan mendukung inovasi. Keunggulan bersaing terkait dengan
kemampuan perusahaan belajar dari pengalaman yang
diperolehnya. Hal
ini membutuhkan
konsentrasi penciptaan
dan keberlanjutan
kemampuan usaha kecil agar mampu selalu di depan Jones, 2003. Faktor eksternal seperti
kolaborasi
interfir m
mempengaruhi kemampuan meningkatkan daya saing usaha kecil, atau
dipengaruhi oleh berbagai kondisi lainnya. Strategi bersaing dapat dilihat dari 3 dimensi:
potensial kondisi internal dan eksternal, proses kompetensi
entr epreneurial
dan kinerja
fir m perfor mance
dan empat karakteristik kualifikasi: orientasi
jangka panjang,
controllability
,
r elativity
, dan dinamisasi. Model ini lebih fokus pada jangka panjang dari pada jangka pendek
seperti usia, pendidikan, pengalaman dan latar belakang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lanskap Inovasi Usaha Kecil
Berdasar penelitian yang telah dilakukan di empat Kabupaten di beberapa lokasi usaha dan
melakukan wawancara dengan instansi pemerintah terkait, inovasi industri kreatif yang tercermin dari
usaha kecil yang ada secara umum masih mengandalkan kreativitas. Kreativitas tersebut dapat
dipilah dalam berbagai bentuk dari yang inovatif, imajinatif, intuitif hingga inspiratif. Kreatifitas yang
dihasilkan memang tidak selalu baru, orisinal namun juga didasari kemampuan meniru imitasi.
Proses
Inovatif
dapat dimulai dengan menemukan hal hal baru invention, proses
menemukan hal baru tersebut tentunya tidak selalu orisinal, namun dapat melalui proses imitasi. Imitasi
menjadi proses
kreatifitas. Hasil
penelitian membuktikan bahwa usaha kecil di lokasi penelitian
dapat eksis karena dominasi proses inovasi. Perusahaan batik Gajah Mada di Tulungagung
misalkan, dapat berkembang karena desain yang mengikuti
trendsetter
yaitu Solo, Yogjakarta, dan Pekalongan. Pelaku usaha menuturkan bahwa pada
awalnya memang
meniru, namun
dalam perkembangannya pelaku usaha batik Tulungagung
mengembangkan desain sendiri, dengan perspektif batik modern dan mengembangkan jaringan
pemasaran untuk tetap eksis. Penelitian yang dilakukan Wahyudi dan Djulianto 2013
menemukan bahwa setidaknya ada 22 jenis batik khas
Tulungagung, dan
masih akan
terus berkembang. Saat ini sudah berkembang hingga 200
lebih motif batik. Upaya desain baru dan akses pasar dilakukan dengan memasukkan produk
mereka ke Batik Keris di Solo dan Jogja Mirota yang merupakan pusat pusat perbelanjaan batik
terbesar disana. Upaya tersebut dilakukan untuk dapat memperluas akses pasar, karena pelaku usaha
beranggapan bahwa Jogja dan Solo adalah pusat batik yang sudah dikenal masyarakat lokal dan
dunia, sehingga jika sudah dapat masuk ke pusat pusat belanja di Jogja dan Solo, akan dapat dengan
mudah memajukan usaha batik mereka. Demikian juga
untuk pelaku
usaha marmer.
Riset membuktikan bahwa perusahaan marmer dalam
melayani pasar ekspor, didasari atas permintaan pelanggan dengan menunjukkan contoh desain yang
247
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
ada. Sebuah contoh, terdapat desain westafel dan bathup untuk pasar Eropa, maka pelaku usaha di
tuntut untuk dapat membuat desain sesuai pesanan. Orisinalitas
muncul dalam
proses perkembangannya, disebabkan pelaku usaha sudah
mulai berimajinasi, menggunakan intuisinya dengan mengembangkan model-model baru. Hal tersebut
nampak dari proses pembuatan patung, dalam berbagai bentuk yang mengandalkan sisi orisinalitas
desain. Pelaku usaha marmer mulai sadar bahwa orisinalitas desain dalam proses pembuatan patung
memiliki harga jual tinggi.
Proses Imajinatif
dimaknai bahwa pelaku usaha harus memiliki mimpi, merancang mimpi
agar berhasil, membayangkan sesuatu yang belum ada, dan mewujudkan supaya ada. Tidak puas
dengan kondisi yang ada, dan selalu mengangankan yang lebih baik lagi. Dalam perkembangan proses
imajinatif ini, nampak bagaimana pengajin marmer di tuntut berimajinatif dalam menghasilkan produk.
Segumpal batu harus dijadikan apa, menjadi keahlian yang tidak ternilai bagi perusahaan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin marmer, tidak semua batu dapat dibentuk sesuai
pesanan,
harus dilihat
kontur batu,
dan kecenderungan batu tersebut dapat dibentuk
menjadi bentuk apa. Peran imajinatif dari pengrajin sangat menentukan dalam menghasilkan produk,
termasuk kualitas produk itu sendiri. Proses imajinatif ini juga nampak dari usaha konveksi.
Proses menghasilkan ide dapat dilakukan dengan melihat lingkungan sekitar, peristiwa alam, ataupun
secara serius melihat trend motif konveksi yang ada.
Proses Intuitif
dimaknai bahwa dalam proses kreatif, sangat mengandalkan rasa,
fell
, peka terhadap lingkungan dan tidak selalu berdasarkan
data. Penelitian
membuktikan pelaku
usaha kerajinan logam di wilayah Kaliwungu, kecamatan
Ngunut, Kabupaten Tulungagung. Pelaku usaha kerajinan logam di wilayah itu mengandalkan aspek
intuitif dalam menangkap peluang pasar. Dimulai dari penggunaan bahan baku berupa logam bekas
berkualitas tinggi perusahaan besar di Surabaya, usaha kerajinan logam mampu membuat beraneka
alat dapur dengan harga bervariatif. Tingkat persaingan yang tinggi membuat pelaku usaha
logam harus memiliki intuisi yang tinggi dalam proses pembuatan aneka alat kebutuhan dapur
dengan harga bersaing. Hasil penelitian ke beberapa pelaku usaha logam menemukan bahwa sebagai
pelaku usaha logam, upaya menekan harga jual produknya dapat dilakukan dengan berbagai
macam:
pertama
, menekan harga bahan baku, karena menggunakan limbah pabrik industri logam
semacam Sinar Mas dan beberapa perusahaan berbahan baku logam lain di Surabaya, maka harga
bahan baku dapat ditekan.
Kedua
, menjual limbah sisa produksi. Dalam proses produksinya, usaha
kerajinan logam
masih memungkinkan
menghasilkan limbah yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi sebagai produk baru. Limbah itu
bisa merupakan potongan logam kecil, atau bulatan kecil yang memang sudah tidak dapat dipergunakan
untuk menghasilkan produk baru. Limbah tersebut kemudian di jual, agar dapat memberi pemasukan
sampingan, yang berupa keuntungan dari penjualan limbah logam. Intuisi dibutuhkan dalam proses ini.
Ketiga, semua permintaan konsumen terhadap desain baru, harus dapat dikerjakan sendiri. Hal
tersebut dilakukan agar dapat menekan harga jual produk itu sendiri. Keempat, mendesain alat untuk
produksi dan proses penentuan harga jual produk juga mengandalkan intuisi. Proses intuisi tersebut
sangat di butuhkan dalam menangkap peluang pasar, proses imitasi tingkat tinggi dan pengalaman
yang memadai, sehingga intuisi tersebut sangat minim terhadap kesalahan dan kerugian.
Proses Inspiratif
dimaknai sebagai proses kreatif yang dapat dijadikan contoh, panutan,
dengan memberikan keterbukaan ide, membagi visi share vision dengan karyawan. Berdasar hasil riset
terhadap usaha konveksi di Tulungagung, pelaku usaha tidak mampu menampung besarnya order
sendirian. Mereka membentuk kemitraan dengan karyawan agar order dapat dikerjakan di rumah.
Pelaku usaha memberikan modal berupa mesin jahit, obras dan juga bahan baku setiap pagi untuk
di bawa pulang karyawan. Hal ini menciptakan proses sinergisitas antara pelaku usaha terhadap
karyawannya. Karyawan tinggal kembali lagi sore harinya untuk menyetor hasil jadi dan kemudian di
catat oleh pemilik. Hasil penelitian menemukan bahwa model kemitraan ini sebagai alternatif
keterbatasan perusahaan, sehingga karyawan dapat mengerjakannya di rumah. Produktifitas tetap tidak
terganggu, karena semuanya tercatat dan karyawan dapat
mengambil bahan
baku berapapun
senyampang mereka sanggup mengerjakannya. Proses ini juga memungkinkan ide ide karyawan
mengalir, karena usaha ini berbasis ide, sehingga biasanya perusahaan menghargai ide karyawan
dengan memberi
reward
untuk setiap ide. Lebih inspiratif karena proses itu sangat memungkinkan
karyawan untuk berproduksi sesuai kemampuannya, beride seluas mungkin dan tetap tidak kehilangan
waktu dengan
keluarga, karena
mereka mengerjakannya di rumah
.
Secara teoritik, hal ini selaras dengan pendapat Das and He 2006 yang mengatakan
bahwa kreativitas adalah langkah pertama yang
248
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
penting dalam inovasi, di mana hal tersebut vital bagi keberhasilan organisasional dalam jangka
panjang. Orang-orang kreatif sering dikenal karena originalitas, memiliki pikiran yang terbuka
open mindedness
, keingintahuan, pendekatan terfokus untuk memecahkan masalah, ketekunan, tingkah
laku yang rileks dan suka bermain-main, serta penerimaan terhadap ide-ide baru Das and He,
2006. Sementara Zuhal 2010 menyatakan bahwa seseorang disebut melakukan kerja kreatif jika ia
menghasilkan sesuatu yang bukan kelanjutan dari solusi yang pernah ada. Nilai kreativitasnya
ditimbang dari seberapa jauh sesuatu itu berbeda dari pengalaman atau solusi terdahulu. Proses
kreatif melahirkan inovasi itu sendiri terbentuk melalui tahapan mencari
search,
memutuskan
decision
, dan mencoba
trial
. Kepemimpinan sebagai Aktor Kunci
Meskipun banyak faktor internal yang memungkinkan
akselerasi, penelitian
ini menemukan fakta bahwa faktor kepemimpinan
memegang peranan paling penting dalam akselerasi inovasi. Pengaruh internal lain seperti sumberdaya,
akuisisi teknologi, budaya kerja, proses dan sistem, dan orientasi pasar sangat tergantung kepada
kematangan
pemimpin dan
aspek kepemimpinannya. Berdasarkan hasil penelitian
memang nampak bahwa pelaku usaha usia muda lebih agresif dalam melakukan inovasi. Mereka
lebih berani mencoba hal baru, berkalkulasi dengan risiko dan berani melakukan perubahan perubahan
mendasar pada organisasi bisnis yang mereka kelola.
Keberanian pemimpin dalam meningkatkan kapabilitas organisasi dan melakukan inovasi akan
berdampak pada perubahan manajemen dan organisasinya, implikasinya tentu akan membentuk
budaya kerja pada karyawan yang berbeda. Keinginan yang kuat dalam menggunakan teknologi
juga akan meningkatkan kapabilitas karyawan, karena mereka dituntut untuk segera belajar dan
beradaptasi dengan alat yang baru. Kematangan organisasi dalam hal ini sangat ditentukan oleh
kekuatan akses pasar dan kontinyuitas produksi. Berdasarkan penelitian dilapangan, keberanian
melakukan akselerasi inovasi selalu dengan basis permintaan pasar yang kuat. Hal tersebut terjadi
pada pelaku usaha mamin khas, kerajinan bedug, genteng, pisau, alat musik, dan alat dapur.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa pelaku usaha menggunakan teknologi tinggi dalam
proses produksi dan pemasaran produk mereka. Penggunaan teknologi tinggi itu ditandai dengan
menggunakan mesin otomatis, yang mampu mengontrol kualitas mulai dari tingkat presisi
ukuran produk, kualitas rasa jika itu terkait dengan mamin, dan juga dari produktivitas kecepatan
produksi. Berdasarkan hal tersebut, ditemukan bahwa pelaku usaha yang menggunakan teknologi
tinggi adalah perusahaan yang mampu secara kontinyu melakukan produksi dan melayani
permintaan pasar. Beberapa perusahaan adalah berorientasi ekspor, sehingga menuntut mereka
menjaga kualitas produk dan pemasaran dengan website.
Penelitian ini menemukan fakta bahwa faktor kepemimpinan menjadi kunci penting dalam
mengadopsi teknologi. Dampak dari penggunaan teknologi tinggi tersebut juga berdampak dalam
budaya organisasi. Tidak semua pelaku usaha, memiliki keinginan yang kuat untuk mengadopsi
teknologi tinggi dalam proses produksi mereka. Keberanian menanggung risiko dengan berinvestasi
melalui teknologi membawa keberhasilan terhadap kemampuan berinovasi. Kecepatan dan kontinyuitas
dalam melahirkan produk baru dengan inovasi juga menjadi lebih mudah untuk dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian karakterisitik usaha kecil dalam mengakuisisi teknologi sangat
beragam. Faktor kematangan
maturity
usaha kecil dalam akses pasar dan stabilnya permintaan
pasar menjadi dasar kuat proses akuisisi teknologi dilakukan. Hal ini terjadi pada usaha genteng Uye
Kayen di Trenggalek, Batik Gajah Mada dan krupuk rambak di Tulungagung, dan juga olahan
blimbing di Kota Blitar. Meskipun tidak
full high
tech
, namun
upaya usaha
kecil dalam
menginvestasikan teknologi
merupakan keputusan strategis untuk dapat meningkatkan
kinerja bisnis.
Kemampuan mengakuisisi
teknologi juga dipengaruhi bagaimana manajer pemilik
berfikir untuk
mengembangkan bisnisnya.
Kemampuan belajar
baik dari
lingkungan internal maupun eksternal juga mempengaruhi akusisi teknologi. Batik Gajah
Mada di Tulungagung adalah salah satu contoh bagaimana menggabungkan kreativitas dengan
teknologi tepat guna yang dimiliki, pelaku usaha mampu meningkatkan akses pasar hingga ke Solo
dan Jogja. Usaha keluarga ini tidak segan melakukan inovasi desain batik mulai dari
kombinasi warna, hingga desain modern yang keluar dari pakem batik asli. Batik tulis masih di
produksi, dengan segmen premium sementara batik cap melayani segmen menengah hingga
sekolah sekolah lokal Tulungagung.
Kendala akuisisi teknologi juga terjadi karena keengganan manajer pemilik untuk
melakukan inovasi. Inovasi identik dengan inspirasi,
ide baru
untuk meningkatkan
pertumbuhan dan profitabilitas. Berdasarkan hasil
249
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
penelitian, nampak usaha kecil dengan teknologi sederhana, hanya menjalankan kegiatan usaha apa
adanya, tidak termotivasi untuk berkembang. Sehingga hal ini berdampak terhadap kemampuan
berinovasi. Akuisisi teknologi baru tidak terjadi pada usaha kecil yang secara mindset hanya
menjalankan usaha apa adanya. Berdasarkan hasil penelitian,
sentra pengarajin
genteng di
trenggalek misalkan, hanya satu pengusaha yang menggunakan inovasi produk dengan dilapisi
keramik, sehingga mampu menetapkan harga premium dan disukai konsumen, sementara
pengrajin genteng lain masih lebih suka memproduksi
genteng konvensional
karena permintaan pasar. Nampak bahwa market created
yang dilakukan salah satu pengusaha dapat menjadi pembeda dalam menciptakan pasar baru,
keluar dari jalur persaingan yang ketat.
Faktor organisasi juga berdampak dalam proses
akuisisi teknologi.
Berdasar hasil
penelitian, sebagian besar usaha kecil masih dikelola secara tradisional, dan faktor pemimpin
usaha yang dalam hal ini adalah pemilik sangat mendominasi dalam hal pola manajerial, model
pengembangan, termasuk investasi teknologi produksi maupun administrasi bisnis.
Liu et al. 2012 dan Wahyudi 2013 juga mengatakan bahwa dalam skala industri
tradisional, mengakuisisi
teknologi untuk
meningkatkan dan
merevitalisasi efisiensi
produksi. Beberapa kasus, akuisisi teknologi mendukung
terhadap perkembangan
dan kematangan mereka. Akuisisi dapat berdampak
terhadap perencanaan inovasi, implementasi inovasi, platform inovasi dan kinerja inovasi.
Market Pull dan Technology push
Berdasarkan hasil penelitian, faktor
market pull
dan
technology push
masih menjadi faktor kunci dalam mengembangkan pasar dan melakukan
inovasi. Pelaku usaha tidak gegabah melakukan
market created
tanpa melakukan penelitian pasar. Penelitian pasar tersebut bukan seperti yang
dilakukan perusahaan besar, namun setidaknya pelaku usaha melakukan inovasi dengan melakukan
produk baru, harus dilandasi dengan pertimbangan yang matang, seperti kestabilan permintaan produk
yang sudah ada secara kontinyu. Artinya, inovasi produk yang dilakukan tidak akan berdampak
terhadap pesanan yang sudah ada, sehingga kalaupun inovasi produk baru tersebut gagal, tidak
berdampak pada pesanan produk yang sudah berjalan sebelumnya. Inovasi yang saat ini sudah
dilakukan pelaku usaha adalah berdasarkan pesanan
by order.
Hal tersebut terjadi pada usaha beberapa usaha batik di Tulungagung, mamin khas di seluruh
lokasi penelitian, usaha logam di Tulungagung, pengrajin pisau di Blitar dan Banyuwangi.
Tidak semua usaha kecil mampu meraih akses pasar secara berkelanjutan. Hal ini terjadi
karena beberapa faktor: 1 jenis produk dan jangkauan
produk
scoope product
tidak memungkinkan akses pasar yang lebih luas. 2
mudah rusak daya tahan rendah. Produk mamin khas tidak mampu meningkatkan akses pasar
kecuali mampu memodifikasi produk sehingga lebih awet, dan dapat di jadikan oleh-oleh ke luar
daerah. Semisal krupuk rambak di Sembung Tulungagung yang dapat dijual mentah siap goreng,
sehingga lebih praktis dibawa keluar kota, ataupun olahan blimbing dan coklat di Blitar 3 tingkat
persaingan yang tinggi. Klaster atau daerah sentra industri kecil memang memberikan keuntungan
bagi pengrajin karena daerahnya akan lebih mudah di kenal masyarakat luas dan mendapat dukungan
pemerintah, baik dalam proses pemberian bantuan alat, promosi maupun akses pasar. Namun di satu
sisi, hal ini juga menimbulkan tingkat persaingan yang tinggi. Meskipun persaingan yang ada tidak
seperti perusahaan besar dalam hal promosi ke berbagai media, namun berdampak terhadap daya
saing perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian, persaingan harga dan akses pasar terjadi pada sentra
usaha genteng di Trenggalek, krupuk rambak di Kecamatan Sembung dan sentra usaha alat alat
dapur di Kecamatan Ngunut Tulungagung memberikan efek yang besar dalam memenangkan
arus persaingan.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan Wahyudi dan Julianto 2013 bahwa usaha kecil
non-high tech
yang mampu memiliki networking yang kuat adalah usaha krupuk rambak di
Tulungagung, olahan
Blimbing di
Blitar, pengusaha pisau komando Nisoku di Blitar, dan
beberapa pengusaha
alat alat
dapur di
Tulungagung. Usaha kecil dengan teknologi tinggi
high tech
lebih kuat akses pasar dan
networking
mereka. Hal ini dapat dipahami, dimana mereka tidak akan mengadopsi teknologi tinggi tanpa
akses pasar dan permintaan yang kontinyu. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa contoh
usaha kecil
high tech
yang kuat akses pasarnya adalah pengusaha logam LOIND, dan pengusaha
marmer Mutiara Onyx.
Networking
usaha kecil dapat dilakukan lebih terbuka terhadap inovasi
open innovation
dengan menjalin networking dengan universitas terkait penelitian dan pengembangan, perusahaan
besar terkait dengan
pa rtner ship
produk dan
250
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
standardisasi kualitas produk, antar usaha kecil sendiri
dalam berkolaborasi
untuk dapat
mereduksi biaya pengadaan bahan baku atau melayani permintaan yang lebih luas, dan juga
Lembaga Swadaya Masyarakat atau kelompok- kelompok pemberdayaan masyarakat lainnya.
Networking
yang dilakukan harus disertai dengan strategi pengembangan kapabilitas yang jelas,
sehingga networking yang dilakukan dapat lebih sustainable dan meningkatkan daya saing usaha
kecil itu sendiri. Beberapa alternatif tujuan dari
networking
yang dapat dilakukan adalah 1
network data base
; hal ini terkait kerjasama penggunaan teknologi sebagai akses informasi,
promosi, trend pasar, dan perluasan jaringan.
Networking
ini dijalankan bekerjasama dengan lembaga
penelitian, universitas
ataupun pemerintah lokal 2
network management
; ditujukan sebagai media konsultasi,
problem solving
, pendampingan terkait pengembangan usaha,
permodalan, pajak,
ataupun terkait
manajerial lainnya, 3
networking
fasilitas; dimaknai
bahwa perlu
kerjasama dalam
pengembangan pasar secara kolektif, bersama sama mengakuisisi teknologi untuk perbaikan
kualitas produk, atau mengembangkan pasar secara bersama.
Tujuan
networ king
diatas dapat dilakukan dengan dilandasi semangat kebersamaan untuk
berkolaborasi meningkatkan daya saing. Faktor pendukungnya adalah kejujuran, saling percaya
dan berusaha transparan sejak proses kolaborasi dan networking itu dilakukan.
Implikasi dari proses pengembangan
networking
dan kolaborasi dari berbagai daya dukung yang ada membuat informasi peluang
pasar, permintaan pasar, trend pasar menjadi lebih luas dan ada kekuatan bagi usaha kecil
untuk merespon pasar secara agresif. Berdasar hasil penelitian, beberapa usaha kecil mengalami
kesulitan akses pasar, tidak memiliki modal, permintaan pasar yang tidak stabil, dan kesulitan
mencari sumberdaya. Namun disisi lain ada usaha kecil yang kewalahan dalam melayani permintaan
pasar, namun enggan berkolaborasi karena khawatir akan merusak akses pasar yang sudah
mapan. Agresifitas Pemerintah sebagai Akselerator
Peran pemerintah tidak cukup hanya memberikan dukungan dalam bentuk regulating
support, namun juga dituntut lebih sebagai lembaga yang layak dipercaya masyarakat
menjalankan program yang telah disusunnya. Keberadaan Pemerintah yang seringkali hanya
sebagai legal formal, seperti pemberi legalitas usaha, harusnya mulai lebih ditingkatkan dengan
peran yang lebih nyata. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku usaha sebenarnya berharap
bahwa pemerintah daerah mampu memberikan kontribusi pada perintisan usaha, bukan intervensi
ketika pelaku usaha sudah sukses.
Industri kreatif di daerah saat ini sudah berkembang sedemikian rupa, memungkinkan
aktivitas kegiatan
ekonomi yang
lebih mengandalkan ide ide kreatif yang dapat di
konversi kepada produk. Pemerintah daerah saat ini sering mengadakan even atau kegiatan kreatif
yang mampu mendatangkan turis lokal ataupun asing dan berharap keuntungan investasi bagi
daerah mereka.
Penelitian ini juga mencermati upaya pemerintah daerah di lokasi penelitian dalam
mengadakan kegiatan yang mampu bersinergi dengan UMKM atau industri kreatif lain.
Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa Kabupaten Banyuwangi memiliki aktivitas yang
paling menonjol dibanding dengan daerah lain dalam menggandeng usaha kecil memajukan
daerah sekaligus terlibat dalam setiap kegiatan yang
diprogramkan pemerintah.
Kabupaten Banyuwangi sudah sejak 2011 mampu membuat
agenda setiap awal tahun berbagai program kegiatan yang akan dilakukan dan mampu
mem
br a nding
kegiatan tersebut menjadi kegiatan yang menarik perhatian masyarakat lokal dan luar
Banyuwangi. Menurut penuturan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Banyuwangi, upaya
pemerintah Melalui Bapak Anas sebagai Bupati cukup menonjol dalam meningkatkan daya saing
dengan mempromosikan setiap keunggulan yang di miliki Banyuwangi, mulai dari wisata yang ada
hingga produk produk usaha kecil menengah yang ada di Banyuwangi.
Keseriusan tersebut juga nampak dari website
banyuwangikab.go.id, produkukm-
banyuwangi.com, klinikumkm. banyuwangikab dan banyuwangitourism.com yang secara aktif
upload informasi seputar banyuwangi. Setiap even
reguler yang
dilaksanakan selalu
melibatkan UMKM lokal sehingga mampu meningkatkan akses pasar dan kesempatan
memperluas jaringan kerjasama networking. Upaya tersebut secara langsung memberikan
kenaikan Pendapatan Asli Daerah yang cukup signifikan. Ikon wisata yang bermunculan, hotel
hotel
yang baru,
merangsang peningkatan
investasi lokal
maupun asing.
Sentuhan pemerintah
daerah Banyuwangi
mampu memberikan rangsangan bagi industri kreatif
Banyuwangi meningkatkan daya saingnya. Berbeda dengan daerah lainnya, seperti di
Blitar, meskipun ikon kepariwisataan nasional
251
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
seperti makam bung Karno ada di sana, dukungan pemerintahan lokal hanya pada fasilitas berjualan
disekitar makam, sehingga tidak ada bedanya dengan menyediakan toko atau stand disekitar
makam dan silakan menyewa. Kalaupun ada even even kesenian, maka sifatnya hanya karena
memfasilitasi, bukan dengan tujuan jangka panjang yang disusun dengan matang untuk
memajukan industri kreatif di Kabupaten Blitar. Hal yang sama terjadi di Kabupaten Tulungagung
dan
Trenggalek. Meskipun
di Kabupaten
Tulungagung adalah daerah industri kecil yang paling dinamis, namun upaya pemerintah daerah
dalam memajukan industri kreatif tidak terencana dengan baik. Program pembinaan kepada pelaku
usaha kecil seringkali tumpang tindih antara SKPD.
Setiap SKPD
memiliki program
pembinaan kepada
usaha kecil.
Menurut penuturan beberapa pelaku usaha, mereka bisa di
bina beberapa SKPD. Seperti usaha kuliner di daerah Tulungagung, mereka sering menjadi
binaan dinas UMKM dan Koperasi dan juga dinas Pariwisata. Hal tersebut sebenarnya baik, jika
dilakukan pembinaan secara kontinyu dan terukur, namun seringkali pembinaan yang
dilakukan
hanya temporer
dan berkesan
formalitas saja. Hal tersebut dirasakan pelaku usaha, mereka mengatakan bahwa hanya pelaku
usaha yang sudah sukses saja yang justru dilakukan pembinaan dan pemberian dana kredit,
namun bagi pelaku usaha yang baru berdiri, tidak mendapat
perhatian serius.
Pelaku usaha
menyadari bahwa kepariwisataan daerah yang berkembang akan memberikan dampak bagi
perkembangan usaha kecil termasuk di dalamnya mamin khas, kuliner, jasa transportasi dan
kegiatan kreatif lain sebagai daya dukung. Namun pemerintah
daerah Blitar,
Trenggalek dan
Tulungagung nampaknya tidak memprioritaskan pengembangan kepariwisataan sebagai pemicu
trigger bagi pengembangan sektor lain. Banyuwangi mampu mewujudkan even
even yang bernuansa kepariwisataan. Apabila di cermati, even even sosial keagamaanpun dapat
dikemas dengan nuansa wisata religi, kesenian yang spektakuler, pemecahan rekor MURI, dan
even lain yang secara kreatif dilakukan. Memang membutuhkan
waktu relatif
lama untuk
membranding daerah.
Banyuwangi saja,
setidaknya membutuhkan waktu 3 tahun untuk memberikan dampak signifikan terhadap PAD.
Saat ini sudah banyak investor asing maupun domestik yang menanamkan investasinya di
Banyuwangi dalam bentuk pabrik, hotel ataupun dukungan
langsung terhadap
sektor kepariwisataan.
Impact
jangka panjangnya, usaha kecil dan industri kreatif lain akan merasakan
dampak positifnya juga. Berdasarkan hal tersebut, peran pemimpin
dalam hal ini adalah Kepala Daerah Bupati dalam
mengembangkan industri
kreatif merupakan faktor penting yang tidak bisa
diabaikan. Kemampuan Bupati dalam mendesain akselerasi inovasi industri kreatif menjadi
penentu. Apabila diperbandingkan, sebenarnya keempat wilayah tersebut memiliki potensi wisata
yang sangat beragam dan menarik, namun pengelolaan
dan agresifitas
daerah dalam
mem
br a nding
ikon kepariwisataan membuatnya berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten
Banyuwangi paling agresif memberi ruang kepada industri kreatif untuk berkembang dan
meningkatkan network dan akses pasar. Model Akselerasi Inovasi
Berdasar hasil penelitian , akselerasi inovasi dapat
dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai
macam faktor
pendukung inovasi.
Diantaranya adalah 1.
Laboratorium penelitian reseach Labolatory. Laboratorium penelitian yang fokus terhadap
pengembangan usaha
kecil meliputi
pengembangan teknologi,
manajerial administrasi UMKM dan penelitian tentang
pemberdayaan potensi UMKM. Keterkaitan antara
laboratorium dengan
UMKM membutuhkan beberapa dukungan, antara lain :
1 pemerintah daerah, 2 pekerja penyuluh yang menjadi prototype inovasi, 3 manajerial
keuangan sederhana UMKM, 4 tahapan terhadap inovasi yang dilakukan. Klinik UMKM
yang ada di Dinkop UMKM sebenarnya dapat menjadi labolatorium penelitian. Berdasarkan
hasil penelitian, hanya Kabupaten Banyuwangi dan Tulungagung yang dapat memaksimalkan
Klinik UMKM, itupun masih sebatas gelar produk ataupun konsultasi. Peran klinik belum
sampai
kepada penelitian
ataupun pengembangan teknologi. Laboratorium yang
ada dapat merupakan kolaborasi antar SKPD, sehingga program dari berbagai kementrian
dapat masuk dan lebih efektif
2. Peningkatan Kapabilitas manajerial. Tidak hanya
inovasi teknik yang mendapat perhatian, namun juga mempertimbangkan kapabilitas manajerial.
Peningkatan kapabilitas
manajerial dapat
dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak perbankan ataupun CSR dari perusahaan besar
yang concern terhadap pengembangan usaha kecil dan industri kreatif. Berdasarkan hasil
252
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
penelitian, Kabupaten yang paling agresif menggandeng perusahaan untuk CSR adalah
Banyuwangi, meskipun penekanan kerjasama tersebut lebih menekankan pada fasilitasi seperti
sarana dan prasarana berjualan, booth booth untuk gelar produk, ataupun wifi di tempat
pariwisata. Beberapa daerah lain secara konvensional melibatkan CSR dalam pelatihan
pelatihan yang sifatnya temporer saja. Pelaku usaha perlu mempertimbangkan peningkatan
kapabilitas manajerial, agar mereka mampu out of the box dari sisi manajerial, maupun
kemampuan meningkatkan akses pasar dan networking. Perbankan ataupun perusahaan
swasta juga seharusnya memandang bahwa usaha kecil atau industri kreatif adalah sebagai
pengungkit gairah ekonomi potensial, yang apabila CSR mereka gulirkan kepada industri
kreatif yang ada, secara tidak langsung akan meningkatkan kehidupan ekonomi secara luas.
3.
Innovation center
pusat inovasi. Lembaga yang berfungsi sebagai pusat inovasi sangat penting
untuk ada. Hal ini berkonsekuensi pada dibutuhkannya penyelenggara inovasi yang
dapat di pelopori oleh swasta, universitas dilingkungan sekitar ataupun oleh pemerintah
melalui SKPD yang ada. Swasta dapat berperan dalam proses penyelenggaraan inovasi dimana
secara
langsung akan
berdampak pada
kepentingan produk
atau layanan
yang dihasilkannya. Artinya, peran swasta dalam hal
ini perusahaan besar atau menengah yang memungkinkan bekerjasama
partnership
dengan pelaku usaha kecil dapat menyelenggarakan
pusat inovasi untuk melanggengkan kerjasama tersebut. Peran universitas dilingkungandaerah
tersebut, dapat diposisikan sebagai mitra dalam hal penelitian dan pengabdian, sehingga dapat
fokus
menciptakan pusat
inovasi. Peran
pemerintah dapat dilakukan secara lebih konkrit, dengan dukungan perencanaan dan dana akan
dapat sekaligus menggandeng pihak swasta, universitas dan pemerintah sendiri sehingga
pembagian peran tersebut dirasa sebagai simbiosis mutualisme dan sesuai kompetensi dan
wewenang yang dimiliki.
4. Dinamisasi penyelenggara inovasi. Dinamisasi
implementatif dibutuhkan, antara lain dengan melakukan :a pilot project transfer inovasi. Hal
ini dibutuhkan untuk menentukan inovasi apa yang sebenarnya dibutuhkan usaha kecil dan
memberikan aspek kepercayaan dari manajemen bahwa inovasi yang dilakukan akan berdampak
terhadap kinerja usaha kecil mereka. Hal ini secara
motivasional akan
mempengaruhi keinginan pelaku usaha untuk melakukan inovasi
karena dari pilot project dapat diketahui bahwa inovasi yang dilakukan menguntungkan. Hal ini
juga sekaligus dapat membuat pelaku usaha menentukan
kemampuankapabilitas inovasi
yang akan dilakukan, b
pilot project
inovasi secara global. Ditujukan untuk mengenalkan
perubahan radikal, baik dari aspek teknologi ataupun manajerial, karena perubahaninovasi
yang dilakukan akan sangat berisiko dan hanya dapat diimplementasikan hanya untuk usaha
kecil. Pilot project global dibutuhkan untuk mengurangi kesenjangangap dari perubahan
kultur kerja akibat perubahan teknologi yang di gunakan ataupun perubahan manajerial yang
fundamental
Model akselerasi inovasi industri kreatif Kesimpulan
Kharakteristik usaha kecil yang berbeda beda membuat akselerasi inovasi tidak mudah dilakukan.
Faktor pemimpin dan kepemimpinan menjadi aktor penting dalam akselerasi inovasi, yang akan
berdampak terhadap budaya kerja, sumberdaya, orientasi pasar, akuisisi teknologi dan akses pasar.
Proses inovatif, imajinatif, intutitif, dan inspiratif mampu dilakukan industri kreatif, meskipun pada
awalnya tidak harus selalu orisinal, tapi melalui proses imitasi.
Market pull
dan
technology push
masih menjadi faktor kunci dalam mengembangkan pasar
dan melakukan
inovasi. Agresifitas
pemerintah daerah sebagai akselerator inovasi dan tumbuh kembangnya usaha kecil dan industri kreatif
menjadi pembeda. Hal ini nampak dari upaya pemerintah daerah melibatkan even even yang
berhubungan langsung dengan sektor ekonomi ataupun kepariwisataan. Model akselerasi inovasi
yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan laboratorium penelitian, peningkatan kapabilitas
manajerial, innovation center, dan dinamisasi penyelenggara inovasi.
Innovation acceleration
Kapabilitas manajerial
Dinamisasi Penyelenggara
Inovasi Innovation
center Laboratorium
riset
253
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
DAFTAR PUSTAKA
Andries, P and Debachere, K. 2006. Adaptation in new technology-based ventures: insight at
the company level.
International Journal of Management Review
, Vol. 8 No. 2, pp. 91-112.
Das, T.K. and He, I.Y. 2006.
Entreprenurial firms in search of established partners: review
and recommendations
. International
Journal of entrepreneurial behaviour and research, Vol. 12, No. 3, pp. 114-43
Goyal , S. And Pitt, M. 2007. Determining The Role Of Innovation Management In Facilities
Management.
Facilities
, Vol. 25. No. 1 2, Pp. 48-60
Jones, O. 2003. Competitive Advantage in SMEs: towards a conseptual frame work, in
Jones, O.
and Tilley,
F Eds,
Competitive Advantage in SMEs, Willey, chichester, pp. 15-33.
Landon , K. and Landon, J. 2007.
Essential of Business Information System
, 7
th
ed, Prentice-Hall, Eaglewood Cliff, NJ.
Liu, M., Li, M., And Zhang, T. 2012. Empirical Research On China Smes Technology
Innovation Engineering Strategy.
System Engineering Procedia
5, Pp. 372-378 Wahyudi, E Dan Julianto, D. E. 2013.
Model Sistemik
Inovasi Berkelanjutan
Dan Kapabilitas Daya Saing Usaha Kecil
Teknologi Rendah Non high tech Di Jawa Timur.
Tahun ke dua. Hibah Strategis Nasional. Dikti, DP2M
Wahyudi, Edy. 2013. Model akselerasi Inovasi dan Daya Saing Usaha Kecil
Non high tech
Kajian Empiris Usaha Kecil di Jawa Timur. Seminar Nasional “Networking
dan Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Mikro Berbasis Kreativitas”. FISIP,
Universitas Jember Zahra, S. and George, G. 2002. International
entrepreneurship: the current status of the field and future research agenda. In
Hitt, M.A., Ireland, R.D. Camp, S.M., Sexton,
D.L Eds.
Strategic Entrepreneurship. Blackwell, Malden,
M.A, pp. 255-288. Zuhal, M. 2010.
Knowledge Management and Innovation.
Gramedia, Jakarta
254
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Upaya Mempopulerkan Gumuk Pasir Sebagai Studio Alam Untuk Pengembangan Industri Pariwisata Berbasis Eco-Socio-Tourism
An Eco-Socio-Tourism Based on Tourism Industry : To Promote Sand Dunes as Natural Studio
Yuliana Farkhah, Aulia Nur Mustaqiman, Kurniawan, Agat Ardinugroho, Tushy Octafadiola
Magister Pengelolaan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Jl Barek Sekip Utara,Yogyakarta, 55281
Keyword A B S T R A C T
sand dunes natural studio
tourism eco-socio-tourism
Sand dunes is a natural forma tion of sand mounds form resembling a hill due to the movement of the wind aeolian. Sand dunes located in
the southern Daerah Istimewa Yogyakarta which formed over thousands of years. Sand dunes included in the UNESCO World
Heritage list because that is a natural aeolian phenomenon in Southeast Asia. Sand dunes has potential for a natural studio because
its beauty landscape as tourism destination and places for research. This paper aims to analyze financial feasibility and to study
environmental management strategies of tourism destination based on eco-socio-tourism. This study used descriptive quantitative research
method. Sampling was done random sampling. financial feasibility analysis with IRR, NPV, and Payback Period. Data analysis used
spatial and GIS analysis techniques and SWOT analysis. These results were recommendation of business opportunities for local community
with recommendation of business opportunities for local community with utilize sand dunes as a natural studio without ruin his beauty and
environmental management strategies like zonation of sustainable spatial planning which is supported local community.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
gumuk pasir studio alam
pariwisata eco-socio-tourism
Gumuk pasir merupakan bentukan alam berupa gundukan-gundukan pasir menyerupai bukit akibat pergerakan angin aeolian. Gumuk pasir
terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan yang terbentuk selama ribuan tahun. Gumuk pasir dimasukkan dalam daftar UNESCO
World Heritage
karena merupakan fenomena alam aeolian di Asia Tenggara. Gumuk pasir berpotensi menjadi studio alam karena
keindahan bentangalamnya sebagai tempat wisata dan penelitian. Tujuan penelitian yaitu menganalisis kelayakan finansial dan mengkaji
strategi pengelolaan lingkungan kawasan wisata berbasis eco-socio- tourism.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan sampel dilakukan secara random sampling. Analisis
kelayakan finansial dengan analisis IRR, NPV, dan Payback Period. Analisis data menggunakan analisis spasial berbasis GIS dan analisis
SWOT. Hasil penelitian ini adalah rekomendasi peluang usaha bagi masyarakat lokal dengan memanfaatkan gumuk pasir sebagai studio
alam tanpa merusak keindahannya dan strategi pengelolaan lingkungan berupa zonasi penataan ruang berkelanjutan yang ditunjang oleh
partisipasi masyarakat.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Corresponding author. E-mail address:
yulianafarkhah.mplgmail.com
255
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Lingkungan pantai merupakan kawasan yang spesifik, dinamik, memiliki kakayaan
habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antar habitat. Daya tarik di Pantai Parangtritis
ini adalah adanya fenomena alam yang sangat langka dan unik berupa gumuk pasir tipe
barchan
, yang terbentuk sebagai akibat adanya suplai pasir, bentuk tebing di sebelah timur,
angin serta ombak laut yang dinamis Widodo, 2003. Gumuk pasir terbentuk karena adanya
pergerakan angin yang membawa pasir dan membentuk gundukan pasir Pye Soar,2009.
Gumuk pasir memiliki karakteristik lingkungan yang unik dari gundukan pasir pantai yang
biasa Jianjun
et al
.,2013. Gumuk pasir berfungsi melindungi pantai dari abrasi Hanley
et al
., 2014. Degradasi lingkungan fisik gumuk pasir dapat menghilangkan kekhasan morfologi
gumuk bila tidak ada upaya manajemen pengelolaan
gumuk pasir.
Manajemen pelestarian
gumuk pasir
meliputi; mempertahankan dan mengembalikan suplai
pasir, mengurangi tanaman yang bukan asli, serta destabilisasi lokal Rhind Jones, 2009.
Gumuk pasir memberikan manfaat untuk pengembangan industri pariwisata dengan
pemandangan yang indah, keanekaragaman flora dan fauna serta suasana asri dapat
mendorong wisatawan untuk mengunjunginya Carmo
et al
., 2010. Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1999 menyebutkan definisi
pariwisata adalah
segala sesuatu
yang berhubungan
dengan wisata,
termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta
usaha yang terkait dibidang tersebut. Pariwisata merupakan salah satu industri yang mampu
menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam
hal penyediaan
lapangan kerja,
pendapatan, tarif
hidup, dan
dalam mengaktifkan sektor produksi lain di daerah
wisata Salma Susilowati, 2004. Ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berbasiskan
alam sehingga lingkungan, ekosistem, dan kearifan-kearifan lokal yang ada di dalamnya
harus dilestarikan keberadaannya Nadiasa dkk, 2010.
Pada Gambar 1, gumuk pasir juga memiliki peranan penting dalam ekosistem
pesisir dan dapat dijadikan daerah pemodelan untuk penelitian. Pemanfaatan potensi gumuk
pasir sebagai daerah tujuan wisata juga mendukung pengembangan industri pariwisata
di Pantai Parangtritis. Pariwisata merupakan salah satu sektor andalan pemerintah untuk
menaikkan
pendapatan daerah.
Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis kelayakan
finansial dan mengkaji strategi pengelolaan lingkungan kawasan wisata berbasis
eco-socio-
tourism
.
Gambar 1. Lokasi Sand dunes
Sumber: Yuliana Farkhah diambil tanggal 26 Juni 2015
KERANGKA KONSEP Menurut Putra dan Setiawan 2013
pariwisata merupakan salah satu sektor
ekonomi yang
mengalami pertumbuhan
tercepat dan terbesar di dunia dalam enam dekade terakhir, terutama wisata berbasis alam
atau wisata alam
ecotourism
. Indonesia sebagai negara yang kaya akan wisata alam dan
budaya, apabila dikembangkan secara benar, akan menjadi andalan sumber pemasukan
devisa.
Eco-socio-tourism
merupakan pengembangan konsep dari ekowisata yang
melibatkan aktivitas
stakeholders
. Menurut Read 2013 pariwisata merupakan sektor
industri jasa terbesar di dunia yang secara langsung mempekerjakan 98 juta orang di
seluruh dunia. Pariwisata dapat mendukung konservasi
lingkungan ekowisata,
pengembangan kegiatan sosial dan peningkatan perekonomian.
Menurut Jalani
2012 masyarakat lokal di Palawan, Filipina
eco- tourism
ekowisata memberikan dampak positif terhadap masyarakat lokal seperti
membuka lapangan
pekerjaan dan
meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, sehingga
sangat penting
untuk
256
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
mempertahankan sumber daya alam untuk keberlangsungan industri pariwisata. Menurut
Romão
et al
. 2014 pengembangan ekowisata berkelanjutan melindungi ekologi kawasan
wisata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan memberikan manfaat sosial untuk
masyarakat di Shiretoko Peninsula, Jepang. Variable konsep ecosociotourism yang dikaji
adalah meliputi pengembangan dari konsep
ecotourism
menjadi
eco-socio-tourism
. Aktivitas sosial tidak terlepas dari manusia
sebagai makhluk sosial. Hal ini saling berkaitan satu dengan lainnya.
METODE PENELITIAN
Analisis data menggunakan analisis spasial
berbasis GIS
Geographical Information System
yang berasal dari
overlay
Peta RBI dengan hasil analisis SWOT
Strength, Weakness, Opportunity
dan
Threat
, sedangkan
dalam pembuatan
strategi pengelolaan lingkungan menggunakan analisis
SWOT. Menurut Tahir dkk 2002 tahapan yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah
identifikasi unsur-unsur SWOT, pemberian bobot dan skor serta penyusunan kebijakan
alternatif.
Menurut Nadiasa dkk 2010 beberapa metode yang dipergunakan dalam menganalisis
kelayakan investasi, yaitu: Metode
Net Present Value
NPV, Metode
Internal Rate of Return
IRR, Metode
Benefit Cost Ratio
BCR. Kriteria
NPV didasarkan
pada konsep
mendiskonto seluruh aliran kas ke nilai sekarang. Dengan mendiskonto semua aliran
kas masuk dan keluar selama umur proyek investasi
ke nilai
sekarang, kemudian
menghitung angka neto maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama,
yaitu harga pasar saat ini. NPV menunjukkan berapa besar nilai usaha saat ini pada tingkat
bunga tertentu. Dalam penelitian ini digunakan tingkat bunga 12. Formulasi matematis NPV
sebagai berikut Gittinger, 1986
Dimana : NPV = nilai neto sekarang
B
t
= nilai produksi pada tahun ke-t C
t
= biaya produksi tahun ke-t n
= umur ekonomis kegiatan investasi i
= tingkat bunga diskonto t
= waktu Kriteria
BC ratio
menunjukkan perbandingan
manfaat terhadap
biaya. Formulasi matematis BC sebagai berikut
Gittinger, 1986:
Kriteria pengujian : BC1 investasi dapat dijalankan, BC1 investasi tidak dapat
dijalankan. Kriteria IRR mencerminkan tingkat balikan internal
sewaktu nilai sekarang biaya sama dengan nilai sekarang penerimaan atau pada saat NPV = 0.
Kriteria kelayakan adalah IRR tingkat bunga Ardana dkk, 2008.
Kerangka pemikiran
penelitian ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka pemikiran
Sumber : Hasil Analisis 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Spasial Berbasis
GIS
Analisis spasial
dilakukan untuk
membuat kawasan pengembangan dari analisis SWOT. Hasil dari analisis ini berupa informasi
penempatan area pengembangan kawasan
257
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
gumuk pasir berdasarkan fasilitas penunjang pariwisata
untuk diperoleh
pola arah
pengembangan tanpa
menghilangkan konservasi gumuk pasir.
Gambar 3. Peta Lokasi Pengembangan Sand dunes
Sumber : Hasil Analisis 2015
Dari analisis pengembangan lahan bagi peruntukan kawasan konservasi dan industri
wisata Gambar 3, diperoleh hasil sebagai berikut: menjelaskan persebaran fasilitas untuk
pengembangan areal gumuk pasir seperti mini
rest area
dan daerah konservasi.
Analisis Kelayakan Finansial
Analisis finansial dilakukan dengan cara valuasi ekonomi kawasan gumuk pasir dan
analisis kelayakan finasial. Valuasi ekonomi berupa nilai guna langsung dan nilai tidak
langsung. Nilai guna langsung yaitu retribusi, biaya parkir, biaya penggunaan toilet. Nilai
guna tidak langsung yaitu nilai guna gumuk pasir sebagai daerah resapan air seperti biaya
pemakaian air PDAM di Kabupaten Bantul diatur dalam Peraturan Bupati Bantul No. 75
tahun 2007 tentang Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten
Bantul. Tarif air minum yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga dasar Rumah
Tangga
A1 Golongan
Non Niaga.
Pertimbangan menggunakan kelas Rumah Tangga A1 Golongan Non Niaga karena
umumnya penduduk dikenakan tarif tersebut. Rumah Tangga 2A Golongan Non Niaga
adalah pelanggan yang dalam rumah tangga tersebut hanya berfungsi sebagai tempat tinggal
dan masuk kategori bangunan rumah sederhana RS atau kategori di bawahnya.
Kebutuhan air bersih per orang untuk kebutuhan rumah tangga adalah 160 - 250
Loranghari Noerbambang Morimura, 2000, diambil nilai rata-rata yaitu 200
Loranghari. Sehingga pemakaian air per bulan per rumah warga Desa Parangtritis adalah 4
orang x 200 Loranghari x 30 hari = 24.000 L = 24 m
3
per bulan. Asumsi dalam tiap rumah terdapat 4 anggota keluarga sehingga terdapat
2.055 rumah di Desa Parangtritis. Untuk harga dasar air penggunaan sebesar 20 m
3
adalah Rp. 2.250m
3
. Dengan demikian nilai ekonomi resapan
air gumuk pasir selama satu tahun adalah sebagai berikut:
NGTL Nilai Guna Tidak Langsung resapan air gumuk pasir = Rp. 2.250m³ x 24
m³bulan x 12 bulan x 2.055 rumah = Rp 1.331.640.000,00tahun
NGTL gumuk pasir selanjutnya adalah NGTL gumuk pasir sebagai studio alam yang
didapat dari biaya sewa studio, luas gumuk pasir, dan waktu pemakaian. Rata-rata biaya
sewa studio adalah Rp. 400,00 m
2
jam. Luas gumuk pasir yang aktif masih berupa pasir,
bukan yang telah dialihfungsikan sebagai tambak udang atau penggunaan lainnya seluas
450.000 m
2
. Waktu pemakaian rata-rata studio adalah 7 jamhari. Dari data-data tersebut,
didapatkan NGTL gumuk pasir sebagai studio alam
adalah sebesar
Rp 459.900.000.000,00tahun.
Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk memperoleh nilai NPV,
Payback Period
, BCR, dan IRR. Total NPV diperoleh dengan
tingkat suku bunga
discount rate
6, sebesar
Rp 16.587.602.509,00. BCR diperoleh sebesar 4,56 artinya kawasan wisata
gumuk pasir layak secara finansial berdasarkan kalkulasi perhitungan
Discount Benefit
dan
Discount Cost
.
Payback Period
diperoleh pada tahun ke-5 yang artinya pengembalian modal
usaha kawasan gumuk pasir ini sangat cepat secara kelayakan finansial. IRR diperoleh
51,28 artinya pada tingkat suku bunga sebesar 51,28 diperoleh kawasan gumuk pasir
memiliki NPV sebesar nol.
258
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Arahan Kebijakan Pengelolaan
Suatu kebijakan yang baik hendaknya disusun melalui penelaahan tentang kondisi dan
kenyataan di lapangan, untuk menggali unsur- unsur kekuatan, kelemahan dan peluang serta
ancaman yang ada. Selain itu, perlu pula mencermati unsur-unsur tersebut yang mungkin
atau diperkirakan akan muncul di kemudian hari. Dengan demikian, kebijakan yang
diformulasikan bersifat antisipatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seiring
dengan berjalannya waktu Tahir dkk, 2002. Pada Gambar 4 disajikan hasil identifikasi
peluang, ancaman, kekuatan, dan kelemahan yang dijadikan acuan dalam merumuskan
kebijakan pengelolaan gumuk pesisir.
Gambar 4. Grafik Analisis SWOT
Sumber : Hasil Analisis 2015
Strategi pengelolaan kawasan wisata gumuk pasir diperoleh nilai
Strength
lebih banyak dari nilai
Weakness
. Kemudian nilai
Opportunity
lebih banyak dari nilai
Treat
. Sehingga diperoleh pola grafik SWOT berupa
dominan sudut terletak pada kuadran 1 yang berarti
layak berkembang.
Kuadran 1
mengambarkan gumuk pasir memiliki peluang untuk melakukan ekspansi dan dikembang
sebagai daerah wisata maupun konservasi. Rekomendasi
strategi pengelolaan
yang berbasis
eco-socio-tourism
di bidang ekologi seperti
pelestarian gumuk
pasir dengan
penaataan area gumuk dari tambak udang liar serta
kegiatan lain
yang mengganggu
pembentukan gumuk pasir. Bidang sosial dengan melibatkan masyarakat secara aktif
dalam setiap aktivitas ekonomi perdagangan, persewaan
sand boarding
dan parkir. Bidang institusional, BLH Kabupaten Bantul dapat
melakukan sosialisasi
dan berkoordinasi
dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Bantul mengenai
penanaman vegetasi di gumuk pasir karena seharusnya
gumuk pasir bebas dari tanaman apapun. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul
berkoordinasi dan bekerjasama dengan karang taruna setempat dalam memajukan pariwisata
gumuk pasir. Rekomendasi penataan gumuk pasir seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
PENUTUP Kesimpulan pada penelitian ini adalah
kawasan wisata gumuk pasir layak secara finansial dan valuasi ekonomi. Hal ini
dibuktikan dengan nilai BCR senilai 4,56 serta NPV sebesar Rp 16.587.602.509,00.
Payback period
diperoleh selama 5 tahun, dan IRR didapat 51,28. Berdasarkan analisis SWOT
dan Spasial diperoleh hasil bahwa kawasan gumuk pasir adalah kawasan pengembangan,
maka strategi pengelolaan yang cocok yaitu memperluas areal gumuk pasir, menambah
papan informasi edukasi dan mini
rest area
di area sekitar gumuk pasir dengan jarak tertentu.
Membuka peluang usaha baru berupa tempat penginapan, memperbanyak tempat makan
dengan fasilitas tempat penginapan, lahan parkir bus dan mobil, membuka peluang kerja
baru berupa
tour guide
, dan memperbanyak alat transportasi lokal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Pengelola Pantai Parangtritis dan
Depok, dr. Hendrik Oen, dan C. Natalis Ziljstra, S.I.Kom.
DAFTAR PUSTAKA Ardana, I Ketut., Pramudya, B., Hasanah, M.,
Tambunan., A. H. 2008. Pengembangan tanaman jarak pagar Jatropha curcas L
mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida, Bali. Jurnal Littri. 144.
Carmo, J. A. do., Reis, C. S., Freitas, H. 2010. Working with nature by protecting
Kuadran 1 Progresif
Opportunities
Strengths
Threats
Weakness Kuadran 2
Diversifikasi Strategi Kuadran 4
Strategi Bertahan Kuadran 3
Ubah Strategi O,4
O,8
259
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
and dunes: lessons learned. Journal of Coastal Research. 26 6. pp. 1068-1078.
Hanley, M.E., Hoggart, S.P.G., Simmonds, D.J.,
Bichot, A.,
Colangelo, M.A.,
Bozzeda, F., Heurtefeux, H., Ondiviela, B., Ostrowski, R., Recioe, M., Trude, R.,
Zawadzka-Kahlau, E., Thompson, R.C. 2014. Shifting sands? coastal protection by
sand banks, beaches and dunes. Coastal Engineering. 87: 136
–146 Jalani, J.O. 2012. Local peoples perception on
the impacts and importance of ecotourism in Sabang, Palawan, Philippines. Procedia -
Social and Behavioral Sciences. 57: 247 –
254 Jianjun, Q., Qingjie, H., Guangrong, D., Kecun,
Z., Ruiping, Z. 2013. A study of the characteristics of aeolian sand activity and
the effects of a comprehensive protective system in a coastal dune area in southern
China. Coastal Engineering. 77 : 28
–39 Nadiasa, M., Maya, D. N. K. W., Norken, I
N. 2010. Analisis investasi pengembangan potensi pariwisata pada pembangunan
waduk jehem di kabupaten bangli. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil 14 2.
Noerbambang, S. M. Morimura, T. 2000. Perancangan dan Pemeliharaan Sistem
Plambing. Jakarta : PT. Pradya Paramita. Putra, A.C.D Setiawan, R. P. 2013. Faktor
penentu pengembangan kawasan wisata air terjun
dlundung berbasis
partisipasi masyarakat. Jurnal Teknik Pomits. 21 :
2337-3520 Pye, K. Tsoar, H. 2009. Aeolian sand and
sand dunes. Heidelberg : Springer-Verlag. Read,
M. 2013.
Socio-economic and
environmental cost –benefit analysis for
tourism products - A prototype tool to make holidays more sustainable. Tourism
Management Perspectives 8: 114 –125
Rhind, P Jones, R. 2009 A framework for the management of sand dune systems in
Wales. J Coast Conserv. 13:15 –23
Romãoa, J., Neutsc, B., Nijkampa, P., Shikida, A. 2014. Determinants of trip
choice, satisfaction and loyalty in an eco- tourism destination: a modelling study on
the Shiretoko Peninsula, Japan. Ecological Economics. 107: 195
–205 Salma, I. A. Susilowati, I. 2004 Analisis
permintaan objek wisata alam curug sewu, kabupaten kendal dengan pendekatan
travel cost. Jurnal Dinamika Pembangunan JDP, 1 2. Pp. 153-165.
Tahir, A., Bengen, D. G., Susilo, S.B. 2002. Analisis kesesuaian lahan dan kebijakan
pemanfaatan ruang kawasan pesisir teluk Balikpapan. Jurnal Pesisir Lautan. 43:
1-16
Widodo, L. 2003. Gumuk pasir parangtritis konversi
versus konservasi
sebuah tinjauan penggunaan lahan dengan model
dinamik. J.Tek.Ling. P3TL-BPPT. 4 1: 21-26
260
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Inovasi Pengawet Nira Alami Instan TANGKIS Generasi-1 pada Produksi Gula Kelapa Organik
Inovation of Natural Sap Preservative TANGKIS Generation-1 on Organic Coconut Sugar Production
Karseno , Mujiono, Pepita Haryanti, dan Retno Setyawati
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 53123
Keyword A B S T R A C T
coconut sugar neera
natural preservation functional foods
tangkis Natural preservative of neera TANGKIS is powdered form products
formulated from natural ingredients such as mangosteen rind, jackfruit wood, guava leave, betel leave, and lime powder that used to maintain
quality of neera to produce good quality of sugar. This innovation is greatly help sugar farmers that many face constratint of their neera due
to microbial contamination. The product as well as replace the used synthetic preservation of neera called sodium metabisulfite. Evaluation
of TANGKIS Generation-1 was carried out on coconut sugar farmers in Banyumas regency. Coconut sugar was analyzed for physical, chemical
and sensory characteristics. The research was done in several step. The results showed that proportion of mangosteen rind powder and
jackfruit wood powder on 1:1 and 5 in total TANGKIS produce neera and coconut sugar in good quality. In addition, concentration of
TANGKIS solution on 6 was recomended for application. Application of TANGKIS is expected not only produce a good sugar on physical,
chemical and organoleptic properties, also produces sugar which is rich in antioxidants, so that the sugar prospectively for the development
of functional food products today.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
gula kelapa nira
pengawet nira alami pangan fungional
tangkis Pengawet nira alami TANGKIS adalah produk berbentuk serbuk yang
diformulasikan dari bahan alami yaitu kulit buah manggis, kayu nangka, dan kapur tohor yang digunakan untuk mempertahankan mutu
nira sehingga dihasilkan gula yang berkualitas. Inovasi TANGKIS ini ditujukan untuk membantu perajin gula kelapa yang banyak
menghadapi kendala karena niranya mudah terkontaminasi mikrobia. Produk ini diharapkan dapat menggantikan penggunaan pengawet nira
sintetis sodium metabisulfit. Pengujian TANGKIS Generasi-1 dilakukan terhadap perajin gula kelapa di wilayah Banyumas. Gula
kelapa yang dihasilkan dianalisis karakteristik fisik, kimia dan sensorisnya. Penelitian dilakukan secara bertahap. Hasil penelitian
TANGKIS Generasi-1 ditemukan bahwa perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis 1:1 pada persentase campuran
keduanya pada total bahan 5 menghasilkan mutu nira dan gula kelapa yang terbaik. Selanjutnya dari formula tersebut konsentrasi larutan
TANGKIS 6 adalah yang direkomendasikan untuk diaplikasikan. Aplikasi TANGKIS diharapkan tidak hanya menghasilkan gula yang
berkualitas secara fisik, kimia dan sensori, juga menghasilkan gula kelapa yang kaya antioksidan.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. E-mail address:
karseno_m71yahoo.com
261
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Pengawet nira alami instan TANGKIS adalah sebuah pengawet nira yang dibuat dengan
memformulasikan bahan
alami yang
umum digunakan perajin gula kelapa seperti kulit buah
manggis
Garcinia mangostana
, kayu nangka
Arthocarpus heterophylus
dan kapur. Produk ini digunakan untuk mengendalikan mikrobia perusak
nira baik nira kelapa, aren, nipah, siwalan maupun jenir nira lainnya sehingga kualitas nira dapat
dipertahankan dan nira dapat diolah menjadi gula yang berkualitas. Inovasi ini adalah upaya untuk
membantu para perajin gula khususnya gula kelapa yang menghadapi kendala karena nira yang mudah
mengalami kerusakan akibat kontaminasi mikrobia. Produk ini sekaligus juga untuk menggantikan
penggunaan pengawet nira sintetis yaitu sodium metabisulfit C
6
H
18
NNaSi
2
atau sulfit Na
2
S
2
O
5
yang di kalangan perajin gula kelapa dikenal dengan istilah obat gula. Penggunaan obat gula yang kurang
terkontrol dosis atau takarannya oleh petani, menjadikan produk gula kelapa yang dihasilkan
berdampak kurang baik bagi kesehatan konsumen.
Inovasi pengawet nira alami instan sudah dilakukan dengan memformulasikan bahan-bahan
alami yang kaya komponen antimikrobia dan antioksidan dan produknya diberi nama TANGKIS.
Produk ini telah melalui serangkaian tahapan penelitian pada skala laboratorium dan pengujian
aplikasi di tingkat petani. Aplikasi pengawet nira alami instan TANGKIS ini diharapkan akan
menghasilkan gula kelapa organik yang berkualitas secara fisik, kimia dan organoleptik. Selain itu gula
kelapa yang dihasilkan juga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi sehingga berpotensi sebagai
produk pangan fungsional. Pengembangan produk pangan dengan menggunakan gula kelapa yang
dihasilkan ini akan sangat prospektif dalam mendukung
pengembangan industri
pangan fungsional dewasa ini.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Permasalahan krusial yang dihadapi petani
dalam aspek produksi gula kelapa adalah terjadinya fermentasi nira akibat kontaminasi mikrobia yang
dapat berlangsung sejak nira menetes sampai siap diolah. Kontaminasi mikrobia menyebabkan nira
mengalami perubahan sifat karena terjadi proses fermentasi gula yang akan menghasilkan alkohol
dan asam. Apabila gula invert dalam nira lebih dari 8 maka nira tidak dapat diolah lagi menjadi gula
yang baik, karena gula yang dihasilkan akan mudah rusak atau bahkan tidak dapat dicetak karena gula
tidak dapat mengeras dan memadat. Selain itu nira yang telah mengalami fermentasi mengandung asam
dan gula reduksi yang relatif tinggi sehingga menyebabkan cepat gosong selama pemanasan
. Kondisi tersebut menyebabkan kerugian yang besar
secara ekonomi bagi perajin gula dan mengurangi jumlah produksi gula palma secara keseluruhan.
Oleh karena itu terjadinya kontaminasi mikrobia harus diusahakan seminimal mungkin.
Untuk mencegah kerusakan nira akibat kontaminasi mikrobia, para perajin gula biasanya
menambahkan bahan pengawet yang berasal dari bahan alami maupun sintetis. Pengawet sintetis yang
banyak digunakan perajin gula adalah sodium metabisulfit C
6
H
18
NNaSi
2
atau sulfit Na
2
S
2
O
5
yang sering mereka sebut dengan istilah obat gula. Penggunaan pengawet sintetis di kalangan perajin
gula dikarenakan sulfit efektif sebagai antimikrobia, mudah didapat di pasaran, harganya terjangkau dan
menghasilkan gula dengan warna yang menarik. Data di lapangan menunjukkan bahwa sebagian
besar perajin gula masih menggunakan sulfit sebagai pengawet nira.
Kefektifan sulfit sebagai antimikrobia karena molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel
mikroba, dan
bereaksi dengan
asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi
oleh enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfida enzim dan bereaksi dengan keton membentuk
hidroksisulfonat yang
dapat menghambat
mekanisme pernapasan. Selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil.
Hasil reaksi itu akan mengikat melanoidin komponen yang berperan terhadap pembentukan
warna coklat pada gula palma, sehingga akan mencegah timbulnya warna coklat di gula Cahyadi,
2008.
Pengunaan sulfit sebagai pengawet nira perlu dihindari karena bahan ini diketahui berdampak
kurang baik bagi kesehatan manusia. Natrium metabisulfit dapat digunakan apabila kadarnya di
bawah batas ambang yang ditentukan. Menurut Muchtadi dan Sugiono 1992, dosis penggunaan
natrium metabisufit, yaitu 0,2
– 0,25. Batas normal residu sulfit yang boleh dikonsumsi oleh
manusia adalah 300 ppm, sedangkan menurut Standar Nasional Indonesia SNI, maksimal
kandungan sulfit hanya 200 ppm 200 mgkg. Namun cara ini akan sulit dikontrol, sebab pada
faktanya ada kecenderungan penggunaan yang berlebihan oleh para perajin gula kelapa.
Penggunaan sulfit sebagai pengawet nira juga mempercepat kerusakan peralatan yang digunakan
seperti “pongkor” dan “wajan” karena sulfit bersifat korosif.
Untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut perlu dicarikan alternatif pengawet alami
sebagai pengganti pengawet sintetis. Ketersediaan pengawet
alami nira
yang efektif
dalam menghambat
kerusakan nira,
praktis penggunaannya, murah, mudah didapat dan
262
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
menghasilkan gula yang aman dan berkualitas akan sangat membantu para perajin gula.
Berdasarkan kondisi tersebut, telah dilakukan penelitian dan inovasi pembuatan pengawet nira
alami dengan
nama TANGKIS.
Penelitian TANGKIS Generasi-1 diawali dengan melakukan
eksplorasi dan seleksi bahan alami lokal yang berpotensi sebagai sumber TANGKIS seperti kulit
buah manggis, kayu nangka, dan kapur yang sudah banyak digunakan oleh perajin gula kelapa.
Kulit buah manggis
pericarp
terdapat komponen yang bersifat antioksidan. Zat ini disebut
dengan
xanthones
. Meskipun daging buah manggis mengandung vitamin C yang juga merupakan
sumber antioksidan alami, tetapi jumlahnya sangat sedikit Paramawati, 2010. Menurut Qosim 2007
dalam
Mardawati
et al.
2008, kulit buah manggis mengandung
senyawa
xanthone
sebagai antioksidan, antiproliferativ, dan antimikrobial yang
tidak ditemui pada buah-buahan lainnya. Selain itu, menurut Pitojo dan Hesti 2007, kulit buah manggis
juga mengandung saponin dan tanin. Ekstrak kulit buah yang larut dalam petroleum eter ditemukan
dua senyawa alkaloid. Kulit buah dan lateks kering
Garcinia mangostana
mengandung sejumlah zat warna kuning yang berasal dari dua metabolit yaitu
mangostin dan β-mangostin.
Xanthones
pada kulit
buah manggis
merupakan senyawa keton siklik polipenol dengan rumus molekul C
13
H
8
O
2
. Struktur dasar
xanthones
terdiri dari tiga benzena dengan satu benzena di tengahnya yang merupakan keton. Hampir semua
molekul turunan
xanthones
mempunyai gugus penol. Oleh karena itu,
xanthones
sering disebut polipenol.
Xanthones
memiliki 200 jenis zat turunan dan 40 di antaranya terdapat dalam kulit manggis
Paramawati, 2010. Menurut
Anastasia 2010,
berdasarkan penelitian
sebelumnya membuktikan
bahwa senyawa alfa mangostin mempunyai aktivitas
antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus
resisten penisilin Farnsworth dan Bunyapraphatsara, 1992,
Enterococci
resisten penisilin dengan MIC 6,25 μgml, dan
Staphylococcus aureus
resisten metisilin dengan MIC 6,25-12,5
μgml Sakagami,
et al.,
2005. Alfa mangostin, beta mangostin, dan garsinon
B mempunyai
aktivitas antibakteri
terhadap
Mycobacterium tuberculosis
dengan MIC 6,25
μgml Suksamrarn
et al
, 2002. Ekstrak kulit buah manggis mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap
Propionibacterium acne
dengan MBC 0,039 mgml dan
Staphylococcus epidermidis
dengan MBC 0,156 mgml Chomnawang et al, 2005.
Inovasi TANGKIS
dilakukan dengan
memformulasikan bahan-bahan tersebut dan dibuat dalam bentuk tepung sehingga produk lebih awet
dan lebih mudah dikemas. Selain itu aplikasi TANGKIS mirip dengan aplikasi pengawet sintetis
sulfit yang sudah banyak dipakai perajin gula, sehingga cara penggunaan TANGKIS tidak akan
banyak merubah kebiasaan perajin gula kelapa.
Makalah ini menjelaskan sebagian tahapan penelitian pengawet nira alami instan TANGKIS.
Inovasi penelitian
TANGKIS akan
terus berlangsung sampai diperoleh TANGKIS yang
teruji dapat menghasilkan nira dan gula kelapa dengan kualitas stabil di lapangan dan dapat
diproduksi secara komersial.
METODE PENELITIAN
Bahan utama
yang digunakan
dalam penelitian ini adalah bahan-bahan untuk pembuatan
TANGKIS sperti kulit buah manggis, kayu nangka, kapur dan bahan-bahan kimia untuk analisis gula
kelapa.
Penelitian aplikasi TANGKIS Generasi-1 dilakukan pada perajin gula kelapa di Desa Sikapat,
Kecamatan Sumbang,
Kabupaten Banyumas.
Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Pangan
dan Gizi,
Laboratorium Teknologi
Pengolahan, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto. Penelitian
dilakukan dengan tahapan pengujian formulasi bahan-bahan,
pengujian konsentrasi
yang digunakan
dan pengujian produk gula yang dihasilkan. Variabel
yang diamati dalam penelitian ini meliputi pH nira kelapa,
o
brix nira kelapa dan pengukuran pada gula kelapa cetak seperti kadar air, kadar abu, kadar gula
reduksi, total padatan tidak terlarut, dan kadar sukrosa dan analisis sensori gula kelapa cetak yaitu
warna, tekstur, aroma, kemanisan, dan kesukaan. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk
kulit buah manggis
Tahap pertama penelitian adalah mencari perbandingan bubuk kayu dan bubuk kulit buah
manggis dan pengaruhnya terhadap mutu nira dan gula kelapa. Perbandingan bubuk kayu nangka :
bubuk kulit buah manggis yang diuji adalah 1:1, 1: 3 dan 3:1. brix nira, pH nira, kadar air, gula reduksi,
sukrosa, kadar abu dan total padatan tidak terlarut.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis berpengaruh terhadap pH nira kelapa,
kadar sukrosa, kadar air, dan total padatan tidak terlarut dan tidak berpengaruh terhadap kadar gula
reduksi dan kadar abu. Nilai rata-rata pH nira yang diperoleh dari perlakuan perbandingan bubuk kayu
nangka : bubuk kulit buah manggis disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa pH nira kelapa yang dihasilkan baik dan memenuhi syarat untuk
263
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
dibuat gula kelapa. Nira kelapa kualitas baik adalah nira dengan pH berkisar 6-7,5 Law, 2011. Kayu
nangka dan kulit buah manggis memiliki senyawa aktif tannin yang berfungsi menghambat aktivitas
khamir
dengan cara
menghambat adsorbsi
permukaan yang dilakukan oleh khamir terhadap substrat pada nira kelapa.
Keterangan : Angka diikuti huruf yang sama enunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5
Gambar 1. pH nira kelapa pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah
manggis. Nilai rata-rata kadar sukrosa gula kelapa cetak
pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis disajikan dalam Gambar
2. Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis 1:1 menghasilkan gula kelapa cetak
dengan kadar sukrosa tertinggi. Tingginya kadar sukrosa gula kelapa cetak dikarenakan sukrosa yang
terkandung dalam nira hasil sadapan tidak banyak yang terhidrolisis menjadi gula reduksi. Secara
umum, total gula dan gula pereduksi adalah zat utama dalam reaksi karamelisasi selama pemanasan
Martins
et al
., 2001.
Keterangan : Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
DMRT 5
Gambar 2. Kadar sukrosa gula kelapa cetak pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka
: bubuk kulit buah manggis. Nilai rata-rata kadar air gula kelapa cetak
pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis disajikan Gambar 3.
Keterangan : Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
DMRT 5
Gambar 3. Kadar air gula kelapa cetak pada variasi perbandingan bubuk kayu nangka :
bubuk kulit buah manggis. Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar air gula
kelapa cetak terendah dihasilkan oleh perlakuan perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit
buah manggis 1:1 yaitu dengan nilai kadar air gula kelapa cetak 7,75 bb, akan tetapi tidak berbeda
nyata dengan perlakuan perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis 3:1 yaitu 8,76
bb. Nilai kadar air yang rendah pada perlakuan perbandingan 1:1 bubuk kayu nangka dan bubuk
kulit buah manggis yang sama memungkinkan adanya sinergisme antara kayu nangka dan kulit
buah manggis dalam penghambatan mikroba. Ekstrak kayu nangka memiliki daya antimikroba
terhadap
Saccharomyce cerevisiae
,
Leuconostoc mesenteroides
dan
Leuconostoc plantarum
, sedangkan pada ekstrak kulit buah manggis
menunjukkan daya
antimikroba terhadap
Leuconostoc mesenteroides
dan
Leuconostoc plantarum
sehingga kerusakan pada nira baik yang disebabkan oleh khamir maupun bakteri dapat
terhambat dan inversi sukrosa yang terjadi rendah.
Hasil pengujian perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis yang
menghasilkan gula kelapa cetak dengan kualitas terbaik berdasarkan variabel brix nira, pH nira,
kadar air, gula reduksi, sukrosa, kadar abu, dan total padatan tidak terlarut adalah 1:1.
B. Persentase campuran bubuk kayu nangka
dan bubuk kulit buah manggis
Tahap penelitian kedua adalah mencari pengaruh presentase campuran bubuk kayu nangka
dan bubuk kulit buah manggis pada total laru dari setiap perbandingan yang sudah diuji pada
penelitian tahap pertama terhadap mutu nira dan 6,36 b
7,34 a 6,31 b
2 4
6 8
10
1:1 1:3
3:1 pH
ni ra
Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis bb
83,1 a 77,99 b
82,44 a
15 30
45 60
75 90
1:1 1:3
3:1 Suk
rosa bk
Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis bb
7,75 a 9,28 b
8,76 ab
2 4
6 8
10 12
1:1 1:3
3:1 K
ada r
ai r
bb
Perbandingan bubuk kayu nangka : bubuk kulit buah manggis bb
264
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
gula kelapa. Persentase yang diuji adalah 5, 10 dan 15 bb
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
persentase campuran bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis berpengaruh terhadap kadar
sukrosa dan total padatan tidak terlarut dan tidak berpengaruh terhadap pH nira, brix nira, kadar air,
kadar gula reduksi, kadar abu.
Semakin tinggi persentase campuran bubuk kayu nangka dan kulit buah manggis terhadap total
laru alami menghasilkan kadar sukrosa yang semakin tinggi Gambar 4.
Keterangan : Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
DMRT 5
Gambar 4. Kadar sukrosa gula kelapa cetak pada variasi persentase campuran bubuk kayu
nangka dan bubuk kulit buah manggis terhadap TANGKIS.
Hal ini disebabkan semakin tinggi persentase campuran bahan, maka semakin tinggi konsentrasi
zat aktif dalam TANGKIS, sehingga penghambatan aktivitas antimikroba pada nira kelapa semakin
tinggi dan kandungan sukrosa pada nira tidak banyak yang terhidrolisis. Nira mengalami hirolisis
sukrosa apabila terdapat asam atau enzim di dalam nira. Peristiwa inversi terjadi karena sukrosa
terhidrolisa menjadi D-glukosa dan D-fruktosa, hal ini
disebabkan oleh
aktivitas enzim
fruktoforanosidase -h-fruktosidase, invertase yang dihasilkan mikroba. Namun demikian sukrosa
yang dihasilkan dari perlakuan 5, 10 dan 15 semuanya memenuhi standar SNI gula kelapa cetak.
Berdasarkan hasil
tersebut persentase
campuran bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis terhadap total TANGKIS yang dipilih
adalah 5. C.
Penentuan konsentrasi larutan TANGKIS
Tahap penelitian ketiga adalah menentukan konsentrasi larutan TANGKIS dan pengaruhnya
terhadap mutu nira dan gula kelapa yang dihasilkan. Formula TANGKIS yang digunakan ditentukan dari
hasil penelitian
pertama dan
kedua yaitu
perbandingan bubuk kayu nangka:kulit buah manggis
1:1 dengan
persentase campuran
keduanya terhadap total laru adalah 5. Konsentrasi larutan yang diuji dari formula tersebut adalah 2,
4, 6, 8, 10 bv. TANGKIS dengan berat 20 gram, 40 gram, 60 gram, 80 gram, dan 100 gram
masing-masing dilarutkan menggunakan air hangat sebanyak 1 liter. Setelah itu larutan sebanyak 20 ml
dari
masing-masing konsentrasi
tersebut dimasukkan ke dalam pongkor yang akan digunakan
untuk menyadap nira kelapa setara 2 tiap liter nira. Nira yang dihasilkan kemudian diolah
menjadi gula kelapa cetak. Selanjutnya nira dan gula kelapa yang dihasilkan dianalisis mutunya.
Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi larutan laru berpengaruh terhadap kadar abu, gula
reduksi dan sukrosa gula kelapa yang dihasilkan. Nilai rata-rata kadar abu gula kelapa cetak pada
berbagai konsentrasi larutan TANGKIS disajikan pada Gambar 5.
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5.
Gambar 5. Nilai rata-rata kadar abu gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi larutan
TANGKIS Semakin
tinggi konsentrasi
larutan TANGKIS yang digunakan terdapat kecenderungan
bahwa kadar abu yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini diduga karena adanya zat anorganik bubuk
kapur dalam TANGKIS yang berbeda jumlahnya pada setiap konsentrasi, sehingga semakin tinggi
konsentrasi larutan TANGKIS menyebabkan kadar abu yang semakin tinggi. Sesuai dengan pernyataan
Kusnandar 2010, bahwa zat kapur merupakan salah satu jenis mineral makro anorganik. Hal ini
pun sejalan dengan penelitian Asriningtias 2011 menyatakan bahwa penambahan kapur yang lebih
banyak akan menyebabkan tingginya kadar abu gula kelapa cetak.
Nilai rata-rata kadar gula reduksi gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi larutan TANGKIS
disajikan pada Gambar 6. 77,93 c
80,05 b 82,55 a
12 24
36 48
60 72
84 96
5 10
15
Su k
ro sa
b k
Persentase campuran bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis terhadap total laru
2,56 ab 2,23 b
2,69 a 2,68 a
2,7 a
0,5 1
1,5 2
2,5 3
3,5
2 4
6 8
10 Kad
ar A
b u
b k
Konsentrasi Larutan TANGKIS
265
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5.
Gambar 6. Nilai rata-rata kadar gula reduksi gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi
larutan TANGKIS.
Semakin tinggi
konsentrasi larutan
TANGKIS yang digunakan kadar gula reduksi yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini diduga karena
adanya kandungan tanin yang terkandung di dalam bubuk kulit manggis dan kapur di dalam larutan
TANGKIS yang digunakan. Konsentrasi larutan TANGKIS yang tinggi menghasilkan nira dengan
pH yang lebih tinggi, aktivitas mikroba untuk menghidrolisis gula akan terhambat, sehingga
sukrosa tidak banyak yang terhidrolisis menjadi gula reduksi.
Nilai rata-rata kadar sukrosa gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi laru alami instan
disajikan pada Gambar 7.Kadar sukrosa gula kelapa cetak pada perlakuan konsentrasi larutan TANGKIS
10 berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi laru alami instan 2, 4, 6, dan 8. Hal ini
diduga karena adanya jumlah kandungan zat kapur, bubuk kulit buah manggis, dan bubuk kayu nangka
yang berbeda pada setiap konsentrasi larutan TANGKIS yang digunakan. Perbedaan jumlah
kandungan tersebut mengakibatkan pH nira pada konsentrasi larutan TANGKIS 10 paling tinggi
data tidak dipublikasikan.
Kadar sukrosa sangat erat kaitannya dengan kadar gula reduksi, karena sukrosa memiliki sifat
mudah mengalami proses inversi menjadi gula reduksi yang diantaranya disebabkan oleh pH.
Sukrosa akan mudah terinversi menjadi glukosa dan fruktosa pada kondisi asam Suparmo, 1990.
Inversi sukrosa yang rendah pada konsentrasi larutan TANGKIS 10 disebabkan pula oleh
adanya senyawa antimikroba pada kayu nangka dan kulit buah manggis yang lebih tinggi dibanding
konsentrasi lainnya. Menurut Poeloengan dan Praptiwi 2010, kulit buah manggis dan kayu
nangka mengandung alkaloid, saponin, triterpenoid, tanin, fenolik, flavonoid, glikosida dan steroid yang
terbukti sebagai antibakteri dan antivirus Ersam, 2001.
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5.
Gambar 7. Nilai rata-rata kadar sukrosa gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi laru
alami instan. Hasil uji
spider web
variabel sensoris gula kelapa cetak pada berbagai konsentrasi larutan
TANGKIS menunjukkan semakin tinggi skor yang dihasilkan pada setiap parameter maka semakin baik
sifat sifat sensoris gula kelapa cetak yang dihasilkan. Secara keseluruhan sifat sensoris gula
kelapa cetak pada konsentrasi larutan TANGKIS 6 memiliki nilai rata-rata sensoris yang lebih baik
dibandingkan
konsentrasi larutan
TANGKIS lainnya.
Berdasarkan hasil tersebut ditemukan bahwa konsentrasi larutan TANGKIS yang menghasilkan
mutu nira dan gula kelapa serta sensoris terbaik adalah 6.
PENUTUP
Berdasarkan hasil
penelitian ditemukan
bahwa formula TANGKIS yang menghasilkan mutu nira dan gula kelapa yang baik diperoleh dari
perbandingan bubuk kayu nangka dan bubuk kulit buah manggis 1:1 dan persentase terhadap total laru
5. Sementara untuk aplikasi di lapangan konsentrasi larutan TANGKIS 6 dari formula
tersebut menghasilkan mutu nira dan gula kelapa yang lebih baik dibanding lainnya.
Tersedianya TANGKIS yang menghasilkan mutu nira dan gula kelapa yang baik akan sangat
membantu perajin gula kelapa. Kebijakan dan dukungan pemerintah agar perajin menggunakan
TANGKIS dan beralih dari penggunaan sodium metabisulfit sangat dibutuhkan sehingga produk
gula yang dihasilkan lebih baik dan lebih sehat.
Pengembangan dan pengujian TANGKIS sedang terus dilakukan untuk mendapatkan produk
TANGKIS yang teruji dapat menghasilkan nira dan gula kelapa dengan kualitas stabil di lapangan dan
dapat diproduksi secara komersial.
15,76 a 11,29 b
10,48 b 8,44 b
9,46 b 5
10 15
20
2 4
6 8
10 Kad
ar Gu
la R
ed u
k si
b k
Konsentrasi Larutan TANGKIS 77,58 b
81,39 b 76,36 b
82,20 b 95,11 a
20 40
60 80
100
2 4
6 8
10 Kad
ar Su
k ro
sa b
k
Konsentrasi Larutan TANGKIS
266
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada
DP2M Dikti yang telah menyediakan biaya penelitian melalui Hibah skim penelitian MP3EI
Tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA
Amin, N. A. M., W. A. W. Mustapha, M. Y. Maskat, dan H. C. Wai. 2010. Antioxidative
activities of palm sugar-like flavouring.
The Open Food Science Journal
4: 23-29. Annex J. 2013. Summary of Current Food
Standards: Minimum
Requirement for
Analysis of Finished Product
on-line
. http:www.fda.gov.phattachmentsarticle71
149Annex20J2020FOOD20STAND ARDS.pdf diakses pada 29 Maret 2015.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI Gula Palma.
Baharuddin, M. Muin, dan H. Bandaso. 2007.
Pemanfaatan nira aren
Arenga pinnata
Merr sebagai bahan pembuatan gula putih kristal.
Jurnal Perennial
22:40-43. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi
Banyumas. Data
Produk Industri
Unggulan
on-line
.http:dinperindagkop- banyumaskab.netindex.php?route=informatio
nbidangid=4 diakses pada 12 April 2015. Dungir, S. G., D. G. Katja, dan v. S. Kamu. 2012.
Aktivitas antioksidan ekstrak fenolik dari kulit buah manggis
Garciana mangostana
L..
Jurnal MIPA USRAT ONLINE
1 1: 11-15. Erwinda, M. E., dan W. H. Susanto. 2014. Pengaruh
pH nira tebu
Saccharum officinarum
dan konsentrasi penambahan kapur terhadap
kualitas gula merah.
Jurnal Pangan dan Agroindustri
2 3: 54-64. Hidayah, R. N. 2010. Standardisasi Ekstrak Metanol
Kulit Kayu Nangka
Artocarpus heterophylla
Lamk..
Skripsi
. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Karseno, R. Setyawati, dan P. Haryanti. 2013. Penggunaan bubuk kulit buah manggis
sebagai laru alami nira terhadap karakteristik fisik
dan kimia
gula kelapa.
Jurnal Pembangunan Pedesaan
13 1: 27-38. Mardawati, E., C. S. Achyar, H. Marta. 2008.
Kajian aktivitas antioksidan ekstrak manggis
Garcinia mangostana
L. dalam rangka pemanfaatan
limbah kulit
manggis di
Kecamatan Puspahaning
Kabupaten Tasikmalaya.
Laporan Akhir Penelitian: Penelitian
Muda UNPAD.
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Marsigit, W. 2005. Penggunaan bahan tambahan pada nira dan mutu gula aren yang dihasilkan
di beberapa sentra produksi di bengkulu.
Jurnal Penelitian UNIB
11 1: 42-48. Mau, J. L., P. N. Huang, S. J. Huang, dan C. C.
Chen. 2004. Antioxidant properties of methanolic extracts from two kinds of
Anthrodia camphorate
Mycelia.
Food Chemistry
86: 25-31. Molyneux, P. 2004. The use of the stable free
radical diphenylpicryl-hydrazyl DPPH for estimating
antioxidant activity.
Songklanakarim Journal Science Technology
26 2: 211-219. Naufalin, R., T. Yanto, dan A. Sulistyaningrum.
2013. Pengaruh
jenis dan
konsentrasi pengawet alami terhadap mutu gula kelapa.
Jurnal Teknologi Pertanian
14 3: 165-174. Nordberg, J. dan E. S. J. Arner. 2001. Reactive
oxygen species,
antioxidants, and
the mammalian thioredoxin system.
Free Radical Biology and Medicine
3 11: 1287-132. Permana, A. W., S. M. Widayanti, S. Prabawati, D.
A. Setyabudi. 2012. Sifat antioksidan bubuk kulit buah manggis
Garcinia mangostana
L. instan dan aplikasinya untuk minuman
fungsional berkarbonasi.
Jurnal Pascapanen
20 9: 88-95. Puspitaningrum, J. D. 2014. Pengaruh Campuran
Bubuk Kayu Nangka, Bubuk Kulit Buang Manggis, dan Bubuk Kapur terhadap Kualitas
Gula Kelapa
Cetak.
Skripsi.
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto. Putra, A.E. dan A. Halim. 2009. Pembuatan
Bioetanol Dari
Nira Siwalan
Secara Fermentasi
Fase Cair
Menggunakan Fermipan.
Jurusan Teknik
Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang.
Rahman, F. 2009. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit
Na2s2o5 Dan
Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Pati Biji Alpukat
Persea americana
Mill..
Skripsi
. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Rohmatussolihat. 2009. Antioksidan, penyelamat sel-sel tubuh manusia.
BioTrends
4 1: 5-9. Septiana, A. T., D. Muchtadi, F. R. Zakaria. 2002.
Aktivitas antioksidan dikhlorometana dan air jahe
Ziniber officinale
Roscoe pada asam linoleat.
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian
Nomor 8 2: 105-110. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 2010.
Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian
. Liberty, Yogyakarta
.
267
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Pemanfaatan Limbah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sebagai Pupuk Slow Release
Utilization of Geothermal Power Plant Waste as Slow Release Fertilizer
Solihin , B. D. Erlangga, Eki N. Dida, Yusianita, A.Saepulloh, E.B. Santoso, Widodo
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Geoteknologi, Komplek LIPI Jl. Sangkuriang, Bandung, 40135
Keyword A B S T R A C T
geothermal silica
amorphous waste material
fertilizer slow release
Geothermal power plant that has been developed in Indonesia is the alternatve environmental friendly power plant. Hot water vapour is
pumped from rock layer of upper earth cxrust and streamed to turbine installation unit to generate electricity. But along with water vapour
some of other minerals is a lso lifted to the earth surface and this material is still treated as waste material. One of them is non crystalline
silica. This mineral can be used as raw material to synthesis slow release fertilizer. Slow release fertilizer is a newly type of fertilizer that can
increase fertilizer utilization efficiency and also decrease the environmental impact caused by fertilizer utilization. The silica is
processed through conventional mineral dressing operation and mixed with other reagent prior to campaction at 250 kPa. The r elease test
shows that this material possess slow release property. With this slow release property, this material is one of the candidate materials that can
used as slow release fertilizer.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
panas bumi silika
amorph limbah
pupuk slow release
Pembangkit listrik tenaga panas bumi yang sedang berlembang di Indonesia merupakan alternatif pembangkit listrik yang ramah lingkungan.
Uap air panas dipompa dari lapisan batuan pada kerak bumi atas dan dialirkan ke unit instalasi turbin pembangkit listrik. Tetapi bersamaan
dengan uap panas tersebut beberapa mineral terangkat dan menjadi mineral sampingan yang belum termanfaatkan secara optimal. Salah
satunya adalah mineral silika non kristalin. Mineral ini dapat dimanfaatkan menjadi pupuk slow release yang sangat berperan dalam menaikan
efisiensi. Mineral silica yang telah dibenefisiasi dicampurkan dengan berbagai bahan pengikat dan dicetak dengan tekanan 250 kPa. Hasil uji
pelarutan menunjukan bahwa tablet hasil kompaksi tersebut tersebut memiliki karakteristik material slow release. Dengan adanya karakteristik
slow release tersebut maka tablet hasil tersebut merupakan kandidat material yang dapat digunakan sebagai pupuk slow release.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. E-mail address:
solihinlipi.go.id
268
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN Populasi dunia menurut Bank Dunia akan
terus meningkat dan mencapai 9.22 milyar pada tahun 2075 Department of Economic and Social
Affairs United Nations 2004. Peningkatan populasi ini akan memerlukan peningkatan produktivitas
pangan. Peningkatan produktivitas pangan ini dapat dicapai
dengan meningkatan
produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas pertanian
dapat dicapai dengan cara memperluas lahan pertanian
ekstensifikasi atau
meningkatkan produksi
panen pada
lahan yang
tetap intensifikasi.
Tetapi bersamaan
dengan peningkatan
populasi tersebut,
lahan untuk
pertanian juga menurun karena digunakan sebagai lahan untuk perumahan atau industry Adachi 1999,
Wasilewski 2004. Oleh karena itu cara yang dapat digunakan adalah dengan meningkatkan hasil
tanaman pada lahan yang tetap. Peningkatan hasil tanaman ini bisa dilakukan melalui penggunaan
pupuk untuk memperkaya tanah akan zat yang diperlukan tanaman. Pupuk adalah material yang
digunakan
untuk membantu
pertumbuhan tanaman.Terdapat dua jenis pupuk yakni pupuk
organic dan non-organik. Pupuk organic kadang tidak mencukupi jika diperlukan dalam jumlah yang
besar International Fertilizer Association 2000. Kekurangan itu diisi oleh pupuk inorganic. Oleh
karena itu sampai sekarang telah banyak dibuat pupuk inorganic dengan berbagai variasi komposisi.
Pupuk yang digunakan dalam pertanian umumnya menganding unsur elementer dan unsur sekunder
seperti potassium K, posfor P, dan magnesium Mg untuk membantu pertumbuhan tanaman.
Pupuk telah diketahui sangat handal dalam meningkatkan hasil tanaman tetapi ternyata tidak
semua unsur dalam pupuk diserap tanaman selama penggunaannya. Kecepatan akan tanaman dalam
menyerap unsur-unsur yang berasal dari pupuk lebih rendah dari pelepasan unsur-unsur tersebut
dari pupuk. Unsur-unsur yang tidak sempat diserap tanaman akan merembet ke bawah dan pada
akhirnya akan mencemari air tanah Adetunji 1994. Untuk mengatasi hal ini diperlukan pupuk
jenis lain dengan pepelasan unsur yang lebih lambat atau dapat dikendalikan, yang lazim disebut sebagai
pupuk
slow release
. Di sisi lain, energi panas bumi telah lama
dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik. Uap panas dari bumi dialirkan ke permukaan dan
digunakan sebagai
penggerak turbin
untuk pembangkit tenaga listrik. Tetapi bersamaan dengan
uap panas tersebut terikutkan juga mineral-mineral lainnya seperti silika yang memiliki struktur non-
kristalin. Sebenarnya mineral ikutan ini dapat digunakan sebagai bahan baku industri, diantaranya
adalah sebagai bahan baku pupuk slow release. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan
percobaan pembuatan pupuk slow release yang salah satu bahan-bakunya adalah silika tersebut.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP
Pupuk slow release adalah pupuk dengan pelepasan unsur nutrisi terkendali. Pengendalian
atau pelambatan pelepasan usnur dari pupuk perlu dilakukan karena umumnya unsur dalam pupuk
adalah kation atau anion yang mudah larut dalam air. Terdapat berbagai cara untuk mengendalikan
atau memperlambat pelepasan unsur dari pupuk. Diantaranya adalah dengan membungkus pupuk
dengan senyawa yang dapat memperlambat keluarnya unsur dari pupuk, menempatkan pupuk
dalam matriks dengan kerapatan tinggi dan membuat senyawa yang secara natural memiliki
sifat tidak mudah larut. Salah satu metode yang akan dicoba adalah dengan menempatkan pupuk
tersebut dalam matriks silika, yang merupakan mineral ikutan limbah dari pembangkit listrik
tenaga panas bumi.
METODE PENELITIAN
Bahan baku inti yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk komersial atau senyawa
yang mengandung unsur potassium, posfor, dan nitrogen. Bahan material penyanggamatriks yang
digunakan adalah silika SiO
2
yang merupakan mineral ikutan limbah dari PLT panas bumi
Dieng, Wonosobo. Silika terlebih dahulu dicuci bersih dengan aquades untuk menghilangkan
senyawa garam yang menyertai limbah tersebut. Kemudain
silika tersebut
dikeringkan dan
dihancurkan dengan proses milling hingga ukuran sekitar 100 mesh 74 mikron. Silika yang telah
halus kemudian
dicampur dengan
pupuk konvensional dengan perbandingan 10 pupuk dan
sisanya adalah silika. Bahan campuran tersebut kemudian dilakukan pengepresan pada tekanan 250
kgcm
2
. Jenis senyawa dalam silika limbah PLT panas
bumi, pupuk dan pellet ditentukan melalui analisa
X-Ray Diffraction
menggunakan radiasi CuK- α.
Unsur-unsur dalam silika ditentukan melalui analisa
X-Ray Flourescence
XRF. Sifat slow release ditentukan melalui uji pelarutan. Pellet dibenamkan
dalam larutan aquadest 200 ml dan dalam setiap interval rentang waktu tertentu 5 ml larutan diambil
sebagai sampel untuk dianalisa. Analisa unsur- unsur yang larut dalam air dilakukan melalui
Atomic Absorption Spectrometry
AAS.
269
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukan hasil analisa XRD
terhadap silika limbah PLT Dieng. Terlihat bahwa bentuk kristal silika tersebut adalah non-kristalin
amorphous
. Kelihatannya silika yang terbentuk di dalam situs geothermal adalah silika yang terbentuk
bersamaan dengan batuan beku dan belum mengalami
proses-proses bertekanan
tinggi sehingga bentuk kristalnya masih amorphous.
Senyawa dengan
bentuk kristal
amorphous umumnya lebih reaktif dibanding senyawa dengan
bentuk kristal definitif kristalin. Tetapi reaksi kimia yang melibatkan silika tersebut tetap
memerlukan energi yang tinggi. Oleh karena itu dalam hal ini silika hanya digunakan sebagai
matriks atau hanya direaksikan secara fisik.
Gambar 1. Pola XRD silika yang merupakan mineral ikutan pada PLT panas bumi
Dieng Sampel material hasil pencampuran dan
pengepresan silika dan pupuk ditujukan pada Gambar 2. Sampel tersebut terlihat cukup masih dan
dalam keadaan tanpa gaya dari luar tidak mengalami aberasi selama penanganan.
Gambar 2. Sampel hasil pencampuran dan pengepresan silika dan pupuk
Gambar 4. Morfologi permukaan sampel hasil pencampuran dan press pembesaran 30 x
Analisa mikroskop optik terhadap sampel dipelihatkan pada Gambar 3. Morfologi permukaan
sampel terdiri komponen pupuk yang terdistribusi dalam matriks silika. Diharapkan bahwa dengan
terdikstribusinya pupuk dalan matriks silika tersebut, pelepasan berbagai senyawa dalam pupuk
dapat diperlambat.
Pola XRD dari pupuk diperlihatkan pada Gambar 3A. Komponen utama dari pupuk tersebut
adalah kalium oksida KO
3
dan K
2
O
2
, kalsium posfat
hidroksida Ca
10
PO
4 6
.OH
3
, dan
Mg
3
PO
4 2
. Senyawa-senyawa tersebut adalah senyawa yang lazim digunakan sebagai pupuk.
Gambar 3. Pola XRD dari A Pupuk, B Silika
Dieng dan C Hasil proses antara silika limbah PLT Dieng dan pupuk
Pola XRD dari campuran pupuk dan silika Dieng yang telah dipress diperlihatkan pada
Gambar 3C. Setelah proses pencampuran dan pengepresan ternyata hanya ditemukan pola yang
sama dengan silika Dieng pola
amorphous
, sedangkan senyawa-senyawa dalam pupuk tersebut
tidak ditemukan. Hal ini kemungkinan disebabkan rendahnya konsentrasi pupuk dalam campuran.
Kadar pupuk dibuat rendah dalam matiks silika agar penurunan kecepatan pelarutan pupuk selama
270
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
berada dalam air dapat dengan drastis diturunkan. Terjebaknya
senyawa-senyawa pupuk
dalam matriks siliuka tersebut dapat menyebabkan
hambatan pada pengeluaran senyawa pupuk tersebut. Senyawa-senyawa pupuk tersebut harus
berdifusi melewati matrks atau struktur mikro silika, dan dengan demikian kecepatan pelarutannya
dalam air akan jauh lebih lambat. Hambatan pelarutan senyawa pupuk ini dapat dimanfaatkan
untuk mendapatkan efek slow release pada pupuk.
Pola pelarutan antara pupuk biasa dan pupuk yang telah mengalami proses pencampuran dan
pengepresan sangat berbeda. Sebagai perbandingan, dalam waktu kurang dari 1 jam kalium yang
terdapat dalam pupuk yang tidak mengalami proses pencampuran dan pengepresan akan terlarut 100 .
Sedangkan pupuk yang telah mengalami proses pencampuran dan pengepresan akan memiliki kurva
pelarutan polynomial seperti yang ditunjukan pada Gambar 4. Pada 2 jam pertama hanya sekitar 40
kalium akan terlarutkan dan selanjutnya laju pelarutan akan menurun sesuai dengan kurva
polynomial tersebut.
Gambar 4. Kurva uji pelepasan kalium dari pupuk
yang telah diproses melalui metode matriks
Penambahan waktu penempatan sampel pupuk dalam air menambah konsentrasi pupuk
dalam air dengan pola penambahan eksponensial. Pola ini eksponensial ini merupakan pola yang
lazim ditemukan dalam uji pelepasan elemen dalam pupuk jenis slow release Liang 2007, Solihin 2012,
Solihin 2013, Solihin 2010 sehingga dengan demikian sampel yang disintesa dengan metode
pengepresan ini termasuk jenis pupuk slow release.
KESIMPULAN
Silika non-kristalin adalah mineral ikutan limbah hasil proses geothermal Dieng. Mineral
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai material matriks dalam pembuatan pupuk slow release.
Proses pencampuran pupuk dan silika yang diikuti dengan
pengepresan menghasilkan
komposit dengan senyawa pupuk yang terjebak dalam
struktur matriks silika non-kristalin Dieng. Uji pelepasan unsur kalium dari sampel hasil proses
menunjukan pola pelepasan eksponensial seperti lazimnya pupuk slow release
DAFTAR PUSTAKA
Adachi M, Kanak P 1999 Agricultural land conversion and inheritance tax in Japan,
RURDS
Vol.11 No.2 pp. 127-140 Adetunji MT 1994 Nitrogen application and
underground water contamination in some agricultural soils of South Western Nigeria,
Fertilizer Research
37 pp. 159-163
Department of Economic and Social Affairs United Nations 2004, World Population to 2300,
United Nations New York
. International Fertilizer Association 2000 Fertilizer
and their use
,
Food Agriculture Organization, pp.1-5
Liang R, Liu M, Wu L 2007 Controlled release NPK compound fertilizer with the function of
water retention,
Reactive Functional Polymers
Vol. 67 pp. 769 –779
Wasilewski A, Krukowski K 2004, Land conversion for
suburban housing,
Environmental Management
Vol. 34 No.2 pp. 291 –303
2004 Solihin, Tongamp W, Zhang Q, Saito F,
Mechanochemical Route for Synthesizing KMgPO4 and NH
4
MgPO
4
for Application as Slow-Release Fertilizers , Ind. Eng. Chem.
Res. 2010, 49, 2213 –2216
Solihin 2012, Sintesa Material Slow Release Dengan Teknik Mekano-kimia, Proceeding of
Seminar Metalurgi dan Material Solihin 2013, Mechanochemical Synthesis of
Potassium Magnesium
Phosphate For
Application as a Slow Release Fertilizer Material, Metalurgi, Metalurgi Vol 28 No 1
271
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Pembenah Tanah Dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Ishak Juarsah
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentera Pelajar No. 12, Cimanggu Bogor, 16114
Keyword A B S T R A C T
soil conditioner perspective
agriculture suistanable One alternative to improve the quality of degraded wetland is applying
rectification soil combined with organic matter management and site- specific system of balanced fertilization based on soil testing and crop
needs. The direct benefits of use of land for agricultural development rectification is changing wasteland into productive, so uptake of
fertilizer can be improved, the production of rice plants can be increased, eventually import rice commodity dependence can be
reduced gradually. Based on the Regulation of the Minister of Agriculture Number: 02 Pert HK.060 22006 is a ground
rectification are synthetic materials or natural, organic or mineral solid or liquid form that can improve the physical, chemical, and
biological. This paper is aimed at presenting the results of research related to the development of agriculture perspective rectification
wetland and increase sustainable production of rice plants. Among experts rectification ground soil material known as a soil conditioner
which is more specifically defined as synthetic materials or natural, organic or mineral, solid or liquid form that can improve soil structure,
can alter the capacity of the soil hold and pull through the water, and can improve ability of soil to hold nutrients, so nutrients are not easily
lost, and the plants are still able to absorb nutrients in the soil
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
pembenah tanah perspektif
pertanian berkelanjutan Salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas lahan sawah yang
telah terdegradasi adalah mengaplikasikan pembenah tanah yang dikombinasi dengan pengelolaan bahan organik serta sistem
pemupukan berimbang spesifik lokasi berdasarkan uji tanah dan kebutuhan tanaman. Manfaat langsung penggunaan pembenah tanah
bagi pembangunan pertanian adalah merubah lahan kritis menjadi produktif, sehingga serapan hara pupuk dapat ditingkatkan, produksi
tanaman padi dapat ditingkatkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 02PertHk.06022006 yang dimaksud dengan
pembenah tanah adalah bahan-bahan sintetis atau alami, organik atau mineral yang berbentuk padat atau cair yang mampu memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi. Dalam tulisan ini akan dibahas pembenah tanah Zeolit.Tulisan ini ini bertujuan menyajikan hasil-hasil penelitian
terkait perpspektif pembenah untuk pembangunan pertanian lahan sawah dan peningkatan produksi tanaman padi berkelanjutan. Di
kalangan ahli tanah bahan pembenah tanah dikenal sebagai soil conditioner yang secara lebih spesifik diartikan sebagai bahan-bahan
sintetis atau alami, organik atau mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki struktur tanah, dapat merubah kapasitas
tanah menahan dan melalukan air, serta dapat memperbaiki kemampuan tanah dalam memegang hara, sehingga hara tidak mudah
hilang, dan tanaman masih mampu menyerap unsur-unsur hara dalam tanah.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. email addres : juarsahyahoo.com. hp. 085885708467
272
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Bahan pembenah tanah dapat digolongkan menjadi dua yaitu bahan pembenah tanah alami dan
sintetis. Bahan pembenah tanah alami yang banyak digunakan oleh petani adalah kapur pertanian, fosfat
alam, zeolit, bahan organik yang mempunyai CN rasio 7-12, blotong, sari kering limbah SKL,
emulsi aspal bitumen, lateks atau skim lateks. Sedangkan bahan pembenah tanah sintetis yang
sudah dipasarkan adalah VAMA, HPAN, SPA, PAAmPAM, Poly-DADMAC, dan Hydrostock.
Jenis-jenis pembenah tanah tersebut telah beredar di pasaran dan banyak digunakan petani, namun
hingga saat ini masih sangat sedikit informasi yang menjelaskan sejauh mana pembenah tanah tersebut
digunakan baik menyangkut jenis, dosisnya dan pengaruhnya
terhadap produksi
pertanian. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
02PertHk.06022006 yang dimaksud dengan pembenah tanah adalah bahan-bahan sintetis atau
alami, organik atau mineral yang berbentuk padat atau cair yang mampu memperbaiki sifat fisik,
kimia, dan biologi. Di kalangan ahli tanah bahan pembenah tanah dikenal sebagai
soil conditioner
yang secara lebih spesifik diartikan sebagai bahan- bahan sintetis atau alami, organik atau mineral,
berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki struktur tanah, dapat merubah
kapasitas tanah menahan dan melalukan air, serta dapat memperbaiki kemampuan tanah dalam
memegang hara, sehingga hara tidak mudah hilang, dan tanaman masih mampu memanfaatkannya.
Penggunaan pembenah tanah zeolit, kapur atau dolomit dan pupuk organik telah terbukti mampu
meningkatkan produktivitas lahan suboptimal lahan kering masam dan mampu meningkatkan
efisiensi pemupukan
Mempertahankan kandungan bahan organik dalam tanah adalah merupakan tindakan yang harus
dijalankan, sebab dapat meningkatkan indek stabilitas agregat tanah, memperbesar kemampuan
tanah untuk menyerap air hujan, sehingga mengurangi
aliran permukaan
dan erosi,
memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, menambah unsur hara, dan meningkatkan aktivitas
mikroflora dan fauna tanah karena terbentuknya struktur tanah yang lebih baik Power dan
Papendick, 1985. Pada kondisi jumlah koloid organik relatif konstan baik yang berasal dari pupuk
kandang dan kompos dengan C-organik 7-12 .berperan sebagai pembenah tanah, sehingga berat
jenis tanah turun, kadar air naik, ruang pori total naik, dan indek stabilitas agregat naik, aktivitas Al
3+
tanah mineral masam turun sampai akhirnya dicapai keseimbangan baru dari konsentrasi bahan organik
tanah Tate, 1987. Penggunaan tanaman penutup tanah sebagai penghasil bahan organik dapat
meningkatkan kualitas lahan melalui daun yang jatuh dan pangkasan bahan hijaunya.
Salah satu
upaya alternatif
untuk meningkatkan
kualitas lahan
yang telah
terdegradasimengalami kemerosotan
adalah mengaplikasikan pembenah tanah zeolit yang
dikombinasikan dengan pengelolaan bahan organik serta sistem pemupukan berimbang spesifik lokasi
berdasarkan hasil uji tanah dan kebutuhan tanaman. Manfaat langsung penggunaan pembenah tanah
bagi pembangunan pertanian adalah merubah lahan kritis menjadi produktif, sehingga produksi tanaman
dapat ditingkatkan.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian dari hasil penelitian yang telah
dilakukan dan diperoleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Balai Penelitian Tanah Bogor,
Badan Litbang Pertanian terhadap pembenah tanah dalam
perspektif pembangunan
pertanian berkelanjutan. Bahan pembenah tanah yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah Zeolit dan dolomite dipadukan dengan pengelolaan bahan organik.
Penelitian ini bertujuan 1 menyajikan hasil-hasil penelitian
yang terkait
dengan penggunaan
pembenah tanah untuk peningkatan kualitas lahan berkelanjutan 2 menyampaikan informasi kepada
pengguna terhadap hasil-hasil penelitian yang diperoleh terhadapa penggunaan pembenah tanah
dalam perspektif pembangunan pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan 3 menyelaraskan
antara program pemerintah terhadap penggunaan pembenah tanah terhadap pembangunan pertanian
spesifik lokasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatn pembenah tanah
Penelitian pemanfaatan bahan pembenah tanah untuk meningkatkan kualitas tanah di
Indonesia sudah dirintis oleh Lembaga Penelitian Tanah saat ini namanya berubah jadi Balai
Penelitian Tanah sejak tahun 1970, di antaranya dengan
memanfaatkan emulsi
bitumen, polyacrylamine PAM, dan lateks untuk perbaikan
sifat fisik tanah. Meskipun menunjukkan hasil yang positif, namun penggunaan bahan-bahan tersebut
tidak bisa dikembangkan pada level petani karena bahan tersebut sulit didapat dan relatif mahal.
Selanjutnya bahan mineral alami seperti zeolit juga telah
banyak dibuktikan
manfaatnya dalam
memperbaiki sifat-sifat tanah jika mempunyai KTK yang relatif tinggi. Sumber zeolit di Indonesia
relatif banyak, berdasarkan hasil penyelidikan Direktorat Sumberdaya Mineral, jumlah cadangan
273
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
sumberdaya zeolit di Indonesia tidak kurang dari 205.825.080 ton
Husaini, 2007. Bahan pembenah tanah dibedakan menjadi
2 yaitu : alami dan sintetis buatan pabrik, dan berdasarkan senyawa pembentukannya juga dapat
dibedakan dalam 2 kategori yakni pembenah organik termasuk hayati dan pembenah tanah an
organik. Konsep penggunaan bahan pembenah tanah adalah : 1 Pemantapan agregat tanah untuk
mencegah erosi dan pencemaran, 2 merubah sifat hidrophobic dan hidrofilik, sehingga merubah
kapasitas tanah menahan air
water holding capacity
, 3 meningkatkan kapasitas tukar kation KTK tanah. Beberapa bahan pembenah, juga
mampu menyuplai unsur hara tertentu, meskipun jumlahnya relatif kecil dan seringkali tidak semua
unsur hara yang terkandung dalam bahan pembenah tanah dapat segera digunakan untuk tanaman.
Lahan yang
mengalami degradasi
penurunan kualitas semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi luasan maupun tingkat
degradasinya. Hasil Penelitian Puslitbangtanak 1997 menunjukkan di 11 propinsi di Indonesia
terdapat 10,94 juta ha lahan kritis. Berdasarkan data di 11 propinsi tersebut, diperkirakan luas lahan
kritis di seluruh wilayah Indonesia akan lebih besar lagi. Oleh karena itu dibedakan suatu usaha untuk
mempercepat laju pemulihan lahan-lahan tersebut. Jika bahan pembenah tanah akan dijadikan salah
satu alternatif pemulihan lahan-lahan terdegradasi.
Bahan organik tanah baik dalam bentuk pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, sisa tanaman,
dan lain sebagainya, merupakan bahan pembenah tanah yang sudah banyak dibuktikan efektivitasnya
baik dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah. Limbah pertanian seperti blotong,
skim lateks, dan lain-lain juga dapat dimanfaatkan sebagai pembenah tanah. Tabel 1
Tabel 1. Beberapa Contoh Bahan Pembenah Tanah Nama pembenah tanah
Jenis Sintetis
Vama maleik anhydride-vinyl acetate copolimers
Organik HPAN Party hidrozed
polyacrillonitril An-organik
SPA sodium polycryl An-organik
PAAMPAM Polyacrylamine 0rganik
Poly –DADMAC Poly-deallyi
dimethylammonium clorida An-organik
Hydrostock An-organik
Alami Emulsi Aspal Bitumen:
hidrophobik dan hidrofilik An
–organik Lateks, skim lateks
Organik Kapur pertanian
An-organik Fosfat alam
An-organik Blotong
Organik Sari kering limbah SKL
Organik Zeolit
An-organik Bahan organic dengan CN
ratio = 7- 12 Permentan No. 02PertHK 06022003
0rganik
Sumber : Sinar Tani Edisi 16-22 Mei 2007. Beberapa
hasil penelitian
juga menunjukkan bahan penggunaan bahan pembenah
tanah mineral seperti zeolit berpengaruh lebih baik terhadap sifat-sifat tanah jika disertai dengan
pemberian bahan organik. Oleh karena itu, bila bahan pembenah tanah akan dijadikan suatu
kebijakan dalam usaha peningkatan produktivitas lahan pertanian di Indonesia, maka pemilihan bahan
pembenah tanah tetap diprioritaskan pada bahan- bahan yang murah, bersifat insitu, dan terbarukan,
bahan
organik sebenarnya
dapat memenuhi
persyaratan tersebut. Pengadaan bahan organik baik yang bersifat insitu maupun dengan memanfaatkan
sumber-sumber yang ada seperti sampah kota harus digalakkan. Pemanfaatan limbah pertanian dan lain
sebagainya juga dapat dilakukan, namun perhatikan kemungkinan
adanya kandungan
unsur-unsur pencemar dan berbahaya seperti logam berat.
Penggunaan bahan pembenah mineral harus diperhatikan
dampak negatifnya
terhadap lingkungan, perhatikan pula faktor ketersediaan,
dan jaminan mutu, serta harga. Pemanfaatan bahan pembenah tanah yang bersifat sintetis, sebaiknya
dihindari karena
selain dikhawatirkan
akan berdampak negatif terhadap lingkungan, harganya
juga seringkali terlalu mahal. Pengaruh pembenah tanah terhadap sifat-sifat
tanah
Perbaikan struktur tanah dan daya pegang tanah terhadap air karena sifat fisik zeolit yang
berongga, sehingga pemberian Zeolit pada tanah bertekstur liat dapat memperbaiki struktur tanah,
pori-pori udara tanah ditingkatkan, sedangkan Zeolit yang diberikan pada tanah berpasir dapat
meningkatkan daya pegang tanah terhadap air.
Sifat-sifat tanah yang dipengaruhi zeolit antara lain adalah: 1 meningkatkan KTK tanah
selama KTK zeolit diatas 100 cmol
+
kg
-1
, jumlah Zeolit yang diberikan
5 tonha untuk tanah mineral masam yang didominasi mineral liat 1:1,
2 meningkatkan kalium tanah, hal ini disebabkan kandungan K
2
O dalam Zeolit klinoptilolite sekitar 3, sehingga pemberian 5 ton Zeolit klinoptilolite
ha dapat mengkontribusi 150 kg K
2
O jika semua
274
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
kalium tersedia. Namun tidak semua K yang berada dalam Zeolit dapat digunakan dengan segera oleh
tanaman, sehingga masih perlu diberi tambahan pupuk K dengan takaran yang lebih kecil, 3
meningkatkan ketersediaan P, dari hasil percobaan bahwa pemberian Zeolit pada tanah Podsolik
meningkatkn P dari 5.28 menjadi 20.1 mg P
2
O
5
kg Suwardi, 1997, dimana mekanisme peningkatan P
diduga karena Ca dalam Zeolit mengikat P dalam tanah yang semula diikat oleh Fe dan Al, dan karena
Ca dalam Zeolit mudah dilepaskan dalam bentuk dapat dipertukarkan, maka P yang diikat Ca menjadi
tersedia, 4 memperbaiki sifat-sifat fisik tanah seperti struktur tanah dan daya pegang tanah
terhadap air.
Persen kejenuhan Al dapat digunakan sebagai parameter untuk menetapkan rekomendai
pengapuran. Tanaman padi sawah, jagung, dan kedelai tidak harus diberi kapur jika persen
kejenuhan Al tanahnya masing-masing 60,
40, dan 20. Pembenah tanah kapur pertanian
terdiri atas Kalsit CaCO
3
dan Dolomit CO
3
.MgCO
3
berperan untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman padi selama pH tanah di bawah 4.25 , kandungan
Ca dapat ditukar 400 mg Ca kg
-1
atau 20 mg Ca100 g atau 2 cmol
+
kg
-1
Ca, kejenuhan Ca terhadap KTK 25 Melsted, 1953. Meskipun
persentase kejenuhan Ca pada tanah yang ideal sekitar 65, tetapi bukan berarti takaran kapur yang
diberikan untuk tanaman padi harus mencapai kejenuhan Ca pada nilai 65, sebab dengan
penggenangan tanah masam dapat meningkatkan pH tanah. Meskipun kebutuhan kapur KK dapat
ditentukan melalui pendekatan formulasi: KK = faktor [Al-dd+H-dd
– batas kritis kejenuhan Al x KTKefektif] untuk lahan kering Wade
et al
., 1986, tetapi tidak menutup kemungkinan formulasi
tersebut digunakan untuk lahan basah. Pembenah tanah Dolomit CaCO
3
.MgCO
3
berperan untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman padi selama pH di bawah 4.50, kandungan Mg
dapat ditukar 25 mg Mg kg
-1
atau 0.21 cmol
+
kg
-1
, kejenuhan Mg 5 Melsted, 1953. Namun suatu jenis tanaman yang ditanam pada suatu tanah
tertentu dengan kandungan Mg relatif rendah mungkin saja tidak respons terhadap pemupukan
Mg, hal ini disebabkan oleh karena ion H
+
yang berasal dari akar melalui proses pertukaran kation
sangat efektif melepaskan bentuk Mg tidak dapat ditukar menjadi bentuk Mg dapat ditukar sehingga
dengan mudah diserap akar tanaman Christenson dan Doll, 1973.
Magnesium dapat ditukar sangat nyata berkorelasi dengan persentase kejenuhan Mg dan
secara konsensus bahwa persentase kejenuhan Mg sekitar 5 dari KTK tanah sudah cukup untuk hasil
optimum dari berbagai jenis tanaman. Namun untuk tanaman-tanaman
tertentu yang
memerlukan konsentrasi kation-kation basa yang lebih tinggi
dimana jeraminya dijadikan pakan untuk pencegahan penyakit
hypomagnesaemia
dari binatang memamah biak, maka persentase kejenuhan Mg sekitar 10
dari KTK
adalah sangat
dianjurkan untuk
mempertahankan konsentrasi Mg dalam pakan ternak kering
0.2. Perbaikan sifat-sifat fisika dan kimia tanah
ini akan meningkatkan keanekaragaman mikroflora dan fauna tanah yang penting dalam menjaga
keseimbangan dinamis ekosistem tanah Pankhurst dan Lynch, 1993; Gupta, 1993.
Pemberian pupuk kandang jangka dalam panjang dapat meningkatkan kadar humus 0.8-3;
meningkatkan N-total dan N tersedia, P-tersedia, dan Si; meningkatkan kapasitas penyangga tanah,
KTK, kation-kation dapat ditukar terutama Ca dan K di tanah sawah Yamashita, 1967. Pemberian 5
ton pupuk kandang, 1 ton kapur, serta pemupukan 45 kg N, 45 kg P
2
O
5
, dan 60 kg K
2
O ha
-1
meningkatkan hasil padi 1-2 ton ha
-1
dibandingkan kontrol pada lahan sawah bukaan baru di
Bangkinang, Riau Jolid dan Herwan, 1987. Pupuk kandang mengandung: unsur hara yang dibutuhkan
tanaman, asam humat, fulvat, hormon yang dapat memacu pertumbuhan tanaman sehingga serapan
hara dapat ditingkatkan Tan, 1993.
Asam organik utama yang dijumpai dalam tanah anaerobik adalah
volatile aliphatic acids
seperti asam format, asam asetat yang paling berlimpah, dan asam propionat Tsutsuki, 1983;
Watanabe, 1984.. Pada saat tanah digenangi, konsentrasi asam meningkat 10-40 mMliter
tergantung pada jenis tanah, jenis dan kandungan bahan organik, temperatur, dan konsentrasinya
turun sampai 1 mmliter setelah 4 minggu penggenangan.
Tanah berpasir dengan kandungan bahan organik tinggi menciptakan konsentrasi asam-asam
organik tinggi, terutama pada temperatur di bawah 20
C. Pada tanah netral, konsentrasi asam-asam organik tidak melebihi 10 mMliter pada setiap
periode penggenangan. Aplikasi jerami atau
green manure
meningkatkan konsentrasi asam-asam organik Tsutsuki, 1983.
Kualitas pembenah tanah zeolit
Pemberian Zeolit sebagai pembenah tanah sebaiknya diberikan dalam bentuk campuran antara
ukuran halus dan kasar agar pengaruhnya dapat bertahan untuk beberapa tahun, sebab jika semua
Zeolit yang diberikan 100 berukuran halus, akan memberikan pengaruh yang semakin baik akan
tetapi daya tahannya lebih pendek. Takaran Zeolit yang diberikan tergantung pada
tingkat degradasi lahan. Pada tingkat degradasi
275
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
ringan dapat diberikan ≤ 5 tonha, tingkat degradasi sedang antara 5-10 tonha dan untuk tingkat
degradasi berat antara 10-20 tonha. Efektivitas pembenah tanah dapat lebih ditingkatkan melalui
pemberiannya
di zone
perakaran, sehingga
penggunaannya akan lebih efisien dan lebih praktis. Efisiensi pemupukan sangat ditentukan oleh
kualitas pembenah tanah yang digunakan. Hasil analisis KTK, contoh Zeolit Agro 2000, ZP.30 dan
Zeolit produk PT Minatama masing-masing adalah: 25, 64, dan 35 cmol
+
kg
-1
Tabel 2, namun masih di bawah kriteria Permentan Nomor:
02PertHK.06022006 yakni ≥ 80 cmol
+
kg
–1
. Tabel 2 Hasil analisis KTK, kandungan unsur P, K
contoh Zeolit Agro 2000, ZP.30 dan Zeolit asal PT. Minatama Lampung
Jenis analisis
Jenis Zeolit Zeolit
Agro 2000
PT. Jaya Sakti
ZP.30 PT. Jaya
Sakti Zeolit
PT. Minatama
Lampung
KTK cmol
+
kg
-1
25 64
35 pH 1:5
8.4 8.7
5.9 P
2
O
5
0.01 0.13
0.11 K
2
O 0.01
0.01 0.03
Ca 21
8 1.16
Mg 0.21
0.24 0.27
Sumber : Aljabri dan Ishak Juarsah, 2007 Kandungan KTK contoh ZP.30 adalah 64
cmol
+
kg
-1
yang dinilai sudah cukup tinggi, namun masih berada dibawah kriteria Permentan No.
02PertHK.06022006. 80 cmol
+
kg
-1
. Perbedaan nilai KTK Zeolit yang ditetapkan
berdasarkan prosedur penetapan KTK sebagaimana yang diberlakukan untuk contoh tanah selalu lebih
rendah dibandingkan dengan prosedur penetapan KTK Zeolit yang ditetapkan dengan prosedur SNI,
hal ini disebabkan oleh ukuran besar butir Zeolit dan nisbah Zeolit terhadap larutan amonium asetat.
Semakin halus ukuran besar butir dan semakin lebar nisbah Zeolit terhadap larutan amonium asetat maka
semakin tinggi nilai KTK Zeolit.
Pembenah tanah
terhadap efisiensi
dan produktivitas lahan
Efisiensi pemupukan sebagai dampak penggunaan pembenah tanah terhadap penggunaan
pupuk SP-36, karena zeolit dapat menagkap sementara hara pupuk sehingga tidak hilang tercuci
dan akan dilepaskan kembali untuk diserap akar tanaman. Prakoso 2006 memperoleh bahwa
kehilangan N pupuk dalam tanah dapat ditekan dengan pembuatan pupuk
slow release fertilizer
SRF yang dibuat dari campuran urea dan Zeolit dengan perbandingan urea:Zeolit 50:50 memiliki
nilai efisiensi yang lebih tinggi dari pupuk SRF dengan perbandingan urea: Zeolit 70:30. Pupuk
SRF dengan perbandingan urea:Zeolit 50:50 mampu menghemat 30 penggunaan pupuk urea.
Hasil penelitian di Lampung Tengah bahwa peningkatan produksi GKP sebagai dampak
penggunaan pembenah tanah disebabkan takaran pupuk anorganik yang diberikan sesuai dengan
dosis anjuran, sebaliknya jika penurunan produksi GKP disebabkan takaran pupuk anorganik yang
diberikan lebih rendah dari dosis anjuran. Takaran pembenah tanah yang dianjurkan 100 kg Zeolit
Agro 2000 50 kg pada lahan siap tanam dan 50 kg sebagai susulan dan 200 kg ZP.30 100 kg pada
lahan siap tanam dan 100 kg sebagai susulan. Kemudian pupuk Urea diberikan sebanyak 200
kgha dan pupuk KCl sebanyak 50 kgha disesuaikan dengan kebiasaan dan pengalaman
petani. Sedangkan pupuk SP-36 sama sekali tidak diberikan dengan alasan ZP.30 sudah diperkaya
dengan hara P. Peningkatan produksi GKP meningkat sebesar 9.52
– 25 0.80 – 1.60 tonha adalah disebabkan bukan hanya karena pengaruh
pembenah tanah Zeolit Agro 2000+ZP.30 saja, tetapi juga disebabkan oleh pemberian pupuk
kandang, sehingga hara NH
4 +
dari pupuk Urea dan K
+
dari pupuk KCl terperangkap didalam struktur Zeolit dan secara lambat dilepaskan kembali untuk
dimanfaatkan tanaman. Sedangkan hasil penelitian peningkatan produksi GKP di Lampung Timur
sebesar 4.76 –16.67 0.30 – 1.20 tonha adalah
disebabkan pengaruh pembenah tanah Zeolit dan Dolomit, serta pupuk anorganik Urea, SP-36, dan
KCl diberikan sesuai dengan dosis anjuran. Penggunaan pembenah meningkatkan
produksi GKP dan tongkol jagung, hal ini disebabkan tanah sawah didominasi mineral 1:1
tipe kaolinit yang dicirikan antara lain: pH + 4.50 masam, KTK + 5 cmol
+
kg
-1
rendah, Mg dapat ditukar 0.18 cmol
+
kg
-1
sangat rendah, kejenuhan Mg 5 Al-Jabri dan Ishak, 2007. Kandungan
Mg dapat ditukar 0.18 cmol
+
kg
-1
sangat rendah, dan jika tidak diberi Dolomit maka dipastikan
tanaman kahat Mg. Hasil
penelitian menunjukan
bahwa tanaman padi yang rusak akibat konsentrasi asam-
asam organik yang tinggi, dan penurunan konsentrasi asam organik pada tanah masam
mineral 2-4 minggu setelah penggenangan karena proses dekomposisi dan pembebasan gas methan
CH
4
, akan mengganggu pertumbuhan akar, respirasi, dan serapan hara Yoshida, 1981, jika
diberi pembenah tanah dari pupuk kandang takaran
276
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
tinggi dengan dosis 100 kg SP-36 ha
-1
+ kompos jerami + 5 ton pupuk kandang kerbau ha
-1
meningkatkan bobot kering gabah dan serapan hara K, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk
anorganik Suriadikarta
et al
., 2003. Kandungan C-organik tanah sawah umumnya
1 adalah merupakan salah satu ciri bahwa kualitas lahan
sawah menurun
yang mengakibatkan
penurunan efisiensi serapan hara, sehingga tidak hanya bahan organik saja, tetapi juga pembenah
tanah zeolit
sebaiknya diberikan
untuk meningkatkan KTK tanah sehingga efisiensi
pemupukan dapat ditingkatkan. Aplikasi
zeolit tidak
sama dengan
pembenah tanah lainnya kapur pertanian dan gypsum, sebab zeolit tidak mengalami
break down
dan jumlahnya masih tetap dalam tanah untuk meretensi unsur hara. Aplikasi zeolit berikutnya
akan lebih memperbaiki kemampuan tanah untuk menahan unsur hara dan memperbaiki hasil. Zeolit
tidak asam dan penggunaannya dengan pupuk dapat menyangga pH tanah, sehingga dapat mengurangi
takaran kapur. Pemberian zeolit tidak hanya digunakan sebagai
carriers
hara tanaman, tetapi juga sebagai perangkap logam berat Cu, Cd, Pb,
Zn sehingga
uptake
kedalam rantai makanan atau
food chain
dicegah atau berkurang Fuji, 1974. Namun kualitas zeolit baru terlihat jika pada proses
produksinya dilakukan aktivasi sampai suhu 300
o
C. Astiana, 1993. Meskipun mutu Zeolit alam dapat
ditingkatkan setelah melalui proses aktifasi, tetapi tindakan aktifasi yang berlebihan baik dengan cara
pemanasan, penambahan asam atau basa akan mengakibatkan
kemampuan pertukarannya
menurun, sebab terjadinya kerusakan struktur yang dapat diidentifikasi dari hilangnya intensitas puncak
difraksinya pada hasil diffraktogram Astiana, 1993.
Hal ini
ditunjukkan setelah
aktifasi pemanasan 255
C Zeolit Cikalong memiliki KTK 135.06 cmol
+
kg
-1
, Bayah 121.78 cmol
+
kg
-1
, dan Cikembar 79.70 cmol
+
kg
-1
, sedang setelah pengasaman HCl 0.25 N, Zeolit Cikalong memiliki
KTK 138.67 cmol
+
kg
-1
, Bayah 115.77 cmol
+
kg
-1
, dan Cikembar 90.34 cmol
+
kg
-1
. Kemudian penambahan NaOH 0.5 mengakibatkan Zeolit
Cikalong memiliki KTK 130.21 cmol
+
kg
-1
, Bayah 119.01 cmol
+
kg
-1
, dan Cikembar 84.85 cmol
+
kg
-1
. Kristal zeolit adalah paling efektif sebagai penukar
kation. KTK Zeolit 100 cmol
+
kg
-1
mampu menyerap air, mengadsorpsi NH
4 +
dan K
+
, sehingga meningkatkan
efisiensi penggunaan
pupuk. Prihatini
et al
., 1987 melaporkan bahwa Zeolit sebagai pembenah tanah dengan takaran
1.000 ppm atau
2 tonha dapat meningkatkan KTK tanah mineral masam.
Manfaat dan permasalahan
Kandungan C-organik
tanah yang
cenderung terus menurun yang diikuti dengan penurunan kualitas lahan. Kualitas lahan sawah
yang sudah menurun dapat diperbaiki dengan pemberian pembenah tanah, pupuk organik dan
anorganik,
sehingga produksi
gabah dapat
ditingkatkan. Zeolit sebagai pembenah tanah adalah mineral dari senyawa aluminosilikat terhidrasi
dengan struktur berongga dan mengandung kation- kation alkali yang dapat dipertukarkan yang
diberikan ke dalam tanah dengan jumlah relatif banyak dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah sehingga produksi pertanian dapat ditingkatkan Pond dan Mumpton, 1984; Torii
et al
., 1979; Townsend, 1979; Suwardi dan Goto, 1996; Simanjutak, 2002; Suwardi, 2007; Yamagata.
1967. Sifat khas dari Zeolit sebagai mineral yang berstruktur tiga demensi, bermuatan negatif, dan
memiliki pori-pori yang terisi ion-ion: K, Na, Ca, Mg dan molekul H
2
O, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran ion dan pelepasan air secara
bolak-balik. Pupuk Urea dan KCl yang diberikan ke tanah yang sebelumnya sudah diberi zeolit, maka
kation NH
4 +
-Urea dan kation K
+
-KCl dapat terperangkap sementara dalam pori-pori zeolit yang
sewaktu-waktu dilepaskan secara perlahan-lahan untuk diserap tanaman.
Zeolit mempunyai kerangka terbuka dengan jaringan pori-pori yang mempunyai permukaan
bermuatan negatif dapat mencegah pencucian unsur hara NH
4 +
-Urea dan kation K
+
-KCl keluar dari daerah perakaran. Zeolit berperanan untuk menahan
sementara unsur hara di daerah perakaran, sehingga pupuk Urea dan KCl yang diberikan lebih efisien.
Jika takaran pupuk yang diberikan sesuai anjuran maka residu pupuk berakhir lebih lama dengan
peningkatan hasil yang lebih tinggi.
Pembenah tanah baik dalam bentuk organik maupun mineral dapat diaplikasikan tidak hanya pada
tanah kering, tetapi juga pada tanah sawah. Menurut Wade
et al
., 1986, pembenah tanah kapur pertanian tidak perlu diberikan apabila kejenuhan Al dalam
tanah: 40 jagung, dan 20 kedelai, dan
60 untuk padi sawah, sebab penggenangan sudah merupakan
self-liming effect
, kecuali jika Mg-dd 0.5 cmol
+
kg
-1
dan kejenuhan Mg terhadap KTK efektif 5 maka Dolomit dapat diberikan untuk
tanaman pangan. Sedangkan Zeolit dapat digunakan pada tanah-tanah dengan KTK sangat rendah 0.5
cmol
+
kg
-1
seperti pada tanah-tanah Regosol atau Inceptisols yang belum berkembang bertekstur pasir;
Podsolik Merah Kuning atau UltisolsOxisols; dan Latosol Coklat atau InceptisolsUltisols Simanjuntak,
2002. Sebaliknya
Zeolit tidak
dianjurkan pemberiannya pada jenis tanah yang mempunyai
mineral liat alofan, sebab tidak dapat meningkatkan
277
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
KTK tanah Suwardi, 1997. Masalah utama yang ditemukan pada tanah mineral masam di Indonesia
adalah rendahnya kesuburan tanah serta tingginya kandungan Al dapat ditukar Al-dd, ternyata dapat
diperbaiki dengan pemberian Zeolit.
Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam pemanfaatan zeolit sebagai bahan pembenah tanah
adalah kualitas zeolit yang beredar di pasaran kualitasnya sangat beragam, dan sulit bagi
pengguna untuk membedakan mana zeolit yang mempunyai KTK tinggi dan mana yang tidak.
Masalah harga juga seringkali menjadi hambatan untuk memanfaatkan bahan ini pada level petani.
Aplikasi pembenah tanah tidak sulit, tetapi karena jumlah yang diberikan dapat mencapai 500
– 1.000 kgha, sehingga membutuhkan tambahan biaya
untuk tenaga kerja. Meskipun tambahan tenaga kerja yang banyak diikuti dengan peningkatan biaya
tenaga kerja, tetapi peningkatan biaya produksi dapat ditutup dengan peningkatan produksi.
Kendala eksternal ketersediaan bahan pembenah terutama Zeolit, sulit diperoleh di kios-kios saprodi
pertanian, hal ini disebabkan maju dan mundurnya bisnis pembenah tanah sangat ditentukan oleh
dampak positif dari penggunaan pembenah tanah. Jika pembenah tanah berdampak positif terhadap
peningkatan hasil, maka petani dipastikan akan membeli pembenah tanah. Namun dengan semakin
ramainya
bisnis pembenah
tanah terutama
kaptanDolomit dan Zeolit, yang diikuti dengan maraknya penjualan pembenah tanah palsu,
sehingga produksi tanaman menurun dan petani selalu dirugikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Penggunaan pembenah tanah bermanfaat untuk
meningkatkan produksi tanaman padi sekitar 10- 30, juga meningkatkan kesuburan tanah dan
meningkatkan efisiensi serapan hara pupuk anorganik.
2. Penggunaan pembenah meningkatkan produksi
GKP dan tongkol jagung, hal ini disebabkan tanah sawah didominasi mineral 1:1 tipe
kaolinit yang dicirikan antara lain: pH + 4.50 masam, KTK + 5 cmol
+
kg
-1
rendah, Mg dapat ditukar 0.18 cmol
+
kg
-1
sangat rendah, kejenuhan Mg 5
3. Kebijakan nasional ke depan adalah menyusun strategi ”revitalisasi pembenah tanah”
antara lain: i pengawalan teknologi pembenah tanah tentang uji mutu dan uji
efektivitasnya, serta pengawasan kualitasnya yang beredar di pasar hendaknya
dilakukan secara berkelanjutan, ii penyuluhan inovasi teknologi pembenah tanah
dengan cara melakukan demonstrasi plot, sehingga petani cepat memahami perananan
pembenah tanah terhadap peningkatan produksi. 4. Rekomendasi pembenah tanah untuk berbagai
tipologi lahan dan komoditas belum banyak dilakukan, maka perlu dilakukan penelitian
terhadap teknik
blending
yakni pencampuran Zeolit dengan pupuk Urea untuk menentukan
nisbah N dengan Zeolit yang paling baik;
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabri, M. dan Ishak Juarsa. 2007. Produktivitas tanaman padi sawah pada tanah mineral
masam di Lampung Timur. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional HITI, Buku
1, halaman 301-309, 5-7 Desember 2007,
UPN “VETERAN” YOGYAKARTA Astiana, S. 1993. Perilaku mineral Zeolit dan
pengaruhnya terhadap
perkembangan Tanah. Program Pascasarjana. IPB.
Christenson, D.R., and E. C. Doll. 1973. Release of magnesium from soil clay and silt fractions
during cropping. Soil Sci. 116:59-63. Fuji, Shigeharu. 1974. Heavy metal adsorption by
pulverized Zeolites: Japan. Kokai 74,079, 849, Aug. 1, 1974, 2 pp.
Gupta, V. V. S. R. 1993. The impacts of soil fauna and crop management practices on the dynamics of soil
microfauna and mesofauna. P 107-124
In
C. E. Pankhurst, B. M. Doube, V. V. S. R.. Gupta, and P.
R. Grace Eds.. Soil Biota: Management in Sustainable Farming System. CSIRO. Press,
Melbourne, Australia.
Husaini. 2007. Karakteristik dan deposit pembenah tanah Zeolit di Indonesia. Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara Bandung. Dipresentasikan pada Semiloka Pembenah
Tanah Menghemat Pupuk, Mendukung Peningkatan
Produksi Beras,
Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Deptan.
Bekerjasama dengan konsorsium Pembenah Tanah Indonesia pada 5 April 2007 di
Jakarta. Tidak dipublikasian.
Jolid, N. Dan Herwan. 1987. Pengaruh pemupukan NPK, kapur, bahan organik, dan hara mikro
terhadap padi sawah bukaan baru. Laporan Hasil Penelitian tahun 19871988. Tidak
dipublikasikan.
Melsted, S. W. 1953. Some observed calcium deficiencies in corn under field condition.
Soil Sci. Soc. Am. Proc. 17:52-54.
278
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Pankhurst, C. E. and J. M. Lynch. 1993. The role of soil biota in sustainable agriculture. P 3-9
In
C. E. Pankhurst, B. M. Doube, V. V. S. R. Gupta, and P. R. Grace
Eds.. Soil Biota: Management in Sustainable Farming System. CSIRO. Press, Melbourne,
Australia.
Pond, W. G., and F. A. Mumpton Ed. 1984. Zeo- agriculture:
Use natural
Zeolites in
agriculture and aquaculture. International Committee on Natural Zeolite, Westview
Press, Boulder, CO.
Power, J. F., dan R. I. Papendick. 1985. Sumber- sumber organik hara. Dalam Teknologi dan
Penggunaan Pupuk.
Edisi Ketiga.
Penerjemah D. H. Goenadi. Gadjah Mada University Press.
Prakoso, T. G. 2006. Studi slow release SRF: Uji efisiensi formula pupuk tersedia lambat
campuran urea dengan Zeolit. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
Fakultas Pertanian. IPB.
Prihatini, T, S. Moersidi, dan A. Hamid. 1987. Pengaruh Zeolit terhadap sifat tanah dan
hasil tanaman. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. No. 7: 5-8. Pusat
Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Statistik
Sumberdaya LahanTanah
Indonesia. Pusat Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Simanjuntak, M. 2002. Penggunaan Zeolit dalam bidang pertanian. Program Studi Ilmu
Tanah S-1. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB.
Suriadikarta, D. A., W. Hartatik, dan G. Syamsidi. 2003. Penerapan pengelolaan hara terpadu
pada lahan sawah irigasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional PERHIMPI. Biotrop, 9-
10 September 2003.
Suwardi and Goto, I. 1996. Utilization of Indonesian Natural Zeolite in Agriculture.
Proceedings of the International Seminar on Development of Agribusiness and Its
Impact on Agricultural Production in South East Asia DABIA, November 11-16, 1996
at Tokyo.
Suwardi. 1997. Studies on agricultural utilization of natural Zeolites in Indonesia. Ph. D.
Dissertation. Tokyo
University of
Agriculture. Suwardi. 2007. Pemanfaatan Zeolit untuk Perbaikan
Sifat-sifat Tanah dan Peningkatan Produksi Pertanian. Disampaikan pada Semiloka
Pembenah Tanah
Menghemat Pupuk
Mendukung Peningkatan Produksi Beras, di Departemen Pertanian, Jakarta 5 April
2007. Tidak dipublikasikan.
Tan, K. H. 1993. Environmental Soil Science. Marcel Dekker. Inc. New York.
Tate, R. L. 1987. Soil Organic Matter. Biological and Ecological
Effects. A
Wiley-Interscience Publication. John Wiley Sons. New York.
Chichester. Brisbane. Toronto Torii, K. M., M. Hotta, and M. Asaka. 1979.
Quantitative Estimation of Mordenite and Clinoptilolite In Sedimentary Rock II.
Journal Japan
Association Mineral
Economic Geology 74 8. Townsend, R. P. 1979. The properties and
application of Zeolites. The Proceeding of A Conference Organized Jointly by the
Inorganic Cehemicals Group
of the Chemical Society and the Chemical
Industry. The City University, London, April 18
th
– 20
th
. Tsutsuki, K. 1983. Anaerobic decomposition of
organic matter in submerged soils. A terminal
report submitted
to the
International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines.
Wade, M. K., M. Al-Jabri, and M. Sudjadi. 1986. The effect of liming on soybean yield and
soil acidity parameters of three red yellow podzolic
soils of
West Sumatera.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. 6:1-8. Pusat Penelitian Tanah, Badan
Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Watanabe, I. 1984. Anaerobic decomposition of organic matter in flooded rice soils. Page
237-258 in Organic matter and rice. International Rice Research Institute, Los
Banos, Philippines.
Yamagata. 1967. Effect of Zeolite as soil conditioners:
Internal Report
of Agricultural
Improvement Section,
Yamagata Prefectural Government. Yamashita, K. 1967. The effects of prolonged
application of farmyard manure on the nature of soil organic matter and chemical
and physical properties of paddy soils. Bull. Kyushu Agric. Exp. Stn. 23: 11-156.
279
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science.
International Rice
Research Institute, Los Banos, Philippines. 269 p.
280
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Analisis Finansial Agribisnis Terpadu Serei Wangi, Sawi dan Sapi Potong
Financial Analysis of Agribusiness Integration of Citronella, Collards and Beef Cattle
Hermanto
1
, Nugrahapsari, RA
2
1
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jl. Tentara Pelajar No 3, Bogor
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jl. Ragunan No 29A, Jakarta
Keyword A B S T R A C T
citronella collards
beef cattle feasibility study
The aim of this study was to analyze the feasibility of intercropping citronella and collards, and to analyze the feasibility of beef cattle
fattening and citronella distillation. The research was conducted on May 2015. The research used feasibility study methods with
investment criteria including Net P resent Value NPV, Benefit Cost Ratio BCR, Internal Rate of Return IRR, dan Payback Period. The
results showed that intercropping citronella and collards feasible to be implemented on discount factor 14 . The results showed that values
being obtained for NPV was 159,04 millionha, BCR was 2,04, IRR was 30, and payback period was 10 month 2 day. The results showed that
beef cattle fattening and citronella distillation feasible to be implemented on discount factor 14 . The results showed that values
being obtained for NPV was 5,50 billion, BCR was 1,30, IRR was 72, and payback period was 22 month 7 day.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
serai wangi sapi
sawi kelayakan studi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha tumpang sari sawi dan serai wangi, serta kelayakan usaha penyulingan minyak
serai wangi dan penggemukan sapi.Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2015. Metode análisis yang digunakan adalah análisis kelayakan
dengan kriteria investasi meliputi Net Present Value NPV, Benefit Cost Ratio BCR, Internal Rate of Return IRR, dan Payback Period.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha tumpangsari sawi dan serai wangi yang dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun layak untuk
diusahakan. Pada tingkat discount factor 14 dihasilkan NPV sebesar Rp.159,04 juta per ha, BCR sebesar 2,04, IRR 30, dan payback
period 10 bulan 2 hari. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa usaha penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi potong yang dilakukan
dalam jangka waktu 10 tahun layak untuk diusahakan. Pada tingkat discount factor 14 dihasilkan NPV sebesar 5,50 Milyar, BCR sebesar
1,30, IRR 72, dan payback period 22 bulan 7 hari
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
email address:
1
hermantodjunedyahoo.com,
2
nugra_hapsariyahoo.co.id
281
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Serai wangi merupakan salah satu jenis tanaman minyak atsiri yang dikenal dengan
nama
Citronella Oil.
Hasil penyulingan dari komoditas ini adalah minyak serai wangi yang
merupakan salah satu komoditas ekspor andalan
Indonesia. Sebagai
salah satu
komoditas lokal Indonesia, pengembangan agribisnis minyak atsiri diharapkan akan
berkontribusi besar
dalam meningkatkan
pendapatan petani dan pembukaan lapangan kerja. Feriyanto et al 2013 menjelaskan
bahwa kebutuhan minyak atsiri dunia akan semakin
meningkat seiring
dengan meningkatnya industri modern seperti parfum,
kosmetik, makanan, aroma terapi dan obat obatan. Namun
pengembangan agribisnis minyak
atsiri ini
menghadapi berbagai
permasalahan yang mencakup pengadaan bahan baku, respon petani, penanganan pasca panen,
proses produksi,
tataniaga, teknologi
pengolahan dan
peralatan penyulingan
Damanik, 2007. Oleh karena itu diperlukan model agribisnis minyak serai wangi yang
menguntungkan sehingga dapat menarik minat masyarakat
untuk berinvestasi
pada pengembangan komoditas ini. Salah satu cara
yang dapat
ditempuh adalah
dengan menerapkan sistem pertanian terpadu yang
mengintegrasikan antara ternak dan tanaman. Sistem pertanian terpadu telah diterapkan
di Kabupaten Bandung yang merupakan lokasi penelitian dilakukan. Model agribisnis ini
merupakan perpaduan antara budidaya serai wangi dan sawi secara tumpangsari yang
terintegrasi dengan agribisnis penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi potong. Usaha
penggemukan sapi potong merupakan usaha dengan
prospek menjanjikan,
mengingat kebutuhan sapi di dalam negeri masih belum
mampu dicukupi oleh peternak di Indonesia. Permasalahan ini disebabkan oleh populasi dan
produksi yang masih rendah Sugeng, 2007. Sementara sawi merupakan jenis sayuran yang
memiliki nilai komersial cukup baik, memiliki konsumen yang terdistribusi merata mulai dari
konsumen menengah ke bawah hingga kelas atas, budidaya nya cukup sederhana dan
menjanjikan keuntungan yang baik Haryanto et al, 2007.
Perpaduan dari ketiga komoditas tersebut diharapkan dapat menciptakan sistem pertanian
berorientasi
zero waste
farming
yang menguntungkan dan menciptakan insentif
berproduksi bagi petani. Hal ini sangat penting mengingat Indonesia akan menghadapi era
Masyarakat Ekonomi Asia MEA, yaitu suatu model integrasi ekonomi di kawasan ASEAN
melalui pembentukan pasar tunggal dan basis produksi
bersama dengan
tujuan untuk
membangun kawasan ekonomi yang kompetitif, adil dan terintegrasi dalam ekonomi global
Austria 2011 dan Chia 2013. Dengan disepakatinya MEA
blueprint
, maka Indonesia harus
bersiap menghadapi
liberalisasi perdagangan baik antar negara ASEAN
maupun negara di luar ASEAN. Keterbukaan aliran modal, barang, jasa,
investasi dan
tenaga kerja
memberikan tantangan bagi Indonesia untuk berproduksi
secara efisien dan kompetitif, salah satunya dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya
lokal. Kebijakan di sektor pertanian Indonesia harus mampu menciptakan iklim investasi yang
kondusif dengan harapan dapat menarik minat masyarakat luas untuk memanfaatkan potensi
sumberdaya lokal melalui investasi di sektor pertanian. Oleh karena itu penelitian ini
menjadi penting untuk dilakukan,
yaitu mengetahui sejauh mana sistem pertanian
terpadu sereh wangi, sawi dan sapi potong memberikan keuntungan bagi para pelaku yang
terlibat. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelayakan finansial integrasi
agribisnis sereh wangi, sawi hijau dan sapi potong di Kabupaten Bandung.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015. Pemilihan lokasi ini dilakukan
secara sengaja
purposive
. Pertimbangan yang digunakan adalah lokasi penelitian merupakan
salah satu contoh agribisnis terpadu antara tanaman dan ternak dengan sistem plasma.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dan observasi langsung, serta
wawancara menggunakan kuisioner. Data yang dikumpulkan merupakan data primer yaitu data
biaya tetap, biaya variabel dan data produksi. Analisa data yang digunakan dalam penelitian
ini dilakukan secara kualitatif dan kauntitatif. Adapun metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis kelayakan investasi.
282
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis dilakukan pada tingkat suku
bunga 14 persen. Tingkat suku tersebut merupakan tingkat suku bunga pinjaman
rata-rata Bank Umum yang didekati selama penelitian dilaksanakan Mei
2015.
2. Evaluasi kelayakan usaha pada penelitian
ini dilakukan dalam jangka waktu sepuluh tahun sesuai dengan umur
investasi
terbesar dalam
usaha penyulingan serai wangi yaitu alat
penyulingan. 3.
Analisis finansial
akan dibedakan
berdasarkan dua tipe pengusahaan yaitu dari sisi petani tumpangsari serai wangi
dan sawi
dan dari
sisi pabrik
penyulingan serai
wangi dan
penggemukan sapi. 4.
Tumpangsari serai wangi dan sawi memiliki proporsi 23 serai wangi dan 13
sawi.
5. Petani serai wangi merupakan petani
plasma yang mendapatkan pinjaman modal untuk pengolahan tanah, pupuk
kandang, pupuk buatan NPK dan bibit. Pinjaman tersebut akan dibayarkan pada
saat panen sesuai dengan harga pasar.
6. Petani plasma wajib menyetorkan hasil
panen kepada pabrik penyulingan minyak dengan membayar biaya penyulingan.
Penerimaan dari penjualan minyak serai wangi yang telah dikurangi dengan
pembayaran
pinjaman dan
biaya menyulingan menjadi penerimaan bersih
petani dan pabrik dengan sistem bagi hasil 60 untuk petani dan 40 untuk
pabrik.
7. Pabrik
penyulingan minyak
tidak memiliki lahan sendiri, sehingga bahan
terna serai wangi didapatkan dari petani plasma dan petani lain di daerah sekitar.
Pabrik menerima penyulingan serai wangi dari petani plasma dan petani lain, serta
pembelian bahan terna serai wangi dari petani sekitar. Jika petani menjual bahan
terna serai wangi kepada pabrik artinya hasil minyak menjadi milik pabrik,
sedangkan jika petani membayar biaya penyulingan artinya minyak menjadi
milik petani. Untuk mengetahui kelayakan usaha
dilakukan perhitungan metode
discounted cashflow
arus kas terdiskonto yang meliputi
net present value
NPV,
benefit cost ratio
BCR,
internal rate of return
IRR dan
payback period. Net Present Value
NPV, yaitu
present value
arus manfaat dengan
present value
arus biaya. Rumus yang digunakan dalam perhitungan NPV adalah
sebagai berikut:
n t
t t
t
i C
B NPV
1
1
Dimana: B
t
= Penerimaan
Benefit
pada tahun ke-t i
=
Discout Rate
C
t
= Biaya Cost pada tahun ke-t n = Umur proyek tahun
Internal Rate of Return
IRR, yaitu nilai
discount rate social
yang membuat NPV proyek sama dengan nol, dapat dinyatakan
dengan rumus:
1 2
2 1
1
i i
X NPV
NPV NPV
i IRR
t
Dimana: i
1
=
Discount rate
yang menghasilkan NPV positif
i
2
=
Discount rate
yang menghasilkan NPV negatif
NPV
1
= NPV yang bernilai positif NPV
2
= NPV yang bernilai negative Benefit-Cost Ratio BCR,
yaitu angka perbandingan antara jumlah
present value
yang positif dengan jumlah
present value
yang negatif, dapat dinyatakan dengan rumus:
n i
t t
t n
t i
t
i C
i B
BCR 1
1
Tingkat pengembalian investasi
payback period merupakan m
etode ini mengukur lamanya waktu yang harus dialami sebelum
suatu investasi menghasilkan sejumlah modal yang ditanam. Rumus metode ini adalah
sebagai berikut:
283
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
I V
P
Dimana: P
= Jumlah waktu tahun atau periode yang diperlukan untuk mengembalikan modal
investasi V
= Jumlah modal investasi I
= Hasil bersih per tahunperiode atau hasil bersih rata-rata per tahunperiode
HASIL DAN PEMBAHASAN
Outflow
dan
Inflow
Tumpangsari Sawi dan Serai Wangi
Biaya yang dikeluarkan oleh petani yaitu biaya investasi dan biaya produksi. Investasi
yang dikeluarkan petani yaitu pembelian sprayer Rp 500.000 berumur 5 tahun, sehingga
pada
tahun keenam
dikeluarkan biaya
reinvestasi pada peralatan tersebut. Pada awal budidaya,
petani mengeluarkan
biaya pengolahan tanah untuk usahatani sawi sebesar
Rp 500.000 per ha, sedangkan pada usahatani serai wangi biaya awal yang dikeluarkan petani
adalah sebesar Rp 12.500.000 per ha, yang terdiri dari upah tenaga kerja untuk persiapan
penanaman sebesar Rp 6.500.000 per ha dan biaya bibit sebesar Rp 6.000.000 per ha.
Kegiatan persiapan penanaman terdiri dari kegiatan pengolahan tanah, garit lubang,
pemupukan dasar, penanaman, memupuk dasar dan penyiangan. Tanaman serai wangi memiliki
umur lima tahun, sehingga pada awal tahun keenam
biaya tersebut
akan kembali
dikeluarkan. Biaya operasional usahatani sawi pada
setiap musim tanam terdiri dari biaya pembelian bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya
tak terduga. Bahan yang diperlukan antara lain pupuk urea, SP36, KCL. Sedangkan upah
tenaga
kerja dikeluarkan
pada kegiatan
persemaian, penanaman,
penyiangan dan
pemupukan, penyemprotan dan penyiraman, panen Tabel 1. Biaya operasional usahatani
serai wangi terdiri dari biaya pembelian pupuk kandang sebesar Rp 450.000 dan pupuk buatan
sebesar Rp 520.000. Biaya panen dan upah penyulingan
besarnya akan
bervariasi tergantung dari hasil panen dan rendemen,
dimana hasil panen pada tahun pertama berbeda dengan hasil panen pada tahun kedua hingga
kelima. Dalam
penelitian ini
besarnya rendemen adalah 6 persen.
Tabel 1. Biaya Operasional Usahatani Sawi Per Musim Tanam
No Biaya Operasional
Jumlah Biaya RpPer Ha
1 Bahan
- Urea
465.000 -
SP36 800.000
- KCL
937.500 2
Upah -
Pengolahan tanah 500.000
- Persemaian
50.000 -
Penanaman 240.000
- Penyiangan dan
pemupukan 180.000
- Penyemprotan
dan penyiraman 90.000
- Panen
90.000 3
Biaya tak terduga 250.000
3.102.500
Penerimaan usaha budidaya serai wangi berasal dari keuntungan penyulingan minyak
serai wangi dengan pembagian keuntungan untuk pabrik 40 dan petani 60. Panen
pertama pada umur 6 bulan sebanyak 1.000 Kgha, umur 9 bulan sebanyak 1.000 KgHa,
umur 12 bulan sebanyak 1.500 KgHa, selanjutnya tanaman serai wangi panen setiap
tiga bulan sekali dengan jumlah produksi 2.000 KgHa hingga tahun kelima. Rendemen
tanaman serai wangi sebesar 6 dengan harga jual Rp 170.000Kg. Penerimaan usaha
budidaya sawi berasal dari penjualan sawi sebanyak Rp 14.000 Kg per musim tanam
dengan harga jual Rp 1.100Kg. Dalam setahun terdapat dua kali musim tanam
Analisis Finansial Tumpangsari Sawi dan Serai Wangi
Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial dapat dilihat bahwa usaha tumpangsari
sawi dan serai wangi memiliki NPV sebesar 159,04 juta rupiah per ha yang menunjukkan
bahwa nilai sekarang present value dari pendapatan yang diterima bernilai positif
sebesar 159,04 juta rupiah per ha selama sepuluh tahun pada tingkat
discount rate
14 persen. Nilai BCR sebesar 2,04 menunjukkan
bahwa usaha tumpangsari sawi dan serai wangi layak
untuk dijalankan
karena petani
mendapatkan keuntungan dari usaha tersebut. Selain itu diperoleh nilai IRR sebesar 30 persen
284
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
yang menunjukkan bahwa kemampuan proyek untuk mengembalikan modal yang digunakan
lebih besar dari tingkat
discount rate
yang digunakan. Sementara
payback period
yang didapatkan yaitu sebesar 0,84 yang artinya
usaha tumpangsari sawi dan serai wangi mampu untuk mengembalikan modal investasi
pada saat proyek berumur 10 bulan 2 hari. Dari keempat kriteria tersebut dapat disimpulkan
bahwa secara finansial usaha tumpangsari sawi dan serai wangi yang dilakukan oleh petani
layak untuk dilaksanakan. Inflow dan Outflow Penyulingan Serai
Wangi dan Penggemukan Sapi
Biaya yang dikeluarkan oleh pabrik yaitu biaya investasi dan biaya produksi. Investasi
yang dikeluarkan
pabrik untuk
usaha penggemukan sapi meliputi pembelian kandang
untuk 40 ekor sapi dengan harga Rp 800.000 per kandang. Kandang sapi ini memiliki umur
10 tahun. Biaya investasi lainnya yaitu pembelian mesin pencampur konsentrat senilai
Rp 64 juta berumur 10 tahun, mesin pencacah hijauan pakan ternak senilai Rp 20 juta berumur
4 tahun, dan peralatan kandang senilai Rp 3 juta berumur 3 tahun. Bakalan sapi yang dibeli oleh
petani sebanyak 40 ekor per siklus 4 bulan dengan bobot Rp 400 kgekor dan harga Rp
50.000 per Kg. Investasi yang dikeluarkan pabrik untuk usaha penyulingan serai wangi
meliputi pembangunan tempat produksi senilai Rp 50 juta berumur 10 tahun, pembelian mesin
dan peralatan suling senilai Rp 60 juta berumur 10 tahun, dan pembelian perlengkapan pabrik
senilai Rp 30 juta berumur 4 tahun.
Biaya operasional usaha penggemukan sapi per siklus terdiri dari pembelian hijauan
pakan ternak senilai Rp 9,6 juta, konsentrat senilai 100,8 juta, obat obatan senilai 4 juta,
tenaga kerja dan keamanan senilai Rp 16 juta, listrik senilai 1,2 juta, biaya lain lain senilai Rp
1 juta, dan biaya transportasi penjualan senilai Rp 6 juta. usahatani sawi pada setiap musim
tanam terdiri dari biaya pembelian bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya tak terduga. Bahan yang
diperlukan antara lain pupuk urea, SP36, KCL. Biaya operasional usahatani penyulingan serai
wangi per tahun terdiri dari pembayaran gaji karyawan senilai Rp 72 juta dan biaya untuk
memberikan modal kepada petani plasma sebesar Rp 13.470.000 per ha. Bantuan modal
tersebut digunakan
untuk membiayai
pengolahan tanah dan pembelian bibit sebasar Rp 12,5 jutaha pada awal tahun pertama dan
awal tahun keenam. Bantuan modal lainnya yaitu sebesar Rp 970.000ha digunakan untuk
pengeluaran yang bersifat rutin yaitu pembelian pupuk kandang dan pupuk buatan NPK senilai
Rp 970.000ha. Bantuan modal tersebut mengikat petani untuk menyulingkan serai
wangi ke pabrik tersebut. Hasil penjualan serai wangi petani akan dipotong untuk membayar
pinjaman dan biaya penyulingan. Penerimaan usaha budidaya serai wangi berasal dari
keuntungan penyulingan minyak serai wangi dikurangi dengan pembayaran pinjaman dan
biaya penyulingan. Penerimaan bersih dari penjualan minyak serai wangi akan dibagi 40
untuk pabrik dan 60 untuk petani. Analisis Finansial Penyulingan Serai Wangi
dan Penggemukan Sapi
Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial dapat dilihat bahwa usaha penyulingan
serai wangi dan penggemukan sapi potong memiliki NPV sebesar 5,50 Milyar yang
menunjukkan bahwa nilai sekarang present value dari pendapatan yang diterima bernilai
positif sebesar 5,50 Milyar selama sepuluh tahun pada tingkat
discount rate
14 persen. Nilai BCR sebesar 1,30 menunjukkan bahwa
usaha penyulingan
serai wangi
dan penggemukan sapi layak untuk dijalankan
karena petani mendapatkan keuntungan dari usaha tersebut. Selain itu diperoleh nilai IRR
sebesar 72 persen yang menunjukkan bahwa kemampuan proyek untuk mengembalikan
modal yang digunakan lebih besar dari tingkat
discount rate
yang digunakan. Sementara
payback period
yang didapatkan yaitu sebesar 1,85 yang artinya usaha penyulingan serai
wangi dan penggemukan sapi mampu untuk mengembalikan modal investasi pada saat
proyek berumur 22 bulan 7 hari. Dari keempat kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa
secara finansial usaha penyulingan serai wangi dan penggemukan sapi yang dilakukan oleh
petani layak untuk dilaksanakan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian dapat
disimpulkan bahwa usaha tumpangsari sawi dan serai wangi yang dilakukan dalam jangka
285
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
waktu 10 tahun layak untuk diusahakan. Pada tingkat
discount factor
14 dihasilkan NPV sebesar 159,04 juta per ha, BCR sebesar 2,04,
IRR 30, dan
payback period
10 bulan 2 hari. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
usaha penyulingan
serai wangi
dan penggemukan sapi potong yang dilakukan
dalam jangka waktu 10 tahun layak untuk diusahakan. Pada tingkat
discount factor
14 dihasilkan NPV sebesar 5,50 Milyar, BCR
sebesar 1,30, IRR 72, dan
payback period
22 bulan 7 hari. Berdasarkan hasil penelitian,
disarankan kepada
pabrik untuk
mengoptimalkan pemanfaatan limbah serai wangi dan sawi untuk pakan ternak sapi. Pabrik
juga disarankan umemperluas petani plasma untuk menjamin kepastian pasokan, sehingga
idle capacity
dapat diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Austria, MS. 2011. “
Moving Towards an ASEAN Economic Community
”. Filipina: Springer Science+Business Media, East
Asia 2012 29, Hlm.141 –156.
Chia, SY. 2013.
ASEAN Economic Community: Progress, Challenges, and Prospects
. Jepang:
Asian Development
Bank Institute.
Damanik, S. 2007. Analisis Ekonomi Usahatani Serai Wangi Studi Kasus Kecamatan
Gunung Halu,
Kabupaten Bandung
Selatan.
Bul. Littro
. XVIII2. 203-221. Feriyanto, YE, PJ. Sipahutar, Mahfud, P.
Prihatini. 2013. Pengambilan Minyak Atsiri dari Daun dan Batang Serai Wangi
Cymbopogan winterianus
Menggunakan Metode Distilasi Uap dan Air dengan Pemanasan Microwave.
Jurnal Teknik Pomits
. 21. 93-97. Haryanto, E, T. Suhartini, E. Rahayu, H.
Sunarjono. 2007.
Sawi dan Selada
. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sugeng, YB. 2007.
Beternak Sapi Potong
. Penebar Swadaya. Jakarta.
286
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Pemetaan Peluang Pasar dari Penelitian Botani LIPI: Pendekatan Consumer Insight
Mapping of Market Opportunities of
LIPI’s Botanical Researches:
A Consumer Insight Approach
Diah Anggraeni Jatraningrum, Ragil Yoga Edi
Pusat Inovasi LIPI, Gedung Inovasi LIPI Jl. Raya Jakarta -Bogor KM 47 Cibinong, Kab. Bogor, 16912
Keyword A B S T R A C T
botanical research botanical market
consumer insight quadrant analysis
Attention to external conditions of RD institution by using patent data mining is one of the methods to review their position. In rapid changes of world, this
study should be extended to consumer insight, which is output of the consumer research. Usually, consumer insight is used by fast moving consumer goods
industries to attract customers in the open market as much as possible through products that have been produced. Botanical research outcomes are very closely
associated with fast moving consumer goods. In the market, botanical products are known as food supplements or herbals to support health and fitness. From
2002 to 2014, LIPI as a government research institute, has collected 44 researches related to the botanical research topics that have been registered for
patent by Center for Innovation, LIPI to the Directorate General of Intellectual
Property. The outcome of LIPI’s botanical researches are similar with occurred
in the market. Mapping studies for botanical researches in LIPI analyzed by
using ‘quadrant analysis’ for condition specific opportunities which is consumer
concern and perceived effectiveness in botanical market. The primary opportunity comes from the conditions wherein the effectiveness available
supplement is ‘not very’ but the consumer concern abou
t their health condition
is ‘high’, and 19 outcome from botanical researches in LIPI is part of this
area. Secondary, tertiary and quaternary opportunity from botanical researches in LIPI outcome to botanical market successively are 25, 31 and 25.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
penelitian botani pasar produk botani
consumer insight quadrant analysis
Memperhatikan kondisi eksternal dari institusi RD dengan menggunakan
patent data mining
merupakan salah satu metode untuk melihat posisi institusi tersebut. Dengan perubahan dunia yang sangat cepat, metode ini harus diperluas
sampai
consumer insight
, yang merupakan hasil kegiatan riset konsumen. Biasanya,
consumer insight
ini digunakan oleh industri
fast moving consumer goods
untuk menarik konsumen di pasar terbuka sebanyak mungkin melalui produk yang dihasilkan. Hasil penelitian terkait botani sangat erat berhubungan
dengan
fast moving consumer goods
. Di pasar, produk-produk botani dikenal sebagai suplemen makanan atau herbal untuk mendukung kesehatan dan
kebugaran. Dari tahun 2002 sampai dengan 2014, LIPI sebagai lembaga penelitian pemerintah, telah mengumpulkan 44 penelitian yang berhubungan
dengan topik botani yang telah didaftarkan paten oleh Pusat Inovasi LIPI ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Hasil penelitian LIPI di bidang botani
tersebut sama seperti yang terjadi di pasar. Pemetaan untuk penelitian botani di LIPI dianalisis menggunakan
‘quadrant analysis’ untuk kondisi peluang khusus dari
consumer concern
dan
perceived effectiveness
di pasar produk botani. Peluang yang paling utama berasal dari kondisi di mana ketersediaan barangnya
di pasar terbatas tetapi tingkat perhatian dari konsumen mengenai kondisi kesehatan mereka tinggi, dan 19 hasil dari penelitian botani di LIPI adalah
bagian dari area ini. Untuk peluang-peluang sekunder, tersier dan kuarter dari penelitian botani di LIPI berturut-turut adalah 25, 31 dan 25.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. E-mail address:
diah.anggraeni.jatraningrumlipi.go.id
287
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Selama beberapa
dekade sebelumnya,
kegiatan penelitian dan pengembangan
research development
– RD identik dengan orientasi penelitian yang berbasis kapasitas internal
inward looking
dari lembaga litbang tersebut. Kondisi ini hampir terjadi pada semua RD di perusahaan-
perusahaan dan entitas komersial lainnya, lembaga- lembaga litbang milik pemerintah, baik militer
maupun sispil, perguruan tinggi dan sebagainya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir focus
perhatian pada factor eksternal RD
outward looking
menjadi begitu signifikan, terutama dalam hubungannya dengan kebutuhan pasar
market
, daya saing
competitiveness
dan tingkat keunggulan
advantageous
, yang kemudian lebih dikenal dengan
competitive technical intelligent
– CTI. Perusahaan-perusahaan
komersial, lembaga-
lembaga pemerintah, lembaga-lembaga militer dan pertahanan maupun masyarakat memiliki kebutuhan
untuk mengetahui teknologi dari pesaing utama mereka dalam mengejar
competitive technical intelligent
– CTI tersebut. Mengingat bahwa meningkatnya hak kekayaan intelektual HKI
menjadi salah satu indikator kemajuan teknologi, maka analisis HKI, khususnya paten, menjadi sangat
penting untuk mengetahui perkembangan teknologi yang sedang terjadi di dunia sebelum satu organisasi
melakukan investasi untuk RD Porter dan Newman, 2011.
Membuat keputusan dalam mengambil topik penelitian dalam kondisi dunia yang cepat berubah
merupakan suatu perpaduan antara seni dan ilmu. Untuk memberikan konteks, wawasan, dan inspirasi
untuk pengambilan keputusan penelitian, RD penguasaan informasi yang komprehensif dan
mutakhir tentang kondisi makro, serta tentang efek mikro ke dalam internal organisasi, khususnya untuk
penelitian yang akan diputuskan tersebut pengolahan informasi teknologi memerlukan pendekatan yang
memadai. Peneliti yang holistik mengakui bahwa lingkungan makro terus menyajikan peluang dan
ancaman baru, dan mereka memahami bagaimana pentingnya untuk terus memantau, meramalkan, dan
beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, eksternal RD telah berkembang dan meningkat secara
signifikan. Seperti apa yang dilakukan oleh Chesbrough 2003; 2006, dengan mengembangkan
sebuah organisasi RD dengan inovasi terbuka -
Open Innovation
. Inovasi terbuka ini memberikan manfaat dua arah dalam pertukaran kekayaan
intelektual untuk meningkatkan inovasi teknologi. Dua arah manfaat
bi-directional
tersebut adalah ke dalam dan ke luar. Ke dalam, perusahaan mengambil
keuntungan dari eksternal RD untuk berinovasi dalam produk dan layanan mereka. Sebaliknya,
manfaat ke luar, bekerja secara proaktif untuk mengembangkan lisensi sendiri untuk orang lain
berbasis pengetahuan dan penelitian Porter, 2007. Metode ini telah terbukti dalam berbagai proyek-
proyek pengembangan produk, terutama produk dari industri untuk pemenuhan kebutuhan konsumen
yang biasa disebut
fast moving consumer goods
- FMCG. Huston dan Sakkab 2006 menggambarkan
bagaimana Procter Gamble – PG telah
menempatkan eksternal RD ini ke dalam praktek RD sehari-hari untuk menciptakan setidaknya 35
dari berbagai elemen produk mereka sebagai produk inovatif baru. Ini merupakan hasil yang sangat
menguntungkan dan mengambil manfaat dari inovasi terbuka
Di dalam suatu perusahaan komersial, seseorang yang bekerja sebagai RD maupun
pemasaran
marketing
yang baik, perlu memiliki wawasan
insight
yang luas untuk membantu mereka menginterpretasikan kinerja masa lalu serta
memikirkan rencana kegiatan di masa depan. Untuk membuat kemungkinan keputusan taktis terbaik
dalam jangka pendek dan keputusan strategis dalam jangka panjang, mereka membutuhkan informasi
yang tepat, akurat, dan dapat ditindaklanjuti. Informasi ini dapat berupa semua wawasan tentang
konsumen, persaingan, dan merek mereka di pasar. Menemukan wawasan terhadapat apa yang terjadi
pada tingkat konsumen
consumer insight
dan memahami implikasinya pada strategi pemasaran
dapat menghasilkan peluncuran produk yang sukses dan memacu pertumbuhan merek Kotler, 2012.
Untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang bermakna dengan
mereka, pemasar harus terlebih dahulu mendapatkan informasi yang segar dan aktual, wawasan jauh ke
dalam apa yang dibutuhkan dan inginkan oleh pelanggan, di mana dalam bahasa manajemen
pemasaran sering dikenal dengan
consumer insight
tersebut. Perusahaan
menggunakan wawasan
pelanggan tersebut
untuk mengembangkan
keunggulan kompetitif. Semua ahli pemasaran akan sepakat, bahwa dalam dunia yang kompetitif seperti
sekarang ini, perlombaan untuk keunggulan kompetitif adalah benar-benar sebuah perlombaan
untuk
pelanggan dan
kemampuan dalam
memperoleh wawasan dan pasar. Wawasan tersebut berasal dari tenaga pemasaran maupun informasi
dari tenaga ahli pemasaran yang benar-benar melakukan survei di tingkat pasar dan konsumen.
Data
consumer insight
biasanya disajikan dalam kuadran analisis grafik untuk menentukan peluang
khusus dari berbagai kondisi yang diteliti, terdiri dari perhatian konsumen
consumer concern
dan efektivitas yang dirasakan
perceived effectiveness
. Beberapa perusahaan bidang riset pasar
market
288
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
research
yang melakukan survei langsung ke konsumen untuk memahami apa yang terjadi dengan
perhatian konsumen
consumen concern
dan efektivitas yang dirasakan
perceived effectiveness
tersebut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI
adalah salah satu lembaga RD pemerintah yang menghabiskan jutaan rupiah untuk melakukan
penelitian produk-produk botani. Sejak tahun 2002, berdasarkan database paten Pusat Inovasi LIPI, ada
44 penelitian yang diidentifikasi sebagai penelitian botani. Produk-produk botani sangat dekat dengan
konsumen sebagai
consumer goods
. Sebagian besar konsumen menunjukkan informasi yang sangat
penting teutama dalam cara bagaimana mereka mempertahankan gaya hidup sehat dan seimbang,
yang berasal dari botani atau herbal sebagai suplemen makanan.
KERANGKA TEORITIS
Berbagai lembaga dan perusahaan yang kegiatan litbangnya berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan pasar seringkali memperoleh
consumer insight
antara lain dengan mengamati perilaku konsumen.
Perilaku konsumen
consumer behaviour
adalah kegiatan mengamati apa yang orang lakukan ketika mendapatkan, mengkonsumsi
dan membuang produk dan jasa Blackwell, 2001. Dari sudut pandang penelitian akademis, perilaku
konsumen mungkin dianggap sebagai bidang studi yang berkonsentrasi pada kegiatan konsumsi. Di
masa lalu studi perilaku konsumen telah difokuskan terutama pada mengapa orang membeli. Baru-baru
ini, fokus telah pindah ke menyertakan melihat perilaku konsumsi - dengan kata lain, bagaimana dan
mengapa orang mengkonsumsi. Kumpulan perilaku tersebut memberikan
consumer insight
yang dapat dijadikan peluang bisnis dalam menciptakan produk
yang disukai oleh konsumen. Dalam kajian ini, penulis mengambil hasil dari
penelitian perilaku konsumen atas penggunaan produk-produk botani, supaya bisa dibandingkan
dengan kondisi penelitian botani yang sudah dilakukan pada selang waktu tertentu.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi literatur dan analisis deskriptif.
Salah satu analisis deskriptif yang dilakukan adalah menggunakan kuadran grafik untuk membaca
peluang dari kondisi tertentu sebagai salah satu cara pemetaan grafis dan teoritis dari RD. Analisis
sejauh ini memberikan beberapa hasil awal yang menarik, namun sebagian besar yang bersifat
deskriptif. Kami akan menunjukkan bagaimana pemetaan grafis dan teoritis dapat dijabarkan lebih
lanjut untuk tujuan analisis lebih lanjut dan estimasi ekonometrik yang dapat memberikan wawasan yang
berguna pada topik-topik penelitian botani merujuk kepada wawasan konsumen.
Data
consumer insight
untuk penelitian ini, terutama produk-produk botani, didasarkan pada
riset pasar yang telah dilakukan oleh perusahaan riset pasar untuk konsumen untuk perhatian tertentu dan
efektivitas produk botani yang dirasakan pada tahun 2011 Natural Marketing Institute, 2011. Meskipun
laporan dari
consumer insight
yang digunakan dalam kajian ini diperuntukkan bagi pasar Amerika Serikat,
tetapi dengan mengasumsikan perhatian dan perilaku konsumen dan efektivitas diyakini mengindikasikan
tren konsumen yang mirip dengan konsumen di sebagian besar orang di dunia. Kekuatan komunikasi
pasar Amerika Serikat memberikan adovokasi dalam penggunaan produk terutama botani dan suplemen
makanan.
Data
consumer insight
biasanya disajikan dalam kuadran analisis grafik untuk peluang kondisi
tertentu, terdiri dari perhatian konsumen dan efektivitas dirasakan. Beberapa perusahaan riset
pasar selalu melakukan survei ke konsumen untuk memahami apa yang terjadi dengan perhatian
konsumen dan efektivitas dirasakan tersebut. Jadi, kita akan melihat pemetaan peluang dalam penelitian
botani
ini berdasarkan
perilaku konsumen
berdasarkan grafik-teoritis ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Consumer insight
adalah salah satu hasil dari riset konsumen yang biasanya digunakan oleh
perusahaan industri pembuatan barang-barang kebutuhan masyarakat
–
fast moving consumer goods
FMCG untuk menarik pelanggan di pasar terbuka sebanyak mungkin melalui produk yang
telah dibuat. Produk ini kemudian disampaikan kepada konsumen melalui komunikasi pasar.
Komunikasi ini dapat secara besar-besaran dan intensif sehingga konsumen akan dengan senang
untuk membeli produk tesebut.
Consumer insight
adalah tren konsumen makro dan berlangsung dalam jangka
panjang. Pembuat
produk harus
mempertahankan keberadaan produk di pasar dan selalu memperlakukan mereka dengan cara yang
lebih baik dan lebih baik lagi kepada konsumen. RD di perusahaan yang membuat produk
harus mencari peluang pasar melalui wawasan yang telah dikeluarkan oleh riset pemasaran. Data ini
dapat dilakukan oleh perusahaan itu sendiri atau oleh perusahaan survei eksternal yang telah dipercaya
keakuratan dan akuntabilitasnya.
Seperti halnya dengan
fast moving consumer goods
, topik penelitian RD milik pemerintahan juga bisa menggunakan data dari
consumer insight
untuk mengevaluasi kinerja dari penelitian yang telah dicapai. Apakah topik-topik penelitian yang
289
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
dilakukan sama atau mendukung perilaku konsumen dan dengan semua yang terjadi di pasar. RD milik
pemerintah semestinya
bisa menjadi
motor penggerak tren konsumsi dari masyarakat sehingga
bisa mengangkat kekuatan sumber daya alam dalam negeri. Dengan mengetahui tren yang sedang
berlangsung akan apa yang dibutuhkan oleh konsumen,
akan mempertahankan
penelitian- penelitian yang sedang berlangsung menjadi sangat
inovatif karena memiliki pasar yang besar. Hasil penelitian botani ini sangat erat
berhubungan dengan
fast moving consumer goods
. Di pasar, produk botani lebih dikenal sebagai
suplemen makanan atau herbal untuk mendukung kesehatan dan kebugaran. Dari tahun 2002, LIPI
sebagai organisasi RD milik pemerintah, telah mengumpulkan 44 penelitian yang berhubungan
dengan topik-topik botani yang telah didaftarkan untuk paten oleh Pusat Inovasi LIPI kepada
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kemenkumham RI. Hasil penelitian juga merujuk
pada tren yang sama seperti yang terjadi di pasar dalam jangka suplemen makanan dan herbal untuk
menunjang kesehatan dan kebugaran.
Tabel berikut adalah hasil penelitian di lingkungan LIPI dengan topik botani dari berbagai
pusat penelitian dari 2002-2014 yang telah terdaftar paten ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Republik Indonesia.
Tabel 1. Penelitian-penelitian Botani LIPI Tahun 2002-2014
No
Penelitian Objek
Tujuan P2
Tahun
1 Proses
Pembuatan Antibiotik
Mikroba tanah
Antibiotik P2
Kimia 24-Jul-
02 2
Lidah Buaya
Celup Lidah
buaya Minuman
kesehatan UPT
BPPTK 7-Sep-
05 3
Bunga Rosela
Seduh Rosela
Minuman kesehatan
UPT BPPTK
27-Jul- 06
4 Biskuit
untuk Penyandang
Autis Dekstrin
garut dan tepung
pisang Biskuit
untuk penyandang
autis Pusbang
TTG Subang
5-Sep- 06
Selengkapnya dilanjutkan di bagian akhir tulisan ini
Data ini kemudian dilakukan pemetaan berdasarkan hasil riset pasar yang sudah dilakukan
pada tempat dan waktu tertentu untuk mendapatkan
consumer insight
berupa informasi dan tren yang terjadi di pasar berkaitan dengan produk botani. Data
consumer insight
diambil dari data yang dirilis oleh Natural Marketing Institute pada tahun 2011, yang
diterbitkan oleh
American Herbal
Product Association
www.ahpa.org. Untuk keperluan analisis,
consumer insight
ini sudah dalam bentuk grafik deskriptif dari kuadran analisis
consumer perceived
yang ada di pasar, yang akan menginformasikan peluang dari masing-masing
topik, sebagai gambaran tentang apa yang sedang terjadi di pasar.
Gambar 1 adalah analisis kuadran untuk peluang kondisi tertentu:
Consumer Concern Perceived Effectiveness
. Ada dua hal yang dilakukan pengukuran dan pembobotan, yaitu efektivitas
suplemen yang tersedia di pasar dan perhatian konsumen dari kondisi kesehatan mereka. Terdapat
empat kuadran dalam matriks, kuadran I, II, III dan IV, di mana dari deskripsi masing-masing
deskripsinya, kuadran yang paling disukai adalah kuadran IV. Kuadran IV ini adalah berisikan jenis-
jenis kondisi kesehatan dengan tingkat responsif dari konsumen tinggi sementara ketersedian produk-
produk
botani untuk pemenuhan kebutuhan
konsumen akan kondisi tersebut sangat terbatas. Ini menjadi peluang
opportunity
primer. Karena di sinilah
topik-topik penelitian
yang akan
menghasilkan bisnis baru yang produk-produknya sangat dibutuhkan oleh konsumen. Peluang primer
terdiri dari kekhawatiran konsumen tentang kondisi kesehatannya yang terdiri dari: kanker
cancer ,
penurunan daya ingat
memory loss ,
stress
stress ,
depresi
depression ,
serangan jantung
heart disease,
kelebihan berat badan
weight ,
radang sendi
arthritis ,
dan nyeri sendi
joint pain .
Kuadran III adalah peluang sekunder, terdiri dari kondisi kesehatan konsumen berupa penuaan kulit
aging skin ,
masalah konsentrasi
concentration ,
aterosklerosis
atherosclerosis ,
kesehatan kulit
skin health
,
gelisah
anxiety ,
masalah penglihatan
vision ,
gangguan tidur
sleep disorder ,
dan peradangan dalam tubuh
inflammation in body
. Berikutnya, kuadran I dan II diklasifikasikan
sebagai daerah yang mempunyai peluang kurang menarik, di mana kuadran I yang paling tidak
menarik. Kuadran II dikualifikasikan sebagai peluang tersier dan kuadran I sebagai peluang
kuarter. Produk-produk botani di kuadran I dan II sudah banyak beredar di pasar. Artinya sudah banyak
pemasoknya, sehingga secara bisnis, persaingan sangat ketat. Sementara konsumen tidak begitu
khawatir dengan kondisi kesehatannya. Kuadran II terdiri dari pernernaan
digestive ,
asam lambung
acid reflux ,
demam dan pilek
c
o
ld and flu ,
tekanan darah tinggi
high blood pressure ,
kolesterol tinggi
high cholesterol ,
letih lesu
lack of energy
. Sementara kuadran I terdiri dari pencernaan tidak teratur
intestinal irregularly ,
meningkatkan kekebalan tubuh
boost immunity, indigestion
dan ketidakseimbangan gula darah
blood sugar imbalance
.
290
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Gambar 1. Kuadran Analisis Produk Botani untuk Peluang
Kondisi Tertentu:
Consumer Concern Perceived Effectiveness
.
Ada dua peluang yang mungkin menjadi pasar potensial dalam produk botani, yaitu peluang primer
dan peluang sekunder. Peluang primer berasal dari kondisi di mana efektivitas tersedianya suplemen
tidak banyak tetapi tingkat perhatian konsumen tentang kondisi kesehatan mereka tinggi. Suplemen
disini berarti produk botani di pasar. Konsumen sangat sensitif dengan jenis kondisi yang disebutkan
dalam peluang primer, tapi produk di pasar jarang didapatkan. Konsumen respek dengan suatu kondisi
kesehatan tertentu dan berupaya untuk menggunakan bahan-bahan alami untuk penyembuhannya. Akan
tetapi, pilihan akan produk-produk alami sangat terbatas. Peluang sekunder berasal dari kondisi di
mana efektivitas tersedia suplemen
‘sedikit’ tetapi perhatian konsumen tentang kondisi kesehatan
mereka juga rendah. Konsumen tidak terlalu banyak sensitif dengan jenis kondisi yang disebutkan dalam
peluang primer, tapi produk di pasar jarang terjadi. Namun demikian, ini tetap menjadi peluang dalam
penelitian botani, karena memang terbatasnya produk-produk
dalam pemenuhan
kebutuhan konsumen untuk peluang sekunder ini.
Gambar 2 adalah pemetaan penelitian botani LIPI, berdasarkan hasil grafik deskriptif dari kuadran
analisis
consumer perceived
yang ada di pasar. Dari pemetaan, topik penelitian yang paling banyak yang
dilakukan oleh LIPI terkait botani berada di kuadran II sebagai peluang tersier. Kuadran II adalah area
yang memiliki kompetisi yang tinggi, di mana banyak produk yang tersedia di daerah tersebut. Pada
kuadran II ini, kondisi efektivitas tersedianya suplemen banyak tetapi tingkat perhatian konsumen
tentang kondisi kesehatan mereka tinggi. Para produsen yang memiliki produk pada kuadran II,
mereka akan saling berebut konsumen, berebut pasar, dan berebut
brand image
. RD perusahaan biasanya bekerja keras untuk menjaga kontinuitas
dan sustainabilitas dari produk-produk mereka di pasar. Tidak jarang juga terjadi perang harga
price war
dari masing-masing perusahaan. Sebenarnya kegiatan penelitian dengan topik kuadran II tidak
cocok untuk LIPI sebagai lembaga RD pemerintah. Ini cocok untuk RD perusahaan-perusahaan
FMCG yang harus memperjuangkan produknya menang dalam perebutan konsumen.
Jika dianalisis kuadran I, yang bisa dikatakan sebagai kuadran dengan peluang terendah, ada
beberapa penelitian LIPI yang masuk ke dalam kuadran ini. Kondisi ini harus menjadi umpan balik
ke internal peneliti, karena kalau mengembangkan kuadran I sudah bisa dipastikan peluang pasarnya
kecil. Semestinya LIPI sudah meninggalkan area ini, karena secara pasar, melakukan penelitian ini sudah
pasti tidak ekonomis dan jauh dari inovasi. LIPI akan kalah bersaing dengan industri pembuat produk-
produknya langsung. Kuadran I adalah area yang memiliki kompetisi yang tertinggi, di mana banyak
produk yang tersedia di daerah tersebut. Sementara jumlah konsumennya terendah.
Gambar 2. Pemetaan
Penelitian-penelitian Botani
LIPI Berdasarkan Kuadran Analisis untuk Peluang
Kondisi Tertentu:
Consumer Concern Perceived Effectiveness
.
Sama dengan kuadran II, LIPI memiliki beberapa
penelitian di
kuadran III
yang dikategorikan sebagai peluang sekunder. Topik ini
sebenarnya lebih cocok untuk LIPI dibandingkan dengan kuadran II, karena produk-produk yang
dikembangkan untuk
pemenuhan kebutuhan
konsumen masih sangat sedikit. Walaupun tingkat perhatian konsumen ’rendah’, tetapi dengan
komunikasi pasar, tingkat perhatian ini bisa ditingkatkan.
291
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Peluang primer berasal dari kuadran IV yaitu kondisi di mana efektivitas tersedia suplemen tidak
terlalu tetapi perhatian konsumen tentang kondisi kesehatan mereka tinggi. Ini sangat cocok dijadikan
penelitian di lingkungan LIPI sebagai penggerak penyediaan
hasil penelitian-penelitian
botani. Dengan jumlah sumber daya manusia sebagai
peneliti, dan dengan dukungan teknologi, ditambah lagi dengan kondisi pasarnya yang potensial, maka
fokus utama LIPI harus berada pada kuadran IV. Industri mungkin belum masuk ke area ini, karena
kalau dilihat dari jenis-jenis kondisi kesehatan yang terdapat di dalamnya bisa digolongkan kepada
kondisi kesehatan yang ditakuti oleh konsumen, tetapi kasus kesehatannya sering dialami oleh
konsumen.
Tabel 2. Penelitian Botani LIPI 2002-2014 Berdasarkan Hasil Kuadran Analisis untuk Peluang Kondisi Tertentu:
Consumer Concern Perceived Effectiveness
.
Peluang Penelitian LIPI Kuadran
Persentase Penelitian
Primer IV
19 Sekunder
III 25
Tersier II
31 Kuarter
I 25
Tabel 2 menjelaskan persentase penelitian- penelitian botani. Jika diurutkan dari penjelasan di
atas maka terdapat 19 hasil dari penelitian botani di LIPI berpotensi secara pasar dan inovasi sebagai
peluang primer. Terdapat 25 berada pada peluang sekunder di mana jenis produk terbatas walaupun
tingkat tingkat perhatian konsumen ’rendah’. Tetapi dengan komunikasi pasar, tingkat perhatian ini bisa
ditingkatkan. Peluang tersier dan kuarter secara berturut-turut terdapat 31 dan 25 dari penelitian-
penelitian botani LIPI.
Untuk selanjutnya,
untuk mendapatkan
consumer insight
ini menjadi bagian dari kegiatan penelitian-penelitian LIPI dalam mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi di tingkat pasar dan konsumen. Karena inovasi hanya bisa dinilai jika
hasil-hasil penelitian memiliki dampak secara ekonomi, memiliki peluang bisnis dan mendapatkan
pasar.
PENUTUP
Peluang utama berasal dari kondisi di mana efektivitas tersedia suplemen tidak terlalu tetapi
kekhawatiran konsumen tentang kondisi kesehatan mereka tinggi, dan 19 hasil dari penelitian botani
di LIPI adalah bagian dari daerah ini. Peluang sekunder, tersier dan kuarter dari penelitian botani di
LIPI hasil untuk pasar berturut-turut adalah 25, 31 dan 25.
Sekarang, setelah kita mengetahui kondisi penelitian-penelitian botani LIPI dibandingkan
dengan kuadran analisis, maka, untuk proyek-proyek penelitian botani selanjutnya, kuadran IV harus
menjadi prioritas. LIPI semestinya bisa menjadi motor penggerak tren konsumsi dari masyarakat
sehingga bisa mengangkat kekuatan sumber daya alam dalam negeri.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Inovasi LIPI yang telah mendorong dan
memotivasi sehingga dihasilkannya tulisan ini serta perkenan untuk mengakses dan menggunakan data-
data Paten yang dikelola sebagai data utama. DAFTAR PUSTAKA
Blackwell, R. D. 2001.
Consumer Behaviour, 9 Ed.
Orlando: Harcourt College Publishers. Chesbrough, H. W. 2003. The Era of Open
Innovation.
MIT Sloan Management Review, Volume 44, Issue 9
, 35-41. Chesbrough, H. W. 2006.
Open Innovation: The New Imperative for Creating and Profiting from
Technology.
Cambridge: Harvard Business School.
Huston, L. S. 2006. Connect and Develop.
Harvard Business Review, March Ed.
, 58-66. Kotler, P. K. 2012.
Marketing Management, 14 Ed.
New Jersey: Pearson Prentice Hall, Inc. Natural Marketing Institute. 2011.
The US Botanical Market: Latest Consumer Insight.
New York: American Herbal Product Association
www.ahpa.com. Porter, A. L. 2007. Technology Mining to Drive
Open Innovation.
International Conference on
Technology Innovation,
Risk Management
and Supply
Chain Management
TIRMSCM
pp. 1-13.
Beijing: Universe Academic Press Toronto. Porter, A. L. 2011. Mining external RD.
Technovation, Volume 31, Issue 4
, 171-176.
292
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Tabel 1. Penelitian-penelitian Botani LIPI tahun 2002-2014 lanjutan No.
Penelitian Objek
Tujuan Pusat Penelitian
Tahun
1 Proses Pembuatan Antibiotik dan
Antibiotik yang Diperoleh dari Proses Tersebut
Mikroba tanah
Pseudomonas pycocyane
Antibiotik P2 Kimia
24-Jul-02 2
Lidah Buaya Celup Lidah buaya
Minuman kesehatan
UPT BPPTK 7-Sep-05
3 Bunga Rosela Seduh
Rosela Minuman
kesehatan UPT BPPTK
27-Jul-06 4
Biskuit untuk Penyandang Autis Campuran dekstrin
garut dan tepung pisang
Biskuit untuk penyandang
autis Pusbang TTG
Subang 5-Sep-06
5 Ekstrak, Total Flavonoid dan B-
Sitosterol pada Tanaman Sukun
Artocarpus altilis
sebagai Obat Kardiovaskular
Sukun
Artocarpus altili
s Kardiovaskular
P2 Kimia 12-Dec-07
6 Penggunaan dan Dosis Pemberian
Ekstrak Daun Jamblang untuk Terapi Penyakit Diabetes
Jamblang Diabetes
P2 Kimia 7-Oct-09
7 Enzim Inulinfruktotransferase dari
Aktinomiset dan Proses Pembuatan Difruktosa Anhidrida III yang
Melibatkannya Aktinomiset
Difruktosa anhidrida III
P2 Kimia 23-Nov-09
8 Proses Pembuatan Oligosakarida dengan
Kultur Sel
Aspergillus oryzae
dan Produk yang Dihasilkannya
Aspergillus oryzae
Oligosakarida P2 Biologi
16-Dec-09 9
Senyawa Fenilbutanoid dari Rimpang
Zingiber cassumunar Roxb
sebagai Imunostimulan dan Proses untuk
Menghasilkannya
Zingiber cassumunar Roxb.
Imunostimulan P2 Biologi
16-Dec-09
10 Ekstrak Alkohol dan Fraksi Turunan
dari Empon-Empon sebagai Imunomodulator dan Proses untuk
Memperolehnya Empon-empon
Imunomodulator P2 Biologi
16-Dec-09
11 Penggunaan Ekstrak Etanol Daun Sukun
Artocarpus communis
untuk Pembuatan Obat Antidiabetes Tipe II
Sukun
Artocarpus communis
Antidiabetes Tipe II
P2 Kimia 22-Dec-09
12 Metoda Pembuatan Produk Probiotik
Berbasis Non-susu sebagai Agen Antimikroba dan Penggunaan Produk
yang Dihasilkannya Mikroba yang
diisolasi dari sumber non-susu
berupa buah-buahan dan sayuran
Antimikroba P2 Biologi
3-Jun-10
13 Ekstrak dan Fraksi Aktif Hasil
Fermentasi
Streptomyces malaysiensis
Strain TT41 sebagai Agen Anti Jamur dan Anti Virus
Streptomyces malaysiensis
strain TT41
Anti jamur dan Anti virus
P2 Kimia 29-Jul-10
14 Proses Pembuatan Minuman Fungsional
Sari Jagung Manis Probiotik dan Produk yang Dihasilkannya
Jagung Minuman
fungsional Pusbang TTG
Subang 29-Jul-10
15 Senyawa Baru dari
Streptomyces Malaysiensis
Strain TT41 sebagai Obat Anti Virus RNA
Streptomyces malaysiensis
strain TT41
Anti virus RNA P2 Kimia
13-Aug-10 16
Proses Pembuatan Oligosakarida Berbahan Baku Bungkil Kelapa Sawit
dan Produk yang Dihasilkannya Bungkil kelapa
sawit Oligosakarida
P2 Bioteknologi 2-Sep-10
17 Sediaan Farmasi danatau Kosmetik
Nano-Emulsi yang Mengandung Asiatikosida dari Pegagan dan Ekstrak
Jahe sebagai Bahan Anti Selulit Pegagan dan ekstrak
jahe Anti selulit
topikal P2 Kimia
13-Oct-10
18 Mikrokapsul Sediaan Farmasi danatau
Kosmetik untuk Anti Selulit yang Mengandung Asiatikosida dan Ekstrak
Jahe untuk Penggunaan Oral Pegagan dan ekstrak
jahe Anti selulit
oral P2 Kimia
12-May-11
19 Minuman Fungsional Diet Serat
Berbasis Nanas dan Proses Pembuatannya
Nanas Minuman
fungsional Pusbang TTG
Subang 29-Jul-11
293
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
No. Penelitian
Objek Tujuan
Pusat Penelitian Tahun
20 Makanan Padat Berbahan Dasar Buah-
Buahan dan Proses Pembuatannya Buah-buahan
Makanan Pusbang TTG
Subang 11-Aug-11
21 Minuman Sereal Siap Saji Berbahan
Dasar Edamame dan Proses Pembuatannya
Edamame Minuman sereal
siap saji UPT BPPTK
21-Oct-11 22
Senyawa +-2,2-episitoskirin A sebagai Bahan Obat Antibakteri dan
Antikanker Jamur
Antibakteri dan antikanker
P2 Biologi 21-Oct-11
23 Penggunaan Ekstrak Etanol Daun
Brucea javanica
untuk Pembuatan Obat Antikanker
Brucea javanica
Antikanker P2 Kimia
21-Oct-11 24
Metode Kokultur
Bacillus megaterium
dengan
Monascus purpureus
untuk Menghasilkan Produk Fermentasi Tanpa
Sitrinin
Bacillus megaterium
dan
Monascus purpureus
Produk fermentasi tanpa
sitrinin P2 Biologi
15-Dec-11
25 Metoda Pembuatan Sediaan
Mikroenkapsulasi Probiotik yang Tahan Hidup pada Suhu Ruang
Probiotik P2 Biologi
26-Jan-12 26
Penggunaan Senyawa Asperulosida sebagai Bahan Obat Antikanker
Senyawa Asperulosida
Antikanker P2 Kimia
24-Feb-12 27
Makanan Padat Siap Saji yang Mengandung Inulin Berbahan Dasar
Buah-buahan dan Proses Pembuatannya Buah-buahan
Makanan fungsional
Pusbang TTG Subang
13-Apr-12 28
Ekstrak dan Fraksi untuk Bahan Obat Antidiabetes dari Tumbuhan
Kalanchoe Kalanchoe
Antidiabetes P2 Kimia
29-May-12 29
Pembuatan Oligosakarida dari Umbi Porang
Amorphophallus muelleri blume
Umbi Porang
Amorphophallus muelleri blume
Oligosakarida P2 Bioteknologi
8-Jun-12 30
Proses Pembuatan DFA III dari Umbi Dahlia Menggunakan Enzim Inulin
Fruktotransferase dari
Nonomurae
sp ID06-A0189
Umbi Dahlia DFA III
P2 Kimia 8-Jun-12
31 Ekstrak Hasil Fermentasi Kapang
Endofilik
Eupenicillium javanicum
dari Tanaman Keladi Tikus
Thyponium divaricatum
L. sebagai Bahan Obat Kanker
Keladi tikus
Thyponium divaricatum
L. Bahan obat
kanker P2 Kimia
30-Aug-12
32 Formula Nutrisi Tambahan yang
Mengandung Cincau Hitam
Mesona palustris
dan Proses Pembuatannya Cincau hitam
Mesona palustris
Formula nutrisi tambahan
UPT BPPTK 30-Nov-12
33 Cincau Hitam Seduh dan Proses
Pembuatannya Cincau hitam
UPT BPPTK 12-Dec-12
34 Senyawa C
12
H
9
NO
6
dan Ekstrak n- Butanol Kapang Endofitik
Eupenicillium javanicum
Strain yang Mengandung Senyawa Dimaksud
sebagai Obat Antikanker Kapang endofitik
Eupenicillium javanicum
strain Antikanker
P2 Kimia 23-Apr-13
35 Makanan Padat Berprotein Tinggi
Berbasis Kacang-kacangan Kacang-kacangan
Makanan fungsional
Pusbang TTG Subang
22-Oct-13 36
Biskuit dari Ubi Jalar Putih dan Beras Merah untuk Penderita Diabetes
Ubi jalar putih dan beras merah
Biskuit untuk penderita
diabetes UPT BPPTK
10-Dec-13 37
Penggunaan Ekstrak Etanolik
Peperomia pellucida
L.Kunth sebagai Antiviral Dengue
Peperomia pellucida
L.Kunth Antiviral
Dengue P2 Kimia
23-May-14 38
Penggunaan Ekstrak Daun Jengkol
Archidendron pauciflorum
sebagai Calon Obat Alami Antiviral Hepatitis C
Daun jengkol
Archidendron pauciflorum
Antiviral Hepatitis C
P2 Kimia 18-Jun-14
39 Biskuit Mengandung Antioksidan dan
Trigliserida Rantai Sedang Berbahan Dasar Tepung Pisang dan Kelapa serta
Proses Pembuatannya Pisang dan kelapa
Antioksidan dan trigliserida
Pusbang TTG Subang
23-Jul-14
40 Biskuit Sumber Kalium Berbahan Dasar
Tepung Pisang dan Proses Pembuatannya
Pisang Kalium
Pusbang TTG Subang
26-Sep-14
294
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
No. Penelitian
Objek Tujuan
Pusat Penelitian Tahun
41 Metode Pembuatan Starter
Monascus purpureus
untuk Menghasilkan Produk Fermentasi Tanpa Sitrinin
Monascus purpureus
Produk fermentasi tanpa
sitrinin P2 Biologi
20-Nov-14 42
Penggunaan Senyawa Apigenin dan 6- Prenil Apigenin dari Daun Benda
Artocapus elasticus
sebagai Anti Kanker Payudara
Benda
Artocapus elasticus
Anti kanker payudara
P2 Kimia 28-Nov-14
43 Penggunaan Vaticanol B dari Kayu
Kapur
Dryobalanops aromatica
sebagai Antiviral Hepatitis C dan Dengue
Kayu kapur
Dryobalanops aromatica
Antiviral Hepatitis C dan
Dengue P2 Kimia
23-Des-14
44 Penggunaan Butirolakton dari Kapang
Aspergillus Terreus
sebagai Antivirus Hepatitis
Kapang
Aspergillus terreus
Antivirus Hepatitis
P2 Kimia 23 -Des-14
295
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Peran Social Marketing Untuk Mencapai Sustainable Consumption
Role Of Social Marketing To Achieve Sustainable Consumption
Ayu Ekasari
Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa Grogol, Jakarta, 11440
Keyword A B S T R A C T
consumer innovativeness attitude
subjective norm, trust revealed information
perceived knowledge purchase intention
Sustainable Development is one of the agenda many countries, including Indonesia, would like to achieve should be approached by understanding
consumption from individual perspective as a player. Marketing discipline can contribute through social marketing implementation by changing
consumption pattern that leads to sustainable development. One of the sustainable consumption practices is using a reusable bag while shopping.
Hopefully, this will eliminate negative impact of disposable plastic bag commonly used by consumer. A series of hypotheses were tested to find out
whether consumer is willing to use a reusable bag. The main variables that drive purchase intention which are attitude, subjective norm , trust,
perceived knowledge , and consumer innovativeness play significant role
in forming positive consumers’ attitude towards reusable bag and their purchase intention . However, there is no significant influence of revealed
information on attitude towards reusable bag. Results of this research can help social marketers e.g retailers to design social marketing campaign
and educate consumers about the benefits of reusable bag.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
inovasi konsumen sikap
norma subjektif kepercayaan informasi
pengetahuan yang dirasakan niat beli
Sustainable Development sebagai salah satu agenda yang ingin dicapai
banyak Negara di dunia termasuk Indonesia selayaknya didekati juga dari aspek konsumsi di level paling bawah, yaitu menyangkut individu sebagai
pelaku langsung. Disiplin ilmu pemasaran dapat berperan melalui pemasaran social social marketing agar terjadi perubahan pola perilaku
konsumsi yang mengarah pada tercapainya sustainable development. Salah satu praktek sustainable consumption adalah menggunakan kembali reuse
tas yang digunakan untuk berbelanja. Praktek ini dilakukan untuk mengurangi dampak berbahaya limbah tas plastik yang dibuang begitu saja
Serangkaian hipotesis diuji untuk mengetahui sejauh mana intensi konsumen untuk membeli resusable bag.Variabel-variabel utama
pembentuk intensi pembelian yaitu attitude, subjectivenorm , trust, dan perceived knowledge
dan consumer innovativeness benar mendorong konsumen membeli reusable bag. Disamping itu, tingkat innovativeness
seseorangpun membuat sikap nya positif terhadap pembelian reusable bag. Demikian pula informasi yang tertera dalam reusable bag serta
pengetahuan tentangnya bisa meningkatkan intensi pembelian reusable bag.
Namun, tidak ada pengaruh signifikan informasi revealed information
di kemasan reusable bag terhadap peningkatan sikap positif konsumen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
pengambil kebijakan yang membawahi usaha eceran serta pengecer pada khususnya untuk mengedukasi konsumen tentang manfaat reusable bag
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding authorayuekasari3gmail.com
296
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Cepatnya pertumbuhan ekonomi di tiga dekade terakhir abad 20 ini telah mendorong
konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Dampak yang kini dirasakan
adalah
kerusakan lingkungan,
seperti meningkatnya gas rumah kaca, menipisnya
lapizan ozon di atmosfer, sumber daya tanah dan air yang tercemar serta rusaknya
ekosistem. Hal-hal tersebut menyadarkan akademisi,
pecinta lingkungan
maupun pemerintah untuk menjaga keseimbangan alam
dengan berproduksi dan berkonsumsi yang sehat.
Di tingkat global, banyak negara dan perusahaan besar di dunia mulai peduli pada
konsep berkelanjutan
sustainability
dan menjadikannya sebagai agenda besar untuk
dilaksanakan, seperti tertuang dalam
Earth Summit
di Rio de Janeiro tahun 1992 Peattie dan Charter, 2005; Schaefer dan Crane, 2005.
PBB membentuk
organisasi independen
pada tahun
1983,
World Commision on Environment and Development
yang ditugasi
mengidentifikasi masalah
pembangunan dan ekonomi serta mencari solusinya. Badan ini juga dikenal dengan nama
Brundtland Commision
, diambil dari nama pimpinannya, Gro Harlem Brundtland, yang
merupakan perdana menteri Norwegia. Salah satu anggota komisi adalah Emil Salim,
mantan
Menteri Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Pada tahun
1987, Brundtland
Commision menerbitkan sebuah laporan berjudul
“Our Common Future” yang
merupakan respons atas konflik yang muncul antara mempercepat pertumbuhan ekonomi
dengan degradasi lingkungan di skala global. Dalam laporan tersebut, dicetuskan konsep
sustainable development
yang menitikberatkan pada keadilan antar generasi,
yang berarti pemenuhan kebutuhan masa kini tidak boleh mengorbankan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut laporan tersebut, antara lingkungan dan
pembangunan
tidak bisa
dipisahkan. http:www.hks.harvard.edu
. Di ranah akademi, Brundtland Report
memunculkan perdebatan yang menarik, apakah pemasaran berperan dalam memicu
peningkatan konsumsi atau bisa memberi kontribusi
terhadap pemecahan
masalah lingkungan Peattie dan Peattie, 2008. Bahkan
pemasaran sering disebut antithesis dari keberlanjutan, karena pemasaran mendorong
orang
melakukan konsumsi,
sedangkan keberlanjutan justru mendorong orang untuk
memenuhi kebutuhan mereka konsumsi tanpa mengorbankan kepentingan generasi
mendatang Jones et.al, 2008; Her Majesty’s
Government
, 2005. Dari telaah para akademisi, pemasaran
juga dapat
berperan dalam
mencapai
sustainable development
melalui
sustainable consumption
yaitu merubah perilaku individu di level individu agar mengarah pada
keberlanjutan , seperti melakukan daur ulang, mengonsumsi makanan organik, maupun
menjalankan
pola hidup
sehat serta
berkonsumsi yang
bisa melestarikan
lingkungan demi generasi mendatang . Untuk mewujudkan
sustainable consumption
, diperlukan kesadaran individu untuk merubah
pola konsumsinya agar mempertahankan kelestarian lingkungan.
Melihat kritik terhadap pemasaran di atas, muncul pemikiran untuk memanfaatkan
social marketing
agar perilaku individu dapat diubah menuju gaya hidup berkelanjutan yang
tidak merugikan lingkungan alam Peattie dan Peattie,2008. Sesuai perkembangannya sejak
diperkenalkan oleh Zaltman dan Kotler 1971 hingga saat ini, makna
social marketing
tidak mengalami
banyak pergeseran,
yaitu penggunaan teknik-teknik pemasaran agar
target audience
secara sukarela bersedia menerima,
menolak, mengabaikan
dan memodifikasi suatu perilaku untuk mencapai
manfaat bagi individu, kelompok maupun masyarakat Andreassen, 1995, Kotler et.al,
2002,.
Social marketing
bisa dipraktekkan oleh berbagai pihak, antara lain pemerintah,
lembaga non profit maupun perusahaan manufacturingjasa.
Salah satu konsumsi berlebihan adalah penggunaan tas plastik yang apabila dibuang
sembarangan, akan mencemari tanah, karena plastik sukar terurai, sehingga dapat meracuni
tanah, padahal tanah adalah salah satu sumber daya alam yang perlu dijaga kelestariannya.
Penggunaan tas plastic paling banyak terjadi di perdagangan eceran
retailing.
297
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Akhir-akhir ini
retailers
sudah menyadari dampak berbahaya tas plastic
sehingga mereka mulai menawarkan tas belanja yang dapat digunakan kembali
reusable bag
, bukan sekedar tas plastik yang diklaim bisa didaur ulang dan cepat terurai.
Fenomena baru ini cukup menggembirakan, karena
retailer
bisa dikatakan
telah menerapkan
social marketing,
yaitu mengajak konsumen
merubah perilakunya
dengan menggunakan
reusable bag
untuk berbelanja
.
Di dalam Undang Undang Nomor 182008 yang mengatur tentang pengelolaan
sampah juga disebutkan agar pelaku bisnis membatasi penggunaan kantong plastik dan
mendorong konsumennya untuk mengurangi penggunaan kantong plastik saat berbelanja.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meluncurkan
gerakan ‘diet kantong plastik’ pada periode 1 Juni-14 Juli 2013 dalam rangka memperingati
HUT Jakarta ke 468. Kampanye tersebut
diberi tema “Satu Bulan Tanpa Kantong Plastik” dan diadakan selama
Jakarta Great Sale
. Disamping konsumen,
retailers
yang berpartisipasi dalam
Jakarta Great Sale
juga dihimbau untuk tidak menyediakan kantong
plastik bagi konsumen. www.jakarta.go.id
. Oleh karena
reusable bag
adalah sesuatu yang baru, tentu diperlukan kampanye
social marketing
untuk mendorong konsumen mau menggunakannya. Pemasar, dalam hal ini
retailer
, harus mengetahui terlebih dahulu faktor-faktor yang bisa mempengaruhi intensi
konsumen untuk merubah perilakunya, yaitu menggunakan tas yang sama dan dapat
digunakan
kembali reusable bag
saat berbelanja. Untuk itu diperlukan sikap
attitude
positif konsumen bahwa reusable bag benar-benar lebih baik dan bermanfaat
dibanding konsumen. Penelitian-penelitian terbaru meng-
indikasikan bahwa
berperilaku peduli
lingkungan yang mengarah pada
sustainable consumption
banyak dipengaruhi oleh aspek psikologis yang ada dalam diri manusia Park
dan Ha, 2012; Lao,2014; Shih, 2014; Chih dan
Yu,2015, antara
lain
consumer innovativeness, attitude, subjective norm
yang semuanya mengarah pada intensi melakukan
perilaku peduli linngkungan . Beberapa peneliti menemukan bahwa
untuk membangun sikap
attitude
positif konsumen dalam perilaku peduli lingkungan,
perlu adanya kepercayaan
trust, revealed information
serta
perceived knowledge
yang ada dalam diri konsumen tentang perilaku
peduli lingkungan
yang dikampanyekan
O’Fallon, 2007;Kim et.al, 2008; Garcia dan Margitris, 2008;Chih dan Yu, 2015. Seberapa
paham seseorang
akan informasi
yang terkandung dalam perilaku peduli lingkungan
misalnya kemasan serta pengetahuan yang dimiliki seseorang juga mempengaruhi sikap
dan intensinya berperilaku peduli lingkungan.
Consumer innovativeness
merupakan salah satu aspek kepribadian yang merujuk
pada kesediaan seseorang untuk menerima inovasi dan mengadopsinya mendahului orang
lain Rogers dalam Lao, 2014. Beberapa peneliti
menemukan bahwa
consumer innovativeness
mempengaruhi perilaku
konsumen dalam hal inovasi dalam pemasaran, seperti
online shopping
dan
e-banking
Lassar et,al, 2005; Chang, 2007.
Disamping itu
secara psikologis
terbukti bahwa pengaruh luar yang bisa berasal dari keluarga maupun teman
subjective norm
juga mendorong seseorang untuk menerima inovasi dalam perilaku peduli lingkungan
seperti membeli makanan organic serta produk ramah lingkungan dan membuatnya berniat
membeli
purchase intention
produk organik tersebut Kalafatis dan Pollard, 1999; Luo,
2010; Kim dan Chung,2011; Lao, 2014. Berdasarkan uraian di atas, penelitian
ini akan menganalisa bagaimana berbagai
antecedent
sikap
attitude
terhadap perilaku peduli lingkungan yang relative baru ,yakni
penggunaan
reusable bag
, dapat mengarah pada niat konsumen untuk menggunakan
reusable bagpurchase intention
demi terca- painya konsumsi berkelanjutan
sustainable consumption.
KERANGKA TEORI
Sikap
attitude
adalah komponen penting dalam Theory-of-Reasoned Action
Ajzen, 2001 yang sudah kokoh dan banyak dipakai untuk memahami perilaku konsumen
dan merupakan
predictor
untuk
purchase intention
dalam TRA. Penelitian tentang perilaku
peduli lingkungan
banyak menggunakan TRA dan terbukti bahwa makin
positif sikap seseorang terhadap perilaku
298
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
peduli lingkungan,
maka ia
berniat melaksanakannya Magnuson et.al, 2003; Park
dan Ha, 2012; Padel dan Foster, 2005; Honkanen et.al, 2006; Chih dan Yu, 2015;
Lao, 2014.
Subjective norm
juga merupakan
komponen TRA
yang menggambarkan
pengaruh dan tekanan sosial dari luar agar seseorang melakukan suatu tindakan Ajzen,
1991 dan banyak dipakai untuk memahami perilaku peduli lingkungan. Ajzen 1991
menyatakan bahwa
subjective norm
ditentukan oleh harapan orang lain bahwa seseorang
sebaiknya mengikuti norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Dalam hal penggunaan
reusable bag
, tekanan sosial ini bisa berupa pendapat orang, berita dari media, kampanye
sosial dari pemerintah dan lembaga non-profit. Adapun norma yang berlaku dan trend yang
berlaku saat ini adalah sebaiknya orang melakukan konsumsi secara berkelanjutan,
salah
satunya adalah
tidak mencemari
lingkungan. Beberapa
penelitian telah
membuktikan pengaruh positif
subjective norm
terhadap intensi melakukan perilaku peduli lingkungan Chan, 2007; Dean et.al, 2008;
Chih Yu, 2015. H1
:
Attitude
pada
reusable bag
berpenga- ruh positif terhadap
purchase intention
H2 :
Subjective norm
tentang
reusable bag
berpengaruh positif terhadap
purchase intention
Morgan dan Hunt 1994 menyatakan bahwa kepercayaan
trust
akan muncul jika salah satu pihak yakin akan integritas pihak
lain yang menjadi partner dalam pertukaran. Selanjutnya
trust
juga menjadi faktor penentu timbulnya sikap positif dan intensi pembelian
dalam konteks pemasaran Garbarino dan Johnson, 1999; Wu dan Chen, 2005; Gifford
dan Bernard, 2006. Salah satu perilaku yang
sustainable
adalah konsumsi
makanan organik, dan beberapa penelitian membuktikan
bahwa makin percaya orang terhadap manfaat makanan organic akan mendorong mereka
bersikap positif dan bersedia membelinya Wu dan Chen, 2005; Jannsen dan Hamm, 2012;
Chih dan Yu, 2015. H3 :
Trust
berpengaruh positif terhadap
attitude
pada
reusable bag
H4 :
Trust
berpengaruh positif terhadap
purchase intention
Di sisi lain, informasi yang jelas adalah sangat
penting bagi
konsumen dalam
pengambilan keputusan pembelian. Terlebih dalam
memutuskan untuk
menjalankan perilaku yang
sustainable
, misalnya membeli makanan organik, dibutuhkan informasi jelas
dan kredibel sehingga tercipta
trust
dan
attitude
positif tentang makanan organic Gracia dan Margitris, 2008. Khusus untuk
makanan organik, logo dan pelabelan berperan penting
dalam menyampaikan
informasi kepada konsumen karena dapat meningkatkan
sikap positif
dan intensi
pembelian Zakowska-Biemans, 2011 serta membantu
konsumen berpikir rasional terkait makanan organic O’Fallon et.al, 2007. Oleh karena
penggunaan
reusable bag
merupakan salah satu jenis
sustainable consumption
juga , sama dengan konsumsi makanan organik,
maka logo dan label yang memberi informasi tentang
reusable bag
juga diduga dapat meningkatkan sikap positif dan kepercayaan
terhadap tas tersebut. H5 :
Revealed information
berpengaruh positif terhadap
trust
pada
reusable bag
H6
: Revealed information
berpengaruh positif terhadap
attitude
pada
reusable bag
Pengetahuan yang dimiliki konsumen terkait
suatu perilaku
konsumsi dapat
mempengaruhi sikap dan kepercayaan untuk melaksanakan perilaku tersebut. Beberapa
penelitian terkait
salah satu
perilaku
sustainable
yaitu konsumsi makanan organik membuktikan bahwa pengetahuan konsumen
tentang manfaat
makanan organik
meningkatkan sikap positif mereka terhadap makanan organik Gifford dan Bernard, 2006;
Padel dan Foster, 2005. Terlebih lagi, makanan organik adalah sesuatu yang baru
bagi konsumen, sehingga pengetahuan yang memadai tentang makanan organik, dapat
meningkatkan kepercayaan mereka yang pada akhirnya
mendorong mereka
untuk membelinya
Vermeir dan
Verbeke, 2006;Hughner et.al, 2007, O’Fallon et.al,
2007; Gracia dan Margitris, 2008.
299
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Analog dengan pembahasan tentang makanan
organik, konsumen
perlu mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang mengapa
mereka sebaiknya
menggunakan
reusable bag
agar timbul kepercayaan dan sikap positif terhadap
reusable bag
. H7
:
Perceived knowledge
berpengaruh positif terhadap
trust
pada
reusable bag
H8 :
Perceived knowledge
berpengaruh positif terhadap
attitude
pada
reusable bag
Sebagai salah satu karakter dalam kepribadian,
innovativeness
menggambarkan derajat penerimaan seseorang akan sesuatu yang baru dan bisa dijadikan
faktor untuk dieksploitir pemasar dalam mengampanyekan
inovasi nya
kepada konsumen Schifman dan Kanuk, 2011.
Dalam konteks pemasaran, berbagai perilaku peduli lingkungan perlu dikampanyekan dan
dengan memahami
innovativeness
yang ada dalam
diri konsumen,
pemasar bisa
menerapkan strategi pemasaran yang tepat dengan menonjolkan
innovativeness
tersebut. Im et.al 2008 , Bartels dan Reinders 2010,
Chang dan Zu 2007 dan Lao 2014 menemukan bahwa
consumer innovativeness
mendorong konsumen bersikap positif dan berniat membeli makanan organik serta
pendingin ruangan hemat energi, dua diantara berbagai perilaku peduli lingkungan yang
merupakan inovasi produsennya.
Jika seseorang
mempunyai sisi
innovativeness
tinggi dalam dirinya, ia cenderung bersedia menerima norma dan
pengaruh yang berasal dari lingkungan eksternalnya. Diduga individu yang bersedia
menerima hal-hal baru akan lebih toleran dan modern dalam menghadapi tekanan dari pihak
lain untuk menerima suatu perilaku yang baru Lao, 2014.
H9
:
Consumer innovativeness
berpengaruh positif terhadap
attitude
pada
reusable bag
H10 :
Consumer innovativeness
berpengaruh positif terhadap
subjective norm
Gambar 1. Rerangka Konseptual METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini berupa uji hipotesis dan dilakukan secara
cross-sectional
serta menggunakan
konsumen individu
sebagai unit analisis. Sebanyak 150 orang individu yang mengunjungi
supermarket
Carrefour, Hero dan Superindo minimal tiga kali dalam enam bulan terakhir ini
. Construct Attitude, Subjective Norm, Trust, Revealed
Information, Perceived
Knowledge
dan
Purchase Intention
berikut instrument-
instrumennya diadopsi dari Chih dan Yu 2015,
sedangkan construct
Consumer Innovativeness
dan intrumen-instrumennya menggunakan pengukuran dari Lao 2014.
Kesemua instrument diukur menggunakan skala Likert 1-5, dimulai dari sangat tudak
setuju 1 hingga 5 sangat setuju.
Dari
loading factor
, dapat dilihat bahwa semua instrument lebih besar daripada
0.4, sehingga memenuhi persyaratan seperti dikemukakan Hair et.al 2006. Demikian pula
semua
construct
mempunyai koefisien
Cronbach Alpha
di atas 0.6 seperti disyaratkan oleh Sekaran dan Bougie 2013. Analisis data
dilakukan menggunakan software AMOS versi 19.1.
Consumer Innovativen
essss
Revealed Information
Perceived Knowledge
Subjective Norm
Attitude
Trust Purchase
Intention
300
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Table 1 Hasil Uji Validitas and Reliabilitas
Variable Loading Factor
Reliability Cronbach Alpha
Revealed Information 0,8746
1. Menurut saya, label Reusable Bag gambar daun, simbol daur
ulang memberikan informasi yang benar tentang Reusable Bag 2.
Menurut saya, label Reusable Bag gambar daun, simbol daur ulang memberikan informasi yang akurat tentang Reusable Bag
3. Menurut saya, label Reusable Bag gambar daun, simbol daur
ulang memberikan informasi yang memadai tentang Reusable Bag
4. Saya puas dengan informasi yang disediakan pada label
Reusable Bag gambar daun, simbol daur ulang Perceived Knowledge
0,784 0,872
0,872 0,784
0,7615 1.
Saya memiliki banyak pengetahuan tentang Reusable Bag 2.
Menurut pendapat saya, rata-rata orang Indonesia memiliki banyak pengetahuan tentang Reusable Bag
3. Menurut
pendapat saya,
pemerintah memiliki
banyak pengetahuan tentang Reusable Bag
4. Menurut pendapat saya, ilmu pengetahuan juga menyediakan
banyak pengetahuan tentang Reusable Bag. 5.
Menurut pendapat saya, industri retailereceran Supermarket dan Hypermarket juga menyediakan banyak pengetahuan
tentang Reusable Bag.
Subjective Norm 0,682
0,551 0,641
0,604 0,655
1. Menurut saya, keluarga saya berfikir saya sebaiknya membeli
Reusable Bag. 2.
Menurut saya, teman-teman saya berfikir saya sebaiknya membeli Reusable Bag.
3. Menurut saya, berita dan majalah mempengaruhi keputusan saya
membeli Reusable Bag. 4.
Menurut saya, dukungan pemerintah terhadap Reusable Bag mempengaruhi keputusan saya membeli Reusable Bag.
Attitudes 0,711
0,769 0,734
0,652 0,7911
1. Menurut saya, Reusable Bag mengandung lebih sedikit bahan
kimia di bandingkan tas plastik 2.
Menurut saya, Reusable Bag lebih aman untuk digunakan dibandingkan tas plastik.
3. Menurut saya, Reusable Bag lebih sehat untuk digunakan
dibandingkan tas plastik. 4.
Menurut saya, Reusable Bag lebih nyaman digunakan dibandingkan tas plastik.
5. Menurut saya, Reusable Bag memiliki kualitas lebih unggul
dibandingkan tas plastik. 6.
Menurut saya, harga Reusable Bag lebih mahal dibandingkan tas plastik.
7. Menurut saya, Reusable Bag lebih menarik untuk digunakan
dibandingkan tas plastik. Trust
0,478 0,776
0,805 0,637
0,720 0,455
0,498 0,8210
1. Saya berfikir retailereceranSupermarket dan Hypermarket
menyadari tanggung jawab mereka tentang menyediakan Reusable Bag
2. Saya percaya retailereceran Supermarket dan Hypermarket
yang menjual Reusable Bag benar-benar menjual tas yang berkualitas
3. Saya percaya pada label yang tertera di Reusable Bag gambar
daun, simbol daur ulang 4.
Saya percaya kepada retailereceran yang menjual Reusable Bag. 0,633
0,753 0,833
0,681
301
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Purchase Intention 0,8692
1. Jika Reusable Bag tersedia di retailereceranSupermarket dan
Hypermarket, saya akan membelinya. 2.
Saya bersedia untuk membeli Reusable Bag meskipun harganya mahal.
3. Kemungkinan saya membeli Reusable Bag sangat tinggi.
0,784 0,853
0,840 Consumer Innovativeness
0,8043 1.
Saya suka menggunakan produk dengan desain dan fungsi yang baru.
2. Saya suka membaca berbagai informasi dan berita baru tentang
produk baru 3.
Saya suka mempelajari dan menguasai perubahan dan karakteristik dari produk baru
0,722 0,706
0,779
Sumber: Data diolah
Mayoritas responden
adalah perempuan
berusia 19-23 tahun dengan jumlah seluruh responden perempuan sebesar 93 orang, dan
responden laki-laki sebanyak 57 orang.
Dari 150 responden yang terjaring, 148 orang pernah melihat reusable bag serta
mayoritas mereka
mengunjungi ketiga
supermarket besar Carrefour, Hero dan Superindo 3-6 kali selama enam bulan
terakhir ini.
1 49
50 ,7
32,7 33,3
39 39
,0 26,0
26,0 1
60 61
,7 40,0
40,7 2
148 150
1,3 98,7
100,0 Count
of Total Count
of Total Count
of Total Count
of Total 3 kali
6 kali 3 - 6 kali
INTNSTS
Total Tidak
Ya PRNHLHT
Total 46
9 2
57 ,0
30,7 6,0
1,3 38,0
2 75
11 5
93 1,3
50,0 7,3
3,3 62,0
2 121
20 7
150 1,3
80,7 13,3
4,7 100,0
Count of Total
Count of Total
Count of Total
laki-laki perempuan
JENKEL
Total 18 tahun
19 - 23 tahun 24 - 27 tahun
28 tahun USIA
Total
Tabel 2 Jenis Kelamin Dan Usia
Tabel 3 Intensitas Pernah melihat
302
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa ada 22 orang responden yang mengetahui kegunaan
resusable bag namun tidak memilikinya, sedangkan 124 orang mengetahui kegunaan
dan memiliki reusable bag.
Tabel 5 Hasil Uji Kesesuaian Model
Jenis Pengukuran Goodness of Fit
Index Nilai
Cut-Off Kesimpulan
Absolute Fit Measures
Chi square 834.02
Diharapkan dalam nilai kecil
Tidak goodness- of-fit
ρ-value 0.000
≥0.05 Tidak goodness-
of-fit Normed chi-square
CMINDF 2.129
Batas bawah 1, batas atas 5
Goodness-of-fit RMSEA
0.087 ≤0.10
Goodness-of-fit Incremental Fit
Measures NFI
0.717 ≥0.90
Marginal fit CFI
0.824 ≥0.90
Marginal fit Sumber : Data diolah
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa uji keseuaian model goodness-of-fit menunjukkan
bahwa model penelitian bisa diterima, karena ada beberapa kriteria yang mencapai goodness-
of-fit maupun marginal fit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian hipotesis, hanya satu hipotesis yang tidak didukung, yaitu
hipotesis 6 dengan ρ
-value
sebesar 0.207. Sedangkan kesembilan hipotesis lainnya
dengan ρ
-value
di bawah 0.05 didukung seperti dapat dilihat pada tabel berikut:
2 2
1,3 ,0
1,3 22
126 148
14,7 84,0
98,7 24
126 150
16,0 84,0
100,0 Count
of Total Count
of Total Count
of Total Tidak
Ya TAHU
Total Tidak
Ya PNYREBAG
Total
Tabel 4 Mengetahui Mempunyai
303
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Tabel 6 Hasil Uji Hipotesis
Hipotesis
Coeffiecient p-value
Keputusan
H1 : Attitudes →
Purchase Intention 0,338
0,026 H1: Didukung
H2 : Subjective Norm→ Purchase
Intentions 0,568
0,000 H2 : Didukung
H3 : Trust →
Attitudes 0,736
0,003 H3: Didukung
H4 : Trust →
Purchase Intentions 0,810
0,000 H4 : Didukung
H5 : Revealed Information
→ Trust 0,171
0,008 H5 : Didukung
H6 Revealed Information→
Attitudes 0,067
0,207 H6: Tidak didukung
H7: Didukung H7 : Perceived
Knowledge →
Attitudes 0,467
0,018
H8 : Perceived Knowledge
→ Trust 0,625
0,000 H8 : Didukung
H9 : Consumer Innovativeness
→ Subjective Norm
0,892 0,000
H9 : Didukung
H10 : Consumer Innovativeness
→ Attitudes
0,311 0,009
H10 : Didukung Sumber: Data diolah
304
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Adanya pengaruh
positif sikap
attitude
dan
subjective norm
terhadap intensi membeli
reusable bag
membuktikan
Theory-of-Reasoned Action
yang dikemukakan oleh Fishbein 1991 dan
beberapa penelitian sebelumnya terkait perilaku peduli lingkungan Magnuson et.al,
2003; Park dan Ha, 2012; Padel dan Foster, 2005; Honkanen et.al, 2006; Chih dan Yu,
2015; Lao, 2013; Chan, 2007; Dean et.al, 2008. Hal ini memperlihatkan bahwa jika
seseorang merasa
reusable bag
aman lebih aman, mengandung lebih sedikit bahan
kimia, lebih sehat, lebih menarik dan nyaman untuk digunakan, maka ia terdorong untuk
membeli
dan menggunakannya
untuk berbelanja.
Adanya pengaruh positif kepercayaan
trust
terhadap sikap
attitude
pada
reusable bag
dan intensi membelinya juga menguatkan penelitian sebelumnya dalam
konteks perilaku peduli lingkungan Wu dan Chen, 2005; Jannsen dan Hamm, 2012; Chih
dan Yu, 2015. Pembuktian kedua hipotesis ini menunjukkan kepercayaan konsumen
terutama
terhadap
retailer
pengecersupermarket yang menjual
reusable bag
sehingga mereka berniat membeli dan menggunakannya.
Yang menarik adalah walaupun informasi yang tertera pada
reusable bag revealed
information
meningkatkan kepercayaan
konsumen, namun
tidak berpengaruh positif terhadap sikap akan
reusable bag
. Kedua hasil ini selain mendukung
juga bertentangan
dengan penelitian Chih dan Yu 2015 yang
menyatakan
revealed information
berpengaruh positif terhadap sikap dan kepercayaan
pada perilaku
peduli lingkungan.
Diduga walaupun informasi yang tertera pada reusable bag berupa gambar
daun dan symbol daur ulang baru cukup membuat konsumen mempercayai bahwa
supermarket
tempat mereka berbelanja sudah bertanggung jawab akan perlunya menjaga
kelestarian lingkungan, namun tidak cukup kuat membentuk sikap positif mereka
terhadap
reusable bag
. Informasi yang tertera di tas belum bisa membuat konsumen
yakin bahwa tas tersebut benar-benar lebih nyaman, sehat , aman , tidak mengandung
bahan kimia serta nyaman digunakan. Keterangan yang ada di tas juga tidak
memberi informasi tentang manfaat
reusable bag
, sehingga konsumen tidak merasa perlu membelinya.
Selain itu,
terdapat kemungkinan bahwa untuk meningkatkan
sikap positif diperlukan terlebih dahulu kepercayaan sebagai variabel
intervening
seperti dikemukakan oleh Janssen dan Hamm, 2012; Vermeir dan Verbeke, 2006;
Zakowska-Biemans, 2011.
Dengan demikian seperti pembuktian penelitian-
penelitian lalu, informasi yang tertera dalam
reusable bag
adalah
predictor
kuat untuk menimbulkan
kepercayaan yang
pada akhirnya akan meningkatkan sikap positif
dan niat membelinya. Di sisi lain, pengetahuan yang
dimiliki konsumen tentang
reusable bag
ternyata bisa memberi pengaruh positif terhadap sikap dan kepercayaan terhadap
reusable bag
seperti telah dibuktikan oleh beberapa peneliti sebelumnya Vermeir dan
Verbeke, 2006;Hughner e t.al, 2007, O’Fallon
et.al, 2007; Gracia dan Margitris, 2008 . Hasil ini memperlihatkan bahwa konsumen
sudah mempunyai
pengetahuan cukup
tentang reusable bag, disamping mereka juga mengetahui
bahwa pemerintah
dan pengecer
retailer
sudah memberikan
pengetahuan yang memadai tentang manfaat
reusable bag
. Tingkat
innovativeness
konsumen ternyata terbukti meningkatkan sikap positif
mereka terhadap penggunaan
reusable bag
dan intensi untuk membelinya seperti dibuktikan oleh Lao 2014 tentang pengaruh
consumer innovativeness
terhadap sikap dan intensi
melakukan perilaku
peduli lingkungan. Mereka yang suka menggunakan
produk dengan disain dan fungsi baru, gemar membaca informasi tentang produk baru
serta suka mempelajari perubahan dan karakteristik
produk baru,
cenderung menganggap
reusable bag
memang lebih aman, sehat dan berkualitas serta bersedia
membelinya.
305
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENUTUP
Penelitian ini merupakan pionir dalam memahami perilaku peduli lingkungan
terkait penggunaan tas untuk berbelanja yang bukan
terbuat dari
plastik. Dengan
menggunakan model
penelitian yang
menggabungkan beberapa variabel untuk melengkapi
Theory-of-Reasoned Action
yang sudah terbukti , penelitian ini mencoba
menjelaskan faktor-faktor yang mendorong sikap positif dan intensi pembelian
reusable bag
, salah satu perilaku peduli lingkungan yang amat jarang diteliti.
Oleh karena masyarakat Indonesia masih terbiasa menggunakan tas plastik saat
berbelanja, beberapa saran bisa dilaksanakan oleh
retailer
dalam mengembangkan
kampanye
social marketing
untuk merubah perilaku konsumen.
Pertama, diperlukan informasi yang memadai di kemasan tas untuk mendorong
konsumen mempercayainya dan bersikap positif akan pemakaian
reusable bag
. Saat ini beberapa
reusable bag
sudah menyantumkan simbol daur ulang dan kalimat tentang
penyelamatan lingkungan,
antara lain:
“selamatkan lingkungan untuk hari esok yang lebih baik”, “sahabat lingkungan”,
“lindungi lingkungan kita”, “
reduce, reuse, go green
”. Namun kalimat-kalimat tersebut masih terlalu abstrak dan normatif , sehingga
perlu penjelasan lebih konkrit. Sebaiknya ditambahkan kaitan penggunaan
reusable bag
dengan penyelamatan lingkungan serta bahaya tas plastic bagi lingkungan terutama
tanah. Kalimat-kalimat tersebut bisa dibuat dengan ringkas, padat dan diletakkan secara
propo sional , misalnya: “hindari tas plastik
sekali pakai yang bisa mencemari tanah, gunakan tas yang bisa digunakan kembali”.
Oleh karena tidak ada pengaruh positif
revealed information
terhadap
attitude
, maka diperlukan informasi yang tepat dan konkrit
untuk membangun kepercayaan konsumen terlebih dahulu .
Kedua,
retailer
juga dapat
meningkatkan pengetahuan
konsumen melalui
komunikasi pemasaran,
yaitu
banner
yang terpasang di beberapa tempat di dalam supermarket terutama di pintu masuk
dan tempat pembayaran, serta penempelan tulisan di sudut-sudut tertentu yang strategis
agar konsumen mudah membacanya. Selain itu, dalam pencetakan brosur
flyer
yang sering dilakukan
retailer
saat ada promosi, juga dicantumkan pengetahuan tentang
manfaat menggunakan
reusable bag
.
Retailer
juga perlu mengadakan kampanye khusus dengan memberi
reward
berupa hadiah atau potongan harga bagi konsumen yang
berbelanja menggunakan
reusable bag
. Untuk mengomunikasikan manfaat
reusable bag
dapat juga dilakukan melalui
website
perusahaan , dengan menampilkan foto tas yang dijual serta pengetahuan terkait bahaya
menggunakan tas plastik bagi lingkungan. Demikian
pula, kasir
yang melayani
konsumen dilatih agar menawarkan
reusable bag
kepada konsumen dan secara singkat menjelaskan
manfaatnya saat
sedang melayani konsumen, disamping
reusable bag
itu sendiri diletakkan di dekat kasir untuk memudahkan konsumen melihatnya.
Ketiga, seiring temuan penelitian bahwa
ciri kepribadian
innovativeness
terbukti berpengaruh positif terhadap
attitude
dan
subjective norm
, maka dalam kampanye sosial juga perlu dicantumkan bahwa mereka
yang menggunakan
reusable bag
adalah
innovator
. Diharapkan,
hal ini
dapat meningkatkan
kepercayaan diri
dan kebanggaan mereka yang menggunakan
reusable bag
.
Retailer
juga harus merancang
reusable bag
secara inovatif, seperti tas yang bisa dilipat kecil serta menggunakan bahan
baku yang berasal dari bahan daur ulang. Dalam kampanyenya,
retailer
sebaiknya menyampaikan bahwa dengan menggunakan
reusable bag
sebagai salah satu inovasi perilaku peduli lingkungan , maka dampak
positifnya akan dirasakan oleh masyarakat luas,termasuk orang-orang dekat konsumen,
seperti keluarga dan teman, yaitu tanah tidak tercemar oleh tas plastik sekali pakai yang
langsung dibuang.
Keempat, penelitian membuktikan bahwa
subjective norm
berpengaruh positif terhadap intensi membeli
reusable bag
, serta adanya pengaruh positif
innovativeness
terhadap
subjective norm
. Jika konsumen
306
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
percaya bahwa orang-orang dekat mereka berpikir bahwa menggunakan
reusable bag
adalah bermanfaat,
retailer
dapat menyampaikan kegunaan
reusable bag
bagi masyarakat
secara umum
misalnya: mengurangi penggunaan tas plastik yang bisa
mencemari sumber daya alam yaitu tanah, ramah lingkungan karena dibuat dari bahan
baku
hasil daur
ulangyang tidak
mengandung zat kimia untuk meningkatkan sikap positif konsumen .
Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain jumlah responden
yang relatif sedikit serta tidak dibedakan antara mereka yang belum mengetahui
reusable bag
dan sudah mengetahuinya. Disamping itu, penelitian ini juga tidak
meneliti jenis
reusable bag
lain yaitu tas plastik yang diklaim bersifat mudah terurai
biodegradable
sehingga tidak mencemari tanah dan biasanya diberikan langsung oleh
kasir saat konsumen membayar. Penelitian ini juga tidak memasukkan peran variabel
trust
sebagai
mediator
antara
perceivedknowledge
dan
revealed information
terhadap
attitude
seperti yang dinyatakan olehJanssen dan Hamm, 2012,
Vermeir dan Verbeke 2006, Zakowska- Biemans 2011 tentang pentingnya faktor
trust
dalam membangun sikap positif. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan
Theory- of-Reasoned Action
untuk memahami intensi berperilaku yang sebenarnya teori ini telah
dikembangkan lagi menjadi
Theory of Planned Behavior
oleh Ajzen 1991 dengan memasukkan variabel
perceived behavioral control
untuk lebih tepat memprediksi
behavioral intention
. Untuk
peneliti selanjutnya,
hendaknya memperbesar jumlah sampel serta melakukan uji beda antara konsumen yang
sudahbelum mengetahui manfaat
reusable bag
sehingga bisa diketahui bagaimana cara yang tepat untuk mengampanyekan
reusable bag
kepada dua kelompok tersebut. Akan menarik jika peneliti berikutnya melakukan
perbandingan sikap dan intensi konsumen terkait dua jenis
reusable bag
, yaitu yang terbuat
dari plastik
mudah terurai
biodegradable
dan yang terbuat dari kainbahan daur ulang. Perbedaan dua jenis
reusable bag
tersebut adalah tas plastik
biodegradable
sudah digunakan
untuk menempatkan barang belanjaan dan gratis
karena langsung diberikan oleh kasir, sedangkan
reusable bag
dari kain harus dibeli.
Untuk menambah kontribusi teoritis, peneliti yang akan datang juga sebaiknya
mengembangkan model penelitian dengan memasukkan variabel
trust
sebagai
mediator
yang menghubungkan variabel
revealed information
dan
perceived knowledge
terhadap
attitude.
Penggunaan
Theory-of- Planned Behavior dengan memasukkan
variabel
Perceived Behavioral Control
juga bisa diterapkan untuk meneliti lebih lanjut
bagaimana sikap dan intensi membeli konsumen terkait
reusable bag
, suatu perilaku peduli lingkungan yang relatif
masih baru sehingga perlu dikampanyekan.
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, Icek. 1991. From Intentiosn to Actions: A Theory of Planned
Behavior. Downloaded
from www.d.umn.edulibcopyright
. …………………. The Theory of Planned
Behavior. 1991.
Organizational and Human Decision Process,
50, p. 179- 211.
Andreassen Alan R. 1994. Social Marketing: Its Definition and Domain.
Journal of PublicPolicy Marketing
, Vol.13 1, p. 108-114.
……………………..2002. Marketing Social Marketing in the Social Change
Marketplace.
Journal of PublicPolicy Marketing,
Vol 211, p. 3-13
.
……………………. 2003. The Life Trajectory of Social Marketing Some
Implications. Marketing Theory Vol 3 3, p.293-303.
Bartels, J. and Reinders, M. 2010, Social identification, social representations,
and consumerinnovativeness
in
307
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
organic food context,
Food Quality and Preference
, Vol. 21 No. 4,pp. 347-352.
Chang, Y.P. and Zhu, D.H. 2007, Factors influencing consumers’ intention of
online-shopping:an empirical study from
the angle
of consumer
innovativeness,
China Journal
ofManagement
, Vol. 4 No. 6, pp. 820-523.
Chen, W.P. 2011, An empirical study on the relationship
among consumer
lifestyle, consumerinnovativeness and new
product buying
behavior,
Economic Management
, Vol. 33 No. 2,pp. 94-101
.
Chih-Ching and Teng Yu Mei-Wang 2015. Decisional Factors Driving Organic
Food Consumption.
British Food Journal
Vol.117 Iss 3. Pp 1066-1081 Dean, M., Raats, M.M. and Shepherd, R.
2008, Moral concerns and consumer choice for freshand processed organic
foods,
Journal of Applied Social Psychology
, Vol. 38 No. 8,pp. 2088- 2107.
Garbarino, E. and Johnson, M.S. 1999, The different roles of satisfaction, trust,
and commitment
in customer
relationships,
Journal of Marketing
, Vol. 63 No. 2, pp. 70-87.
Gifford, K. and Bernard, J.C. 2006, Influencing
consumer purchase
likelihood of
organic food,
International Journal
of Consumer Studies
, Vol. 30 No. 2, pp. 155-163
.
Gracia, A. and Magistris, T.D. 2008, The demand for organic foods in the south
of Italy: adiscrete choice model,
Food Policy
, Vol. 33 No. 5, pp. 386-396. Hair, Joseph . et.al. 2006.
Multivariate Data Analysis
. Sixth Edition. Pearson International Edition.
Her Majesty’s Government. 2005. Securing the Future. Vol. 6467, cm. 6467,
available at:
www.sustainable- development.gov.ukpublicationsuk-
strategyindex.htm Honkanen, P., Verplanken, B. and Olsen,
S.O. 2006, Ethical values and motives driving organicfood choice,
Journal of Consumer Behaviour
, Vol. 5 No. 5, pp. 420-430.
Hughner, R.S., McDonagh, P., Prothero, A., Shultz, C.J. II and Stanton, J. 2007,
Who are organicfood consumers? A complication and review of why
people
purchase organic
food,
Journal of Consumer Behaviour
, Vol. 6 Nos 2-3, pp. 94-110.
Im, S., Bayues, B. and Mason, C. 2003. An empirical
study of
consumer innovativeness,
personalcharacteristics, and
new- product adoption behavior,
Academy of Marketing Science
,Vol. 31 No. 1, pp. 61-73.
Janssen, M. and Hamm, U. 2012, Product labelling in the market for organic
food: consumerpreferences
and willingness-to-pay
for different
organic certification logos,
Food Qualityand Preference
, Vol. 25 No. 1, pp. 9-22.
Kalafatis, S. and Pollard, M. 1999, Green marketing and Adjen’s theory of
planned behavior:
across-market examination,
Journal of Consumer Marketing
, Vol. 16 No. 5, pp. 441- 460.
Kim, H. and Chung, J. 2011, Consumer purchase intention for organic personal
care product,
Journal of Consumer Marketing
, Vol. 28 No. 1, pp. 40-47. Kotler, Philip and Levy, Sidney. 1969.
Broadening the
Concept of
Marketing.
Journal ofMarketing
, vol. 33, No. 1, p. 1-15.
Kotler, Philip and Zaltman, Gerard. 1971. An Approach to Planned Social Change.
Journal ofMarketing
35, p. 3-12. Lao, Kefu 2014, Research on mechanism of
consumer innovativeness influencing green consumption behavior,
Nankai
308
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Business Review
, Vol. 5 No. 2, pp 211-224
Lassar, W., Manolis, C. and Lassar, S. 2005. The relationship between consumer
innovativeness, personal
characteristics, and online banking adoption,
International Journal of BankingMarketing
, Vol. 23 No. 2, pp. 176-199.
Luo, C. 2010, Influencing factors analysis of consumers’ willingness to pay for
safe food,
ChinaRural Survey
, No. 6, pp. 22-34.
Magistris, T.D. and Gracia, A. 2008, The decision to buy organic food products
in SouthernItaly,
British Food
Journal
, Vol. 110 No. 9, pp. 929-947. Magnusson, M.K., Arvola, A., Hursti,
U.K.K., Aberg, L. and Sjoden, P.O. 2003, Choice of organicfood is
related to perceived consequences for human
health and
to environmentallyfriendly
behavior,
Appetite
, Vol. 40 No. 2, pp. 109-117 Morgan, R.M. and Hunt, S.D. 1994, The
commitment-trust theory
of relationship
marketing,
Journal of
Marketing
, Vol. 58 No. 3, pp. 20-38. O’Fallon, M.J., Gursoy, D. and Swanger, N.
2007, To buy or not to buy: impact of labelling onpurchasing intentions of
genetically modified
foods,
International Journal
of HospitalityManagement,
Vol. 26 No. 1, pp. 117-130.
Padel, S. and Foster, C. 2005, Exploring the gap between attitudes and behavior
understandingwhy consumers buy or do not buy organic food,
British Food Journal
,Vol. 107 No. 8, pp. 606-625. Park, Joohjung and Ha Sejin. 2012.
Understanding pro-environmental
behavior: A
comparison of
sustainable consumers and apathetic consumers.
International Journal of Retail and Distribution Management
, Vol 40, Iss 5, p. 388-403.
Peattie, K. 2001. Golden goose or wild goose? The hunt for the green
consumer.
Business Strategy and the Environment
, Vol. 10, n0. 4, p. 187- 199.
…………. and Crane, A. 2005. Green Marketing: legend, myth farce or
prophecy? Qualitative
Market Research, Vol. 8, No. 4, p. 357-370.
………….. and Peattie, Sue 2008. Social Marketing:
a Pathway
to Consumption Reduction? Journal of
Business Research, xx, p. 1-9. Peattie, Sue and Peattie, K. 2003. Ready to
fly solo?
Reducing Social
Marketing’s Dependence
on Commercial
Marketing Theory.
Marketing Theory
, 33, p. 363-385. Schiffman, Leon G and Leslie Lazar Kanuk
2009.
Consumer Behavior
Prentice Hall, Inc.
Vermeir, I. and Verbeke, W. 2006, Sustainable
food consumption:
exploring the
con- sumer‘attitude-
behavioural intention’ gap,
Journal of Agricultural
and Environmental
Ethics
,Vol. 19 No. 2, pp. 169-194. Wu, I.L. and Chen, J.L. 2005, An extension
of trust and TAM model with TPB in the initialadoption of on-line tax: an
empirical study,
International Journal of Human-ComputerStudies,
Vol. 62 No. 6, pp. 784-808. Zakowska-Biemans,
S. 2011,
Polish consumer food choices and beliefs
about organic food,
British Food Journal
, Vol. 113 No. 1, pp. 122-137.
309
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Analisis Ekspor Impor Komoditas Prioritas Hortikultura di Indonesia
Export Import Analysis of Horticulture Priority Commodity in Indonesia
Nurahapsari, RA
1
, Khaririyatun, N
2
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura , Jl. Ragunan No 29A, Jakarta
2
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu No. 517, Bandung
Keyword A B S T R A C T
fluctuation hot pepper
potatoes shallot
This research have two aims, 1 to analyze the export import development of horticulture priority commodities in Indonesia 2 to identify the factors that
influenced the instability of the value of exports and imports priority commodities of horticulture.
The horticulture
priority commodities in
Indonesia are hot
pepper, shallots and potatoes. The data used export import data of hot pepper, shallots and potatoes period 2009
–
2013 from Data and System of Agriculture Information Center at Ministry of Agriculture Indonesia. Research
methode by deskriptif analized. The results showed that 1 During the period 2009
–
2013 occurs the deficit trade balance which caused by the total volume of imports bigger than the total volume of exports. Export volume growth in the period 2009-
2013 is -0.53year. The lowest growth rate shown by the export of seed potatoes - 70.82 per
year, followed
by fresh potatoes -3.88 year, hot
peppers 10,16 per year and shallots 54,05 per year. Growth in the volume of
imports vegetables priority in the
period 2009-2013 is
31,42year. The
highest growth rates shown by fresh potatoes 76,08 per year, hot peppers 65.49 per year, shallots 20,66 per year, and potato seedlings -4.91 per
year. 2 The growth of export and import expenditure receipts caused by the growth of the volume of exports and imports. The decomposition analysis
results indicate that the fluctuation of exports and imports value caused by fluctuation of export and imports volume. Therefore, It is necessary to maintain the
supply continuity of three priority commodities to keep the stability of export and import value.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
fluktuasi cabai
kentang bawang merah
Penelitian ini bertujuan mengkaji perkembangan ekspor impor komoditas prioritas hortikultura Indonesia dan mengidentifikasi faktor faktor yang menyebabkan
ketidakstabilan nilai ekspor dan impor komoditas tersebut. Komoditas yang dianalisis adalah cabai, bawang merah dan kentang. Data yang digunakan adalah data ekspor
impor cabai, bawang merah dan kentang periode 2009 – 2013 dari Pusat Data dan
Sistem Informasi Kementerian Pertanian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 2009
– 2013 terjadi defisit neraca perdagangan yang disebabkan oleh total volume impor yang lebih besar dari total volume ekspor. Pertumbuhan volume ekspor pada periode
2009 – 2013 adalah -0,53 tahun. Tingkat pertumbuhan terendah diperlihatkan oleh
ekspor kentang bibit -70.82 tahun, diikuti oleh kentang segar -3,88 tahun, cabai 10,16 tahun dan bawang merah 54,05 tahun. Pertumbuhan volume
impor sayuran prioritas pada periode 2009 – 2013 adalah 31,42 tahun. Tingkat
pertumbuhan tertinggi diperlihatkan oleh kentang segar 76,08 tahun, diikuti oleh cabai 65,49 tahun, bawang merah segar 20,66 tahun, dan kentang bibit -4,91
tahun. Pertumbuhan penerimaan ekspor dan pengeluaran impor disebabkan oleh pertumbuhan volume ekspor dan impor. Hasil analisis dekomposisi menunjukkan
bahwa fluktuasi nilai ekspor dan impor disebabkan oleh fluktuasi volume ekpor dan impor. Oleh karena itu diperlukan upaya menjaga kontinuitas pasokan ketiga
komoditas prioritas tersebut untuk menjaga stabilitas penerimaan ekspor dan impor.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. E-mail address: nugra_hapsariyahoo.co.id
310
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akan berpengaruh ganda terhadap daya saing
Indonesia dalam
perdagangan internasional.
Melemahnya nilai tukar rupiah dapat berdampak negatif bagi industri dalam negeri melalui 2 cara,
yaitu 1 memberatkan industri dalam negeri dalam mengembalikan pinjaman dana asing, dan 2
memberatkan industri dalam negeri yang bahan bakunya mengandung komponen impor. Namun
disisi lain melemahnya nilai tukar rupiah akan menguntungkan bagi industri yang berorientasi
ekspor. Huda 2006 menjelaskan bahwa salah satu upaya pemerintah untuk mendapatkan devisa luar
negeri adalah dengan jalan mengekspor hasil hasil sumberdaya alam ke luar negeri. Hasil devisa ini
dapat
digunakan untuk
menambah dana
pembangunan dalam negeri. Oleh karena itu kegiatan ekspor memegang peranan penting dalam
pembangunan nasional. Hortikultura merupakan salah satu subsektor
yang memiliki kontribusi dalam keseimbangan volume dan nilai ekspor impor sayuran Indonesia.
Subsektor hortikultura menempati posisi strategis dalam pembangunan sektor pertanian Kementan,
2012. Sayuran merupakan komoditas
cash crop
yang secara nyata mendatangkan keuntungan bagi petani di Indonesia Anwar et al., 2005 dan
memiliki peranan penting dalam mendukung ketahanan pangan Taufik, 2012. Terdapat tiga
jenis sayuran yang ditetapkan sebagai komoditas prioritas hortikultura, yaitu cabai, bawang merah
dan kentang.
Posisi ketiga komoditas tersebut dalam keseimbangan ekspor impor sangat dipengaruhi
oleh fluktuasi
produksi. Cabai
merupakan komoditas hortikultura dengan fluktuasi harga yang
tinggi dan menjadi penyebab inflasi. Hal ini dikarenakan belum adanya keseragaman kuantitas,
kualitas dan kesinambungan pasokan yang sesuai preferensi konsumen. Sementara itu bawang merah
menghadapi permasalahan intensitas tanaman sudah maksimal, bersifat musiman, mudah rusak, dan
penanganan belum optimal. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga relatif tinggi terutama saat
off season
. Disamping kuantitas produksi, keberhasilan
Indonesia dalam meningkatkan ekspor sayuran sangat
tergantung kepada
kemampuan memproduksi sayuran yang sesuai dengan standar
mutu internasional
Anwar et
al., 2005.
Meningkatnya pendapatan
dan kesejahteraan
masyarakat serta pertumbuhan penduduk perkotaan telah mengubah pola konsumsi, produksi dan
distribusi pangan Reardon et al., 2009, dimana masyarakat menuntut kualitas produk pada tingkat
tertentu yang lebih baik Ditjen Horti, 2008. Pertumbuhan
ekonomi dan
pendapatan menyebabkan perubahan pola konsumsi penduduk
dari makanan pokok ke produk buah buahan dan sayuran bernilai tinggi. Oleh karena itu upaya
peningkatan ekspor dapat dilakukan melalui pengembangan komoditas sayuran yang berorientasi
pada pemenuhan standar mutu hasil, salah satunya melalui cara budidaya yang benar Taufik, 2012.
Pemenuhan standar mutu hasil yang baik harus diimbangi dengan manajemen produksi dan
stok yang baik untuk mencegah ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan. Namun demikian
peningkatan impor tidak selalu berdampak negatif jika barang yang diimpor merupakan input yang
digunakan untuk memproduksi barang yang diekspor. Surplus atau defisit neraca perdagangan
yang masih berada dalam batas kewajaran merupakan gejala umum dalam dinamika sistem
perekonomian yang sedang berkembang. Witono, 2010.
Analisis ekspor impor ini penting dilakukan untuk mengetahui keseimbangan ekspor impor dan
penyebab ketidakseimbangan
ekspor impor
komoditas hortikultura prioritas. Hasil analisis dapat menjadi masukan dalam merumuskan kebijakan
pembatasan laju impor, khususnya untuk cabai, kentang dan bawang.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP
Teori Permintaan dan Penawaran
Kurva permintaan merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diminta oleh
konsumen pada berbagai tingkat harga, sedangkan harga barang terkait, pendapatan, iklan dan variabel
lain dianggap
konstan. Kurva
penawaran merupakan kurva yang menggambarkan jumlah
barang yang diproduksi oleh produsen pada berbagai tingkat harga, sementara harga input,
teknologi dan variabel lain dianggap konstan Baye 2006.
Faktor faktor yang menentukan jumlah kuantitas yang diminta antara lain harga komoditi
itu sendiri, rata rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi
pendapatan diantara rumah tangga dan populasi. Sedangkan Faktor faktor yang menentukan jumlah
yang ditawarkan antara lain harga komoditi itu sendiri, harga input, tujuan perusahaan dan
perkembangan teknologi Lipsey
et al.
1995. Perubahan jumlah barang yang diminta atau
ditawarkan akibat perubahan harga dengan asumsi variabel
lain konstan
akan mengakibatkan
pergerakan di sepanjang kurva permintaan atau penawaran Lipsey
et al.
1995 dan Baye 2006. Sementara pergeseran kurva permintaan atau
311
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
penawaran terjadi akibat perubahan faktor lain pada harga yang sama Baye 2006.
Teori Perdagangan Internasional
Teori klasik
perdagangan internasional
mengacu pada publikasi Adam Smith yang berjudul
wealth of nation
dan David Ricardo yang berjudul
principles of economics
Sen, 2010. Dalam teori keunggulan absolut, negara akan memperoleh
manfaat perdagangan internasional gains from trade karena melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang yang merupakan keunggulan mutlak negara tersebut dan akan mengimpor barang
yang merupakan ketidakunggulan mutlak negara tersebut Safitri, 2011. Teori Klasik
Comparative advantage
menjelaskan bahwa
perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan
dalam
productivity of labor
faktor produksi yang secara eksplisit dinyatakan antar negara Salvatore,
2004. Kelemahan
teori ini
adalah tidak
memberikan penjelasan
mengenai penyebab
perbedaan produktivitas tersebut. Perbedaan produktivitas tersebut kemudiaan
dijelaskan oleh teori Hechser-Ohlin. Menurut teori H-O, perbedaan opportunity cost suatu produk
antara suatu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi
produksi yang dimiliki
endowment factors
masing – masing negara. Perbedaan
opportunity cost
tersebut dapat menimbulkan terjadinya perdagangan Internasional Safitri, 2011. Oleh karena itu teori
modern H- O ini dikenal sebagai ‘
The Proportional
Factor Theory”. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam
memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya.
Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor
produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.
Dalam teori perdagangan internasional, faktor faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari
sisi penawaran
supply side
dan permintaan
demand side
Krugmann dan Obstfeld, 2005; Salvatore, 1996. Dari sisi permintaan, ekspor
dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan dunia dan kebijakan deregulasi.
Sedangkan dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil,
kapasitas produksi yang bisa diproduksi melalui investasi, impor bahan baku dan kebijakan
deregulasi Sari et al., 2013. Teori Ekspor Impor
Perdagangan luar
negeri menyebabkan
terjadinya perubahan dari beberapa variabel dalam sektor ekonomi yang akan mendorong laju
pertumbuhan ekonomi negara tersebut Masrizal, 2004.
Ketergantungan Indonesia
pada perdagangan
internasional sebagai
mesin penggerak perekonomian nasional ini cukup
besar Safitriani,
2014.
Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi berarti
tersediaannya lapangan kerja yang lebih luas dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi Rachman,
2013. Berdasarkan teori ekonomi, variabel yang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi adalah
konsumsi,
investasi, pengeluaran
pemerintah, ekspor dan impor.
Ekspor adalah upaya menjalankan atau melakukan penjualan komoditas yang kita miliki
kepada bangsa lain atau negara asing sesuai dengan ketentuan
pemerintah dengan
mengharapkan pembayaran dalam valuta asing, serta melakukan
komunikasi dengan bahasa asing Amir, 2004.
Ekspor mencerminkan aktivitas perdagangan antarbangsa yang dapat memberikan dorongan
dalam dinamika pertumbuhan perdagangan internasional Todaro, 2002.
Kegiatan ekspor dapat memberikan sebuah
competitive advantage
bagi perusahan individual, meningkatkan posisi finansial perusahaan, meningkatkan kegunaan
kapasitas, dan menaikan standar teknologi Hamdy 2009.
Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara
legal, umumnya dalam proses perdagangan Safitri, 2011.
Impor juga bisa
dikatakan sebagai
perdagangan dengan cara memasukkan barang dari luar negeri ke wilayah Indonesia dengan memenuhi
ketentuan yang berlaku Hutabarat, 1996. Perdagangan
internasional ekspor
dan impor dan
Foreign Direct Investment
merupakan dua aktivitas penting bagi perekonomian Indonesia
yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya Safitriani, 2014. Hasil penelitian Benny 2013
menunjukkan bahwa secara simultan maupun secara parsial variabel ekspor dan impor berpengaruh
signifikan terhadap cadangan devisa di Indonesia. Artinya, jika ekspor naik maka posisi cadangan
devisa akan naik dan jika impor naik maka posisi cadangan devisa akan turun. Kegiatan ekspor impor
akan mengakibatkan terjadinya perpindahan faktor faktor produksi dari negara eksportir ke negara
importer yang disebabkan oleh perbedaan biaya dalam proses perdagangan internasional Salvatore,
2007. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa data ekspor
impor sayuran selama periode 2009 – 2013 dari
Badan Pusat Statistik. Analisis terbatas pada tiga
312
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
komoditas prioritas hortikultura, yaitu cabai, bawang dan kentang. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari hasil survei ke lokasi sentra komoditas prioritas di Indonesia, yaitu Brebes,
Tasikmalaya dan Garut. Neraca Perdagangan
Neraca perdagangan
sayuran dianalisis
dengan membandingkan besaran volume atau nilai ekspor dengan volume atau nilai impor secara serial
waktu. Hasil perbandingan dapat memberikan gambaran sebagai berikut: 1 jika volumenilai
ekspor lebih besar dibandingkan dengan volume atau nilai impor, maka negara bersangkutan
dikategorikan sebagai
net exporter
, 2 jika volumenilai impor lebih besar dibandingkan
dengan volumenilai ekspor, maka negara yang bersangkutan dikategorikan sebagai
net importer.
HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Perdagangan Cabai, Bawang dan
Kentang
Nilai ekspor impor cabai, bawang dan kentang selama priode 2009
– 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan pada ketiga
komoditas tersebut Gambar 1. Defisit neraca
perdagangan tersebut disebabkan karena defisit volume perdagangan. Gambar 2 menunjukkan
adanya fluktuasi volume impor dengan trend yang meningkat sebesar 31,42 persen per tahun,
sedangkan volume ekspor berfluktuasi dengan tren yang menurun sebesar 0,53 persen per tahun.
Faktor lain yang mempengaruhi fluktuasi nilai impor cabai, bawang dan kentang selama 2009
– 2013 adalah fluktuasi harga. Kenaikan nilai impor selama periode 2009
– 2012 disebabkan oleh peningkatan volume impor dan harga impor.
Sementara pada
periode 2012-2013
terjadi penurunan nilai impor yang disebabkan oleh
penurunan volume impor. Adapun penurunan volume impor pada tahun 2012-2013 disebabkan
oleh peningkatan harga impor yang cukup besar pada periode tersebut Gambar 2. Penurunan
volume impor ini juga merupakan dari pembatasan pintu masuk untuk produk hortikultura sejak 28
September 2012. Melalui kebijakan ini pemerintah menutup beberapa pelabuhan impor untuk produk
hortikultura, sehingga impor hanya boleh masuk melalui pelabuhan Belawan Tanjung Perak,
Makasar dan bandara Soekarno-Hatta Winardi, 2013.
Sementara fluktuasi nilai ekspor cabai, bawang dan kentang lebih banyak dipengaruhi oleh
volume ekspor ketiga komoditas tersebut. Adapun fluktuasi ekspor mengikuti hukum permintaan
dimana saat harga ekspor naik, maka volume ekspor turun. Namun hal yang berbeda terjadi pada periode
2010
– 2011 dimana kenaikan nilai ekspor disebabkan oleh kenaikan volume dan harga secara
bersama sama Gambar 2. Neraca Perdagangan Kentang
Nilai ekspor impor kentang selama priode 2009
– 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan pada komoditas tersebut. Nilai impor
kentang menunjukkan tren yang meningkat dengan laju pertumbuhan 65,79 persen per tahun.
Sementara itu meskipun nilai ekspor kentang masih di bawah nilai impornya, akan tetapi nilai ekspor
kentang juga menunjukkan tren meningkat dengan laju pertumbuhan 11,52 persen per tahun. Hal ini
berarti ekspor kentang masih memiliki peluang untuk terus ditingkatkan.
Gambar 3. Nilai Ekspor Impor Kentang 2009
– 2013 Gambar 1. Nilai Ekspor-Impor Cabai, Bawang
dan Kentang 2009 – 2013
Gambar 2. Neraca Perdagangan Cabai, Bawang dan Kentang 2009
– 2013
313
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Gambar 4. Volume dan Harga Ekspor Kentang 2009
– 2013
Peningkatan nilai ekspor kentang selama periode 2009
– 2013 disebabkan karena adanya peningkatan harga sebesar 18,47 persen per tahun
untuk kentang segar dan 9,02 persen per tahun untuk kentang bibit, sedangkan volume ekspor
justru mengalami penurunan sebesar 3,88 persen per tahun untuk kentang segar dan 70,82 persen per
tahun untuk kentang bibit Gambar 4.
Peningkatan nilai impor kentang selama periode 2009 -2013 disebabkan karena adanya
peningkatan volume impor kentang segar sebesar 76,08 persen per tahun, sedangkan
volume
impor kentang bibit mengalami penurunan sebesar 4,91
persen per tahun. Faktor lain yang menyebabkan peningkatan nilai impor kentang adalah peningkatan
harga impor kentang sebesar 2,92 persen per tahun untuk kentang segar dan 18,15 persen per tahun
untuk kentang bibit Gambar 5.
Gambar 5. Volume dan Harga Impor Kentang 2009
– 2013
Bibit kentang yang diimpor adalah varietas atlantik yang diperuntukkan untuk industri keripik
yaitu memenuhi kebutuhan PT Indofood. Kentang diimpor dalam bentuk segar dan bekusetengah olah
untuk
baked potato, mashed potato
dan
french fries
. Sebagian besar bibit kentang diimpor dari Australia.
Hal ini dikarenakan varietas G0 untuk kentang jenis ini belum diproduksi di Indonesia. Kerjasama
produksi G0 ini pernah diusahakan, akan tetapi terdapat
ketidaksepakatan masalah
royalty lisensinya. Adiyoga 2000 menjelaskan bahwa
tingginya konsumsi masyarakat Indonesia pada produk kentang olahan membuka peluang bagi
kegiatan penelitian dan pengembangan varietas kentang untuk keperluan prosessing agar laju impor
dapat ditekan. Neraca Perdagangan Cabai
Nilai ekspor impor cabai selama priode 2009 – 2013 menunjukkan adanya defisit neraca
perdagangan cabai Gambar 6. Defisit neraca perdagangan tersebut disebabkan karena adanya
peningkatan volume impor cabai sebesar 65,49 persen per tahun dan harga impor cabai sebesar 9,68
persen per tahun. Sementara volume dan harga ekspor mengalami peningkatan dengan nilai yang
lebih kecil yaitu sebesar 10,16 persen per tahun untuk volume ekspor cabai dan 11,40 persen per
tahun untuk harga ekspor cabai. Defisit volume perdagangan cabai terjadi selama periode 2009 -
2012. Surplus perdagangan cabai baru terjadi pada tahun 2013 Gambar 7.
Gambar 6. Nilai Ekspor-Impor Cabai 2009 – 2013
Gambar 7. Neraca Perdagangan Cabai 2009
– 2013
Tingginya volume impor cabai disebabkan tingkat konsumsi cabai yang tinggi di Indonesia.
Oleh karena itu kebijakan pelarangan impor
314
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
memacu pemerintah meningkatkan produksi cabai guna memenuhi kebutuhan dan menjaga stabilitas
harga Hudayya dan Yufdy, 2015. Hal ini cukup efektif menurunkan volume ekspor cabai dan
meningkatkan volume impor cabai pada tahun 2013 Gambar 7.
Neraca Perdagangan Bawang Merah
Nilai ekspor impor bawang selama priode 2009
– 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan bawang Gambar 8. Defisit neraca
perdagangan tersebut disebabkan karena volume impor bawang yang jauh lebih besar dibandingkan
volume ekspor
bawang. Namun
demikian peningkatan volume ekspor bawang selama periode
2009 – 2013 54.05 thn lebih besar
dibandingkan peningkatan volume impor bawang 20.66 thn. Demikian juga dengan peningkatan
harga ekspor bawang 15.74 thn yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan harga
impor bawang 1.44 thn. Hal ini menunjukkan adanya potensi nilai ekspor bawang melebihi nilai
impor bawang di masa yang akan datang Gambar 9. Hasil survey di Brebes menunjukkan bahwa
bibit bawang yang diimpor adalah varietas ilokos yang berasal dari Filipina. Varietas tersebut ditanam
dengan metode kemitraan di Brebes. Hasil produksinya kemudian diekspor kembali ke
Filipina.
Gambar 8. Nilai Ekspor-Impor Bawang 2009
– 2013
Gambar 9. Neraca Perdagangan Bawang 2009
– 2013
Peningkatan volume ekspor bawang merah salah satunya ditunjang oleh adanya peningkatan
produksi bawang merah. Selama periode 2009 –
2013 terjadi peningkatan produksi bawang merah sebesar 1,65 persen per tahun. Produksi bawang
merah sebetulnya sudah mampu mencukupi kebutuhan. Namun produksinya yang tidak merata
di
sepanjang tahun
menyebabkan produksi
melimpah di saat panen raya dan kekurangan produksi di saat musim paceklik. Oleh karena itu
untuk dapat menurunkan impor bawang merah maka diperlukan upaya upaya untuk menjaga
produksi bawang merah merata di sepanjang tahun PENUTUP
Nilai ekspor impor cabai, bawang dan kentang selama priode 2009
– 2013 menunjukkan adanya defisit neraca perdagangan pada ketiga
komoditas tersebut. Defisit neraca perdagangan tersebut
disebabkan karena
defisit volume
perdagangan. Faktor lain yang mempengaruhi fluktuasi nilai impor cabai, bawang dan kentang
selama 2009 – 2013 adalah fluktuasi harga.
Kenaikan nilai impor selama periode 2009 – 2012
disebabkan oleh peningkatan volume impor dan harga impor. Sementara pada periode 2012-2013
terjadi penurunan nilai impor yang disebabkan oleh penurunan volume impor.
Adapun penurunan volume impor pada tahun 2012-2013 disebabkan oleh peningkatan harga
impor yang cukup besar pada periode tersebut. Sementara fluktuasi nilai ekspor cabai, bawang dan
kentang lebih banyak dipengaruhi oleh volume ekspor ketiga komoditas tersebut. Adapun fluktuasi
ekspor mengikuti hukum permintaan dimana saat harga ekspor naik, maka volume ekspor turun.
Namun hal yang berbeda terjadi pada periode 2010
– 2011 dimana kenaikan nilai ekspor disebabkan oleh kenaikan volume dan harga secara bersama
sama.
Kontinuitas pasokan
ketiga komoditas
prioritas tersebut perlu dijaga untuk menjamin stabilitas penerimaan ekspor dan impor. Oleh
karena itu diperlukan UU yang mengatur kebijakan impor produk hortikultura.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W. 2000. Perkembangan Ekspor-Impor dan
Ketidak-stabilan Penerimaan
Ekspor Komoditas Sayuran di Indonesia. Jurnal
Hortikultura. Vol. 10, No.1, 2010. Benny, J. 2013. Ekspor dan Impor Pengaruhnya
Terhadap Posisi
Cadangan Devisa
di Indonesia. Jurnal
EMBA, Vol.1,
No.4, Desember 2013, hal 1406
– 1415. Hamdy, Hady. 2009. Teori dan Kebijakan
315
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Perdagangan Internasional Ghalia Indonesia, Jakarta.
Huda, S. 2006. Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Non Migas Indonesia
ke Jepang. Jurnal Ilmu-Ilmu Ekonomi Vol.6 No 2. September 2006: 117
– 124. Hudayya, A. dan Prama Y. 2015. Dinamika
Produksi Cabai: Dahulu dan Sekarang. Pendekatan
Dinamika Sistem
Dalam Peningkatan
Daya Saing
Komoditas Hortikultura.
Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Hutabarat, R. 1996. Transaksi Ekspor Impor. Erlangga. Jakarta.
Krugman, P.R., and Obstfeld, 2005. Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. Jakarta: PT.
Indek Kelompok Gramedia. Masrizal,2004. Ekspor, Dana Luar Negeri dan
Pertumbuhan Ekonomi : Kasus Indonesia , Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang.
Rachman, I. 2013. Analisis Kinerja Ekspor Komoditi Perkebunan Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi di Sulawesi Utara. Jurnal EMBA, Vol. 1, No.3, September 2013, Hal. 401
– 410. Reardon, T., Barret, C. B., Berdegue, J.A. and
Swinnen, J.F.M. 2009.Agrifood Industry Tranformation
and Small
Farmers in
Developing Countries, World Development 37 11: 1717 -1727.
Safitri, Luthfi. 2011. Analisis Kinerja Ekspor dan Impor Tembakau Indonesia Periode 2000
– 2009. Media Ekonomi, Vol. 19, No.2, Agustus
2011. Safitriani, S. 2014. Perdagangan Internasional dan
Foreign Direct Investment di Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 8,
No. 1, Juli 2014: 93 – 116.
Salvatore, D., 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke 5. Bandung: PT. Gelora Aksara
Pratama Salvatore, D. 2004, International Economics,
Eight Edition, Wiley. Salvatore, D. 2007. International Economics.
Prentice-Hall.
Sari, D.N. 2013. Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Kopi Arabika Aceh.
Jurnal Ilmu Ekonomi. Vol 1, No.1, Februari 2013: 11
– 21. Sen, S. 2010. International Trade Theory and
Policy: A Review of The Literature. Working Paper No. 635. Levy Economics Institute of
Bard College.
Taufik, M. 2012. Strategi Pengembangan Agribisnis Sayuran di Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang
Pertanian, 31, 2.
Todaro, P. 2002. Pembangunan Ekonomi Dunia ke Tiga, Edisi 7. Erlangga. Jakarta.
Winardi, W. 2013. Dampak Pembatasan Impor Hortikultura
Terhadap Aktivitas
Perekonomian, Tingkat
Harga dan
Kesejahteraan. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2013.
316
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Analisis Kompensasi pada UKM Komoditi Susu di Kota Bogor
Compensation Analysis Milk SMEs in Bogor City
Arinindya Retnaningtyas,
Departemen Manajemen FEM, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 16680
Keyword A B S T R A C T
compensation qualitative descriptive analysis
small and medium enterprises Small and Medium Enterprises SMEs has a big role for economic
growth in Indonesia. SMEs ca n reveal the creativity of the society as well as an effort to promote the countrys natural resources, causing a lot of
the people hang their lives in SMEs. Although it’s called small and medium enterprises, doesn’t mean the owner can refuse to provide welfare
for employees. One way that can be done is to give the right compensation in order to maintain the loyalty of employees with effective and efficient
expenses. The purpose of this research are: 1 To determine the compensation system applied by milk SMEs in Bogor city; 2 To analyze
the suitability of the application of the compensation with coincident method and overlapping method for milk SMEs in Bogor city 3 To
analyze the properness of the system of compensation based on the minimum wage standard in Bogor. The author uses a non-probability
sampling technique, that is convenient sampling in selecting sample of SMEs, as well as surveying the business owners and employees of SMEs.
The analytical method used is descriptive qualitative analysis. This research resulted the idea of the appropriate system of compensation to
apply in SMEs in order to improve employee productivity and to streamline business expenses.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
kompensasi analisis deskriptif kualitatif
usaha kecil dan menengah Berkembangnya peran UKM bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
memiliki berbagai macam kreativitas anak bangsa dan juga sebagai salah satu upaya mempromosikan sumberdaya alam negeri, menyebabkan
banyak sekali masyarakat kita menggantungkan hidup mereka dalam usaha tersebut. Meski terbilang UKM, bukan berarti pemilik usaha bisa
menolak untuk memberikan kesejahteraan bagi para pegawainya. Salah satu cara yang bisa dilakukan pemilik adalah dengan memberikan
kompensasi yang tepat guna menjaga loyalitas para pegawai dengan pengeluaran yang tetap efektif dan efisien bagi usahanya. Tujuan dari
hasil penelitian ini adalah: 1 Untuk mengetahui sistem kompensasi yang diterapkan oleh UKM komoditi susu di Kota Bogor ; 2 Untuk
menganalisis ketepatan penerapan sistem kompensasi dengan Metode Berimpitan dan Metode Tumpang Tindih bagi UKM komoditi susu di
Kota Bogor; 3 Untuk menganalisis kelayakan sistem kompensasi dengan penetapan standar UMR Kota Bogor. Penulis menggunakan Teknik non-
probability sampling,
yaitu dengan convenient sampling dalam pemilihan sampel UKM, serta melakukan survey langsung pada pemilik usaha dan
karyawan UKM. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Kesimpulan penelitian ini menghasilkan gagasan
sistem pemberian kompensasi yang tepat untuk diaplikasikan pada UKM guna meningkatkan produktivitas kerja karyawan serta mengefisiensikan
pengeluaran usaha.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author. E-mail address: arinindya25gmail.com , amaliaaviliani10gmail.com
317
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan
negara dengan
penduduk nomor empat terbanyak di dunia, dengan jumlah penduduk 253.609.643 jiwa menurut
Departemen Perdagangan
AS melalui
biro sensusnya pada tahun 2014. Dan menurut Badan
Pusat Statistik BPS secara fantastis menunjukkan bahwa, dari 253.609.643 penduduk Indonesia,
tercatat ada 121,87 juta penduduk Indonesia berada pada usia angkatan kerja.
Dengan jumlah angkatan kerja sebanyak itu, seharusnya
dapat membawa
perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Namun
sayangnya, menurut hasil survei IMD terhadap 59 negara pada tahun 2012 Indonesia menempati
peringkat 58 mengenai produktivitas pegawai yang bekerja di Indonesia.
Menurut hasil survey yang dilakukan oleh IMD terhadap 59 negara pada tahun 2012. Tercatat
Indonesia menempati urutan ke 10 sebagai negara dengan jumlah jam kerja terbanyak yaitu sebanyak
2100 jamtahun, seperti yang dapat kita lihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1.
Kondisi SDM Indonesia Hasil Survey IMD tahun 2012 dari 59 Negara Terkemuka
sumber :
Laporan RENSTRA
KEMENAKERTRANS 2015-2019
Jika kita lihat lebih lanjut, sebenarnya kondisi tersebut sungguh ironis apabila kita coba
membandingkan antara perolehan peringkat ke-10 untuk jam kerja terbanyak, dengan produktivitas
tenaga kerja yang berada jauh di bawah, yaitu pada urutan ke 58.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan produktivitas kinerja pekerja tidak sesuai atau tidak
berkembang sebagaimana seharusnya, bisa dari faktor lingkungan perusahaan ataupun faktor
individu pegawai itu sendiri. Apabila dari faktor lingkungan perusahaan, salah satu penyebabnya bisa
dikarenakan
oleh cara
perusahaan tersebut
menyejahterakan para pekerjanya, misalnya dari pemberian penghargaan atau pemberian insentif dan
kompensasi yang layak. Namun pada prakteknya, sistem kompensasi di Indonesia belum berjalan
sebagaimana mesti dan baiknya. Pemerintah sudah menerapkan upah minimum regional UMR untuk
tiap-tiap daerah untuk digunakan sebagai acuan pemberian upah bagi buruh. Kenyataannya banyak
pengusaha yang masih memberikan gaji dibawah UMR yang sudah ditetaki masih terapkan
pemerintah. Praktek kompensasi seperti ini banyak ditemui di lingkungan usaha kecil dan menengah.
Sebagian besar angkatan kerja yang ada di Indonesia
turut berkontribusi
dalam mengembangkan usaha kecil dan menengah.
Berdasarkan data Kementrian Koperasi dan UKM pada tahun 2012, tercatatat sebanyak 7.797.993
orang bekerja untuk UKM. Data ini menunjukkan bahwa sebenarnya begitu banyak rakyat yang
menggantungkan hidupnya pada usaha kecil dan menengah ini. Oleh karena itu, sesungguhnya UKM
ini memegang peranan yang sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
UKM di Indonesia tersebar dari Sabang sampai
Merauke, masing-masing
mencoba meeksplor kekayaan alam yang dimiliki untuk
dapatnya bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Mulai dari bidang
fashion
hingga kuliner yang tidak pernah mati oleh waktu. Salah satu
wilayah yang terkenal akan berbagai macam jenis UKMnya adalah wilayah Kota Bogor, Jawa Barat.
Kota yang cukup dekat dengan daerah ibukota ini dikenal dengan bermacam-macam sajian kuliner
yang didominasi oleh UKM. Saat ini yang lebih gencar dipromosikan adalah produk komoditi susu.
Susu merupakan salah satu sumber daya alam yang bisa divariasikandimanfaatkan dalam
berbagai bentuk kuliner. Mulai dari minuman murni hingga pendamping bahan pembuat kue. Di daerah
Bogor sendiri, UKM komoditi susu sudah semakin ramai menjadi perbincangan anak-anak muda,
khususnya para mahasiswa yang tengah menimba ilmu di kota tersebut. Para pegawai dan
owner
nyapun tak jarang dijumpai merupakan anak- anak usia muda yang produktif bekerja, seperti
mahasiswa ataupun pelajar untuk menambah uang jajan mereka.
Melihat hal tersebut, meski tergolong jenis usaha yang masih kecil, namun bukan berarti
karyawan yang bekerja dalam UKM tidak berhak mendapatkan fasilitas dan hak yang layak dari
perusahaan UKM yang menaunginya, contohnya pemberian kompensasi yang layak dari atassan
UKM. Untuk melakukan hal tersebut, ada beberapa sistem pemberian insentif atau kompensasi yang
bisa UKM gunakan untuk lebih menyejahterakan para pekerjanya, sehingga diharapkan pekerja dapat
lebih giat dalam menjalankan tugas dan bisa mempromosikan produk-produk dalam negeri yang
318
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
didominasi oleh hasil kekayaan alam kita sendiri melalui kreativitas yang dimiliki para UKM
tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah; 1 Untuk
menganalisis prinsip kompensasi ideal bagi UKM komoditi susu di Kota Bogor ; 2 Mengidentifikasi
sistem kompensasi yang lebih efektif untuk diterapkan pada UKM komoditi susu di Kota Bogor
; 3 Untuk menganalisis strategi implementasi sistem kompensasi ideal bagi UKM komoditi susu
di Kota Bogor
Ruang Lingkup penelitian ini terbatas pada usaha kecil berdasarkan jumlah tenaga kerja dengan
produk utama susu di wilayah Kota Bogor. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP
Usaha Kecil dan Menengah UKM
Badan Pusat Statistik BPS memberikan definisi UMKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja.
Usaha kecil merupakan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 orang samapai dengan 19 orang,
sedangkan usaha menengah merupakan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 20 orang sampai
dengan 99 orang.
Menurut UU. No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM
definisi dari usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan danatau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini.
Sedangkan pengertian usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi
kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Kriteria-kriteria UMKM yang dimaksud dalam UU. No. 20 tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah UMKM dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 1. Kriteria UKM menurut UU. No.20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM
No Uraian
Kriteria
Asset Omset
1 Usaha Mikro
Maks 50jt Maks 300jt
2
Usaha Kecil 50
– 500jt 300jt-2,5 M
3 Usaha
Menengah 500jt-10M
2,5M –50M
Bisa kita lihat dalam tabel 1, bahwa kriteria yang dimaksud dalam undang-undang ini mencakup
perihal asset dan omset. Kriteria yang termasuk dalam golongan usaha mikro adalah usaha yang
memiliki asset maksimal Rp50.000.000,00 lima puluh
juta rupiah
dan omset
maksimal Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. Untuk
usaha yang tergolong kecil memiliki kriteria asset lebih dari Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah,
tetapi tidak lebih dari Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah dan memiliki omset lebih dari
Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah hingga Rp2.500.000.000,00 dua setengah milyar rupiah,
sedangkan untuk usaha yang tergolong usaha menengah memiliki kriteria asset lebih dari
Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah hingga Rp10.000.000.000 sepuluh milyar rupiah serta
omset
lebih dari
Rp2.5000.000.000,00 dua
setengah milyar
rupiah hingga
maksimal Rp50.000.000.000,00 lima puluh milyar rupiah.
Kompensasi
Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak
langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan Malayu
S.P. Hasibuan 2002.
Kompensasi dengan Konsep 3P 1.
Pay for Position
Membayar untuk posisi adalah hal yang pertama dalam konsep 3P, dan hal inilah yang
merupakan dasar bagi kebijakan dan praktek pembayaran gaji di suatu organisasi, dimana
perusahaan mengacu
pada standar
yang diberlakukan untuk sebuah posisi yang akan
ditempati oleh karyawan Malthis 2003
2. Pay for Person
Pay for Person
merupakan pembayaran dimana perusahaan mengacu pada budaya
organisasi serta adaptabilitas yang tinggi dari karyawan untuk bisa nyaman bekerja.. Evaluasi
yang dilakukan terhadap seseorang adalah membandingkan
antara kapabilitas
dan
319
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
pengalamannya dengan tuntutan posisi yang didudukinya.
3. Pay for Performance
Menurut Byars et al. 2006 memberikan statement mengenai
performance
: “
Performance refers to the degree of accomplishment of the tasks
that make up an employee’s job”. Pada dasarnya, dalam unsur
pay for
performance
besaran kompensasi yang diberikan perusahaan mengacu
pada hasil dari penyelesaian-penyelesaian tugas yang diberikan perusahaan terhadap karyawan.
Semakin bagus kinerja karyawan, semakin besar pula nilai kompensasi yang diberikan perusahaan
terhadap karyawan tersebut.
Point Factor Analysis Method
Dalam metode analisis
Point Factor
dari evaluasi kerja, perusahaan mengidentifikasi faktor-
faktor yang
dapat dikompensasikan
lalu memisahkan menjadi tingkatan-tingkatan. Dalam
mengidentifikasi, perusahaan
juga harus
memberikan bobot terhadap masing-masing faktor, menentukan tingkat kompleksitas untuk tiap faktor
dan menentukan angkanya. Hasilnya evaluator menentukan nilai tiap pekerjaan untuk tiap faktor
berdasar seberapa besar pengaruh faktor tersebut terhadap pekerjaan. Nilai total pekerjaan ditentukan
dengan cara menjumlahkan semua nilai faktor. Prosedur seperti ini, ketika diterapkan kepada semua
pekerjaan akan mengasilkan urutan pekerjaan sesuai dengan jumlah angka yang didapat dari pekerjaan
tersebut.
Pandey, Leelashree 2012
Kerangka Pemikiran
Berikut merupakan kerangka pemikiran sebagai landasan pemikiran dalam penelitian ini :
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
1. Metode Penarikan Sampel