435
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
pengomposan. Kandungan hara pada formula kompos untuk pestisida organik disajikan pada Tabel
1
Gambar 1. Suhu kompos pada pengamatan setiap 2 hari
Pada Tabel 1 tampak bahwa kandungan hara N dan P pada Formula 5 Pukan sapi
menunjukkan lebih tinggi dibandingkan formula lainnya, hal ini karena dalam formula 1,2,3, dan 4
terdapat campuran dengan ampas sagu dalam komposisi kompos, sedangkan kandungan hara N, P
dan K ampassagu rendah yaitu 0,67; 0,04; dan 0,07;
T. diversifolia
Hamsley A. Gray, sedangkan menurut Rumawas
et al.
1996 kandungan N, P dan K ampas sagu yaitu 0,04 N, 0,02 P dan 0,76 K.
Tabel 1. Kandungan hara kompos pada berbagai formula pupuk dan pestisida organik
Perlakuan N
P
2
O
5
K
2
O …….........
Formula 1 Pukan+AS+Agr+T+B
1.47 1.59
1.55 Formula 2
Pukan+AS+Tith +T+B 1.35
1.23 1.65
Formula 3 Pukan+AS+Agr+Tith+
T+B 1.31
1.10 2.13
Formula 4 Pukan+T+B 1.63
0.26 0.49
Formula 5 Pukan sapikontrol
1.92 1.71
1.84 Keterangan : Pukan = pupuk kandang, AS = ampas
sagu, Agr =
A. conyzoides,
Tith
= T. diversifolia,
T
: Tichoderma sp,
B :bakteri
2. Pertumbuhan Bibit Lada
Formula pupuk organik dan perbandingan komposisi media tanam menunjukkan interaksi yang
nyata terhadap persentase bibit lada yang tumbuh Tabel 2. Perlakuan F4K1 dan F5K2 menunjukkan
persentase tumbuh dari bibit lada setek satu ruas tertinggi yaitu sebesar 63.33. Pada perlakuan
F4K1 tampak bahwa penggunaan pupuk organik lebih rendah dibandingkan perlakuan F5K2. Hal ini
diduga
Trichoderma
sp dan bakteri pada formula4 pukan+
Trichoderma
sp+Bakteri dapat
memperbaiki status kesuburan tanah, sehingga meskipun dengan volume pupuk organik yang lebih
rendah menunjukkan hasil yang sama dengan perlakuan pukan pada komposisi media tanah :
pupuk organik 1:2. Hal ini disebabkan diduga disebabkan
bakteri atau
fungi melakukan
aktivitasnya pada media tanam. Formula 5 pupuk kandang menunjukkan persentase bibit lada
tumbuh tertinggi pada kombinasi dengan K2, karena jumlah pupuk organik yang digunakan lebih banyak
dibadingkan komposisi 1 ; 1. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kompos dengan formula
Formula 4 Pukan+
Trichoderma
sp+Bakteri akan menggunakan jumlah pupuk oragnik yang lebih
sedikit dibandingkan
tanpa menggunakan
Trichoderma
sp+bakteri.
Tabel 2. Rata-rata jumlah bibit lada asal setek satu ruas yang tumbuh pada media tanam setek pada berbagai
formulasi.
Formula pupuk organik Perbandingan komposisi media
tanam tanah : pupuk organik K1
1:1 K2
1:2 K3
Tanpa tanah
Persentase bibit tumbuh Formula 1
Pukan+AS+Agr+T+B 46.0 e
3.33 a 1.33 a
Formula 2 Pukan+AS+Tith+T+ B
30.0 c 6.67 ab
16.6 b Formula 3
Pukan+AS+Agr+ Tith+T+B
43.33 d 3.33 a
0.0 a Formula 4 Pukan+T+B
63.33 f 26.67 bc
1.33 a Formula 5 Pukan sapi
kontrol 33.33 cd
63.33 f 4.0 a
CV 23
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5
DMRT Pukan = pupuk kandang sapi, AS = ampas sagu, Agr =
A. conyzoides,
Tith
= T. diversifolia,
T
= Trichoderma sp,
B
=
bakteri, K1= tanah : pupuk organik 1:1, K2= tanah: pupuk organik 1:2, K3=tanpa tanah 100 pupuk organik
436
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Formula 1 Pukan + ampas sagu +
A. conyzoides
var hirtum Lam +
Trichoderma sp +
Bakteri
, Formula 2 Pukan + ampas sagu +
T.
diversifolia Hamsley A. Gray +
Trichoderma sp +
Bakteri
, dan Formula 3 Pukan +ampas sagu+
A. conyzoides
var hirtum Lam +
T.
diversifolia Hamsley A. Gray +
Trichoderma sp+Bakteri
menunjukkan kombinasi
terbaik dalam
menghasilkan bibit lada apabila dikombinasikan dengan K1, sedangkan pada kombinasi dengan K2
dan K3 menunjukkan penurunan drastis persentase bibit lada yang tumbuh. Hal ini diduga kandungan
fenol dari formula tersebut masih tinggi, sehingga pada komposisi media dengan kandungan pupuk
organik yang tinggi pada K2 tanah : pupuk organik adalah 1:2 dan pupuk organik saja K3 kandungan
fenol menghambat pertumbuhan bibit. Pada perlakuan P5 pukan penghambatan pertumbuhan
setek lebih rendah dibandingkan perlakuan yang lain. Untuk memperoleh hasil optimum pada
formula 1 Pukan+ampas sagu+
A. conyzoides
var hirtum Lam +
Trichoderma sp + Bakteri
, Formula 2 Pukan+ampas sagu+
T.
diversifolia Hamsley A. Gray +
Trichoderma sp + Bakteri
dan formula 3 Pukan+ampas sagu +
A. conyzoides
var hirtum Lam +
T.
diversifolia Hamsley A. Gray +
Trichoderma sp
+ Bakteri
diperlukan waktu pengomposan yang lebih panjang agar fenol lebih
banyak terdegradasi. Hasil penelitian Bintoro
et al
2009 menunjukkan bahwa kandungan fenol pada formula limbah organik yang dikomposkan terjadi
penurunan dengan
bertambahnya waktu
pengomposan. Pengaruh kombinasi dari komposisi media
tanam tanah : pupuk organik menunjukkan interaksi yang nyata, tinggi tanaman dan jumlah
daun menunjukkan perbedaan nyata pada perlakuan komposisi Kombinasi perlakuan terbaik dalam
meningkatkan tinggi tanaman adalah perlakuan tanah : pupuk organik adalah 1 : 1 dengan
menggunakan
pupuk organik
Formula 3
Pukan+ampas sagu +
A. conyzoides
var hirtum Lam +T. diversifolia Hamsley A. Gray +
Trichoderma
sp+Bakteri dengan tinggi tanaman 33,78 cm, namun perlakuan tersebut tidak
menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan dengan perlakuan Formula 2 Pukan+ampas sagu +T.
diversifolia Hamsley A. Gray +
Trichoderma
sp+Bakteri pada komposisi media tanam tanah ; pupuk organik 1:1, 1:2, serta perlakuan formula 4
Pukan+
Trichoderma
sp+Bakteri dengan
komposisi tanah : pupuk organik 1 :2 Tabel 1 Demikian juga hasil pengamatan terhadap
jumlah daun, komposisi media tanam tanah : pupuk organik adalah 1 : 2 menunjukkan interaksi nyata
terhadap jumlah daun. Jumlah daun tertiggi pada perlakuan komposisi tanah : pupuk organik 1 : 1
dengan menggunakan kompos dari Formula 3 Pukan+ampas sagu+
A. conyzoides
var hirtum Lam +
T. diversifolia
Hamsley A. Gray +
Trichoderma
sp+Bakteri. Formula pupuk organik
Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun bibit lada asal setek satu ruas yang tumbuh pada media tanam
setek pada berbagai formulasi.
Formula pupuk organik
Perbandingan komposisi media tanam tanah : pupuk organik
K1 1:1
K2 1:2
K3 Tanpa
tanah
Tinggi tanaman
Tinggi tanaman cm Formula 1
Pukan+AS+Agr+ T+B
26,55 bc 32,76 c
14,82 a Formula 2
Pukan+AS+Tith+ T+B
29,68 c 33,12 c
15,79 a Formula 3
Pukan+AS++Tith+ T+B
33,78 c 26,94 bc
17,98 a Formula 4
Pukan+T+B 26,65 bc
29,50 c 27,90 bc
Formula 5 Pukan sapikontrol
24,29 bc 28.00 bc
22,55 b CV
23
Jumlah Daun Jumlah dauntanaman
helaitanaman Formula 1
Pukan+AS++T+B 7.38 b
9.65 c 4,16 a
Formula 2 Pukan+AS+Tith+
T+B 7.43 b
8.79 c 4, 74 a
Formula 3 Pukan+AS+Agr+
Tith+ T+B 8.75 c
7.76 bc 5.26 a
Formula 4 Pukan+T+B
7.98 bc 7.95 bc
7,52 bc Formula 5 Pukan
sapikontrol 7.07 b
7.27 b 5.12 a
CV 29
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5
DMRT Pukan = pupuk kandang sapi, AS = ampas sagu, Agr =
A. conyzoides,
Tith
= T. diversifolia,
T
= Trichoderma sp,
B
=
bakteri, K1= tanah : pupuk organik 1:1, K2= tanah: pupuk organik 1:2, K3=tanpa tanah 100 pupuk organik
Formula 1 Pukan+ampas sagu+
A. conyzoides
var hirtum Lam+
Trichoderma
sp+Bakteri dan Formula 2 Pukan+ampas sagu+
T. diversifolia
Hamsley A. Gray +
Trichoderma
sp+Bakteri, dan
437
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Formula 5 Pukan sapikontrol menunjukkan jumlah daun rendah dan berbeda nyata dengan
perlakuan Formula 3 Pukan+ampas sagu+
A. conyzoides
var hirtum Lam +
T. diversifolia
Hamsley A. Gray +
Trichoderma
sp+Bakteri pada komposisi tanah : pupuk organik 1 : 1. Sedangkan
pada komposisi media tanam 1:2, pupuk organik yang baik digunakan untuk meningkatkan jumlah
daun adalah adalah pupuk organik Formula 1 Pukan+ampas sagu+
A. conyzoides
var hirtum Lam+
Trichoderma
sp+Bakteri dan Formula 2 Pukan+ampas sagu +
T. diversifolia
Hamsley A. Gray +
Trichoderma
sp+Bakteri . Penggunaan pupuk organik saja untuk
media tanam setek lada menujukkan hasil yang kurang baik dibandingkan apabila dicampur tanah,
kecuali pada
perlakuan dengan pupuk organik Formula 4 Pukan+
Trichoderma
sp+Bakteri
.
Pada Tabel 3 juga tampak bahwa penggunaan kompos Formula 4
Pukan+
Trichoderma
sp+Bakteri menunjukkan hasil yang lebih baik pada pengamatan tinggi
tanaman dan jumlah daun dibandingkan Formula 5 Pukan
sapikontrol, hal
ini menunjukkan
penggunaan agen hayati menunjukkan hasil yang lebih baik. Disamping itu dengan adanya agen
hayati dapat mengurangi dosis penggunaan kompos pada media tanam, yaitu dari sebesar 66 menjadi
50, sehingga dapat menghemat pupuk organik sebesar 16.
PENUTUP
Perlakuan formula pupuk organik Pukan sapi+
Trichoderma
sp+bakteri dan tanah dengan perbandingan tanah dan pupuk organik 1:1, dan
formula pupuk organik pupuk kandang sapi, dengan komposisi tanah dan pupuk kandang sapi sebesar 1:2
menunjukkan persentase pertumbuhan bibit lada tertinggi yaitu sebesar 63.33.Tinggi tanaman dan
jumlah daun tertinggi pada komposisi tanah : pupuk organik 1:1 dengan menggunakan pupuk organik
Formula 3 Pukan + AS +
A.conyzoides
+
T.diversifolia
+
Trichoderma
sp + Bakteri . Penggunaan kompos pupuk kandang sapi dengan
menggunakan
Trichoderma
sp dan bakteri dapat menghemat penggunaan pupuk kandang sapi untuk
pembibitan lada. Pemanfaatan
pupuk organik
untuk pembibitan lada perlu dipertimbangkan bahwa
pupuk organik
tersebut tidak
menghambat pertumbuhan tanaman, meningkatkan daya tumbuh
dan persentasi hidup serta dapat mencegah berkembangnya penyakit busuk pangkal batang lada
BPB. Untuk pencegahan BPB pupuk organik dapat diperkaya dengan agen hayati
Trichoderm
a sp dan bakteri
Pseudomonas
sp atau
Bacillus
sp
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Zulhisnain dan Bapak
Sutrasman Balittro, Pak Milin, pak Ganda, dan bu Maryati dari KP. Cikabayan IPB, dan semua pihak
yang telah membantu sehingga pelaksanaan penelitian tersebut dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Khasiat Bandotan.
http:lenterahati.web.idtag ageratum cony- zoides-l. [10 Oktober2010
] Bintoro, H.M.H., Saraswati. R., Manohara, D.,
Taufik, E., Purwani, J. 2008. Pestisida Organik Pada tanaman Lada. Laporan Akhir
Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian antara Perguruan Tinggi dan Badan litbang
Pertanian KKP3T
Hariadi, Darmawan, dan Zaubin, R. 1996. Pengaruh Jenis Setek dan Media Pembibitan
terhadap Pertumbuhan Bibit Tanaman Lada
Piper nigrum
L. Effect of kind of bud and media on growth of pepper seedling Piper
nigrum L.. Bul. Agron. 241: 6-9 1996.
Hartatik W dan Widowati LR. 2006. Pupuk Kandang.
Dalam
Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini
D, Hartatik W. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor
Direktorat Perlindungan
Perkebunan. 2007.
Rekapitulasi Data Organisme Pengganggu Tanaman OPT tahun 2006, triwulan I.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Perkebunan. Jakarta. Departemen Pertanian.
Lawani, M. 1995. Budidaya dan Penanganan Pasca Panen. Kanisius Yogyakarta.
Rumawas, F, Astono. A, Aziz, S.A, Ririhena, R.E. 1996 Utilizing sago press cake as compost.
In
Proceeding of the 6th International Sago Symposium. Eds. Jose, C. snd Rasyad,
A.pp 165-169. Riau University. Pekanbaru, Indonesia.
Saraswati R, Santosa E, Yuniarti E. 2006. Organisme Perombak Bahan Organik
dalam
Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W. 2006.
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar
Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian.
Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
438
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Sarma. Y.R. 2006. Recent trends in the use of antagonistic
organisms for
disease management in spice crops
. In
Ramanujan B. And Rabindra, R. J. 2006. Current
status of biological control of plant disease using anatgonistic organism in India.
Project Directirate of Biological Control. Bangalore
439
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Respon Bibit Tebu Varietas Kk G1 Kultur Jaringan Terhadap Pemupukan Kompos Serasah Daun Tebu Dan Pupuk Kandang Sapi
Response Of Sugarcane Kk G1 Variety Budset Of Tissue Culture To Sugarcane Leaf Litter And Cow Dung Compost
Sumanto
1
dan Jati Purwani
2
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Jl. Tentara Pelajar No. 1, Bogor, 16111
2
Balai Penelitian Tanah
,
Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor, 16114
Keyword A B S T R A C T
sugarcane leaf litter cow dung
compost budset sugarcane
growth Sugarcane leaf litter usually to be burned by farmers, CN ratio leaf litter
were high, it’s causing longer to decompose. Composting can accelerate the
availability of nutrients in organic matter, by using compost in seedlings growth in polybag before planting to the field was better than without
compost. The research objective was to compare the appropriate planting medium between soil, sand and compost sugarcane leaf litter and cow dung
on the growth of KK G1
budset. The study was conducted in greenhouse
experiments Cimanggu, Bogor, using a completely randomized design consisting of 12 treatments was repeated 3 times. The results showed that
treatment of TP + 2K4 soil + sand added with compost 25 sugarcane leaf litter + 75 cow dung as many as two par ts give the highest yield of the
parameters plant height 124.02 cm, plant fresh weight 52.53 g plant, and plant dry weight 21.12 gplant, the results are significantly different
from controls. Plant height, fresh weight and dry weight of plants in the control treatment was 96.05 cm 32.48 gplant and 15.18 gplant respectively.
Giving compost sugarcane leaf litter does not give a real difference to the parameter number of leaves, stem diameter, number of roots, root fresh
weight, root dry weight and root length
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
serasah daun tebu kotoran sapi
kompos bibit tebu
pertumbuhan
Serasah daun tebu biasanya dibakar oleh petani, nisbah CN pada serasah daun tebu tinggi menyebabkan bahan tersebut lama terdekomposisi.
Pengomposan dapat mempercepat ketersediaan unsur hara pada bahan organik, kompos baik digunakan untuk media tanam bibit dalam polibag
sebelum penanaman di lapang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbandingan media tanam yang tepat antara tanah, pasir dan kompos serasah
daun tebu dan kotoran sapi terhadap pertumbuhan bibit tebu KK G1. Penelitian dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan Cimanggu, Bogor,
menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 12 perlakuan diulang 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan TP+2K4 yaitu
tanah+pasir ditambah kompos 25 serasah daun tebu+75 kotoran sapi sebanyak 2 bagian memberikan hasil tertinggi terhadap parameter tinggi
tanaman 124,02 cm bobot segar tanaman 52,53 gtanaman, dan bobot kering tanaman 21,12 gtanaman, hasil tersebut berbeda nyata dengan
kontrol. Tinggi tanaman, bobot segar dan bobot kering tanaman pada perlakuan kontrol masing-masing adalah 96,05 cm; 32,48 gtanaman dan
15,18 gtanaman. Pemberian pupuk kompos serasah daun tebu tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap parameter jumlah daun, diameter
batang, jumlah akar, bobot segar akar, bobot kering akar, dan panjang akar
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author.
Email :
sumantohwyahoo.com
440
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
PENDAHULUAN
Tebu
Saccharum officinarum
merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam
di daerah yang memiliki iklim tropis. Indonesia memiliki perkebunan tebu seluas 452.297 hektar,
dengan total produksi mencapai 33.922.275 ton pada tahun 2012 Dirjenbun, 2013. Selama ini,
produk utama yang dihasilkan dari tebu adalah gula, selain itu tebu juga menghasilkan limbah sejak masa
tanam hingga penebangan atau pemanenan, salah satunya berupa daun tebu kering serasah. Limbah
ini
dapat dimanfaatkan
untuk peningkatan
kesuburan tanah dan memiliki nilai ekonomis Misran, 2005.
Serasah daun tebu merupakan sisa produksi yang biasanya tidak dikembalikan ke dalam tanah,
pada saat masa panen akan terjadi peningkatan jumlah serasah daun tebu dan dianggap sebagai
sampah. Karena dianggap mengganggu pekerjaan
land clearing,
serasah daun tebu biasanya dihilangkan dengan cara dibakar. Cara demikian
akan membahayakan penduduk, ternak dan tanaman di sekitarnya serta akan mengurangi kesuburan
tanah sehingga pembakaran biasanya dilarang. Dalam konversi energi di pabrik gula, selain ampas
batang tebu, serasah daun tebu juga digunakan untuk bahan bakar boiler, uapnya digunakan untuk
proses produksi dan pembangkit listrik sedang di pedesaan bahan bakar ini digunakan untuk
memasak.
Daun tebu
adalah biomassa
yang mempunyai kandungan karbon cukup tinggi sekitar
40,4 Hairiah
et al
. 2000. Karena kualitasnya rendah yaitu kandungan haranya rendah, dengan
nisbah C:N tinggi , tingginya nisbah C:N daun tebu menyebabkan bahan tersebut lama lapuk Jorapur
et al
., 1997. Kandungan unsur hara C, N, P dan K serasah daun tebu berturut-turut adalah 40.4;
0.29; 0.06 dan 0.35 dengan CN ratio 139 Hairiah
et al
. 2000. Walaupun serasah daun tebu memiliki kualitas rendah karena nisbah C :N sekitar
120 :1, tetapi bila dikembalikan ke dalam tanah akan mengurangi jumlah pemupukan N sebesar 40
kg hatahun Meier
et al
, 2003 bahan ini
memungkinkan masih
bermanfaat untuk
mempertahankan kandungan bahan organik tanah BOT bila diolah dengan baik dan dikembalikan ke
dalam tanah secara tepat. Jumlah daun tebu hasil panen cukup besar, dalam satu hektar diperkirakan
mencapai sepertiga dari total produksi tebu giling. Potensi seresah tebu berasal dari tanaman tebu yang
baru beberapa saat dipanen atau ditebang, terdiri atas pucuk tebu dan daun tebu baik yang sudah
menguning atau masih hijau. Menurut Yadav
et al
1994 jumlah serasah tebu yang tertinggal di lahan setelah pemanenan tebu mencapai 10-20 dari berat
tanaman tebu. Pemanfaatan serasah daun tebu perlu
dilakukan pengomposan lebih dahulu, hal ini dikarenakan CN rasio daun tebu tinggi sehingga
lama melapuk. Pemanfaatan kompos serasah daun tebu untuk media pertumbuhan bibit tebu dapat
meningkatkan pertumbuhan bibit, selain itu dapat mengurangi menumpuknya limbah daun tebu di
perkebunan tebu. Bibit merupakan faktor penting dalam budidaya tebu, kecepatan perbanyakan bibit
tebu akan mempengaruhi kecepatan perluasan penanaman tebu atau program bongkar ratoon.
Untuk memperoleh produktivitas dan rendemen tinggi diperlukan bibit yang bermutu, baik mutu
genetis maupun mutu fisik disamping itu diperlukan jumlah yang banyak dengan waktu yang singkat.
Untuk
meningkatkan efisensi
bibit dalam
penanaman di kebun tebu giling KTG dapat dilakukan dengan menaman lebih jarang dengan
menggunakan bibit dalam polibag, tetapi tidak mengurangi
persentasi hidup
bibit. Untuk
memperoleh persentasi tanaman hidup tinggi dapat dilakukan pendederan bibit sebelum ditanam.
Penggunaan bibit dengan dederan terlebih dahulu sebelum ditanam baik pada pembibitan G1, G2 dan
G3 dari kultur jaringan mempunyai keuntungan jumlah bibit lebih sedikit, bibit akan tumbuh
seragam, dan bibit akan lebih cepat tumbuh setelah di lapang.
Pendederan dapat dilakukan dalam polibag atau bedengan dengan syarat bibit tidak rusak
apabila dipindahkan. Untuk memperoleh bibit yang baik diperlukan media yang dapat memberikan
unsur hara dan lingkungan tumbuh yang ideal bagi pertumbuhan bibit tebu, media yang ideal adalah
media yang dapat memberikan unsur hara yang cukup dan aerasi media dengan baik. Untuk
memperoleh kondisi demikian digunakan campuran tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan
tertentu. Pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan jumlahnya semakin berkurang untuk itu
maka dicari sumber-sumber bahan organik lain yang dapat digunakan sebagai pupuk organik. Limbah
yang dihasilkan dalam budidaya tanaman tebu cukup banyak antara lain seresah daun. Serasah
daun tebu dimungkinkan dapat digunakan sebagai pupuk organik dengan mencampurkan kotoran sapi
dalam pengomposannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan media
tanam yang tepat antara tanah, pasir dan kompos serasah daun tebu dan kotoran sapi terhadap
pertumbuhan bibit tebu G1 hasil kultur jaringan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cimanggu Bogor, menggunakan bibit
G1 asal kultur jaringan dalam bentuk budset satu mata Varietas Kidang Kencana KK dari Kebun
441
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Percobaan Cibinong. Bahan media yang digunakan berupa daun tebu serasah berasal dari Kebun bibit
tebu Kebun Percobaan Cibinong. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri
atas 12 perlakuan yaitu berbagai komposisi media yang terdiri atas tanah, pasir dan kompos, diulang 3
kali. Adapun perlakuan tersebut adalah :
1. Kontrol : Tanah 2. TP
: 1 Tanah+1 Pasir 3. TP+1K1
: 1Tanah+1Pasir+1 Kompos serasah daun tebu 100
4. TP+1K2 : 1Tanah+1Pasir+1 Kompos serasah daun tebu 75 dan kotoran sapi
25 5. TP+1K3 : 1Tanah+1Pasir+1 kompos serasah
daun tebu 50 dan kotoran sapi 50
6. TP+1K4 : 1Tanah+1Pasir+1 kompos serasah daun tebu 25 dan kotoran sapi
75 7. TP+1K5 : 1Tanah+1Pasir+1 kompos kotoran
sapi 100 8. TP+1K1 : 1Tanah+1 Pasir+2 kompos serasah
daun tebu 100i 9. TP+2K2 : 1Tanah+1Pasir+2 kompos serasah
daun tebu 75 dan kotoran sapi 25
10. TP+2K3 : 1Tanah+1Pasir+2 kompos serasah daun tebu 50 dan kotoran sapi
50 11. TP+2K4 : 1Tanah+1Pasir+2 kompos serasah
daun tebu 25 dan kotoran sapi 75
12. TP+2K5 : 1Tanah+1Pasir+2 kompos kotoran sapi 100
Tanah yang digunakan adalah tanah yang berasal dari Kebun Percobaan Cimanggu dengan
jenis tanah Latosol. Tanah Latosol adalah tanah yang telah berkembang dan biasanya berada pada
daerah dengan curah hujan tinggi sehingga telah banyak mengalami pencucian unsur hara sehingga
mempunyai tingkat kesuburan rendah. Menurut Yusron
et al
. 2012 karakteristik sifat kimia tersebut adalah pH tanah tergolong masam, kandungan basa
dapat ditukar termasuk sangat rendah dengan kejenuhan basa termasuk rendah. Pada kondisi tanah
dengan tingkat kesuburan rendah, pemupukan umumnya memberikan respon positif terhadap
pertumbuhan
dan perkembangan
tanaman. Pengamatan terhadap parameter pertumbuhan bibit
tebu dilakukan pada saat umur 2 bulan yang meliputi tinggi tanaman, bobot segar dan bobot
kering tanaman, jumlah akar, bobot segar dan bobot kering akar dan jumlah daun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Media pembibitan dan kompos
Tanaman tebu merupakan tanaman C4 yang mempunyai tingkat pertumbuhannya cepat maka
memerlukan unsur hara dalam jumlah yang banyak dan cepat tersedia sehingga keterbatasan unsur hara
akan menghambat pertumbuhan tanaman tebu. Untuk pembibitannya diperlukan media yang sesuai,
yaitu media yang dapat meningkatkan pertumbuhan tebu. Selain media tanah dan pasir diperlukan
tambahan pupuk organik untuk memperbaiki kualitas media tanam. Kandungan hara tanah N, P,
K tanah dan kompos yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisa N, P, K tanah dan kompos No. Jenis Kompos
Hasil Pengujian N
P K
C Org
CN P
2
O
5
ter- sedia
ppm K
dd
me 100 g
Tanah 0,14
- -
1,22 1,79
0,33
Kompos
1 Serasah daun
tebu100 K1 1,31
0,32 0,71
34,38 26,24 _
_ 2.
Serasah daun tebu 75+
Kotoran sapi 25 K2
1,52 0,27
1,28 33,48 22,03
_ _
3. Serasah daun
tebu 50+ Kotoran sapi
50 K3 1,46
0,28 1,45
21,26 14,56 _
_ 4.
Serasah daun tebu25 +
Kotoran sapi 75 K4
1,62 0,27
2,28 25,63 15,82
_ _
5. Kotoran sapi 100 K5
1,52 0,23
1,98 24,24 15,95
_ -
Keterangan : Pengomposan dilakukan selama 4 minggu
Kompos dibuat dengan berbagai macam komposisi yaitu campuran serasah daun tebu dan
pupuk kandang. Penggunaan pupuk kandang selain bertujuan untuk peningkatan ketersediaan hara
tanaman juga sebagai bioaktivtor pembuatan kompos. Pengamatan terhadap kompos dilakukan
pada saat umur kompos 4 minggu.
Pada Tabel 1 tampak bahwa penambahan kotoran sapi pada pengomposan serasah daun tebu
menghasilkan kompos dengan kandungan hara N dan K lebih tinggi dibandingkan kompos serasah
daun tebu saja. Kompos daun tebu pada 4 minggu setelah pengomposan msp menunjukkan CN rasio
yang masih tinggi yaitu 26,24 dibandingkan kompos serasah daun tebu yang ditambah dengan kotoran
sapi 25 hingga 75 14,56
– 22,30. Kompos kotoran sapi 100 menunjukkan CN rasio sebesar
15.95 . Kompos dari kombinasi serasah daun tebu 25+kotoran sapi 75 menunjukkan kandungan
442
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
hara N dan K tertinggi dengan CN rasio sebesar 15,82 dan menunjukkan kandungan hara, P dan K
lebih tinggi dibandingkan kompos kotoran sapi 100. Kandungan hara N P dan K pada kompos
serasah daun tebu 25+kotoran sapi 75 adalah 1,62; 0,27 dan 2,28, jumlah persentase ke tiga
unsur tersebut adalah 4,27 dengan CN rasio sebesar 15,82. Dari ke 5 jenis kompos tersebut
yang memenuhi syarat sebagai pupuk oganik menurut Peraturan Menteri Pertanian nomor
70PermentanSR.140102011
adalah kompos
serasah daun tebu 25+kotoran sapi 75. Menurut Permentan tersebut CN rasio pupuk organic adalah
15-25, sedangkan jumlah hara makro N. P. dan K adalah 4.
Pertumbuhan Bibit
Dari hasil analisis statistik diperoleh bahwa pemberian kompos pada media pembibitan tebu
dapat meningkatkan pertumbuhan bibit tebu. Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan kompos TP+2K4
1 Tanah +1 Pasir+2 kompos serasah daun tebu 25 dengan kotoran sapi 75 memberikan tanaman
tertinggi yaitu 124,03 cm dan menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan kontrol 96,05 cm.
Hal ini disebabkan kandungan hara N, P, dan K pada kompos yang ditambahkan menunjukkan nilai
yang paling tinggi dibandingkan media tanah dan pasir yang ditambahkan kompos lainnya. Dengan
tambahan kompos akan memperbaiki sifat fisik maupun kimia tanah, hal tersebut memungkinkan
media tanam tersebut akan memberikan kondisi ligkungan dan nutrisi yang lebih baik dan tersedia
yang dikehendaki bibit tanamn tebu.
Penambahan kompos
pada media
tanah+pasir menunjukkan perbedaan nyata terhadap tinggi tanaman dibandingkan kontrol. Tinggi
tanaman pada perlakuan TP+1K1 menunjukkan tinggi tanaman 115,14 cm, sedangkan pada
perlakuan TP+2K1 adalah 104,31 cm dan menunjukkan perbedaan nyata Tabel 2. Sejalan
dengan hasil penelitian Gana dan Busari 2001, aplikasi pupuk kandang sapi pada pertanaman tebu
dapat meningkatan hasil tebu, tinggi tanaman, jumlah anakan, dan vigor tanaman tebu. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemberian kompos serasah daun tebu sebesar dua bagian pada media
tanam akan meningkatkan tinggi tanaman secara nyata.
Pemberian kompos serasah daun tebu pada media tanah, media tanah+pasir dan media
tanah+pasir yang ditambahkan kompos, dengan terhadap diameter batang dan jumlah daun, namun
dengan penggunaan kompos menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini disebabkan penggunaan
kompos dapat menggemburkan tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya ikat tanah
terhadap air, menyediakan unsur hara makro dan mikro pada tanaman, memudahkan pertumbuhan
tanaman dan meningkatkan efiisiensi penggunaan pupuk kimia Stevenson. 1994.
Tabel 2. Pengaruh kompos daun tebu dan kotoran sapi terhadap tinggi tanaman, diameter
batang dan jumlah daun
No. Perlakuan
Tinggi tanaman
cm Diameter
batang mm
Jumlah daun
1. Kontrol
tanah 96,05 a
9,02 a 8,07 a
2. Tanah + pasir
TP 95,60 a
9,45 a 8,98 a
3. TP+1K1
115,14 cd 11,02 a
8,90 a 4.
TP+1K2 103,41 ab
10,30 a 9,73 a
5. TP+1K3
111,18 bc 9,06 a
9,29 a 6.
TP+1K4 111,07 bc
10,02 a 9,28 a
7. TP+1K5
118,50 cd 10,95 a
10,17 a 8.
TP+2K1 104,31 b
10,26 a 10,00 a
9. TP+2K2
119,64 cd 10,28 a
8,58 a 10.
TP+2K3 121,49 d
10,02 a 8,65 a
11. TP+2K4
124,03 d 11,34 a
10,97 a 12.
TP+2K5 118,53 cd
11,22 a 10,15 a
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
pada taraf nyata 5
Biomas Tanaman
Perlakuan pemberian kompos pada media tanah+pasir menunjukkan perbedaan nyata terhadap
bobot segar dan bobot kering tanaman dibandingkan pemberian pasir saja. Bobot segar pada perlakuan
TP+2K4 dan TP+2K5 menunjukkan hasil tertinggi masing-masing 52,53 g dan 52,52 g, kedua
perlakuan tersebut menunjukkan tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata jika dibandingkan
perlakuan
lainnya Tabel
3. Hal
tersebut disebabkan
penggunaan kompos
dapat menggemburkan tanah, memperbaiki struktur tanah,
meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, menyediakan unsur hara makro dan mikro pada
tanaman, memudahkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan efiisiensi penggunaan pupuk kimia
Stevenson. 1994, sehingga tanaman akan tumbuh dengan baik.
443
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Tabel 3. Pengaruh kompos daun tebu dan kotoran sapi terhadap tinggi tanaman, diameter
batang, jumlah anakan dan jumlah daun No. Perlakuan
Bobot segar tanaman g
Bobot kering
tanaman g
1. Kontrol tanah 36,71 a
15,18 a 2.
Tanah + pasir TP
36,63 a 15,12 a
3. TP+1K1
42,52 bc 17,41 bc
4. TP+1K2
43,01bc 18,57 cd
5. TP+1K3
41,69 ab 16,27 ab
6. TP+1K4
47,05 de 18,76 de
7. TP+1K5
46,16 bcd 18,42 cd
8. TP+2K1
44,92 bcd 18,03 bcd
9. TP+2K2
45,76 bcd 18,22 bcd
10. TP+2K3
47,51 cd 19,76 de
11. TP+2K4
52,53 e 21,12 e
12. TP+2K5
52,52e 20,93 e
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata pada taraf nyata 5
Demikian juga
bobot kering
kedua perlakuan tersebut memberikan hasil tertinggi
masing-masing 21,12 g dan 20,93 g berbeda nyata terhadap perlakuan yang lain tetapi tidak berbeda
nyata terhadap perlakuan TP+1K4 18,76 g dan perlakuan TP+2K3 sebesar 19,76 g. Hal ini
disebabkan oleh bagian pupuk kandang yang lebih banyak pada media tanam dibandingkan perlakuan
lainnya. Aplikasi kompos juga meningkatkan kandungan C-organik, N-NO
3
tanah, N-total tanah, Ca, Mg, K, Cu dan Zn tanah secara signifikan
Calcino
. et al
. 2009, dengan demikian meningkatnya kandungan hara dalam media tanam
akan meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu, sehingga bobot segar dan bobot kering tanaman
meningkat dibandingkan tanpa pemberian kompos.
Penggunaan kompos
pada media
pembibitan tebu tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah akar, bobot segar dan bobot kering akar.
Pada Tabel 4 terbaca bahwa pemberian kompos meningkatkan jumlah akar, tertinggi pada perlakuan
TP+2K5 sebanyak 21,27. Demikian juga terhadap berat akar segar dan berat kering, terbesar pada
perlakuan TP+2K4 masing-masing 8,03 dan 4,60 g. Tabel 4. Pengaruh Pupuk kompos daun tebu
terhadap berat akar segar tanaman, bobot kering akar dsn panjang akar
, No.
Perlakuan Jumlah
akar Bobot
segar akar g
Bobot kering akar
g 1.
Kontrol tanah
14,18 a 5,35 a
3,72 a 2.
Tanah + pasir TP
15, 34 a 6,04 a
4,02 a 3.
TP+1K1 17,73 a
6,28 a 4,10 a
4. TP+1K2
16,80 a 6,85 a
4,05 a 5.
TP+1K3 15,47 a
6,24 a 3,88 a
6. TP+1K4
14,36 a 6,74 a
3,96 a 7.
TP+1K5 18,17 a
6,87 a 4,54 a
8. TP+2K1
17,97 a 6,13 a
3,66 a 9.
TP+2K2 17,47 a
6,26 a 3,92 a
10. TP+2K3
15,75 a 6,39 a
4,20 a 11.
TP+2K4 20,33 a
8,03 a 4,60 a
12. TP+2K5
21,27 a 7,17 a
4,20 a Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti dengan huruf yang
sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf nyata 5
PENUTUP
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
perlakuan TP+2K4 yaitu tanah+pasir ditambah kompos 25 serasah daun tebu+75 pukan sapi
sebanyak dua bagian memberikan hasil tertinggi terhadap parameter tinggi tanaman 124,02 cm
bobot segar tanaman 52,53 gtanaman, dan bobot kering tanaman 21,12 gtanaman, hasil tersebut
menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan dengan kontrol. Tinggi tanaman, bobot segar dan bobot
kering tanaman pada perlakuan kontrol masing- masing adalah 96,05 cm; 32,48 gtanaman dan
15,18 gtanaman. Pemberian pupuk kompos seresah daun tebu dan kombinasinya dengan kotoran sapi
tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap parameter jumlah daun, diameter batang, jumlah
akar, bobot segar akar, bobot kering akar, dan panjang akar. Daduk tebu dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organic pada pembibitan tebu Varietas KK dan lebih baik jika ditambahkan pupuk
kandang dan dikompos sebelum dipergunakan. UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan tersusunnya tulisan ini Tim Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dayat dan
Ibu Tini dan semua fihak yang telah membantu pelaksanaan
sepenuh hati untuk
terlaksanya penelitian ini
444
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70PermentanSR.140102011
Tentang Pupuk
Organik, Pupuk
Hayati dan
Pembenah Tanah Calcino, D.V., A.P. Hurney, W.P. Scougall, H.T.
Slattery. 2009. Impact of Bedminster compost on sugarcane crops. Proceedings of
the Australian Society of Sugar Cane Technologists 31: 345 - 354.
Dirjenbun 2013. Program peningkatan produksi dan produktivitas gula semiloka gula nasional
2013 produksi dan produktivitas gula dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional”
Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan
Gana, A.K. dan L. D. Busari. 2001. Effect of green manuring and farm yard manure on growth
and yield of sugarcane . Sugar Tech. October 2001, Volume 3, Issue 3, pp 97-100
Jorapur, R. dan Rajvanshi, K. A. 1997. Sugarcane Leaf
– Bagasse Gasifiers For Industrial Heating
Applications, 1997,
Journal Biomass and Bioenergy, Volume 13., No. 3,
page 141-146. Hairiah,
K, Pratiknyo P,, Ni’matul K, Nazarudin N, Betha L.dan Meine van Noordwijk. 2000.
Pemanfaatan bagas dan daduk tebu untuk perbaikan status bahan organik tanah dan
produksi tebu
di Lampung
Utara: Pengukuran
dan estimasi
simulasi
wanulcas
. http:www.worldagroforestry.orgdownload
spublications pdfsja03 098.pdf., 11 April
2013 Meier E., Thorburn, P., Goodson, M., Wegener, M.
dan Basford, K., 2003. Optimisation of nitrogen supply from sugarcane residues in
the wet
tropics. http:www.regional.
org.auauasa2003c5meier.htm , tgl 25 Juni 2003. The University of Queensland,
Brisbane, Australia
Stevenson. FJ. 1994. Humus Chemistry. Genesis, composition, reaction, Second Ed. John
Wiley Son. Inc. USA Yadav R. L, SR Prasad, R. Singh, VK.
Srivastava. 1994. Recycling Sugarcane Trash to Conserve Soil Organic Carbon for
Sustaining Yields of Successive Ratoon Crops.
In
. Sugarcane.
Bioresource Technology. Elsevier Science Limited. 231-
235. Yusron M, Cheppy Syukur, dan O. Trisilawati,
2012. Respon Lima Aksesi Jahe Putih Kecil
Zingiber officinale
var. amarum terhadap pemupukan. Jurnal Littri Vol. 18 No. 2, Juni
2012 : 66 –73. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan, Jln. Tentara Pelajar No. 1, Bogor
445
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Testing Of Sugarcane Mutan Somaclone Derived From Chemical Mutation And In Vitro Selection
Ragapadmi Purnamaningsih and Sri Hutami
Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Research and Development Jl. Tentara Pelajar No. 3A, Bogor, Indonesia, 16111 Phone. 0251-8337975 Fax. 0251-8338
Keyword A B S T R A C T
sugarcane mutation induction method
level of acidity in vitro selection
Sugarcane Saccharum officinarum L. is an important crop with high economic value, particularly Indonesia. Plant growth in acidic soil
generally hampered and productivity is very low, because of the high level of acidity low pH, the availability of N, P, K, Ca, Mg, and Mo is
low and Al and Mn concentrations reach toxic levels. The purpose of the study is to test the tolerance plantlets putative mutant which
obtained by mutation induction method and in vitro selection against aluminum toxicity and low pH. To determine the tolerance of plants to
Al, the sugarcane seedlings were planted in a Yoshida nutrient culture. Grouping was conducted to determine the tolerance of plants to Al
based on Relative Root Length RRL. Based on the value of RRL, somaclone mutant strains tested were 12 tolerant strains, 51 moderate
strains, and 12 strains susceptible strains to Al, while the parent plants PS 862 and VMC 7616 belongs to the group of susceptible plants
.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Corresponding author.
Email: raga_padmiyahoo.com Hp. 08179000071
446
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
Introduction
Sugarcane
Saccharum officinarum
L. is an important crop with high economic value,
particularly Indonesia, because of the high sugar content in the stalks. Sugarcane is used as
the main raw material maker of sugar, almost 70 of the source of sweeteners derived from
sugar cane.
Increasing rapidly of population in Indonesia, impact on increasing of sugar
demand. Increased production of sugarcane can be done by utilizing the dry land available is
quite extensive in Indonesia and generally dominated by Red Yellow Podzolic acid soil.
Of the approximately 148 million dry land in Indonesia, 102.8 million ha 69.4 in the form
of acid soils that are less suitable for growing crops Zulfahmi, 2012. Acidic dry land
generally have a low pH 5.5 were associated with a high Al content, high P fixation, the
content of exchangeable bases and CEC is low, the content of iron and manganese poisoning
close to the limits, sensitive to erosion and poor biotic elements Mulyani, 2006 .
Plant growth in acidic soil generally hampered and productivity is very low, because
of the high level of acidity low pH, the availability of N, P, K, Ca, Mg, and Mo is low
and Al and Mn concentrations reach toxic levels. According to Marschner 1995, this is
caused by the presence of low pH and Al toxicity so that the roots thicken and short
because the process of cell elongation is inhibited so that the absorption of water and
nutrients is reduced.
Sugarcane has a high sensitivity range to aluminum. Availability aluminum by 10 mgl at
Saccharum spontaneum
variety strongly
inhibits root growth Landell, 1989 in Drummond et al., 2001. Furthermore Azeredo
1982 in Drummond et al., 2001 also stated that in susceptible varieties, the availability of
aluminum 1:56 mg l inhibits roots development.
The approach is more efficient and environmentally
friendly to
overcome aluminum toxicity in acidic soil is to plant
sugarcane tolerant to Al, besides having high productivity
and quality.
High genetic
variability is a major factor in the improvement of the properties of plants. Sugarcane is
vegetatively propagated
plants so
that conventional sugarcane breeding was difficult.
Until now the sugarcane fields have not been cultivated in acidic soil due to the genetic
variability of plant which adaptive in acidic soil still very limited.
One method that can be used to produce improved varieties of sugarcane is the use of
in vitro
culture technology
which through
somaclonal variation combined with the induction of mutation and
in vitro
selection. Regeneration in extreme environments is
expected to generate new somaclone which aluminum tolerant and low pH pH 4. Khan
et al
2007 have produced three sugarcane clones using
in vitro
culture methods, by gamma ray irradiation 10 Gy, 20 Gy, 30 Gy and 40 Gy in
a population of cells. Subsequently Jain 2010 stated that mutation induction techniques and
somaclonal variation has many advantages compared to conventional breeding by sexual
hybridization. Mutant strains of rice tolerant Al also been produced through the technique of
mutation and
in vitro
selection Purnamaningsih and Mariska, 2008.
Somaclone putative mutant plantlets produced must be tested properties of tolerance
to aluminum in the field acid soil. Prior to testing in the field, the selection should be done
in a greenhouse to filter back somaclone mutant genotypes tested so that the plants in the field
are plants that have a high tolerance to Al and low pH because of testing in the field are quite
expensive. Selection in the greenhouse can be done by using a nutrient culture. This method is
useful for selecting plants with unstable tolerance genotype and to determine the
correlation between tolerance in the laboratory and in the greenhouse. The testing methods in
acid soil is the most effective way to select plants tolerant to Al, but the method is costly
and sometimes difficult to apply because of the concentration of Al is not uniform, as well as
the influence of the environment Anas and Yoshida 2000.
The purpose of the study is to test the tolerance plantlets putative mutant which
obtained by mutation induction method and in vitro selection against aluminum toxicity and
low pH. In 2013 induction of genetic variability on callus somatic cell population of sugarcane
447
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015
has been done using chemical mutagens EMS. LD
50
dose obtained from EMS by soaking treatment 0.5 for 1 hour. Mutation callus and
the parent as a control without mutation treatment has been selected by
in vitro
culture using aluminum at a concentration of 100-500
mg l and pH=4. From this experiment have produced 75 plantlets putative mutants that can
live in conditions of stress Al , whereas the untreated plantlets mutations can not regenerate
to form buds. 1.
Material and Method
Seventy-five putative mutant plantlets MV1 are removed from the bottle and
acclimatized in the greenhouse. Planting medium used is soil and compost at a ratio of 1:
1. Having planted the seeds covered with plastic for 1 month. Once the seedlings adapted to the
greenhouse environment, the plastic lid is opened. Furthermore, the seedlings were
transferred to the bottles which coated with aluminum foil and filled with Yoshida nutrient
solution. In each bottle was added aerator to control the oxygen content in the bottle. Into
each bottle was added AlCl
3
.6H
2
O at two concentrations 0 and 60 ppm. pH of the
solution was made up to 4.0 by adding KOH or HCl, but the solution without the addition of Al,
the pH was maintained 5.8 normal conditions. Each plant was treated normal and stress. Every
two days the pH and root length were measured. To maintain the pH of the solution on the initial
conditions, the pH of the solution was adjusted back to 4.0 and 5.8 by adding KOH or HCl.
This activity was carried out for 14 days. To determine the tolerance of plants to Al,
grouping was conducted based on Relative Root Length RRL or the ratio of length of plant
roots on Al 60 ppm to 0 ppm. Grouping genotypes tolerance level against Al is based on
the value of RRL, as follows: susceptible if
RRL ≤ - 1 SD Standard Deviation; Moderate: RRL -
1 SD RRL ≤ RRL + 1 SD; and tolerant: RRL RRL + 1 SD. Somaclone
mutant plants were classified as moderate and tolerant genotypes then planted in a greenhouse.
Somaclone mutant strains were maintained until the plants can live well and ready to be planted
in the field.
2. Result and Discussion