Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis

6 pembangunan desa. Setiap elemen di desa menjalankan peran secara proporsional dalam mengontrol jalannya pemerintahan di desa. Dan pada akhirnya akan tercipta tata pemerintahan desa yang baik good local governance. Untuk menciptakan hal tersebut, maka konsep pembaharuan desa yang diterapkan harusnya bukannya mengarah kepada penyeragaman bentuk dan nama desa, melainkan lebih mengarah kepada upaya mendekatkan negara kepada masyarakat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam urusan lokal yang pada akhirnya akan mendorong terciptanya transparansi, akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal. Pembaharuan desa harus mampu memperkuat semua elemen desa secara seimbang, baik itu pemerintah desa, masyarakat politik, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Good local governance merupakan suatu konsep turunan dari konsep good governance yang diterapkan di level desa, dimana prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik di level negara diaplikasikan ke tingkatan desa dengan menekankan pada aspek penguatan potensi lokal dan kemandirian. Good local governance merupakan konsep yang tepat untuk diterapkan pada pemerintahan desa demi meningkatkan keefektifan pemerintahan se-level desa. Dengan melihat berbagai permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Penerapan Prinsip-Prinsip Good Local Governance Terhadap Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa”. Penelitian ini dilaksanakan pada 5 desa di Kec. Namorambe yaitu Desa Delitua, Desa Ujung Labuhan, Desa Batu Penjemuran, Desa Jati Kesuma dan Desa Kuta Tengah.

B. Perumusan Masalah

Universitas Sumatera Utara 7 Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan baik, maka harus dapat dirumuskan apa yang menjadi permasalahannya sehingga jelas darimana harus memulai dan kemana harus pergi, serta dengan apa melakukan penelitian. Berdasarkan penjelasan diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip good local governance pada lima desa di Kecamatan Namorambe? 2. Bagaimana efektivitas fungsi Pemerintah Desa pada lima desa di Kecamatan Namorambe? 3. Adakah pengaruh penerapan prinsip-prinsip good local governance terhadap efektivitas fungsi Pemerintah Desa di Kecamatan Namorambe?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan penelitian di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengukur penerapan prinsip-prinsip good local governance di desa di Kecamatan Namorambe. 2. Untuk mengukur efektivitas fungsi Pemerintah Desa di Kecamatan Namorambe. 3. Untuk mengetahui adakah pengaruh penerapan prinsip-prinsip good local governance terhadap efektivitas fungsi Pemerintah Desa di Kecamatan Namorambe.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran, masukan dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan desa. Universitas Sumatera Utara 8 2. Secara akademis, penelitian ini akan lebih melengkapi ragam penelitian pada kajian Ilmu Administrasi Negara dan menambah bahan bacaan dan referensi karya ilmiah. 3. Bagi penulis sendiri, penelitian ini akan memberikan manfaat dalam meningkatkan kemampuan berpikir dan memahami permasalahan tentang desa serta dapat menerapkan ilmu yang diperoleh selama ini dalam perkuliahan untuk mencari solusi masalah berkenaan tentang desa.

E. Kerangka Teori

1. Good Local Governance

Desa tidak jauh berbeda dengan negara, dan dapat dikatakan sebagai miniatur negara. Dalam tempo yang lama, pemerintahan desa terkontaminasi oleh praktik- praktik birokratisasi yang merusak, kepemimpinan bergaya priyayi yang memperdaya rakyat, penggunaan paradigma K-3 kekuasaan, kewenangan dan kekayaan yang melanggengkan korupsi, maupun praktek pendekatan yang meminggirkan masyarakat dari arena politik. Penguasa desa menjadi kuat secara birokratis tetapi lemah kapasitasnya. Di desa orang bisa melihat betapa kuatnya oligarki elite, yaitu segelintir elite yang mengklaim dirinya dipercaya oleh rakyat, menguasai sumber daya politik dan ekonomi desa. Pola pengelolaan kekuasaan dan kekayaan yang merusak yang diwarisi dari zaman prakolonial hingga Orde Baru telah membuahkan pemerintahan yang buruk bad governance di tingkat desa. Karena itu desa harus dirubah dengan demokratisasi melalui pembaharuan pemerintahan. 15 Secara institusional Pemerintah Desa telah ditemani Badan Permusyawaratan Desa BPD yang hadir sebagai mitra sekaligus oposisi. Bagi masyarakat bawah, demokrasi bukanlah sesuatu yang asing lagi. Masyarakat sekarang jauh lebih kritis 15 Pembaharuan Pemerintahan Desa, Op. Cit., hal. 7. Universitas Sumatera Utara 9 dan menuntut pemimpinnya berbuat lebih baik, jujur, bersih terbuka dan bertanggung jawab. Good governance, atau lebih tepatnya tata pemerintahan lokal yang baik good local governance adalah sebuah perspektif model yang relevan digunakan untuk membingkai pembaharuan pemerintahan desa. Good local governance sebagai cara pandang baru untuk menggantikan paradigma lama government. Cara pandang government secara konvensional memandang bahwa negara adalah segala-galanya atau sebuah lembaga yang sangat kuat, sentral dan superior. Good local governance memandang bahwa negara pemerintah desa dan masyarakat berada dalam posisi sejajar yang secara bersama-sama belajar mengelola pemerintahan desa. Perspektif baru tentang pemerintah, dimana perubahan peran pemerintah dalam masyarakat dan kemampuannya mewujudkan kepentingan bersama di bawah batasan internal maupun eksternal merupakan inti dari good local governance. Intinya adalah melibatkan masyarakat dalam proses pemerintahan sekaligus mendekatkan negara kepada masyarakat. Good local governance merupakan konsep turunan dari konsep good governance. Perbedaannya hanya terletak pada locus penerapannya saja, dimana good governance diterapkan pada level negara, sementara good local governance diaplikasikan pada level pemerintahan desa. Untuk itu, sebelum membahas mengenai good local governance, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai konsep good governance. 1. 1. Pengertian Good Governance Munculnya istilah good governance sekarang mendorong para ilmuwan politik untuk tidak sekedar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga, melainkan juga pemerintahan sebagai proses multi arah, yaitu proses memerintah yang melibatkan Universitas Sumatera Utara 10 pemerintah dengan unsur-unsur di luar pemerintah. Governance adalah bentuk interaksi antara negara dan masyarakat sipil. 16 Governance tidak sama dengan government pemerintah dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. Jon Pierre dan Guy Peters misalnya, memahami governance sebagai sebuah konsep yang berada dalam konteks hubungan antara sistem politik dengan lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik mempunyai relevansi dengan kebijakan publik. Berpikir tentang governance, demikian Jon Pierre dan Guy Peters, berarti berpikir tentang bagaimana mengendalikan ekonomi dan masyarakat, serta bagaimana mencapai tujuan-tujuan bersama. 17 Bank Dunia 18 Goran Hayden 1989, mendefinisikan governance sebagai tindakan pemegang kekuasaan untuk mengelola urusan-urusan nasional. Governance bisa juga diartikan sebagai pengelolaan struktur rezim dengan sebuah pandangan untuk memperkuat legitimasi penyelenggaraan kekuasaan di mata kehidupan publik. Legitimasi adalah variabel yang tergantung yang dihasilkan oleh governance yang efektif. 19 16 Leftwich, 1994 dan Rhodes, 1997, dalam Dwipayana, Membangun Good Governance di Desa Yogyakarta: IRE Press, 2003, hal. 8. 17 Jon Pirre dan Guy Peters, Governance, Politics and the State London: MacMilan Press, 2000, hal. 1. 18 AAGN Ari Dwipayana et. al., Membangun Good Governance di Desa Yogyakarta: IRE Press, 2003, hal. 9. 19 Ibid., hal. 10. 1992 secara komprehensif mengidentifikasi 3 dimensi besar dalam konteks governance: dimensi aktor, dimensi struktural, dan dimensi empirik. Dimensi aktor mencakup kekuasaan, kewenangan, resiprositas dan pertukaran. Dimensi struktural mencakup elemen seperti ketulusan, kepercayaan, akuntabilitas dan inovasi. Dimensi empirik governance mencakup tiga elemen utama: pengaruh warga negara, resiprositas sosial serta kepemimpinan yang responsif dan bertanggung Universitas Sumatera Utara 11 jawab. Pengaruh warga negara bisa diukur dari tingkat partisipasi politik, perangkat artikulasi dan agregasi serta metode akuntabilitas publik. Jika perspektif government memandang negara adalah segala-galanya maka perspektif governance mempunyai sejumlah paradigma baru dalam mengelola negara yang bersandar pada enam prinsip utama: a. Negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara adalah aktor setara yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi aktor-aktor masyarakat dan pasar untuk mencapaii tujuan besar. b. Negara bukan lagi sentrum “kekuasaan formal” tetapi sebagai sentrum “kapasitas politik”. Kekuasaan negara harus ditransformasikan dari “kekuasaan atas” power over menuju “kekuasaan untuk” power to. c. Negara harus berbagi kekuasaan dan peran pada tiga level: ke atas pada organisasi transnasional, ke samping pada NGO dan swasta, serta ke bawah pada daerah dan masyarakat lokal. d. Negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar mendorong segmen-segmen di luar negara mampu mengembangkan pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom dan dinamis. e. Negara harus melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputusan dan pemberian layanan publik. f. Penyelenggara negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi dan akuntabilitas publik. 20 Selanjutnya Bank Dunia memberi batasan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan serta pemerintahan yang 20 Ibid., hal. 12. Universitas Sumatera Utara 12 bertanggung jawab pada publiknya. Sementara Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bersahabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi. 21 Tabel 1. Relasi yang baik antara negara, masyarakat dan pasar menurut konsep good governance 22 Aktor dan Relasi Negara Masyarakat Pasar Negara Minimalisasi peran negara melalui demokratisasi, desentralisasi, debirokratisasi dan deregulasi. 1. Pemerintahan yang transparan, akuntabel, responsif dan efektif. 2. Rule of law 1. Birokratisasi bersahabat dengan pasar. 2. Deregulasi dan privatisasi. 3. Regulasi untuk mencegah monopoli. Masyarakat 1. Partisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan. 2. Mandiri dari negara 3. Punya kapasitas kontrol Masyarakat yang demokratis, pluralis, inklusif dan semarak. Masyarakat mempunyai akses terbuka terhadap pasar yang sehat. Pasar 1. Akses pelaku ekonomi terhadap kebijakan dan modal. 2. Akuntabel Pasar yang bertanggungjawab terhadap masyarakat. Pasar yang kompetitif dan bertanggungjawa b. 21 Robert Archer, Pasar dan Penyelenggaraan Negara Yang Baik, dalam Didik J. Rachbini ed., Negara dan Kemiskinan di Daerah Jakarta: Sinar Harapan, 1994, hal. 27. 22 Dwipayana, Op. Cit., hal 20. Universitas Sumatera Utara 13 Sedangkan UNDP memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Secara tegas, UNDP mengidentifikasikan 6 karakteristik good governance: 1 partisipatif; 2 transparan dan bertanggungjawab; 3 efektif dan berkeadilan; 4 mempromosikan supremasi hukum; 5 memastikan bahwa prioritas sosial, ekonomi dan politik didasarkan pada konsensus dalam masyarakat; dan 6 memastikan bahwa suara penduduk miskin dan rentan didengarkan dalam proses pembuatan keputusan. 23

1.2. Good Local Governance

Kerangka good governance yang bersifat makro di atas dapat dimodifikasi bila dikontekstualisasikan pada level desa good local governance. Dalam konteks ini, agenda besarnya adalah desentralisasi dan demokrasi politik serta demokratisasi politik. Dalam konteks yang lebih luas, terutama relasi antara desa dan supradesa, good local governance di level desa juga mencakup otonomi desa, yakni self- governing community di level desa dan subsidiarity pengambilan keputusan dan penggunaan wewenang di level desa. Sedangkan dari sisi ekonomi adalah pengelolaan sumber daya ekonomi berbasis pada masyarakat. 24 Jika good governance diletakkan dalam lingkup desa, maka ada dua isu yang perlu diperhatikan. Pertama, isu pemerintahan demokratis democratic governance, yaitu pemerintahan desa yang berasal dari masyarakat partisipasi, dikelola oleh masyarakat akuntabilitas dan transparansi, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk masyarakat responsivitas. Kedua, hubungan antar elemen pemerintahan di desa yang didasarkan pada prinsip kesejajaran, keseimbangan dan kepercayaan trust. 25 23 Dalam Dwipayana, Op. Cit., hal. 10. 24 Ibid., hal. 21. 25 Ibid. Universitas Sumatera Utara 14 Kedua isu ini ibarat dua sisi mata uang yang memang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Nilai mata uang itu adalah keterlibatan masyarakat partisipasi dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai kebaikan bersama secara kolektif. Pola hubungan antar elemen bisa sejajar dan seimbang bila pemerintahan desa dikelola secara partisipatif , akuntabel, transparan dan responsif. Sebaliknya, pemerintahan desa yang demokratis partisipatif , akuntabel, transparan dan responsif bisa semakin kokoh, legitimate, dan mampu bekerja secara efektif bila ditopang dengan kesejajaran, keseimbangan, dan kepercayaan antar elemen pemerintahan di desa. 26 Hal ini membutuhkan sebuah proses perluasan ruang publik melalui dialog- dialog forum warga atau rembug desa yang semarak dan berkelanjutan. Forum warga atau rembug desa itulah yang dipandang sebagai bentuk demokrasi deliberatif demokrasi permusyawaratan. Model demokrasi seperti ini menekankan pada proses permusyawaratan untuk mencapai kesepakatan dan kebaikan bersama, yang hasilnya digunakan sebagai aturan main, traktat dan kebijakan dalam pengelolaan pemerintahan di desa. 27 Dipandang dari sudut negara, Pemerintah Desa dan Kepala Desa merupakan bagian dari mata rantai birokrasi negara, yang menjalankan fungsi regulasi dan kontrol pada wilayah dan masyarakat melalui “pelayanan administratif”, implementasi proyek-proyek pembangunan, mobilisasi masyarakat untuk mendukung kebijakan pemerintah, melakukan pelayanan pada masyarakat untuk kepentingan negara, menarik pungutan dan lain-lain. Konsekuensinya, pemerintah desa Kepala Desa mempunyai akuntabilitas hukum dan politik kepada pemerintah supradesa. Sementara dari sudut pandang masyarakat, pemerintah desa merupakan representasi 26 Ibid. 27 Ibid., hal. 22. Universitas Sumatera Utara 15 masyarakat melalui pemilihan Kepala Desa secara langsung yang melibatkan masyarakat desa. Tabel 2. Peta pemerintahan di level desa 28 Elemen Governance Aktor Arena Isu Relasional Negara Kepala desa dan perangkat desa Regulasi, kontrol pada masyarakat, pengelolaan kebijakan, keuangan, pelayanan. Akuntabilitas, transparansi, responsivitas dan kapasitas. Masyarakat Politik Badan Permusyawaratan Desa BPD Representasi, artikulasi, agregasi, formulasi, legislasi, sosialisasi, kontrol. Kapasitas, akuntabilitas dan responsivitas Masyarakat Sipil Institusi sosial, organisasi sosial, warga masyarakat Keswadayaan, kerja sama, gotong royong, jaringan sosial. Partisipasi voice, akses dan kontrol Masyarakat Ekonomi Pelaku dan organisasi ekonomi Produksi dan distribusi Akses kebijakan, akuntabilitas sosial 2. Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa 2. 1. Pengertian Efektivitas Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok yang sangat penting dalam mencapai tujuan ataupun sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, baik bagi organisasi swasta yang bersifat profit oriented maupun organisasi pemerintahan yang bersifat non-profit oriented. Menurut Mullins 29 28 Ibid., hal. 23. 29 Dalam Nana Rukmana, Model Manajemen Pendidikan Berbasis Komitmen Semarang: Alfabeta, 2006, hal.14. , efektif itu harus terkait dengan pencapaian tujuan dan sasaran suatu tugas dan pekerjaan dan terkait juga dengan kinerja dari proses pelaksanaan suatu pekerjaan. Universitas Sumatera Utara 16 The Liang Gie berpendapat bahwa: “Efektivitas merupakan suatu keadaan yang mangandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang kehendaknya maka perbuatan orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau mencapai maksud sebagaimana yang dikehendakinya.” 30 Sedangkan bila ditinjau dari aspek ketepatan waktu pencapaian tujuan, efektivitas adalah tercapaianya berbagai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, tepat waktunya dengan menggunakan sumber-sumber tertentu yang sudah dialokasikan untuk melakukan berbagai kegiatan. Dari kedua pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa suatu pekerjaan yang dikatakan efektif hanya bila pekerjaan tersebut mendatangkan hasilmencapai tujuan seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Disini terlihat jelas bahwa efektivitas disini berarti berorientasi pada pencapaian tujuan. 31 Bila ditinjau dari aspek manfaat yang dihasilkan, efektivitas dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencapai suatu keuntungan maksimal dalam organisasi dengan segala cara. Maka semakin besar keuntungan yang diperoleh organisasi, maka organisasi itu semakin efektif. 32 Bila ditinjau dari segi kemampuan melaksanakan tugas, efektivitas adalah segala usaha untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan tugas. Pengertian ini digunakan untuk mengukur efektivitas organisasi yang bersifat profit-oriented, namun kurang tepat bila digunakan untuk mengukur efektivitas organisasi pemerintah yang bersifat non profit-oriented. Karena organisasi pemerintah lebih mengutamakan sisi pelayanan daripada mencari keuntungan. 33 30 The Liang Gie, Administrasi Perkantoran Modern Yogyakarta: Raja India, 1976, hal. 215. 31 Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 171. 32 Richards M. Steers, Efektivitas Organisasi Jakarta: Erlangga, 1980, hal. 47. 33 AW. Widjaya, Administrasi Kepegawaian Jakarta: Rajawali, 1986, hal. 146. Efektivitas Universitas Sumatera Utara 17 disini diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas, baik dari sisi teknis maupun dari sisi keterampilan sumber daya manusianya. Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas merujuk pada tingkat sejauh mana suatu organisasi melaksanakan kegiataanusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya tepat waktu, dengan menggunakan alat-alat atau sumber daya yang ada secara optimal. Ketepatan waktu dan kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut dilihat dari kualitas dan kuantitas penyelesaian tugas. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa ada 4 indikator penting dalam mengukur efektivitas, yaitu pencapaian tujuan, ketepatan waktu, manfaat dan kemampuan. Namun suatu hal yang penting, bahwa efektivitas merupakan sesuatu yang kontradiksi dengan efisiensi. Efektivitas senantiasa berorientasi pada keluaran output, sedangkan konsep efisiensi berorientasi pada masukan input. Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan menajemen yang efektif yang tidak disertai dengan efisiensi. 34 Pemerintah desa memiliki peran signifikan dalam pengelolaan proses sosial di dalam masyarakat. Tugas utama yang harus diemban pemerintah desa adalah bagaimana menciptakan kehidupan demokratik, memberikan pelayanan sosial yang baik sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa tenteram dan berkeadilan. Guna mewujudkan tugas tersebut, pemerintah desa dituntut Kedua pilihan ini seringkali tidak dipilih salah satunya, tetapi sama-sama dipakai bersamaan. Penerapan kedua option yang berlainan makna ini sesungguhnya dapat membentuk pilihan atau keputusan yang salah adverse selection. 2. 2. Pemerintah Desa 34 Komarudin, Ensiklopedia Umum Bandung: Alumni, 1979, hal. 129. Universitas Sumatera Utara 18 untuk melakukan perubahan, baik dari segi kepemimpinan, kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelayanan yang berkualitas dan bermakna, sehingga kinerja pemerintah desa benar-benar makin mengarah pada praktek good local governance, bukannya bad governance. 35 Peluang untuk menciptakan pemerintahan desa yang berorientasi pada good local governance sebenarnya dalam konteks transisi demokrasi seperti yang dialami oleh bangsa Indonesia sekarang terbuka cukup lebar. Hal ini setidaknya didukung oleh kondisi sosial pasca otoritarianisme Orde Baru yang melahirkan liberalisasi politik yang memungkinkan seluruh elemen masyarakat di desa secara bebas mengekspresikan gagasan-gagasan politiknya. 36 Begitu pula dukungan pemerintahan transisi pasca Orde Baru dengan membuat regulasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan oleh UU No.32 Tahun 2004 yang sedikit lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya di masa Orde Baru yang syarat dengan penyeragaman dan pengekangan sosial. 37 Meskipun demikian, adanya perubahan sosial-politik dalam masa transisi demokrasi ini tidak dengan serta merta dapat merubah dalam sekejap wacana dan kinerja pemerintahan desa ke dalam visi demokratisasi dan good local governance. Sekalipun strukturnya mengalami perubahan, dimana saat ini pemerintahan desa tidak lagi bercorak korporatis dan sentralistik pada kepemimpinan Kepala Desa, akan tetapi kultur dan tradisi paternalistik yang memposisikan Kepala Desa sebagai orang kuat dan berpengaruh masih begitu melekat dengan kuat. Realitas ini memang tidak dapat dilepaskan sebagai bagian dari proses konstruksi sosial yang begitu mendalam sehingga membuat daya kognitif warga desa seringkali terasa kesulitan dalam 35 Dwipayana, Op. Cit., hal. 33. 36 Mohctar Mas’oed, Negara Kapital dan Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1994, hal. 97-101. 37 Dwipayana, Op. Cit., hal. 34. Universitas Sumatera Utara 19 membuat terobosan-terobosan baru yang sejalan dengan semangat perubahan ketika berbenturan dengan kebijakan seorang Kepala Desa. 38 Kondisi ini sedikit banyak juga dipengaruhi pula oleh lemahnya human resources di desa yang populasinya relatif kecil dan sangat terbatas. Sebab itu guna mendobrak kebekuan atau stagnasi sosial ini diperlukan terobosan dari kekuatan luar untuk bermitra atau saling bekerja sama dengan aktor-aktor dan lembaga-lembaga potensial di desa dalam melakukan perubahan sosial menuju ke arah situasi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. 39

a. Struktur Pemerintah Desa

Semangat otonomi daerah dan desentralisasi memang berhembus demikian kuat di dalam masyarakat dan juga di lingkungan pemerintahan, khususnya kabupaten yang menjadi basis dari pelaksanaan otonomi daerah. Kondisi ini setidaknya membawa angin segar serta harapan akan realisasi otonomi desa, meskipun otonomi desa tidak disebutkan secara jelas di dalam UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004. Di dalam UU No. 22 Tahun 1999, pemerintahan desa masih diposisikan dalam kondisi agar memiliki ketergantungan pada pemerintahan di level kabupaten dan provinsi. Hal ini mengakibatkan implementasi pasal-pasal tentang desa dalam UU produk reformasi itu demikian bergantung terhadap proses legislatif di tingkat kabupaten, bahkan mungkin demikian tergantung pada tarik-ulur politik otonomi daerah di tingkat provinsi. 40 38 Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan Jakarta: LP3S, 1990. 39 Dwipayana, Loc. Cit. 40 Dwipayana, Op. Cit., hal. 35. Sementara pada UU No. 32 Tahun 2004, desa tidak lagi dinyatakan berada di daerah kabupaten namun Kepala Desa tetap bertanggung jawab kepada Bupati melalui Camat dan BPD. Universitas Sumatera Utara 20 Bagan 1. Organisasi Pemerintahan Desa menurut UU No. 51979 Bagan 2. Organisasi Pemerintahan Desa menurut UU No. 322004 Di atas disajikan kedua bagan organisasi pemerintahan desa menurut aturan lama UU No. 5 Tahun 1979 dan aturan baru menurut UU No. 32 Tahun 2004. Perbedaan mendasar antara kedua model bagan tersebut terletak pada lembaga penyeimbang Kepala Desa, sekaligus hubungan antara Kepala Desa dengan lembaga tersebut. Dalam pola lama, lembaga tersebut adalah Lembaga Musyawarah Desa LMD, dimana Kepala Desa adalah ketuanya. Sementara dalam pola baru, lembaga dimaksud adalah Badan Permusyawaratan Desa BPD, yang sama sekali tak berkaitan langsung dengan Kepala Desa, dan berfungsi sebagai lembaga legislatif sekaligus representatif di Kepala Desa BPD Sekretaris Desa Para Kepala Urusan Para Kepala Dusun Kepala Desa Sekretaris Desa Para Kepala Urusan Para Kepala Dusun LMD Universitas Sumatera Utara 21 tingkat desa. Dengan demikian, pola baru ini diidealkan paling tidak secara konseptual lebih demokratis daripada pola lama.

b. Fungsi Pemerintah Desa

Menurut Perda Kabupaten Deli Serdang No. 7 Tahun 2007, tugas utama seorang Kepala Desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kepala Desa diberi serangkaian wewenang dan kewajiban. 41 Dalam kegiatan sehari-hari, secara umum pemerintah desa menjalankan empat fungsi utama. Keempat fungsi itu antara lain: 42 a. Sebagai kepanjangan tangan birokrasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif surat-menyurat kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat- menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. b. Fungsi sosial yang bercampur aduk dengan fungsi pribadi, yaitu beranjangsana dengan warga masyarakat melalui silaturahmi layat, jagong dan sanja. Fungsi sosial ini secara empirik merupakan indikator legitimasi sosial perangkat desa di hadapan warga masyarakat. Anjangsana sosial adalah kearifan lokal yang mempunyai makna simbolik, mendekatkan pamong dan rakyatnya secara personal, membiasakan komunikasi antarpersonal dan sebagainya. Sebagai bentuk kearifan lokal, anjangsana sosial tidak boleh dibunuh. Tetapi problemnya, anjangsana hanya berlangsung dalam area privat. Pemerintah desa, terutama kepala desa tidak melembagakan anjangsana dan komunikasi yang intensif dalam proses pemerintahan dan pengambilan keputusan desa. 41 Baca Perda Deli Serdang No. 7 Tahun 2007 pasal 30 ayat 2 dan pasal 31 ayat 1. 42 “Pembaharuan Pemerintahan Desa”, Op. Cit., hal. 11 et seq. Universitas Sumatera Utara 22 c. Fungsi pembangunan seperti menggerakkan perencanaan dari bawah, merancang proposal yang disampaikan ke pemerintah supra desa, mengalokasikan bantuan kepada masyarakat, serta memobilisasi dana dan tenaga masyarakat melalui gotong royong. Umumnya fungsi pembangunan ini dikerahkan untuk pembangunan sarana fisik desa, bukan pemberdayaan sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas. d. Mengumpulkan pungutan seperti pajak bumi dan bangunan PBB. Untuk urusan yang satu ini, pemerintah desa sangat giat, sebab pengumpulan PBB yang tinggi dan cepat merupakan “prestasi” di hadapan pemerintah supra desa. Pelaksanaan tugas birokrasi negara inilah yang membuat pamong desa, semisal kepala dusun, tercerabut dari akarnya. Kalau dulu kepala dusun adalah pamong yang melindungi dan mengayomi yang dipercaya oleh rakyatnya, sekarang ia hadir sebagai “musuh” yang mengganggu dan memungut uang warga untuk kepentingan negara. Keempat fungsi ini mempunyai implikasi terhadap legitimasi dan akuntabilitas pemerintah desa. Kepala Desa tidak merasa perlu merawat vitalitas legitimasi dari sisi kinerja, tetapi cukup dengan tampil jujur dan tampil populis dengan anjangsana di berbagai komunitas. Kepala Desa tetap punya citra diri sebagai “orang kuat” omnipotent dan pemurah hati benevolent di hadapan warganya. Warga masyarakat cenderung punya citra diri sebagai obedient, yang menganggap Kepala Desa sebagai panutan, pengayom dan pemimpin. Yang terjadi bukanlah pola hubungan citizenship, melainkan clientelistic. Masyarakat menilai kinerja pemimpinnya dalam kerangka sosial personal, daripada kerangka politik dan teknokratis. 43

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa

43 Ibid., hal. 12. Universitas Sumatera Utara 23 Hal-hal yang menentukan efektivitas fungsi pemerintah desa biasanya meliputi beberapa faktor-faktor berikut ini: 44 a. Konsolidasi internal di kalangan pemerintah desa. Semakin kuat konsolidasi tersebut, semakin efektif pula kinerja aparat. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka kinerjanya semakin buruk dan tidak terkoordinir dengan baik. Faktor konsolidasi ini sangat penting, mengingat dimensi-dimensi politis sangat berpengaruh pula dalam kinerja pemerintahan desa. Sebab biasanya pasca pilkades di kalangan warga masyarakat masih masih menyisakan konflik, kekecewaan dan sejenisnya, utamanya dari komunitas yang figurnya kalah dalam kompetisi pemilihan. Singkatnya, bila para perangkat desa itu masih berada dalam satu kubu dalam hal peta dukungan terhadap Kepala Desa semasa pilkades, semakin mudah upaya konsolidasi internal dilakukan. Sebaliknya, jika dalam tubuh aparat sendiri terdapat orang-orang yang semasa pilkades justru penentang Kepala Desa yang kini terpilih, umumnya yang terjadi semakin sulit konsolidasi internal dilaksanakan. Dalam konteks ini, peran kepemimpinan Kepala Desa memang sangat menentukan dalam upaya konsolidasi internal sehingga dapat membentuk team work yang solid. b. Adanya optimalisasi peran seluruh elemen dalam struktur pemerintahan desa. Optimalisasi peran seluruh elemen pemerintahan desa sangat diperlukan demi berjalannya tugas-tugas pemerintah desa dengan baik. Optimalisasi ini harusnya tidak hanya sampai pada perangkat desa yang utama seperti sekretaris desa, para kepala urusan dan kepala dusun, namun juga hingga ke tingkatan RT dan RW. c. Adanya kompetensi dan kesesuaian peran dalam proses rekruitmen perangkat desa 44 Dwipayana, Op. Cit., hal. 39 et seqq. Universitas Sumatera Utara 24 Sampai tingkat tertentu dapat dimaklumi apabila faktor “politis” begitu mendominasi pertimbangan dalam rekruitmen aparat desa. Namun demikian, kemampuan sumber daya manusia yang rendah justru terbukti menciptakan suasana kontra-produktif terhadap kepemimpinan Kepala Desa dan pemerintahan desa pada umumnya. Belum lagi bila dilihat dari kasus lainnya, yakni perangkat desa yang telah lanjut usia. Kondisi demikian juga merepotkan kinerja perangkat desa secara keseluruhan.sementara untuk melakukan peremajaan atau pergantian perangkat terdapat rasa pakewuh segan sehingga menciptakan hambatan psikologis dan sosial yang cukup besar. Fenomena ini jika dilihat dari perspektif peran dan fungsi administrasi modern memang tidak berkesesuaian karena sangat mengandalkan merit system. Namun rasionalisasi di dalam masyarakat desa dalam konteks ini juga juga dapat diabaikan begitu saja, mengingat terdapat peran substansif yang dibawa, yakni representasi dan akomodasi sosial dalam rangka tetap terjalinnya keseimbangan sosial yang dapat menekan potensi konflik di desa. d. Perlunya penyegaran dan pergantian perangkat desa yang kinerjanya buruk, terutama yang terindikasi terlibat korupsi. Jika perangkat desa yang diindikasikan kuat terlibat korupsi terus dipertahankan, maka akan menciptakan pengaruh buruk bagi perangkat desa yang lain. Disamping itu, masyarakat sendiri juga akan mulai menarik dukungan dan bahkan akan dapat merongrong kinerja pemerintahan desa. Pergantian perangkat desa juga harus jelas pula tata aturannya, terutama bila terkait kuat dengan indikasi praktek korupsi. Bila tidak dapat memunculkan suasana ketidakpastian pula yang dampaknya dapat memunculkan konflik sosial di desa. Universitas Sumatera Utara 25

2. 3. Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa efektivitas diukur melalui tiga indikator penting, yaitu pencapaian tujuan, ketepatan waktu dan manfaat. Indikator- indikator inilah yang kemudian akan digunakan untuk mengukur sejauh mana keefektifan fungsi-fungsi pemerintah desa. Pemerintah sebagai eksekutif di desa secara umum menjalankan tiga fungsi utama dalam kegiatan sehari-harinya, antara lain sebagai fungsi pemerintahan yaitu kepanjangan tangan birokrasi yaitu memberikan pelayanan administrasi surat- menyurat dan mengumpulkan pungutan seperti iuran dan pajak, fungsi kemasyarakatan yaitu sebagai penghubung silaturahmi dan penengah dalam menyelesaikan sengketa antarwarga, dan fungsi pembangunan. Di dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, pemerintah desa memerlukan dana dan tenaga untuk membiayai kegiatannya demi mencapai tujuan atau fungsi tersebut. Namun, dana dan tenaga yang tersedia sangat terbatas sehingga akan sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut secara maksimal. Oleh karena itu, pemerintah desa harus menentukan skala prioritas dalam melaksanakan fungsi-fungsinya tersebut ditengah keterbatasan dana dan tenaga yang dimiliki. Dengan demikian diharapkan fungsi-fungsi pemerintah desa dapat berjalan secara optimal sesuai dengan skala prioritas yang ditentukan. Selain itu, dana yang digunakan pemerintah desa pada dasarnya berasal dari warga yang dihimpun dalam bentuk pajak maupun pungutaniuran, bantuan dari pemerintah daerah dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Oleh karena itu, penggunaan dana tersebut harus dimanfaatkan secara efektif dan bertanggungjawab, karena dana tersebut berasal dari masyarakat. Sehingga setiap Universitas Sumatera Utara 26 rupiah dana yang dikumpulkan dan dikelola pemerintah desa harus dipertanggungjwabkan penggunaannya. Efektivitas fungsi pemerintah desa pada dasarnya berkaitan dengan prilaku penyelenggara pemerintahan di desa itu sendiri. Karena untuk mengukur efektif atau tidaknya fungsi tersebut yang menjadi objek pengukuran adalah tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan desa sesuai dengan tugas dan fungsinya yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga, kajian mengenai efektivitas fungsi ini pada hakekatnya merupakan kajian mengenai prilakutindakan penyelenggara pemerintahan desa.

3. Hubungan antara Good Local Governance Dengan Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa

Good local governance pada dasarnya merupakan seperangkat tatanan nilai yang diadopsi dari konsep good governance, dimana konsep good governance yang bersifat makro dalam skala negara diaplikasikan pada pemerintahan level desa. Tatanan nilai inilah yang nantinya akan diterapkan ke dalam diri setiap penyelenggara pemerintahan di desa. Namun, sebagai suatu tatanan nilai, konsep good local governance masih bersifat abstrak dan harus dikaitkan terlebih dahulu dengan locus dimana konsep tersebut hendak diterapkan dalam hal ini Pemerintah Desa. Istilah nilai value dalam bahasa Inggris, valua, valere dalam bahasa Latin maupun worth, weorth, wurth Amerika berarti sesuatu yang kuat atau berharga. Guna nilai adalah sebagai sumber dan tujuan pedoman hidup manusia. Arti nilai adalah : 45 a. Sifathal yang pentingberguna bagi kemanusiaan b. Sesuatu yang paling didambakan c. Sesuatu yang ingin dicapai d. Sesuatu yang dimuliakan atau dikagumi 45 A.W Widjaja, Etika Administrasi Negara Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1994, hal. 19. Universitas Sumatera Utara 27 e. Kualitas atau fakta, sesuatu itu amat baik dan bermanfaat serta diinginkan. Nilai menurut Rokeach adalah keyakinan abadi enduring belief yang dipilih seseorang atau sekelompok orang sebagai dasar untuk melakukan suatu kegiatan tertentu mode of conduct atau sebagai tujuan akhir tindakannya end state of existence. 46 Sementara menurut Danandjaja, nilai adalah pengertian-pengertian conceptions yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik dan apa yang lebih benar atau kurang benar. 47 J. M Soebijanta melalui artikelnya “Nilai, Pelimpahan Nilai dan Penjernihan Nilai” 48 Nilai Sikap Tingkah Laku Bagan 3. Model Metodologis Nilai Menurut Soebijanta Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa nilai mempengaruhi sikap seorang individu. Dan selanjutnya, sikap tersebut akan tercermin dalam tingkah laku dan kecenderungan tindakan yang diambil individu tersebut. Dari beberapa pengertian mengenai konsep nilai di atas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang sangat penting dan berharga yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia. Nilai merupakan sesuatu yang melekat pada seorang individu dan dapat mempengaruhi prilaku individu tersebut. menyatakan bahwa nilai hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku dalam sebuah model metodologis: 46 Milton Rokeach, The Nature of Human Values New York: The Free Press, 1973, hal. 5. 47 Andreas A. Danandjaja, Sistem Nilai Manajer Indonesia Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1986, hal. 22. 48 Dalam Talinzidhu Ndraha, Teori Budaya Organisasi Jakarta: Rineka Cipta, 2005,hal. 30. Universitas Sumatera Utara 28 Dalam lingkup organisasi, nilai adalah : “Keyakinan yang dipegang teguh seseorang atau sekelompok orang mengenai tindakan dan tujuan yang “seharusnya” dijadikan landasan atau identitas organisasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, menetapkan tujuan- tujuan organisasi atau memilih tindakan-tindakan yang patut dijalankan diantara beberapa alternatif yang ada. “ 49 Kumpulan nilai-nilai yang ada dalam suatu organisasi yang dijadikan sebagai pedoman dan cara pandang organisasi disebut budaya organisasi. Terrence E. Deal dan Allan A Kennedy 50 a. Efektivitas adalah fungsi dari nilai-nilai dan keyakinan para anggota organisasi. berpendapat bahwa nilai adalah inti budaya. Budaya organisasi tersebut wajib dipatuhi oleh setiap individu yang menjadi anggota organisasi tersebut. Denison mengaitkan antara budaya organisasi dengan efektivitas organisasi, dimana secara teoritik menurutnya efektivitas organisasi dipengaruhi oleh empat faktor sebagai berikut: b. Efektivitas adalah fungsi dari kebijakan dan praktik organisasi. c. Efektivitas adalah fungsi dari nilai-nilai inti dan keyakinan core values and beliefs organisasi yang diterjemahkan ke dalam kebijakan dan praktik organisasi. d. Efektivitas adalah fungsi dari hubungan antara nilai-nilai inti dan keyakinan organisasi, kebijkaan dan praktik organisasi dan lingkungan organisasi. 51 Pola kerangka hubungan antara budaya dengan efektivitas ditunjukkan dalam gambar berikut ini: 49 Cathy Enz dalam Achmad Sobirin, Budaya Organisasi Yogyakarta: UPP-STIM YKPN, 2007, hal. 167. 50 Ndraha, Op. Cit., hal. 74. 51 Dalam Sobirin, Op. Cit., hal 194. Universitas Sumatera Utara 29 Bagan 4. Kerangka Hubungan antara Budaya dan Efektivitas 52 Di atas telah dijelaskan bahwa nilai mempengaruhi prilaku individu. Maka konsep good local governance sebagai suatu tatanan nilai diharapkan dapat tertanam di setiap individu penyelenggara pemerintahan di desa sehingga individu tersebut berprilaku sesuai dengan nilai-nilai maupun prinsip-prinsip good local governance Dalam mengukur efektivitas fungsi Pemerintah Desa, yang dilihat adalah prilaku individu penyelenggara pemerintahan desa, yaitu sejauh mana kesesuaian antara prilaku individu tersebut real behavior dengan prilaku-prilaku yang seharusnya ideal behavior dalam menjalankan fungsinya sebagai pemerintah desa. Semakin sesuai prilaku penyelenggara pemerintahan desa dengan prilaku yang seharusnya dalam menjalankan fungsinya, maka semakin efektif fungsi-fungsi pemerintahan desa yang dijalankan. 52 Ibid., hal. 195. Sejarah Organisasi Masa Depan Organisasi Values and belief Effectiveness Policies and Practices Lingkungan Organisasi Lingkungan Organisasi Universitas Sumatera Utara 30 tersebut. Dengan demikian, maka fungsi pemerintah desa yang mereka jalankan dapat berjalan dengan efektif.

F. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dirumuskan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empirisyang diperoleh melalui pengumpulan data. 53 Dengan hipotesis, penelitian menjadi lebih jelas arah pengujiannya, dengan kata lain hipotesis membimbing peneliti dalam melaksanakan penelitian di lapangan baik sebagai objek pengujian maupun dalam pengumpulan data. 54 1. Hipotesis Alternatif Ha Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: Terdapat hubungan antara penerapan prinsip-prinsip good local governance terhadap efektivitas fungsi Pemerintah Desa Jati Kesuma. 2. Hipotesis Nol Ho Tidak terdapat hubungan antara penerapan prinsip-prinsip good local governance terhadap efektivitas fungsi Pemerintah Desa Jati Kesuma.

G. Definisi Konsep