Analisis Kehidupan Yakuza Dalam Komik Gokusen Karya Kozueko Morimoto

(1)

ANALISIS KEHIDUPAN YAKUZA DALAM KOMIK

GOKUSEN KARYA KOZUEKO MORIMOTO

KOZUEKO MORIMOTO NO SAKUHIN NO “GOKUSEN”

MANGA NO YAKUZA NO SEIKATSU NO BUNSEKI NI

TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

MEIKA DEBBY NIM : 050708032

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KEHIDUPAN YAKUZA DALAM KOMIK

GOKUSEN KARYA KOZUEKO MORIMOTO

KOZUEKO MORIMOTO NO SAKUHIN NO “GOKUSEN”

MANGA NO YAKUZA NO SEIKATSU NO BUNSEKI NI

TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nandi S Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D NIP. 19600822 1988 03 1 002 NIP. 19580704 1984 12 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Disetujui oleh : Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen,

Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S.Ph.D NIP. 19580704 1984 12 1 001 Medan, Oktober 2009


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra.

Pada : Tanggal : Pukul :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Dekan

Prof. Syaifuddin, M.A.Ph.D NIP.1965 1994 03 1 004

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. ( )

2. ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat, anugrah dan perllindungan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Kehidupan Yakuza dalam

Komik Gokusen Karya Kozueko Morimoto” ini diajukan untuk memenuhi

persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril dan materiil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Univeritas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing II penulis, yang telah menyediakan waktu disela –sela kesibukannya dan jadwalnya yang padat untuk membimbing dan memberi nasehat kepada penulis intuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing I, yang dalam


(6)

pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini.

4. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan Kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk Bang Amran dan Bang Mistam yang juga telah banyak membantu penulis.

5. Keluargaku tercinta, opungku, Adinar br. Sinaga, ayah dan ibuku, MA.Simangunsong dan AM. Sitanggang, atas segala cinta, kasih, doa dan semangat yang diberikan tiada henti. Dan, kedua ‘young bro’ku tersayang, makasih ya buat semangatnya..

6. Kepada orang tersmuamuanya di hati penulis, Ayku DTH Pom-poM, yang tak lain dan tak bukan adalah Joko Supriadi, for all uncountable spirit he always give, his patience, and all his kindness to help me inside and fresh me outside… I can’t say nothing more! Thank You for everything past, now and then… Hountou ni arigatou buat kecerewetannya juga ya…

7. Buat Aotake no Uchi ’05 : Eva Mabok, Dewi Gimun Agak Congok, Mae Picik Congok Mampus, Ocha MonMon Congok Juga, Rani Paus Congok Kali, Irag, Vika, Nurul, Ellys, Gunawan, Tano-six Gurupu, n temen-teman ’05 yang lain, yang selalu gokil dan tetap


(7)

semangat juga menguatkan satu sama lain dalam menyelesaikan studi serta telah membagi begitu banyak hal selama menjalani proses belajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

8. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Oktober 2009 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI………. iv

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2. Perumusan Masalah……… 6

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan………... 7

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……… 7

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 11

1.6. Metode Penelitian……… 12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN KOMIK 14 2.1. Yakuza di Jepang……….……….. 14

2.1.1. Latar Belakang Munculnya Yakuza di Jepang……. 16

2.1.2. Nama Yakuza……….…………...…… 18

2.1.3. Organisasi Yakuza………..……... 19

2.1.4. Uraian Tugas dan Tanggung Jawab…...……… 23

2.2. Kelompok-Kelompok yang Termasuk Yakuza……… 26

2.2.1. Tekiya atau pedagang keliling………... 27

2.2.2 Bakuto atau Penjudi………..……….. 28

2.3. Pola identitas Yakuza……….. 29

2.4. Perubahan Aktifitas Yakuza……… 32


(9)

BAB III ANALISIS KEHIDUPAN TOKOH YAKUZA DALAM KOMIK

3.1. Sinopsis Cerita……….. 43

3.2.Analisis Kehidupan dalam Bentuk Cuplikan………….. .. 44

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……….. 64

4.1. Kesimpulan……….. 64

4.2. Saran………. 66

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(10)

ABSTRAK

Sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari – hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Dalam salah satu unsure kebudayaan terdapat satu bagian berupa karya sastra yang menyajikan nilai-nilai kesenangan dalam berbagai bentuk yang disajikan berdasarkan kehidupan sehari-hari.

Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan, penggunaan kata – kata yang indah, gaya bahasa dan gaya bercerita yang menarik. Istilah sastra hendaknya dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang dibayangkan saja. Salah satu hasil karya sastra yang menarik adalah komik. Komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Di Jepang, komik merupakan karya sastra yang paling populer.

Komik di Jepang sangat berkembang dari waktu ke waktu. Komik Jepang tidak hanya menampilkan cerita bertema kisah cinta, action, misteri, humor, atau kepahlawanan saja, namun juga tentang kehidupan sosial masyarakat dan masalah – masalah yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah komik berjudul Gokusen karya Kozueko Morimoto. Komik ini menceritakan seputar tentang kehidupan keluarga yakuza klan Kuroda, dengan berbagai aktifitas yang terjadi pada kelompok. Semua tergambar dalam kehidupan tokoh utamanya yang bernama


(11)

Kumiko Yamaguchi yang tumbuh di lingkungan keluarga Yakuza yang juga nantinya adalah pewaris tunggal dan penerus pemimpin kelompok yakuza klan Kuroda ;juga melalui berbagai peran kehidupan tokoh yakuza lainnya. Dalam komik ini digambarkan kehidupan sosial para Yakuza sebagaimana kita ketahui dalam kehidupan nyata, yang terorganisir dengan rapi dalam segala aktifitas anggotanya.

Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza

memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala aktifitas anggotanya. Dilator belakangi oleh keadaan Jepang yang belum stabil akibat perang menimbulkan banyak pengangguran dari kalangan bushi yang tidak memiliki tuan (ronin) yang membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan aksinya, dan mereka menamakan dirinya kabuki-mono.

Istilah yakuza pada awalnya hanya ditujukan bagi seorang pemain yang kalah dalam permainan kartu, namun maknanya berkembang dan tidak lagi ditujukan kepada seorang pemain saja tetapi mengacu kepada seluruh orang yang bermain judi dan kepada orang- orang yang melakukan penyimpangan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Dalam masyarakat Jepang pada masa itu,orang-orang yang berjudi dianggap sebagai pecundang dan tidak berguna.

Golongan yakuza dalam kehidupan nyata ataupun yang tergambar dalam hasil karya – karya sastra kebanyakan adalah sosok – sosok yang kejam, kasar dan dipenuhi oleh berbagai tindak kejahatan. Merupakan kelompok yang dalam menjalankan tugas – tugasnya harus tunduk kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pimpinan kelompoknya.


(12)

Hatomo-yakko atau pembantu shogun, merupakan asal mula organisasi

kriminal di Jepang. Namun yakuza modern tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai keturunan hatomo-yakko, melainkan sebagai keturunan machi-yokko atau pembantu kota. Machi-yokko merupakan suatu kelompok yang sebagian anggotanya adalah berasal dari masyarakat kelas bawah yang ada di Jepang. Tujuan awal dibentuknya machi-yokko adalah untuk melindungi kota-kota dari gangguan para hatomo-yakko. Berbeda dengan hatomo-yakko, kehadiran dari

machi-yokko dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Jepang, bahkan mereka

dianggap sebagai pahlawan pada zaman itu.

Yakuza (ヤクザ), yang juga dapat disebut dengan gokudou ( 極道 ) adalah nama dari sindikat terorganisir di Jepang. Sedang dalam pengoperasian organisasi ini, sering juga disebut mafia Jepang. Hingga sekarang, yakuza masih saja ditakuti banyak orang, hal ini dikarenakan sepak terjangnya yang sangat mempengaruhi Jepang, bahkan dunia sekaligus.

Dalam pelebaran dan perluasan anggota, yakuza tidak memandang status sosial mereka. Bahkan bagi mereka (anggotanya) yang dinilai lemah dan tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan kesehariannya (bukan dalam yakuza),

yakuza tidak tanggung-tanggung untuk melindunginya. Dalam kepengurusannya,

yakuza dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Yakuza tak bertuan dan keluarga Yakuza.

Tidak semua anggota yakuza berasal dari kalangan bawah seperti burakunin, yaitu masyarakat yang dianggap memiliki kedudukan yang rendah dalam masyarakat Jepang, namun ada juga yang berasal dari keluarga terpandang, yang merasa tertekan oleh tuntutan keluarga sehingga melarikan diri dari rumah dan kemudian bergabung dengan yakuza, atau pelajar yang dikeluarkan dari sekolah, anak yang


(13)

dibuang oleh orang tuanya karena kekurangan ekonomi dan lain-lain. Keanggotaan yakuza selain seperti yang disebutkan di atas, juga berasal dari perekruitan oleh suatu kelompok yakuza terhadap orang-orang yang dianggapnya berpotensi untuk bergabung menjadi anggota yakuza.

Yakuza tradisional yang merupakan asal – usul dari yakuza modern, dapat

dibedakan menjadi bakuto atau penjudi, dan tekiya atau pedagang keliling. Pada

yakuza, kesetiaan itu mereka tunjukkan ke dalam beberapa hal, seperti rela

mengorbankan diri sendiri untuk melindungi oyabun, dan siap menerima hukuman apa saja jika melakukan kesalahan yang ringan maupun berat, seperti memotong jari (yubitsume), dan menato seluruh tubuh, dan kemudian hal ini lama-kelamaan menjadi tradisi di organisasi yakuza dan menjadi identitas sebagai anggota yakuza. Bukan itu saja, anggota yakuza juga sering menggunakan kode dan bahasa rahasia jika bertemu dengan sesame anggota yakuza sehingga orang lain yang bukan anggota yakuza tidak dapat mengetahui arti dari tindakan dan ucapan mereka.

Yakuza pada zaman Edo atau sering disebut juga yakuza tradisional, dikenal

masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tidak berguna karena pekerjaan mereka adalah merampok, memeras dan berjudi. Yakuza tradisional yang merupakan asal – usul dari yakuza modern, dapat dibedakan menjadi bakuto atau penjudi, dan tekiya atau pedagang keliling. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan pergantian pemerintahan, yakuza pun ikut berkembang dan mulai meninggalkan aktifitas lama mereka menuju aktifitas yang baru, dan yakuza berubah menjadi yakuza yang modern.


(14)

Struktur yakuza setelah Perang Dunia II terlihat semakin jelas dan rapi, dan pada saat ini telah memiliki beberapa jabatan layaknya pemerintahan sendiri. Setiap organisasi yakuza memiliki peraturan-peraturan sendiri yang wajib dipatuhi dan dijalankan oleh anggotanya. Oyabun memegang kekuasaan penuh untuk mengatur jalannya organisasi.

Sebagian dari kehidupan dan aktifitas yakuza tergambar dalam komik Gokusen karya Kozueko Morimoto ini. Dalam komik Gokusen, pengarang lebih menonjolkan sifat dan karakter yakuza.

Yakuza dalam komik Gokusen digambarkan juga sebagai sekelompok orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jepang saat itu. Pengarang menonjolkan karakter yakuza dari sisi yang berbeda. Yakuza pada komik Gokusen ini menunjukkan karakter utamanya ”Kumiko Yamaguchi”, merupakan keturunan yakuza yang berprofesi sebagai guru di sebuah SMA. Sebagai pemimpin kelompok Yakuza yang menjadi seorang guru, karakter ”Kumiko” menghadirkan image baru pada karakter yakuza yang selama ini ada dalam bayangan masyarakat.

Kumiko menghadirkan karakter yakuza yang menyukai perdamaian, membela kaum lemah, dan menghargai pendidikan. Sebagai guru dia mengajar murid-muridnya yang nakal dan tidak berminat dalam belajar. Kumiko menjadi guru yang disipilin dan tegas untuk meningkatkan prestasi muridnya. Demikian juga para tokoh yang lain, antara masing-masing anggota di Keluarga Kuroda harus saling menghormati dan melindungi satu sama lain.

Dalam komik ini diceritakan bagaimana kelompok yakuza masing-masing tetap menjaga wilayah kekuasaannya agar tetap aman terkendali. Sedapapat


(15)

mungkin mereka menghindari perkelahian dengan kelompok yakuza lainnya. Hal inilah yang ditunjukkan komik tersebut, yaitu sisi yang berbeda dari kehidupan yakuza dalam kehidupan nyata.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tujuan manusia hidup di dunia ini adalah untuk mencari kesenangan. Banyak aspek di dunia ini yang mendukung agar manusia dapat mencapai tujuan ini. Salah satu aspek yang menunjang itu bisa didapatkan dalam unsur – unsur kebudayaan yang dapat memberikan nilai – nilai kesenangan yang tersaji dalam beragam bentuk.

Adalah hal menarik jika kita berbicara dan membahas mengenai kebudayaan sebagai bagian yang tak dapat terpisahkan dari segala aspek kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam Ensiklopedia Umum (1990 : 973) dikatakan bahwa kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari – hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Perwujudan dari kebudayaan itu sendiri adalah benda– benda yang bersifat nyata, pola – pola perilaku, bahasa, organisasi – organisasi sosial, agama dan sisitem kepercayaan, kesenian dan yang lainnya, yang keseluruhannya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupannya.

Dalam salah satu unsur kebudayaan, yakni kesenian, terdapat satu aspek dalam bentuk karya sastra yang dapat memberikan nilai – nilai kesenangan dengan menikmati yang tersaji dalam beragam bentuk, termasuk bentuk yang disajikan berdasarkan kenyataan dalam kehidupan sehari – hari.


(17)

Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Pada umumnya, karya sastra memiliki jenis yang bervariasi, baik yang bersifat fiksi maupun nonfiksi. Misalnya drama, teater, puisi, roman, prosa dan lain sebagainya.

Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan, penggunaan kata – kata yang indah, gaya bahasa dan gaya bercerita yang menarik (Zainuddin, 1992 : 99). Rene Wellek dalam Melani Budianto (1997 : 109) berpendapat bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Rene Wellek dalam Badrun (1983 : 16) juga mengatakan bahwa istilah sastra hendaknya dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang dibayangkan saja.

Sedangkan menurut Boulton dalam Aminuddin (2000 : 37) bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai – nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.

Sastra terdiri atas jenis – jenis sastra yang amat bervariasi, seperti misalnya drama, teater, puisi, roman, prosa, dan sebagainya. Salah satu hasil karya sastra berupa prosa adalah cergam (cerita bergambar), atau juga lebih dikenal dengan sebutan Komik.

Komik merupakan salah satu seni yang mengunakan gambar – gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Biasanya komik dicetak di atas kertas dan dilengkapi oleh teks. Komik juga


(18)

merupakan salah satu sajian yang ditawarkan dalam dunia sastra yang dapat menarik hati para penikmat sastra. Tidak hanya itu, komik mampu memikat banyak orang di seluruh dunia, baik dari kalangan anak – anak, remaja, bahkan juga orang tua.

Pada masa sekarang ini komik atau yang lebih popular dalam bahasa Jepang yang disebut dengan Manga. Komik di Jepang sangat menjamur dan berkembang dari waktu ke waktu. Pada zaman sekarang, komik tidak hanya diminati oleh orang Jepang saja melainkan hampir keseluruh pelosok dunia seperti Amerika, Eropa, bahkan sampai ke Indonesia. Di Jepang, istilah manga diperkenalkan pertama kalinya oleh Katsuhika Hokusai. Pada saat itu komik dibentuk pada percetakan pada kertas yang menggunakan blok – blok kayu. Komik dibagi dalam empat kategori, antara lain :

1. Komik anak laki – laki (shounen manga) 2. Komik anak perempuan (shoujo manga) 3. Komik remaja (seinen manga)

4. Komik dewasa (seijin manga)

Dalam penyajian komik, pengarang menawarkan banyak hal yang dapat dinikmati oleh para pembacanya. Tidak hanya konsep cerita yang berdasarkan kisah nyata dalam kehidupan sehari –hari tetapi juga ditawarkan konsep seni dan imajinasi yang tinggi serta nilai – nilai kebudayaan yang dapat membuat suatu karya sastra itu, dalam hal komik khususnya, dapat menyampaikan dan mengekspresikan ide – ide dan bahkan pesan – pesan moral dari pengarang sehingga timbullah efek –efek tertentu bagi pembaca itu sendiri.


(19)

Komik Jepang tidak hanya menampilkan cerita bertema kisah cinta, action, misteri, humor, atau kepahlawanan saja, namun juga tentang kehidupan sosial masyarakat dan masalah – masalah yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah komik berjudul Gokusen karya Kozueko Morimoto, yang diterbitkan oleh Level Comics; Shueisha Inc. Komik ini menceritakan seputar tentang kehidupan tokoh utamanya yang bernama Kumiko Yamaguchi yang tumbuh di lingkungan keluarga Yakuza yang juga nantinya adalah pewaris tunggal dan penerus pemimpin kelompok yakuza keluarga Kuroda.

Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza

memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala aktifitas anggotanya. Dilator belakangi oleh keadaan Jepang yang belum stabil akibat perang menimbulkan banyak pengangguran dari kalangan bushi yang tidak memiliki tuan (ronin) yang membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan aksinya, dan mereka menamakan dirinya kabuki-mono.

Istilah yakuza pada awalnya hanya ditujukan bagi seorang pemain yang kalah dalam permainan kartu, namun maknanya berkembang dan tidak lagi ditujukan kepada seorang pemain saja tetapi mengacu kepada seluruh orang yang bermain judi dan kepada orang- orang yang melakukan penyimpangan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Dalam masyarakat Jepang pada masa itu,orang-orang yang berjudi dianggap sebagai pecundang dan tidak berguna (Inami, 1992 : 353).

Pada komik Gokusen karya Kozueko Morimoto ini, Kumiko Yamaguchi ;sebagai tokoh utama dalam komik ini; tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan Yakuza, dia ;yang biasa dipanggil “ojo-san” di keluarganya; memiliki sifat dan


(20)

karakter yang keras dan menguasai bela diri sekalipun ia seorang wanita. Dalam komik ini digambarkan kehidupan sosial para Yakuza sebagaimana kita ketahui dalam kehidupan nyata, yang terorganisir dengan rapi dalam segala aktifitas anggotanya.

Namun di sisi lain, Kumiko melakoni peran sebagai seorang guru di SMU khusus pria, Shirokin. Sewaktu ia kecil ia pernah bertemu dengan seorang guru yang benar – benar memiliki totalitas tinggi terhadap pekerjaannya sebagai guru. Dan sejak saat itu Kumiko kecilpun menyimpan keinginan besar untuk bisa menjadi seorang guru ketika ia dewasa nanti. Kini ia telah menjadi seorang guru, Kumiko begitu fokus untuk keberhasilan kelulusan murid – muridnya dan benar – benar memberikan rasa saying penuh terhadap murid – muridnya, selalu ada ketika murid – muridnya membutuhkan pertolongannya.

Untuk dapat menjadi seorang guru tentu saja ia menyembunyikan identitasnya sebagai seorang yakuza. Karena di Jepang ;oleh orang awam; yakuza hanya dianggap sebagai pengganggu dan pembuat keonaran saja. Jadi ia tidak mungkin tetap diterima atau diizinkan tetap mengajar jika identitasnya sebagai

yakuza diketahui pihak sekolah.

Tidak demikian di keluarganya. Pada awalnya keluarganya sangat kebingungan dengan keputusan Kumiko untuk menjadi guru. Namun pada akhirnya pemimpin kelompok Yakuza keluarga Kuroda, yang adalah kakek Kumiko ;yang dikenal sangat bijaksana; melihat keinginan cucunya ini tulus dan mengizinkan Kumiko untuk menjadi guru dan mendukung Kumiko sepenuhnya.

Komik Gokusen memuat cerita fiksi yang diambil berdasarkan kejadian – kejadian nyata seputar kehidupan yakuza dan keadaan bersekolah di Jepang.


(21)

Kozueko Morimoto berhasil menggambarkan kehidupan serta peran Kumiko yang seorang yakuza dalam tugas dan tanggung jawabnya pada kelompoknya serta kehidupannya sebagai seorang guru wanita di sekolah khusus pria.

Peran yakuza sebagai seorang guru tentulah sangat bertolak belakang dengan profesi sebagai yakuza, yang tercermin baik dalam kehidupan nyata maupun dalam komik Gokusen. Hal ini rasanya layak penulis angkat untuk membahas skripsi yang berhubungan dengan yakuza melalui skripsi yang berjudul ”ANALISIS KEHIDUPAN YAKUZA DALAM KOMIK GOKUSEN

KARYA KOZUEKO MORIMOTO”.

1.2 Perumusan Masalah

Golongan yakuza dalam kehidupan nyata ataupun yang tergambar dalam hasil karya – karya sastra kebanyakan adalah sosok – sosok yang kejam, kasar dan dipenuhi oleh berbagai tindak kejahatan. Merupakan kelompok yang dalam menjalankan tugas – tugasnya harus tunduk kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pimpinan kelompoknya.

Namun kehidupan yakuza yang digambarkan dan ditegaskan oleh Kozueko Morimoto dalam Gokusen ini sangat berbeda dari apa yang banyak diketahui oleh umum. Keluarga Yakuza ini saling melengkapi, tokoh – tokoh utama yang di gambarkan dalam komik ini memiliki rasa sosial yang cukup tinggi terhadap lingkungan dan ikatan persahabatan yang kuat terhadap teman-temannya sesama yakuza. Kumiko sebagai seorang yakuza mampu menghadapi segala tantangan untuk tetap dapat mengajar sebagai guru sekolah.


(22)

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mencoba menjawab masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana latar belakang munculnya organisasi Yakuza dalam kehidupan masyarakat Jepang?

2. Bagaimana kehidupan tokoh – tokoh utama Yakuza dalam komik Gokusen karya Kozueko Morimoto?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini, agar masalah penelitian tidak terlalu luas, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.

Dalam analisis ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada kehidupan tokoh (sebanyak tujuh tokoh) melalui cuplikan-cuplikan cerita dalam komik Gokusen ini, yaitu di mulai dari komik Gokusen volume 1 – 10. Untuk mendukung pembahasan, akan dibahas juga tentang latar belakang sejarah munculnya yakuza dalam kehidupan masyarakat Jepang secara umum.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Macluer dan Page dalam Soekanto (2003:24), mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata krama, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah


(23)

laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Yakuza merupakan suatu bentuk kebudayaan dalam hal sistem organisasi sosial masyarakat Jepang. Menurut Suryohadiprojo (1982 : 192), kebudayaan adalah hasil dari budi daya dan hasil dari pemikiran manusia. Yakuza merupakan suatu bentuk organisasi kriminal yang terbentuk pertama kali pada zaman Edo, tepatnya pada pemerintahan Shogun Tokugawa, dan hingga kini organisasi ini masih tetap ada dalam masyarakat Jepang. Yakuza secara umum diidentikkan dengan organisasi yang penuh dengan kekerasan dan kekejaman. Zairun (1982 :3) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu proses bangunan lembaga yang merupakan hasil proses pembagian dan penyatuan usaha yang ditujukan kearah tercapainya suatu tujuan.

Setiap organisasi harus memiliki struktur organisasi agar apa yang ingin dicapai dapat terwujud dengan baik. Anderson (1973 : 16) mengatakan bahwa struktur organisasi adalah susunan hubungan-hubungan, pertanggungjawaban, dan wewenang-wewenang melalui tujuan perusahaan pada pencapaian sasarannya.

Peranan menurut Soekanto (1990:243) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola kehidupannya. Hal itu sekaligus berarti bahwa seorang ninja mempunyai peranan untuk menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta hal-hal yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.

Aminuddin (2000:39) mengatakan bahwa sastra adalah seni, karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Tujuannya pun sama yaitu untuk memberikan makna pada


(24)

eksistensinya, serta untuk membuka jalan kekebenaran. Yang membedakannya dengan seni lain adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.

Unsur – unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra, khususnya prosa antara lain yaitu tema, penokohan, plot, setting, dan lain sebagainya. Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Penikmat sastra dapat secara bebas menafsirkan watak, perwatakan dan karakter yang merujuk pada sifat dan sikap para tokoh.

Tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiantoro (1995 : 165), adalah orang – orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Hal ini sangat tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh sesuai dengan pesan, amanat, atau pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembacanya.

Di dalam komik Gokusen, melalui penokohannya, pengarang menyajikan suatu karya sastra fiksi yang banyak mengandung nilai – nilai sosiologi yang tergambar jelas dari sikap, sifat serta ucapan – ucapan para tokohnya sebagai unsur yang membawa pesan, amanat atau pesan moral yang kiranya dapat bermanfaat bagi pembacanya.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang berfungsi sebagai acuan penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan semiotika, pendekatan historis dan pendekatan sosiologis.


(25)

Menurut Jan Van Luxemburg (1992 : 46), semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda, lambang dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial maupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda – tanda. Tanda – tanda tersebut dapat berupa gerakan anggota badan, pakaian dan lain – lain. Kemudian tanda – tanda tersebut dihubungkan dengan konsep budaya sehingga pada kondisi ini karya sastra yang berbentuk komik akan dijadikan sebagai tanda untuk diinterpretasikan. Setelah dapat tanda yang menunjukkan kondisi sosial tokoh dengan menggunakan pendekatan semiotika, penulis melakukan analisis dengan pendekatan sosiologis.

Menurut Aminuddin (2000:46) pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatar belakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman. Hal dasar yang melatar belakangi lahirnya pendekatan ini adalah anggapan bahwa cipta sastra bagaimana pun juga merupakan bagian dari zamannya.

Ratna (2004: 65) berpendapat bahwa pendekatan historis memusatkan perhatian pada masalah bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain, sehingga dapat diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Pada umumnya pendekatan historis dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan. Maka penulis juga menggunakan pendekatan ini untuk melihat latar belakang cerita yakuza dalam kehidupan nyata maupun yakuza dalam komik Gokusen dan memahami unsur-unsur sejarahnya.


(26)

Pendekatan sosiologis bertolak dari pandangan bahwa sastra adalah pencerminan kehidupan masyarakat. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat sastra itu diwujudkan (Aminuddin, 2006 : 46).

Dalam hal ini, penulis menganalisa kondisi sosiologis dari komik Gokusen yang kemudian dihubungkan dengan pendekatan historis serta pendekatan semiotika yang digunakan untuk menjabarkan keadaan serta tanda – tanda yang terdapat dalam komik ini. Oleh karena itu, analisis ini akan menjelaskan tentang kondisi sosial yang dihadapi tokoh utama dalam komik ini.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuaan Penelitian

Dalam setiap penulisan skripsi tentu ada tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dikemukakan di atas. Adapun tujuan tersebut adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya dan perkembangan yakuza di Jepang.


(27)

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai makna yang terkandung dalam komik Gokusen.

2. Bagi masyarakat luas pada umumnya dan para pelajar Sastra jepang khususnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi mengenai perkembangan kehidupan yakuza di Jepang dewasa ini.

1.6 Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai prosedur atau tata cara yang sistematis yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu. (Siswantoro, 2005 : 55)

Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dianalisis dalam komik Gokusen, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif dalam cakupan penelitian kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30), bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin tentang suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data.


(28)

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library research) yaitu dengan menelusuri sumber – sumber kepustakaan dengan cara mengumpulkan buku – buku dan referensi yang ada di perpustakaan umum Universitas Sumatera Utara, perpustakaan jurusan Sastra Jepang, membaca literatur yang berhubungan dengan isi penulisan ini dan melakukan penelusuran melalui media internet.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN KOMIK

2.1 Yakuza di Jepang

Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza

memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala aktifitas anggotanya. Hal inilah yang membedakan yakuza dengan organisasi kriminal lain di dunia seperti mafia di Italia dan gangster di Amerika

Perkembangan yakuza di Jepang sangat cepat, bahkan melebihi jumlah perkembangan polisi di Jepang pada tahun 1958-1963. padahal yakuza sering melakukan tindakan yang di anggap illegal, seperti perdagangan narkotika, penjualan senjata api, perjudian dan juga usaha rumah bordil. Namun pemerintah Jepang sangat sulit untuk menghentikan perkembangan yakuza.

Jika membicarakan yakuza, terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana latar belakang dan faktor mendukung perkembangan yakuza.

2.1.1 Latar Belakang Munculnya Yakuza di Jepang

Sistem pemerintahan feodal di Jepang dibagi menjadi feodal awal dan feodal akhir, yang dimulai dengan zaman Kamakura (1192-1333) dan di akhiri dengan zaman Edo atau Tokugawa (1603-1868).

Zaman Edo ditandai dengan terjadinya perang terbesar di Jepang yang melibatkan keluarga Toyotomi dengan keluarga Tokugawa, yaitu Perang Sekigahara (1600). Perang tersebut berawal dari perselisihan para daimyo kedua


(30)

keluarga untuk memperebutkan kekuasaan dan kedudukan shogun sebagai pengganti Toyotomi Hideyoshi yang meninggal pada tahun 1598. Menurut tradisi, yang sebenarnya berhak untuk mewarisi kedudukan shogun tersebut adalah putra dari Toyotomi Hideyoshi, yaitu Toyotomi Hideyori. Namun kekuatan Tokugawa Ieyasu dari hari kehari semakin kuat dan hal tersebut merisaukan keluarga daimyo Ishida Mitsunari (1560-1600) yang merupakan pendukung dari Hideyori. Maka Ishida Mitsunari mengumpulkan pengikutnya untuk menjatuhkan Tokugawa Ieyasu, dan pihak Tokugawa Ieyasu tidak membiarkan begitu saja. Yang disebut dengan daimyo adalah penguasa daerah yang berpenghasilan di atas 10.000 koku padi per tahun, dan yang berpenghasilan di bawah tersebut disebut dengan

hatamoto (Situmorang, 1995 : 43).

Perselisihan antara daimyo-daimyo pendukung dari kedua keluarga tersebut semakin meruncing dan akhirnya terjadilah perang di daerah Sekigahara. Tokugawa Ieyasu berhasil memenangkan perang tersebut. Kemenangan Tokugawa Ieyasu tersebut menyebabkan munculnya penguasa baru, dan kemudian ia diangkat menjadi Jendral Berkuasa Penuh atau Seii tai Shogun oleh

Tenno Haika. Tokugawa Ieyasu mendirikan pemerintahan Bakufu di Edo (Tokyo)

pada tahun 1603 (Totman dalam Situmorang, 1995 : 20).

Perang tersebut melibatkan sekitar 80.000 bushi dari masing-masing kubu. Walaupun Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan keluarga Toyotomi, namun kerugian yang dideritanya juga tidak sedikit. Kondisi Jepang setelah perang Sekigahara dapat dikatakan damai namun belum stabil karena banyak bushi harus berpindah profesi dari samurai, dan sebagian dari mereka ada yang berpindah profesi menjadi pedagang, ada pula yang menjadi guru seni bela diri dan sebagian


(31)

kerja di pemerintahan. Bushi adalah serdadu professional yang sebelumnya adalah petani yang dipersenjatai dan dilatih untuk mengabdi kepada tuannya kizoku. Namun tidak sedikit dari para bushi itu yang gagal dengan profesi baru mereka, dan mereka yang gagal ini kemudian menggunakan segala cara untuk memperoleh uang demi kelangsungan kehidupan mereka.

Para ronin tersebut bisaanya membentuk kelompok-kelompok dalam melakukan segala kegiatannya. Pada saat itu ada suatu kelompok yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Edo yang menamai dirinya kabuki-mono. Mereka adalah para ronin yang sering melakukan tindakan yang menyimpang dan sering berpenampilan eksentrik karena cara berpakaian serta potongan rambutnya yang tidak lazim dan selalu membawa pedang panjang kemanapun mereka pergi sebagai alat untuk menakut-nakuti masyarakat pada zaman itu.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keadaan Jepang yang belum stabil akibat perang menimbulkan banyak pengangguran dari kalangan bushi yang tidak memiliki tuan (ronin) yang membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan aksinya, dan mereka menamakan dirinya kabuki-mono. Kabuki-mono dapat dikatakan sebagai kelompok kriminal legendaris pada zaman pertengahan di Jepang. Mereka dikenal juga sebagai kelompok ronin dengan sebutan

hatomo-yakko atau pembantu shogun, yang menerapkan loyalitas yang tinggi pada

tuannya dan sesama para anggotanya, seperti bersumpah untuk saling melindungi dalam berbagai keadaan.

Hatomo-yakko atau pembantu shogun, merupakan asal mula organisasi

kriminal di Jepang. Namun yakuza modern tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai keturunan hatomo-yakko, melainkan sebagai keturunan machi-yokko atau


(32)

pembantu kota. Machi-yokko merupakan suatu kelompok yang sebagian anggotanya adalah berasal dari masyarakat kelas bawah yang ada di Jepang. Tujuan awal dibentuknya machi-yokko adalah untuk melindungi kota-kota dari gangguan para hatomo-yakko. Berbeda dengan hatomo-yakko, kehadiran dari

machi-yokko dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Jepang, bahkan mereka

dianggap sebagai pahlawan pada zaman itu.

Ada beberapa kisah mengenai tokoh machi-yokko, namun yang paling terkenal adalah cerita mengenai Chobei Banzuiin. Chobei dilahirkan dalam keluarga biasa di bagian selatan Jepang. Pada tahun 1640, ia berkelana ke Edo dan kemudian bergabung dengan kakaknya, seorang biksu kepala di sebuah kuil Budha.

Berbeda dengan kakaknya, Chobei bekerja sebagai makelar buruh. Selain menjadi makelar buruh, Chobei juga membuka tempat perjudian yang awalnya hanya untuk mengisi waktu istirahat. Taruhan yang dipasang selain untuk menarik perhatian para buruh untuk ikut berjudi, juga dimaksudkan agar uang yang telah ia bayarkan sebagai gaji kepada buruh yang ia pekerjakan, dapat kembali ke tangannya.

Walaupun Chobei memiliki tempat berjudi, namun di lain pihak ia jga dikenal masyarakat sebagai orang yang suka menolong rakyat jelata. Setiap kali orang yang ditolongnya mengucapkan terima kasih kepadanya, ia menjawab bahwa semua itu adalah jalan hidup yang ia pilih karena seandainya ia memilih jalan pedang maka ia akan kehilangan nyawanya. Seolah-olah telah diramalkan oleh kata-katanya sendiri, Chobei meninggal dibunuh dengan pedang oleh musuh utamanya, yaitu Jurozaemon Mizuno, pemimpin dari hatomo-yakko di Edo


(33)

(Kaplan, 1994 : 17). Kisah-kisah selama masa hidup Chobei yang suka menolong telah memberikan pengaruh yang cukup besar pada yakuza modern, sehingga mereka menganggap Chobei Banzuiin sebagai leluhur mereka.

2.1.2 Nama Yakuza (ヤ ク ザ)

Kebanyakan kaum Machi-yokko yang disewa berasal dari kelas bakuto atau penjudi. Hal ini dimaksudkan agar upah para pekerja terkuras di meja perjudian. Dengan begitu, uang yang telah dikumpulkannya akan cepat habis dan mereka dengan terpaksa agar segera mencari “tambahan” guna mencukupi kebutuhan hobinya, yaitu berjudi.

Dalam permainan judi, mereka bisaa menggunakan kartu Hanafuda (花札) dengan system permainan mirip Black Jack. Permainan yang dinamakan Oicho Kabu atau yang sering disebut sammai karuta atau tiga kartu ini digunakan karena dinilai sangat cepat dan menyenangkan. Cara permainannya sangat mudah. Dengan hanya menjumlahkan angka dari masing-masing kartu maka dapat ditentukan siapa pemenangnya. Pemenang dari permainan ini adalah pemain yang memiliki nilai tertinggi. Untuk nilai tertingginya adalah 9, sedang nilai terendah adalah 0 (nol). Angka ini diambil dari penjumlahan ketiga kartu yang dibagikan dan angka terakhirlah yang menentukan.

Jika ditemukan angka 9-9-1, yang berjumlah 19, maka angka 9 yang digunakan. Demikian juga, apabila kartu yang dibagikan adalah adalah 5-5-5 dan jumlahnya 15 maka angka 5-lah yang digunakan. Dalam permainan ini, para pemain sangat membenci angka yang berakhiran 0 (nol). Karena secaralangsung mereka dinyatakan kalah. Mereka sering menyebutnya “kartu sial”.


(34)

Dalam permainan ini, kartu yang disebut dengan “kartu sial” ini sering ditemukan dengan nilai 8-9-3 yang berjumlah 20. dan istilah “yakuza” sendiri awalnya diambil dari “kartu sial” ini. Dalam bahasa Jepang, angka 8-9-3 dapat juga diucapkan sebagai Ya-Ku-Za.

8 ( 八) = Hachi = Ha/Ya ( ヤ ) 9 ( 九) = Kyu = Ku ( ク ) 3 ( 三) = San/ Zan = Sa/Za ( ザ )

Istilah yakuza pada awalnya hanya ditujukan bagi seorang pemain yang kalah dalam permainan kartu, namun maknanya berkembang dan tidak lagi ditujukan kepada seorang pemain saja tetapi mengacu kepada seluruh orang yang bermain judi dan kepada orang- orang yang melakukan penyimpangan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Dalam masyarakat Jepang pada masa itu,orang-orang yang berjudi dianggap sebagai pecundang dan tidak berguna (Inami, 1992 : 353).

2.1.3 Organisasi Yakuza

Yakuza (ヤクザ), yang juga dapat disebut dengan gokudou ( 極道 ) adalah nama dari sindikat terorganisir di Jepang. Sedang dalam pengoperasian organisasi ini, sering juga disebut mafia Jepang. Hingga sekarang, yakuza masih saja ditakuti banyak orang, hal ini dikarenakan sepak terjangnya yang sangat mempengaruhi Jepang, bahkan dunia sekaligus. Meski pada dasarnya mereka adalah kelompok-kelompok ‘minor’ yang dikumpulkan, namun dalam perekruitan anggota, mereka tidak pernah memandang status sosial para calon anggotannya.


(35)

Jika awal dari pembentukan yakuza berasal dari “rakyat yang bukan dari kalangan bushi”, dalam pelebaran dan perluasan anggota, yakuza tidak memandang status sosial mereka. Bahkan bagi mereka (anggotanya) yang dinilai lemah dan tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan kesehariannya (bukan dalam yakuza), yakuza tidak tanggung-tanggung untuk melindunginya. Dalam kepengurusannya, yakuza dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Yakuza tak bertuan dan keluarga Yakuza

1. Yakuza tak bertuan/yakuza lepas

Dalam kepengurusan yakuza, tidak ditentukan atau diwajibkan bagi mereka untuk bergabung dalam suatu kelompok tertentu. Pada praktiknya, banyak ditemukan yakuza yang berdiri sendiri dan tidak memiliki “tuan”.

Seperti yang disebutkan, yakuza dapat berasal dari golongan manapun, tingkat sosial apapun, dan umur berapa pun. Dan ini berdampak dengan adanya

yakuza lepas yang tidak memiliki tuan dan tidak terikat dengan organisasi apapun.

Yakuza lepas ini sering disewa oleh keluarga yakuza untuk melakukan

kegiatannya. Sesuai dengan jabatannya, yakuza lepas berasal dari kalangan paling bawah, yang tidak memungkinkan menjalankan usaha apapun secara sendirian. Mereka lebih dikenal oleh masyarakat tentang sepak terjang mereka yang selalu membuat keonaran diantaranya. Berbeda dengan keluarga yakuza yang lebih memilih “jalur elit”.

Keterlibatan antara yakuza lepas dengan keluarga yakuza adalah apabila keluarga yakuza menginginkan keonaran dengan tanpa campur tangan pribadinya, atau hanya ingin “lempar batu sembunyi tangan”, keluarga yakuza menyewa


(36)

Yakuza lepas sangat mandiri karena tidak bertuan. Sehingga yakuza lepas

lebih mudah dalam beraksi tanpa harus menunggu atau ditunggu. Dalam alur keuangannya, yakuza lepas sangat rawan apabila pada akhirnya yakuza lepas mampu mengungguli keluarga yakuza.

Dan, apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka keluarga yakuza tidak segan-segan untuk menghabisi yakuza lepas tersebut yang dinilai mengganggu dan sebagai ancaman di kemudian hari.

2. Keluarga Yakuza

Keluarga yakuza berbeda dengan yakuza lepas. Mereka lebih terkoordinir dan berjalan sesuai alurnya. Susunan kepengurusan juga sangat jelas sehingga mereka memiliki pertanggungjawaban secara terarah. Selain itu, peraturan-peraturan yang disusun juga harus dilakssanakan.

Dalam kepengurusan Keluarga Yakuza atau yang dapat disebut Organisai

yakuza, mirip dengan susunan keluarga pada umumnya dan memiliki tugas dan

tanggung jawab seperti organisasi-organisasi pada umumnya. Kombinasi kedua susunan struktural ini mampu membawa yakuza menjadi organisasi “keluarga” yang sangat kuat dan ditakuti.

Susunan keluarga rumah tangga; dalam keluarga kecil, kepala rumah tangga biasa dipegang oleh lelaki tertua yang biasanya diperankan oleh ayah dengan istri yang mendampingi dan diteruskan ke bawah oleh anaknya. Jika ditarik kebelakang, menjadi keluarga besar, lelaki tertualah yang menjadi kepala rumah tangga (bila masih mampu). Atau juga yang paling mampu dalam mengurusi segala kebutuhan rumah tangga. Dengan didampingi istri, diteruskan hingga anak(-anak)nya. Menurun kembali menjadi keluarga ke-3, atau yang


(37)

sering disebut sebagai cucu(-cucu). Di antara ank(-anak) dan atau cucu(-cucu), mereka memiliki ikatan tali persaudaraan yang disebut dengan kakak-adik.

Jika ditarik secara keseluruhan, tali ikatan keluarga besar tersebut memiliki ikatan antara bapak-anak, kakek-cucu, paman-keponakan, dan kakak-adik.

Berbeda dengan susunan organisasi (secara umum); “Atasan” bisa jadi seseorang uang memiliki jabatan terendah atau bahkan ‘pemilik’” bisa jadi seseorang yang memiliki jabatan terendah atau bahkan ‘pemilik’ perusahaan sendiri dan kemudian turun ke kepala pusat hingga ke masing-masing kepala cabang. Susunan ini terus secara menurun kepada masing-masing anak buah hingga sampai dasar. Bahkan sekarang mengenal sistem kontrak atau bahkan buruh lepas.

Dengan gambaran susunan keluarga rumah tangga dan organisasi, jika digabungkan, pasti menjadi suatu organisasi yang sangat kuat. Yakuza adalah salah satu organisasi yang memiliki susunan organisasi tersebut. Oleh karenanya disebut sebagai “Organisasi Keluarga Yakuza”.

Susunan keluarga Yakuza, atau dapat disebut sebagai Klan Yakuza; Kepala Tinggi, dapat disebut sebagai Oyabun 親分 (ayah/father) dan menurun secara kebawah kepada Wakashu 若衆 (anak/child). Dan masing-masing anak(-anak) tersebut menjadi Kyodai (saudara/brother).

Melihat susunan struktural tersebut, seperti dalam kepengurusan organisasi perusahaan, yakuza juga memiliki “staf khusus” untuk mengurusi keuangan, hukum, dan sekretaris. Mereka adalah termasuk angkatan pertama di bawah “kaki tangan” atau “Orang Kepercayaan” yang disebut sebagai Saiko Komon 最高顧問.


(38)

2.1.4 Uraian Tugas dan Tanggung Jawab a. Oyabun

Oyabun, dalam istilah mafia atau bahkan organisasi teroris besar

dimanapun, sama artinya yaitu Bos Besar. Oyabun dalan yakuza dapat diartikan sebagai Father atau bahkan God Father. Oyabun sendiri adalah “nenek moyang” dari berbagai elemen yakuza yang ada di Jepang.

Dalam kepengurusannya, oyabun dibantu oleh saiko komon, yang menjadi salah satu kaki tangannya dalam menjalankan organisasinya baik di bidang hukum maupun keuangan. Selain itu juga ada Waka Gashira yang juga sebagai “anak”nya.

Seluruh ucapan dan perintah oyabun adalah hukum, dan “anak-anak”nya wajib mengikutinya. Bagi mereka yang membelot, hanya akan membahayakan kehidupannya. Bukan hanya secara personal, melainkan yang berhubungan dengan dirinya, termasuk keluarga dan kerabatnya. Oyabun yang sangat terkenal adalah Yoshio Kodama. Dia berhasil mempersatukan beberapa kelompok yakuza menjadi organisasi terkuat di jepang setelah peristiwa Pearl Harbour.

b. Saiko Komon

Yakuza adalah salah satu organisasi yang memiliki struktur organisasi terbaik.

Yakuza bahkan memikirkan sampai ke pengurus hukum. Saiko Komon, penasihat

yang mendampingi Oyabun dalam berperan memiliki beberapa staf yang setara dengannya. Mereka terbagi sesuai dengan pekerjaannya. Di antaranya adalah penasihat pribadi, sekretaris, pengacara, dan staf keuangan.


(39)

Meski begitu, mereka yang termasuk ke dalam golongan Saiko Komon, juga memiliki hak yang sama seperti oyabun untuk menjadi “ayah” dari kelompok-kelompoknya. Hanya saja, mereka dituntut agar tetap setia mendampingi sang ayah.

c. Shatei Gashira

Meski oyabun dinilai sebagai pimpinan tertinggi, tidak menjadikan dirinya sebagai pimpinan tunggal selamanya. Oyabun juga memiliki saingan yang sama-sama memiliki basis tinggi. Mereka disebut sebagai “adik” oyabun atau shatei

Gashira.

Susunan strukturalnya sama, hanya yang membedakan, keturunan dari mereka menjadi saudara tertua dari keturunan-keturunan Waka Gashira karena

shatei gashira sendiri menduduki peringkat pertama dari susunan yakuza. Meski

begitu, shatei gashira tidak memiliki keagungan layaknya oyabun. Namun shatei

gashira harus tunduk kepada oyabun.

d. Wakashu

Anaknya atau sebagai “pimpinan ke-2” ini sering dipanggil oleh sang ayah sebagai waka gashira. Wakashu atau waka gashira juga dapat disebut sebagai

Kumicho 組長.

Hampir keseluruhan Wakashu memiliki keturunan. Bagi Wakashu yang memiliki keturunan inilah yang berhak mendapatkan julukan Waka Gashira. Dan dia kemudian mendapatkan panggilan kumicho bagi kelompok-kelompok di bawahnya.


(40)

Saat menjalankan jabatannya sebagai Wakashu, dia tetap harus menjalankan norma-norma yakuza terhadap pimpinannya (God Father). Karena bagaimanapun juga, oyabun adalah satu-satunya pimpinan tertinggi dalam yakuza.

Kumicho, meski sebagai pimpinan tinggi, yang dalam ilmu perang dapat disebut

sebagai “shogun/Panglima Perang” ini juga memiliki struktur organisasi yang sama dengan organisasi besar pimpinan oyabun. Kumicho juga dibantu oleh Saiko

Komonnya sendiri.

e. Wakashu Kyodai

“Saudara” oyabun atau sering disebut sebagai Shatei Gashira juga sering disebut sebagai kyodai. Namun demikian, kyodai tidak terhenti hanya sebatas “saudara” oyabun saja. Pada dasarnya kyodai adalah “saudara” seangkatan. Seluruh keturunan baik dari Saiko Komon, Shatei Gashira, atau bahkan Waka

Gashira adalah kyodai. Mereka layaknya sebuah keluarga dan dalam suatu

komunitas atau organisasi pekerja, selalu memiliki dua kubu, antara pro dan kontra.

Bagi kubu ‘pro’, mereka lebih mementingkan persaudaraan dengan saling berbagi dan membantu. Tapi bagi ‘kontra’, mereka cenderung memperebutkan jabatan dan memperlihatkan kekuasaannya.

2.2 Kelompok-Kelompok yang Termasuk Yakuza

Setelah hampir seratus tahun kematian Chobei Banzuiin, barulah muncul

yakuza tradisional. Yakuza tradisional adalah yakuza yang muncul pada awal


(41)

Mereka bisaanya berasal dari kalangan bawah yang merasa terbuang atau tidak sesuai dengan masyarakat Jepang pada umumnya. Tetapi tidak semua anggota

yakuza berasal dari kalangan bawah seperti burakunin, yaitu masyarakat yang

dianggap memiliki kedudukan yang rendah dalam masyarakat Jepang karena mata pencaharian mereka adalah berburu binatang untuk dijual kulitnya. Namun ada juga yang berasal dari keluarga terpandang yang merasa tertekan oleh tuntutan kedua orang tua mereka sehingga melarikan diri dari rumah dan kemudian bergabung dengan yakuza, atau pelajar yang dikeluarkan dari sekolah, anak yang dibuang oleh orang tuanya karena kekurangan ekonomi dan lain-lain.

Keanggotaan yakuza selain seperti yang disebutkan di atas, juga berasal dari perekruitan oleh suatu kelompok yakuza terhadap orang-orang yang dianggapnya berpotensi untuk bergabung menjadi anggota yakuza. Perekruitan ini biasanya dilakukan di tempat-tempat tertentu seperti tempat-tempat hiburan, prostitusi, klub-klub malam dan tempat keramaian lainnya. Di tempat-tempat seperti ini tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian, dan hal tersebut merupakan saat yang tepat untuk merekruit seseorang yang dianggap kuat karena berhasil mengalahkan lawan-lawannya.

Yakuza tradisional yang merupakan asal – usul dari yakuza modern, dapat

dibedakan menjadi bakuto atau penjudi, dan tekiya atau pedagang keliling. Kedua kelompok ini memiliki kebiasaan yang sangat berbeda sehingga polisi Jepang sampai saat ini sangat sulit untuk membedakan yakuza sebagai bakuto atau tekiya. Baik bakuto maupun tekiya memiliki daerah kerja masing-masing, dan mereka tidak pernah berselisih seandainya mereka berada pada daerah yang sama. Berikut ini dipaparkan kelompok-kelompok yang termasuk dalam anggota yakuza.


(42)

2.2.1 Tekiya atau Pedagang Keliling

Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul tekiya. Goro Fujita, mantan anggota Tosi-kai, yaitu kelompok etnis Korea terbesar yang dibentuk pada tahun 1948, yang mengontrol klub-klub malam di Ginza, percaya bahwa tekiya pada awalnya adalah bangsa nomaden yang berkeliling untuk menjual dagangannya di kota-kota dan pusat-pusat perdagangan.

Bagaimanapun asal-usulnya, pada pertengahan 1700-an para pedagang keliling atau tekiya bergabung untuk menggalang kerja sama dan saling melindungi daerah kekuasaan Tokugawa Ieyasu. Mereka mampu mengontrol tempat-tempat berjualan di pasar atau bazaar yang diadakan di kuil-kuil. Pada saat diadakan bazaar, sepanjang jalan menuju kuil dipenuhi oleh tempat-tempat berjualan macam-macam barang, mulai dari barang keperluan rumah tangga sampai dengan mainan anak-anak. Para pedagangnya adalah tekiya, dan masyarakat Jepang pada umumnya mengetahui bahwa mereka adalan yakuza, tetapi tidak semua pedagang yang berjualan adalah tekiya. Pedagang yang bukan

tekiya diharuskan untuk membayar iuran kepada tekiya jika ingin berjualan

ditempat tersebut. Tekiya-lah yang menentukan lokasi didirikannya tempat-tempat berjualan tersebut, dan polisi tidak dapat melakukan tindakan apapun. Apabila seorang pedagang ingin membuka usaha di daerah yang berada di bawah kekuasaan tekiya, maka ia harus bersedia membayar sejenis uang iuran kepada

tekiya, dan jika menolak maka dipastikan ada barang-barang yang hilang, atau

pelayannya berkurang, bahkan tekiya tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam mempertahankan monopoli di daerah tersebut.


(43)

Tidak seperti penjudi, kegiatan tekiya pada umumnya adalah legal, bahkan pemerintah feodal membantu memperkuat kedudukan para pemimpin tekiya dengan menjamin pengakuan status mereka secara resmi pada kurun waktu 1735-1740. untuk mengurangi berkembangnya praktek penipuan pada pedagang-pedagang tekiya, pemerintah menunjuk beberapa oyabun sebagai pengawas dan memberikan penghargaan kepada mereka berupa nama keluarga dan dua buah pedang, yang merupakan simbol dari samurai.

2.2.2 Bakuto atau Penjudi

Berbeda dengan tekiya, usaha yang dilakukan oleh bakuto adalah jelas-jelas ilegal, yaitu berjudi. Pada awalnya kelompok penjudi ini terdiri dari ronin, namun lama-kelamaan para pegawai pemerintah dan bos-bos lokal, seperti pimpinan pemadam kebakaran atau mandor kuli bangunan yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan konstruksi dan irigasi di bawah kekuasaan Tokugawa mulai tertarik untuk mengadu nasib di meja judi. Pekerjaan ini mengharuskan mereka untuk membayarkan sejumah uang kepada para buruh, dan uang yang telah mereka bayarkan kepada para buruh sebagai upah itu kemudian diusahakan agar dapat kembali lagi ke tangan pegawai pemerintah dan bos-bos tersebut. Cara yang mereka lakukan adalah dengan membuka meja judi, dan hal tersebut sangat manjur, banyak para buruh yang menghabiskan upah yang mereka terima di meja judi tersebut, dan lama kelamaan bukan hanya para buruh yang mengadu nasib di meja ini, banyak dari para pedagang, seniman dan bahkan orang-orang dari kalangan atas seperti samurai dan juga pegulat sumo tertarik untuk bermain judi.


(44)

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kata yakuza berasal dari sebuah permainan kartu yang dilakukan oleh para bakuto, yang mengacu kepada sesuatu yang tidak berguna, dan kemudian mengacu kepada para bakuto itu sendiri karena mereka dianggap tidak berguna. Selama bertahun-tahun kata yakuza digunakan terbatas pada kaum bakuto saja, karena para anggotanya terus mempertahankan kemurnian kelompoknya yang menganggap bahwa yakuza yang sebenarnya adalah para penjudi tradisional.

Sejalan dengan perkembangan zaman, kata yakuza tidak lagi hanya digunakan untuk bakuto saja tetapi juga kepada tekiya, dan kelompok-kelompok kriminal terorganisir lainnya di Jepang. Lebih lanjut yang dikatakan dengan kelompok terorganisir menurut seorang mantan polisi Jepang, Raisuki Miyawaki (2006 : 11), adalah struktur yang kuat dan saling menunjang yang melibatkan hubungan manusia dan peredaran uang. Dalam struktur tersebut ikut terlibat di dalamnya adalah debitor besar, mantan pejabat bank, dan organisasi kriminal.

2.3 Pola Identitas Yakuza

Pada yakuza, kesetiaan mereka tunjukkan ke dalam beberapa hal, seperti rela mengorbankan diri sendiri untuk melindungi oyabun, dan siap menerima hukuman apa saja jika melakukan kesalahan yang ringan maupun berat, seperti memotong jari (yubitsume), dan menato seluruh tubuh, dan kemudian hal ini lama-kelamaan menjadi tradisi di organisasi yakuza dan menjadi identitas sebagai anggota yakuza. Bukan itu saja, anggota yakuza juga sering menggunakan kode dan bahasa rahasia jika bertemu dengan sesama anggota yakuza sehingga orang


(45)

lain yang bukan anggota yakuza tidak dapat mengetahui arti dari tindakan dan ucapan mereka. Berikut ini penjelasan dari pola identitas dari yakuza tersebut.

2.3.1 Yubitsume atau Pemotongan Jari

Bakuto memiliki peraturan-peraturan yang bersifat mengikat kepada

anggotanya, terutama yang menyangkut kesetiaan dalam menjaga rahasia bakuto dan kepatuhannya terhadap hubungan oyabun-kobun.

Ada beberapa hal yang ditabukan dan dilarang dalam bakuto, seperti memperkosa. Jika hal tersebut dilanggar, maka sipelaku akan dikenakan hukuman yang berat atau dikeluarkan dari organisasi. Bukan berarti kalau dikeluarkan dari organisasi lebih ringan hukumannya, karena dengan dikeluarkan dari organisasi maka tidak akan ada suatu organisasi yakuza yang lain akan mau menerimanya, hal ini dikarenakan oyabun akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada seluruh organisasi yakuza mengenai anggotanya telah diusir, untuk tidak menerimanya dalam organisasinya. Hal ini merupakan hukuman yang sangat berat bagi anggota yakuza, karena dengan begitu dia tidak akan dapat lagi bergabung ke organisasi yakuza lainnya, dan berarti dia akan kehilangan pekerjaannya selamanya.

Untuk beberapa kesalahan berat tetapi tidak sampai dijatuhi hukuman mati atau diusir, maka bakuto menerapkan peraturan pemotongan jari atau yubitsume, yang bisaanya dipotong terlebih dahulu adalah ruas jari pertama kelingking.

Yubitsume ini baik atas dasar perintah dari oyabun maupun atas kesadaran sendiri,

terbukti membuat kobun tergantung pada perlindungan oyabun. Pemotongan jari dimaksudkan sebagai permintaan maaf atas kesalahan yang telah dilakukan, maka


(46)

ruas jari yang telah dipotong itu kemudian dibungkus dengan kain yang baik kualitasnya lalu dipersembahkan kepada oyabun. Tradisi ini berasal dari bakuto pada zaman Edo, dimana pada masa itu jika seorang penjudi tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka ruas jarinya akan dipotong, ini dilakukan agar kemampuan untuk bermain judinya akan menjadi berkurang.

2.3.2 Tato

Selain yubitsume, tradisi yang diperkenalkan oleh kaum bakuto adalah tato. Tato pada awalnya merupakan bentuk hukuman yang digunakan untuk mengasingkan pelanggar dari masyarakat, yang bisaanya terdapat di sekitar lengan untuk setiap kejahatan yang dilakukannya.

Tradisi tato ini memiliki makna selain sebagai hukuman, diantaranya adalah sebagai tanda suatu perkumpulan masyarakat. Jika setiap orang dalam satu kelompok masyarakat melakukan suatu kegiatan yang sama, maka setiap orang di dalam kelompok itu juga harus melakukan hal yang sama. Hal tersebut juga berlaku dalam organisasi yakuza yang diidentikan dengan tato, jadi semua anggota yakuza juga harus ditato. Pada saat ini tato digunakan sebagai simbol atau lambang dari masing-masing organisasi yakuza tempat dia bergabung. Proses penatoan tradisional merupakan suatu yang sangat menyakitkan. Peralatan yang digunakan terbuat dari tulang atau kayu yang dipahat dan pada ujungnya dipasang jarum. Proses ini memakan waktu yang tidak sebentar, bahkan untuk tato sekujur tubuh waktu yang diperlukan bisa mencapai lebih dari 100 jam. Sampai saat ini tato masih sangat popular di kalangan yakuza, bahkan yakuza modern masih meneruskan kegiatan ini sampai sekarang, dan meskipun telah ada alat untuk


(47)

menato yang lebih canggih dan tidak sesakit dengan alat tradisional, para anggota

yakuza lebi memilih menggunakan dengan cara tradisional.

2.3.3 Kode dan Bahasa Rahasia

Pada saat sesama anggota yakuza bertemu, mereka memiliki kebisaaan tersendiri untuk saling memperkenalkan identitas mereka masing-masing. Jika yang bertemu adalah oyabun suatu organisasi dengan kobun dari organisasi lain, maka tata cara hirarki dapat dengan mudah dilakukan. Misalnya pada saat memperkenalkan diri masing-masing, oyabun mengidentifikasikan dirinya dengan cara menunjukkan ibu jarinya, sedangkan kobun akan menyembunyikan ibu jarinya dan menunjukkan jari kelingkingnya yang menandakan bahwa dia merupakan kobun yang masih muda.

Selain itu, organisasi yakuza juga memiliki bahasa rahasia yang dikembangkan dan hanya diketahui artinya oleh sesama anggota yakuza itu sendiri, gunanya agar rahasia dari organisasi mereka tidak mengalir hingga ke luar organisasi (Lebra, 1974 : 54).

2.4 Perubahan Aktifitas Yakuza

Yakuza pada zaman Edo atau sering disebut juga yakuza tradisional,

dikenal masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tidak berguna karena pekerjaan mereka adalah merampok, memeras dan berjudi. Cara berpenampilan mereka juga sangat eksentrik dan tidak lazim bagi masyarakat pada zaman itu. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan pergantian pemerintahan,


(48)

yakuza pun ikut berkembang dan mulai meninggalkan aktifitas lama mereka

menuju aktifitas yang baru, dan yakuza berubah menjadi yakuza yang modern.

2.4.1 Yakuza pada Zaman Edo

Zaman Edo dikenal juga sebagai zaman feodal akhir, karena pemerintahan

yang berkuasa pada saat itu bersifat feodal di bawah pimpinan shogun Ieyashu Tokugawa. Pada zaman ini siapa yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang besar maka dialah yang akan memimpin, hukum itu juga berlaku di dalam organisasi yakuza, siapa yang paling kuat dan memiliki kekuasaan yang besar maka dialah yang akan memimpin organisasi.

Ketika pertama kali terbentuk, yakuza hanyalah sekumpulan orang-orang yang dianggap tidak berguna di tengah-tengah masyarakat karena yang mereka kerjakan hanyalah meresahkan masyarakat seperti merampok, berjudi, memeras dan lain sebagainya. Setiap kali beraksi mereka melakukannya tanpa ada koordinasi yang jelas dan melakukannya sesuai dengan keinginan dari diri mereka sendiri tanpa ada perintah yang jelas. Namun semakin bertambahnya anggota

yakuza semakin ditakuti pula organisasi ini oleh masyarakat. Tidak jarang terjadi

keributan-keributan dan perkelahian diantara sesama aggota yakuza dalam memperebutkan kekuasaan, dan siapa yang paling kuat diantara mereka akan diangkat menjadi pemimpin kelompok yang seterusnya akan mengatur dan memberikan perintah kepada anggota-anggotanya dalam menjalankan tugas.

Dapat dikatakan yakuza awal atau yakuza tradisional pada zaman edo belum memiliki struktur organisasi yang rapi dan jelas, mereka hanya terdiri dari pemimpin besar yang mengatur jalannya organisasi dan para anggota kecil, dan


(49)

hubungan ini sering juga disebut dengan oyabun (pemimpin atau atasan) dan

kobun (anggota atau bawahan). Inilah yang akan menjadi dasar dari struktur

organisasi yakuza pada zaman-zaman berikutnya hingga sekarang.

Di zaman ini, tidak ada sistem perekrutan khusus untuk bergabung menjadi anggota yakuza, setiap orang dapat bergabung ke dalam organisasi

yakuza jika ia merasa sanggup dan memiliki kemampuan untuk menjalankan

perintah dari oyabun.

Penerapan sistem ie pada organisasi kriminal Jepang seperti yakuza yang dikenal dengan istilah oyabun-kobun, yaitu hubungan orang tua dan anak yang fiktif. Organisasi yakuza sangat menekankan sekali hubungan seperti ini, dan hubungan ini dapat mempererat hubungan diantara sesama anggota yakuza. Sistem seperti ini terbukti sangat berfungsi dalam perkembangan yakuza saat ini, karena dengan sistem seperti ini yakuza masih dapat bertahan hingga sekarang, dan walaupun yakuza berkembang dan mengalami banyak perubahan, namun hubungan seperti ini masih tetap dipertahankan oleh organisasi yakuza hingga sekarang.

2.4.2 Yakuza Modern

Seiring modernisasi yang diawali dengan Restorasi Meiji, yakuza pun

mengikuti perkembangan tersebut. Mereka mulai mengubah pola bisnis mereka karena semakin ketatnya pengawasan oleh pemerintahan di zaman itu sehingga mereka kesulitan untuk meneruskan usaha-usaha ilegal mereka selama ini. Para

yakuza mulai mencari kegiatan lain untuk dapat melangsungkan kehidupan


(50)

Struktur yakuza setelah Perang Dunia II terlihat semakin jelas dan rapi, ini dapat dibuktikan dengan adanya kerja sama yang baik dan rapi antar sesama anggota yakuza. Selain itu organisasi yakuza pada saat ini telah memiliki beberapa jabatan layaknya pemerintahan sendiri. Sebelum bertindak, setiap anggota yakuza terlebih dahulu menunggu perintah dari oyabun, dan tidak akan bertindak sesuka hati tanpa ada perintah dari oyabun. Setiap organisasi yakuza memiliki peraturan-peraturan sendiri yang wajib dipatuhi dan dijalankan oleh anggotanya. Oyabun memegang kekuasaan penuh untuk mengatur jalannya organisasi termasuk wewenang untuk menentukan yang akan menikah dalam organisasinya, dan juga menghukum anggota yang melanggar peraturan yang sudah ditetapkan organisasi.

Sekarang ini, para anggota yakuza tidak hanya sebatas dari lingkungan

bakuto dan tekiya saja, melainkan meluas hingga masyarakat umum. Keanggotaan

yakuza juga berasal dari perekrutan oleh suatu kelompok yakuza terhadap

orang-orang yang dianggap berpotensi untuk masuk ke dalam kelompoknya, bisaanya terjadi di tempat-tempat hiburan. Di tempat seperti ini sering terjadi keributan dan perkelahian, pada saat seperti itulah suatu kelompok yakuza merekrut orang yang dianggap kuat karena mampu mengalahkan lawannya, karena modal utama menjadi anggota yakuza adalah kekuatan fisik dan kemauan yang besar untuk dapat melakukan apa saja yang akan diperintahkan atasan.

Setelah merekrut anggota baru tersebut, yakuza biasanya melakukan upacara penerimaan anggota baru dengan cara saling bertukar mangkuk sake yang dilakukan secara formal. Upacara tersebut dihadiri oleh seluruh anggota ie dan disaksikan oleh oyabun tempat ia bergabung.


(51)

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sejak berdirinya yakuza, yaitu pada zaman Edo, yakuza telah menganut sistem oyabun dan kobun. Pada zaman ini, hubungan oyabun-kobun tersebut sudah terasa kental sekali di tubuh organisasi yakuza. Hubungan yang terus dipelihara oleh anggota organisasi kriminal Jepang ini, lebih kepada hubungan mutualisme atau hubungan yang saling menolong dan menguntungkan satu sama lain. Selain itu adanya kesadaran akan giri (obligation atau kewajiban) dan ninjo (kesatriaan), membuat hubungan ini tetap terjaga sampai sekarang.

2.5 Tinjauan Umum Tentang Komik 2.5.1 Definisi Komik

Komik adalah suatu bent bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan (wikipedia.org/iki/komik). Bisaanya, komik dicetak di atas kertas dan dilengkapi dengan dalam

Menurut Will Eisner (wikipedia.org/iki/komik), komik adalah tatanan gambar dan balon kata yang berurutan. Scott McCloud punya pendapat lain lagi, komik didefinisikan sebagai gambar yang menyampaikan informasi atau menghasilkan respon estetik pada yang melihatnya. Ada juga yang menyebut komik sebagai cerita bergambar yaitu gambar yang dinarasikan, kisah ilustrasi, gambaran-fiksi dan lain-lain.

Para ahli masih belum sependapat mengenai definisi komik. Sebagian diantaranya berpendapat bahwa bentuk cetaknya perlu ditekankan, yang lain lebih


(52)

mementingkan kesinambungan gambar (image) dan teks, dan sebagian lain lebih menekankan sifat kesinambungannya (sequential). Pengertian komik sendiri sangat mudah untuk didefinisikan karena itu berkembanglah berbagai istilah baru.

Pada masa ini kita lebih banyak mengenal komik yang merupakan hasil karya produk Jepang terutama yang diperuntukan bagi anak-anak dan remaja. Kualitas dari cerita dan formatnya sangat menarik bahkan dapat mengalahkan komik dari Amerika.

Dalam bahasa Jepang komik disebut dengan istilah manga dan orang yang menggambar manga disebut dan komik adalah pembedaan pengelompokan, dimana manga lebih terfokus kepada komik-komik Jepang, sedangkan komik lebih kepada komik-komik buatan Eropa atau Barat. Beda dengan komik Amerika, manga bisaanya dibaca dari kanan ke kiri, sesuai dengan arah tulisan kanji Jepang.

Manga memang sangat digemari baik oleh anak-anak maupun orang

dewasa. Dewasa ini manga sudah tersebar ke seluruh dunia. Penjualan pertahunnya diperkirakan mencapai ratusan juta dolar. Beberapa yang terkenal dan sudah difilmkan adalah Doraemon, Detektif Conan, Inuyasha, Kungfu Boy, dan Sepatu Kaca.

Rata-rata mangaka di Jepang menggunakan gaya (style) sederhana dalam menggambar manga. Tetapi, gambar latar belakangnya hampir semua manga digambar serealistis mungkin, biarpun gambar karakternya benar-benar sederhana, khususnya pada bagian muka, dengan ciri khas mata besar, serta mulut dan hidung yang kecil.


(53)

2.5.1 Sejarah Munculnya Komik di Jepang

Manga merupakan istilah untuk komik Jepang. Istilah manga

diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1814 oleh Katsushika Hokusai, seniman

ukiyo-e yang terkenal. Ukiyo-e adalah teknologi pencetakan pada kertas

menggunakan blok-blok kayu (Velisha, 2001: 42 ). Kata manga dipakai Hokusai untuk menyebut gambar komikal buatannya yang berbeda dari gambar pemandangan atau manusia yang serius dan indah.

Namun jauh sebelum orang mengenal istilah manga, kira-kira pada abad pertengahan di Jepang sudah dikenal seni menulis cerita disertai lukisan untuk menggambarkan jalannya cerita. Itu pun belum berbentuk buku, tetapi masih dalam bentuk gulungan kertas yang disebut emakimono. Karya seni ini bisa disebut nenek moyangnya manga.

Manga yang muncul pertama kali berjudul Mankaku Zuihitsu yang

diketahui dibuat oleh Suzuki Kankei pada tahun 1771. Berikutnya terbit Shiji no yukikai oleh Santo Kyoden tahun 1798 dan manga Hyakujo karya Aikawa Minwa tahun 1814. Namun ada juga yang menyebut manga pertama kali muncul abad 12.

Manga generasi awal ini bertajuk choju jinbutsu giga, yaitu gambar serta

kisah lucu hewan dan manusia yang dibuat oleh banyak seniman. Manga yang dibuat banyak seniman ini memenuhi hampir semua persyaratan manga. Sederhana, memiliki cerita di dalamnya, dan memiliki gambar artistik.

Kemudian pada abad ke-18 (zaman Edo), mulai dibuat buku cerita

bergambar yang mirip dengan manga, zaman sekarang disebut kusa-zoushi dimana gambar lebih dominan dari pada teks. Buku itu dicetak dengan teknologi


(54)

kurohon (buku biru) dan kibyoushi (buku kuning), sesuai dengan warna sampul

masing-masing (Velisha, 2001: 42).

Walaupun manga di Jepang sudah ada sejak zaman Edo, akan tetapi, menurut Kure Tomofusa (1986: 23), manga di Jepang tidak begitu berkembang sebelum usainya perang dunia.

Pada akhir abad ke-19 akhirnya Jepang membuka diri terhadap pengaruh dunia Barat, kusa-zoushi pun terpengaruh gaya kartunis Barat dan mulai beralih menjadi comic strip seperti yang dimuat di surat kabar negara-negara Barat. Kemudian pada tahun 1959, mulai diterbitkan dua majalah komik mingguan untuk anak laki-laki, yaitu Shonen Magazine dan Shonen Sunday.

Hampir 10 tahun kemudian barulah majalah komik untuk remaja mulai terbit, seperti Manga Action (1967), Young Comic (1967), Play Comic (1968), dan Big Comic (1967). Pembaca komik yang usianya 10 tahun pada 1959, telah berusia kurang lebih 20 tahun sehingga mereka yang sudah remaja ingin membaca komik yang cocok dengan selera mereka.

Di Jepang, manga diterbitkan di majalah komik terlebih dahulu, sebanyak

20 sampai 40 halaman dan berseri. Kalau serial-serial tersebut digemari, maka

manga itu akan terus berlanjut selama bertahun-tahun dan sampai mencapai

puluhan bahkan ada yang sampai ratusan jilid. Bisaanya sekitar 5 sampai 6 bulan terbit di majalah komik, baru diterbitkan komiknya (Ishiko, 1980: 5).

Manga adalah sebutan komik dalam bahasa Jepang. Perkembangan manga

sungguh sangat menjadi fenomena dalam perkembangan dunia komik di dunia.

Manga berkembang di dunia komik sebagai sebuah gaya gambar yang


(55)

Perkembangan korelasi antara cerita dan gambar ini makin berkembang dari buku cerita bergambar hingga komik strip dan buku komik. Seiring kemajuan teknik dalam percetakan maka perkembangan teknik atau gaya gambar pun makin beragam. Sejalan dengan perkembangan gaya gambar tadi para mangaka atau komikus mulai mengembangkan gaya gambar dengan maksimal.

Gaya gambar manga seperti ini sangat penuh dengan ekspresi gerak maupun karakter. Karakter yang unik dari manga, seperti mata besar dan model rambut tajam sepertinya menjadi ketertarikan sendiri bagi kalangan penggemar komik. Gaya manga ini bukan saja digemari oleh kalangan anak-anak namun sudah masuk ke kalangan dewasa. Kajian lain dari gaya manga ini adalah sudah masuknya manga ke wilayah budaya atau kultur. Sehingga manga mampu mewakili kultur dari mana komik itu berasal.

Dengan perkembangan gaya manga di banyak aspek kebudayan maka

manga juga mempengaruhi budaya-budaya lainnya. Perkembangan manga sudah

memberikan banyak pengaruh kepada kebudayaan masa kini. Ada banyak komik-komik dari negara di luar Jepang yang terpengaruh dengan gaya manga ini. Seiring perjalanan komik itu pun maka perkembangan gaya manga ini pun bercampur dengan gaya-gaya komik lainnya yang kini menghasilkan gaya-gaya perpaduan komik.

Maka tidaklah heran kalau saat ini manga sudah menjadi bagian dari komik dunia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya bermunculan komik-komik Amerika yang bergaya manga, begitupun dengan komik-komik yang sekarang bermunculan kembali di Indonesia hampir semuanya bergaya manga.


(56)

Perkembangan ini pun mulai masuk ke dalam budaya masyarakat. Hal ini menjadi relevan ketika hubungkan dengan penjelasan bagaimana sebuah komik, sebagai bacaan anak-anak sangat mempengaruhi pertumbuhan imajinasi dan cara berpikir anak.

Pada mulanya, komik Jepang sangat dipengaruhi gaya Amerika. Ini terlihat dari komik-komik buatan Osamu Tezuka yang sangat bergaya Walt Disney. Ia mengadaptasi karakter wajah komik Amerika, seperti mata, mulut, alis, dan hidung. Beberapa komiknya yang sangat terkenal dan sudah difilmkan adalah Kimba the White Lion, Black Jack, dan Astro Boy. Keahlian Osamu Tezuka membuat manga menjadikannya tempat berguru para mangaka. Beberapa diantara muridnya adalah Ishinomori Shotaro, Akatsuka Fujio, and Fujiko Fujio yang terkenal dengan Doraemonnya. Osamu Tezuka merupakan salah seorang yang paling mempengaruhi perkembangan manga.

Manga mulai menemukan ciri khasnya setelah perang dunia kedua. Salah

satu pelopornya adalah Fujiko Fujio yang sukses dengan Doraemon. Ciri khas itu meliputi karakter wajah serta penceritaan. Tokoh-tokoh manga kini bermata besar, memiliki raut wajah halus dengan pipi bulat, hidung kecil dan bibir tipis. Latar belakang gambarnya pun dibuat sealami mungkin. Para mangaka diketahui sangat memperhatikan detail. Mereka juga rela memotret sebuah objek berkali-kali dari berbagai sudut pandang untuk mendapatkan hasil yang sempurna.

Manga menjadi salah satu buku paling laris di Jepang. Majalah-majalah

manga dijual di atas satu juta kopi perminggu. Bahkan komik Doraemon


(57)

dengan manga, komik underground saja bisa laku hingga empat ratus ribu kopi per edisinya.

Tidak hanya populer di Jepang, pecinta manga datang dari berbagai penjuru dunia. Para pengemar manga ini membentuk klub-klub dan membuat situs sendiri. Mereka juga sering berkumpul untuk membincangkan manga dengan memakai kostum tokoh-tokoh manga pujaan mereka. Di Jepang, mereka menggunakan gaya harajuku untuk berparade kostum manga setiap hari (wikipedia.org).

Ishiko Junzoo mengatakan, pada awal tahun 1970 terjadi perkembangan yang amat pesat terhadap manga, sehingga di tahun 1974 ada sekitar 75 judul majalah komik (manga magazine) di Jepang yang di distribusikan sebanyak dua juta ekslempar tiap bulannya.


(58)

BAB III

ANALISIS KEHIDUPAN YAKUZA DALAM KOMIK GOKUSEN

3.1 Sinopsis Cerita

Alur ceritanya bersangkut paut dengan Kumiko Yamaguchi, cucu dari bos besar dari suatu kelompok yakuza, Ryuichiro Kuroda, Organisasi Keluarga Kuroda. Orang tuanya meninggal ketika ia masih sangat kecil dan kakeknya yang tidak memiliki keturunan lain akhirnya yang merawat dan membesarkan Kumiko di kelompok yakuza yang dipimpinnya. Kumiko pun akhirnya terlibat dalam kegiatan kelompok, dan dalam kelompok ia bisaa dipanggil “ojo-san”(panggilan untuk nona dalam kelompok yakuza). Namun walau bagaimana pun, Kumiko memiliki cita-cita lain, yaitu menjadi seorang guru.

Akhirnya sang kakek dapat menerima pilihannya, tapi orang-orang lain dalam kelompok sangat menginginkan Kumiko sebagai penerus pimpinan generasi ke empat selanjutnya. Sekalipun ia telah menjadi guru namun ia tetap aktif dan bertanggung jawab dalam aktifitas kelompok, terutama disaat kakeknya berhalangan. Hal ini membuat Kumiko semakin dikagumi oleh anggota yakuza lainnya dan bahkan dari luar kelompok lain.

Kumiko, yang akrab dipanggil “yankumi” oleh murid-murid sekelas. Ia menjadi guru di sekolah menengah khusus pria, Perguruan Shirokin. Kelasnya penuh dengan pelanggaran, namun Kumiko berusaha keras untuk mengajar mereka tidak hanya tentang matematika, tetapi juga mengenai latihan-latihan kehidupan, benar-benar berdedikasi sebagai seorang guru. Dengan susah payah ia tetap menjaga rahasia akan identitas aslinya sebagai yakuza dari publik.


(1)

BAB IV

KESIMPULAN dan SARAN

4.1 Kesimpulan

Setelah membahas mengenai yakuza dalam skripsi yang berjudul “Analisis Kehidupan Tokoh Yakuza dalam Komik Gokusen karya Kozueko Morimoto”, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Komik Gokusen karya Kozueko Morimoto merupakan salah salah satu komik Jepang, yang sangat menarik dan sangat dikenal serta digemari oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Bukan saja di Jepang tetapi telah menyebar ke seluruh dunia. Komik Gokusen intinya menceritakan tentang kehidupan tokou utama Yakuza dengan mengambil setting berdasarkan kehidupan yakuza yang sebenarnya.

2. Kozueko Morimoto menampilkan tokoh cerita sebagai yakuza yang memiliki peran dalam kehidupan masyaraka Jepang, baik dalam kehidupa sehari-hari juga dalam menjalankan misi yang disajikan secara ringan dan humoris, namun menyampaikan makna yang mendalam dan pesan tertentu bagi pembacanya.

3. Kumiko Yamaguchi, Ryuichiro Kuroda, Wakamatsu, Pengacara Shinohara, Kyotaro Oshima, Tetsu dan Shin Sawada menjadi tokoh yang mewakili

yakuza sebagai penyampai peran yang dilihat dari ucapan, tingkah laku, serta

sikap-sikap mereka.

4. Kozueko Morimoto menampilkan cerita mengenai yakuza di Jepang, yang ditampilkan oleh tokoh – tokoh cerita yang masing – masing memiliki


(2)

karakter yang kuat yang mampu menyampaikan makna dan pesan tersendiri bagi pembacanya. Pengarang menonjolkan sifat-sifat kemanusiaan serta kuatnya ikatan persaudaraan yang dimiliki oleh para yakuza tersebut sehingga membuat para yakuza bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas dan peran mereka dalam kelompok.

5. Banyak persamaan dan perbedaan antara yakuza dalam kehidupan nyata dengan yakuza yang diceritakan dalam komik Gokusen. Dalam kenyataanya wanita tidak diperbolehkan menjadi yakuza. Sedangkan dalam komik Gokusen terdapat wanita sebagai Kumicho (bos kelompok, di bawah pimpinan

oyabun (bos besar)). Dalam komik Gokusen juga diceritakan bagaimana

Kelompok Kuroda sebagai organisasi yakuza tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu masyarakat, namun sebaliknya, para yakuza cenderung menjaga aktifitasnya agar tidak meresahkan masyarakat. Kumiko, sebagai tokoh utama membaktikan dirinya sebagai pekerja sosial. Alam kenyataan tidak ada ditemukan ada yakuza yang juga bekerja membaktikan dirinya, terlebih menjadi seorang guru. Dalam kehidupan nyata, jika menjadi seorang yakuza, berarti harus meninggalkan segala aktifitas di luar kepentingan kelompok. Tidak ada lembaga sosial masyarakat yang mau menerima dan mempekerjakan yakuza. Namun antara kehidupan nyata dan dalam komik Gokusen digambarkan adanya persaamaan, yaitu dalam sistem dan struktur organisasi, menjalankan tugas dan misi berdasarkan perintah yang diberikan oleh pimpinan atau atasannya, dalam peran dan tugas masing- masing jabatan dalam kelompok, dalam sistem perekruitan, dan dalam pola


(3)

4.2 Saran

Melalui skripsi yang berjudul “Analisis Kehidupan Tokoh Yakuza dalam Komik Gokusen karya Kozueko Morimoto”, penulis berharap agar komik yang merupakan salah satu alternatif yang dijadikan manusia untuk mendapatkan kesenangan, namun sekiranya tidak hanya dijadikan hiburan saja. Tetapi, saat membaca komik berusahalah untuk memahami makna yang terkandung serta nilai-nilai positif yang ada sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Contohnya melalui komik Gokusen kita juga dapat lebih menambah berbagai wawasan tentang yakuza serta mempermudah dalam memahami nilai-nilai kultural masyarakat Jepang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo.

Anderson, F.G. 1973. Organization and Methods. London : MacDonald & Evans Ltd.

Anggoro, Donny. “Sejarah Komik Indonesia : Kepala Tanpa Leher”.

Angkat, Guntur. “Selintas Sejarah Komik Indonesia”.

Arif, Indra Sulaiman. Perkembangan Yakuza di Jepang (skripsi). Medan : Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Badrun Ahmad. 1983. Pengantar Ilmu Sastra (Teori Sastra). Surabaya : Usaha Nasional.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Jepang : Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Harahap, Sofyan Syafri. 2001. Tips Menulis Skripsi. Jakarta : Pustaka Quantum. Hill, Peter. 2003. Heisei yakuza : Burst Buble and Botaiho. Social Sience Japan

Journal Vol. 6.


(5)

Koentjaraningrat. 1976. Metode – Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Lebra, Takie Sugiyama. 1974. Japanese Patterns of Behaviour. Honolulu : University of Hawaii Press.

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal dan Williem G Weststeijir. 1992. Pengantar

Ilmu Sastra (terj. Dick Hartoko). Jakarta : PT Gramedia.

Morimoto, Kozueko. 2007. Gokusen 1-6. Jakarta : PT Gramedia (terjemahan). Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : UGM Press. Pradopo, Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gema

Media.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Risaharti. 2007. Analisis Sosiologis Kehidupan Tokoh Utama pada Komik

“Nishimuku Samurai” karya Waki Yamato (skripsi). Medan :

Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Situmorang, Hamzon. 2000. Telaah Pranata Masyarakat Jepang I. Medan : USU Press.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam


(6)

Takeshi, Ishizawa. “Kedalaman Dunia Manga Jepang” July 2006.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1997. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianto). Jakarta : PT Gramedia.

Zairun, Buchari. 1982. Organisasi dan Manajemen. Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada.

http://id.wikipedia.org/wiki/Yakuza

http://people.howstuffworks.com/yakuza.htm http://web.telia.com/-u31302275/yakuza.htm

http:/www.asahi.com/English/Herald-asahi/TKY200703190057.html