Aspek Lingkungan Kerugian Ekonomi akibat Konversi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit menjadi Pertambangan Emas (Studi Kasus: Desa Daya Murni, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi)

44 Tabel 6 Rata-rata pendapatan produksi kelapa sawit Kondisi Luas lahan Ha Produksi6 bulan kg Hargakg Rp Biaya operasional 6 bulan Rp Pendapatan6 bulan Rp Sebelum 2 27840 1100 10729000 19895000 Setelah 1.4 17520 1100 11775000 7497000 Sumber : Data primer diolah 2013 Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa luas lahan sebelum terjadi kegiatan penambangan masih utuh yaitu 2 Hektar, dan setelah ada penambangan mengalami perubahan menjadi 1.4 Hektar. Harga kelapa sawit yang digunakan pada perhitungan adalah harag jual sawit per kg pada saat penelitian berlangsung yaitu sebesar Rp 1 100kg. Biaya operasional dihitung per 6 bulan karena perawatan perkebunan kelapa sawit khususnya pemupukan biasanya dilakukan per enam bulan sekali. Produksi kelapa sawit per 6 bulan sebelum ada penambangan sebanyak 27 840 kg atau 27.84 ton. Biaya operasional sebelum ada kegiatan pertambangan sebesar Rp 10 729 000. Pendapatan atau keuntungan dari produksi kelapa sawit dihitung dengan mengalikan antara jumlah produksi kelapa sawit dengan harga kelapa sawitkg, setelah itu baru dikurangi dengan biaya operasional sehingga diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp 19 895 000. Sedangkan produksi setelah penambangan terjadi penurunan karena terjadi penyempitan lahan perkebunan yang disebabkan konversi lahan. Produksi kelapa sawit per 6 bulan setelah ada kegiatan pertambangan yaitu 17 520 kg atau 17.52 ton. Biaya operasional yang dikeluarkan setelah terjadi penambangan meningkat menjadi Rp 11 775 000. Dari perhitungan diperoleh pendapatan atau keuntungan sebesar Rp 7 497 000. Jadi, dari perhitungan pendapatan sebelum terjadi kegiatan pertambangan dan setelah ada kegiatan pertambangan didapatkan pendapatan yang hilang dari produksi lahan perkebunan kelapa sawit yang terkonversi. Perhitungan dilakukan dengan melakukan pengurangan jumlah pendapatan sebelum ada pertambangan dengan pendapatan setelah ada pertambangan yaitu Rp 19 895 000 - Rp 7 497 000 = Rp 12 398 000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendapatan petani yang hilang dari produksi perkebunan kelapa sawit yang terkonversi adalah sebesar Rp 12 398 000orang6 bulan. Sedangkan rata-rata pendapatan yang 45 hilang dari produksi perkebunan kelapa sawit yang terkonversi untuk perbulannya adalah Rp 12 398 0006 bulan = Rp 2 066 333.3orangbulan. Akan tetapi, dari lahan perkebunan yang terkonversi petani juga mendapatkan pendapatan dari sistem kontrak lahan untuk ditambang. Pendapatan tersebut didapatkan dari harga sewa lahan yang dibayarkan oleh penambang. Data dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai berikut: Tabel 7 Harga sewa lahantahun No. Luas lahan terkonversi Ha Sewa lahantahun Rp 1 0.5 10000000 2 1 25000000 3 0.5 12000000 4 0.5 13000000 5 0.5 10000000 Total 3 70000000 Rata-rata 0.6 14000000 Sumber: Data primer diolah 2013 Pada tabel diatas dapat diketahui harga sewa lahan per tahun sesuai dengan luas lahan yang ditambang. Harga sewa lahan untuk luas 0.5 hektar berkisar antara Rp 10 000 000 hingga Rp 13 000 000, sedangkan harga sewa lahan untuk luas lahan 1 hektar adalah Rp 25 000 000. Total harga sewa lahan dari 5 pemilik lahan perkebunan yang terkonversi menjadi lahan pertambangan adalah Rp 70 000 000tahun. Dari total harga sewa lahan tersebut didapatkan rata-rata harga sewa lahan sebesar Rp 14 000 000orangtahun, sedangkan untuk perbulan dapat dikonversikan menjadi Rp 14 000 000 12 = Rp 1 166 666.67orangbulan. Nilai Rp 1 166 666.67 menunjukkan pendapatan pengganti yang diterima oleh petani dari lahan perkebunan kelapa sawit yang ditambang untuk waktu perbulan. Jadi dari uarian diatas dapat disimpulkan bahwa kerugian ekonomi yang diterima petani kelapa sawit karena terjadi konversi lahan perkebunan adalah sebesar Rp 2 066 333.3orangbulan. Disamping itu petani mendapatkan pendapatan dari hasil sewakontrak lahan untuk pertambangan atau bisa disebut sebagai pengganti dari produksi kelapa sawit yang hilang yaitu sebesar Rp 1 166 666.67orangbulan. 46

6.3 Analisis Willingness to Pay Masyarakat PETI

Responden dalam penelitian ini berjumlah 35 responden yang terdiri dari penambang emas dan penambang pasir. 35 responden tersebut tidak semua bersedia mengeluarkan biaya untuk upaya perbaikan kualitas lingkungan dengan mengemukakan alasan-alasan yang mereka miliki. Perbandingan responden yang bersedia dan yang tidak bersedia membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan akibat kegiatan PETI dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Frekuensi kesediaantidak kesediaan responden Responden Frekuensi Persentase Bersedia 31 89 Tidak bersedia - Pekerjaan satu-satunya - Kebutuhan ekonomi - Tidak memiliki lahan 4 11 Total 35 100 Sumber: Data primer diolah 2013 Pada Tabel 8 dapat dilihat sebagian besar responden bersedia membayar untuk upaya perbaikan kualitas lingkungan yaitu sebanyak 31 orang 89, sedangkan 4 orang 11 tidak bersedia membayar. Alasan responden yang tidak bersedia membayar untuk upaya perbaikan kualitas lingkungan yaitu karena kebutuhan ekonomi yang kurang dari cukup serta pekerjaan tambang merupakan pekerjaan satu-satunya sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masih kurang. Mereka juga tidak memiliki lahan untuk bekerja lainnya untuk menghasilkan pendapatan. Sesuai hasil survei dilapang diketahui bahwa responden yang tidak bersedia membayar ini merupakan responden yang bekerja sebagai penambang pasir.

6.3.1 Analisis Nilai Willingness to Pay

Pendekatan CVM dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui nilai WTP responden terhadap program reboisasi yang akan diterapkan dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan pasca tambang. Hasil pelaksanaan CVM adalah sebagai berikut: