Sumber: disusun berdasarkan Tabel 107 Gambar 98. Perubahan Output, Nilai Tambah Bruto dan Pendapatan Rumahtangga
Sektor Kelautan akibat Perubahan Konsumsi Pemerintah pada Kelautan di NKRI Simulasi-1, KBI Simulasi-2, dan KTI Simulasi-3
Tabel 107. Dampak Spasial Perubahan Konsumsi Pemerintah untuk Kelautan terhadap Perekonomian dan Tendensi Konvergensi Ekonomi Wilayah di Indonesia
Nilai Rp. Juta Perubahan
Nilai Rp. Juta Perubahan
Nilai Rp. Juta
Perubahan
1. Sumatera 2,691,087,979
2,697,953,574 0.26
1,223,125,927 1,227,189,423
0.33 400,325,206
401,597,127 0.32
2. Jawa 7,377,611,227
7,418,687,286 0.56
3,074,256,816 3,092,582,386
0.60 1,066,527,109 1,071,796,281
0.49 3. Kalimantan
1,095,241,864 1,099,759,518
0.41 484,847,971
486,718,611 0.39
94,049,200 94,383,060
0.35 4. Sulawesi
530,614,803 532,093,057
0.28 239,504,986
240,250,379 0.31
80,740,361 80,951,024
0.26 5. Bali dan Nusteng
356,496,282 357,413,232
0.26 122,868,747
123,364,752 0.40
47,932,431 48,042,472
0.23 6. Papua dan Kep. Maluku
261,943,001 262,682,448
0.28 128,131,992
128,453,940 0.25
42,558,098 42,669,972
0.26
Jumlah Rp. Juta 12,312,995,155
12,368,589,115 0.45
5,272,736,439 5,298,559,491
0.49 1,732,132,404
1,739,439,935 0.42
Koefisien Variasi 1.34
1.32 -0.024
1.31 1.25
-0.064 1.40
1.32 -0.084
Tendensi Konvergensi Konvergen
Konvergen Konvergen
1. Sumatera 2,691,087,979
2,697,313,208 0.23
1,223,125,927 1,226,827,690
0.30 400,325,206
401,481,141 0.29
2. Jawa 7,377,611,227
7,415,746,928 0.52
3,074,256,816 3,091,663,316
0.57 1,066,527,109 1,071,419,267
0.46 3. Kalimantan
1,095,241,864 1,099,411,596
0.38 484,847,971
486,559,125 0.35
94,049,200 94,355,834
0.33 4. Sulawesi
530,614,803 530,764,836
0.03 239,504,986
239,571,965 0.03
80,740,361 80,760,931
0.03 5. Bali dan Nusteng
356,496,282 356,569,805
0.02 122,868,747
122,917,601 0.04
47,932,431 47,940,107
0.02 6. Papua dan Kep. Maluku
261,943,001 261,994,185
0.02 128,131,992
128,152,589 0.02
42,558,098 42,566,633
0.02
Jumlah Rp. Juta 12,312,995,155
12,361,800,557 0.40
5,272,736,439 5,295,692,287
0.44 1,732,132,404
1,738,523,914 0.37
Koefisien Variasi 1.34
1.35 0.001
1.31 1.31
0.002 1.40
1.40 0.001
Tendensi Konvergensi Divergen
Divergen Divergen
1. Sumatera 2,691,087,979
2,691,259,922 0.01
1,223,125,927 1,223,211,505
0.01 400,325,206
401,245,471 0.23
2. Jawa 7,377,611,227
7,380,526,574 0.04
3,074,256,816 3,075,956,436
0.06 1,066,527,109 1,070,339,481
0.36 3. Kalimantan
1,095,241,864 1,095,374,024
0.01 484,847,971
484,904,991 0.01
94,049,200 94,290,755
0.26 4. Sulawesi
530,614,803 531,872,130
0.24 239,504,986
240,145,261 0.27
80,740,361 80,951,024
0.26 5. Bali dan Nusteng
356,496,282 357,294,653
0.22 122,868,747
123,314,123 0.36
47,932,431 48,042,472
0.23 6. Papua dan Kep. Maluku
261,943,001 262,587,870
0.25 128,131,992
128,409,575 0.22
42,558,098 42,669,972
0.26
Jumlah Rp. Juta 12,312,995,155
12,318,915,173 0.05
5,272,736,439 5,275,941,891
0.06 1,732,132,404
1,737,539,174 0.31
Koefisien Variasi 1.34
1.31 -0.037
1.31 1.21
-0.100 1.40
1.29 -0.1126
Tendensi Konvergensi Konvergen
Konvergen Konvergen
Output Awal Rp. Juta
Wilayah Dampak terhadap Output
Nilai Tambah Bruto Awal
Rp. Juta Dampak terhadap Nilai Tambah
Bruto Pendapatan
Awal Rp. Juta
Dampak terhadap Pendapatan
I. Akibat Perubahan Konsumsi Pemerintah pada Kelautan di Semua Wilayah sebesar 100
II. Akibat Perubahan Konsumsi Pemerintah pada Kelautan sebesar 100 di KBI
III. Akibat Perubahan Konsumsi Pemerintah pada Kelautan sebesar 100 di KTI
Sumber: Tabel IRIO 2010 diolah Keterangan:
tanda negatif - menunjukkan tendensi perubahan ketimpangan yang semakin konvergen dan sebaliknya tanda positif + semakin divergen
Bila dampak spasial tersebut dilihat berdasarkan pada tendensi konvergensi output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga di masing-masing wilayah,
maka dengan melakukan simulasi-1, dan simulasi-3 menunjukkan bahwa akibat perubahan konsumsi pemerintah pada kelautan sebesar 100 baik untuk seluruh
wilayah NKRI dan untuk wilayah-wilayah di KTI berdampak terhadap tendensi konvergensi nilai output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga. Hal ini
diitunjukkan oleh perubahan koefisien variasi output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga yang menurun negatif. Untuk simulasi-1 masing-masing
sebesar -0,024, -0,064, dan -0,084; dan untuk simulasi-3 masing-masing sebesar - 0,037, -0,100, dan -0,113. Tendensi yang sebaliknya, terjadi pada simulasi-2 yaitu
dengan mengkonsentrasikan peningkatan konsumsi pemerintah pada kelautan sebesar 100 hanya untuk wilayah-wilayah di KBI justru berdampak terhadap output, nilai
tambah bruto dan pendapatan rumahtangga yang semakin divergen, seperti ditunjukkan oleh perubahan koefisien variasi masing-masing sebesar 0,001, 0,002,
dan 0,001 Tabel 107 dan Gambar 99
. Lebih lanjut dari Tabel 107 dan Gambar 99 terlihat bahwa dampak terhadap
tendensi konvergensi tersebut relatif lebih tinggi pada simulasi-3 dibandingkan simulasi-1. Hal ini berarti, bahwa dengan mengkonsentrasikan peningkatan
konsumsi pemerintah pada kelautan pada wilayah-wilayah di KTI akan berdampak terhadap tendensi konvergensi pada output, nilai tambah bruto dan pendapatan
rumahtangga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilakukan pada seluruh wilayahNKRI.
Sumber: disusun berdasarkan Tabel 107 Gambar 99. Tendensi Konvergensi Output, Nilai Tambah Bruto dan Pendapatan Rumahtangga
Wilayah-wilayah secara Agregat di NKRI, KBI dan KTI berdasarkan Perubahan Koefisien Variasi Akibat Perubahan Konsumsi Pemerintah pada Kelautan
Keterangan: Perubahan koefisien variasi yang bertanda negatif - menunjukkan kondisi yang semakin timpang
dan mengindikasikan terdapat tendensi perubahan semakin konvergen, dan sebaliknya tanda positif + semakin kurang timpang dan mengindikasikan terdapat perubahan semakin divergen.
Ikhtisar Analisis Dampak Spasial Pengembangan Kelautan
Secara spasial, simulasi kebijakan pengembangan kelautan dengan meningkatkan investasi, ekspor, konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah
pada kelautan sebesar 100 di semua wilayah Indonesia NKRI masing-masing akan berdampak terhadap peningkatan nilai output, nilai tambah bruto dan
pendapatan
rumahtangga yang
lebih besar
dibandingkan dengan
mengkonsentrasikannya hanya di wilayah-wilayah yang tercakup dalam KBI, atau hanya di wilayah-wilayah yang tercakup dalam KTI. Secara relatif dampak
mengkonsentrasikan kegiatan ekonomi melalui peningkatan komponen permintaan akhir tersebut pada kelautan di wilayah-wilayah dalam KBI akan meningkatkan nilai
output, nilai tambah bruto, dan pendapatan rumahtangga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di wilayah-wilayah dalam KTI. Namun, baik di KBI maupun
KTI, keduanya memberikan dampak luberan spill-over effect terhadap wilayah lainnya dalam peningkatan output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga.
Artinya meskipun peningkatan komponen permintaaan akhir kelautan tersebut hanya dikonsentrasikan di wilayahnya masing-masing, ternyata masih memberikan
peningkatan dalam nilai output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga bagi wilayah-wilayah lainnya di luar wilayahnya sendiri inter-wilayah.
Kebijakan pengembangan kelautan dengan meningkatkan komponen permintaan akhirnya sebesar 100 di semua wilayah Indonesia NKRI akan
berdampak terhadap peningkatan nilai output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga masing-masing meningkat sebesar 2,40, 2,71, dan 2,31 melalui
peningkatan investasi kelautan; sebesar 2,96, 3,25, dan 2,70 melalui ekspor kelautan; sebesar 3,74, 3,94, dan 3,25 melalui konsumsi rumah tangga; dan
sebesar 0,45, 0,49, dan 0,42 melalui konsumsi pemerintah. Sementara bila kebijakan tersebut dikonsentrasikan hanya di wilayah-wilayah dalam KBI akan
berdampak terhadap peningkatan nilai output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga masing-masing meningkat sebesar 2,22, 2,39, dan 1,99 melalui
peningkatan investasi; sebesar 2,67, 2,93, dan 2,37 melalui ekspor kelautan; sebesar 2,96, 3,14, dan 2,56 melalui konsumsi rumah tangga; dan sebesar
0,40, 0,44, dan 0,37 melalui konsumsi pemerintah. Kemudian bila kebijakan tersebut dikonsentrasikan hanya di wilayah-wilayah dalam KTI akan berdampak
terhadap peningkatan nilai output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga masing-masing meningkat sebesar 0,45, 0,52, dan 0,47 melalui peningkatan
investasi; sebesar 0,41, 0,51, dan 0,46 melalui ekspor kelautan sebesar 100; sebesar 0,64, 0,75, dan 0,70 melalui konsumsi rumah tangga; dan sebesar
0,05, 0,06, dan 0,31 melalui konsumsi pemerintah.
Di samping berdampak terhadap perekonomian Indonesia dari sisi nilai, kebijakan pengembangan kelautan tersebut juga berdampak terhadap perubahan
koefisien variasi ketimpangan atau tendensi konvergensi output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga wilayah di Indonesia. Secara keseluruhan pada
umumnya, kebijakan pengembangan kelautan dengan meningkatkan investasi, ekspor, konsumsi rumahtangga dan konsumsi pemerintah pada kelautan sebesar
100 baik untuk semua wilayah Indonesia NKRI maupun mengkonsentrasikannya untuk wilayah-wilayah di KTI akan berdampak terhadap penurunan koefisien variasi
ketimpangan nilai output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga atau mengindikasi adanya tendensi konvergensi dalam ketiga nilai tersebut kecuali hanya
kebijakan pengembangan kelautan yang dilakukan melalui peningkatan ekspor kelautan di NKRI yang memberikan dampak divergen terhadap perekonomian
wilayah. Sebaliknya, bila kebijakan tersebut hanya untuk wilayah-wilayah di KBI secara keseluruhan pada umumnya justru akan berdampak terhadap peningkatan
koefisien variasi ketimpangan nilai output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga atau mengindikasi adanya tendensi divergen tidak konvergen pada
perekonomian dari wilayah-wilayah dalam kawasan tersebut KBI.
Namun demikian, bila kebijakan tersebut dikonsentrasikan hanya untuk wilayah di KTI, maka dampak terhadap penurunan koefisien variasi ketimpangan output,
nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga atau terdapat tendensi konvergensi nilai output, nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga tersebut relatif lebih
tinggi pada wilayah-wilayah di KTI dibandingkan dengan di NKRI. Hal ini berarti, bahwa dengan mengkonsentrasikan kegiatan ekonomi melalui peningkatan investasi,
ekspor, konsumsi rumahtangga dan konsumsi pemerintah pada kelautan di wilayah- wilayah dalam KTI memang akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi output,
nilai tambah bruto dan pendapatan rumahtangga secara nasional, namun kebijakan ini akan mengurangi persoalan ketimpangan antarwilayah atau dengan kata lain
mampu meningkatkan konvergensi ekonomi wilayah dalam perekonomian nasional.
9 IMPLIKASI KEBIJAKAN: SEBUAH SINTESA
Pengetahuan tentang kondisi ketimpangan dan kecepatan konvergensi serta penentu pertumbuhan ekonomi wilayah di Indonesia adalah penting. Jika kondisi
ketimpangan menunjukkan perkembangan yang menurun, atau tingkat kecepatan konvergensi yang meningkat, maka perhatian pemerintah seharusnya dapat lebih
ditujukan untuk menjamin bahwa hambatan-hambatan dalam mendorong mobilitas faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi wilayah seperti tingkat investasi modal
fisik, tingkat investasi modal manusia dan resultan dari tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat perkembangan teknologi dan penyusutan modal dapat ditekan
atau dikurangi. Dengan demikian peran faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut akan cenderung mengurangi ketimpangan dalam pendapatan per
kapita wilayah dan mampu meningkatkan tendensi proses konvergensi ekonomi wilayah di Indonesia. Namun jika tendensi proses konvergensi tersebut berlangsung
lambat, maka intervensi pemerintah pusat dan daerah secara langsung dibutuhkan untuk menjamin bahwa wilayah-wilayah miskin mendapat manfaat dari pertumbuhan
nasional yang tinggi.
Tingkat ketimpangan dalam pendapatan per kapita ekonomi wilayah di Indonesia adalah tergolong rendah dan menunjukkan perkembangan yang cenderung
menurun. Ketimpangan antar provinsi di Indonesia selama periode 1985-2010 tergolong dalam klasifikasi ketimpangan yang rendah, sebagaimana ditunjukkan dari
nilai Indeks Theil berkisar antara 0,0903 hingga 0,1366, atau dengan rata-rata nilai Indeks Theil sebesar 0,11. Ketimpangan tersebut sebagian besar 87,56 bersumber