4.1.1 Gambaran Umum Kota Semarang
Semarang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah memiliki letak geografis yang sangat menguntungkan. Secara geografis wilayah Kota Semarang
berada antara 6º50
Gambar 4.1 Persentase Penggunaan Areal Tanah Kota Semarang Tahun 2009 Berdasarkan data tersebut di atas, terlihat bahwa proporsi penggunaan
areal tanah di Kota Semarang terbesar adalah jenis penggunaan lahan untuk pemukiman yaitu 40 persen, hal ini menunjukkan bahwa lahan masih memiliki
fungsi dominan sebagai pelayanan domestik, sedangkan dari peta penggunaan lahan, terlihat bahwa persebaran penggunaan lahan permukiman berada pada
jalur-jalur utama terutama di pusat kota. Besarnya proporsi luas lahan pemukiman mengindikasikan besarnya tuntutan pelayanan masyarakat dan hal ini
membuktikan bahwa wilayah Kota Semarang benar-benar bersifat perkotaan. Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2009, jumlah penduduk Kota
Semarang tercatat sebesar 1.506.924 jiwa dengan pertumbuhan penduduk selama tahun 2008 sebesar 1,71 persen. Kondisi tersebut memberi arti bahwa
pembangunan kependudukan, khususnya usaha untuk menurunkan jumlah kelahiran memberikan hasil yang nyata.
Sekitar 74,38 persen penduduk Kota Semarang berumur produktif 15
usia tidak produktif. Kepadatan penduduk cenderung naik seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dalam kurun waktu lima tahun 2005 sampai dengan
2009 dan di sisi lain, penyebaran penduduk di masing-masing kecamatan belum merata. Wilayah kecamatan Semarang Tengah tercatat sebagai wilayah terpadat
di kota Semarang, sedangkan kecamatan Mijen merupakan wilayah yang kepadatannya paling rendah.
Kota Semarang sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah merupakan kota terbesar kelima di Indonesia yang menjadi pusat segala aktivitas ekonomi, sosial
dan budaya. Perkembangan pesat yang dialami kota Semarang sekitar satu setengah dasawarsa terakhir menyebabkan kota ini berubah menjadi kota
metropolitan. Tentunya sebagai ibukota provinsi, Semarang menjadi parameter kemajuan kota-kota lain di Jawa Tengah. Kemajuan pembangunan Kota
Semarang tidak dapat terlepas dari dukungan daerah-daerah di sekitarnya, seperti Kota Ungaran, Kabupaten Demak, Kota Salatiga dan Kabupaten Kendal. Sektor
formal dan informal sama-sama berkembang dan saling menunjang. Industri berdatangan baik dan luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Seiring
dengan perkembangan tersebut menimbulkan masalah-masalah yang harus cepat diatasi. Permasalahan tersebut antara lain kerusakan lingkungan, pertumbuhan
penduduk yang cukup pesat baik perpindahan maupun kelahiran. Arus perpindahan penduduk dari kota-kota disekitarnya demikian pesat,
begitupula dengan pusat-pusat kegiatan baik kegiatan pemerintahan dan pembangunan, ekonomi dan perdagangan, hiburan dan sebagainya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dengan berdirinya kantor-kantor, pabrik, dan berbagai sarana
hiburan menyebabkan orang-orang dari luar kota berbondong-bondong masuk ke Kota Semarang. Apalagi hal ini didukung oleh sarana transportasi yang memang
komplit seperti transportasi darat, laut dan udara. Jaringan transportasi umum di kota Semarang telah disediakan berbagai fasilitas yang menunjang yaitu stasiun,
terminal, pelabuhan dan bandara. Pengguna jasa transportasi darat dengan bus dapat dilayani melalui terminal Terboyo, sub terminal Penggaron dan sub
terminal Mangkang. Sedangkan untuk pengguna jasa kereta api dilayani melalui Stasiun Besar Tawang dan Stasiun Kereta Api Poncol. Pengguna transportasi laut
dilayani melalui pelabuhan Tanjung Emas, sedangkan pengguna jasa transportasi udara dapat dilayani melalui Bandara Ahmad Yani.
Pertumbuhan kota yang demikian pesat juga ikut berpengaruh terhadap kebiasaan dan budaya masyarakat kota Semarang. Perubahan ini juga
mempengaruhi gaya hidup dari masyarakatnya. Vegetarian kini sudah menjadi salah satu bagian dari gaya hidup di Semarang. Menjadi vegetarian adalah gaya
hidup, bukan mengikuti aliran terkait agama tertentu. Alasan utama menjadi vegetarian biasanya demi kesehatan. Namun di sejumlah negara maju, alasan tadi
telah bergeser menjadi demi lingkungan dan etika. www.kompas.com
. Para ahli Antropologi berpendapat bahwa kebiasaan makan keluarga dan susunan
hidangannya merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga tersebut yang disebut Life style gaya hidup. Life style ini merupakan kondensasi dari
interaksi budaya dan lingkungan hidup. Sediaoetama, 1989 : 197. Keberadaan pelaku vegetarian di Kota Semarang sudah menjadi bagian
dari masyarakatnya. Namun tidak banyak juga masyarakat yang tahu mengenai
gaya hidup ini, disamping itu masyarakat juga masih menganggap aneh mengenai gaya hidup ini. Tak dapat dipungkiri hal tersebut terjadi karena masih adanya
paradigma masyarakat bahwa daging merupakan hidangan spesial yang selalu diidam-idamkan hadir di meja makan. Hal ini tentunya menjadi salah satu
hambatan bagi para pelaku vegetarian, karena masih adanya stigma aneh terhadap para pelakunya.
4.2 Proses Penelitian