Monopoli pekerjaan Monopoly of Practice. Monopoli pekerjaan yang

8 bentuk keprofesian sehari-hari. Dan pada hakekatnya peristiwa pembuatan obat merupakan peristiwa iptek, manajemen, etik, moral dan obligasi kemanusiaan Ahaditomo, 2000. Farmasi dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan beberapa ciri khusus.

1. Monopoli pekerjaan Monopoly of Practice. Monopoli pekerjaan yang

dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh negara Harding, 1993. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan mengatur mengenai pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker. Undang-undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 ini menjadi bukti itu bahwa profesi farmasi memiliki pengakuan secara hukum di Indonesia. Seseorang yang apoteker tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. 2. Memiliki pengetahuan khusus dan pelatihan dalam jangka waktu yang lama Specialised knowledge and lengthy training. Untuk diterima menjadi anggota profesi, seseorang harus menjalani pendidikan intensif yang bervariasi dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 spesialisasi tinggi. Untuk menjadi lulusan farmasi membutuhkan masa pendidikan empat sampai lima, kemudian diikuti dengan satu tahun pendidikan profesi untuk mendapatkan gelar apoteker. Pada saat menempuh masa pendidikan, apoteker dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang disesuaikan dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan penggunaan obat secara klinis Harding, 1993. Lembaga Pendidikan Tinggi farmasi mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-masa selanjutnya Sirait, 2001. 3. Berorientasi pada pelayanan Service Orientations. Pernyataan ini menandakan bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi keinginan client. Anggota profesi tidak diperbolehkan untuk memaksa client dengan maksud untuk memenuhi kebutuhannya pribadi. Pelayanan yang dilakukan oleh apoteker termasuk di dalamnya adalah menyediakan obat-obatan dan perlengkapannya, membantu terapi pada penyakit ringan, dan memberikan informasi tentang kesehatan Harding, 1993. 4. Pengaturan diri Self-regulation. Profesi merupakan pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan yang lain sehingga profesi diberikan kebebasan dalam mengatur dirinya sendiri. Organisasi profesi diperbolehkan untuk mengatur sistem pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota profesi dan memperkirakan seseorang yang berkompeten dalam menjalankan pekerjaannya Harding, 1993. Asuhan kefarmasian merupakan bukti pengaturan profesi farmasi terhadap standar pelayanan yang dapat dilakukan oleh farmasis di seluruh Dunia. Di Indonesia pengaturan tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 diwujudkan dengan adanya SumpahJanji Apoteker yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 20 tahun 1962, Kode Etik ApotekerFarmasis Indonesia yang diatur dalam keputusan kongres nasional XVII ISFI nomor: 007KONGRES XVIIISFI2005 dan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang diterbitkan tahun 2004. Peranan profesi farmasi juga telah digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah seven stars pharmacist.

1. Care-giver. Apoteker merupakan pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan