Kesiapan mahasiswa profesi apoteker dalam menghadapi standar kompetensi farmasis Indonesia dalam sudut pandang mahasiswa profesi apoteker di dua perguruan tinggi di Jawa Barat periode April 2006 - Juni 2006.

(1)

INTISARI

Farmasis Indonesia saat ini dituntut untuk mampu melakukan pekerjaan kefarmasian berdasarkan asuhan kefarmasian. Standar kompetensi farmasis merupakan suatu standar ukuran kualitas pelayanan farmasis kepada pasien atau masyarakat dalam kaitannya dengan konsep pelayanan kefarmasian yang mengacu pada asuhan kefarmasian. Pengetahuan dan kemampuan farmasis menentukan kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikannya. Pengetahuan dan kemampuan ini salah satunya diperoleh farmasis melalui suatu proses pendidikan tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan mahasiswa program profesi farmasi dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dan melihat pola distribusi minat mahasiswa profesi apoteker di tiga bidang pelayanan kefarmasian, yaitu industri, rumah sakit, dan apotek. Penelitian ini termasuk dalam penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Subyek dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa yang baru menyelesaikan kurikulum inti pendidikan farmasi yang sifatnya teori pada jenjang pendidikan profesi apoteker periode April 2006-Juni 2006 dan belum mengucapkan Sumpah Apoteker di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat dan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35,97% responden berminat di bidang rumah sakit; 21,05% berminat di bidang apotek, dan 42,98% responden berminat di bidang industri. Responden yang menyatakan siap melakukan pelayanan kefarmasian di bidang rumah sakit sebesar 82,93%, responden yang tidak siap sebesar 14,63%. Responden yang menyatakan siap melakukan pelayanan kefarmasian di bidang apotek sebesar 83,33%, sedangkan 16,67% responden tidak siap melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Dalam bidang pelayanan kefarmasian di industri, responden yang menyatakan siap sebesar 81,63%, dan responden yang tidak siap sebesar 18,37%.

Kata kunci : Sudut Pandang, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Mahasiswa Profesi Apoteker


(2)

ABSTRACT

Indonesian pharmacist nowadays was demanded to have capabilities to handle pharmacy job based on pharmaceutical care. Pharmacist competency standard was a quality measurement standard of pharmacist services to their patients or societies in relation with pharmacy services concepts in accordance to pharmaceutical care. Pharmacist knowledges and skills determined the quality of the pharmacy services given. The knowledges and skills was obtained by studying in high education.

The aim of this research were to know the readiness of the of Professional Pharmacist Students in order to Face the Standar Kompetensi Farmasis Indonesia and to see the interest distribution pattern of Professional Pharmacist Students in three pharmacy service fields, which were industrial pharmacy, hospital, and drugstore. This research was categorized as non eksperiment research with descriptive research design. Subjects of this research was Professional Pharmacist Students who just finished all theories in the pharmacy education curriculum of apotechary profession degree in period April 2006 - June 2006 and they have not conducted Pharmacist Oath in two universities in West Java by using quesionnaire as research instrument. The analysis was descriptive statistics.

The result showed that 35.97% of respondents were interested in hospital, 21.05% chose interest in apotechary, and 42.98% of respondents chose interest in industrial pharmacy. Respondents who stated their readiness to do the pharmacy service in hospital was about 82.93%, respondents who not ready were about 14.63%. Respondents who stated their readiness in apotechary field were about 83.33%, while 16.67% of respondents were not ready to do the services in apotechary in the field of industrial pharmacy, 81.63% of respondents stated their readiness, while 18.37% of respondents stated otherwise.

Keywords: Perception, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Professional Pharmacist Students.


(3)

KESIAPAN MAHASISWA PROFESI APOTEKER DALAM MENGHADAPI STANDAR KOMPETENSI FARMASIS INDONESIA DALAM SUDUT

PANDANG MAHASISWA PROFESI APOTEKER DI DUA PERGURUAN TINGGI DI JAWA BARAT

PERIODE APRIL 2006 - JUNI 2006

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Heribertus Dwi Hartanto NIM : 02 8114 092

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2006


(4)


(5)

(6)

Evangelizare pauperibus missit me

ku persembahkan kepada Bapa,kepada keluarga kudus, kepada keluargaku,kepada kekasihku,

dan kepada almamaterku.


(7)

PRAKATA

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul “Kesiapan Mahasiswa Profesi Apoteker Dalam Menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia Dalam Sudut Pandang Mahasiswa Profesi Apoteker Di Dua Perguruan Tinggi Di Jawa Barat Periode April 2006 - Juni 2006”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata Dharma.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

2. Bapak Edi Joko Santoso, S,Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini, dan pembimbing kami meski hanya beberapa waktu. Terima kasih atas waktu, motivasi, kritik, dan saran yang telah diberikan.

3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing utama yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan.

5. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan.


(8)

6. Bapak Ign.Y.Kristio Budiasmoro, M.Si. Terima kasih atas segala kritik, masukan dan bimbingan yang diberikan selama penulis belajar berorganisasi.

7. Dekan dan Kaprodi Profesi Apoteker di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat yang bersedia memberikan ijin untuk melakukan pengambilan data.

8. Pak Dudi, Pak Teddy dan Lintang Sakti. Terima kasih banyak atas segala bantuan yang diberikan, sehingga proses pengumpulan data berjalan dengan lancar.

9. Teman-teman Mahasiswa Profesi Apoteker di dua perguruan tinggi di Jawa Barat yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner dan wawancara.

10.Keluargaku : Bapak Giya, Ibu Sutinah, Pranti, Purnomo, Bang Kemantau dan istri, keponakanku Dian dan Fitri. Aku mengasihi kalian semua.

11.Keluarga angkatku di Wlingi : Bapak Dan Ibu Lamidjan, dan Mbak Tyas. Terima kasih atas semangat dan dukungan tiada habisnya yang diberikan saat aku “hancur” dulu.

12.Shinta Dewi Akhirnawati. Terimakasih atas kasihmu.

13.Ema. terimakasih atas bantuannya selama kuliah. Terlebih lagi atas kesediaan dan kerelaannya menjadi “pembimbing 3” skripsi ini.

14.Teman-teman seperjuangan : AriNawa, Ema, Hendra, Rio atas kerjasama, masukan, motivasi, kebersamaan, keceriaan dan literaturnya.

15.Teman-teman komunitas WAGU Jogja dan angkatan 51 Seminar Garum . Terima kasih atas persaudaraan kita.

16.Vibriani dan Yustina Suswanti. Terima kasih atas dukungan kalian.


(9)

17.Keluarga Squadra Viola Farmasi : Chris Oktavius, Lado Angin, Marcell, Opik, Mas Dhany, Wawan, Wiwid, Artanto, Rio, Firmanta, Egi, Yudha, Adistyawan, Hosea, Joewi Angkasa, John Kobun, Rudi, Irwan, Eko, Broto Hartanto, Arry, Edi, Budi, Boris, Rian, Tintus, Brian, Fajar, Robert, Edvan, Rudi, Ari Sadhar, Yoyok, Erik, Adhit, Naning, Uut, Victoria, Ayu, Chandy, dan Ade. Terima kasih atas kerjasama, semangat dan kebersamaan selama ini. Untuk kemenangan Farmasi Sanata Dharma!!!

18.Vincentius Anjar, AriNawa, Nugraha Widhi, Septa Hutama, Doni, Rio, Hendra, Bayu, Patrisius, Ardhyan, Artanto, Edi, Adistyawan, Afu, Theodorus Gopa, Mardoni, Ferry, Albert, Handi, Yulius, Tjun Liong, Arry, Firmanta, Hartanto, Broto Hartanto, Lukas Eko, Thomas, Danu, Ratna, Dinta, Astu, Ema, Meita, Puri, Rina, Novita Widhi, Fretty, Victoria Hapsari, dan Novi, terima kasih atas kebersamaan, kebahagiaan, kesedihan, semangat, kritik, dan saran.

19.Teman-teman Fakultas Farmasi angkatan 2002 khususnya kelas B dan kelompok D atas kerjasama dan kebersamaan selama kuliah dan praktikum.

20.Rekan-rekan FKPMKS Sintang. Terima kasih atas bantuannya.

21.Tondy, Fransiskus, Eka, Tata, Hiasintus, Marcela, Erick, Haris, Lusi, dan Reni. Terima kasih atas persahabatan kita dan segala bantuan dan dukungannya.

22.Teman-teman kostku lama : Mas Novan, Mas Doni, Mas Albert, Mas Benny, Mas Haryo, Budi, Agus, Opiek, dan Wiwid. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

23.Teman-teman di Akiyama, terima kasih atas jasa dan waktu yang diberikan. 24.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(10)

Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun.

Yogyakarta, 14 November 2006

Penulis


(11)

(12)

INTISARI

Farmasis Indonesia saat ini dituntut untuk mampu melakukan pekerjaan kefarmasian berdasarkan asuhan kefarmasian. Standar kompetensi farmasis merupakan suatu standar ukuran kualitas pelayanan farmasis kepada pasien atau masyarakat dalam kaitannya dengan konsep pelayanan kefarmasian yang mengacu pada asuhan kefarmasian. Pengetahuan dan kemampuan farmasis menentukan kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikannya. Pengetahuan dan kemampuan ini salah satunya diperoleh farmasis melalui suatu proses pendidikan tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan mahasiswa program profesi farmasi dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dan melihat pola distribusi minat mahasiswa profesi apoteker di tiga bidang pelayanan kefarmasian, yaitu industri, rumah sakit, dan apotek. Penelitian ini termasuk dalam penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Subyek dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa yang baru menyelesaikan kurikulum inti pendidikan farmasi yang sifatnya teori pada jenjang pendidikan profesi apoteker periode April 2006-Juni 2006 dan belum mengucapkan Sumpah Apoteker di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat dan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35,97% responden berminat di bidang rumah sakit; 21,05% berminat di bidang apotek, dan 42,98% responden berminat di bidang industri. Responden yang menyatakan siap melakukan pelayanan kefarmasian di bidang rumah sakit sebesar 82,93%, responden yang tidak siap sebesar 14,63%. Responden yang menyatakan siap melakukan pelayanan kefarmasian di bidang apotek sebesar 83,33%, sedangkan 16,67% responden tidak siap melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Dalam bidang pelayanan kefarmasian di industri, responden yang menyatakan siap sebesar 81,63%, dan responden yang tidak siap sebesar 18,37%.

Kata kunci : Sudut Pandang, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Mahasiswa Profesi Apoteker


(13)

ABSTRACT

Indonesian pharmacist nowadays was demanded to have capabilities to handle pharmacy job based on pharmaceutical care. Pharmacist competency standard was a quality measurement standard of pharmacist services to their patients or societies in relation with pharmacy services concepts in accordance to pharmaceutical care. Pharmacist knowledges and skills determined the quality of the pharmacy services given. The knowledges and skills was obtained by studying in high education.

The aim of this research were to know the readiness of the of Professional Pharmacist Students in order to Face the Standar Kompetensi Farmasis Indonesia and to see the interest distribution pattern of Professional Pharmacist Students in three pharmacy service fields, which were industrial pharmacy, hospital, and drugstore. This research was categorized as non eksperiment research with descriptive research design. Subjects of this research was Professional Pharmacist Students who just finished all theories in the pharmacy education curriculum of apotechary profession degree in period April 2006 - June 2006 and they have not conducted Pharmacist Oath in two universities in West Java by using quesionnaire as research instrument. The analysis was descriptive statistics.

The result showed that 35.97% of respondents were interested in hospital, 21.05% chose interest in apotechary, and 42.98% of respondents chose interest in industrial pharmacy. Respondents who stated their readiness to do the pharmacy service in hospital was about 82.93%, respondents who not ready were about 14.63%. Respondents who stated their readiness in apotechary field were about 83.33%, while 16.67% of respondents were not ready to do the services in apotechary in the field of industrial pharmacy, 81.63% of respondents stated their readiness, while 18.37% of respondents stated otherwise.

Keywords: Perception, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Professional Pharmacist Students.


(14)

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PRAKATA... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... ix

INTISARI... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR... xxii

DAFTAR LAMPIRAN... xxiii

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang... 1

1. Rumusan masalah... 3

2. Keaslian penelitian... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelititan... 4

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Perubahan Konsep Pelayanan Kefarmasian... 5

B. Profesi... 6


(15)

C. Apoteker... 7

D. Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia... 11

E. Standar Profesi... 14

F. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia... 15

G. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Rumah Sakit... 15

1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian……… 16

2. Kompetensi B : Akuntabilitas praktek farmasi... 20

3. Kompetensi C : Manajemen praktis farmasi... 22

4. Kompetensi D : Komunikasi farmasi……… 26

5. Kompetensi E : Pendidikan dan pelatihan farmasi……… 28

6. Kompetensi F : Penelitian dan pengembangan kefarmasian……. 30

H. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Apotek... 33

1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian……… 34

2. Kompetensi B : Akuntabilitas praktek farmasi... 37

3. Kompetensi C : Manajemen praktis farmasi... 38

4. Kompetensi D : Komunikasi farmasi……… 40

5. Kompetensi E : Pendidikan dan pelatihan farmasi……… 42

6. Kompetensi F : Penelitian dan pengembangan kefarmasian……. 43

I. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Industri... 46

1. Quality Management (Manajemen Mutu)……… 46

2. Production Management (Manajemen Produksi)……… 48

3. Product Development (Pengembangan Produk)………. 49

4. Material Management (Manajemen Persediaan)………. 50


(16)

5. Material Management (Manajemen Persediaan)……….. 50

J. Organisasi Profesi... 51

K. Pendidikan Farmasi... 52

L. Keterangan Empiris... 55

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 56

B. Batasan Operasional Penelitian... 56

C. Subyek Penelitian ... ... 58

D. Instrumen Penelitian... ... 59

E. Tata Cara Penelitian... 61

1. Analisis situasi... 61

2. Pembuatan kuisioner... 62

3. Penyebaran dan pengumpulan kuisioner... 64

4. Wawancara... 64

5. Pengolahan hasil... 64

F. Tata Cara Pengolahan Data... 65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Mahasiswa Profesi Apoteker... 66

1. Jenis kelamin... 66

2. Tempat menempuh pendidikan strata satu farmasi... 67

3. Minat... 68


(17)

B. Tingkat Kesiapan Mahasiswa Profesi Apoteker Dalam Menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia Dalam Sudut Pandang

Mahasiswa Profesi Apoteker... 72

1. Bidang Rumah Sakit ... 72

a. Asuhan kefarmasian ... 73

b. Akuntabilitas praktek farmasi... 74

c. Manajemen praktis farmasi... 75

d. Komunikasi farmasi... 77

e. Pendidikan dan pelatihan farmasi... 78

f. Penelitian dan pengembangan kefarmasian... 79

2. Bidang Apotek... 82

a. Asuhan kefarmasian... 82

b. Akuntabilitas praktek farmasi... 84

c. Manajemen praktis farmasi... 85

d. Komunikasi farmasi... 86

e. Pendidikan dan pelatihan farmasi... 87

f. Penelitian dan pengembangan farmasi... 87

3. Bidang Industri... 90

a. Quality Management (Manajemen Mutu)... 90

b. Production Management (Manajemen Produksi)... 92

c. Product Development (Pengembangan Produk)... 92

d. Material Management (Manajemen Persediaan)... 93


(18)

e. Regulatory and Product Information (Regulasi dan

Informasi Produk)... 93

C. Rangkuman Pembahasan... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 99 A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA... 101

LAMPIRAN... 105

BIOGRAFI PENULIS... 128


(19)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel I Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang rumah sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode Etik

Apoteker/Farmasis Indonesia………. 31

Tabel II Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang apotek dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 tahun 2002 tentang Perubahan atas Permenkes No.922 tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia……... 43 Tabel III Kurikulum inti pendidikan profesi apoteker………. 53 Tabel IV Daftar Nama Mata Kuliah Kurikulum Tahun 2006

Program Profesi Apoteker Minat Praktek Kerja Profesi Apoteker : Farmasi Rumah Sakit……….. 53 Tabel V Daftar Nama Mata Kuliah Kurikulum Tahun 2006

Program Profesi Apoteker Minat Praktek Kerja Profesi Apoteker : Farmasi Industri………... 54 Tabel VI Struktur Kurikulum Program Profesi Apoteker di salah

satu perguruan tinggi di Jawa barat... 55


(20)

Tabel VII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi A (Asuhan Kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit... 74 Tabel VIII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi B

(Akuntabilitas Praktek Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit... 75 Tabel IX Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi C

(Manajemen Praktis Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit……… 76 Tabel X Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi D

(Komunikasi Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit... 77 Tabel XI Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi E

(Pendidikan dan Pelatihan Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit……… 78 Tabel XII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi F

(Penelitian dan Pengembangan kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit……….. 79 Tabel XIII Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan

responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian

di Rumah Sakit……….. 81


(21)

Tabel XIV Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit………... 81 Tabel XV Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi A

(Asuhan Kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek... 83 Tabel XVI Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi B

(Akuntabilitas Praktek Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek... 84 Tabel XVII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi C

(Manajemen Praktis Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek……… 85 Tabel XVIII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi D

(Komunikasi Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek... 86 Tabel XIX Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi E

(Pendidikan dan Pelatihan Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek……… 87 Tabel XX Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi F

(Penelitian dan Pengembangan kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek……….. 88


(22)

Tabel XXI Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian

di Apotek………... 89

Tabel XXII Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian di Apotek………... 89 TabelXXIII Kesiapan responden dalam fungsi industrial Quality

Management di Industri………... 91 Tabel XXIV Kesiapan responden dalam fungsi industrial Production

Management di Industri………... 92 Tabel XXV Kesiapan responden dalam fungsi industrial Product

Development di Industri………... 93 Tabel XXVI Kesiapan responden dalam fungsi industrial Material

Management di Industri………... 93 Tabel XXVII Kesiapan responden dalam fungsi industrial Regulatory

and Product Information di Industri……… 94 Tabel XXVIII Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan

responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian

di Industri……….. 95


(23)

Tabel XXIX Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian di

Industri……….. 96


(24)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Jenis kelamin responden di Jawa Barat ... 66 Gambar 2. Perguruan tinggi tempat menempuh pendidikan strata satu

farmasi dan pendidikan profesi Apoteker di Jawa Barat... 67 Gambar 3. Distribusi minat responden pada tiga bidang pelayanan

kefarmasian di Jawa Barat ... 69 Gambar 4. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Rumah Sakit

secara umum…………... 80 Gambar 5. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Apotek secara

umum... 88 Gambar 6. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Industri secara

umum... 95 Gambar 7. Distribusi minat responden pada tiga bidang pelayanan

kefarmasian di Jawa Barat ... 97 Gambar 8. Gambaran umum kesiapan responden... 98


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal. Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian... 105

Lampiran 2. Kuisioner Penelitian... 106 Lampiran 3. Hasil Wawancara... 122 Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian... 126


(26)

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan manusia yang dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama sebagai suatu organisasi. Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu sub sistem dari sistem pelayanan kesehatan, ditinjau dari segi fungsi, yang berkaitan dengan obat atau pengobatan (Anonim, 2004a). Mutu pelayanan kesehatan akan menjadi lebih baik jika masing-masing profesi/tenaga kesehatan memberikan pelayanannya secara terpadu didasarkan pada standar profesi, etika, dan norma masing-masing, termasuk juga profesi farmasi. Oleh karena itu, profesi farmasi juga diharapkan mampu untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanannya.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) telah menetapkan pemberlakuan buku Standar Kompetensi Farmasis Indonesia sebagai suatu standar dan acuan bagi apoteker Indonesia dalam melaksanakan aktivitas keprofesiannya. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia merupakan upaya ISFI untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan apoteker Indonesia kepada masyarakat sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Harapannya, setiap bidang pelayanan farmasi baik di industri, apotek, rumah sakit dan komunitas klinis lainnya tetap dipegang oleh apoteker (Anonim, 2004a).

Salah satu faktor penentu kemampuan profesi farmasi memenuhi kebutuhan masyarakat adalah program pendidikannya. Drs. Ahaditomo, M.S., menyatakan


(27)

bahwa keahlian farmasi diperoleh selama pendidikan tinggi kefarmasian (Anonim, 2004a). Walaupun demikian, Eddie Lembong melihat bahwa mata ajaran

yang diajukan tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan pemakai/konsumen/masyarakat. Kesenjangan antara materi dengan keterampilan yang dibutuhkan di lapangan sangat terasa di Indonesia, dimana sebagai suatu profesi sangat terasa bahwa farmasi tidak sangat mampu memenuhi kebutuhan riil di masyarakat. Hal ini terkemuka setelah ia melakukan pengkajian secara selintas kurikulum pendidikan farmasi di beberapa lembaga pendidikan terkemuka di Indonesia yang tertuang di dalam buku peringatan 50 tahun pendidikan farmasi Institut Teknologi Bandung.

Drs. Ahaditomo, M.S. mengharapkan bahwa seorang apoteker yang baru menyelesaikan pendidikannya diharapkan untuk mengacu pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai bidang minatnya (Anonim, 2004a). Dari sinilah penulis mendapatkan ide untuk mengadakan penelitian mengenai kesiapan para calon apoteker untuk memenuhi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia. Penulis merasa perlunya data-data yang dapat menunjukkan gambaran nyata kesiapan calon apoteker dalam menghadapi Standar Profesi Farmasi Indonesia.


(28)

3

1. Rumusan masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan muncul beberapa permasalahan. a. Bagaimana pola distribusi minat mahasiswa program profesi apoteker di dua

perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat untuk melakukan pelayanan kefarmasian di bidang industri, rumah sakit dan apotek?

b. Apakah mahasiswa program profesi apoteker di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat siap menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia?

2. Keaslian penelitian

Penelitian tentang Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang sudah dilakukan adalah mengkaji tentang sikap apoteker di apotek terhadap Standar Kompetensi Farmasis Indonesia. Sepengetahuan penulis, penelitian yang berkaitan dengan kesiapan mahasiswa program profesi apoteker menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan berhubungan dengan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.

a. Sikap Apoteker di Apotek pada Kecamatan Depok Kabupaten Sleman terhadap Standar Kompetensi Farmasis Indonesia (Nurjaman, 2004).

b. Sikap Apoteker di Apotek pada Kecamatan Danurejan Kotamadya Jogjakarta terhadap Standar Kompetensi Farmasis Indonesia (Kuncoro, 2004)


(29)

3. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi yang jelas mengenai kesiapan para calon apoteker untuk menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia. Data yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak terkait dalam menentukan tindak lanjut mengenai pengetahuan dan kemampuan calon apoteker sehingga setiap calon apoteker siap untuk menghadapi dan memenuhi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

Mengetahui pola distribusi minat mahasiswa program profesi apoteker untuk melakukan pelayanan kefarmasian di bidang industri, rumah sakit dan apotek dan kesiapan mahasiswa program profesi apoteker dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dan di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat.


(30)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Perubahan Konsep Pelayanan Farmasi

Pada awalnya, apoteker berfungsi sebagai peracik obat untuk diserahkan kepada pasien di Apotek. Berkembangnya industri untuk memproduksi obat berskala besar mengubah peranan apoteker dari peracik obat menjadi pendistribusi obat. Perkembangan ini dipicu oleh meningkatnya jumlah kebutuhan obat, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tekanan kompetisi perdagangan, inovasi dalam penemuan obat baru, lahirnya berbagai penyakit baru dan berbagai hal lain. Pada situasi ini, arah pelayanan kefarmasian adalah pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat akan obat, yang selanjutnya disebut drug oriented. Berdasarkan hasil evaluasi penggunaan obat, diketahui terjadi banyak pemasalahan yang timbul berkenaan dengan penggunaan obat. Walaupun demikian, makna obat sebagai media untuk proses kesehatan tidak berubah. Hal ini kemudian mendorong dan membelokkan arah orietasi pelayanan kefarmasian menjadi patient oriented (Anonim, 2004a). Terjadinya perubahan konsep pola penyakit, penatalaksanaannya ke pola hidup sehat dan promosi kesehatan ikut menjadi faktor terjadinya perubahan pola pelayanan kefarmasian ini (Sudjaswadi, 2002).

Saat ini, pelayanan kefarmasian berorientasi pada pasien dan mengacu pada filosofi asuhan kefarmasian. Asuhan kefarmasian adalah tanggung jawab profesi dalam hal farmakoterapi dengan tujuan mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan sehingga dapat mencapai keluaran yang dapat menjaga atau meningkatkan kualitas


(31)

hidup pasien. Dalam konsep ini, apoteker diajak untuk mewujudkan pengobatan rasional bagi masyarakat, yang menyeimbangkan aspek klinis dan ekonomi berdasarkan kepentingan pasien. Apoteker tidak lagi sekedar menjual obat kepada pasien atau masyarakat, tetapi juga harus menjamin tersedianya obat yang berkualitas dalam jumlah yang cukup, aman, nyaman digunakan, dan harga terjangkau serta pada saat pemberiannya disertai informasi yang memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya dilakukan evaluasi (Anonim, 2004a).

B. Profesi

Profesi adalah suatu kelompok pekerjaan yang memiliki karakteristik khusus, termasuk di dalamnya tehnik keahlian dengan tingkat tertinggi, berkomitmen untuk pelayanan kemasyarakatan, melakukan monopoli dalam pekerjaannya dan punya otonomi atas semua pekerjaannya. Seorang dengan pekerjaan profesi akan mendapatkan tingkat sosial dan status yang tinggi. Profesionalisme lebih bermakna sebagai strategi dari satu kelompok pekerjaan untuk mencapai dan memelihara profesinya (Harding dkk, 1994). Banyak kriteria untuk menentukan suatu pekerjaan adalah suatu profesi, antara lain

1. Unusual learning, yaitu dididik dan menerima pengetahuan yang khas dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain atau bidang yang berbeda.

2. Pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan mementingkan kepentingan orang lain)


(32)

7

4. Memiliki kode etik

5. Memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992)

6. Memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lain)

7. Memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja) 8. Memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional 9. Bersifat otonomi dan independensi

10.Bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita 11.Confidental relationship dalam pelayanannya.

(Sulasmono, 1997) C. Apoteker

Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek memberikan definisi Apoteker sebagai “sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker”.

Apoteker adalah satu-satunya profesi yang memiliki otoritas profesi dalam proses kefarmasian. Otoritas yang melekat pada diri farmasis/apoteker adalah sebagai akibat penguasaan atas keahliannya dibidang iptek kefarmasian melalui pengalaman belajar-mengajar di pendidikan tinggi kefarmasian dan pengalaman keprofesian yang kemudian disumpah sebelum menjalankan keahliannya dalam


(33)

bentuk keprofesian sehari-hari. Dan pada hakekatnya peristiwa pembuatan obat merupakan peristiwa iptek, manajemen, etik, moral dan obligasi kemanusiaan (Ahaditomo, 2000).

Farmasi dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan beberapa ciri khusus.

1. Monopoli pekerjaan (Monopoly of Practice). Monopoli pekerjaan yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh negara (Harding, 1993). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan mengatur mengenai pekerjaan kefarmasian.

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.

Undang-undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 ini menjadi bukti itu bahwa profesi farmasi memiliki pengakuan secara hukum di Indonesia. Seseorang yang apoteker tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

2. Memiliki pengetahuan khusus dan pelatihan dalam jangka waktu yang lama (Specialised knowledge and lengthy training). Untuk diterima menjadi anggota profesi, seseorang harus menjalani pendidikan intensif yang bervariasi dengan


(34)

9

spesialisasi tinggi. Untuk menjadi lulusan farmasi membutuhkan masa pendidikan empat sampai lima, kemudian diikuti dengan satu tahun pendidikan profesi untuk mendapatkan gelar apoteker. Pada saat menempuh masa pendidikan, apoteker dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang disesuaikan dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan penggunaan obat secara klinis (Harding, 1993). Lembaga Pendidikan Tinggi farmasi mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-masa selanjutnya (Sirait, 2001).

3. Berorientasi pada pelayanan (Service Orientations). Pernyataan ini menandakan bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi keinginan client. Anggota profesi tidak diperbolehkan untuk memaksa client dengan maksud untuk memenuhi kebutuhannya pribadi. Pelayanan yang dilakukan oleh apoteker termasuk di dalamnya adalah menyediakan obat-obatan dan perlengkapannya, membantu terapi pada penyakit ringan, dan memberikan informasi tentang kesehatan (Harding, 1993).

4. Pengaturan diri (Self-regulation). Profesi merupakan pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan yang lain sehingga profesi diberikan kebebasan dalam mengatur dirinya sendiri. Organisasi profesi diperbolehkan untuk mengatur sistem pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota profesi dan memperkirakan seseorang yang berkompeten dalam menjalankan pekerjaannya (Harding, 1993). Asuhan kefarmasian merupakan bukti pengaturan profesi farmasi terhadap standar pelayanan yang dapat dilakukan oleh farmasis di seluruh Dunia. Di Indonesia pengaturan tersebut


(35)

diwujudkan dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 20 tahun 1962, Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia yang diatur dalam keputusan kongres nasional XVII ISFI nomor: 007/KONGRES XVII/ISFI/2005 dan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang diterbitkan tahun 2004.

Peranan profesi farmasi juga telah digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah seven stars pharmacist.

1. Care-giver. Apoteker merupakan pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Saat memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok. Apoteker juga harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasis yang dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisiensi terhadap seluruh penggunaan sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan, dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan ketrampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam menentukan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.

3. Communicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut


(36)

11

meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar, dan kemampuan menulis dengan menggunakan bahasa sesuai kebutuhan.

4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola keputusan.

5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi, apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak kuliah dan semangat

belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan ketrampilan yang selalu baru (up-date) untuk melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.

7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih

apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagai ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan ketrampilan (Anonim, 2004).

D. Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia

Ciri suatu profesi diantaranya adalah memiliki kode etik (Sulasmono,1997). Kode etik merupakan asas dan norma yang diterima oleh suatu kelompok tertentu


(37)

sebagai landasan ukuran tingkah laku (Salim, 1991). Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang Apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Isi kode etik apoteker/farmasis Indonesia berdasarkan keputusan kongres nasional XVII ISFI nomor : 007/KONGRES XVII/ISFI/2005 pada tanggal 18 Juni 2005.

KODE ETIK APOTEKER/FARMASIS INDONESIA Mukamadiah

Bahwasanya seorang Apoteker/Farmasis di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa

Apoteker/Farmasisdidalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker/Farmasis

Menyadari akan hal tersebut Apoteker/Farmasis di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu:

BAB I Kewajiban Umum Pasal 1: sumpah/janji

Setiap Apoteker/Farmasis harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker/Farmasis

Pasal 2

Setiap Apoteker/Farmasis harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia

Pasal 3

Setiap Apoteker/Farmasis harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker/Farmasis Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya

Pasal 4

Setiap Apoteker/Farmasis harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya

Pasal 5

Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian

Pasal 6

Seorang Apoteker/Farmasis harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain


(38)

13

Pasal 7

Seorang Apoteker/Farmasis harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya

Pasal 8

Seorang Apoteker/Farmasis harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

BAB II

Kewajiban Apoteker Terhadap Penderita Pasal 9

Seorang Apoteker/Farmasis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani

BAB III

Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Pasal 10

Setiap Apoteker/Farmasis harus memperlukan teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan

Pasal 11

Sesama Apoteker/Farmasis harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik

Pasal 12

Setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker/Farmasis di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

BAB IV

Kewajiban Apoteker Terhadap Sejawat Petugas Kesehatan Lainnya Pasal 13

Setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan.

Pasal 14

Setiap Apoteker/Farmasis hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.

BAB V Penutup Pasal 15

Setiap Apoteker/Farmasis bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kode etik Apoteker/Farmasis Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya


(39)

sehari-hari. Jika seorang Apoteker/Farmasis baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak mematuhi kode etik Apoteker/Farmasis Indonesia, maka dia wajib mengkui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa

E. Standar Profesi

Menurut penjelasan atas Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pada pasal 21 ayat (1), standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik. Menurut penjelasan atas Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran umum pada pasal 50, standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill, and profesional attitude minimal) yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri.

Menurut penjelasan atas Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran umum pada pasal 50, standar profesi dibuat oleh organisasi profesi. Menurut Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pada pasal 21 ayat (52), standar profesi tanaga kesehatan ditetapkan oleh menteri. Pada penjelasan atas Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pada pasal 21 ayat (2) disebutkan bahwa dalam menetapkan standar profesi untuk masing-masing jenis tenaga kesehatan, Menteri dapat meminta pertimbangan dari para ahli di bidang kesehatan dan atau yang mewakili ikatan profesi tenaga kesehatan. Pada Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pada pasal 24 disebutkan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.


(40)

15

F. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia

Standar Kompetensi Farmasis Indonesia merupakan suatu standar yang berisi ukuran kualitas pelayanan kefarmasian yang mengacu pada asuhan kefarmasian, sehingga apoteker Indonesia dapat memberikan pelayanan yang seragam kepada konsumen atau masyarakat, baik yang dilakukan di rumah sakit, apotek, lembaga riset dan industri. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia berguna untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan farmasis seseuai prkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat akan selalu mendapatkan pelayanan terbaik dari profesi apoteker (Anonim, 2004a).

Berdasarkan surat keputusan badan pimpinan pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia nomor: 031008/BPP/SK.09 tanggal 8 Oktober 2003, maka Standar Kompetensi Farmasis Indonesia telah diberlakukan sebagai standar dan acuan bagi Apoteker Indonesia dalam menjalankan aktivitas keprofesiannya. Pemberlakuan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia ini semakin menguatkan kedudukan farmasi sebagai sebuah profesi. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia meliputi tiga bidang pelayanan kefarmasian, yaitu Rumah Sakit, Apotek dan Industri.

G. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Rumah Sakit

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Farmasi Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di Rumah Sakit tersebut. Pelayanan farmasi diselenggarakan dan dikelola oleh Apoteker yang mempunyai pengalaman minimal dua tahun di bagian farmasi


(41)

Rumah Sakit. Personalia yang melakukan pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit dipersyaratkan terdaftar di Departemen Kesehatan, terdaftar di asosiasi profesi, mempunyai ijin kerja dan mempunyai Surat Keputusan (SK) penempatan. Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga farmasi profesional yang berwenang berdasarkan undang-undang, memenuhi persyaratan baik dari segi aspek hukum, strata pendidikan, kualitas maupun dengan kuantitas dengan jaminan kepastian adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap keprofesian terus menerus dalam rangka menjaga mutu profesi dan kepuasan pelanggan.

Berikut adalah kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker yang akan bekerja di rumah sakit yang didasarkan pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan dilihat kesesuaiannya dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode Etik Apoteker / Farmasis Indonesia.

1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian

a. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal. Salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat di Rumah Sakit yang tercantum di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit pada bab VI adalah mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada Apoteker, untuk


(42)

17

menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Pada bab VI bagian 2.1. menyebutkan tentang pengkajian resep. Kajian resep meliputi kegiatan yang dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasi dan persyaratan klinis. Persyaratan administrasi meliputi nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter; tanggal resep; ruangan/unit asal resep persyaratan farmasi meliputi bentuk dan kekuatan sediaan; dosis dan jumlah obat; stabilitas dan ketersediaan; aturan, cara dan teknik penggunaan. Persyaratan klinis meliputi ketepatan indikasi, dosis, dan waktu penggunaan obat; duplikasi pengobatan; alergi, interaksi, dan efek samping obat; kontra indikasi dan efek aditif.

b. Memberikan pelayanan kepada pasien atas permintaan pasien itu sendiri dalam rangka ingin melakukan pengobatan mandiri.

c. Memberikan pelayanan informasi obat. Pada bab VI bagian 2.4. mengenai pelayanan informasi obat disebutkan bahwa

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.

Tujuan :

i. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit

ii. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat, terutama Panitia/Komite Farmasi dan Terapi

iii. Meningkatkan profesionalisme Apoteker iv. Menunjang terapi obat yang rasional.

Kegiatan :

i. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan pasif

ii. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka


(43)

iv. Menyediakan informasi bagi Komite/Panitia Farmasi dan Terapi sehubungan dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit.

d. Memberikan konsultasi/konseling obat. Pada bab VI bagian 2.5. mengenai konseling disebutkan bahwa

Konseling merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.

Tujuan :

Memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara penggunaan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan penggunaan obat lain.

e. Membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses terapi. Kompetensi ini disebutkan pada bab VI bagian dispensing sediaan farmasi khusus

Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya :

a. Dispensing sediaan farmasi parenteral nutrisi merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai.

Kegiatan :

1) mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk kebutuhan perorangan

2) mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi

b. Dispensing sediaan farmasi pencampuran obat steril melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas, dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan.

Kegiatan :

1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus

2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai


(44)

19

f. Melakukan monitoring efek samping obat. Pada bab VI bagian 2.3.disebutkan mengenai pemantauan dan pelaporan efek samping obat.

Pemantauan dan pelaporan efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.

Kegiatan :

i. kegiatan menganalisa laporan efek samping obat

ii. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat

iii. mengisi formulir efek samping obat

iv. melaporkan ke panitia Efek Samping Obat Nasional.

g. Pelayanan klinik berbasis farmakokinetika. Salah satu bentuk pelayanan klinis berbasis farmakokinetika adalah pemantauan kadar obat dalam darah. Hal ini tercantum pada bab VI bagian 2.6.

Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit.

Tujuan:

1. mengetahui kadar obat dalam darah

2. memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat Kegiatan:

1. memisahkan serum dan plasma darah

2. memeriksa kadar obat yang terdapat dalam plasma dengan alat TDM

3. membuat rekomendasi kepada dokter berdasarkan hasil pemeriksaan Faktor-faktor yang diperhatikan:

1. alat Therapeutic Drug Monitoring 2. reagen sesuai obat yang diberikan

h. Penatalaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan yang setara. Pada Bab II dijelaskan bahwa salah satu pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan adalah melakukan penanganan obat kanker. Pada Bab VI dijelaskan tentang dispensing sediaan farmasi berbahaya termasuk didalamnya penanganan obat kanker.


(45)

Merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai, sehingga kecelakaan terkendali

Kegiatan:

1. melakukan perhitungan dosis secara akurat

2. melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai

3. mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan 4. mengemas dalam kemasan tertentu

5. membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku

i. Melakukan evaluasi penggunaan obat. Pada bab VI bagian 2.8. disebutkan mengenai pengkajian penggunaan obat

Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif dan terjangkau oleh pasien. Tujuan :

i. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter tertentu

ii. Membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter satu dengan yang lain

iii. Penilaian berkala atas penggunaan obat spesifik

iv. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat

Pada bab III juga disebutkan perlunya tinjauan terhadap penggunaan obat di Rumah Sakit dengan mengkaji medical record dibanding dengan standar diagnosa dan terapi.

2. Kompetensi B : Akuntabilitas praktek farmasi

a. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi. Pada bab II diatur bahwa tugas pokok farmasi Rumah Sakit adalah menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi. Pada bab VI mengenai pelayanan kefarmasian


(46)

21

dalam penggunaan obat dan alat kesehatan disebutkan juga bahwa salah satu peran Apoteker adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat.

b. Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku. Pada bab II tertulis

Semua kebijakan dan prosedur yang ada harus tertulis dan dicantumkan tanggal dikeluarkannya peraturan tersebut. Peraturan dan prosedur yang ada harus mencerminkan standar pelayanan farmasi mutakhir yang sesuai dengan peraturan dan tujuan dari pada pelayanan farmasi itu sendiri.

Kriteria kebijakan dan prosedur dibuat oleh kepala instansi, panitia/komite farmasi dan terapi serta para Apoteker.

Dalam pengelolaan perbekalan farmasi, kebijakan dan prosedur meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, pembuatan/produksi, penyimpanan, pendistribusian dan penyerahan.

Pelayanan farmasi harus mencerminkan kualitas pelayanan kefarmasian yang bermutu tinggi. Mutu pelayanan farmasi harus dievaluasi secara periodik terhadap konsep, kebutuhan, proses, dan hasil yang diharapkan demi menunjang peningkatan mutu pelayanan.

c. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. Pada bab II menyebutkan bahwa

Farmasi Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di Rumah Sakit tersebut. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab terhadap segala aspek hukum dan peraturan-peraturan farmasi baik terhadap pengawasan distribusi maupun administrasi barang farmasi.

Kepala Instalasi Farmasi harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.

d. Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat. Pada bab VI disebutkan bahwa penanganan obat kanker harus dilakukan secara aseptis dan


(47)

pembuangan limbah harus mengikuti prosedur yang berlaku sehingga keamanan lingkungan dapat dikendalikan.

e. Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”. Pada bab I disebutkan

Mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit adalah pelayanan farmasi yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan dalam menimbulkan kepuasan pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata masyarakat, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan profesi yang ditetapkan serta sesuai dengan kode etik profesi farmasi.

Pengendalian mutu adalah suatu mekanisme kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, secara terencana dan sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan mutu serta menyediakan mekanisme tindakan yang diambil, sehingga terbentuk proses peningkatan mutu pelayanan farmasi yang berkesinambungan.

3. Kompetensi C : Manajemen praktis farmasi

a. Merancang, membuat, mengetahui, memahami, dan melaksanakan regulasi dibidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di farmasi rumah sakit berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Pada bab III disebutkan bahwa

Panitia Farmasi dan Terapi ikut membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di Rumah Sakit sesuai peraturan-peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.

Hal ini juga disebutkan pada pasal 8 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia, yaitu bahwa seorang apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.


(48)

23

b. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan farmasi rumah sakit yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkan ke dalam rencana kerja (plan of action). Pada bab VI tentang pengelolaan perbekalan farmasi disebutkan bahwa

Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan. Pada bab II mengenai fungsi pengelolaan farmasi tertulis

1. memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit

2. merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal

3. mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku

4. memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit

5. menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesisfikasi dan ketentuan yang berlaku

6. menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian

7. mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit

c. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan pelaksanaan sistem distribusi, melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu pelayanan. Pada bab VI disebutkan bahwa salah satu tujuan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan adalah memberikan


(49)

pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan efisiensi penggunaan obat. Pada bab II mengenai fungsi pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan tertera kegiatan-kegiatan yang dilakukan

1) mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien

2) megidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan

3) mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan

4) memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan

5) memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga 6) memberi konseling kepada pasien/keluarga

7) melakukan pencampuran obat suntik 8) melakukan penyiapan nutrisi parenteral 9) melakukan penanganan obat kanker

10)melakukan penentuan kadar obat dalam darah 11)melakukan pencatatan setiap kegiatan

12)melaporkan setiap kegiatan

d. Merancang organisasi kerja yang meliputi ; arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen. Pada bab III disebutkan

Bagan organisasi merupakan bagan yang menggambarkan pembagian tugas, koordinasi dan wewenang serta fungsi. Kerangka organisasi minimal mengakomodasi penyelenggaraan pengelolaan perbekalan, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan harus selalu dinamis sesuai perubahan yang dilakukan yang tetap menjaga mutu sesuai harapan pelanggan.

Pada bab II tertulis

Bagan organisasi menggambarkan uraian tugas, fungsi, wewenang dan tanggungjawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar pelayanan farmasi yang ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit.


(50)

25

e. Merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga, berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian. Pada bab VI disebutkan

Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Pedoman perencanaan :

1. DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang berlaku

2. Data catatan medik 3. Anggaran yang tersedia 4. Penetapan prioritas 5. Siklus penyakit 6. Sisa persedian

7. Data pemakaian periode yang lalu 8. Rencana pengembangan

f. Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun klinis yang mengarah pada kepuasan konsumen. Pada bab I disebutkan bahwa

Evaluasi adalah proses penilaian kinerja pelayanan farmasi di Rumah Sakit yang meliputi penilaian terhadap sumber daya manusia (SDM), pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian kepada pasien/pelayanan farmasi klinik.

Pada bab VIII tertulis

Tujuan khusus kegiatan evaluasi :

1. menghilangkan kinerja pelayanan yang substandar

2. terciptanya pelayanan farmasi yang menjamin efektifitas obat dan keamanan pasien

3. meningkatkan efisiensi pelayanan

4. meningkatkan mutu obat yang diproduksi di Rumah Sakit sesuai CPOB ( Cara Pembuatan Obat yang Baik)

5. meningkatkan kepuasan pelanggan


(51)

Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, sibagi tiga jenis program evaluasi:

1. prospektif : program dijalankan sebelum pelayanan dilaksanakan. Contoh : pembuatan standar, perijinan

2. konkuren : program dijalankan bersamaan dengan pelayanan dilaksanakan

Contoh : memantau kegiatan konseling Apoteker, peracikan resep oleh Asisten Apoteker

3. retrospektif : program pengendalian yang dijalankan setelah pelayanan dilaksanakan

Contoh : survei konsumen, laporan mutasi barang Metode evaluasi :

1. audit (pengawasan) : dilakukan terhadap proses hasil kegiatan apakah sudah sesuai standar

2. review (penilaian) : terhadap pelayanan yang telah diberikan, penggunaan sumber daya, penulisan resep

3. survei : untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket atau wawancara langsung

4. observasi : terhadap kesepatan pelayanan antrian, ketepatan penyerahan obat.

4. Kompetensi D : Komunikasi farmasi

a. Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien. Pada bab VI disebutkan tentang Ronde/visite pasien, yaitu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Salah satu tujuannya adalah menilai kemajuan pasien. Pada pasal 9 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa seorang Apoteker/Farmasis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani.

b. Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat. Pada bab VI disebutkan tentang Ronde/visite


(52)

27

pasien, yaitu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan lain yang dapat dilihat dari kegiatan ini adalah bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain untuk menilai kemajuan pasien. Pada bab III mencantumkan salah satu bentuk kerjasama profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lainnya, yaitu di dalam Panitia Farmasi dan Terapi. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, dimana anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili pesialisasi-spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, dan Apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Pada pasal 13 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan. Pada pasal 14 juga disebutkan bahwa setiap Apoteker/Farmasis hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.

c. Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian. Pada bab IV mengenai tenaga fungsional, Apoteker dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengelola manajemen praktis farmasi dan kemampuan melakukan akuntabilitas praktek kefarmasian.

d. Memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.


(53)

Pada pasal 10 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa setiap Apoteker/Farmasis harus memperlukan teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Dan pada pasal 12 disebutkan bahwa setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker/Farmasis di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

5. Kompetensi E : Pendidikan dan pelatihan farmasi

a. Memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasis dalam penerapan asuhan kefarmasian. Pada bab II pada bagian pengembangan staf dan program pendidikan telah mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan, meliputi penggunaan obat dan penerapannya, pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi dan praktikum farmasi bagi siswa farmasi dan pasca sarjana farmasi. Pada bab II ini juga disebutkan bahwa

Apabila ada pelatihan kefarmasian bagi mahasiswa fakultas farmasi atau tenaga farmasi lainnya, maka harus ditunjuk Apoteker yang memiliki kualifitasi pendidik/pengajar untuk mengawasi jalannya pelatihan tersebut.

.

Pada bab VI disebutkan tentang tujuan dari kegiatan pendidikan dan pelatihan Tujuan umum :

1. mempersiapkan sumber daya manusia farmasi untuk dapat melaksanakan rencana strategi instalasi Rumah Sakit di waktu mendatang

2. menghasilkan calon Apoteker, ahli madya farmasi, asisten Apoteker yang dapat menampilkan potensi dan produktifitasnya secara optimal di bidang kefarmasian

Tujuan khusus :

1. meningkatkan pemahaman tentang farmasi Rumah Sakit 2. memahami tentang pelayanan farmasi klinik


(54)

29

3. meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan di bidang kefarmasian

Ruang lingkup kegiatan : 1. pendidikan formal

2. pendidikan berkelanjutan (internal dan eksternal) 3. pelatihan

4. pertemuan ilmiah (seminar, simposium) 5. studi banding

6. praktek kerja lapangan

b. Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan. Pada Bab II bagian pengembangan staf dan program pendidikan disebutkan bahwa

Setiap staf Rumah Sakit harus mempunyai kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Setiap staf diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan berkelanjutan. Staf harus dibantu secara aktif untuk mengikuti program yang diadakan oleh organisasi profesi, perkumpulan dan institusi terkait.

Penyelenggaraan pendidikan dan penyuluhan meliputi : i. Penggunaan obat dan penerapannya

ii. Pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi

Penambahan pengetahuan disesuaikan dengan tanggungjawab, sedangkan peningkatan keterampilan disesuaikan dengan tugas. c. Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk

meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian. Pada bab IV mengenai kompetensi Apoteker sebagai pimpinan, disebutkan bahwa

1. Mempunyai kemampuan dan kemauan mengelola dan mengembangkan pelayanan farmasi

2. Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri

Pada pasal 4 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa Setiap Apoteker/Farmasis harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya


(55)

d. Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.

6. Kompetensi F : Penelitian dan pengembangan kefarmasian

a. Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain. Pada bab VII mencantumkan hal-hal mengenai penelitian dan pengembangan.

7.2.1 Penelitian

Penelitian yang dilakukan Apoteker di Rumah Sakit yaitu:

a. Penelitian farmasetik, termasuk pengembangan dan menguji bentuk sediaan baru. Formulasi, metode pemberian (konsumsi) dan sistem pelepasan obat dalam tubuh (Drug Release System)

b. Berperan dalam penelitian klinis yang diadakan oleh praktisi klinis, terutama dalam karakterisasi terapetik, evaluasi, pembandingan hasil Outcomes dari terapi obat dan regimen pengobatan.

c. Penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, termasuk penelitian perilaku dari sosioekonomi seperti penelitian tentang biaya keuntungan cost-benefit dalam pelayanan farmasi

d. Penelitian operasional (operation research) seperti studi waktu, gerakan, dan evaluasi program dan pelayanan farmasi yang baru dan yang ada sekarang.

7.2.2 Pengembangan

Instalasi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit pemerintah kelas A dan B (terutama Rumah Sakit pendidikan) dan Rumah Sakit swasta sekelas, agar mulai meningkatkan mutu perbekalan farmasi dan obat-obatan yang diproduksi serta mengembangkan dan melaksanakan praktek farmasi klinis.

b. Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian. Pada bab VII bagian 2 mengenai penelitian dan pengembangan menyebutkan

Pimpinan dan Apoteker Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus berjuang, bekerja jeras dan berkomunikasi efektif dengan semua pihak agar


(56)

31

pengembangan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang baru itu dapat diterima oleh pimpinan dan staf medik Rumah Sakit.

Inti dari kesesuaian antara Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang rumah sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode etik Apoteker/Farmasis Indonesia dapat dilihat pada tabel II berikut.

Tabel I. Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang rumah sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia

No. Kompetensi (Kegiatan)

Kepmenkes 1197 tahun

2004

Kode Etik

1. Kompetensi A : Asuhan Kefarmasian

a.

Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.

√ √

b. Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat

yang ingin melakukan pengobatan mandiri. - √

c. Memberikan pelayanan informasi obat. √ √

d. Memberikan konsultasi obat. √ √

e. Membuat formulasi khusus sediaan obat yang

mendukung proses terapi. √ √

f. Melakukan monitoring efek samping obat. √ √

g. Pelayanan klinis berbasis farmakokinetik. √ √

h. Penatalaksanaan obat sitostatistika dan obat atau bahan

yang setara √ √

i. Melakukan evaluasi penggunaan obat. √ √

2. Kompetensi B : Akuntabilitas Praktek Farmasi

a. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah

dan etika profesi. √ √

b.

Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku.

√ -

c. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan


(57)

Tabel I. Lanjutan

No. Kompetensi (Kegiatan)

Kepmenkes 1197 tahun 2004 Kode Etik d.

Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.

√ -

e.

Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan

stakeholder.

√ √

3. Kompetensi C : Manajemen Praktis Farmasi

a. Merancang, membuat, mengetahui, memahami, dan

melaksanakan regulasi dibidang farmasi. √ √

b. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan rumah

sakit yang efektif dan efisien.. √ √

c. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. √ √

d.

Merancang organisasi kerja yang meliputi; arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen.

√ -

e.

Merancang, melaksanakan, memantau, dan

menyesuaikan struktur harga, berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian.

√ √

f.

Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah pada kepuasan konsumen

√ √

4. Kompetensi D : Komunikasi Farmasi

a.

Memantapkan hubungan profesional antara apoteker dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien.

√ √

b.

Memantapkan hubungan profesional antara apoteker dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat.

√ √

c.

Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian.

√ √

d.

Memantapkan hubungan dengan sesama apoteker berdasarkan saling menghormati dan mengakui

kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.


(58)

33

Tabel I. Lanjutan

No. Kompetensi (Kegiatan)

Kepmenkes 1197 tahun

2004

Kode Etik 5. Kompetensi E : Pendidikan dan Pelatihan Farmasi

a. Memotivasi, mendidik, dan melatih apoteker lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian. √ √

b.

Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya, dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan.

√ √

c.

Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian.

√ √

d.

Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.

√ √

6. Kompetensi F : Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian

a.

Melakukan penelitian dan pengembangan,

mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain.

√ √

b.

Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengembilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.

√ √

H. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Apotek

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek mendefinisikan apotek sebagai tempat, tertentu, tempat dilakukan pekerjan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Secara umum, kompetensi di Apotek hampir sama dengan kompetensi di Rumah Sakit. Perbedaan terletak pada kompetensi yang dibutuhkan untuk menjalankan asuhan kefarmasian. Pada bidang


(59)

Apotek tidak mencantumkan kompetensi seperti yang terdapat di dalam kompetensi Rumah Sakit sebagaimana tercantum di bawah ini

ƒ Membuat formulasi khusus sediaaan obat yang mendukung proases terapi

ƒ Pelayanan klinik berbasis farmakokinetika

ƒ Penatalaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan obat yang setara

Berikut adalah kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker yang akan bekerja di apotek yang didasarkan pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan dilihat kesesuaiannya dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan Kode Etik Apoteker / Farmasis Indonesia.

1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian

a. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek menyebutkan bahwa resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada Apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pada bab III mengenai pelayanan menyebutkan hal-hal yang harus dilakukan berkaitan dengan pelayanan resep.

1.1 Skrining resep

Apoteker melakukan skrining resep meliputi: 1.1.1 Persyaratan administratif

ƒ Nama, SIP dan alamat dokter.

ƒ Tanggal penulisan resep.


(60)

35

ƒ Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.

ƒ Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta

ƒ Cara pemakaian yang jelas

ƒ Informasi lainnya

1.1.2 Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

1.1.3 Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi dan jumlah obat dan lain-lain).

Pada bagian 1.2 tertulis hal-hal mengenai penyiapan obat, yaitu peracikan, yang meliputi kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah, dan penyerahan obat. Sebelum obat diserahan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.

b. Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri. KepmenkesNo. 347 tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotik menyebutkan bahwa peran Apoteker di apotik dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri. c. Memberikan pelayanan informasi obat. Pada bab III mengenai informasi obat

mengatur mengenai bentuk pelayanan informasi obat di Apotek yang harus dilakukan.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.


(1)

P : apakah minat waktu praktek sesuai minat waktu kerja

R : bisa iya. Bisa tidak. Ada beberapa orang yang gambling, hanya sekedar ingin tahu saja. Tapi ada juga yang betul-betul ingin kerja di bidang tersebut ketika lulus nanti. Jadi bisa dikatakan pemilihan KP ada yang sesuai minat atau hanya sekedar ingin tahu.

P : harapan anda terhadap SKFI saat diberlakukan?

R : standar memang ideal, tapi saya masih bingung. Tapi Saya rasa bagus.

Responden 2

P : apakah sudah pernah dengar tentang SKFI ? R : belum

P : pernah dengar akan ada pemberlakuan tentang standar kompetensi? R : pernah

P : Sejauh mana tahu tentang SKFI?

R : Cuma baru dengar akan ada standar. Yang pernah saya dengar adalah kelemahan farmasi yaitu jika di apotek baru ada di apotek 3 bulan sekali. Apoteker jarang standby di apotek. Padahal apoteker itu fungsinya memberikan konsultasi obat ke pasien. Yang saya dengar apoteker harus selalu stanby di apotek, jadi kalo tidak , tidak boleh melakukan pelayanan. Jadi kita harus berubah, sehingga kita dapat lebih di hargai oleh masyarakat

P : menurut anda apakah jika SKFI diberlakukan anda siap? R : siap

P : kesiapan anda apakah berdasarkan ilmu pengetahuan yang di dapat saat kuliah benar-benar cukup atau ditambah juga dengan usaha-sendiri?

R : materi kuliah Cuma dapat kulitnya saja. Kalau mau diperdalam harus ada pengalaman atau memperdalam sendiri. Tergantung usaha sendiri

P : apakah kurikulum pendidikan selaras dengan SKFI ?

R : di itb lebih ke arah scientist, kearah teknologi industri. Jika untuk farmasi klinis belum siap pakai.

P : minat anda setelah lulus? R : ke laboratorium klinik


(2)

P : minat timbul atas dasar apa ?

R : dulu pernah minat ke FRS, tapi jadi takut saat bicara dengan dosen pembimbing. Pengalaman di industri juga penting untuk FRS Jadi sementara ini saya mau ke industri dulu baru nanti masuk FRS. Tapi saya akan tetap mempersiapkan diri dengan baik di bidang farmasi klinis dan industri. Agar saat kerja di salah satunya, tetap dapat memberikan yang terbaik.

P : harapan anda dengan diberlakukan SKFI?

R : profesi farmasi lebih dihargai masyarakat, apoteker juga dapat membagi atau menggunakan pengetahuan tentang obat di dalam masyarkat. Nilai plus kita adalah konseling obat. Jadi saat pasien datang, tidak terjadi kesalahan pemberian atau informasi obat. Pernah terjadi kesalahan, yaitu ketika PSA yang bukan apoteker mengatakan obat pengencer darah sebagai vitaminuntuk jantung koroner. Adanya apoteker diharapkan dapt mencegah terjadinya kesalahan seperti ini.

Responden 3

P : apakah sudah tahu tahu tentang SKFI?

R : pernah dengar tapi belum secara detail. Yang saya thu Cuma Pharmaceutical care di klinik, tapi yang industri belum tahu

P : apakah dalam mata kuliah tidak pernah disampaiakn

R : yang dibeitahu Cuma CPOB, tapi tidak dsampaikan bahwa itu merupakan Standar kompetensi. Yang saya tangkap bahwa standar kompetensi merupakan konseling di RS atau apotek. Menyangkut klinis.

P : minat anda? R : industri

P ; apakah anda siap ketika suatu saat diadakan ujian kompetensi ?

R : untuk industri saya siap, karena sudah seirng saya dengar waktu kuliah P : berarti keduanya sejalan antara kuliah dan SKFI

R : ya


(3)

R: apotker lulusan semua univ mempunayi kemampuan yang sama untuk memenuhi tuntutan di lingkungan kerja, tapi yang saya lihat beda orientasi. Di itb lebih mengarah ke industri

P : menurut anda kapan pengenalan SKFI dilakukan?

R : lebih baik sejak awal diperkenalkan. Dan lebih baoik sejak awal dibuat penjurusan, karena kompetensi klinik dan industrui berbeda jauh. Sehingga mereka yang berniat di tiap bidang dapat mem[ersiapkan diri sejak awal.

Responden 4

P : pernah dengar tentang SKFI

R : hanya selentingan, tapi belum tahu bentuknya? P : saat kuliah pernah disampaikan?

R : hanya CPOB, dimana apoteker berperan P : apakah merasa siap menghadapainya?

R : secara ilmu saya siap. saya pernah magang di industri bagian produksi, kalaupun di kasi tugas dan liat panduan, paling CPOB, dan petunjuk pelaksanaan apalgi kerjanya team work, saya siap. Dari pengalaman teman-teman KP di industri, saat mereka dikasi tugas, walaupun bukan bagiannya, dengan belajar mereka bisa.

P; jadi latar belakang pendidikan mendukung. R : iya, Namun latihan tetap diperlukan. P : harapan ?

R : semoga SKFI lebih jelas. Tapi bukan hanya dari farmasinya. Seperti dokter yang meracik obat, tidak ada yang jelas badan mana yang berhak melarang atau bahkan memberi sanksi kepadanya. Apakah itu wewenang POM atau wewenang Depkes.


(4)

(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Heribertus Dwi Hartanto, anak kedua dari pasangan Laurensius Giya dan Bernadette Sutinah. Lahir di Sintang, Kalimantan Barat, pada tanggal 28 Januari 1984. Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis adalah di TK Panca Setya Sintang, SD Panca Setya I Sintang, SLTP Panca Setya I Sintang, SMUK Seminari Garum-Blitar dan melanjutkan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa kuliah penulis pernah menjadi panitia pelaksana TITRASI 2003, Pharmacy Performance 2003, Pharmacy Event Cup 2003 dan 2004, Apotek Musik 2004, Steering Committee TITRASI 2004, pengurus UKF Sepakbola Farmasi USD, Ketua BPMF Farmasi USD periode 2003-2004 dan Gubernur BEMF Farmasi USD periode 2005.