Perkembangan Musik Keroncong di Indonesia

Kemudian pemilik rumah akan menjamu mereka dan memberikan berbagai jenis makanan kepada mereka sebagai ucapan terimakasih dan ikut bersyukur atas peristiwa Natal tersebut. Kebiasaan itu dimaksudkan untuk menghargai peristiwa keagamaan sekaligus untuk menurunkan tradisi berbahasa Portugis di kalangan anak muda. Pada hari Minggu pertama setelah pergantian tahun, diadakanlah pesta mandi-mandi. Mandi-mandi konon adalah simbol saling membersihkan diri dan saling memaafkan antara sesama warga. Pada saat ini pesta mandi-mandi tidak diadakan lagi, akan tetapi mereka mengantinya dengan saling mengolesi bedak cair ke wajah. Hingga menjelang akhir tahun 1990-an, masih ada Grup Musik Keroncong keliling oleh anak-anak muda sambil mengunjungi rumah-rumah pada tengah malam Natal sampai Tahun Baru 14 .

3.1.2. Perkembangan Musik Keroncong di Indonesia

Rosalie Gross dalam bukunya De Krontjong Guitar 1972, menyatakan bahwa lagu-lagu Keroncong yang populer semasa penerintahan Belanda bukanlah lagu-lagu Keroncong Indonesia yang berkembang sampai sekarang. Rosalie menjelaskan bahwa Keroncong adalah peninggalan Portugis dan Indo Belanda dengan menyebutkan dua tokoh musik yang pernah tinggal di Indonesia, yaitu Paul Seelig 1876-1945 dan Fred Belloni 1991-1969. Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan bermusik itu terhenti. Sekitar tahun 1970-an, atas inisiatif Yakobus Quiko, didirikanlah Grup Poesaka Moresko Toegoe. Namun, akibat 14 Dani Baskara dalam tulisan di www.gitaris.com dengan judul “Sejarah Musik Keroncong”. Universitas Sumatera Utara kurangnya minat kaum muda terhadap musik Keroncong, grup ini pun perlahan- lahan bubar. Sekitar tahun 1988, Arend J Michiels yang juga Ketua IKBT Ikatan Keluarga Besar Tugu, merasa terpanggil untuk mengangkat kembali kejayaan musik Keroncong ini dengan mendirikan grup Krontjong Toegoe yang seluruh anggota pemainnya adalah orang-orang muda. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, proses regenerasi dalam grup Krontjong Toegoe selalu dipertahankan. Empat Michiels bersaudara bahu-membahu bersama beberapa anak muda Kampung Tugu lainnya menjaga warisan para leluhur mereka. Keturunan bangsa Portugis berusaha melestarikan lagu-lagu Keroncong dengan bahasa asli mereka. Akan tetapi kemudian perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa orang Indonesia juga mampu menghasilkan lagu-lagu Keroncong dalam bahasa Indonesia, bahkan hingga berbahasa daerah. Orang Indonesia yang berada di Kampung Tugu yang sudah tahu bermain Keroncong mulai mengalirkan musik tersebut ke daerah-daerah lain hingga ke seluruh pulau Jawa. Mereka bermainmusik Keroncong akan tetapi membawakan lagu-lagu Jawa. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya langgam Keroncong dan campusari yang berlirik bahasa Jawa. Diawali lagu Kembang Kacang tahun 1924 yang disebut sebagai lagu Keroncong Extra tambahan, kemudian lahir aneka jenis lagu langgam Jawa lainnya seperti Tok Lelo Lelo Le Dung, Yen Ing Tawang Ono Lintang, Cah Ayu Ojo Lamis, Kecik, Kecik, Kopi Susu. Kemudian Keroncong berkembang ke Jawa Barat dan mulai muncul lagu seperti Badjing Luncat, Sangkuriang, Es Lilin. Universitas Sumatera Utara Disamping dipengaruhi oleh bahasa, Keroncong ini juga dipengaruhi oleh kesenian dan kebudayaan masing-masing daerah. Kemudian setelah Tanjung Priuk menjadi pelabuhan yang besar dan migrasi penduduk sangat besar terjadi di Jakarta, terjadilah perubahan dimana musik Keroncong mulai mengalir ke daerah lain diluar pulau Jawa. Dari Kampung Tugu pula Keroncong terus merambah ke berbagai daerah di tanah air. Beberapa daerah yang menjadi persinggahan musik Keroncong adalah Sulawesi Utara, Maluku dan Sumatera Barat. Lagu-lagu Nina Bobok, Terang Bulan, O Ina Ni Keke, Kole Kole, Rasa Sajang Kene, Rasa Sajange, Burung Kakatua, Patokaan, Hoe Tjintjin, Ajun Ajun adalah lagu-lagu kroncong yang berasal dari Sulawesi Utara dan Maluku yang populer pada masa itu. Sementara itu dari Padang, Sumatera Barat, muncul lagu Keroncong pertama yang berjudul Pulau Pandan gubahan S.M. Mochtar, pianis orkes studio Nirom di Surabaya. Lagu ini di Sumatera terkenal sebagai lagu komidi stambul, yang berkeliling Indonesia tahun 1900-an, mengiringi adegan-adegan cerita yang menguras air mata. Cengkok, gregel, dan embat-nya mengesankan gaya lagu Melayu. Pada masa inilah perkembangan Keroncong melahirkan lagu jenis Stambul. Dari Sumatera barat kemudian Keroncong mengalir ke berbagai daerah di Pulau Sumatera, termasuk Sumatera Utara.

3.1.3. Pengertian Keroncong