Diagnose Causes Bab 7: Anak Mama

157 Dengan kematangan fisik dan intelektual, seorang yang telah dewasa diharapkan menjadi mandiri dan tidak tergantung pada orangtua. Peran gender yang muncul bagi pria dewasa adalah menjadi decision maker , breadwinners dan Fix It all Richmond-Abbott, 1992: 194. Dengan menjadi anak mama, ia tetap melaksanakan perannya namun dalam hal keputusan masih dipengaruhi oleh Ibu- nya. Pengambilan keputusan adalah salah satu peran maskulin yang dimiliki pria. Jika peran maskulin tersebut tidak ada pada pria tersebut dengan mudah wanita dijadikan sebagai sumber masalah. Seperti dalam metode bahasa, pria melegitimasi peran gender dengan kata alamiah untuk membela diri dari serangan yang mengancam dominasinya. Atau saat feminis berjuang mengubah beberapa kata yang dianggap mengandung gender stereotype , pria menanggapinya dengan sebutan childish war on language atau menuliskan from a very subjective point of view Kramarae, 1981: 114. Belajar dari bagaimana pria menanggapi ancaman dominasi, upaya Steve menjadikan wanita sebagai penyebab masalah anak mama dapat saja hanya cara untuk melemparkan ketidakmampuan seorang pria memenuhi peran maskulinnya.

3.3.8.2. Diagnose Causes

Penyebab dalam bab 7 adalah ketidakmampuan wanita. Steve menjadikan wanita sebagai penyebab pria menjadi anak mama sekalipun telah berpasangan dan penyebab utamanya adalah ketidakmampuan wanita dalam menjadikan si pria lepas dari aturan – aturan ibu mereka. Dalam paragraf 13, kalimat 2 Steve menuliskan fenomena pasangan anak mama bukan karena ibu yang dominan tapi karena 158 pasangan wanita yang tidak mau pusing ambil kendali. Dari kalimat tersebut Steve memberikan pilihan 2 penyebab: Ibu yang berkuasa atau pasangan wanita yang tidak mampu. Keduanya adalah wanita. Jadi pria sebagai obyek yang dibicarakan tidak dianggap sebagai penyebab masalah sama sekali oleh Steve. Pada paragraf 14, Steve menyarankan agar wanita membicarakan hal ini dengan pasangan. Karena pasangan tidak tahu apa yang dipikirkan wanita. Steve sama seperti bab 3, kembali memberikan judgement tentang wanita. Pada bab 3 ia menyatakan bahwa wanita sulit untuk dipuaskan dan tersirat judgement bahwa wanita menuntut pria memahami pikiran mereka. Tentang pria yang tidak dapat memahami wanita dan wanita yang tidak mau menyatakan pikirannya kepada pria telah banyak dijadikan bahan lelucon selama ini. Namun, ternyata lelucon adalah salah satu cara pria dalam mempertahankan kekuatan dominasinya. Seperti halnya dalam pembahasan sebelumnya bahwa pria memiliki cara – cara tertentu dalam menjaga dominasi mereka terhadap ancaman yang menyerang. Ketidakmampuan wanita dalam mengungkapkan pikirannya merupakan salah satu fokus dalam studi Women and Men Speaking . Dalam Bab 4 sebelumnya telah disinggung mengenai cara bicara pria dan wanita yang ternyata berbeda. Perbedaan dalam hal bahasa, pria dan wanita memiliki perbedaan dalam cara berbicara dan apa yang mereka bicarakan. Pria cenderung berbicara tentang hal – hal eksternal dan menggunakan komunikasi langsung dan faktual. Secara khusus mereka membicarakan tentang seks, olahraga, politik, pekerjaan dan pria lain. Mereka berbicara lebih keras, menggunakan kalimat – kalimat yang lebih kuat dan memaksakan pendapat mereka pada pendengar. Wanita lebih banyak berbicara 159 tentang perasaan dan orang. Mereka cenderung berbicara dalam tataran fisik dan psikologis seperti misalnya merasa lapar, kedinginan, merasa senang atau sedih. Cara bicara mereka lebih sopan dan tidak langsung. Mereka menggunakan qualifier kata sifat dari kata yang mengikutinya untuk mencegah memaksakan keyakinan mereka pada pihak lain Richmond-Abbott, 1992:94. Wanita memiliki kesulitan dalam mengekspresikan dirinya dibanding pria karena alat – alat ekspresi dibentuk oleh pria Kramarae, 1981: 5. Peneliti berasumsi bahwa kesulitan mengekspresikan diri adalah sebab bagi munculnya ketidakmampuan tersebut. Ketidakmampuan yang dimaksud oleh Steve adalah wanita tidak pernah memberikan batasan aturan pada pasangannya. Menurut Steve pria adalah individu yang taat pada peraturan dan aturan adalah alasan utama mengapa mereka menjadi anak mama, karena ibu mereka menetapkan aturan. Berbeda dengan kondisi ibu dan anak, aturan dalam romantic relationship khususnya pernikahan banyak dimiliki oleh pria. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam bagian pendahuluan tentang The Shock Theory of Marriage bahwa wanita tidak bahagia karena menyerahkan sebagian identitas legalnya sebagai manusia. Pria menjadi kepala keluarga yang legal, memiliki otoritas untuk menentukan standar kehidupan meliputi pendapatan istri dan rumah tinggal, pendidikan anak dan manajemen rumah tangga. Pria harus menyokong istri, namun prialah yang memutuskan sebarapa besar sokongan yang diberikan Richmond- Abbott, 1992: 195 – 198. Apakah Steve yakin wanita memiliki hak untuk memberikan aturan jika hak tersebut telah diberikan kepada pria selama ini? Apakah Steve yakin pria mau 160 mendengarkan pasangan sementara bahasa tidak mengakomodir ekspresi wanita dan pria cenderung menyerah dalam upaya memahami bahasa wanita?

3.3.8.3. Make Moral Judgement