waktu bepergian. Berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah SAW dalam hadits tersebut di atas.
4. Kaidah Fiqih Pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil
yang mengharamkannya. 5. Landasan Hukum Positif
Pasal 19 ayat 1 huruf q Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah antara
lain melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
35
Dengan demikian selain lembaga pegadaian yang membuka unit usaha syariah, Bank umum Syariah juga
bisa membuka unit usaha gadai. Selain itu landasan hukum positif terhadap gadai syariah terdapat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun
2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan Persero.
6. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25DSN-MUIIII2002 tentang Rahn Adapun fatwa DSN yang menjadi landasan hukum untuk rahn adalah Fatwa
DSN Nomor: 25DSN-MUIIII2002 tentang Rahn. Fatwa tersebut memutuskan
35
Pasal 19 ayat 1 huruf q Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Murtahin penerima barang mempunyai hak untuk menahan marhun barang sampai semua utang rahin yang menyerahkan barang dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya pemeliharaan dan pemyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan Marhun: 1 Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya. 2 Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksadieksekusi melalui lelang sesuai syariah. 3 Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan
4 Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
Dari berbagai dasar hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum gadai syariah rahn secara rinci sudah diisyaratkan dalam al-Qur’an, al-Sunnah, dan
Ijma’, serta lamdasan hukum positif berupa Undang-undang yang berlaku di
Indonesia, dan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Maka praktik gadai syariah rahn yang dijumpai sudah sesuai dengan dengan ajaran agama Islam dan juga hukum
positif negara.
G. Syarat dan Rukun Gadai Syariah Rahn
Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan oleh pihak yang berpiutangmurtahin kepada pihak yang berutangrahin ada sejumlah rukun dan
syarat yang harus dipenuhi, diantaranya: 1. Ijab Qabul Sighat
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak. Ijab
qabul harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a adanya maksud dari kedua belah pihak rahin dan murtahin. b adanya kesesuaian antara ijab dan
qabul dalam hal objek transaksi atau harganya besarnya pinjaman gadai. c adanya pertemuan antara ijab dan qabul, artinya berurutan dan nyambung serta
dalam satu majelis. Satu majelis artinya suatu kondisi yang memungkinkan kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan atau pertemuan pembicaraan dalam satu
objek transaksi. Ijab qabul dinyatakan batal, bilamana: a rahin menarik ijabnya sebelum ada
qabul dari murtahin. b adanya penolakan ijab dari murtahin, dalam arti apa yang diucapkan rahin ditolak oleh murtahin. c berakhirnya majelis akad sementara
kedua belah pihak belum memperoleh kesepakatan.
2. Pihak-pihak yang akan bertransaksi Aqid Aqid adalah pihak-pihak yang akan melakukan perjanjian. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin pemberi gadai dan murtahin penerima gadai diisyaratkan harus memiliki sifat ahliyah
dan wilayah. Sifat ahliyah maksudnya para pihak yang akan bertransaksi atau mengikat perjanjian harus memiliki kecakapan dan kepatutan untuk mengikat
perjanjian. Untuk memiliki ahliyah seseorang diisyaratkan telah baligh dan berakal sehat. Sedangkan yang dimaksud sifat wilayah adalah hak atau
kewenangan seseorang yang mendapat legalitas syar’i untuk mengikat suatu perjanjian atas suatu objek tertentu dengan syarat orang tersebut merupakan
pemilik asli, wali, atau wakil atas suatu objek tertentu. 3. Adanya barang yang digadaikan Marhun
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin pemberi gadai adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik rahin
secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang tidak
dapat dijualbelikan tidak dapat digadaikan. 4. Hutang Marhun bih
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah, syarat sebuah hutang yang dapat dijadikan hak atas gadai adalah berupa barang yang tetap dapat dimanfaatkan,
hutang tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui
oleh rahin dan murtahin.
36
Jika di belakang hari terdapat perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahun dan murtahin, maka ucapan yang diterima ialah
ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali bila rahin bisa mendatangkan barang bukti.
Jika murtahin mengklaim telah mengembalikan marhun dan rahin tidak mengakuinya, maka ucapan yang diterima adalah ucapan rahin dengan disuruh
bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat dan rukun gadai adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Syarat dan rukun adalah hal yang
penting dalam setiap transaksi. Ada empat hal yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak yang melakukan gadai syariah, yaitu ijab qobul sighat, pihak-pihak
yang bertransaksi akid, adanya barrang yang digadaikan marhun, dan hutang marhun bih.
H. Manfaat al-Rahn
Manfaat yang didapat dari Lembaga Pegadaian yang membuka unit usaha syariah atau Bank Umum Syariah yang memiliki unit usaha pegadaian dari prinsip
al-rahn adalah sebagai berikut: 1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan pegadaian.
36
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia Yogyakarta: Gadjah ada University Press, 2009, h. 170.