Supply Chain Supply Chain dan Supply Chain Management

III-3 metode yang terintegrasi dengan dasar semangat kolaborasi. Ada beberapa definisi tentang SCM. Misalnya, the Council of Logistics Management memberikan definisi berikut: Supply Chain Management is the systematic, strategic coordination of the traditional business functions within a particular company and across businesses within the supply chain for the purpose of improving the long-term performance of the individual company and the supply chain as well. Jadi, supply chain management tidak hanya berorientasi pada urusan internal sebuah perusahaan, melainkan juga urusan eksternal yang menyangkut hubungan dengan perusahaan-perusahaan partner. Perusahaan-perusahaan yang berada suatu supply chain pada intinya ingin memuaskan konsumen akhir yang sama, mereka harus bekerjasama untuk membuat produk yang murah, mengirimkannya tepat waktu, dan dengan kualitas yang bagus. Hanya dengan kerjasama antara elemen-elemen pada supply chain tujuan tersebut akan bisa dicapai. Oleh karena itu, cukup tepat kalau banyak orang mengatakan bahwa persaingan dewasa ini bukan lagi antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tetapi antara supply chain yang satu dengan supply chain yang lain.

3.1.3. Vendor Managed Inventory VMI

Menurut I Nyoman Pujawan 3 3 ibid., hlm. 123-124 secara tradisional, perusahaan pembeli selalu menentukan waktu dan ukuran pesanan berdasarkan informasi yang mereka miliki. Pemasok akan merespon permintaan tersebut secara pasif, tanpa mencari III-4 tahu lebih lanjut kenapa perusahaan pembeli memesan sejumlah tersebut. Praktek di atas mengakibatkan inefisiensi karena beberapa alasan. Pertama, pemasok tidak mendapat cukup ‘early signal’ dari pembeli akan jumlah dan waktu pesanan. Akibatnya, pemasok meramalkan apa, kapan, dan berapa yang akan dipesan oleh pembeli. Ini tentu mengakibatkan pemasok harus menyimpan persediaan lebih banyak untuk mengantisipasi ketidakpastian pesanan dari pelanggan atau pembeli. Kedua, pemasok sering harus mengubah jadwal produksi secara tiba-tiba karena apa yang diminta pelanggan tiba-tiba berubah dari apa yang diperkirakan oleh pemasok atau karena pelanggan yang lebih penting tiba-tiba melakukan pesanan mendadak sehingga produksi untuk memenuhi pesanan dari pelanggan ‘kelas dua’ terpaksa dijadwal ulang. Perubahan pada jadwal produksi selanjutnya mengakibatkan perubahan pada kebutuhan bahan baku, komponen, maupun jam kerja. Perubahan yang terlalu sering pada jadwal produksi bisa mengakibatkan apa yang dinamakan ‘schedule nervousness’. Di samping inefisiensi, fenomena di atas juga mengakibatkan service level yang rendah karena banyak permintaan yang tidak akan bisa dipenuhi tepat waktu. Sebagai jawaban terhadap beberapa masalah tersebut, dewasa ini banyak perusahaan yang mengubah praktek di atas dengan model yang dinamakan vendor managed inventory VMI. Pada model ini perusahaan pembeli tidak lagi memutuskan apa, kapan, dan berapa yang akan dipesan, melainkan hanya memberikan informasi permintaan dari pelanggan mereka, persediaan yang tersisa, serta informasi lain seperti rencana promosi atau kegiatan lain yang bisa mempengaruhi penjualan di masa akan datang. Kalau perusahaan pembeli yang